Persalinan Lama
Persalinan Lama
PERSALINAN LAMA
A. Definisi
Persalinan lama, yang disebut juga dengan istilah distosia secara umum memaksudkan
persalinan yang abnormal atau sulit.4 Sementara itu, WHO secara lebih spesifik
mendefinisikan persalinan lama (prolonged labor/partus lama) sebagai proses persalinan yang
berlangsung lebih dari 24 jam. Waktu pemanjangan proses persalinan yang dimaksud adalah
penambahan antara kala I dan kala II persalinan. Dalam penentuan batas waktu, terdapat
varias sebuah sumber yang menyatakan bahwa batasan waktu dalam penentuan partus lama
adalah 18 jam.
B. Insidensi
Berdasarkan penelitian di Rumah Sakit Park Land, Amerika Serikat, pada tahun 2007,
didapatkan bahwa hanya sekitar 50 persen ibu dengan janin presentasi kepala yang
mengalami partus spontan fisiologi. Lima puluh persen lainnya, perlu mendapatkan intervensi
untuk pelahiran. Baik intervensi medismaupun intervensi bedah. Tingginya tingkat partus
abnormal ini juga menunjukkan tingginya tingkat persalinan lama. Persalinan lama yang
kadang juga disebut distosia, di Amerika Serikat distosia merupakan indikasi dilakukannya
Sectio caesarea emergensi pada 68% pasien yang menjalani operasi seksio sesar primer.
D. Klasifikasi
Adapun distosia/persalinan lama sendiri dapat dibagi berdasarkan pola persalinannya.
Kelainan dalam pola persalinan secara umum dibagi menjadi tiga kelompok. Yaitu kelainan
pada kala I fase laten yang disebut fase laten memanjang, kelainan pada kala I fase aktif dan
kelainan pada kala II yang disebut kala II memanjang. Secara lebih rinci, kelainan pada kala I
fase aktif terbagi lagi menjadi 2, menurut pola persalinannya. Jenis kelainan pertama pada
kala I fase aktif disebut protraction disorder. Kelainan kedua, disebut arrest disorder.
E. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya partus lama, dapat diterangkan dengan memahami proses yang terjadi
pada jalan lahir saat akhir kehamilan dan saat akhir persalinan. Dengan memahaminya, kita
dapat mengetahui dan memperkirakan faktor apa saja yang menyebabkan terhambatnya
persalinan. Pada akhir kehamilan, kepala janin akan melewati jalan lahir, segmen bawah
rahim yang cukup tebal dan serviks yang belum membuka. Jaringan otot di fundus masih
belum berkontraksi dengan kuat. Setelah pembukaan lengkap, hubungan mekanis antara
ukuran kepala janin, posisi dan kapasitas pelvis yang disebut proporsi fetopelvik (fetopelvic
proportion), menjadi semakin nyata seraya janin turun. Abnormalitas dalam proporsi
fetopelvik, biasanya akan semakin nyata seraya kela II persalinan dimulai.
Penyebab persalinan lama dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu disfungsi uterus murni
dan diproporsi fetoplevis. Namun pembagian ini terkadang tidak dapat digunakan karena
kedua kelainan tersebut terkadang terjadi bersamaan.
F. Gambaran Klinik
Gambaran Klinik dari persalinan lama dapat dijelaskan berdasarkan fase persalinan yang
mengalami pemanjangan.
Pola pembukaan serviks selama tahap persiapan dan pembukaan persalinan normal adlah
kurva sigmoid. Dua fase pembukaan serviksa adalah fase laten yang sesuai dengan tahap
persiapan dan fase aktif yang sesuai dengan tahap pembukaan. Friedman membagi lagi fase
aktif menjadi fase akselerasi, fase lereng (kecuraman) maksimum, dan fase deselerasi.
Gambar 2 Urutan rata-rata kurva pembukaan serviks pada persalinan nulipara
Awitan persalinan laten didefinisikan sebagai saat ketika ibu mulai merasakan kontraksi yang
teratur.Selama fase ini, orientsi kontraksi uterus berlangsung bersama pendataran dan
pelunakan serviks. Kriteria minimum Friedman untuk fase laten ke dalam fase aktif adalah
kecepatan pembukaan serviks 1,2 jam bagi nulipara dan 1,5 cm untuk ibu multipara.
