Anda di halaman 1dari 8

Renungan Sekilas Pertempuran Surabaya

10 November 1945
Dalam telaah tentang peristiwa pertempuran 10
November 1945 yang menjadi Hari Pahlawan,
sejumlah tanda tanya yang muncul terkait latar
belakang peristiwa tersebut muaranya selalu
mengarah kepada satu peristiwa yang
berangkaian satu sama lain yang tidak bisa
dihapuskan salah satunya sebagai pemicu dari
meletusnya Pertempuran 10 November 1945
yang berlangsung selama 100 hari. Pertama,
serbuan balatentara Inggris terhadap kota
Surabaya dari darat, laut dan udara pada 10
November 1945 tidak akan terjadi jika Brigadir Jenderal A.W.S.Mallaby tidak terbunuh pada
tanggal 30 Oktober 1945 saat berusaha mendamaikan pasukan Inggris dengan arek-arek
Surabaya yang terlibat tawuran massal. Kedua, perdamaian yang ditengahi Presiden Soekarno
pada 30 Oktober 1945 itu tidak akan terjadi jika tidak terjadi tawuran massal pada 27 – 28 – 29
Oktober 1945 yang melibatkan seluruh penduduk kota Surabaya melawan pasukan Inggris dari
Brigade ke-49 Mahratta yang membawa korban sekitar 2000 orang tentara Inggris tewas. Dan
ketiga, tawuran massal 27 – 28 -29 Oktober 1945 itu tidak akan terjadi jika pada 22 Oktober
1945 tidak dikumandangkan Resolusi Jihad.

Sepanjang penulisan sejarah pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, memang kita
dapati usaha dari individu-individu dan kelompok-kelompok tertentu yang melakukan berbagai
usaha untuk mempahlawankan diri, sehingga fakta tentang tawuran massal pada 27 – 28 – 29
Oktober 1945 yang tanpa komando dan tanpa komandan itu selalu ditutup-tutupi dan dikecilkan
maknanya. Akibatnya, Resolusi Jihad yang menjadi pembakar semangat penduduk Surabaya
yang terkenal bonek itu tertutupi. Yang lebih aneh, meski pengakuan lisan para perwira TNI dan
pejuang yang terlibat pertempuran 10 November 1945 menyatakan jumlah pasukan Hizbullah,
Sabilillah dan lasykar santri dari Malang, Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Lamongan, Tuban,
bahkan rembang dan Cirebon menjadikan pertahanan Surabaya sulit ditembus pasukan Inggris,
toh dalam buku-buku sejarah fakta itu seperti hilang tersapu angin. Icon Jihad berupa Takbir –
ALLAHU AKBAR — yang dikumandangkan sepanjang pertempuran 10 November 1945
seolah-olah bukan fakta bahwa ada semangat jihad yang mendasari semangat tempur rakyat
maupun militer dalam pertempuran tersebut. Bahkan sebagian pasukan Inggris dari Brigadi ke-
49 Mahratta yang berasal dari Suku Gurkha, membelot dari perintah atasan setelah sadar bahwa
yang mereka hadapi adalah penduduk muslim yang sedang berjihad melawan penjajah.

Lepas dari diakui dan tidak diakuinya peran umat Islam dalam usaha membela Negara Indonesia
lewat Resolusi Jihad yang bermuara pada pecahnya pertempuran 10 November 1945, yang pasti
pemrakarsa Resolusi Jihad itu, KH Hasyim Asy’ari, lewat Keputusan Presiden RI No.29 Tahun
1964 ditetapkan sebagai PAHLAWAN KEMERDEKAAN NASIONAL. Semoga dengan
mengingat peristiwa bersejarah ini, generasi muda Indonesia khususnya dari kalangan
Nahdliyyin senantiasa ingat tentang apa yang disebut sejarah kebangsaan, jihad, bela negara, dan
prinsip-prinsip Islam Ahlussunnah wal-Jama’ah yang tegak di atas keragaman bangsa yang
sangat majemuk ini. Untuk mengetahui riwayat KH Hasyim Asy’ari dan keterlibatan beliau
dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
PERJUANGAN RAKYAT SURABAYA
Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama merupakan rangkaian panjang dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Sebelum Resolusi Jihad, telah muncul Fatwa Jihad, setelahnya, muncul
pertempuran 10 November yang kemudian ditetapkan menjadi hari Pahlawan. Berikut rangkaian sejarah
perjuangan kaum santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, yang kemudian menjadi dasar
lahirnya Hari Santri Nasional 22 Oktober,<> seperti disampaikan oleh Wakil Ketua Umum PBNU H
Slamet Effendy Yusuf dalam konferensi press di gedung PBNU, Senin (19/10).

