TERMOREGULASI
A. Definisi
Thermoregulasi adalah suatu pengaturan fisiologis tubuh manusia mengenai
keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas sehingga suhu tubuh dapat
dipertahankan secara konstan. Keseimbangan suhu tubuh diregulasi oleh
mekanisme fisiologis dan perilaku. Agar suhu tubuh tetap konstan dan berada
dalam batasan normal, hubungan antara produksi panas dan pengeluaran panas
harus dipertahankan. (Mubarak, Indrawati dan Susanto, 2015 : 62)
Termoregulasi adalah mekanisme fisiologi dan perilaku mangatur
keseimbangan antara panas yang hilang dan panas yang dihasilkan. Mekanisme
tubuh harus mempertahankan hubungan antara produksi panas dan kehilangan
panas agar suhu tubuh tetap konstan dan normal. Hubungan ini diatur oleh
mekanisme neurologis dan kardiovaskular. (Potter dan Perry, 2010 : 164)
D. Pengkajian Fungsional
Pengkajian fungsional menurut Potter dan Perry ( 2010 : 171 ), yaitu :
1. Lokasi
Pengukuran suhu interminten dapat dilakukan di mulut, rektum, membran
timpani, arteri temporalis, dan aksila. Hasil pengukuran suhu akan bervariasi
sesuai lokasi pengukuran, tetapi biasanya berkisar antara 36 °C dan 38 °C.
Suhu rektal lebih tinggi 0,5°C dari suhu oral, sedangkan suhu aksila lebih
rendah 0,5°C dari suhu oral.
2. Termometer
Merupakan alat pengukur suhu menggunakan skala celcius atau Fahrenheit.
Terdapat tiga jenis termometer yaitu :
a. Termometer elektronik
Memiliki unit penyajian yang disuplai oleh baterai, kabel kawat tipis
dan probe. Terdapat dua modus operasi yaitu suhu prediktif 4 detik dan
suhu standart 3 menit.
Bentuk lain thermometer elektronik digunakan secara eksklusif untuk
suhu timpani, speculum yang berbentuk otoskop dengan ujung sensor
inframerah mendeteksi panas yang diradiasikan dari membran timpani,
setelah beberapa detik sinyal suara dan pembacaan tempat tampak
diunit penyaji.
Thermometer terbaru berfungsi untuk mengukur suhu arteri temporalis
superfisial.
b. Termometer chemical dot
Merupakan lembaran plastik tipis dengan sensor suhu pada salah
satu ujungnya, sensor ini memiliki titik titik yang ditanam secara kimiawi
dan dapat berubah warna pada suhu yang berbeda. Pada versi ini
celcius terdapat 50 titik kisaran 35,5 40,40C, pembacaan biasanya 60
detik.
Termometer ini berguna untuk skrining terutama pada balita dan
anak, termometer ini lebih rendah dari suhu oral sebanyak 0,4 0C atau
lebih. Saat ini diaplikasikan di dahi dan abdomen.
c. Termometer kaca
Berbentuk tube kaca yang tertutup pada salah satu ujungnya dan
bulatan yang berisi air raksa pada ujung lainnya. Pajanan bulatan
terhadap panas mengakibatkan air raksa mengembang dan naik dalam
tube tersebut, alat ini memiliki skala celcius dan Fahrenheit. Pengukuran
suhu dengan termometer ini membutuhkan persiapan yang khusus,
selain dibutuhkan posisi sesuai dengan lokasi pengukuran harus
mempertahankan posisi tersebut untuk jangka waktu tertentu agar
pengukurannya akurat. Mudah pecah sehingga terjadi pengeluaran air
raksa.
Rencana perawatan pada klien dengan perubahan suhu meliputi
tujuan khusus yang relistik dan hasil yang relevan. Tujuan jangka pendek
seperti memulihkan suhu tubuh akan memperbaiki kesehatan klien,
sedangkan tujuan perawatan adalah mengembalikan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Hasilnya adalah asupan dan keluaran klien akan
seimbang dalam 24jam.
E. Diagnosa Keperawatan
1. Diagnosa yang mungkin muncul menurut NANDA International (2015: 456-463),
diagnosa yang muncul pada gangguan termoregulasi adalah:
a. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh
b. Hipertermia
c. Hipotermia
d. Risiko hipotermia
e. Risiko hipotermia perioperatif
f. Ketidakefektifan termoregulasi
2. Berikut ini adalah penjabaran diagnosa yang utama berdasarkan NANDA-I tahun
2015-2017 (Herdman dan Kamitsuru, 2015: 457-458)
a. Hipertermia
1) Definisi
Suhu inti di atas kisaran normal diurnal karena kegagalan
termoregulasi.