Kecepatan pembukaan serviks ini tidak dimulai pada pembukaan tertentu. Friedman dan
Sachtleben mendefinisikan fase laten berkepanjangan sebagai apabila lama fase ini lebih dari
20 jam pada nulipara dan 14 jam pada multipara.
Faktor-faktor yang mempengaruhi durasi fase laten antara lain adalah anestesia regional atau
sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk (misal: tebal, tidak mengalami
pendataran atau tidak membuka) dan persalinan palsu. Friedman mengklaim bahwa istirahat
atau stimulasi oksitosin sama efektif ndan amannya dalam dalam memperbaiki fase laten
berkepanjangan. Istirahat lebih disarankan karena persalinan palsu sering tidak disadari.
Karena adanya kemungkinan persalinan palsu tersebut, amniotomi tidak dianjurkan.
Kecepatan pembukaan yang dianggap normal untuk persalinan pada nulipara adalah
1,2cm/jam, maka kecepatan normal minimum adalh 1,5 cm/jam. Secara spesifik, ibu nulipara
yang masuk ke fase aktif dengan pembukaan 3 – 4 cm dapat diharapkan mencapai
pembukaan 8 sampai 10 cm dalam 3 sampai 4 jam. Pengamatan ini mungkin bermanfaat.
Sokol dan rekan melaporkan bahwa 25% persalinan nulipara dipersulit kelainan fase aktif,
sedangkan pada multigravida angkanya adalah 15%.
Memahami analasisi Friedman mengenai fase aktif bahwa kecepatan penurunan janin
diperhitungkan selain kecepatan pembukaan serviks, dan keduanya berlangsung bersamaan.
Penurunan dimulai pada saat tahap akhir dilatasi aktif, dimulai pada pembukaan sekitar 7-8
cm. Friedman membagi lagi masalah fase aktif menjadi gangguan protraction
(berkepanjangan/berlarut-larut) dan arest (macet, tak maju).
Prognosis kelainan berkepanjangan dan macet ini cukup berbeda, dimana disproporsi
sepalopelvik terdiagnosa pada 30% dari ibu dengan kelainan protraksi. Sedangkn disproporsi
sefalopelfik terdiagnosa pada 45% ibu dengan persalinan macet. Ketertkaitan atau faktor lain
yang berperan dalam persalinan yang berkepanjangan dan macet adalah sedasi berlebihan,
anestesi regional dan malposisi janin. Pada persalinan yang berkepanjang dan macet,
Friedman menganjurkan pemeriksaan fetopelvik untuk mendiagnosis disproporsi
sefalopelvik. Terapi yang dianjurkan untuk persalinan yang berke3panjangan adalah
penatalaksanaan menunggu, sedangkan oksitosin dianjurkan untuk persalinan yang macet
tanpa disproporsi sefalopelvik.
G. Diagnosis
Adapun kriteria diagnosa dari tiap klasifikasi persalinan lama dan terapi yang disarnkan
ditampilkan pada tabel 2.2 dibawah ini.
Tabel 2.2 Klasifikasi persalinan lama berdasarkan pola persalinannya
Selain kriteria diatas, terdapat pula sebuah alat bantu yang dapat mebantu dalam
mempermudah diagnosa persalinan lama. Alat bantu tersebut adalah partograf. Partograf
terutama membantu dalam pengawasan fase aktif persalinan. Kedua enis gangguan dalam
fase aktif dapat didagnosa dengan melihat grafik yang terbentuk pada partograf. Protraction
disorder padafase aktif (partus lama) dapat didagnosa bila bila pembukaan serviks kurang
dari 1cm/ jam selama minimal 4 jam. Sedangkan arrest disorder (partus macet) didiagnosa
bila tidak terjadi penambahan pembukaan serviks dalam jangka waktu 2 jam maupun
penurunan kepala janin dalam jangka waktu 1 jam. yang telah dit Adapun contoh gambaran
partograf untuk mendiagnosa persalinan lama (protraction disorder) ditampilkan pada
gambar 2.3, sementara persalinan macet atau partus tak maju (arrest disorder) diperlihatkan
pada gambar 2.4.
