Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN CEREBRAL VASCULAR ACCIDENT (CVA), INTRA


CEREBRAL HEMORRAGHIC (ICH) DAN INTRA
VENTRIKULER HEMORRHAGIC (IVH) DI
RUANG GARDENA RSD dr. SOEBANDI
JEMBER

disusun guna memenuhi tugas Program Profesi Ners (P2N)


Stase Keperawatan Bedah

Oleh
Dina Amalia, S.Kep.
NIM 122311101037

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
A. KONSEP TEORI
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Pusat

Gambar 1. Bagian-bagian otak


Sebagian besar otak terdiri dari neuron, glia, dan berbagai sel pendukung.
Otak manusia mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3 pon),
menerima 20% curah jantung, memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh, dan
sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling
banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari
proses metabolisme oksidasi glukosa (Price & Wilson, 2006).
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu cerebrum, cerebellum, brainstem
(batang otak), dan limbic system (sistem limbik).
a. Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama cerebral cortex, forebrain, atau otak depan. Cerebrum membuat manusia
memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan visual. Cerebrum secara terbagi menjadi
4 (empat) bagian yang disebut lobus yaitu lobus frontal, lobus parietal, lobus
occipital dan lobus temporal.
1) Lobus frontal merupakan bagian lobus yang terletak pada bagian depan
cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan,
kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi
penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan
kemampuan bahasa secara umum.
2) Lobus parietal berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan,
sentuhan dan rasa sakit.
3) Lobus temporal berhubungan dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan
informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
4) Lobus occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan
interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Muttaqin, 2008).

Gambar 2. Lobus-lobus pada cerebrum

b. Cerebellum
Cerebellum atau otak kecil adalah bagian dari sistem saraf pusat yang terletak
di bagian belakang tengkorak (fossa posterior cranial). Semua aktivitas pada
bagian ini di bawah kesadaran (involuntary). Fungsi utama cerebelum yaitu
mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot serta mengubah tonus dan
kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
Apabila terjadi cedera pada cerebelum, dapat mengakibatkan gangguan pada
sikap dan koordinasi gerak otot sehingga gerakan menjadi tidak terkoordinasi
(Price dalam Muttaqin, 2008).
c. Brainstem
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan,
denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan
merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari)
saat datangnya bahaya (Puspitawati, 2009).
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1) Mesencephalon atau otak tengah (mid brain) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan cerebrum dan cerebelum. Mesencephalon
berfungsi untuk mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran
pupil mata, mengatur gerakan tubuh, dan fungsi pendengaran.
2) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri
badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla
oblongata mengontrol fungsi involunter otak (fungsi otak secara tidak sadar)
seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
3) Pons disebut juga sebagai jembatan atau bridge merupakan serabut yang
menghubungkan kedua hemisfer serebelum serta menghubungkan midbrain
disebelah atas dengan medula oblongata. Bagian bawah pons berperan dalam
pengaturan pernapasan. Nukleus saraf kranial V (trigeminus), VI (abdusen),
dan VII (fasialis) terdapat pada bagian ini.
d. Limbic system (sistem limbik)
Sistem limbik merupakan suatu pengelompokan fungsional yang mencakup
komponen serebrum, diensefalon, dan mesensefalon. Secara fungsional sistem
limbik berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut.
1) Suatu pendirian atau respons emosional yang mengarahkan pada tingkah laku
individu
2) Suatu respon sadar terhadap lingkungan
3) Memberdayakan fungsi intelektual dari korteks serebri secara tidak sadar dan
memfungsikan batang otak secara otomatis untuk merespon keadaan
4) Memfasilitasi penyimpanan suatu memori dan menggali kembali simpanan
memori yang diperlukan
5) Merespon suatu pengalaman dan ekspresi suasana hati, terutama reaksi takut,
marah, dan emosi yang berhubungan dengan perilaku seksual (Muttaqin,
2008).
e. Meninges
Otak merupakan bagian tubuh yang sangat penting yang dilindungi oleh
tulang tengkorak yang keras, jaringan pelindung, dan cairan otak. Dua macam
jaringan pelindung utama yaitu meninges dan sistem ventrikular. Meninges
terdiri dari tiga lapisan yaitu
1) Durameter
Durameter merupakan lapisan paling luar yang tebal, keras, dan fleksibel
tetapi tidak dapat diregangkan (unstrechable).
2) Arachnoid membran
Arachnoid membran merupakan lapisan bagian tengah yang bentuknya
seperti jaringan laba-laba. Sifat lapisan ini lembut, berongga-rongga, dan
terletak dibawah lapisan durameter.
3) Piameter
Piameter merupakan lapisan pelindung yang terletak pada lapisan paling
bawah (paling dekat dengan otak, sumsum tulang belakang, dan melindungi
jaringan-jaringan saraf lain). Lapisan ini mengandung pembuluh darah yang
mengalir di otak dan sumsum tulang belakang. Antara piameter dan membran
arachnoid terdapat bagian yang disebut dengan subarachnoid space (ruang
sub-arachnoid) yang dipenuhi oleh cairan serebrospinal (CSS) (Puspitawati,
2009).
Gambar 3. Lapisan meninges

