Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DENGAN GANGGUAN ELIMINASI URINE

OLEH:

NI PUTU NARISKA RAHAYUNI (1102105030)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2012
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi Pengertian
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin
atau bowel (feses).
Eliminasi urine adalah pengeluaran cairan proses pengeluaran ini sangat
tergantung pada fungsi organ-organ eliminasi seperti ginjal, ureter, bladder dan uretra.
Ginjal memindahkan air dari darah dalam bentuk urin. Ureter mengalirkan urine ke
bladder. Dalam bledder urine di tampung sampai mencapai batas tertentu yang
kemudian di keluarkan melalui uretra.
Eliminasi urine adalah proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh yang
berupa cairan yang tergantung dari fungsi ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra.
Sehingga urine dapat keluar dengan baik.
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami
gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine, yaitu tindakan memasukan
selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan
urine.

2. Penyebab/Faktor Predisposisi

a. Pertumbuhan dan Perkembangan


Seorang anak tidak dapat mengontrol pola berkemihnya secara volunter
sampai ia berusia 18-24 bulan. Proses penuaan juga mengganggu proses eliminasi
urin. Masalah mobilitas, kelemahan dan lansia juga mungkin akan mengalami
kehilangan kemampuan untuk merasakan bahwa kandung kemihnya penuh.
Perubahan fungsi ginjal dan kandung kemih juga terjadi seiring dengan proses
penuaan. Kecepatan filtrasi glomerulus menurun disertai penurunan kemampuan
ginjal untuk memekatkan urin, sehingga lansia sering mengalami nokturia
(urinasi berlebihan pada malam hari).
b. Faktor Psikologis
Ansietas dan stress emosional dapat menimbulkan dorongan untuk berkemih
dan frekuensi berkemih meningkat. Ansietas juga dapat membuat individu tidak
mampu berkemih sampai tuntas. Ketegangan emosional membuat relaksasi otot
abdomen dan otot perineum menjadi sulit. Apabila sfingter uretra eksterna tidak
berelaksasi secara total , buang air dapat menjadi tidak tuntas dan terdapat sisa
urin di dalam kandung kemih.
c. Faktor sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Peraturan sosial
mempengaruhi waktu berkemih seperti istirahat sekolah.
d. Kebiasaan pribadi
Privasi dan waktu yang adekuat untuk berkemih. Beberapa individu
memerlukan distraksi seperti membaca untuk rileks.
e. Intake cairan dan makanan
Alkohol mengahambat Anti Diuretik Hormon (ADH) untuk meningkatkan
pembuangan urine, kopi, teh, coklat, cola (mengandung kafein) dapat
meningkatkan pembuangan dan ekskresi urine.
f. Tonus Otot
Lemahnya otot abdomen dan otot dasar panggul merusak kontraksi kandung
kemih dan kontrol sfingter uretra eksterna. Kontrol mikturisi yang buruk dapat
diakibatkan oleh otot yang tidak dipakai, yang merupakan akibat dari lamanya
imobilitas, peregangan otot selama melahirkan, atrofi otot setelah menopause, dan
kerusakan otot akibat trauma.
g. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan system perkemihan dapat mempengaruhi berkemih. Pembatasan
asupan cairan umumnya akan mengurangi haluaran urine.
h. Kondisi Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju ke kandung kemih
menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh
kandung kemih, dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi.
Misalnya diabetes mellitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondisi
neuropatik yang mengubah fungsi kandung kemih. Penyakit juga dapat
memperlambat aktivitas fisik mengganggu kemampuan berkemih. Artritis
reumatoid, penyakit sendi degeneratif, dan parkinson merupakan contoh-contoh
kondisi yang membuat individu sulit mencapai dan menggunakan fasilitas kamar
mandi. Penyakit-penyakit yang menyebabkan kerusakan ireversible pada
glomerulus atau tubulus menyebabkan perubahan fungsi ginjal yang permanen.

i. Obat – obatan
Diuretik mencegah reabsorpsi air dan elektrolit tertentu untuk meningkatkan
haluaran urin. Retensi urin dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik
(mis. atropin), antihistamin (mis. sudafed), antihipertensi (mis. aldomet), dan obat
penyekat beta – adrenergic (mis. Inderal).
j. Prosedur Bedah
Klien post bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan analgetik
narkotik dan anestesi dapat memperlambat laju filtrasi glomerolus, mengurangi
haluaran urin. Anastesi spinalis terutama menimbulkan risiko retensi urin.
Perubahan struktur panggul dan abdomen bagian bawah dapat merusak urinasi
akibat trauma local pada jaringan sekitar. Pembentukandiversi urinarius melalui
pembedahan di daerah kandung kemih atau uretra yang bersifatsementara (kanker
kandung kemih), memiliki stoma untuk mengeluarkan urin.