Gambar 2.3 Kelainan protraksi pada fase aktif persalinan (partus lama)
Gambar 4 Arrest disorder pada fase aktif persalinan (partus tak maju/ macet)
H. Tatalaksana
Prinsip utama dalam penatalaksanaan pada pasien dengan persalinan lama adalah mengetahui
penyebab kondisi persalinan lama itu sendiri. Persalinan lama adalah sebuah akibat dari suatu
kondisi patologis. Pada akhirnya, setelah kondisi patologis penyebab persalinan lama telah
ditemukan, dapat ditentukan metode yang tepat dalam mengakhiri persalinan. Apakah
persalinan tetap dilakukan pervaginam, atau akandilakukan per abdominam melalui seksio
sesarea.
Secara umum penyebab persalinan lama dibagi menjadi dua kelainan yaitu disproporsi
sefalopelvik dan disfungsi uterus (gangguan kontraksi). Adanya disproporsi sefalopelvik pada
pasien dengan persalinan lamamerupakan indikasi utnuk dilakukannya seksio sesarea.
Disproporsi sefalopelvik dicurigai bila dari pemeriksaan fisik diketahui ibu memiliki faktor
risiko panggul sempit (misal: tinggi badan < 145 cm, konjugata diagonalis < 13 cm) atau
janin diperkirakan berukuran besar (TBBJ > 4000gram, bayi dengan hidrosefalus, riwayat
berat badan bayi sebelumnya yang > 4000 gram). Bila diyakini tidak ada disproporsi
sefalopelvik, dapat dilakukan induksi persalinan.
Pada kondisi fase laten berkepanjangan, terapi yang dianjurkan adalh menunggu. Hal ini
dikarenakan persalinan semu sering kali didiagnosa sebagai fase laten berkepanjangan.
Kesalahan diagnosa ini dapat menyebabkan induksi atau percepatan persalinan yang tidak
perlu yang mungkin gagal. Dan belakangan dapat menyebabkan seksio sesaria yang tidak
perlu. Dianjurkan dilakukan observasi selama 8 jam. Bila his berhenti maka ibu dinyatakan
mengalami persalinan semu, bila his menjadi teratur dan bukaan serviks menjadi lebih dari 4
cm maka pasien dikatakan berada dalam fase laten. Pada akhir masa observasi 8 jam ini, bila
terjadi perubahan dalam penipisan serviks atau pembukaan serviks, maka pecahkan ketuban
dan lakukan induksi persalinan dengan oksitosin. Bila ibu tidak memasuki fase aktif setelah
delapan jam infus oksitosin, maka disarankan agar janin dilahirkan secara seksio sesarea.
Pada kondisi fase aktif memanjang, perlu dilakukan penentuan apakah kelainan yang dialami
pasien termasuk dalam kelompok protraction disorder (partus lama) atau arrest disorder
(partus tak maju). Bila termasuk dalam kelompok partus tak maju, maka besar kemungkinan
ada disproporsi sefalopelvik. Disarankan agar dilakukan seksion sesarea. Bila yang terjadi
adalah partus lama, maka dilakukan penilaian kontraksi uterus. Bila kontraksi efisien (lebih
dari 3 kali dalam 10 menit dan lamanya lebih dari 40 detik), curigai kemungkinan adanya
obstruksi, malposisi dan malpresentasi. Bila kontraksi tidak efisien, maka penyebabnya
kemungkinan adalah kontraksi uterus yang tidak adekuat. Tatalaksana yang dianjurkan
adalah induksi persalinan dengan oksitosin.
Pada kondisi Kala II memanjang, perlu segera dilakukan upaya janin. Hal ini dikarenakan
upaya pengeluaran janin yang dilakukan oleh ibu dapat meningkatkan risiko berkurangnya
aliran darah ke plasenta. Yang pertama kali harus diyakini pada kondisi kala II memanjang
adalah tidak terjadi malpresentasi dan obstruksi jalan lahir. Jika kedua hal tersebut tidak ada,
maka dapat dilakukan percepatan persalinan dengan oksitosin. Bila percepatan dengan
oksitosin tidak mempengaruhi penurunan
janin, maka dilakukan upaya pelahiran janin. Jenis upaya pelahiran tersebut tergantung pada
posisi kepala janin. Bila kepala janin teraba tidak lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau
ujung penonjolan kepala janin berada di bawah station 0, maka janin dapat dilahirkan dengan
ekstraksi vakum atau dengan forseps. Bila kepala janin teraba diantara 1/5 dan 3/5 diatas
simfisi pubis atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diantara station ) dan station -
2, maka janin dilahirkan dengan ekstraksi vakum dan simfisiotomi. Namun jika kepala janin
teraba lebih dari 3/5 diatas simfisi pubis atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada
diatas station -2, maka janin dilahirkan secara seksio sesaria.
