Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang

Serangga merupakan kelas terbesar dari filum artropoda dan makhluk


yang paling banyak menghuni permukaan bumi ini ada yang hidup di air, tanah
dan tanaman. Sebagian besar dari kelas serangga tersebut ada yang bersifat
merugikan manusia yang disebut dengan hama dan ada yang menguntungkan
seperti penyerbuk, penghasil madu, penghasil benang sutera, sebagai sumber
bahan makanan, parasitoid dan predator hama.

Sebagian besar serangga berasosiasi dengan tumbuhan, karena tumbuhan


merupakan sumber bahan makanan atau tempat untuk berlindung/habitat.
Menurut Tjitrosoepomo (1989) dalam Siswanto dan Trisawa (2001), setiap jenis
tanaman memiliki daya tarik yang berbeda terhadap serangga. Serangga umumnya
datang mengunjungi bunga karena tertarik oleh bau atau warna untuk
mendapatkan makanan. Bunga adalah bagian tumbuhan yang paling menarik bagi
serangga karena bau atau warnanya dan mendapatkan makanannya, namun
seringkali mempunyai bentuk khas sehingga serangga yang mampu
memanfaatkannya hanya jenis tertentu saja.

gulma adalah tanaman liar yang tidak dibudidayakan yang kehadirannya


dianggap mengganggu tanaman budidaya karena adanya persaingan (kompetisi)
dengan tanaman budidaya. Tetapi selain dinilai mengganggu dalam budidaya
gulma dapat juga dimanfaatkan sebagai mulsa, penolak hama, pengalih hama, dan
inang alternatif bagi hama dan predator hama. Beberapa jenis gulma atau
tumbuhan ada yang berfungsi sebagai inang alternatif hama dan sebagai tempat
berlindungnya/habitat dari musuh-musuh alami. Misalnya tumbuhan purun tikus
merupakan tanaman perangkap bagi penggerek batang padi dalam meletakkan
telurnya dan berperan sebagai habitat/perumahan bagi beberapa jenis musuh
alami.. Menurut Asikin et al., (2001), bahwa pada rumput purun tikus (E. dulcis)
banyak ditemukan jenis musuh alami antara lain jenis parasitoid (Telenomus
rowani, Tetrastichus schoenobii dan Trichogramma sp. dan jenis predator yaitu
dari Ordo Arachnida, Coleoptera, Diptera, Orthoptera, Odona, Hemiptera, jenis
semut hitam dan disamping itu pula ditemukan jenis hama yaitu penggerek batang
padi, belalang hijau dan wereng putih (Covana spectra).

1
BAB II

ISI
2.1. Gulma

gulma adalah tanaman liar yang tidak dibudidayakan yang kehadirannya


dianggap mengganggu tanaman budidaya karena adanya persaingan (kompetisi)
dengan tanaman budidaya.Gulma pada mulanya merupakan tumbuhan
pengganggu yang merugikan karena mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang dibudidayakan. Sebagai contoh, gulma kirinyu yang
tumbuh diantara tanaman budidaya dapat mengakibatkan persaingan pengambilan
air, unsur hara dan sinar matahari. Akan tetapi biomassa gulma bila dikelola
dengan benar dan optimal akan meningkatkan produktivitas lahan. Selain itu
gulma dapat juga dimanfaatkan sebagai mulsa, penolak hama, pengalih hama, dan
inang alternatif bagi hama dan predator hama.

2.2. Pemanfaatan gulma sebagai inang musuh alami

Tumbuhan gulma ialah organisme pengganggu tanaman (OPT) dan tidak


dikehendaki keberadaannya. Banyak dari petani yang mengganggap bahwa
tumbuhan gulma sebagai sumber hama dan penyakit tanaman sehingga para
petani membersihkan tumbuhan gulma tersebut. Untung (2006) menjelaskan
bahwa banyak serangga predator yang untuk dapat hidup dan berkembang biak
memerlukan persyaratan hidup yang tidak dapat ditemukan semuanya pada
tanaman budidaya. Untuk memperoleh keperluan hidupnya pada periode tertentu
serangga tersebut harus pindah ke tanaman inang pengganti atau habitat lainnya
yang berada di sekitar tanaman budidaya seperti rerumputan, tumbuhan gulma,
atau semak-semak sekitar lahan pertanian untuk mendapatkan makanan, tempat
peletakan telur, dan sebagai tempat persembunyian yang sesuai.