2) Batasan karakteristik
a) Apnea
b) Bayi tidak dapat mempertahankan menyusu
c) Gelisah
d) Hipotensi
e) Kejang
f) Koma
g) Kulit kemerahan
h) Kulit terasa hangat
i) Letargi
j) Postur abnormal
k) Stupor
l) Takikardia
m) Takipnea
n) Vasodilatasi
3) Faktor yang Berhubungan
a) Ages farmasutikal
b) Aktivitas berlebihan
c) Dehidrasi
d) Iskemia
e) Pakaian yang tidak sesuai
f) Peningkatan laju metabolisme
g) Penurunan perspirasi
h) Penyakit
i) Sepsis
j) Suhu lingkungan tinggi
k) Trauma
b. Ketidakefektifan termoregulasi
1) Definisi
Fluktuasi suhu diantara hipotermia dan hipertermia.
2) Batasan Karakteristik
a) Dasar kuku sianotik
b) Fluktuasi suhu diatas dan dibawah kisaran normal
c) Hipertensi
d) Kejang
e) Kulit dingin
f) Kulit hangat
g) Kulit kemerahan
h) Menggigil ringan
i) Pengisian ulang kapiler yang lambat
j) Peningkatan frekuensi pernapasan
k) Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal
l) Penurunan suhu tubuh dibawah kisaran normal
m) Piloereksi
n) Pucat sedang
o) Takikardia
3) Faktor yang Berhubungan
a) Fluktuasi suhu lingkungan
b) Penyakit
c) Trauma
d) Usia yang ekstrem
F. Perencanaan
1. Diagnosa keperawatan : Hipertermia (Herdman dan Kamitsuru, 2015 : 563)
a. NOC : Tanda-Tanda Vital (Moorhead, et. al., 2016 : 563)
Definisi : tingkat suhu, denyutnadi, respirasi, dan tekanan darah berada
dalam kisaran normal.
Tujuan : klien mampu mencapai tanda-tanda vital yang optimal pada tanggal
yang telah ditetapkan dengan indikator :
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Suhu tubuh
2. Tingkat pernapasan
3. Tekanan darah sistolik
4. Tekanan darah diastolik
5. Kedalaman inspirasi
Keterangan :
Deviasi berat dari kisaran normal
Deviasi yang cukup besar dari kisaran normal
Deviasi sedang dari ksaran normal
Deviasi ringan dari kisaran normal
Tidak ada deviasi dari kisaran normal
b. NIC I: Perawatan Demam (Bulechek, et. al., 2016 : 355)
Definisi : manajemen gejala dan kondisi terkait yang berhubungan dengan
peningkatan suhu tubuh dimediasi oleh pirogen endogen.
Aktivitas :
1) Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
2) Kolaborasi dengan dokter untuk menentukan frekwensi pengkajian TTV
3) Monitor asupan dan keluaran, sadari perubahan kehilangan cairan yang tak
dirasakan
4) Beri obat atau cairan IV (misalnya., antipiretik, agen antibakteri, dan agen
anti menggigil)
5) Ajarkan pasien beristirahat dan menerapkan pembatasan aktivitas: jika
diperlukan
6) Berikan oksigen, yang sesuai
7) Mandikan (pasien) dengan spons hangat dengan hati-hati (yaitu: berikan
untuk pasien dengan suhu yang sangat tinggi, tidak memberikannya selama
fase dingin, dan hindari agar pasien tidak menggigil)
8) Tingkatkan sirkulasi darah
9) Lembabkan bibir dan mukosa hidung yang kering
10) Pantau komplikasi yang berhubungan dengan dema serta tanda dangejala
kondisi penyebab
c. NIC II: Monitor Tanda-Tanda Vital (Bulechek, et. al., 2016 : 237)
Definisi : pengumpulan dan analisa data kardiovaskuler, pernapasan, dan suhu
tubuh untuk menentukan dan mencegah komplikasi.