17 Agustus 1945

Siaran berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Surabaya dan kota-kota lain di Jawa, membawa
situasi revolusioner. Tanpa komando, rakyat berinisiatif mengambil-alih berbagai kantor dan instalasi dari
penguasaan Jepang.

31 Agustus 1945

Belanda mengajukan permintaan kepada pimpinan Surabaya untuk mengibarkan bendera Tri-
Warna untuk merayakan hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina Armgard.

17 September 1945

Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad
bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk
penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan
kemerdekaan bagi umat Islam.

19 September 1945

Terjadi insiden tembak menembak di Hotel Oranje antara pasukan Belanda dan para pejuang
Hizbullah Surabaya. Seorang kader Pemuda Ansor bernama Cak Asy’ari menaiki tiang bendera dan
merobek warna biru, sehingga hanya tertinggal Merah Putih.

23-24 September 1945

Terjadi perebutan dan pengambilalihan senjata dari markas dan gudang-gudang senjata Jepang
oleh laskar-laskar rakyat, termasuk Hizbullah.

25 September 1945

Bersamaan dengan situasi Surabaya yang makin mencekam, Laskar Hizbullah Surabaya dipimpin
KH Abdunnafik melakukan konsolidasi dan menyusun struktur organisasi. Dibentuk cabang-cabang
Hizbullah Surabaya dengan anggota antara lain dari unsur Pemuda Ansor dan Hizbul Wathan.Diputuskan
pimpinan Hizbullah Surabaya Tengah (Hussaini Tiway dan Moh. Muhajir), Surabaya Barat (Damiri
Ichsan dan A. Hamid Has), Surabaya Selatan (Mas Ahmad, Syafi’i, dan Abid Shaleh), Surabaya Timur
(Mustakim Zain, Abdul Manan, dan Achyat).

5 Oktober 1945

Pemerintah pusat membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Para pejuang eks PETA, eks
KNIL, Heiho, Kaigun, Hizbullah, Barisan Pelopor, dan para pemuda lainnya diminta mendaftar sebagai
anggota TKR melalui kantor-kantor BKR setempat.

15-20 Oktober 1945

Meletus pertempuran lima hari di Semarang antara sisa pasukan Jepang yang belum menyerah
dengan para pejuang.
21-22 Oktober 1945

PBNU menggelar rapat konsul NU se-Jawa dan Madura. Rapat digelar di Kantor Hofdsbestuur
Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah membahas situasi
perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Di akhir pertemuan pada
tanggal 22 Oktober 1945 PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad sekaligus menguatkan
fatwa jihad Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.

25 Oktober 1945

Sekitar 6.000 pasukan Inggris yang tergabung dalam Brigade ke-49 Divisi ke-26 India mendarat
di Surabaya. Pasukan ini dipimpin Brigjend AWS. Mallaby. Pasukan ini diboncengi NICA (Netherlands-
Indies Civil Administration).

26 Oktober 1945

Terjadi perundingan lanjutan mengenai genjatan senjata antara pihak Surabaya dan pasukan
Sekutu. Hadir dalam perundingan itu dari pihak Sekutu Brigjend Mallaby dan jajarannya, dari pihak
Surabaya diwakili Sudirman, Dul Arnowo, Radjamin Nasution (Walikota Surabaya) dan Muhammad.