Hama merupakan hewan herbivora yang memakan tanaman yang


dibudidayakan sehingga kehadirannya tidak dikehendaki karena dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan atau kerugian bagi manusia. Upaya
pengendalian yang telah banyak dilakukan oleh para petani brokoli adalah dengan
menggunakan insektisida kimia organik sintetik bahkan sebagian besar petani
menganggap bahwa insektisida kimia organik sintetik adalah satu-satunya cara
pengendalian yang paling cepat, efisien, praktis, mudah, dan ampuh. Pengendalian
secara biologi juga dilakukan yaitu dengan memanfaatkan predator dan parasitoid,
secara mekanik dengan melakukan penangkapan hama secara langsung maupun
dengan menggunakan perangkap (Rahardjo, 2005).

Di antara musuh alami yang berperan penting dalam menekan populasi


hama adalah predator dari filum Arthropoda. Predator merupakan organisme yang

2
hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa binatang lainnya.
Sosromarsono dan Untung (2000) menyebutkan semua jenis laba-laba adalah
predator, khususnya pemangsa arthropoda terutama serangga. Beberapa predator
generalis seperti laba-laba (Araneae) dapat menunjukkan kekhususan habitat, oleh
karena itu dapat dimanfaatkan dalam pengendalian populasi hama tanaman
brokoli. Berkurangnya jumlah predator pada suatu ekosistem dapat dikarenakan
hilangnya tempat berlindung dan berkembang biak predator tersebut. Tumbuhan
gulma memiliki polen yang dapat dimanfaatkan untuk pelestarian parasitoid dan
predator sebagai sumber pakan, tempat berlindung dan berkembang biak sebelum
inang atau mangsa utama ada di tanaman (Laba, 1998).

Hasil penelitian

Gambar (1) Populasi parasitoid Hymenoptera dan Diptera dari pengamatan dengan jaring serangga
pada tanaman tembakau na-oogst di Jember, September–Oktober 2008

Hasil pengamatan populasi parasitoid dewasa dengan menggunakan jaring


serangga(sweeping net) menunjukkan bahwa populasiparasitoid paling banyak
ditemukan pada petakperlakuan T+KH. Dominasi parasitoid yangterdapat pada
pertanaman adalah Apantelesspp. (Braconidae: Hymenoptera) dan parasitoiddari
ordo Diptera (Gambar 1). Dengan demikiandapat dikatakan bahwa pada T+KH
populasiparasitoidnya lebih tinggi dibandingkanpada perlakuan lainnya (Nurindah
et al.2009)

3
Gambar 2. Larva S. litura pada daun jarak (A) dan gejala serangannya (B).Larva S. litura terparasit oleh
Microplitis similis (C). Tanda panahmenunjukkan kokon parasitoid yang menempel pada tubuh
larvayang telah mati

2.3. Pengaruh gulma terhadap musuh alami

Vegetasi gulma yang tumbuh dominan di lahan rawa pasang surut adalah
jenis rumput purun tikus (Eleocharis dulcis), rumput bulu babi (Eleocharis
retroflata), kelakai (Stenochiaena palutris), perupuk (Phragmites karka), rumput
bundung (Scirpus grosus), rumput purun kudung (Lepironea articulata), banta
(Leersia hexandra) tambura (Ageratum conyzoides) dan kumpai bura-bura
(Panicum refens). Gulma-gulma tersebut ada yang bermanfaat sebagai tanaman
perangkap khususnya penggerek batang padi dan tempat hidupnya bagi serangga
lainnya seperti predator dan parasitoid.