2. Sistem Ventrikulus
Otak sangat lembut dan kenyal sehingga sangat mudah rusak. Selain
lapisan meninges, otak juga dilindungi oleh cairan serebrospinal (CSS) di
subarachnoid space. Cairan ini menyebabkan otak dapat mengapung sehingga
mengurangi tekanan pada bagian bawah otak yang dipengaruhi oleh gravitasi dan
juga meilndungi otak dari guncangan yang mungkin terjadi. CSS ini terletak
dalarn ruang-ruang yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Ruang-ruang
ini disebut dengan ventrikel (ventricles). Ventrikel berhubungan dengan bagian
subarachnoid dan juga berhubungan dengan bentuk tabung pada canal pusat
(central canal) dari tulang belakang. Ruang terbesar yang berisi cairan terutama
ada pada pasangan ventrikel lateral (lateral ventricle). Ventrikel lateral
berhubungan dengan ventrikel ketiga (third ventricle) yang terletak di otak bagian
tengah (midbrain). Ventrikel ketiga dihubungkan ke ventrikel keempat oleh
cerebral aqueduct yang menghubungkan ujung caudal ventrikel keempat dengan
central canal. Ventrikel lateral juga membentuk ventrikel pertama dan ventrikel
kedua (Puspitawati, 2009).
a. Definisi CVA, ICH dan IVH
Stroke atau cedera serebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak atau yng biasanya
diakibatkan oleh trombosis, embolisme, iskemia dan hemoragi (Smeltzer, 2002)
Istilah stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap gangguan
neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau berhentinya aliran
darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara
spesifik untuk menjelaskan infark serebrum (Price, 2006).
Berdasarkan klasifikasinya stroke dibagi menjadi stroke hemorragic dan non
hemorragic. Intracerebral Hemorragic (ICH) adalah perdarahan yang terjadi
didalam jaringan otak. Sedangkan Intraventrikular Hemorragic (IVH)
perdarahannya terjadi pada ventrikel (ruang-ruang yang saling berhubungan satu
sama lain yang berisi CSS) pada otak.

Gambar 4. CT Scan ICH


Gambar 5. CT Scan IVH

b. Etiologi
Penyebab CVA salah satunya yaitu terjadinya perdarahan pada serebral.
Perdarahan/hemorragic serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Hemoragi dapat terjadi
diluar durameter (hemoragi ekstradural dan epidural), dibawah durameter
(hemoragi subdural), diruang subarakhnoid (hemoragi subarakhnoid) atau didalam
subtansi otak (hemoragi intraserebral) (Smeltzer, 2002).
Adapun faktor risiko terjadinya stroke hemorragic antara lain:
1) Perokok
2) Penyakit jantung
3) Tekanan darah tinggi
4) Keturunan (keluarga ada yang mengalami stroke)
5) Pernah terserang stroke
6) Pola hidup kurang sehat

c. Tanda dan gejala


1) Jika terjadi peningkatan TIK maka akan didapatkan tanda dan gejala
a. Perubahan tingkat kesadaran : penurunan orientasi dan respons terhadap
stimulus.
b. Perubahan kemampuan gerak ekstrimitas : kelemahan sampai paralysis.
c. Perubahan ukuran pupil : bilateral atau unilateral dilatasi.Unilateral tanda dari
perdarahan cerebral
d. Perubahan tanda vital : nadi rendah, tekanan nadi melebar, nafas irreguler,
peningkatan suhu tubuh.
e. Keluhan kepala pusing
f. Muntah projectile (tanpa adanya rangsangan)
2) Kelumpuhan dan kelemahan
3) Penurunan penglihatan
4) Defisit kognitif dan bahasa (komunikasi)
5) Pelo/disartria
6) Kerusakan Nervus Kranialis
7) Inkontinensia alvi dan uri

d. Patofisiologi
Ada dua bentuk CVA hemorragic yaitu sebagai berikut.
1) Perdarahan intraserebral
Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi mengakibatkan
darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa atau hematom yang
menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema di sekitar otak. Peningkatan
TIK yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang
mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intra cerebral sering dijumpai di
daerah putamen, talamus, sub kortikal, nukleus kaudatus, pon, dan
cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding
permbuluh darah berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
2) Perdarahan sub arachnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisma paling
sering didapat pada percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi willisi.
AVM dapat dijumpai pada jaringan otak dipermukaan pia meter dan ventrikel
otak, ataupun didalam ventrikel otak dan ruang subarakhnoid. Pecahnya arteri
dan keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan tarjadinya
peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehinga
timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda
rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang mendadak juga
mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran.
Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah
serebral. Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya
perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah
minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-
bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis
dengan pembuluh arteri di ruang subarakhnoid. Vasospasme ini dapat
mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran)
maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lain-lain).

e. Penatalaksanaan
Penanganan emergency
a. Kontrol tekanan darah
Rekomendasi dari American Heart Organization/ American Strouke
Association guideline 2009 merekomendasikan terapi tekanan darah bila >
180 mmHg. Tujuan yang ingin dicapai adalah tekanan darah sistolik ≥140
mmHg, dimaksudkan agar tidak terjadi kekurangan perfusi bagi jaringan otak.
Pendapat ini masih kontroversial karena mempertahankan tekanan darah yang
tinggi dapat juga mencetuskan kembali perdarahan. Nilai pencapaian CPP 60
mmHg dapat dijadikan acuan untuk mencukupi perfusi otak yang cukup.
b. Terapi anti koagulan
Dalam 24 jam pertama diagnosa perdarahan serebral ditegakkan dapat
diberikan antikoagulan. Pemberian yang dianjurkan adalah fres frozen plasma
diikuti oleh vitamin K oral. Perhatikan waktu pemberian antikoagulan agar
jangan melebihi 24 jam. Dimasudkan untuk menghindari tejadinya
komplikasi.
Penanganan peningkatan TIK
1) Elevasi kepala 300C
Dimaksudkan untuk melakukan drainage dari vena-vena besar di leher seperti
vena jugularis.
2) Trombolitik
Dimaksudkan untuk mencegah terjadinya clotting yang dapat menyumbat
aliran CSS di sistem ventrikel sehingga menimbulkan hidrosefalus.
Trombolitik yang digunakan sebagai obat pilihan untuk intraventrikular
adalah golongan rt-PA ( recombinant tissue plasminogen activator ). Obat
golongan ini bekerja dengan mengubah plaminogen menjadi plasmin ,
plasmin akan melisis fibrin clot atau bekuan yang ada menjadi fibrin
degradation product. Contoh obat yang beredar adalah alteplase yang
diberikan bolus bersama infus.
3) Pemasangan EVD ( Eksternal Ventrikular Drainage) untuk IVH
External Ventriculo Drainage (EVD) adalah pemasangan kateter kedalam
ventrikel lateral melalui lubang yang dibuat pada tengkorak untuk drainase
cairan serebrospinal yang disebut juga ventrikulostomi. Drainase CSS dari
ventrikulostomi adalah metode sementara untuk mengurangi tekanan
intrakranial secara cepat dan  yang stabil atau selama hidrosefalus akut yang
berkaitan dengan perdarahan sub arakhnoid (sub arachnoid hemorrhage).
Indikasi dilakukannya teknik ini bila didapatkan adanya obstruksi akut
hidrosefalus. Dapat diketahui dengan melakukan penilaian graeb score.
Langkah-langkah :
a) General anestesi
b) Pasien dibersihkan dan diberikan local anestesi infiltrasi
c) Dilakukan insisi pada os parietal atau pada titik kocher’s ( 1 cm anterior
dari sulkus coronarius ).
d) Dilakukan burr holes
e) Dura di insisi lalu digumpalkan bersama dengan piamater
f) Masukkan kateter melalui lubang dan hubungkan dengan eksternal
drain
g) Kemudian tutup insisi
Setelah pemasangan EVD dilakukan dilakukan tindakan pemantauan.
Dilakukan tindakan imaging kepala secara berkala serta pengukuran tekanan
intrakranial. Bila didapatkan adanya pertambahan volume dari perdarahan
serta adanya peningkatan tekanan intrakranial, maka dilakukan tindakan
pemasangan VP shunt.
Rekomendasi AHA Guideline 2009:
a. Pasien dengan nilai GCS <8, dan dengan bukti klinis herniasi transtentorial,
atau dengan IVH yang nyata atau hidrosefalus dipertimbangkan untuk
monitor dan tatalaksana TIK. Cerebral perfusion pressure (CPP) 50-70
mmHg beralasan untuk dipertahankan tergantung dari autoregulasi serebri.
b. Drainase ventrikuler sebagai terapi untuk hidrosefalus beralasan pada pasien
dengan penurunan tingkat kesadaran.
c. Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian bedah
saraf dengan rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculoperitoneal (VP)
Shunt merupakan tehnik operasi yang paling popular untuk tatalaksana
hidrosefalus, yaitu CSS dialirkan dari ventrikel otak ke rongga peritoneum.
Adapun tujuan tindakan VP shunt adalah untuk membuat saluran baru antara
aliran likuor dengan kavitas drainase dan untuk mengalirkan cairan yang
diproduksi di dalam otak ke dalam rongga perut untuk kemudian diserap ke
dalam pembuluh darah.
Adapun cara kerja tindakan VP shunt yaitu :
1) Posisi kepala pasien supine dengan kepala diganjal dengan bantal bulat
(donat).
2) Posisi sedikit head up (15 – 30 derajat)
3) Pasang body strapping (doek steril)
4) Tim operasi melakukan scrubbing, gowning and gloving.
5) Desinfeksi area operasi
6) Drapping area operasi
7) Pasang sterile drapes (opsite)
8) Pasang kauter bipolar, selang suction + canule suction.
9) Injeksi dengan adrenalin 1:200000 pada lokasi insisi.
10) Berikan mess 1 untuk insisi kulit subcutis
11) Berikan mess 2 untuk insisi fat-galea-otot-periosteum.
12) Rawat pendarahan dengan kauter bipolar, irigasi dengan larutan NaCl
saat bipolar difungsikan, sambil dilakukan suction.
13) Berikan respatorium untuk menyisihkan periousteum.
14) Tutup luka insisi kepala sementara dengan kassa basah.
15) Berikan mess 1 untuk insisi kulit abdomen bagian atas.
16) Perdalam insisi sampai dengan fasia (sampai kelihatan fasia).
17) Berikan spaner VP-Shunt untuk memasang ventrikel VP Shunt, dari
kepala-leher-abdomen keluar pada daerah insisi di abdomen.
18) Ujung mandrin VP-Shunt diikat dengan benang Seide no 1.
19) Tarik mandrin VP-Shunt ke atas (bagian insisi kepala).
20) Berikan ventrikel VP-Shunt kemudian diikat dengan benang Seide NO
1 yang sudah dimasukkan dalam soft tissue ( dibawah fat diatas fasia).
21) Seide no 1 ditarik ke bagian bawah (insisi pada abdomen) ventrikel VP-
Shunt sudah masuk dan terhubung dari kepala ke abdomen.
22) Pasang konektor VP-Shunt kemudian di spool dengan NaCl sampai
lancar tidak ada hambatan.
23) Berikan bor set craniotomi untuk bor hole kemudian rawat pendarahan.
24) Berikan desector dan klem pean bengkok untuk ambil sisa tulang.
25) Berikan kauter bipolar untuk cess dura.
26) Berikan speed mess untuk insisi dura.
27) Berikan ventrikel katheter + mandrin dimasukkan ke dalam intra
cerebral sampai keluar cairan (hidrocephalus).
28) Sambung ventrikel katheter dengan ventrikel VP-Shunt.
29) Sambungan difiksasi.
30) Tarik ventrikel VP-Shunt ke arah distal (abdomen).
31) Pastikan aliran cairan pada ventrikel lancar.
32) Berikan pinset anatomis 2 buah + gunting metzenbaum untuk insisi
peritonium ± 1 cm.
33) Masukkan ventrikel VP Shunt kedalam peritoneum.
34) Tutup luka insisi.
35) Berikan benang absorbable untuk jahit fasia, fat pada kepala dan
abdomen.
36) Berikan jahitan benang non-absorbable untuk jahit kulit.
37) Bersihkan luka dengan kassa basah kemudian keringkan.
38) Beri sufratul-kassa-hipafic.
39) Bereskan alat.
40) Operasi selesai.

d. Pemberian obat anti kejang


Pasien yang mempunyai perdarahan pada kepala tidak terkecuali perdarahan
intraventrikel mempunyai risiko tinggi akan terjadinya kejang. Menurut
rekomendasi American Heart Association tahun 2007 pemberian obat anti kejang
seperti Obat Anti Epilepsi pada pasien-pasien dengan perdarahan di otak , dapat
mencegah terjadinya kejang awal (Dey Mahua, 2013)
f. Pemeriksaan penunjang
a. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma.

b. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada


thrombosis, emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau
serangan iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau
perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus
thrombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang
mengalami infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena.
d. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan
pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang
spesifik.
e. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat
pada thrombosis serebral.
Perbedaan Stroke hemorargik dengan iskemik dapat dilakukan dengan
pemeriksaan diagnostik stroke iskemik menurut Dewanto et al (2009) dapat
menggunakan skor stroke Siriraj atau skor stroke Gajah Mada sebagai berikut:
B. PATHWAY
Hipertensi, Kebiasaan Anomali atau Alkoholisme Trauma
aneurisme merokok malformasi PD atau tumor

Pecahnya pembuluh darah otak

Darah masuk ke jaringan otak

Perdarahan intrakranial Volume ventrikuler meningkat

Intracerebral hemorragic Intraventrikuler Hemorragic

Penurunan Peningkatan
kesadaran TIK

Kerusakan Penurunan Risiko Mual dan Nyeri akut Penekanan PD


neuromotorik refleks batuk cidera muntah otak

Bed rest yang


cukup lama Penumpukan Ketidakseimbangan Penurunan suplai
Kelemahan sekret nutrisi kurang dari darah ke otak
otot kebutuhan tubuh
Risiko
Ketidakefektifan Ketidakefektifan
kerusakan bersihan jalan perfusi jaringan
integritas nafas Penatalaksanaan kraniotomi,
Defisit otak
kulit EVD, VP Shunt
perawatan
diri
Hambatan
Luka insisi
mobilitas
pembedahan
fisik

Port de entry
mikroorganisme

Risiko infeksi
C. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Klien: nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat,
pekerjaan, status perkawinan.
b. Riwayat kesehatan: diagnosa medis, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah
dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan,
riwayat penyakit keluarga.
c. Genogram
d. Pengkajian Keperawatan
Penggunaan pengkajian Gordon, yang meliputi 11 aspek yaitu, persepsi
kesehatan & pemeliharaan kesehatan, pola nutrisi/metabolik, pola eliminasi,
pola aktivitas & latihan, pola tidur & istirahat, pola kognitif & perceptual,
pola persepsi diri, pola seksualitas & reproduksi, pola peran & hubungan,
pola manajemen & koping stress, sistem nilai dan keyakinan
e. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum, tanda vital
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata,
telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas, kulit
dan kuku, dan keadaan lokal.
Menurut Muttaqin (2008), data pengkajian yang dapat ditemukan pada
klien yang mengalami cidera otak adalah sebagai berikut:
a) Breathing
Jika terjadi kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinan
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas yang dapat menyebabkan suara nahfas ronkhi pada klien.
b) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia).
c) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan
mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka
dapat terjadi :
1. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori)
2. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia
3. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagusmenyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
7. Pemeriksaan GCS
8. Pemeriksaan saraf kranial
d) Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
urin, dan ketidakmampuan menahan miksi.
e) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan, bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi
alvi.
f) Bone
Klien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan
tonus otot.
f. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
berhubungan dengan perdarahan cerebri, ketidakseimbangan suplai oksigen
dan darah ke otak
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan penumpukan secret, penurunan kesadaran
3. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan
pembuluh darah otak, post prosedur pembedahan
4. Risiko infeksi berhubungan dengan post
prosedur pembedahan
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
kelemahan neuromuscular
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan
penurunan kesadaran dan kelemahan neuromuscular
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial
8. Risiko kerusakan integritas kulit dengan faktor
risiko imobilisasi
9. Risiko cidera dengan faktor risiko penurunan
status kesadaran
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Keperawatan Rasional
Keperawatan
1. Risiko Setelah dilakukan tindakan NIC: Bleeding reduction wound
ketidakefektifan keperawatan....x24 jam pasien 1. Monitor tanda-tanda vital (nadi, 1. Evaluasi kemampuan tubuh
perfusi jaringan menunjukkan perfusi jaringan RR, dan tekanan darah) mengkompensasi perdarahan
otak berhubungan otak yang baik dengan kriteria 2. Berikan posisi elevasi pada area 2. Posisi elevasi area luka
dengan perdarahan hasil: yang mengalami perdarahan mengurangi kecepatan suplai darah
cerebri, 3. Monitor jumlah input dan ke bagian luka
ketidakseimbangan 1. Menunjukkan status output cairan 3. Mengukur regulasi cairan yang
suplai oksigen dan sirkulasi yang baik ditandai diperlukan untuk mengganti
darah ke otak dengan: tekanan systole perdarahan yang keluar
(110-130mmHg), tekanan NIC: peripheral sensation
diastole (<85mmHg), tidak management
ada hipotensiortostatik, 4. Monitor adanya daerah tertentu 4. Menentukan adakah area peka
tidak ada peningkatan yang peka terhadap rangsang rangsang
tekanan intracranial (<15 5. Monitor adanya paratese 5. Mengkaji kemungkinan adanya
mmHg) kelumpuhan
6. Batasi gerakan pada kepala 6. Membatasi area kepala untuk
2. Menunjukkan kemampuan
leher, dan punggung menekan terjadinya cedera pada
kognitif yang baik ditandai
area kepala
dengan dapat
berkomunikasi dengan jelas
sesuai kemampuan,
menuunjukkan kemampuan
perhatian, konsentrasi, dan
oreientasi
3. Menunjukkan fungsi
sensori motori cranial yang
baik ditandai dengan
tingkat kesedaran
membaik, tidak ada
gerakan involunter
NOC: circulation status, tissue
perfusion: cerebral
2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan NIC: Airway management 1. Mengkaji adanya kelainan dalam
bersihan jalan nafas keperawatan ....x24 jam pasien 1. Auskultasi suara nafas, catat fungsi pernafasan pasien
berhubungan memiliki jalan nafas yange adanya suara tambahan 2. Membuka jalan nafas, memberikan
dengan yang paten dengan kriteria 2. Identifikasi pasien perlunya jalan nafas paten buatan
penumpukan hasil: pemasangan alat jalan nafas 3. Memudahkan ventilasi
secret, penurunan buatan 4. Memaksimalkan vetilasi keluar
kesadaran 1. Pasien dapat menunjukkan 3. Buka jalan nafas, gunakan masuknya udara dengan pemberian
suara nafas yang bersih, metode head tilt chin lift atau posisi yang tepat
tidak ada syanosis dan jaw thrust jika perlu 5. Pengeluaran secret untuk membantu
dyspneu (sputum dapat 4. Posisikan pasien untuk membuka jalan nafas
keluar, mampu bernafas memaksimalkan ventilasi 6. Memudahkan pasien mengeluarkan
dengan mudah) 5. Keluarkan secret dengan batuk dahak secara mandiri
2. Pasien menunjukkan jalan atau suction 7. Mempercepat pengeluaran secret
nafas yang paten (klien 6. Ajarkan teknik batuk efektif jika dengan bronkodilator
pasien mampu
tidak merasa tercekik,
7. Berkolaborasi pemberian
irama nafas, frekuensi
bronkodilator jika perlu
nafas 16-20 kali per menit,
tidak ada suara nafas
ronkhi dan wheezing)
3. Nyeri akut Setelah dilakukan tinfakan NIC : Pain management
berhubungan keperawatan selama ...x24 jam 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Mengetahui PQRST pasien dan
dengan penekanan Pasien tidak mengalami nyeri, secara komprehensif termasuk pemilihan tindakan selanjutnya.
pembuluh darah dengan kriteria hasil: lokasi, karakteristik, durasi,
otak, post prosedur 1. Mampu mengontrol nyeri frekuensi, kualitas dan faktor
pembedahan (tahu penyebab nyeri, presipitasi
mampu menggunakan 2. Observasi reaksi nonverbal 2. Reaksi nonverbal menunjukkan
tehnik nonfarmakologi dari ketidaknyamanan tingkat nyeri yang dirasakan pasien
untuk mengurangi nyeri, 3. Bantu pasien dan keluarga 3. Meningkatkan koping adaptif pasien
mencari bantuan) untuk mencari dan
2. Melaporkan bahwa nyeri menemukan dukungan
berkurang dengan 4. Kontrol lingkungan yang dapat 4. Mengurangi nyeri pasien dari segi
menggunakan manajemen mempengaruhi nyeri seperti lingkungan
nyeri suhu ruangan, pencahayaan
3. Mampu mengenali nyeri dan kebisingan
(skala, intensitas, frekuensi 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri 5. Mencegah keparahan nyeri dan
dan tanda nyeri) 6. Kaji tipe dan sumber nyeri komplikasi nyeri
4. Menyatakan rasa nyaman 7. Ajarkan tentang teknik non 6. Menentukan intervensi yang sesuai
setelah nyeri berkurang farmakologi: napas dala, 7. Mengurangi nyeri dari segi non
5. Tanda vital dalam rentang relaksasi, distraksi, kompres farmakologi
normal (TD: 120/80 mmHg, hangat/ dingin
Nadi: 80-100 x/menit, RR: 8. Tingkatkan istirahat
18-24 x/menit, Suhu: 36- 9. Berikan informasi tentang 8. Mengurangi nyeri bertambah
37,5oC) nyeri seperti penyebab nyeri, 9. Meningkatkan koping individu
6. Tidak mengalami gangguan berapa lama nyeri akan dengan meningkatkan pengetahuan
tidur berkurang dan antisipasi pasien
ketidaknyamanan dari
prosedur
10. Kolaborasi pemberian
analgetik untuk mengurangi 10. Mengurangi nyeri dari segi medis.
nyeri.
4. Risiko infeksi NOC : NIC : Control of infection
berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan teknik aseptif 1. Mencegah infeksi
dengan post keperawatan selama ....x24 jam 2. Batasi pengunjung bila perlu 2. Mencegah INOS
prosedur pasien tidak mengalami infeksi 3. Cuci tangan setiap sebelum dan 3. Mengurangi penyebaran virus dari
pembedahan dengan kriteria hasil: sesudah tindakan keperawatan satu tempat ketempat lain
1. Klien bebas dari 4. Gunakan baju, sarung tangan 4. Mencegah adanya INOS
tanda dan gejala infeksi sebagai alat pelindung
2. Menunjukkan 5. Gunakan kateter intermiten 5. Mengurangi risiko infeksi
kemampuan untuk untuk menurunkan infeksi
mencegah timbulnya kandung kencing
infeksi 6. Tingkatkan intake nutrisi 6. Meningkatkan imun pasien
3. Jumlah leukosit 7. Monitor tanda dan gejala infeksi 7. Mengindentifikais adanya infeksi
dalam batas normal sistemik dan lokal sedini mungkin
4. Menunjukkan 8. Inspeksi kulit dan membran 8. Mengetahui tanda-tanda infeksi dan
perilaku hidup sehat mukosa terhadap kemerahan, tindakan pencegahannya
5. Status imun, panas, drainase 9. Mencegah komplikasi infeksi jika
gastrointestinal, 9. Ajarkan pasien dan keluarga tidak ada penanganan secara cepat
genitourinaria dalam batas tanda dan gejala infeksi
normal 10. Kaji suhu pasien setiap 4 10. Mengidentifikasi adanya infeksi
jam secara dini
5. Hambatan Setelah dilakukan tindakan NIC: Exercise therapy: ambulation 1. Mengkaji kebutuhan pasien dalam
mobilitas fisik keperawatan ...x 24 jam pasien 1. Kaji kemampuan pasien dalam intervensi
berhubungan dapat mobilisasi secara mobilisasi 2. Mengvaluasi kemampuan tubuh
dengan kelemahan bertahapa dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda vital sebelum dan pasien untuk melakukan latihan
neuromuskuler sesudah latihan 3. Menambah pemahaman pasien
1. Kemampuan klien dalam
3. Ajarkan pasien tentang teknik tentang ambulasi yang dapat
beraktifitas meningkat
ambulasi dilakukan
2. Mengungkapkan perasaan
4. Ajarkan pasien bagaimana 4. Perubahan posisi yang dilakukan
terkait penigkatan
merubah posisi dan berikan dengan benar mencegah terjadinya
kemampuan berpindah
bantuan jika diperlukan cedera berulang
3. Memperagakan penggunaan
5. Konsultasikan dengan terapi 5. Mengetahui latihan yang dibtuhkan
alat bantu untuk mobilisasi
fisik tentang rencana ambulasi oleh pasien
sesuai kebutuhan
6. Defisit perawatan Setelahh dilakukan tindakan NIC: Self Care Assistance hygiene 1. Menentukan kebutuhan bantuan
diri berhubungan keperawatan…x24 jam pasien 1. Menentukan jumlah dan jenis yang diperlukan pasien
dengan penurunan dapat menunjukkan bantuan yang dibutuhkan pasien 2. Membantu pasien membersihkan
kesadaran dan kemampuan perawatan diri 2. Memfasilitasi pasien untuk area mulut
kelemahan dengan kriteria hasil: hygiene oral 3. Membantu pasien memenuhi
neuromuscular 3. Fasilitasi pasien mandi kebutuhan kebersihan diri mandi
1. Pasien dapat memenuhi
4. Memanatau integritas kulit pasien
kebutuhan ADL amndiri
pasien 4. Mengkaji adanya kerusakan
atau dengan alat bantu
5. Mengajarkan pasien dan integritas kulit pasien
2. Pasein mampu
keluarga tentang menjaga 5. Mengajarkan keluarga untuk
memeprtahankan kebersihan
kebersihan diri pentingnya memenuhi kebutuhan
dan penampilan yang rapi
kebersihan diri pasien
secara mandiri atau dnegan
alat bantu.
4. Discharge Planning
Smeltzer dan Bare (2005) mengatakan bahwa discharge planning yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Perawatan pasien dirumah diperlukan sebagai


bentuk rehabilitasi pasien yang membutuhkan waktu lama, sehingga keluarga
harus siap untuk melakukannya, atau meminta bantuan pada petugas
pelayanan kesehatan
2. Kegiatan terjadwal latihan ROM untuk mencegah
kekakuan sendi
3. Keluarga harus siap untuk menerima pasien yang
mudah lelah, sehingga sering mengalami peka rangsang dan kecewa pada hal-
hal kecil, dan menunjukkan kurang minat pada sesuatu
4. Modifikasi rumah diperlukan untuk membantu
dalam rehabilitasi pasien, misalnya menggunakan pancuran lebih baik dari
pada bak mandi bagi pasien hemiplegia
5. Sumber pendukung bisa dilakukan dnegan
berkumpul bersama komunitas strok untuk meningkatkan koping individu
dalam proses menjalani hidup
6. Mengajarkan keluarga terkait tanda gawat darurat
pasien stroke yaitu terkait komplikasi potensial yaitu tanda vital dan
oksigenasi.
7. Health Education mengenai pencegahan stroke
berulang, dan manajemen sumber penyebab terutama makanan
DAFTAR PUSTAKA
Annibal J david. Periventrikuler hemorrage-intraventrikuler hemorrage. Diunduh
dari : http://emedicine.medscape.com/article/976654-overview, 12
November 2016.
Brust John C.M. current diagnosis & treatment neurology. 2nd edition. United
States: Mc Graw-Hill companies;2012. h.538-9.
Bulechek, Gloria M., et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth
Edition. Mosby Elsevier.
Dey Mahua, Jaffe Jannifer,Stadnik Agniezka, Awad Issam A. External
Ventricular Drainage for Intraventricular Hemorrhage. http://
search.proquest.com/ docview/915051654/ 141C6865433B347F03/3?
accountid=50673, 12 November 2016.
Moorhead, Sue., et al. Tanpa tahun. Nursing Outcomes Classification (NOC).
Mosby Elsevier.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2015. Nursing Diagnosis Definitions and Classification. Wiley-
Blackwell.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorrain M. 2011. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C., dan Bare Brenda G. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai