Pendahuluan
Hipertensi dalam kehamilan adalah hal yang sering ditemukan dan merupakan penyebab
kematian ketiga setelah perdarahan dan infeksi. Pada tahun 2001, menurut the National Center
for Health Statistics, hipertensi gestasional ditemukan pada 150,000 wanita, atau 3.7% dari
kehamilan (Martin and colleagues,2002). Berg and colleagues (2003) melaporkan bahwa 16%
dari 3201 kematian pada kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1991 sampai 1997 merupakan
komplikasi dari hipertensi selama masa kehamilan. Peneliti juga menemukan bahwa wanita kulit
hitam 3.1 kali berisiko meninggal karena preeclampsia dibanding dengan wanita kulit putih.
Klasifikasi dari hypertensive disorders complicating pregnancy oleh Working Group of the
NHBPEP (2000), terdapat lima jenis penyakit hipertensi antara lain:
1. Gestational hypertension (transcient hypertension): desakan Darah 140/90 mmHg
untuk pertama kalinya pada kehamilan, proteniuria (-) dan desakan darah kembali normal
< 12 minggu pasca persalinanPreeclampsia
2. Preeclampsia ringan: Desakan Darah 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu,
proteniuria 300mg/24jam atau dipstick 1+.
Preeclampsia berat: Desakan Darah 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu,
proteniuria 300mg/24jam atau dipstick 1+, dengan salah satu tanda preeclampsia
berat.
3. Eclampsia : Murni dari pre eclampsia, dan tidak murni dari hipertensi esensial dan
nefritis kronis.
4. Preeclampsia superimposed on chronic hypertension: timbulnya proteinuria
300mg/24jam setelah kehamilan 20 minggu pada wanita hamil yang sudah mengalami
hypertensi sebelumnya.
5. Chronic hypertension: desakan Darah 140/90 mmHg, proteniuria-, sebelum kehamilan
atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca
persalinan
Pertimbangan penting dalam klasifikasi ini adalah membedakan gangguan hipertensi yang
mendahului kehamilan dari preeclampsia yang secara potensial lebih merugikan. Bagaimana
kehamilan memicu atau memperparah hipertensi masih belum terpecahkan walaupun sudah
dilakukan riset intensif selama beberapa dekade. Hipertensi yang dipicu oleh kehamilan juga
dimaksudkan untuk hipertensi yang timbul tanpa proteinuria, termasuk pada wanita nulipara.
Pada wanita nulipara, hipertensi yang dipicu oleh kehamilan juga merupakan prekursor, potensial
untuk preeclampsia atau eklampsia, yang salah satu kriteria diagnosisnya adalah proteinuria.
Hipertensi didiagnosis ketika terjadi peningkatan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih.
Dahulu penentuan diagnosis hipertensi pada wanita hamil adalah peningkatan tekanan sistolik 30
mmHg or 15 mmHg tekanan diastolic, walaupun ketika nilai absolut masih dibawah 140/90 mm
Hg. Kriteria ini sudah lama tidak digunakan lagi karena bukti memperlihatkan bahwa wanita
dalam kelompok ini kecil kemungkinannya mengalami peningkatan gangguan hasil kehamilan
(Levine and co-workers, 2000; North and colleagues, 1999). Namun wanita dalam kondisi
seperti ini tetap harus mendapat pengawasan ketat. Edema sudah tidak digunakan lagi sebagai
kriteria diagnosis karena bisa terjadi pada setiap kehamilan normal.
PEMERIKSAAN
Eklampsia adalah bentuk kelanjutan dari preeclampsia yang disertai dengan keadaan
kejang tonik-klonik (grand mal) yang disusul dengan koma. Kejang di sini bukan akibat kelainan
neurologis (saraf) dan dapat muncul sebelum, selama, dan setelah kehamilan. Namun kejang
yang timbul lebih dari 48 jam postpartum, terutama pada nulipara, dapat dijumpai sampai 10 hari
postpartum. Sedangkan yang dimaksud dengan preeclampsia adalah hipertensi disertai proteinuri
dan edema (penimbunan cairan dalam cairan tubuh sehingga ada pembengkakan pada tungkai
dan kaki) akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.
Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik (kelainan plasenta).
Fatal coma tanpa kejang juga bisa diartikan sebagai eclampsia. Tetapi perlu ada batasan untuk
mendiagnosis wanita dengan kejang dan memperhatikan kematian tanpa kejang yang disebabkan
oleh preeklampsia berat (PEB).1,2
Eklampsia adalah suatu keadaan yang dapat dicegah, dan angka kejadiannya menurun di
Amerika Serikat karena sebagian besar wanita hamil sudah mendapat asuhan prenatal yang
memadai. Eclampsia umumnya terjadi kehamilan trisemester terakhir dan angka kejadiannya
meningkat pada tahap ini.
Oleh sebab itu pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan untuk memastikan bahwa
apakah sebelumnya pasien memang dalam keadaan preeklamsia dan untuk menyingkirkan
penyebab lain kejang yang dialaminya. Berikut ini adalah pemeriksaan-pemeriksaan yang dapat
dilakukan:
I.