Aktivitas :
1) Monitor tekanan darah, nadi, suhu tubuh, dan status pernapasan dengan tepat
2) Catat gaya dan fluktuasi yang luas pada tekanan darah
3) Kolaborasi dengan orangtua untuk pemantauan demam
4) Monitor tekanan darah setelah pasien minum obat jika mungkin
5) Inisiasi dan pertahankan perangkat pemantauan suhu tubuh secar terus-menerus
dengan tepat
6) Auskultasi tekanan darah di kedua lengan dan bandingkan
7) Monitor pada pernapasan abnormal
8) Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan tanda-tanda vital
9) Periksa secara berkala keakuratan instrumen yang digunakan untuk perolehan
data pasien
10) Monitor irama dan laju pernapasan (misalnya kedalaman dan kesimetrisan)
KONSEP PENYAKIT
THYPOID
1. Pengertian
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut dan ditandai
dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat
difus, serta pembentukan mikro-abses dan ulserasi nodus peyer pada distal
ileum. (Mardalena, 2018 : 79)
Thypoid Abdominalis (demam typoid, enteric fever) adalah penyakit infeksi
akut yang biasanya terjadi pada saluran pencernaan dengan gejala demam
lebih dari satu minggu, gangguan saluran pencernaan dan gangguan
kesadaran. (Dermawan dan Rahayuningsih, 2010:109)
Demam tifoid atau sering disebut dengan tifus abdominalis adalah penyakit
infeksi akut pada saluran pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit
multisistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi. (Muttaqin dan Sari, 2013:
488)
2. Penyebab
Menurut Dermawan dan Rahayuningsih (2010 : 110), penyebab dari typoid
antara lain:
Salmonella Typosa ; basil gram negatif, berbulu getar, tidak bespora. Masa
tunas 14-20 hari. Mempunyai 3 antigen yaitu :
a. Antigen O : somatik, terdiri zat kompleks lipopolisakarida
b. Antigen H : fragella
c. Antigen Vi : simpai kuman
3. Patofisiologi
Menurut Mardalena (2018 : 80) penyakit typhoid abdominalis bisa
disebabkan oleh basil Salmonella typhosa. Penularan dapat terjadi melalui
mulut lewat makanan yang tercemar kemudian kuman mengadakan penetrasi
ke usus halus dan jaringan limfoit lalu berkembang biak. Selanjutnya kuman
masuk ke aliran darah dan mencapai retikuloendotelial pada hati dan limpa,
sehingga organ-organ tersebut membesar disertai rasa nyeri pada perabaan.
Proses ini terjadi pada masa tunas 10-14 hari dan berakhir saat sel-sel
retikuloendotelial melepaskan kuman kedalam darah. Kuman-kuman
selanjutnya masuk kedalam beberapa organ-organ tubuh terutama kelenjar
lymphoid usus halus daan menimbulkan tukak yang berbentuk lonjong pada
mukosa di atas plak peyeri. Tukak dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
dan perforasi usus.
4. Pathway
Menurut Muttaqin dan Sari (2013 : 490) pathway penyakit typoid yaitu :
(RES)
Penyebaran
kuman
Ke
sistem
saraf
Terbentuknya pusat
nekrosis dan
tukak di ileum
Meningitis
enselopati
Nyeri
Malaise, kepala,
kram otot, perubahan
penurunan kesadaran
turgor
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Dermawan dan Rahayuningsih (2010 : 111-112) pemeriksaan
penunjang typoid abdominalis adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan laboratorium :
a. Pemeriksaan darah tepi : terdapat gambaran leucopenia, limpositosis relatif
dan eosinofilia pada awal penyakit, anemia, trombositopenia ringan dan
pemeriksaan SGOT serta SGPT.
b. Pemeriksaan sumsum tulang : gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif
RES dengan adanya sel makrofag dan sistem eritropoesis, granulopoesis
dan trombopoesis berkurang.
c. Biakan/kultur empedu : basil salmonella typosa ditemukan pada darah
(minggu I), feses dan urin. Hasil (+) untuk menegakan diagnosa, Hasil (-)
menentukan penderita sembuh dan tidak menjadi karier.
d. Pemeriksaan widal : dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi antara serum
pasien (antibodi) dengan suspensi antigen salmonela typhosa. Hasil positif
bila terjadi reaksi aglutinasi.
6. Penatalaksanaan
Menurut Dermawan dan Rahayuningsih (2010 : 113) penatalaksanaan yang
perlu diperhatikan adalah :
a. Medik
1) Isolasi pasien, disinfeksi pakaian dan ekskreta
2) Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit
yang lama, lemah anoreksia dll.
3) Istirahat selama demam s/d 2 minggu (7-14 hari); mencegah
perdarahan usus, setelah suhu normal kembali (bed rest total), boleh
duduk, bila tidak panas boleh berdiri dan berjalan di ruangan
4) Diit : TKTP (tinggi kalori tinggi protein), tidak mengandung banyak
serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas. Susu 2x satu
gelas. Diit typoid akut : bubur saring, setelah demam turun diberi
bubur kasar 2 hari, kemudian nasi tim dan nasi biasa setelah bebas
dari demam 7 hari. Untuk penderita dengan kesadaran menurun :
makanan cair lewat NGT, bila kesadaran baik diberikan makanan
lunak.