Serangga yang paling sering dijumpai pada masing-masing gulma tersebut


adalah dari ordo Arachnida atau jenis laba-laba, ordo coleoptera atau jenis
kumbang karabit, ordo odonata capung jarum, ordo orthoptera jenis belalang dan
ordo Hemiptera sebagai parasitoid. Kehadiran serangga hama pada
tumbuhan/gulma tersebut berkaitan dengan kebutuhan makanan, yang ditandai
dengan adanya kerusakan pada bagian tanaman/tumbuhan tersebut. Kehadiran
serangga musuh alami (predator dan parasitoid) tidak berhubungan langsung
dengan tanamannya atau serangga tetapi dengan serangga-serangga lain yang
merupakan mangsa. Parasitoid biasanya mempunyai inang yang spesifik,
sedangkan predator mempunyai mangsa dengan kisaran yang luas sehingga dapat
dijumpai pada banyak tanaman.

Hampir dari semua jenis tumbuhan/gulma dominan rawa pasang surut


dijumpai adanya jenis hama belalang. Hama belalang ini pada umumnya makan
bagian daun dan batang dibeberapa jenis tanaman, baik pada tanaman padi
maupun jenis gulma. Menurut Kalshoven (1981) berbagai jenis rumput
merupakan inang utama bagi jenis belalang, kemungkinan karena sifatnya yang
polifag.

Menurut Papaj dan Rausher (1983) dalam Siswanto dan Trisawa (2001),
seleksi atau asosiasi serangga terhadap inangnya ditentukan oleh dua faktor, yaitu
(1) keragaman genetic yang menentukan keterpilihan atau pertahanan spesifik

4
inang , dan (2) kemampuan serangga untuk bertahan pada suatu tipe inang dan
kecenderungan untuk memilih tipe tersebut.

Beberapa jenis rumputan tersebut di atas hanya lima jenis rumputan yang
disenangi oleh penggerek batang padi meletakkan telurnya yaitu rumput purun
tikus (Eleocharis dulcis), kelakai (Stenochiaena palutris), perupuk (Phragmites
karka), rumput bundung (Scirpus grosus), dan rumput purun kudung (Lepironea
articulata). Tetapi dari kelima jenis rumputan tersebut yang paling disenangi dan
paling banyak ditemukan kelompok telurnya hanya pada rumput purun tikus
(Asikin dan Thamrin., 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva
penggerek batang padi putih mampu menyelesaikan siklus hidupnya sampai
menjadi imago pada rumput/tumbuhan purun tikus tersebut (Djahab et al., 2000).
Dengan demikian rumput purun tikus tersebut berfungsi sebagai inang alternatif
bagi penggerek batang padi dan disamping itu pula berfungsi sebagai
perumahan/habitat bagi musuh-musuh alaminya.

Gulma lainnya seperti kumpai bura-bura (Panicum refens), ditemukan


adanya imago penggerek batang padi putih dan beberapa jenis serangga lainnya
antara lain predator T. mandibulata dan Lycosa sp., kumbang karabit dan
beberapa jenis capung. Walaupun cukup banyak didapatkan imago penggerek
batang padi putih pada gulma tersebut tetapi hampir tidak ditemukan adanya
kelompok telur pengerek batang. Dengan demikian rumput bura-bura tersebut
merupakan tempat persinggahan imago penggerek batang padi setelah meletakkan
telurnya pada rumput purun tikus. Hasil pengamatan terhadap keanekaragaman
serangga pada gulma dominan di lahan rawa pasang surut tersebut cukup
bervariasi jenisnya.