Anamnesis
Dari anamnesis diharapkan kita dapat mengumpulkan data sebanyak-banyak tentang
riwayat kesehatan ibu sebelum dan selama kehamilan serta keadaan janin selama
kehamilan, disamping menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menjurus pada
diagnosis.
Anamnesis obstetrik umum:2,3
Riwayat kehamilan sekarang:
Apakah ada penyulit atau penyakit sebelum dan selama kehamilan, seperti
apakah pernah perdarahan, adakah anemia, diabetes, hipertensi, infeksi
saluran kemih, penyakit jantung, dan penyulit lainnya?
Pemeriksaan fisik
i.
Inspeksi
a. Wajah
Adakah edema pada muka, pucat atau merah
b. Leher
Apakah terdapat pembesaran tyroid atau kelenjar limfe
c. Dada
Bentuk payudara, adakah colostrum
d. Perut
Perlu diperhatikan bentuk, pembesaran, pergerakan pernapasan, kondisi
kulit (tebal, kriput dan striae), jaringan parut operasi.
e. Vulva
Keadaan perineum, varises atau condyloma3
ii.
Palpasi
Maksud pemeriksaannya ialah untuk menentukan ;
a. Besarnnya rahim dan dengan ini bisa menentukan umur kehamilan.
b. Menentukan letak anak dalam rahim.
Sebelum dilakukan, kandung kemih dikosongkan terlebih dahulu,karena
kandung kemih yang penuh akan teraba seperti kista. Jikalau perlu pasien
disuruh buang air kecil terlebih dahulu.
Beritahu pasien bahwa perutnya akan diperiksa sehingga perut pasien tidak
menegang dan bernapas biasa, kedua tungkai ditekuk sedikit dan pasien disuruh
bernapas dalam.3
Cara melakukan palpasi ialah menurut Leopold yang terdiri dari 4 bagian ;
a. Leopold I
o Pasien tidur telentang dengan lutut ditekuk
o Pemeriksa
berdiri
disebelah
kanan
posisinya miring)
Dengan kedua
tangan
tentukan
tinggi fundus
o
Dengan satu tangan tentukan bagian
apa dari anak yang terletak dalam
o
fundus
( Kepala berbentuk bulat, keras dan
ada
ballottement.
Bokong
Pada letak lintang dipinggir kanan kiri uterus terdapat kepala atau
bokong. 5
c. Leopold III
o Posisi pasien dan pemeriksa tetap.
o Pemeriksa memakai satu tangan menentukan apa yang menjadi bagian
bawah (kepala atau bokong).
Akhir bulan ke-3 (12 mg) F.U 1-2 Jari diatas symphisis
iii.
Auskultasi
Dilakukan dengan menggunakan stetoskop fetal heart detector (Doppler). Pada
auskultasi bisa didengar bermacam bunyi :
a) Dari anak : bunyi jantung, bising tali pusat, gerakan anak.
b) Dari ibu : bising a. uterina, bising aorta, bising usus.
Bunyi jantung anak dengan Doppler dapat didengar sejak umur kehamilan 12
minggu sedang dengan stetoskop baru didengar pada umur kehamilan 26
minggu. Frekuensi bunyi jantung anak antara 120 - 140 per menit. Frekuensi
jantung orang dewasa antara 60-80 per menit. 5
III.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium6
No
Test Diagnostik
1.
Hemoglobin
Penjelasan
hematokrit
2.
Morfologi
merah
sel
pada
darah tepi
Morfologi
abnormal
eritrosit
Trombosit
4.
serum
Nitrogen
5.
Transaminase serum
Beratnya hipovolemia
6.
7.
Lactic
Dehidrogenase (LDH)
Albumin serum dan
faktor koagulasi
Menggambarkan
kebocoran
endotel
dan
kemungkinan koagulopati
9
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan transabdominal USG ;
Urinalisis
Sebuah kateter Foley diinsersikan ke dalam kandung kemih dalam usaha untuk
mendapatkan contoh urin permulaan dan untuk memantau urin yang keluar.6,7
a. Protein urine
Proteinuria biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal akibat kerusakan glomerulus
dan atau gangguan reabsorpsi tubulus ginjal. Dengan menggunakan spesimen urin
acak, protein dapat diidentifikasi dengan strip reagen atau dipstick. Spesimen urin
yang menunjukkan positif proteinuria perlu mempertimbangkan specimen urin 24
jam untuk uji analisis kuantitatif protein. Jumlah proteinuria dalam 24 jam
digunakan sebagai indikator menilai tingkat keparahan ginjal.
Nilai rujukan :
Spesimen Acak : Negatif : 0-5 mg/dl. Positif : 6-2000 mg/dl
Spesimen 24 jam : 25-150 mg / 24 jam
10
DIAGNOSIS KERJA
11
Protein urine +3
maka diagnosis kerja yang paling mendekati adalah eklampsia, dimana sebelum eklampsia
terjadi pasien berada dalam keadaan preeklamsia berat.
DIAGNOSIS BANDING
1. Preeklampsia Berat 9,10
12
11. Koma
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat
selama perawatan, maka perawatan dibagi menjadi :
1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri dan ditambah pemberian
obat-obatan.
2. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah
pemberian obat-obatan.
Perawatan aktif dilakukan apabila usia kehamilan 37 minggu atau lebih, adanya
ancaman terjadinya impending eklampsia, kegagalan terapi dengan obat-obatan,
adanya tanda kegagalan pertumbuhan janin di dalam rahim, adanya "HELLP
syndrome"
(Haemolysis,
Elevated
Liver
enzymes,
and
Low
Platelet).
13
14
Primigravida
Primipaternernity
Umur yang ekstrim
Partner laki yang pernah menikah wanita yang kemudian hamil
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
m)
preeclampsia
Pemaparan terbatas terhadap sperma
Inseminasi donor dan donor oocyte
Mola Hidatidosa
Kehamilan multiple
Infeksi saluran kencing pada kehamilan
Hydrops fetalis
Riwayat pernah preeclampsia
Obesitas
Antiphospholipid antibodies dan huperhomocysteinemia
dan mengalami
EPIDEMIOLOGI
Amerika Serikat
Kejadian eklamsia dilaporkan berkisar dari 1 dalam 2.000 sampai 1 dalam 3.448 kehamilan di
dunia Barat. Nilai ini meningkat pada populasi sosial ekonomi rendah, pada wanita lebih muda
dari
20
tahun,
kehamilan
multifetal,
dan
pada
mereka
tanpa
antenatal
care.
Diperkirakan, eklamsia terjadi 10% dari kehamilan yang dipengaruhi oleh hipertensi di seluruh
dunia. Kira-kira setengah dari semua gangguan kehamilan hipertensi disebabkan preeklamsi.1
Mortalitas / Morbiditas 2,6
Preeklampsia-eklampsia tingkat fatalitas kasus adalah sekitar 6,4 kasus per 10.000 kasus
saat melahirkan.
15
Kejadian
Komplikasi ibu yang paling signifikan pada eklampsia berhubungan dengan SSP
permanen adalah pendarahan intracranial. Tingkat kematian ibu adalah 8-36% pada kasus
ini.
Angka kematian janin bervariasi 13-30% karena kelahiran prematur dan komplikasinya.
Plasenta infarcts, abrupsio plasenta , dan pertumbuhan janin terhambat intrauterin juga
berkontribusi terhadap kegagalan janin.
Eklampsia biasanya terjadi pada pasien pada kedua usia ekstrem reproduksi, namun
resiko eklampsia yang terbesar ada pada perempuan < 20 tahun. Risiko kematian
meningkat untuk wanita berusia >35 tahun, yang tanpa perawatan kehamilan, dan
perempuan berkulit hitam, kemungkinan besar karena akses yang tidak memadai untuk
perawatan prenatal dan peningkatan insiden penyakit genetik yang berhubungan dengan
sirkulasi antiphospholipids.
Wanita yang telah eklampsia sebelum 28 minggu umur kehamilan juga memiliki resiko
kematian yang lebih tinggi.
PATOFISIOLOGI
Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan
dalam ruang interstitial. Bahwa pada eklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan
konsentrasi prolaktin yang tinggi dari pada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk
mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium. Serta pada eklampsia
permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.
Pada plasenta dan uterus terjadi penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi pertumbuhan janin terganggu sehingga terjadi gawatjanin sampai menyebabkan kematian karena kekurangan oksigenisasi. Kenaikan tonus uterus dan
16
kepekaan terhadap perangsangan sering terjadi pada eklampsia, sehingga mudah terjadi partus
prematurus.
Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun, sehingga
menyebabkan filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan pada ginjal yang penting ialah dalam
hubungan dengan proteinuria dan mungkin dengan retensi garam dan air. Mekanisme retensi
garam dan air akibat perubahan dalam perbandingan antara tingkat filtrasi glomelurus dan
tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Pada kehamilan normal penyerapan ini meningkat
sesuai dengan kenaikan filtrasi glomerulus. Penurunan filtrasi glomelurus akibat spasmus
arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan
retensi garam dan retensi air. Filtrasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari normal, sehingga
menyebabkan diuresis turun pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria atau anuria.
Pada retina tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada beberapa
arteri jarang terlihat perdarahan atau eksudat. Pelepasan retina disebabkan oleh edema
intraokuler dan merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan . Setelah persalinan berakhir,
retina melekat lagi dalam 2 hari sampai 2 bulan. Skotoma, diplopia, dan ambiliopia merupakan
gejala yang menunjukkan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan
aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian penderita eklampsia. Komplikasi
disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri. Perubahan pada otak bahwa resistensi pembuluh
darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih tinggi pada eklampsia. Sehingga aliran
darah ke otak dan pemakaian oksigen pada eklampsia akan menurun.
Metabolisme dan elektrolit yaitu hemokonsentrasi yang menyertai eklampsia sebabnya
terjadi pergeseran cairan dan ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini, diikuti oleh
kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, dan bertambahnya edema, menyebabkan
volume darah berkurang, viskositet darah meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih lama.
Karena itu, aliran darah ke jaringan diberbagai bagian tubuh berkurang akibatnya hipoksia.