27 Oktober 1945

Mayjen DC.Hawtorn bertindak sebagai Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
untuk Jawa, Madura, Bali dan Lombok menyebarkan pamflet melalui udara menegaskan kekuasaan
Inggris di Surabaya, dan pelarangan memegang senjata selain bagi mereka yang menjadi pasukan Inggris.
Jika ada yang memegangnya, dalam pamflet tersebut disebutkan bahwa Inggris memiliki alasan untuk
menembaknya. Laskar Hizbullah dan para pejuang Surabaya marah dan langsung bersatu menyerang
Inggris. Pasukan Inggris pun balik menyerang, dan terjadi pertempuran di Penjara Kalisosok yang ketika
itu berada dalam penjagaaan pejuang Surabaya.

28 Oktober 1945

Laskar Hizbullah dan Pejuang Surabaya lainnya berbekal senjata rampasan dari Jepang, bambu
runcing, dan clurit, melakukan serangan frontal terhadap pos-pos dan markas Pasukan Inggris. Inggris
kewalahan menghadapi gelombang kemarahan pasukan rakyat dan massa yang semakin menjadi-jadi.

29 Oktober 1945

Terjadi baku tembak terbuka dan peperangan massal di sudut-sudut Kota Surabaya. Pasukan
Laskar Hizbullah Surabaya Selatan mengepung pasukan Inggris yang ada di gedung HBS, BPM, Stasiun
Kereta Api SS, dan Kantor Kawedanan. Kesatuan Hizbullah dari Sepanjang bersama TKR dan Pemuda
Rakyat Indonesia (PRI) menggempur pasukan Inggris yang ada di Stasiun Kereta Api Trem OJS
Joyoboyo.

29 Oktober 1945

Perwira Inggris Kolonel Cruickshank menyatakan pihaknya telah terkepung. Mayjen Hawtorn
dari Brigade ke-49 menelpon dan meminta Presiden Soekarno agar menggunakan pengaruhnya untuk
menghentikan pertempuran. Hari itu juga, dengan sebuah perjanjian, Presiden Soekarno didampingi
Wapres Mohammad Hatta terbang ke Surabaya dan langsung turun ke jalan-jalan meredakan situasi
perang.

30 Oktober 1945

Genjatan senjata dicapai kedua pihak, Laskar arek-arek Surabaya dan pasukan Sekutu-Inggris.
Disepakati diadakan pertukaran tawanan, pasukan Inggris mundur ke Pelabuhan Tanjung Perak dan
Darmo (kamp Interniran), dan mengakui eksistensi Republik Indonesia.
30 Oktober 1945

Sore hari usai kesepakatan genjatan senjata, rombongan Biro Kontak Inggris menuju ke Gedung
Internatio yang terletak disaping Jembatan Merah. Namun sekelompok pemuda Surabaya menolak
penempatan pasukan Inggris di gedung tersebut. Mereka meminta pasukan Inggris kembali ke Tanjung
Perak sesuai kesepakatan genjatan senjata. Hingga akhirnya terjadi ketegangan yang menyulut baku
tembak. Di tempat ini secara mengejutkan Brigjen Mallaby tertembak dan mobilnya terbakar.

31 Oktober 1945

Panglima AFNEI Letjen Philip Christison mengeluarkan ancaman dan ultimatum jika para pelaku
serangan yang menewaskan Brigjen Mallaby tidak menyerahkan diri maka pihaknya akan mengerahkan
seluruh kekuatan militer darat, udara, dan laut untuk membumihanguskan Surabaya.

7-8 November 1945

Kongres Umat Islam di Yogyakarta mengukuhkan Resolusi Jihad Hadratussyaikh KH Hasyim


Asy’ari sebagai kebulatan sikap merespon makin gentingnya keadaan pasca ultimatum AFNEI.

9 November 1945

Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai komando tertinggi Laskar Hizbullah


menginstruksikan Laskar Hizbullah dari berbagai penjuru memasuki Surabaya untuk bersiap menghadapi
segala kemungkinan dengan satu sikap akhir, menolak menyerah. KH Abbas Buntet Cirebon
diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Para komandan resimen yang turut membantu
Kiai Abbas antara lain Kiai Wahab (KH. Abd. Wahab Hasbullah), Bung Tomo (Sutomo), Cak Roeslan
(Roeslan Abdulgani), Cak Mansur (KH. Mas Mansur), dan Cak Arnowo (Doel Arnowo).Bung Tomo
melalui pidatonya yang disiarkan radio membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk
bersiap syahid di jalan Allah SWT.

10 November 1945

Pertempuran kembali meluas menyambut berakhirnya ultimatum AFNEI. Inggris mengerahkan


24.000 pasukan dari Divisi ke-5 dengan persenjataan meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur
dari Jakarta untuk mendukung pasukan mereka di Surabaya. Perang besar pun pecah. Ribuan pejuang
syahid. Pasukan Kiai Abbas berhasil memaksa pasukan Inggris kocar-kacir dan berhasil menembak jatuh
tiga pesawat tempur RAF Inggris
SEJARAH HARI PAHLAWAN 10 NOVEMBER
DAN RESOLUSI JIHAD

“Yang berjasa orang bodoh, tapi yang jadi pahlawan wong pinter. Itu biasa, Gus”,
katanya kepada Gus Dur. Gus dur marah betul dibegitukan. Sampai tahun 90-an NU
masih dinganggap bodoh mereka. Tahun 91, Gus Dur melakukan kaderisasi besar-besaran
anak muda NU.

Membongkar Fakta Sejarah Hari Pahlawan 10 November dan Resolusi Jihad 22 Oktober yang
Disembunyikan. Banyak orang yang tidak paham fakta adanya fatwa resolusi jihad 22 Oktober
1945 karena tidak ditulis dalam buku sejarah di sekolah. Ada apa sebenarnya?
Sejarah pertempuran 10 November yg kemudian dikenal Hari Pahlawan, awalnya tidak ada yang
mau mengakui fatwa & resolusi jihad itu pernah ada. Tulisanya Prof. Ruslan Abdul Gani, yang
ikut terlibat, resolusi jihad disebut tidak pernah ada.
Bung Tomo yang pidato teriak-teriak, dalam bukunya juga tidak pernah menyebutkan bahwa
fatwa & Resolusi Jihad pernah ada. Laporan tulisan mayor Jendral Sungkono juga tidak
menyebut pernah ada fatwa & resolusi jihad.
Karena itu banyak orang menganggap fatwa & resolusi jihad itu hanya dongeng dan ceritanya
orang NU saja. “Di antara elemen bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran dan andil dalam
usaha kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya golongan
pesantren hususnya NU”.
Itu kesimpulan seminar nasional di perguruan tinggi negeri besar di Jakarta tentang perjuangan
menegakkan Negara Republik Indonesia pada tahun 2014. Bahkan dengan sinis salah seorang
menyatakan, “Organisasi PKI, itu saja pernah berjasa. Karena pernah melakukan pemberontakan
tahun 1926 melawan Belanda. NU tidak pernah”. Aneh.
Pandangan ini juga pernah dianut oleh tokoh-tokoh LIPI. Gus Dur juga mengkonfirmasi kalau
sejarah ulama dan Kyai memang sudah lama ingin dilenyapkan. Tahun 1990 ada peringatan 45
tahun pertempuran 10 November. Yang jadi pahlawan besar dalam pertempuran 10 November
diumumkan dari golongan itu.
Yakni orang terpelajar yang berpendidikan tinggi. Nama-nama mereka muncul tersebar di
televisi, koran, dan majalah. “Itu ceritanya, 10 November yang berjasa itu harusnya Kyai Hasyim
Asy’ari dan poro Kyai. Kok bisa yang jadi pahlawan itu wong-wong sosialis?”. Itu komentar
Nyai Sholihah, ibu Gus Dur.
Dari situlah Gus Dur diminta untuk klarifikasi. Lalu Gus Dur klarifikasi, menemui tokoh-tokoh
tua & senior di kalangan kelompok sosialis, mengenai 10 November. Sambil ketawa-ketawa
mereka menjawab, “Yang namanya sejarah dari dulu kan selalu berulang, Gus. Bahwa sejarah
sudah mencatat, orang bodoh itu makanannya orang pintar”.
“Yang berjasa orang bodoh, tapi yang jadi pahlawan wong pinter. Itu biasa, Gus”, katanya
kepada Gus Dur. Gus dur marah betul dibegitukan. Sampai tahun 90-an NU masih dinganggap
bodoh mereka. Tahun 91, Gus Dur melakukan kaderisasi besar-besaran anak muda NU.
Anak-anak santri dilatih mengenal analisis sosial (ansos) dan teori sosial, filsafat, sejarah,