5) Terapi obat pilihan :
a) Kloramfemikol dosis tinggi yaitu 100 mg/kgBB/hari oral atau IM/IV
bila dianjurkan
b) Tiamfenikol
c) Kotrimoxazol
d) Amoxilin dan Ampixilin
b. Keperawatan
Masalah keperawatan yang perlu diperhatikan adalah:
1) Kebutuhan nutrisi / cairan dan eletrolit
a) Kesadaran baik : makanan lunak dengan lauk pauk dicincang
(hati,daging), sayuran, labu siam / wortel dimasak lunak sekali.
Tahu, telur setengah matang / matang. Susu 2x1 gelas/lebih.
b) Kesadaran menurun : makanan cair per sonde, kalori disesuaikan
kebutuhan. Diberikan setiap 3 jam termasuk ekstra sari buah,
bubur kacang hijau dihaluskan
c) Pasien payah (delirium) : infus dengan cairan glukosa dan NaCl
2) Gangguan suhu tubuh
Penyebab demam infeksi basil salmonella thyposa. Panas bisa
sampai 3 minggu menyebabkan kondisi melemah dan mengakibatkan
kekurangan caran karena perspirasi. Pasien menjadi gelisah, selaput
lendir mulut dan bibir kering dan pecah-pecah. Untuk menurunkan
susu dengan terapi obat, istirahat mulak (bed rest), mobilisasi
bertahap dan pengaturan ruangan yang cukup ventilasi
3) Gangguan rasa aman dan nyaman
a) Pasien dengan bibir kering lidah kotor : perawatan mulut 2x
sehari, oleskan krim dan sering minum
b) Pasien apatis : lebih diperhatikan dan diajak berkomunikasi
c) Pasien dengan sonde : perawatan mulut dan diberikan minum
agar selaput lendir dan tenggorokan tidak kering
4) Risiko terjadi komplikasi
a) Pengaturan jadwal pemberian terapi obat
b) Latihan ambulasi setelah bed rest : duduk di tempat tidur, berjalan
menggelilingi tempat tidur
8. Komplikasi
Menurut Mardalena (2018 : 81) komplikasi dapat terjadi pada usus halus,,
meskipun jarang terjadi. Akan tetapi, bila terjadi komplikasi total menyebabkan:
a. Perdarahan usus
Perdarahan dalam jumlah sedikit ditemukan ketika dilakukan pemeriksaan
tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena, dapat
disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjantan.
b. Perporasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketida dan biasanya terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum. Dalam kondisi ini
pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma.
Kondisi ini dapat terlihat pada foto abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c. Peritonitis
Biasanya disertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Pemeriksaan mungkin menemukan gejala badomen akut yaitu nyeri perut
yang hebat, dinding abdomen tegang dan nyeri tekan.
d. Komplikasi luar usus
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis meningitis,
encepalopati, dan lain-lain. Komplikasi lain yang mungkin terjadi karena
infeksi sekunder adalah bronkopneumonia.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria. et al. 2013 Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Alih
Bahasa Intansari Nurjanah dan Roxsana Devi Tumanggor. Yogyakarta : Moco
Media.
Dermawan, Deden dan Tutik Rahayuningsih. 2010. Keperawatan Medikal Bedah (Sistem
Pencernaan). Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Herdman, T. Heather dan Shigemi Kamitsuru. 2015. Diagnosa Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi NANDA Internasional 2015-2017. Edisi 10. Alih Bahasa Budi Anna Keliat.
et al. Jakarta : EGC.
Morhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). Edisi 5. Alih Bahasa
Intansari Nurjanah dan Roxsana Devi Tumanggor. Yogyakarta : Moco Media.
Mardalena, Ida. 2018. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Pencernaan. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
Mubarak, Wahit Iqbal, lilis Indrawati, Joko Susanto . 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan
Dasar. Jakarta : Salemba Medika.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.
Pearce, Evelyn C. 2012. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
Potter Patricia A. dan Anne G. Perry.2010.Fundamental of Nursing Fundamental
Keperawatan.Buku 2 Edisi 7. Jakarta : Salemba Medika.
Susanto, Andina Vita dan Yuni Fitriana. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan
Aplikasi dalam Praktik Keperawatan. Yogyakarta : . PUSTAKA BARU PRESS.