Ketertarikan serangga pada gulma mungkin disebabkan oleh adanya


makanan yang tersedia bagi kelangsungan hidupnya atau juga tertarik akan bau
yang dikeluarkan oleh tanaman tersebut. Menurut Sunjaya (1970), bahwa pada
umumnya serangga tertarik dengan bau-bauan yang dikeluarkan oleh tanaman itu
terutama pada bunga maupun buah. Menurut Seigber (1983) adanya kandungan
kelompok senyawa lipida yang bersifat mudah menguap yang berfungsi sebagai
alomon seperti senyawa ester keton dan hidrokarbon akan mempengaruhi
dipilihnya tanaman sebagai inang oleh serangga.

Untuk memelihara musuh alami khususnya parasitoid supaya selalu ada di


ekosistem semi alami dapat dilakukan dengan memelihara gulma di lahan bukan
sawah atau bagian sawah pada daerah yang bukan explosif tikus. DeBach (1974)
menyatakan bahwa konservasi yang efektif musuh alami yang sudah menetap
mutlak perlu jika pengendalian hayati itu diharapkan bekerja berkelanjutan.

Konservasi menyangkut manipulasi lingkungan yang menguntungkan


kehidupan musuh alami, yaitu meniadakan atau setidaknya mengurangi factor-

5
faktor yang merugikan, dan atau menyediakan factor-faktor yang diperlukan. Van
den Bosch dan Telford (1964) menyatakan bahwa habitat musuh alami selain
mengandung mangsa atau inang, juga harus memenuhi kebutuhan lain musuh
alami itu.

Hasil pengamatan dari beberapa jenis gulma atau rumputan tersebut di atas
pada umumnya bersifat inang atau habitat bagi musuh alami dan disamping itu
pula tempat berlindungnya serangga hama. Seperti pada jenis gulma Banta
(L.hexandra), pada gulma tersebut cukup banyak ditemukan adanya wereng hijau
dan hama putih palsu dandisamping itu pula banyak ditemukan laba-laba dan
kumbang karabit.

Purun tikus

2.4. Gulma sebagai sumber pakan

Gulma biasanya digunakan oleh serangga herbivora sebagai penyedia


pakan alternatif, sedangkan serangga herbivora tersebut merupakan sumber pakan
untuk serangga predator dan parasitoid (Norris dan Kogan 2005). Selain itu,
gulma dan tanaman dapat dimanfaatkan untuk keberlangsungan hidup serangga
predator dan parasitoid sebagai sumber makanan karena mengandung polen,
tempat berlindung dan ber-kembang biak sebelum inang utama hadir di
pertanaman (Suprapto 2000).

Serangga-serangga tersebut tertarik pada beberapa gulma tertentu, selain


untuk sumber pakan, juga karena adanya aroma yang dikeluar-kan oleh tanaman
tersebut. Sunjaya (1970) dalam Asikin (2014), menyatakan pada umumnya
serangga tertarik dengan bau-bauan yang dikeluarkan oleh tanaman itu terutama
pada bunga maupun buah. Adanya kandungan kelompok senyawa lipid yang
bersifat mudah menguap yang berfungsi sebagai alomon, seperti senyawa ester

6
keton dan hidrokarbon, akan mempengaruhi dipilihnya tanaman sebagai inang
oleh serangga (Seigber 1983 dalam Asikin 2014).

Tanaman C. hirta disukai oleh Gryon dasyni dan Anastatus dasyni karena
mengandung cairan yang rasanya manis. C. hirta juga memiliki biji buah yang
dapat menempel pada bagian tubuh G. dasyni dan A. dasyni, sehingga
mempercepat penyebaran gulma. Peters (2005) melaporkan bahwa benih gulma
C. hirta juga disebarkan oleh serangga, burung, babi liar, hewan lain dan manusia.
C. hirta merupakan jenis gulma yang memiliki kandungan tanin terhidrolisa pada
daunnya (Murdiati et al. 1990)

