Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN CVA ICH

(Cerebrovascular Accident : Intracerebral Hemorrhage)


DI RUANG 26 S RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
TAHUN 2018

Oleh :

M. SOFI ILYASA AM

NIM : 2017.04.051

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

TAHUN 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : M. Sofi Ilyasa Am

NIM : 2017.04.051

Judul Laporan Pendahuluan : CVA ICH (Cerebrovascular Accident : Intracerebral


Hemorrhage)
Laporan Pendahuluan CVA ICH (Cerebrovascular Accident : Intracerebral
Hemorrhage) di Ruang 26 Stroke RSSA Malang telah di setujui dan disahkan oleh :

Malang, . . . . . . . . . . . . . . .2018

Mahasiswa

( )

Pembimbing Klinik / CI Pembimbing Institusi

(....................................................) (..............................................)

Kepala Ruangan

(.......................................................)
1. KONSEP PENYAKIT
A. Pengertian
CVA (Cerebro Vascular Accident) merupakan kelainan fungsi otak yang timbul
mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak yang dan
bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja dengan gejala-gejala berlangsung selama 24
jam atau lebih yang menyebabakan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan
bicara, proses berpikir, daya ingat dan bentuk-bentuk kecacatan lain hingga
menyebabkan kematian (Muttaqin, 2013).
Stroke adalah disfungsi neurologis yang umum dan timbul secara mendadak sebagai
akibat dari adanya gangguan suplai darah ke otak dengan tanda dan gejala sesuai dengan
daerah otak yang terganggu (WHO, 1989). Gangguan suplai oksigen ini disebabkan oleh
2 hal, yaitu iskemik (85% kasus) dan hemoragik (15% kasus). Stroke iskemik terjadi
akibat pembuluh darah mengalami sumbatan, sehingga mengakibatkan hipoperfusi pada
jaringan otak. Sedangkan stroke hemoragik terjadi akibat adanya ekstravasasi
darah/perdarahan pada otak (Smeltzer and Barre, 2010).
ICH adalah suatu keadaan perdarahan yang terjadi dalam substansi otak, Perdarahan
yang terjadi biasanya pada pembuluh darah arteri dan berada pada lobus serebral,
ganglia basalis, thalamus, batang otak (terutama pons), serta serebelum. Stroke
perdarahan intraserebral atau perdarahan intraserebral primer adalah suatu sindroma
yang ditandai adanya perdarahan spontan ke dalam substansi otak (Gilroy, 2009).

B. Anatomi Otak dan Peredaran darah


1. Anatomi Otak
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat
komputer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam
rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu :
 Lobus frontalis adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan sulkus sentralis.
 Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi olek karaco
oksipitalis.
 Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus
oksipitalis.
 Oksipitalis, yang mengisi bagian belakang dari serebrum.
Disamping pembagian dalam lobus dapat juga dibagi menurut fungsi dan banyaknya
area. Secara umum korteks serebri dibagi menjadi 4 bagian :
 Korteks Frontalis : Merupakan area motorik yang bertanggung jawab untuk
gerakan-gerakan volunter.
 Korteks Parietalis : Mempunyai peranan utama pada kegiatan memproses dan
mengintergrasi informasi sensorik yang lebih tinggi tingkatnya.
 Lobus Temporalis: Merupakan area sensorik reseptif untuk impuls pendengaran.
Korteks pendengaran primer berfungsi sebagai penerima suara. Korteks asosiasi
pendengaran penting untuk memahami bahasa ucap, dan lesi daerah ini (terutama
pada sisi dominan) dapat mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami
serta mengerti suatu bahasa serta sulit mengulang kata-kata
 Lobus oksipitalis : Mengandung korteks penglihatan primer, menerima informasi
penglihatan dan menyadari sensasi warna.
Salah satu ciri khas otak mengendalikan sensorik dan motorik yaitu bahwa setiap
hemisfer otak terutama mengurus sisi tubuh kontra lateral. ( Prince, Sylvia Anderson,
2004 :922-923)
2. Sirkulasi Peredaran Darah Otak
Otak memperoleh darah dari dua pembuluh darah besar : karotis atau
sirkulasi anterior dan vertebra atau sirkulasi posterior. Masing-masing sistem
terlepas dari arkus aorta sebagai pasangan pembuluh : karotis komunis kanan dan
kiri dan vetebra kanan dan kiri. Masing-masing karotis membentuk bifurkasi untuk
membentuk arteri karotis interna dan eksterna. Arteri vetebra berawal dari arteri
subklavia. Vetebra bergabung membentuk arteri basiler, dan selanjutnya memecah
untuk membentuk kedua arteri serebral posterior yang mensuplai permukaan otak
inferior dan mediana juga bagaian lateral lobus oksipital.
Sirkulasi Willisi adalah area dimana percabangan areti basilar dan karotis
interna bersatu. Sirkulasi terdiri atas dua arteri serebral, arteri komunikans aterior,
kedua arteri serebral posterior, dan kedua arteri komunikans arterior. Jaringan
sirkulasi ini memungkinkan darah bersirkulasi dari satu hemisfer ke hemisfer lain
dan dari bagian anterior ke posterior otak. Ini merupakan sistem yang
memungkinkan sirkulasi kolateral jika satu pembuluh mengalami penyumbatan.
Namun bukanlah hal yang tidak, lazim untuk sebagian pembuluh di dalam Sirkulasi
Willisi mengalami atropi atau bahkan abses. Hal ini bertanggung jawab terhadap
perbedaan klinis diantara pasien dengan lesi yang sama. Misalnya suatu sumbatan
pada arteri karotis pada individu dengan Sirkulasi Willisi pasien sempurna mungkin
benar-benar asimptomatik, tetapi pada mereka dengan Sirkulasi Willisi inkonplit
dapat menunjukkan infark serebral masif. ( Hudak & Gallo, 1996 : 254)
3. Fisiologi Otak
Sistem karotis terutama melayani hemisfer otak dan sistem vertebrabasilaris
terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian posterior hemisfer.
Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama oleh 3 faktor. Dua yang paling
penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem arteri kapiler ke sistem
vena dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor ketiga adalah faktor darah
sendiri yaitu viskositas dan koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku). Dari
faktor pertama, yang penting adalah tekanan darah sistemik (faktor jantung, darah,
pembuluh darah dan lain-lain) dan faktor kemampuan khusus pembuluh darah otak
(arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan berdilatasi bila
tekanan darah sistemik menurun. Daya akomodasi sistem arteriol otak ini disebut
daya otoregulasi pembuluh darah otak yang berfungsi normal bila tekanan sistolik
antara 50 – 150 mmHg.
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga
diantaranya seperti kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap
diameter arteriol. Kadar/tekanan parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta
suasana jaringan yang asam ( pH rendah ), menyebabkan vasodilatasi, sebaiknya
bila tekanan parsial CO2 turun, PO2 naik, atau suasana pH tinggi, maka terjadi
vasokontriksi. Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi ADO.
Sedangkan koagulobilitas yang besar juga memudahkan terjadinya trombosis dan
aliran darah lambat, akibat ADO yang menurun.
Vaskularisasi susunan saraf pusat sangat berkaitan dengan tingkat kegiatan
metabolisme pada bagian tertentu dan ini berkaitan dengan banyak sedikitnya
dendrit dan sinaps di daerah tersebut. Pembuluh darah utama yang mendarahi otak
ialah sepasang arteria karotis interna dan sepasang arteria vertebralis. Dari kedua
sumber pendarah itu akan berhubungan membentuk kolateral yang disebut sirkulus
Willisi. Sistem kolateral juga dijumpai pada pembuluh-pembuluh yang berada di
dalam jaringan otak. Penyaluran darah selanjutnya melalui sistem vena yang akan
bermuara ke dalam sinus duramatris.
Pada permukaan otak, arteri pendarah membentuk anastomosis yang cukup,
sedangkan anastomosis di dalam jaringan otak lebih sedikit. Pembuluh darah dari
arteri permukaan yang menembus/memasuki jaringan otak, secara fungsional dapat
dianggap sebagai end artery. Sistem Karotis . Pembuluh utama ialah arteri carotis
kommunis yang mempercabangkan selain arteria karotis eksterna juga arteri karotis
interna yang akan banyak mendarahi bangunan intrakranial terutama dalam hal ini
ialah hemisferium serebri. Cabang-cabang besar arteria karotis interna adalah: a.
oftalmika, a. komunikans posterior, a. khoroidal anterior, a. serebri anterior, a.
komunikans anterior, a. serebri media. Sistem Vertebrobasiler . Dengan sepasang
arteri vertebralis yang kemudian bersatu menjadi arteri basilaris, akan mendarahi
batang otak dan serebellum dengan tiga kelompok arteri yakni: median, paramedian,
dan arteri sirkumferensial. Arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang a.
serebri posterior

C. Epidemiologi
Stroke masih merupakan masalah medis yang menjadi penyebab kesakitan dan
kematian nomor 2 di Eropa serta nomor 3 di Amerika Serikat. Seperti yang dilaporkan
oleh National Center for Health Statistic pada tahun 2002, 163.538 orang meninggal
akibat stroke, dan setiap 3 menit satu orang meninggal akibat stroke. Sebanyak 10%
penderita stroke mengalami kelemahan yang memerlukan perawatan. Perdarahan
intraserebral dua kali lebih banyak dibanding perdarahan subarakhnoid (PSA) dan lebih
berpotensi menyebabkan kematian atau disabilitas dibanding infark serebri atau PSA
(Broderick dkk, 1999). Sekitar 10% kasus stroke disebabkan oleh PIS. Sumber data dari
Stroke Data Bank (SDB), (Caplan, 2000) menyebutkan bahwa setidaknya 1 dari 10
kasus stroke disebabkan oleh perdarahan parenkim otak. Populasi dimana frekuensi
hipertensinya tinggi, seperti Amerika-Afrika dan orang-orang Cina, Jepang dan
keturunan Thai, memiliki frekuensi yang tinggi terjadinya PIS.

D. Etiologi
Stroke PIS (perdarahan intra serebri) biasanya terjadi pada saat seseorang sedang
aktif bekerja. PIS dapat mengganggu fungsi motorik volunter karena perdarahannya
biasanya terjadi di arteri dalam (arteri cerebri) yang berdekatan dengan ganglia basalis
dan kapsula interna. Gangguan yang terjadi pada PIS biasanya adalah paralisis dan
kerusakan korteks motorik. Beberapa penyebab Perdarahaan Intra Serebrum (PIS):
1. Perdarahan intracerebrum hipertensif
2. Perdarahan subaraknoid (PSA)
- Ruptura aneorisma sakular (berry)
- Ruptura malformasi arteriovena (MAV)
- Trauma

E. Faktor Resiko Pada Stroke


Faktor risiko stroke dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor-faktor yang tidak dapat
diubah dan yang dapat diubah (Bustami, 2007).

Faktor Resiko yang Dapat Faktor Resiko yang Tidak Dapat


dimodifikasi dimodifikasi

- Tekanan darah tinggi - Usia tua


- Merokok - Jenis kelamin (banyak terjadi
- Diabetes Mellitus pada laki-laki)
- Aterosklerosis - Herediter/genetik
- Atrial fibrilasi - Riwayat stroke atau serangan
- Penyakit jantung lain jantung sebelumnya
- Transient ischemic attack
- Kolesterol tinggi
- Obesitas
- Intake alkohol yang tinggi
- Penggunaan obat-obatan
illegal
.
F. Manifestasi Klinis
Gejala CVA sesuai dengan Area arteri yang terkena
hemiparesis dysphasia Perubahan Penurunan ataksia
visual level
kesadaran
Karotid v v v v
Cerebral tengah v v v v
vertebrobasilar v v

Keterangan:

- Hemiparesis : paralisis/kelumpuhan otot pada salah satu sisi tubuh

- Dysphasia : kesulitan dalam mengucapkan atau menyusun kata-kata


- Perubahan visual : perubahan lapang pandang penderita. Contoh lapang
pandang penderita stroke tergantung pada area otak yang mengalami gangguan.
- Penurunan level kesadaran : penurunan Glasgow coma scale
- Ataksia : kegagalan otak untuk mengontrol pergerakan tubuh, sehingga
gerakan tubuh menjadi tidak terkendali
manifestasi jangka pendek manifestasi jangka panjang
- Deteriorasi neurologic - Fungsi motorik terganggu
- Resiko kegagalan respirasi - Apasia
- Emosi labil
- Ketidakmampuan dalam
memenuhi ADL
- Pengabaian unilateral
- Homonymous hemianopsia

Gejala awal pada perdarahan intra serebral,menurut Harsono (1996), yaitu:


1. Naiknya tekanan darah, sefalgia, sinkop sampai hilangnya daya ingat.
2. Fenomena sensorik dan motorik sejenak, perdarahan retina dan epistaksis.
3. Pada perdarahan lambat 24 – 48 jam akan menimbulkan gangguan neurologik pada
klien hipertensi berat mengeluh nyeri kepala dan muntah.
4. Anggota gerak menjauhi dari lesi serebral dan kelumpuhan
a. Pada perdarahan lobar dibagi empat, yaitu:
1. Perdarahan oksipital : defisit medan penglihatan.
2. Perdarahan temporal kiri : Disfasia, nyeri telinga dan hemianopia
3. Perdarahan Frontal : hemiparesis kontralateral dan sefalgia
4. Perdarahan Prietal : Nyeri defisit sensorik dan hemiparesis ringan.
b. Perdarahan thalamus: terjadi afasia, hemiparesis dan hemiplegia
c. Sub thalamus : pupil hidrochepallus obstruktif
d. Ventrikel : terjadi hidrochepalus obstruktif.
e. Perdarahan Putamen : hemiplegia, sefalgia, muntah, sampai penurunan kesadaran.
f. Perdarahan Mesenchephalon: peningkatan tekanan intrakranial mendadak,
menyebabkan koma.
g. Perdarahan Pons : koma dalam keadaan tanpa peringatan nyeri kepala dan
kematian.
Prognosis buruk (5P) yaitu:

1. Paralisis
2. Pulsus Parsus
3. Pinpoint pupil
4. Pyreksia
5. Periode respiration
h. Perdarahan medulla oblongata : Ini jarang terjadi, bila haematoma sub epidermal
dan bila lesi massa akan pulih kembali.
i. Perdarahan serebellum
 Gangguan okulomotor, gangguan keseimbangan
 Nistagmus / singulus
 Tidak dijumpai hemiparesis dan hemiplegia
Peringkat klinik klien berupa gejala berikut:
√ Tingkat I : asimptomatik
√ Tingkat II : nyeri kepala hebat, defisit neurologik, paralysis nervus kranialis.
√ Tingkat III : somnolent dan defisit ringan
√ Tingkat IV : stupor, hemiparesis, hemiplegia, rigiditas awal dan gangguan vegetatif.
√ Tingkat V : koma, rigiditas desebrasi dan meninggal dunia.
G. Pathway
H. Pemeriksaan penunjang
1. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara apesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur.
2. CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti. CT scan
merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS dalam beberapa jam pertama
setelah perdarahan. CT-scan dapat diulang dalam 24 jam untuk menilai stabilitas.

3. Pungsi lumbal
Tekanan yang meningkat dan di sertai dengan bercak darah pada cairan
lumbal menunjukkan adanya haemoragia pada sub arachnoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukan adanya proses inflamasi.
4. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetic untuk menentukan posisi serta
besar/ luas terjadinya perdarahan otak.

5. USG Dopler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis).

6. EEG
Melihat masalah yang timbul dampak dari jaringan yang infark sehingga
menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap
Untuk mengetahui adanya anemia, trombositopenia dan leukositosis
yang dapat menjadi factor risiko stroke hemoragik
b. Pemeriksaan glukosa darah
Untuk mengetahui kadar glukosa darah sebagai sumber bahan bakar
untuk metabolism sel otak. Apabila kadar glukosa darah yang terlalu rendah
maka akan dapat terjadi kerusakan pada jaringan otak
c. Pemeriksaan analisa gas darah
Untuk mengetahui gas darah yang disuplai ke jaringan otak sebagai
sumber untuk metabolisme
d. Pemeriksaan serum elektrolit

e. Pemeriksaan LED (Laju Endap Darah)


Mengetahui adanya hiperviskositas yang dapat menjadi factor risiko
stroke hemoragik
f. Pemeriksaan faal hemostatis
Untuk mengetahui adanya risiko perdarahan sebagai komplikasi dan
pencetus stroke hemoragik
Pemeriksaan Neurologis dan Fisik
Cara Pemeriksaan Saraf Kranial

Mengkaji Kekuatan Otot

Pemeriksaan Reflek
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks
hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)
2 = normal (++)
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)
Refleks-refleks yang diperiksa adalah :
a. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih
300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan
refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari
lutut.
b. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada
tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi
sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan
fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
c. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi
ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar keatas sampai otot-
otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
d. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini
kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan
plantar fleksi kaki.
e. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau
digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.
Bila ada peradangan selaput otak atau di rongga sub arachnoid terdapat benda asing
seperti darah, maka dapat merangsang selaput otak.
1. Kaku kuduk dengan cara : Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala
pasien yang sedang berbaring Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan
agar dagu mencapai dada. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan, bila
terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai dada. Kaku
kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat, kepala tidak
dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang. Pada keadaan yang ringan,
kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu menekukkan kepala.
2. Tanda laseque : Pasien berbaring lurus, lakukan ekstensi pada kedua tungkai.
Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di fleksikan pada sendi panggul.
Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi / lurus. Normal : Jika
kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit atau tahanan. Laseq
(+) = bila timbul rasa sakit atau tahanan sebelum kita mencapai 70
3. Tanda Kerniq : Pasien berbaring lurus di tempat tidur. Pasien difleksikan pahanya
pada sendi panggul sampai membuat sudut 90o, Setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai
sudut 135 o, antara tungkai bawah dan tungkai atas. Tanda kerniq (+) = Bila
terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut 135̊
4. Tanda Brudzinsky I : Pasien berbaring di tempat tidur. Dengan tangan yang
ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala
sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satunya lagi sebaiknya
ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Brudzinsky I (+)
ditemukan fleksi pada kedua tungkai.
5. Tanda Brudzinsky II : Pasien berbaring di tempat tidur.
Satu tungkai di fleksikan pada sendi panggul, sedang
tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan lurus.
Brudzinsky I (+) ditemukan tungkai yang satu ikut pula
fleksi, tapi perhatikan apakah ada kelumpuhan pada tungkai.

I. Penatalaksanaan
Menurut American Hearth Association (AHA), algorithm CVA sebagai berikut :
Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai
berikut:
1. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan:
a. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendir yang
sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
b. Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
2. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
3. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
Pengobatan Konservatif

1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan, tetapi


maknanya :pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi
pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:
1.Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka
arteri karotis di leher.
2.Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling
dirasakan oleh pasien TIA.
3.Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4.Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.
2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk
mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data
dan perumusan diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990)
a) Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan
klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, kognitif,
tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya hidup klien.
(Marilynn E. Doenges et al, 1998)
(a) Data demografi
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, diagnose medis.
(b) Keluhan utama
Didapatkan keluhan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo,
dan tidak dapat berkomunikasi.
(c) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan
separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. (Siti Rochani, 2000)
Sedangkan stroke infark tidak terlalu mendadak, saat istirahat atau bangun pagi,
kadang nyeri copula, tidak kejang dan tidak muntah, kesadaran masih baik.
(d) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia,
riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti
koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan. (Donna D.
Ignativicius, 1995)
(e) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes
militus. (Hendro Susilo, 2000)
(f) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga
sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien
dan keluarga.(Harsono, 1996)
(g) Pola-pola fungsi kesehatan
 Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat
kontrasepsi oral.
 Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya gejala nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut,
kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia
ditandai dengan kesulitan menelan, obesitas (Doengoes, 2000: 291)
 Pola eliminasi
Gejala menunjukkan adanya perubahan pola berkemih seperti
inkontinensia urine, anuria. Adanya distensi abdomen (distesi bladder
berlebih), bising usus negatif (ilius paralitik), pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.(Doengoes, 1998 dan Doengoes,
2000: 290)
 Pola aktivitas dan latihan
Gejala menunjukkan danya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah.
Tanda yang muncul adalah gangguan tonus otot (flaksid, spastis),
paralitik (hemiplegia) dan terjadi kelemahan umum, gangguan penglihatan,
gangguan tingkat kesadaran (Doengoes, 1998, 2000: 290)
 Pola tidur dan istirahat
Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang
otot/nyeri otot
 Pola hubungan dan peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
 Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak
kooperatif.
 Pola sensori dan kognitif
Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/ kekaburan
pandangan, perabaan/sentuhan menurun pada muka dan ekstremitas yang
sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi penurunan memori dan proses
berpikir.
 Pola reproduksi seksual
Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari beberapa
pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis
histamin.
 Pola penanggulangan stress
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena
gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.
 Integritas ego
Terdapat gejala perasaan tak berdaya, perasaan putus asa dengan tanda
emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira,
kesulian mengekspresikan diri (Doengoes, 2000: 290)
 Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak
stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh. (Marilynn E.
Doenges, 2000)
(h) Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum
 Kesadaran: umumnya mengelami penurunan kesadaran
 Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti,
kadang tidak bisa bicara
 Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
 Pemeriksaan integumen
 Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu juga
dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol
karena klien stroke hemoragik harus bed rest 2-3 minggu
 Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
 Rambut : umumnya tidak ada kelainan
 Pemeriksaan kepala dan leher
 Kepala : bentuk normocephalik
 Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi
 Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998)
 Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi,
wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat
penurunan refleks batuk dan menelan, adanya hambatan jalan nafas.
Merokok merupakan faktor resiko.
 Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan
kadang terdapat kembung.
 Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
 Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
 Pemeriksaan neurologi
 Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat gangguan nervus
cranialis VII dan XII central. Penglihatan menurun, diplopia, gangguan
rasa pengecapan dan penciuman, paralisis atau parese wajah.
 Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan
pada salah satu sisi tubuh, kelemahan, kesemutan, kebas, genggaman
tidak sama, refleks tendon melemah secara kontralateral, apraksia
 Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi, hilangnya rangsang
sensorik kontralteral.
 Pemeriksaan refleks
 Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli
dengan refleks patologis.
 Sinkop/pusing, sakitkepala, gangguan status mental/tingkat kesadaran,
gangguan fungsi kognitif seperti penurunan memori, pemecahan
masalah, afasia, kekakuan nukhal, kejang, dll (Jusuf Misbach, 1999,
Doengoes, 2000: 291)
2) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan radiologi
b) Pemeriksaan laboratorium

A. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d interupsi aliran darah, vasospasme
serebral, edema serebral
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d akumulasi sputum akibat penurunan tingkat
kesadaran, penurunan kemampuan batuk, ketidakmampuan mengeluarkan sekret
3. Hambatan mobilitas fisik b/d keterlibatan neuromuskuler kelemahan, parestesia,
kerusakan perseptual/kognitif
4. Defisit perawatan diri b/d kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan
ketahanan, kehilangan kontrol, nyeri, depresi
5. Gangguan komunikasi verbal b/d kerusakan sirkulasi serebral, kehilanga tonus otot
fasial ketidakmampuan berbicara
Rencana Intervensi
1. Resiko Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d interupsi aliran darah,
vasospasme serebral, edema serebral
NOC : Tissue Perfusion
Kriteria hasil:
- Mempertahankan tingkat kesadaran fungsi kognitif dan motorik/sensori.
- Mendemontrasikan tanda-tanda vital stabil.
NIC : Neurologic Monitoring
(1) Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab terjadinya koma atau
menurunnya perfusi jaringan otak.
R/ mempengaruhi intervensi.
(2) Catat status neurologis dan bandingkan dengan keadaan normal.
R/ mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
mengetahui lokasi luas dan kemajuan kerusakan SSP.
(3) Pantau tanda-tanda vital.
R/ reaksi mungkin terjadi oleh karena tekanan / trauma serebral pada daerah vasomotor
otak.
(4) Catat perubahan dalam penglihatan : kebutuhan, gangguan lapang pandang.
R/ gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak yang terkena dan
mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan.
(5) Kaji fungsi bicara jika pasien sadar.
R/ perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari lokasi.
(6) Letakkan kepala engan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis.
R/ menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan
sirkulasi.
(7) Pertahankan keadaan tirah baring : ciptakan lingkungan yan tenang.
R/ aktivitas yang kontinu dapat meningkatkan TIK, istirahat dan ketenangan
diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragik.
(8) Cegah terjadinya mengejan saat defekasi dan pernafasan yang memaksa.
R/ manuver valsava dapat meningkatkan TIK dan memperbesar risiko terjadinya
perdarahan.
(9) Kaji adanya, kegelisahan yang meningkat, peka rangsang dan serangan kejang.
R/ merupakan indikasi adanya meningeal kejang dapat mencerminkan adanya
peningkatan TIK/trauma serebral yang memerlukan perhatian dan intervensi
selanjutnya.
(10) Kolaborasi
- Beri oksigen sesuai indikasi
- Beri obat sesuai indikasi anti koagulasi, antifibrolitik, antihipertensi
- Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi
sekret, penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam klien mampu meningkatkan
dan mempertahankan jalan nafas tetap bersih dan mencegah aspirasi.
NOC : Respiratory Status : Airway Patency
Klriteria hasil:
- Bunyi nafas bersih
- Tidak ada penumpukan sekrest di saluran nafas
- Dapat melakukan batuk efektif
- RR 16-20 x/menit
NIC : Airway Management
Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan nafas Obstuksi dapat terjadi karena akumulasi sekret ata
sisa cairan mukus, perdarahan.
Evaluasi pergerakan dada Pergerakan dada simetris dengan suara nafas dari
dan auskultasi kedua lapang paru-paru mengindikasikan tidak ada sumbatan.
paru.
Ubah posisi setap 2 jam Mengurangi risiko atelektasis.
dengan teratur.
Kolaborasikan: Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena
Aminofisil, alupen, dan relaksasi otot.
bronkosol.

3. Kerusakan mobilitas fisik b/d keterlibatan neuromuskuler kelemahan, parestesia,


kerusakan perseptual/kognitif
Kriteria hasil:
- Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh tak adanya
kontraktur.
- Meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena.
- Mendemonstrasikan teknik yang memungkinkan melakukan aktivitas.
- Mempertahankan integritas kulit.
Intervensi keperawatan
(1) Kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas secara fungsional/luasnya
kerusakan awal dan dengan cara yang teratur.
R/ mengidentifikasi kekuatan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulih.
(2) Ubah posisi pasien setiap 2 jam.
R/ menurunkan risiko terjadinya trauma/iskemia jaringan.
(3) Letakkan pasien pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sehari jika pasien dapat
mentoleransinya.
R/ membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional.
(4) Latih pasien untuk melakukan pergerakan ROM atif dan pasif untuk semua
ekstremitas.
R/ Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah
kontraktur.
(5) Gunakan penyangga dengan ketika pasien berada dalam posisi tegak, sesuai indikasi.
R/ penggunaan penyangga dapat menurunkan resiko terjadinya subluksasi lengan.
(6) Evaluasi penggunaan dari/kebutuhan alat bantu untuk pengaturan posisi .
R/ kontraktur fleksi dapat terjadi akibat dari otot fleksor lebih kuat dibandingkan
dengan otot ekstensor.
(7) Tindakan Kolaborasi
- Berikan tempat tidur khusus sesuai indikasi.
- Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, ambulan pasien
- Berikan obat relaksan otot, antispasmodik, sesuai indikasi.

3. Defisit perawatan diri b/d kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan


ketahanan, kehilangan kontrol, nyeri, depresi
NOC : Self-Care Deficit
Kriteria hasil:
- Mendemonstrasikan teknik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
- Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
- Mengidentifikasi sumber pribadi.
NIC : Self-Care Assistance
(1) Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari.
R/ membantu dalam mengantisipasi pemenuhan kebutuhan secara individual.
(2) Pertahankan dukungan sikap, yang tegas, beri pasien waktu ya cukup untuk
mengerjakan tugasnya.
R/ Pasien akan memerlukan empati tetap perlu untuk mengetahui pemberi asuhan
yang akan membantu pasien secara konsisten.
(3) Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang keutuhannya.
R/ tidak dapat mengatakan kebutuhannya pada fase pemulihan akut tetapi biasanya
dapat mengontrol kembali fungsi sesuai perkembangan proses penyembuhan.
(4) Kolaborasi
- Konsultasikan dengan ahli fisioterapi.
R/ memberikan bantuan untuk mengembangkan rencana terapi dan meng
identifikasikan kebutuhan alat penyokong khusus.
DAFTAR PUSTAKA

Dochterman, Joanne McClaskey. (2004). Nursing Interventions Classification (NIC).


United states of America: Mosby
Johnson, Marion, et.al. (2000). Nursing Outcomes Classification (NOC). United states of
America: Mosby.
Herdman, T. Heather. (2012). Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
Jakarta: salemba medika.
Price, Sylvia A. (2002).Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Bulechek GM, Butcher HW, Dochterman JM. 2008. Nursing Intervention Classification
(NIC) ed5. St Louis: Mosby Elsevier.
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi ed 3. Jakarta: EGC.
Davey, P. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Mitchell, et al. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit ed.7. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S., and Barre, B. 2010. Medical Surgical Nursing. Philadelphia : Davis Comp.
Williams, SH., Hopper. 2003. Understanding Medical Surgical Nursing. Philadelphia:
Davis Comp.

Anda mungkin juga menyukai