I. Komplikasi
Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi, baik bagi ibu maupun bagi anak yang
dilahirkan. Adapun komplikasi yang dapat terjadi akibat persalinan lama antara lain adalah:
Infeksi Intrapartum
Infeksi adalah bahaya serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus lama, terutama
bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri dalam cairan amnion menembus amnion dan
menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu
dan janin. Pneumonia pada janin, akibat as[irasi cairan amnion yang terinfeksi adalah
konsekuensi serius lainnya. Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan
bakteri vagina ke dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama
apabila terjadi persalinan lama.
Ruptura Uteri
Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius selama partus lama,
terutama pada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka dengan riwayat seksio sesarea.
Apabila disproporsi antara kepala janin dan panggul semakin besar sehingga kepala tidak
engaged dan tidak terjadi penurunan, segmen bawah uterus dapat menjadi sangat teregang
kemudian dapat menyebabkan ruptura. Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin retraksi
patologis yang dapat diraba sebagai sebuah krista transversal atau oblik yang berjalan
melintang di uterus antara simfisi dan umbilikus. Apabila dijumpai keadaan ini, diindikasikan
persalinan perabdominam segera.
Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl, yaitu pembentukan cincin
retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini sering timbul akibat persalinan yang terhambat
disertai peregangan dan penipisan berlebihan segmen bawah uterus. Pada situasi semacam
ini, cincin dapat terlihat jelas sebagai suatu identasi abdomen dan menandakan akan
rupturnya seegmen bawah uterus. Pada keadaan ini, kadang-kadang dapat dilemaskan dengan
anestesia umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang seksio
sesarea yang dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih baik.
Pembentukan Fistula
Apabila bagian terbawah janin menekan kuat pintu atas panggul, tetapi tidak maju untuk
jangka waktu yang cukup lama, jalan lahir yang terletak diantaranya dan dninding panggul
dapat mengalami tekanan yang berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis
yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan timbulnya fistula
vesikovaginal, vesikorektal atau rektovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini pada
persalinan kala dua yang berkepanjangan. Dahulu pada saat tindakan operasi ditunda selama
mungkin, penyulit ini sering dijumpai, tetapi saat ini jarang , kecuali di negara-negara yang
belum berkembang.
J. Prognosis
Friedman melaporkan bahwa memanjangnya fase laten tidak memperburuk mortalitas dan
morbiditas janin ataui ibu, namun Chelmow dkk membantah anggapan bahwa pemanjangan
fase laten tidak berbahaya.
3. DISTOSIA BAHU
3.1 Definisi
Distosia bahu adalah persalinan yang memerlukan tambahan manuver obstetri setelah
kegagalan “gentle downward traction” pada kepala bayi untuk melahirkan bahu (ACOG,
2002). Juga adanya patokan waktu antara lahirnya kepala dengan lahirnya badan lebih dari 60
detik, maka dianggap sebagai distosia bahu dan dibutuhkan manuver obstetrik tambahan
(Spong dkk, 1995).
Diartikan sebagai bayi besar berdasarkan berat badan post partum yang berkisar dari
4000 -5000 gram. Bayi yang besar memiliki peningkatan peluang terjadinya distosia
bahu dan sulit diestimasi dengan pemeriksaan Leopold, bahkan pemeriksaan USG
juga tidak akurat dalam menilai berat janin (Hendrix dkk, 2000). USG hanya memiliki
sensitivitas 22-44% dan nilai prediksi positif 30 - 44% dalam menentukan
makrosomia. Dan kebanyakan bayi dengan berat lahir di atas 4000 gram dengan
persalinan pervaginam tidak mengalami distosia bahu (Cluver & Hofmeyr, 2009).