3. Patofisiologi Terjadinya Penyakit


Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi.
Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal,
ureter, kandung kemih dan uretra.
Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung kemih secara
progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang
kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut refleks
miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini
gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih.
Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa
juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Kandung kemih dipersarafi saraf sakral (S-2) dan (S-3). Saraf sensori dari
kandung kemih dikirim ke medula spinalis (S-2) sampai (S-4) kemudian diteruskan
ke pusat miksi pada susunan saraf pusat. Pusat miksi mengirim signal pada kandung
kemih untuk berkontraksi. Pada saat destrusor berkontraksi spinter interna
berelaksasi dan spinter eksternal dibawah kontol kesadaran akan berperan, apakah
mau miksi atau ditahan. Pada saat miksi abdominal berkontraksi meningkatkan
kontraksi otot kandung kemih, biasanya tidak lebih 10 ml urine tersisa dalam
kandung kemih yang disebut urine residu. Pada eliminasi urine normal sangat
tergantung pada individu, biasanya miksi setelah bekerja, makan atau bangun tidur.
Normal miksi sehari 5 kali.

Gangguan pada eliminasi sangat beragam. Masing-masing gangguan tersebut


disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan trauma yang
menyebabkan cedera medulla spinalis, akan menyebabkan gangguan dalam
mengkontrol urine/inkontinensia urine. Gangguan traumatik pada tulang belakang
bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Kerusakan pusat miksi di
medulla spinalis menyebabkan kerusaan saraf simpatis dan parasimpatis sebagian
atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang
mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spingter internal.
Hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, bekuan darah, dan
batu kencing menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan
terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen. dapat merusak penghantaran
impuls sensorik dan motorik dan meyebabkan kemampuan otot detrusor dan spingter
dalam merespon keinginan tuntuk berkemih menjadi terganggu. Selain itu analgesik
narkotik dan anestesi dapat menyebabkan rusaknya impuls sensorik dan motorik
yang berjalan di antara kandung kemih, medula spinalis, dan otak. Otot kandung
kemih dan otot sfingter juga tidak mampu merepons terhadap keinginan berkemih.

Trauma Operasi pada Adanya bekuan BPH, karsinoma prostat,


tulang abdomen bawah darah/ batu striktur uretra, trauma
belakang uretra
Luka pada medulla Obstruksi saluran Terjadi penyempitan
Terdapat efek anestesi
spinalis (S2-S3) kemih saluran kemih
& analgesik narkotik

kerusaan saraf simpatis dan Impuls sensorik dan


parasimpatis motorik terganggu Pengeluaran urine
terhambat

Kemampuan otot detrusor penimbunan urine di


dalam vesika urinaria
dan spingter untuk
merespon keinginan
berkemih Retensi urine
Kesulitan untuk
mengontrol urinasi