Dengan perbaikan keadaan, hemokonsentrasi berkurang, sehingga turunnya hematokrit dapat
dipakai sebagai ukuran perbaikan keadaan penyakit dan berhasilnya pengobatan.
Pada eklampsia, kejang dapat menyebabkan kadar gula darah naik untuk sementara.
Asidum laktikum dan asam organik lain naik, dan bikarbonas natrikus, sehingga menyebabkan
cadangan alkali turun. Setelah kejang, zat organik dioksidasi sehingga natrium dilepaskan untuk
17
dapat bereaksi dengan asam karbonik menjadi bikarbaonas natrikus. Dengan demikian, cadangan
alkali dapat pulih kembali. Pada kehamilan cukup bulan kadar fibrinogen meningkat. Waktu
pembekuan lebih pendek dan kadang-kadang ditemukan kurang dari 1 menit pada eklampsia.
MANIFESTASI KLINIK
Eklampsia dapat terjadi saat antepartum, intrapartum atau postpartum (48 jam
postpartum). Eklampsia paling sering terjadi pada trimester terakhir dan menjadi semakin sering
mendekati aterm.1
Ada 4 fase eklamsia: 1,2
Tonic stage
Serangan kejang biasanya dimulai disekitar mulut dalam bentuk kedutan-kedutan
(twitching) wajah. Setelah beberapa detik, seluruh tubuh menjadi kaku dalam suatu kontraksi
otot generalisata. Fase ini dapat menetap selama 15 sampai 20 detik.
Clonic stage
Mendadak rahang mulai membuka dan menutup secara kuat, dan segera diikuti oleh
kelopak mata. Otot-otot wajah yang lain dan kemudian semua otot melakukan kontraksi dan
relaksasi bergantian secara cepat. Gerakan otot sedemikian kuatnya sehingga wanita yang
bersangkutan dapat terlempar dari tempat tidur dan apabila tidak dilindungi, lidahnya tergigit
oleh gerakan rahang yang hebat. Fase ini dapat berlangsung selama satu menit.
Secara bertahap gerakan otot menjadi lebih lemah dan jarang sampai akhirnya tidak bergerak.
Sepanjang serangan, diafragma terfiksasi dan pernapasan tertahan. Selama beberapa detik,
akan menjadi seolah-olah sekarat akibat henti napas, tetapi kemudian ia menarik napas dalam,
panjang dan berbunyi lalu kembali bernapas.
Stage of coma
Ia kemudian mengalami koma dan tidak akan mengingat serangan kejang tersebut
maupun kejadiaan sesaat sebelum atau sesudah bangkitan kejang. Namun, seiring waktu
ingatan itu akan pulih kembali.
Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang berikutnya yang jumlahnya
dapat bervariasi. Pada kasus yang jarang, kejang terjadi berurutan secara cepat sehingga
18
tampak seperti mengalami kejang yang berkepanjangan dan hampir kontinu. Durasi koma
setelah kejang pun bervariasi. Namun durasi koma yang panjang tidak menyebabkan
kematian. Kematian lebih sering disebabkan oleh bengkitan kejang yang berulang-ulang
Laju pernapasan setelah kejang eklamsia biasanya meningkat dan dapat mencapai
50/menit, mungki sebagai respon terhadap hiperkarbia akibat asidemia laktat serta akibat
hipoksia. Sianosis dapat terjadi pada kasus yang parah. Demam 39 oC atau lebih adalah tanda
yang buruk karena dapat merupakan akibat perdarahan SSP. Bradikardia setelah serangan
kejang dapat terjadi karena hipoksemia dan asidemia laktat akibat kejang. Bradikardia ini
pulih dalam 3-5 menit; apabila menetap > 10 menit, kausa lain perlu dipertimbangkan, missal
solusio plasenta atau bayi akan segera lahir.
Proteinuria hampir selalu ada dan sering parah. Pengeluaran urin kemungkinan besar
berkurang bahkan kadang terjadi anuria. Hemoglobinuria sering dijumpai, tetapi
hemoglobinemia jarang. Edema sering mencolok, kadang-kadang masif, walaupun mungkin
juga tidak ada. Proteinuria dan edema ini biasanya akan menghilang seminggu setelah
melahirkan. Sebagian besar kasus, hipertensi kembali normal dalam beberapa hari sampai 2
minggu setelah melahirkan. Semakin lama hipertensi menetap postpartum, semakin besar
kemungkinan bahwa hipertensi tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal atau vaskuler kronik.
Pada eklampsia antepartum, tanda persalinan dapat muncul segera setelah kejang dan
berkembang cepat, bahkan sebelum petugas medis menyadari bahwa ibu tersebut mengalami
His. Apabila kejang terjadi saat persalinan, frekuensi dan intesitas His dapat meningkat, dan
durasi persalinan dapat memendek.
Edema paru juga dapat terjadi setelah eklamsia. Hal itu disebabkan oleh pneumonitis
aspirasi (akibat inhalasi isi lambung bila kejang disertai muntah) atau gagal jantung (akibat
kombinasi hipertensi berat dan pemberian cairan IV berlebihan).
Pada 10% wanita, sedikit banyak terjadi kebutaan setelah serangan kejang, atau dapat
juga timbul spontan pada preeklamsia. Hal tersebut disebabkan oleh ablasio retina maupun
iskemia, infark atau edema lobus oksipitalis. Gangguan penglihatan ini biasanya tuntas dalam
seminggu.
Sekitar 5% akan mengalami gangguan kesadaran bermakna, termasuk koma menetap
karena edema otak. Sedangkan herniasi unkus transtentorium dapat menyebabkan kematian.
19
Kematian mendadak terjadi bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya diakibatkan
karena perdarahan otak masif.
Fitur eklampsia meliputi:3,4
o
Iritabel dan ibu merasa gelisah dan tidak bisa bertoleransi dengan suara berisik atau
gangguan lainnya
Nyeri perut atau nyeri perut pada bagian ulu hati yang kadang disertai dengan muntah.
TREATMENT
Tujuan pengobatan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Medika Mentosa
Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif eklampsia, merupakan perawatan yang
sangat penting. Tujuan utama pengobatan medikamentosa eklampsia ialah mencegah dan
menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya hipertensi krisis, mencapai
stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan cara
yang tepat.
Obat antikejang
Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama ialah magnesium sulfat. Bila dengan jenis obat ini
kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat jenis lain, misalnya tiopental. Diazepam dapat
dipakai sebagai alternatif pilihan, namun mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi,
21
pemberian diazepam hanya dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman. Pemberian
diuretikum hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma elektrolit. Obat kardiotonika
ataupun obat-obat anti hipertensi hendaknya selalu disiapkan dan diberikan benar-benar atas
indikasi.2,3
Perawatan pada waktu kejang
Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama pertolongan ialah mencegah penderita
mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut. Dirawat di kamar isolasi cukup terang, tidak di
kamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera dapat diketahui. Penderita dibaringkan di tempat
tidur yang lebar, dengan rail tempat tidur harus dipasang dan dikunci dengan kuat.
Selanjutnya masukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita dan jangan mencoba melepas
sudap lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi. Kepala direndahkan dan daerah
orofaring diisap. Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita yang kejang tidak
terlalu kuat menghentak-hentak benda keras di sekitarnya. Fiksasi badan pada tempat tidur
harus cukup kendor, guna menghindari fraktur. Bila penderita selesai kejang-kejang, segera beri
oksigen.1,2
Perawatan koma
Tindakan pertama-tama pada penderita yang jatuh koma (tidak sadar), ialah menjaga dan
mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka. Untuk menghindari terbuntunya jalan napas
atas oleh pangkal lidah dan epiglotis dilakukan tindakan yang sederhana dan cukup efektif dalam
menjaga terbukanya jalan napas atas, ialah dengan manuver head tilt-neck lift, yaitu kepala
direndahkan dan leher dalam posisi ekstensi ke belakang atau head tilt-chain lift, dengan kepala
direndahkan dan dagu ditarik ke atas, atau jaw-thrust, yaitu mandibula kiri kanan
diekstensikan ke atas sambil mengangkat kepala ke belakang. Tindakan ini kemudian dapat
dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngeal airway. penderita koma akan kehilangan refleks
muntah sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi bahan lambung sangat besar. Lambung ibu
hamil harus selalu dianggap sebagai lambung penuh. Oleh karena itu, semua benda yang ada
dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa lendir maupun sisa makanan, harus segera diisap
secara intermiten. Penderita ditidurkan dalam posisi stabil untuk drainase lendir.1,2,3 Monitoring
kesadaran dan dalamnya koma memakai Glasgow Coma Scale. Pada perawatan koma perlu
22
diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita. Pada koma yang lama, bila nutrisi
tidak mungkin; dapat diberikan melalui Naso Gastric Tube (NGT).1,2
Terminasi Kehamilan
Sesar mungkin diperlukan untuk indikasi obstetri atau kondisi ibu yang memburuk. Pasien harus
stabil dan bebas dari kejang, status oksigenasi, dan status hemodinamik juga harus diperhatikan
sebelum inisiasi kelahiran sesar, serta monitor tekanan darah pasien.
Persiapan preoperative
Pasien yang akan menjalani operasi harus melewati tahapan preoperatif. Hal ini merupakan
mekanisme standar awal yang digunakan oleh ahli atau bagian anestesi. Kesalahan atau
kegagalan dalam tahapan ini dapat meningkatkan resiko yang ditanggung oleh pasien baik saat
premedikasi maupun saat operasi dilakukan. Dokter spesialis anestesi harus mengumpulkan data
yang berhubungan dengan risiko tindakan anestesi dan operasi agar persiapan dan tindakan
anestesi dapat disesuaikan dengan risiko tersebut. Pasien yang akan menjalani anestesi dan
pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan
anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan preoperatif. Kunjungan preoperatif
pada bedah elektif umumnya dilakukan 1 2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat
waktu yang tersedia lebih singkat.1,2
Kunjungan preoperatif bertujuan untuk:1,2
1. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat obat anestesi, premedikasi, obat atau alat
resusitasi yang sesuai dengan keadaan fisik dan kehendak pasien, sehingga komplikasi
yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin sehingga mengurangi biaya atau
cost pengobatan.
3. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai
klasifikasi ASA (America Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien
secara umum.
4. Menjelaskan resiko anestesi pada pembedahan dan mengurangi rasa cemas pasien dan
keluarganya.
23
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau keluarga pasien
(alloanamnesis). Yang harus diperhatikan pada anamnesis antara lain:
1. Identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, berat badan, tinggi badan)
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit
dalam anestesi. Tanyakan pada pasien riwayat operasi dan anestesi yang terdahulu,
apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan
intensif pasca bedah, penyakit serius yang pernah dialami, juga mengenai riwayat
diabetes mellitus, penyakit hati, hemoglobinopati, penyakit kardiovaskuler atau sistem
pernafasan. Sehubungan dengan keadaan pasien sekarang, perlu juga ditanyakan toleransi
terhadap olahraga, batuk kronik, dan sesak nafas.
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi.
4. Riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu terutama obat anestesi pada pasien maupun
keluarganya.
5. Riwayat kebiasaan pasien, seperti merokok, minum alkohol atau mengonsumsi narkotika.
Perlu ditanyakan juga makanan dan minuman yang terakhir dimakan pasien karena dapat
mempengaruhi waktu pengosongan lambung.1,2
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan antara lain pemeriksaan tanda-tanda vital, tinggi dan
berat badan, keadaan umum, dan kesadaran. Perhatikan juga jalan nafas bagian atas dan pikirkan
bagaimana penatalaksanaannya selama anestesi. Apakah jalan nafas mudah tersumbat, apakah
intubasi akan sulit atau mudah, apakah pasien ompong atau memakai gigi palsu atau mempunyai
rahang yang kecil yang akan mempersulit laringoskopi. Apakah ada gangguan membuka mulut
atau kekakuan leher, apakah pembengkakan abnormal pada leher yang menekan dorong saluran
nafas bagian atas.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan harus disesuaikan dengan masalah pada pasien yang
ditemukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Rontgen thoraks tidak diperlukan jika tidak
ada gejala abnormal pada dada, tapi pemeriksaan Hb dan Ht sebaiknya rutin dilakukan pada
pasien yang akan menjalani anestesi umum.1 Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan
antara lain pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, serum elektrolit, dan faal
24
hemostasis. Dapat juga dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan radiologi jika
dibutuhkan.
Berdasarkan status fisik pasien preanestesia, ASA (American Society of Anesthesiologist)
membuat klasifikasi yang membagi pasien ke dalam 6 kelompok sebagai berikut:2
Tabel 1: Klasifikasi Status Pasien Preoperatif Menurut American Society of Anesthesiologist2
Kelompok
Keterangan
ASA 1
ASA 2
ASA 3
Pasien
sistemik
dengan
gangguan
sedang
atau
hingga
berat
penyakit
yang
ASA 5
ASA 6
Setelah anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dilakukan dan telah diperoleh
gambaran tentang keadaan pasien secara umum beserta masalah-masalah yang ada, selanjutnya
dibuat rencana pemberian obat dan teknik anestesi yang digunakan. Dengan perencanaan
anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah
dapat dihindari. Rencana anestesi meliputi:
1. Medikasi preanestesi dan Jenis anestesi
25
Jika dilakukan anestesi umum, perhatikan manajemen jalan napas (airway), pemberian
obat induksi, rumatan dan pelemas otot. Jika anestesi yang diberikan anestesi regional,
perhatikan teknik dan zat anestesi yang digunakan.
2. Monitoring intraoperasi
Perhatikan kebutuhan cairan, tanda vital, bising usus dan kesadaran pasien.
3. Monitoring pasca operasi
Meliputi pengendalian nyeri dan pengawasan hemodinamik.2
Medikasi preanestesi
Anastesi
Teknik anestesi pada umumnya dibagi atas teknik anestesi general dan anestesi regional.
Anestesi general bekerja menekan aksis hipotalamus pituitari adrenal sedangkan anestesi
regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke
adrenal. Konsultasi anestesiologi dapat diperoleh dengan evaluasi awal dianjurkan untuk
membantu stabilisasi cardiopulmonary dan untuk mempersiapkan kemungkinan operasi
pengiriman atau endotrakeal intubasi.
Monitoring intraoperasi
Untuk menentukan kebutuhan cairan yang diperlukan, diperlukan data pasien telah
dipuasakan berapa jam. Cairan yang digunakan adalah kristaloid, seperti NaCl, Ringer Laktat
atau Ringer Asetat. Yang pertama dihitung defisit cairan menurut Holliday-segar :
Medikamentosa
Rawat inap
Anti konvulsi
Magnesium sulfat
Beberapa studi telah mengungkapkan bahwa magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk
mengobati kejang eklampsia. Magnesium sulfat berhasil dalam mengendalikan kejang di > 95%
kasus. Obat ini memiliki keuntungan fisiologis untuk janin dengan meningkatkan aliran darah
uterus.
Tujuan terapi magnesium adalah mengakhiri kejang yang sedang berlangsung dan mencegah
kejang lebih lanjut. Pasien harus dievaluasi setiap sekitar 1 jam untuk memastikan bahwa refleks
tendon dan output urin minimal 100 mL selama 4 jam sebelumnya.
Magnesium terapi biasanya berlangsung selama 12-24 jam setelah
melahirkan dan dapat berhenti tergantung pada situasi klinis (misalnya, hipertensi resolusi,
output urin yang memadai).
Fenitoin
Fenitoin adalah salah satu senyawa masuk kedalam golongan hidantoin. Merupakan obat
pilihan utama untuk hampir semua jenis epilepsi.
27
Diazepam
Golongan benzodiazepine ini selain sebagai antiansietas juga sebagai antikonvulsi.
Diazepam juga bebas melintasi plasenta dan berakumulasi dalam sirkulasi janin. Obat ini
digunakan mungkin untuk mengobati aktivitas kejang berulang pada pasien yang sudah
cukup diobati dengan magnesium.
Dosis yang diberikan pada dewasa adalah sebesar 0,2/KgBB/hari, sedangkan untuk dosis
anak 0,15-0,3 mg/KgBB/hari.
Anti hipertensi
Hipertensi terkait dengan eklampsia sering cukup dikontrol dengan menghentikan kejang.
Obat antihipertensi yang digunakan untuk menjaga tekanan darah diastolik < 110 mm Hg.
Terapi anti hipertensi memiliki 2 tujuan utama: (1) mengurangi morbiditas ibu dan
kematian yang terkait dengan serangan, stroke, dan emboli paru, dan (2) berpotensi
mengurangi morbiditas dan kematian janin sekunder untuk keterbatasan pertumbuhan
intrauterine dan abruption plasenta.
Antihipertensi yang paling sering digunakan adalah hidralazin dan nifedipin. Obat-obat
penting yang diuraikan di bawah ini; 12
Hidralazin
Metildopa
28
Jika terdapat gawat janin, atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12
jam maka dilakukan seksio sesarea. Pelaksanaan seksio sesarea harus
memperhatikan: tidak terdapat koagulopati, anestesi yang aman/ terpilih adalah
anestesi umum.
Jika anestesi umum tidak tersedia, atau janin mati, aterm terlalu kecil,
lakukan persalinan pervaginam. Jika serviks matang, lakukan induksi dengan
oksitosin 2-5 IU dalam 500 ml dekstrose 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin.
Secara umum dapat disimpulkan penangan kasus eklamsia adalah sebagai berikut:
1. Hindari dari trauma saat kejang
2. Monitor kebutuhan oksigen ibu dan janin
3. Minimalisasi aspirasi
KOMPLIKASI
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup
dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi di bawah ini biasanya terjadi
pada pre-eklampsia berat dan eklampsia.
1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut
dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia.
2. Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
hipofibrinogenemia, maka dari itu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan fibrinogen
secara berkala.
3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini
merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati
yang sering ditemukan pada penderita autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan
ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
30
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara bisa terjadi selama seminggu.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini merupakan tanda gawat akan
terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan akibat
vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata
juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan dengan
pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP, yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
9. Prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intra-uterin.
31
PENCEGAHAN
Upaya prevensi eklampsia, terutama dianjurkan untuk wanita hamil dengan resiko terhadap
preeklampsia-eklampsia :
1. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda sedini
mungkin (Preeklampsia ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit
tidak menjadi lebih berat.
2. Perubahan gaya hidup
a. Tirah baring : untuk wanita resiko tinggi yang normotensif, dua penelitian yang tidak
begitu kuat menunjukkan bahwa tirah baring, sampai dengan 4 jam sehari di rumah,
dapat menurunkan resiko preeklampsia. Untuk hipertensi gestasional tirah baring di
rumah sakit terbukti dapat menurunkan hipertensi berat dibandingkan aktivitas biasa
di rumah. Di Indonesia tirah baring masih diperlukan pada wanita resiko tinggi,
walaupun belum terbukti dalam mencegah terjadinya eklampsia.
b. Olah raga : Penelitian observasional mengasosiasikan olahraga dengan penurunan
resiko dari eklampsia. Mekanisme potensialnya meliputi penurunan tekanan darah,
kadar lipid darah, dan sitokin proinflamasi. Walaupun tidak ditemukan penelitian
yang menunjukkan pengaruh olahraga untuk pencegahan eklampsia untuk wanita
resiko rendah, olahraga dengan intensitas ringan sampai sedang menguntungkan
untuk alasan kesahatan tubuh secara keseluruhan (11 penelitian yang melibatkan 472
wanita). Dengan ini, olahraga tidak secara khusus menurunkan risiko eklampsia.