Gulma C.hirta

Gryon dasyni

2.5. Gulma sebagai tempat berkembangbiak

Telur A. longipennis berbentuk silinder, berwarna putih transparan dan


disisipkan satu per satu pada batang bagian bawah tanaman atau di pelepah daun.
Adanya telur dalam batang tanaman biasanya ditandai dengan adanya luka tusuk
ovipositor yang ditutupi oleh kotoran hasil sekresi dari A. longipennis dan butiran
tanah atau ada bagian dari ujung telur yang menonjol pada batang tanaman
sehingga dapat terlihat dari luar. Hasil analisis nonparametrik Kruskal Wallis pada
uji ketertarikan peletakan telur A. longipennis terhadap 17 jenis gulma dan padi
menunjukkan adanya pengaruh yang nyata dari jenis tumbuhan terhadap jumlah
telur yang diletakkan. Jengkerik A. longipennis meletakkan telur dengan jumlah

7
yang berbeda nyata pada padi dan beberapa jenis gulma. A.longipennis memilih 9
jenis gulma selain tanaman padi sebagai tempat meletakkan telurnya, sedangkan 8
jenis gulma lainnya yang diuji tidak dipilih sebagai tempat bertelur. Selain padi,
jenis gulma yang dipilih berturut-turut adalah M. vaginalis, C. iria, C. rotundus,
F. miliacea, E. colonum, E. crusgalli, E. indica, I. cylindrica dan L. flava.
Sedangkan A. conyzoides, A. sessilis, L. adscendens, C. diffusa, L. hexandra, L.
chinensis, P. repens, dan S. arvensis tidak dipilih oleh A. long ipennis sebagai
tempat bertelur. Hasil analisis regresi menunjukkan tidak adanya hubungan yang
nyata antara jumlah telur yang diletakkan dengan kekerasan batang padi atau
gulma yang diuji. (Sri Karindah et al) menyatakan Ketertarikan Anaxipha
longipennis Serville 32 an pula tidak ada hubungan yang nyata antara jumlah telur
yang diletakkan A. longipennis dengan jumlah trikhoma pada padi atau gulma
yang diuji. Namun A. longipennis cenderungmemilih batang tumbuhan sebagai
tempat peneluran. Hasil percobaan membuktikan bahwa beberapa gulma dapat
dipilih sebagai tempat bertelur sama baiknya dengan tanaman padi. Pemilihan
tempat bertelur oleh predator dapat dipengaruhi oleh keberadaan mangsa,tanda-
tanda adanya mangsa pada tumbuhan atau sifat-sifat tumbuhan itu sendiri
(Sigsgaard 2004). Hasil pengujian menunjukkan bahwa A. longipennis mau
melakukan oviposisi pada beberapa jenis gulma yang ada di sekitar lahan
persawahan selain pada tanaman padi. M. vaginalis merupakan gulma yang hidup
di air dan berada di sekitar tanaman padi di dalam petak sawah, demikian pula
dengan C. iria, E. crusgalli, E. colonum, F. miliacea, dan L. flava. Gulma yang
tumbuh di sekitar habitat asli A. longipennis ini mempermudah A. longipennis
untuk mencari pakan setelah melakukan peneluran dan menyediakan pakan yang
cukup bagi keturunannya. Sedangkan C. rotundus, E. indica, I. cylindrica, A.
conyzoides, L. hexandra, S. arvensis dan P. repens kebanyakan tumbuh di tepi
pematang sawah. A. sessilis, C. diffusa, L. adscendes, dan L. chinensis biasa
tumbuh dipetak sawah maupun di pematang. Menurut Craigh et al.(2000),
serangga betina akan meletakkan keturunannya di tempat dengan peluang hidup
tinggi, selain itu pemilihan tempat untuk bertelur yang tepat dilakukan dengan
tujuan agar keturunan baru yang biasanya belum aktif bisa mendapatkan pakan
cukup dan tersedia di sekitarnya (Sadeghi & Gilbert 2000).