geopolitik, & geostrategi. Semua diajari. Supaya tidak lagi dianggap bodoh. Dan kemudian
berkembang hingga kini. “Saya termasuk yang ikut pertama kali kaderisasi itu. karena itu agak
faham”, kata KH. Agus Sunyoto.
Saat penulis sejarah Indonesia menyatakan fatwa dan resolusi jihad tidak ada, KH. Agus Sunyoto
menemukan tulisan sejarawan Amerika, Frederik Anderson. Dalam tulisanya tentang penjajahan
jepang di Indonesia thn 42 sampai 45, ia menulis begini:
22 Oktober 1945 pernah ada resolusi jihad yg dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
di Surabaya. Tanggal 27 Oktober, Koran Kedaulatan Rakyat juga memuat lengkap resolusi jihad.
Koran Suara Masyarakat di Jakarta, juga memuat resolusi jihad.
Peristiwa ini ada, sekalipun wong Indonesia tidak mau menulisnya, karena menganggap NU
yang mengeluarkan fatwa sebagai golongan lapisan bawah. Sejarah dikebiri. Dokumen-dokumen
lama yang sebagian besar berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jepang, dan sebagainya,
dibongkar.
Patahlah semua anutan doktor sejarah yang menyatakan NU tidak punya peran apa-apa terhadap
kemerdekaan.
Ketika Indonesia pertama kali merdeka 45, kita gak punya tentara. Baru dua bulan kemudian ada
tentara. Agustus, September, lalu pada 5 Oktober dibentuk tentara keamanan rakyat (TKR).
Tanggal 10 Oktober diumumkanlah jumlah tentara TKR di Jawa saja. Ternyata, TKR di Jawa
ada 10 divisi. 1 divisi isinya 10.000 prajurit.
Terdiri atas 3 resimen dan 15 batalyon.
Artinya TKR jumlahnya ada 100.000 pasukan. Itu TKR pertama. Yang nanti menjadi TNI. Dan
komandan divisi pertama TKR itu bernama Kolonel KH. Sam’un, pengasuh pesantren di Banten.
Komandan divisi ketiga masih Kyai, yakni kolonel KH. Arwiji Kartawinata (Tasikmalaya).
Sampai tingkat resimen Kyai juga yang memimpin.
Fakta, resimen 17 dipimpin oleh Letnan Kolonel KH. Iskandar Idris. Resimen 8 dipimpin Letnan
Kolonel KH. Yunus Anis. Di batalyon pun banyak komandan Kyai. Komandan batalyon TKR
Malang misalnya, dipimpin Mayor KH. Iskandar
Sulaiman yang saat itu menjabat Rais Suriyah NU Kabupaten Malang. Ini dokumen arsip
nasional, ada Sekretariat Negara dan TNI.
Tapi semua data itu tidak ada di buku bacaan anak SD/SMP/SMA. Seolah tidak ada peran Kyai.
KH. Hasyim Asy’ari yang ditetapkan pahlawan oleh Bung Karno pun tidak ditulis. Jadi jasa para
Kyai dan santri memang dulu disingkirkan betul dari sejarah berdirinya Republik Indonesia ini.
Waktu itu, Indonesia baru berdiri. Tidak ada duit untuk bayar tentara. Hanya paro Kyai dengan
santri-santri yang menjadi tentara dan mau berjuang sebagai militer tanpa bayaran. Hanya paro
Kyai, dengan tentara-tentara Hizbulloh yang mau korban nyawa tanpa dibayar. Sampai sekarang
pun, NU masih punya tentara swasta namanya Banser, ya gak dibayar. Wkwkwk
Tentara itu baru menerima bayaran pada tahun 1950. Selama 45 sampai perjuangan di tahun 50-
an itu, tidak ada tentara yang dibayar negara. Kalau mau mikir, 10 November Surabaya adalah
peristiwa paling aneh dalam sejarah. Kenapa? Kok bisa ada pertempuran besar yg terjadi setelah
perang dunia selesai 15 Agustus.
Sebelum pertempuran 10 November, ternyata ada perang 4 hari di Surabaya. Tanggal 26, 27, 28,
29 oktober 1945. Kok ‘ujug-ujug’ muncul perang 4 hari di ceritanya gimana? Jawabnya: Karena
sebelum tanggal 26 Oktober, Surabaya bergolak,
setelah ada fatwa resolusi jihad PBNU pada tanggal 22 Oktober. Kini diperingati sbg Hari Santri.
Tentara Inggris sendiri aslinya tidak pernah berfikir akan perang dan bertempur dg penduduk
Surabaya. Perang selesai kok. Begitu pikirnya. Tapi karena masarakat Surabaya terpengaruh
fatwa dan resolusi jihad, mereka siap nyerang Inggris, yang waktu itu mendarat di Surabaya.
Sejarah inilah yang selama ini ditutupi.
Jika resolusi jihad ditutupi, orang yang membaca sekilas peristiwa 10 November akan menyebut
tentara Inggris ‘ora waras’. Ngapain Ngebomi kota Surabaya tanpa sebab? Tapi kalau melihat
rangkaian ini dari resolusi jihad, baru masuk akal. “Oya, marah mereka karena jenderal dan
pasukannya dibunuh arek-arek Bonek Suroboyo”.
Fatwa Jihad muncul krn Presiden Soekarno meminta fatwa kepada PBNU: apa yg harus
dilakukan warga Negara Indonesia kalau diserang musuh mengingat Belanda ingin kembali
menguasai. Bung Karno juga menyatakan bagaimana cara agar Negara Indonesia diakui dunia.
Sejak diproklamasikan 17 Agustus dan dibentuk 18 Agustus, tidak ada satupun negara di dunia
yang mau mengakui.
Oleh dunia, Indonesia diberitakan sebagai Negara boneka bikinan Jepang. Bukan atas kehendak
rakyat. Artinya, Indonesia disebut sebagai negara yang tidak dibela rakyat. Fatwa dan Resolusi
Jihad lalu dimunculkan oleh PBNU. Gara-gara itu, Inggris yang mau datang 25 Oktober tidak
diperbolehkan masuk Surabaya karena penduduk Surabaya sudah siap perang.
Ternyata sore hari, Gubernur Jawa Timur mempersilakan. “Silahkan Inggris masuk tapi di
tempat yang secukupnya saja”. Ditunjukkanlah beberapa lokasi, kemudian mereka masuk.
Tanggal 26 Oktober, ternyata Inggris malah membangun banyak pos-pos pertahanan dengan
karung-karung pasir yang ditumpuk & diisi senapan mesin.
“Lho, ini apa maunya Inggris. Kan sudah tersiar kabar luas kalau Belanda akan kembali
menguasai Indonesia dengan membonceng tentara Inggris”, begitu kata arek-arek. Pada 26
Oktober sore hari, pos pertahanan itu diserang massa. Penduduk Surabaya dari kampung-
kampung keluar ‘nawur’ pasukan inggris. “Ayo ‘tawur…. tawuran..’!”.
Para pelaku mengatakan, itu bukan perang mas, tp tawuran. Kenapa? Gak ada komandanya, gak
ada yg memimpin. “Pokoke wong krungu jihad…. jihad….. Mbah hasyim.. Mbah hasyim…”.
Berduyun-duyun, arek2 Suroboyo sudah, keluar rumah semua dan langsung tawur sambil teriak
‘Allahu Akbar’ dan itu berlangsung 27 Oktober.
Mereka bergerak karena seruan jihad Mbah Hasyim itu disiarkan lewat
langgar-langgar, masjid-masjid, dan spiker-spiker. Pada 28 Oktober, tentara ikut arus arek2, ikut
gelut dengan Inggris. Massa langsung dipimpin tentara. Dalam pertempuran 28 Oktober ini,
1000 lebih tentara Inggris mati dibunuh.
Tapi tentara tidak mau mengakui, karena Indonesia meski sudah merdeka, belum ada yang
mengakui. Itu jadi urusan besar tingkat dunia jika ada kabar tentara Indonesia bunuh Inggris.
Tentara tidak mau ikut campur. Negara belum ada yang mengakui kok sudah klaim bunuh
tentara Inggris. Itu semua ikhtiyar arek-arek Suroboyo kabeh.
Pada 29 Oktober pertempuran itu masih terus terjadi. Inggris akhirnya mendatangkan presiden
Soekarno dan wakil presiden Mohammad Hatta utk mendamaikan. 35. Pada 30 Oktober
ditandatanganilah kesepakatan damai tidak saling tembak-menembak. Yang tanda tangan
Gubernur Jatim juga. Sudah damai, tapi massa kampung tidak mau damai.

Seruan Resolusi Jihad Mbah Hasyim langsung disambut luar biasa

Pada 30 Oktober, akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby digranat arek-arek Suroboyo. Mati
mengenaskan di tangan pemuda Ansor. Ditembak, mobilnya digranat di Jembatan Merah.
Sejarah kematian Mallaby ini tidak diakui oleh Inggris. Ada yang menyebut Mallaby mati
dibunuh secara licik oleh Indonesia. Aneh, jenderal mati tp disembunyikan sebabnya karena
malu.
Inggris marah betul. Masa negara kolonial kalah. Mereka malu & bingung. Perang sudah selesai,
tapi pasukan Inggris kok diserang, jenderalnya dibunuh. Apa ini maksudnya? “Kalau sampai
tanggal 9 Nopember jam 6 sore pembunuh Mallaby tidak diserahkan, dan tanggal itu orang-
orang surabaya masih yang memegang bedil, meriam dst. tidak menyerahkan senjata kepada
tentara Inggris, maka tanggal 10 Nopember jam 6 pagi Surabaya akan dibombardir lewat darat,
laut, dan udara,” begitu amuk jenderal tertinggi Inggris.
Datanglah tujuh kapal perang langsung ke Pelabuhan Tanjung Perak. Meriam Inggris sudah
diarahkan ke Surabaya. Diturunkan pula meriam Howidser yang khusus untuk menghancurkan
bangunan. Satu skuadron pesawat tempur dan pesawat pengebom juga siap dipakai. Surabaya
kala itu memang mau dibakar habis karena Inggris marah kepada pembunuh Mallaby.
Pada 9 November jam setengah empat sore, Mbah Hasyim yang baru pulang usai Konferensi
Masyumi di Jogja sebagai ketua, mendengar kabar arek-arek Suroboyo diancam Inggris. “Fardhu
a’in bagi semua umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilo dari Kota Surabaya untuk membela
Kota Surabaya”. 94 kilo itu- jarak dibolehkannya solat qoshor.
Wilayah Sidoarjo, Kediri, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Jombang datang semua karena dalam
jarak radius 94 kilo. Dari Kediri, Lirboyo ini datang dipimpin Kyai Mahrus. Seruan Mbah
Hasyim langsung disambut luar biasa. Bahkan Cirebon yang lebih dari 500 kilo datang- ke
Surabaya ikut seruan jihad PBNU.
Anak-anak kecil bahkan orang-orang dari lintas agama juga ikut perang. Orang Konghucu,
Kristen, dan Budha semua ikut jihad. Selain Mallaby, pertempuran di Surabaya Brigadir jendral:
Loder Saimen. Luar biasa pengorbanan arek-arek Surabaya, para Kyai, dan santri. Tapi lihat, apa
yg dilakukan pemerintah di kemudian hari kepada para Kyai ini? Dimanipulasi.
(KH. Agus Sunyoto* dalam acara bedah buku “Fatwa dan Resolusi Jihad” di Pondok Lirboyo 3
November 2017).
Selamat Hari Pahlawan!

Anda mungkin juga menyukai