3. Diet dan nutrisi
Kalsium 1000-2000 mg/ hari, dapat dipakai sebagai suplemen pada wanita dengan resiko
tinggi terjadinya eklampsia. Efeknya paling terlihat untuk wanita resiko tinggi dan wanita
yang asupan kalsium dalam dietnya rendah. Data terakhir dari WHO trial menyatakan
bahwa pada wanita-wanita dengan diet yang rendah kalsium, asupan kalsium mendukung
penurunan resiko eklampsia yang cukup besar dibanding plasebo. Terdapat pula penurunan
32
resiko untuk eklampsia, hipertensi gestasional berat, dan terjadinya partus sebelum minggu
ke 32.14
Antioksidan ( carotene, CoQ10, N-Acetylcystein, asam lipoik dan terutama vitamin C
dan E ). Eklampsia sering dihubungkan dengan stress oksidative. Namun, pada penelitian
randomized control trial yang dilakukan pada wanita-wanita nullipara dengan resiko
rendah, terapi dengan vitamin C (1000 mg/d) dan vitamin E (400 IU/d) selama 14 22
minggu menunjukkan reduksi pada insidensi dari Eklampsia ( 1 trial, 1877 wanita ).
Penelitian lain menunjukkan bahwa pemberian suplemen vitamin C dan E justru dapat
menurunkan risiko eklampsia.
Mikronutrien lain selain kalsium, defisiensi dari Magnesium, Zinc, dan Piridoxin
berhubungan dengan peningkatan kejadian hipertensi dalam kehamilan dan atau
komplikasinya.
4. Obat-obatan
Obat-obatan anti platelet, terutama aspirin dosis rendah (75100 mg/d ), mengurangi resiko
eklampsia sebesar 19%. Heparin, tunggal atau kombinasi dengan obat antiplatelet, telah
dianjurkan untuk wanita-wanita dengan resiko sangat tinggi, seperti penyakit ginjal dengan
riwayat preeclampsia. Namun, penelitian saat ini masih terlalu kecil untuk mengambil
keputusan.
PROGNOSIS
Sekitar 25% dari wanita dengan eklampsia memiliki hipertensi pada kehamilan berikutnya.11
5% dari pasien dengan hipertensi mengembangkan preeklampsia berat. Sekitar 2% dari wanita
dengan eklampsia mengembangkan eklampsia dengan kehamilan berikutnya. 5
Wanita multipara dengan eklampsia memiliki yang berikut:
Tingkat kematian pada kehamilan berikutnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan primiparous. 6
33
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala perbaikan akan tampak
jelas setelah kehamilan diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir perubahan patofisiologik
akan segera pula mengalami perbaikan (dengan pengecualian cedera serebrovaskular), tekanan
darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian. Diuresis ( > 4 L/hari) merupakan indikator
klinis paling akurat dari menyembuhkan kondisi ini. Eklamsia tidak mempengaruhi kehamilan
berikutnya, kecuali pada janin dari ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin
sangat bergantung pada usia gestasi pada saat kelahiran dan masalah-masalah yang berhubungan
dengan prematuritas.
KESIMPULAN
Dalam rangka menurunkan angka kematian maternal dan perinatal akibat preeklampsiaeklampsia deteksi dini dan penanganan yang adekuat terhadap kasus preeklampsia ringan harus
senantiasa diupayakan.
Penelitian-penilitian sebagai usaha untuk melakukan pencegahan terjadinya eklampsia pada
penderita preeklamsia telah banyak dilakukan, namun sampai saat ini masih belum didapat hasil
yang diharapkan. Baik proteinuria, maupun tekanan darah hingga saat ini tidak jelas peranannya
dalam memperkirakan timbulnya kejang eklampsia ini. Oleh sebab itu, sampai saat ini belum ada
cara mencegah timbulnya preeklampsia yang bila tidak dikontrol dengan baik dapat menjadi
eklampsia.
Tindakan yang dapat dilakukan saat ini adalah mengontrol keadaan pasien agar walaupun sudah
terdeteksi preeklampsia tidak berlanjut dan bertambah parah hingga menimbulkan eklampsia
pada puncaknya. Untuk itulah sangat dibutuhkan kesadaran yang baik dari masyarakat terutama
wanita hamil yang memiliki faktor risiko tinggi terkena preeklampsia agar menjalani
pemeriksaan antenatal secara rutin.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Sofian, A. Sinopsis Obstetri Fisiologi dan Patologi. Jilid 1. Jakarta: EGC; 2002.h.67-179.
2. Angsar, D. Hipertensi dalam Kehamilan. Edisi II. Surabaya: Lab/SMF Obstetri Ginekologi,
Fakultas Kedokteran UNAIR/RSUD Dr Soetomo.
3. Auer, J. Camoin, L. Guillonneau, F. Rigourd, V. Chelbi, S.T. Leduc, M. Laparre, J. dkk. 2010.
Serum profile in preeclampsia and intra-uterine growth restriction revealed by iTRAQ
technology. Journal of Proteomics 73.2010.h.1004-1017.
35
4. Chappel, S. Morgan, L. 2006. Searching for genetic clues to the causes of pre-eclampsia. Clinical
Sience.h. 443-458.
5. Cunningham, F. Leveno, J.K. Bloom, S.L. Hauth, J. Gilstrap, L. Wenstrom, K.D. Hypertensive
disorders in pregnancy. In : Rouse, D. Rainey, B. Spong, C. Wendel, G. Editors. William
Obstetrics. 22nd. Ed. New York: McGraw Hill.h.761-809.
6. Miller DR, Pardo MC. Basics of anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.2011.p.78-81,
319-23.
7. Barash PG, Cullen BF. Clinical anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.2009.p.569-72, 670-74.
36