Selain kedekatan letak gulma dengan mangsanya A. longipennis


cenderung memilih batang tumbuhan sebagai tempat peneluran yang tidak banyak
mempunyai trikhoma. Hal ini sesuai dengan pendapat Kogan (1975), dalam
Mudjiono (1998) bahwa salah satu faktor fisik tanaman mempengaruhi proses
hinggap, makan dan peletakkan telur serangga antara lain adalah bentuk, ukuran
dan kepadatan trikhoma. Keadaan sebaliknya terjadi pada Coleomegilla maculata
yang lebih memilih untuk meletakkan telur pada sejenis tumbuhan liar, yaitu
Abutiton theopharasti, karena tumbuhan liar tersebut memiliki trikhoma yang
kelenjarnya menghalangi predator lain mendapatkan telur-telur kumbang C.

8
maculata untuk dimangsa (Griffin & Yeargan 2002). A. longipennis juga tidak
mau meletakkan telur pada S. arvensis sama seperti pada A. conyzoides, L.
hexandra, L. chinensis, L. adscendens, atau P. repens. Hasil pengamatan yang
dilakukan, A. longipennis ini tidak mau meletakkan telur mungkin disebabkan
adanya cairan atau getah yang dikeluarkan oleh S. arvensis apabila terkenatusukan
ovipositor dari A. longipennis. Kandungan senyawa kimia pada jenis gulma yang
disukai atau yang tidak disukai sebagai tempat bertelur belum diketahui
pengaruhnya terhadap kesukaan A. longipennis meletakkan telurnya. Menurut
Tumlinson (1988) terdapat semiochemical yang mengatur oviposisi serangga.
Semiochemical adalah senyawa kimia yang dapat membantu serangga
mendapatkan lokasi inang atau mangsa bagi parasitoid atau predator, yang
dihasilkan oleh inang atau mangsa, ataupun oleh tumbuhan di mana mereka
tinggal.

Selain sebagai tempat berlindung dan sumber pakan tambahan, tumbuhan


liar juga seringkali dipilih sebagai tempat bertelur. Hasil penelitian ini dapat
menjelaskan bahwa beberapa jenis gulma diperlukan bagi jengkerik predator A.
longipennis sebagai tempat berkembang biak. Keberadaan spesiesspesies gulma
tertentu akan dapat mendukung terjadinya pelestarian musuh alami. Gulma yang
termasuk organisme pengganggu bagi tanaman budidaya sesungguhnya
mempunyai arti bagi kehidupan heksapoda predator dan parasitoid.

2.6. Gulma sebagai tempat berlindung bagi predator dan parasitoid

Terdapat 4 ordo serangga predator yang berasosiasi dengan semua jenis


tumbuhan liar yaitu Coleoptera, Diptera, Hemiptera dan Hymenoptera yang terdiri
dari 7 spesies dari 7 famili. Keanekaragaman spesies serangga predator yang
paling tinggi adalah ordo Diptera yang terdiri 3 spesies dari 3 famili. Tingginya
keanekaragaman ordo Diptera karena lokasi penelitian adalah di ekosistem pada
sawah. Ekosistem padi sawah merupakan tanah berair. Larva-larva serangga
dipteran berada di dalam air dan ketika dewasa berada di pertanaman untuk
mencari makan dan tempat berlindung, sehingga serangga-serangga tersebut
keberadaannya berlimpah. Daly et al. (1978) menyatakan yang mendominasi
serangga akuatik ialah larva dipteran.

Kelimpahan populasi serangga predator tertinggi adalah dari ordo


Coleoptera spesies Paederus tamulus Erichson (Staphylinidae). Sedangkan
kelimpahan populasi jenis serangga predator terendah adalah ordo Hemiptera
spesies Ectrychotes sp. (Pentatomidae).Pengamatan di lapang jarang sekali
ditemukan Ectrychotes sp. Predator tersebut hanya ditemukan di tumbuhan E.
indica.

Jenis tumbuhan liar dengan keanekaragaman serangga predator tertinggi


adalah tumbuhan L. hexandra yang terdiri dari 7 spesies dari 7 famili. Rata-rata

9
keseluruhan populasi predator yang terdapat pada tanaman L. hexandra adalah
19,00 individu/petak. Tingginya populasi serangga pada tumbuhan liar ini
dikarenakan tanaman ini memiliki bunga dan bentuk tanaman yang rimbun,
sehingga disukai berbagai serangga predator sebagai tempat berlindung.
Tjitrosoedirdjo (1984) menyatakan bahwa tumbuhan liar dapat digunakan sebagai
tempat berlindung, inang alternatif dan sumber pakan tambahan berupa tepung
sari dan madu. Selain itu, tumbuhan liar berguna pula sebagai tempat bertelur bagi
serangga predator. Jenis tumbuhan liar dengan keanekaragaman serangga predator
terendah adalah tanaman M. vaginalis yang terdiri dari 3 spesies dari 3 famili.
Tingkat populasi predator yang terdapat pada tumbuhan M. vaginalis adalah 16,00
individu/petak. Rendahnya populasi serangga predator pada tanaman ini
dikarenakan selama pengamatan pertumbuhannya kurang maksimal sehingga
serangga predator kurang tertarik untuk tinggal dan berlindung di tanaman ini.

Populasi serangga parasitoid lebih sedikit dibandingkan dengan serangga


predator. Hal ini karena selama pengamatan bersamaan dengan datangnya musim
hujan, sehingga banyak parasitoid bermigrasi dan berpindah tempat mencari
tempat berlindung, dengan demikian serangga parasitoid yang ada di tumbuhan
liar populasinya rendah. Riyanto et al. (2011) menyatakan bahwa kelimpahan
serangga parasitoid pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan pada musin
hujan.

10
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Terdapat banyak sekali gulma yang mempunyai manfaat dalam bidang


pertanian baik itu sebagai inang penganti bagi musuh alami dan parasitoid, tempat
berkembangbiak serta sebagai tempat berlindung bagi musuh alami dan parasitoid
hama pada lahan pertanian.

11
DAFTAR PUSTAKA
Asikin,s. 2014.Serangga Dan Serangga Musuh Alami Yang Berasosiasi Pada
Tumbuhan Liar Dominan Di Lahan Rawa Pasang Surut.Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra)Jl. Kebun Karet, Loktabat
Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Karindah,sri, at al.2011.Ketertarikan Anaxipha longipennis Serville (Orthoptera:


Gryllidae) terhadap Beberapa Jenis Gulma di Sawah sebagai Tempat
Bertelur.J. Entomol. Indon., April 2011, Vol. 8, No. 1, 27-35

Masfiyah,evi.2014.Asosiasi Serangga Predator Dan Parasitoid Dengan Beberapa


Jenis Tumbuhan Liar Di Ekosistem Sawah.Jurnal HPT Volume 2
Nomor 2

Nurindah, et al.2009. Tanaman Perangkap untuk Pengendalian Serangga Hama


Tembakau. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 1(2),
Oktober 2009 ISSN: 2085-6717

Rismayani,at al.2017.Struktur Dan Komposisi Gulma Pada Tanaman Lada Yang


Berperan Untuk Mengonservasi Serangga Parasitoid.Bul. Littro,
Volume 28, Nomor 1, Mei 2017

Siswanto dan I. M.Trisawa. 2001. Keanekaragaman Serangga yang Berasosiasi


dengan Tanaman Obat di Kebun Koleksi Balittro. Prosiding Simposium
Kearekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian.
Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan Kearekaragaman
Hayati Indonesia. Cipayung, 16-18

Sosromarsono S. dan Untung K. 2000. Keanekaragaman hayati Artropoda


predator dan parasitoid di Indonesia serta pemanfaatannya. dalam:
Prosiding simposium keanekaragaman hayati Artropoda pada sistem
produksi pertanian. Cipayung: PEIKEHATI.

Untung, Kasumbogo. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (edisi kedua).


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

12

Anda mungkin juga menyukai