b. Etnisitas
Wanita Afrika-Amerika memiliki peningkatan resiko terjadinya distosia bahu (Cheng
dkk, 2006). Ini dimungkinkan karena kecenderungan memiliki panggul tipe android.
c. Presentasi janin
Posisi occipitoposterior memiliki efek protektif untuk distosia bahu, namun risiko
cedera pleksus brakialis meningkat dalam persalinan dengan occipitoposterior yang
persisten (Cheng dkk, 2006).
d. Kelainan persalinan
Insiden yang lebih tinggi distosia bahu bisa didapatkan pada persalinan kala II lama
yang mungkin berkaitan dengan makrosomia. Distosia bahu lebih sering terjadi pada
persalinan presipitatus (Cluver & Hofmeyr, 2009). Juga banyak dilaporkan pada kala
I lama, partus macet, stimulasi oksitosin, dan persalinan pervaginam dengan tindakan
(RCOG, 2005)
3.3 Diagnosis
Salah satu gambaran yang sering terjadi adalah turtle sign dimana bisa terlihatnya
kepala janin namun juga bisa retraksi (analog dengan kura-kura menarik ke dalam
cangkangnya) dan wajah bayi yang eritematous. Ini terjadi ketika bahu bayi mengalami
impaksi didalam panggul ibu (Mir & Abida, 2010).
Distosia bahu juga dapat dikenali bila didapatkan keadaan :
- Kepala bayi telah lahir, tetapi bahu tertahan dan tidak dapat dilahirkan
- Kepala bayi telah lahir, tetapi tetap menekan vulva dengan kencang
- Dagu tertarik dan menekan perineum
- Traksi pada kepala bayi tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap berada di cranial
simfisis pubis (Broek, 2002).
3.4 Penanganan
Yang paling diutamakan dalam penanganan distosia bahu adalah menghindari “3P”
yaitu :
1. Panic, semua penanganan dilakukan melalui manuver sistematis dan setiap penolong
harus tenang agar dapat mendengar dan mengerti ketika ada permintaan bantuan dan
dapat dengan jelas memimpin ibu untuk kapan mengejan dan kapan tidak mengejan.
2. (Pulling) menarik di kepala / leher - traksi lateral akan meningkatkan resiko
cedera pleksus brakialis.
3. (Pushing) mendorong fundus, karena tidak akan membantu ketika bahu benar-benar
mengalami impaksi dan meningkatkan risiko ruptur uteri. Tekanan dilakukan pada
suprapubik untuk melepaskan impaksi bahu anterior.
6. Episiotomi
Prosedur ini secara tidak langsung membantu penanganan distosia bahu, dengan
memungkinkan penolong untuk meletakkan tangan penolong ke dalam vagina untuk
melakukan manuver lainnya.
7. Roll over on all fours
Langkah ini memungkinkan posisi bayi bisa bergeser dan terjadi disimpaksi bahu
anterior. Hal ini juga memungkinkan akses yang lebih mudah untuk memutar bahu
posterior atau bahkan melahirkannya langsung.
Jika manuver tersebut tidak ada yang berhasil, bisa disarankan untuk mematahkan
klavikula bayi, simpisiotomi, manuver Zavanelli . Bila distosia bahu telah berhasil ditangani,
maka dilakukan :
3.5 Komplikasi
Sekuel dari distosia bahu dan berbagai manuver obstetrik untuk melahirkan bahu bayi
diantaranya adalah : fraktur klavikula, lesi pleksus brachialis, distensi otot
sternocleidomastoid dengan atau tanpa hematoma, paralisis diafragma, sindrom Horner,
asfiksia peripartal dan cerebral palsy serta kematian peripartal. Cedera pleksus brachialis
merupakan komplikasi janin yang paling penting untuk diperhatikan dari distosia bahu,
karena pada beberapa kasus menjadi disfungsi pleksus brachialis permanen (Hruban dkk,
2010).
Komplikasi ibu akibat distosia bahu adalah perdarahan postpartum, laserasi serviks
dan vagina, simpisiolisis dan rupture uterus dan dilakukannya seksio cesaria sekunder akibat
gagalnya prosedur obstetrik atau sebagai kelanjutan manuver Zavanelli's (Hruban dkk, 2010).