Inkontinensia
urine

Gangguan eliminasi urine


4. Klasifikasi
a. Retensi Urine
Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata di dalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih. Urine terus berkumpul
di kandung kemih, merenggangkan dindingnya sehingga timbul perasaan tegang,
tidak nyaman, nyeri tekan pada simfisis pubis, gelisah, dan terjadi diaphoresis
(berkeringat). Tanda – tanda retensi urine akut ialah tidak adanya haluaran urine
selama beberapa jam dan terdapat distensi kandung kemih. Pada retensi urine
yang berat, kandung kemih dapat menahan 2000 – 3000 ml urine . Retensi terjadi
terjadi akibat obstruksi uretra, trauma bedah, perubahan stimulasi saraf sensorik
dan motorik kandung kemih, efek samping obat dan ansietas.
b. Infeksi Saluran Kemih Bawah
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang didapat di rumah sakit. Penyebab
paling sering infeksi ini ialah dimasukkannya suatu alat ke dalam saluran
perkemihan. Misalnya pemasukkan kateter melalui uretra akan menyediakan rute
langsung masuknya mikroorganisme. Kebersihan perineum yang buruk
merupakan penyebab umum ISK pada wanita. Faktor predisposisi terjadinya
infeksi pada wanita diantaranya adalah praktik cuci tangan yang tidak adekuat ,
kebiasaan mengelap perineum yang salah yaitu dari arah belakang ke depan
setelah berkemih atau defekasi. Klien yang mengalami ISK bagian bawah
mengalami nyeri atau rasa terbakar selama berkemih (disuria).
c. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine ialah kehilangan kontrol berkemih. Klien tidak lagi dapat
mengontrol sfingter uretra eksterna. Lima tipe inkontinensia adalah inkontinensia
fungsional, inkontinensia refleks, Inkontinensia stress, inkontinensia urge, dan
inkontinensia total. Inkontinensia yang berkelanjutan memungkinkan terjadinya
kerusakan pada kulit, sifat urine yang asam mengiritasi kulit. Klien yang tidak
dapat melakukan mobilisasi dan sering mengalami inkontinensia terutama
berisiko terkena luka dekubitus.
d. Enurisis
Merupakan ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang
diakibatkan tidak mampu mengontrol spinter eksterna. Biasanya terjadi pada
anak-anak atau pada orang tua.

5. Gejala Klinis
a. Urgensi : merasakan kebutuhan untuk berkemih
b. Disuria : merasa nyeri atau sulit berkemih
c. Frekuensi : berkemih dengan sering
d. Poliuria : mengeluarkan urine yang banyak
e. Oliguria : haluaran urine yang menurun dibandingkan dengan yang masuk
f. Nokturia : berkemih yang sering pada malam hari
g. Hematuria : terdapat darah dalam urine
h. Dribling (urine yang menetes) : kebocoran/rembesan urine walaupun ada kontrol
terhadap pengeluaran urine
i. Retensi : akumulasi urine di kandung kemih disertai ketidakmampuan
mengosongkan kandung kemih
j. Residu urine : volume urine yang tersisa setelah berkemih (volume 100 ml atau
lebih)

6. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
- Perawat mengkaji kondisi mukosa mulut untuk mengetahui status hidrasi

klien
- Perawat dapat melihat adanya pembengkakan atau lekukan konveks pada
abdomen bagian bawah.
- Perawat mengkaji meatus urinarius untuk melihat adanya rabas, peradangan
dan luka
b. Palpasi
- Perawat mengkaji status hidrasi klien dengan melalui turgor kulit
- Perawat dapat mengkaji adanya nyeri tekan di daerah pinggul pada awal

penyakit pada saat memperkusi sudut kostovertebra (sudut yang dibentuk


oleh tulang belakang dan tulang rusuk ke 12)
- Perawat yang memiliki keterampilan tinggi belajar mempalpasi ginjal
selama proses pemeriksaan abdomen sehingga dapat mengungkapkan
adanya masalah seperti tumor.
- Perawat mempalpasi abdomen bagian bawah, kandung kemih dalam
keadaan normal teraba lunak dan bundar.

c. Perkusi
- Perawat memperkusi sudut kostovertebra, peradangan menimbulkan nyeri

selama perkusi dilakukan.


d. Auskultasi
- Perawat melakukan auskultasi untuk mendeteksi adanya bunyi bruit di
arteri ginjal (bunyi yang dihasilkan dari perputaran aliran darah yang
melalui arteri yang sempit)
- Perkusi pada kandung kemih yang penuh menimbulkan bunyi perkusi yang
tumpul

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Urinalisis
2) Kultur Urine
b. Radiologi
1) Rontgenogram Abdomen
2) Pielogram Intravena
3) Pemindaian (scan) ginjal
4) Computerized Axial Tomography
5) Ultrasound ginjal
6) Sistoskopi
7) Biopsi ginjal
8) Angiografi (arteriogram)

8. Theraphy/Tindakan Penanganan
a. Mempertahankan kebiasaan eliminasi
Perawat mempelajari waktu saat klien berkemih normal, seperti saat bangun
tidur atau sebelum makan. Klien biasanya memerlukan waktu untuk berkemih.
Kebutuhan untuk berespons terhadap keinginan berkemih klien juga merupakan
hal yang penting. Penundaan dalam membantu klien ke kamar mandi dapat
mengganggu proses berkemih normal dan menyebabkan inkontinensia.
b. Penggunaan obat-obatan
Terapi obat-obatan yang diberikan secara tersendiri atau yang bersamaan
dengan terapi lain dapat membantu masalah inkontinesia dan retensi. Terdapat 3
tipe obat-obatan. Satu obat merelaksasi kandung kemih yang mengalami
ketegangan atau spasme sehingga meningkatkan kapasitas kandung kemih. Satu
obat menstimulasi kontraksi kandung kemih sehingga meningkatkan
pengosongan kandung kemih. Dan satu obat lainya menyebabkan relaksasi otot
polos prostat, mengurangi obstruksi pada aliran uretra.
c. Kateterisasi
Kateterisasi kandung kemih dilakukan dengan memasukan selang plastic
atau karet melalui uretra kedalam kandung kemih. Kateter memungkinkan
mengalirnya urine yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol
perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat
yang digunakan untuk mengukur haluan urine per jam pada klien yang status
hemodinamiknya tidak stabil.
d. Pencegahan infeksi
Klien yang dikateterisasi dapat mengalami infeksi melalui berbagai cara.
Mempertahankan drainase urine tertutup, merupakan tindakan yang penting
untuk mengotrol infeksi. System yang rusak dapat menyebabkan masuknya
organism. Daerah yang memiliki resiko ini, adalah daerah insersi kateter,
kantung drainase, clap, dan sambungan antara selang dan kantung. Irigasi dan
instilasi kateter diperlukan untuk mempertahankan kepatenan urine menetap,
kadang-kadang perlu untuk mengirigasi atau membilas kateter.
e. Menguatkan otot dasar panggul
Latihan dasar panggul meningkatkan kekuatan otot dasar panggul yang
terdiri dari kontraksi kelompok otot yang berulang (Burke, 1992)
f. Bladder retraining
Tujuan bladder retraining ialah untuk mengembalikan pola normal
perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih
(AHCPR, 1992)

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian (Data Subjektif dan Objektif)
1) Identitas Pasien
Nama :
Umur :
Alamat :
Pekerjaan :
No. Reg :
Tgl. MRS :
Tgl. Pengkajian :
Dx Medis :
2) Identitas Penanggung Jawab
Nama :
Umur :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Hub. dgn pasien :
3) Riwayat Kesehatan
- Keluhan utama :
- Riwayat penyakit sekarang :
- Riwayat kehamilan dan kelahiran:
- Riwayat kesehatan keluarga:

4) Pengkajian Fungsional Pola Gordon


a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
b. Pola nutrisi dan metabolic
c. Pola cairan dan metabolic
d. Pola istirahat dan tidur
e. Pola aktivitas dan latihan
f. Pola eliminasi
g. Pola persepsi dan kognitif
h. Pola reproduksi dan seksual
i. Pola persepsi dan konsep diri
j. Pola mekanisme koping
k. Pola nilai dan kepercayaan

5) Pengkajian Fisik
- Keadaan umum pasien
- Kesadaran
- Pemeriksaan TTV

6) Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan radiologic

Analisa data:
a. Data subjektif :
- Klien mengatakan sulit untuk berkemih
- Klien merasakan nyeri ketika sedang berkemih
- Klien merasakan perutnya kembung (distensi kandung kemih)
- Klien mengatakan tidak dapat merasakan keinginan berkemih
- Klien mengatakan tidak dapat menghambat berkemih secara volunter
b. Data objektif :
a. Inspeksi
- Mukosa mulut kering
- Terlihat adanya pembengkakan pada abdomen bagian bawah.
b. Palpasi
- Palpasi ginjal selama untuk mengetahui adanya masalah seperti tumor.
- Palpasi abdomen bagian bawah, kandung kemih dalam keadaan normal

teraba lunak dan bundar


c. Auskultasi
- Adanya bunyi bruit di arteri ginjal
- Kandung kemih yang penuh menimbulkan bunyi perkusi yang tumpul
d. Intake dan output cairan
- Kaji intake dan output cairan dalam sehari
- Kaji karakteristik urine (warna , kejernihan, bau)
- Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui ketidakseimbangan cairan

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


- Inkontinensia urine
- Retensi urine
Tujuan dan Kriteria
Diagnosa Intervensi Rasional Evaluasi
hasil

Inkontinensia Setelah diberikan NIC Label: Urinary NIC Label: Urinary S : klien
asuhan keperawatan Incontinence Care Incontinence Care mengatakan sudah
urine reflex
selama ..x24 jam 1. Agar klien bisa mengontrol
berhubungan 1. Jelaskan penyebab mengetahui mengetahui
diharapkan
dari masalah dan mengenai kondisi bagaimana pola
dengan gangguan inkontinensia pada klien
rasional dari dan tujuan dari eliminasi urinenya
neurologis berkurang tindakan yang tindakan yang O : output dan
dilakukan dilakukan intake cairan sudah
ditandai dengan NOC Label: Urinary 2. Untuk mengetahui normal dan
tidak adanya Continence 2. Monitor eliminasi karakteristik dari seimbang (1cc/kg
urine, meliputi haluaran urine BB/jam), frekuensi
sensasi penuh dengan criteria hasil : frekuensi, 3. Untuk melatih dan berkemih yang
pada kandung konsistensi, bau, membiasakan sering pada klien
1. Mengetahui volume, dan warna pasien mengetahui mulai berkurang
kemih keinginan berkemih keinginan A : Urinary
(5) 3. Membantu untuk berkemihnya Incontinence Care
2. Pengosongan meningkatkan/ 4. Sebagai tercapai sebagian
mempertahankan perbandingan P : intervensi
kandung kemih (5)
keinginan berkemih sehingga dapat Urinary
3. Berkemih > 150cc
setiap kali berkemih 4. Instruksikan terlihat perubahan Incontinence Care
(4) yang terjadi pada dilanjutkan
pasien/keluarganya
pasien
untuk mencatat
NIC Label: Urinary
keluaran urine dan
Catheterization
pola eliminasi
1. Agar klien
NIC Label: Urinary mengetahui
Catheterization kegunaan dan
tujuan dari
1. Jelaskan prosedur pemasangan kateter
dan rasional dari 2. Untuk mengetahui
pemasangan kateter apakah terjadi
ketidakseimbangan
dan perubahan
2. Monitor intake dan pada keluaran urine
output cairan
(jumlah, warna,
frekuensi)
Retensi urine Setelah diberikan NIC Label: Urinary NIC Label: Urinary S : klien mengatakan
berhubungan asuhan keperawatan Elimination Elimination perutnya sudah tidak
dengan sumbatan selama ..x24 jam Management Management nyeri
1. Monitor eliminasi 1. Untuk mengetahui O : intake dan output
diharapkan retensi urine
urine meliputi ada atau tidaknya cairan sudah normal
pada klien dapat frekuensi, ketidaknormalan dari dan seimbang
berkurang/teratasi. konsistensi, bau, berkemih klien (1cc/kg BB/jam)
NOC Label: Urinary volume, dan warna 2. Untuk mengetahui A: Urinary
Elimination 2. Identifikasi faktor hal-hal yang Elimination
yang berpengaruh menyebabkan Management
dengan criteria hasil : terhadap inkotinensia inkontinensia tercapai sebagian
3. Anjurkan pasien 3. Agar pasien dapat
1. Pola eliminasi urine untuk segera mengetahui dan P: Urinary
klien (5) merespon dorongan mulai membiasakan Elimination
2. Pengosongan berkemih untuk mengetahui Management
kandung kemih (5) pola berkemihnya dilanjutkan
3. Retensi urine (5) 4. Agar mengetahui
4. Nyeri saat berkemih 4. Catat waktu terakhir interval perkiraan
(5) berkemih berkemih
NOC Label: Symptom selanjutnya
Severity NIC Label: Urinary NIC Label: Urinary
1. ketidaknyamanan (5) Catheterization Catheterization
2. ansietas (5) 1. Agar pasien
3. kegelisahan (5) 1. Jelaskan prosedur mengetahui tujuan
dan rasional dari dari tindakan dan
dapat mengurangi
pemasangan kateter kecemasannya
2. Tetap menggunakan 2. Agar terhindar dari
teknik aseptik paparan mikroba
3. Monitor intake dan yang dapat
menyebabkan
output cairan infeksi
(jumlah, warna, 3. Untuk mengetahui
apakah terjadi
frekuensi) ketidakseimbangan
dan perubahan
pada keluaran urine

DAFTAR PUSTAKA

NANDA International. 2011. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.


Jakarta : EGC.
Dochterman, Joanne M. & Bulecheck, Gloria N. 2004. Nursing Interventions Classification :
Fourth Edition. United States of America : Mosby.
Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcomes Classification : Fourth Edition. United States
of America : Mosby
Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit edisi 6 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Brooker, Chris. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC
Isselbacher, Kurt J., et al. 1999. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
EGC
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai