Anda di halaman 1dari 10

KONSEP ALE

Dalam suatu ekosistem pertanian, hama sebagai salah satu


komponen biotik berinteraksi intra dan interspesifik, juga dengan
komponen fisik. Apabila komponen-komponen tersebut tidak mengalami
penubahan yang nyata, maka populasi hama cenderung turun naik di
sekitar aras populasi yang disebut keseimbangan umum (KU) atau general
equilibrium. KU adalah kepadatan populasi hama rata-rata pada suatu
periode panjang tanpa adanya pembahan lingkungan yang nyata (18).
Turun naiknya populasi hama pada KU diatur oleh faktor-faktor
bertautan padat (FBP) atau density-dependen factors. FBP adalah faktor-
faktor yang bekerjanya berubah-ubah menurut kepadatan populasi hama,
misalnya pemangsa, parasit dan penyakit. FBP menekan populasi hama
ketika populasinya meningkat dan mengendor ketika populasinya menurun
(21).
Usaha manusia memanipulasi lingkungan, misalnya dengan
membentuk sistem pertanaman monokultur secara terus-menerus berarti
menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi peningkatan populasi
hama. Apabila FBP yang ada di lingkungan tersebut tidak dapat bekerja
menurunkan populasi hama ke KU, maka faktor-faktor tidak bertautan
padat (density-independent factors ), seperti iklim dan insektisida, dapat
bertindak sebagai pengendali populasi hama (21).
Tujuan pengendalian hama bagi petani perorangan adalah
meningkatkan keuntungan bersih, yang merupakan dasar dalam
menentukan cara dan saat pengendalian hama. Tindakan pengendalian
dilakukan apabila besarnya biaya yang dikeluarkan lebih kecil daripada
nilai kehilangan hasil yang diselamatkan. Karena nilai kehilangan hasil
yang diselamatkan ditentukan oleh besarnya populasi hama di lapang,
maka ukuran penentuan keputusan saat pengendalian hama adalah
kepadatan populasi hama (17).
Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest
Control), tindakan pengendalian ditujukan untuk menurunkan dan
mempertahankan popuiasi hama di bawah aras luka ekonomis (ALE) atau
economic injury level. ALE adalah aras populasi hama terendah yang
dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (economic damage) pada
tanaman. Kerusakan ekonomi adalah aras luka di mana pada aras
tersebut pengeluaran biaya untuk pelaksanaan pengendalian hama dapat
dibenarkan (18).
Berdasarkan pengertian tersebut, beberapa penulis menganggap
bahwa tindakan pengendalian dapat dibenarkan apabila populasi hama
telah mencapai ALE. Hal ini berarti, bahwa nilai kehilangan hasil yang
akan diselamatkan pada aras populasi di atas/bawah ALE lebih besar/kecil
daripada biaya pengendalian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ALE
adalah batas kritis pengendalian hama, karena pada aras tersebut
keuntungan yang diperoleh darl tindakan pengendalian sama dengan
biaya pengendalian. Prinsip impas ( break-even) pengendalian hama pada
ALE tersebut telah dikembangkan oleh para pakar entomologi sebagai
ukuran penentuan keputusan saat pengendalian hama (9, 25).
Agar pelaksanaan pengendalian pada ALE tidak terlambat karena
adanya selang waktu antara saat ditemukannya serangan hama yang
mengancam dan saat aplikasi insektisida, maka perlu dilakukan tindakan
pengendalian sebagai pengamanan terhadap populasi hama yang
cenderung mengakibatkan kerusakan ekonomi pada tanaman. Tindakan
pengamanan tersebut dimulai apabila populasi hama telah mencapai
ambang ekonomi (AE) atau economic threshold. AE adalah aras populasi
hama di mana pada aras tersebut harus dilakukan pengendalian untuk
mencegah peningkatan populasi hama mencapai ALE. Jadi kedudukan AE
lebih rendah daripada ALE (Gambar 1).

Oleh karena Stern et al. (18) tidak memberi batasan berapa jauh
selisih antara ALE dan AE, maka banyak penulis, antara lain Headley (4),
tidak membedakan kedua istilah tersebut. Dianggap bahwa saat
ditemukannya serangan hama yang mengancam dan saat aplikasi
insektisida terjadi pada waktu yang sama. Oleh karena itu, dalam
melaksanakan pengendalian hama dibutuhkan pengelola hama yang selalu
memantau dan mengadakan tindakln secara cepat apabila populasi hama
mencapai ALE (9).

PENENTUAN ALE
ALE dipengaruhi oleh komponen ekonomi, biologi dan ekoiogi. Pada
Gambar 2 tampak bahwa ALE ditentukan oleh (a) pertimbangan risiko
petani terhadap serangan hama; besarnya risiko ini beragam sesuai
dengan pertimbangan sosial dan ekonomi petani, (b) hubungan antara
populasi hama dan kehilangan hasil secara kuantitas dan kualitas, serta
(c) hubungan antara populasi hama dan biaya pengendalian (14).

Hubungan antara populasi hama dan kehilangan hasil dipengaruhi


oleh iklim dan tanggapan tanaman terhadap serangan hama. Tanggapan
tanaman dipengaruhi oleh pupuk, tanah, varietas dan ketahanan terhadap
hama serta stadium pertumbuhan hama dan tanaman. Hubungan antara
populasi hama dan pengendalian dipengaruhi oleh nilai hasil tanaman dan
biaya pengendalian (27).
Model hubungan antara populasi hama dan hasil dinyatakan dalam
bentuk sigmoid (Gambar 3). Pada populasi rendah, pengaruhnya terhadap
hasil diabaikan karena adanya daya kompensasi tanaman terhadap luka.
Apabila populasi meningkat, pengaruhnya terhadap hasil berbanding lurus
berkebalikan. Pada populasi tinggi, pengaruhnya terhadap hasil tetap
karena adanya persaingan di antara individu hama (23).
Model hubungan antara populasi hama dan pengendalian disajikan
pada Gambar 4. Tindakan pengendalian dilakukan apabila manfaat atau
nilai kerusakan tanaman yang diselamatkan sama dengan biaya yang
dikeluarkan untuk mencegah kerusakan tersebut (4).
ALE dapat ditentukan berdasarkan (a) data empirik setempat
mengenai aras populasi atau tingkat serangan hama yang masih dapat
diterima, (b) ketentuan yang telah digunakan di tempat atau negara lain
untuk jenis hama yang sama, dan (c) hasil penelitian yang sistematis (26).

TANGGAPAN TANAMAN TERHADAP PELUKAAN DAUN

Tanaman yang terserang sesuatu hama dapat mengakibatkan luka


(injury). Luka adalah hasil kegiatan serangga pemakan tumbuhan,
misalnya makan dan bertelur yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
inang. Luka berat mengakibatkan kerusakan ( damage). Kerusakan adalah
akibat yang ditimbulkan oleh sejumlah luka yang melampaui daya tahan
tanaman (6).
Aras luka pada tanaman dipengaruhi oleh besarnya populasi hama,
perilaku makan hama, stadium pertumbuhan dan berbagai faktor
lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan hama dan tanaman (16).
Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut dalam mempelajari
tanggapan tanaman terhadap pelukaan pada daun dibutuhkan
pengetahuan fisiologi tanaman melalui "teknik analisis pertumbuhan" (1).
Teknik analisis pertumbuhan didasarkan pada pertimbangan bahwa
rata-rata kecepatan tumbuh tanaman (KTT) tergantung pada rata-rata
indeks luas daun (ILD). KTT adalah kecepatan peningkatan berat kering
tanaman per unit luas tanah. ILD adalah luas daun per unit luas tanah.
Setiap perubahan luas daun, antara lain karena pelukaan menentukan
keragaman berat kering tanaman (28).
Persamaan-persamaan dalam teknik analisis pertumbuhan
berdasarkan Watson (28) adalah sebagai berikut:

KTT = KAB X ILD


KTT = (B2 – B1) / (W2 – W1)
(B2 – B1) (Loge L2 – Loge L1)
KAB = -------------------------------------
(W2 – W1) (L2 – L1)
ILD = (L2 – L1) / (Loge L2 – Loge L1)

di mana:
KTT = rata-rata kecepatan tumbuh tanaman (mean growth rate);
KAB = rata-rata kecepatan asimilasi bersih (mean net assimilation rate);
ILD = rata-rata indeks luas daun (mean leaf area index);
B = berat kering tanaman per unit luas tanah;
L = luas daun per unit luas tanah,
W = waktu;
1 dan 2 = pengukuran pertama dan kedua.

Oleh karena kemungkinan usaha meningkatkan ILD lebih besar


daripada KAB, misalnya dengan pemupukan, maka faktor utama penyebab
keragaman berat kering tanaman adalah ILD (28).
Ulat grayak mengakibatkan luka pada daun kedelai. Oleh karena
luka menentukan ILD, dan ILD menentukan berat kering tanaman, maka
tanggapan kedelai terhadap pelukaan oleh ulat grayak dapat dipelajari
melalui hubungan antara ILD dan berat kering tanaman.
Berdasarkan tipe pertumbuhannya, kedelai dibedakan menjadi 3
macam, yaitu determinit, indeterminit dan semideterminit. Pada tipe
determinit, misalnya varietas Kerinci, pertumbuhan vegetatif berhenti
setelah berbunga, sedangkan pada tipe indeterminit, misalnya varietas No.
29, pertumbuhan vegetatif berlanjut setelah berbunga. Varietas Orba
termasuk dalam tipe semideterminit, yaitu tipe antara determinit dan
indeteminit (3). Perbedaan tipe pertumbuhan tersebut mungkin dapat
mengakibatkan terjadinya perbedaan tanggapan kedelai terhadap
pelukaan oleh ulat grayak.
Tanggapan kedelai terhadap pelukaan pada daun juga dipengaruhi
oleh stadia pertumbuhan tanaman. Pada stadium vegetatif sampai awal
pembentukan polong, semua hasil fotosintesis ditranslokasi ke batang dan
daun untuk pertumbuhan tanaman. Pada stadia awal pembentukan
polong dan pengisian polong, hasil fotosintesis disimpan sementara di
batang kemudian dikirim ke polong. Apabila pada stadia ini terjadi
pelukaan pada daun, hasil fotosintesis yang sedianya dikirim ke polong,
diserap kembali untuk membentuk daun-daun baru sebagai kompensasi
terhadap pelukaan. Setelah stadium pengisian polong, tidak ada hasil
fotosintesis yang disimpan sementara di batang atau yang digunakan
untuk mengganti daun yang hilang (15).
Berdasarkan dinamika hasil fotosintesis tersebut, stadium kritis
terhadap pelukaan pada daun adalah pengisian polong. Pada stadium ini
pelukaan pada daun akan menyebabkan berkurangnya hasil fotosintesis
yang dikirim ke polong sehingga banyak polong hampa.

PENENTUAN ALE BERDASARKAN PENDEKATAN FISIOLOGI

Stone dan Pedigo (19) menentukan ALE hama daun kedelai


berdasarkan prinsip impas pengendalian hama dari Stern et al. (18), yaitu
nilai kehilangan hasil yang diselamatkan pada ALE sama dengan biaya
pengendalian hama. ALE dihitung berdasarkan besarnya biaya
pengendalian, harga kedelai, proyeksi hasil, daya makan serangga serta
hubungan antara pelukaan daun dan kehilangan hasil.
Dalam menentukan kehilangan hasil, Stone dan Pedigo (19)
membuat berbagai aras luka melalui pengguntingan daun. Hasil tanaman
luka dibandingkan dengan yang sehat kemudian dicari hubungan antara
aras luka dan persentase kehilangan hasil. Dengan cara tersebut data
kehilangan hasil yang diperoleh lebih rendah daripada yang sesungguhnya
karena dinamika proses pelukaan oleh hama daun dan kemampuan
tanaman mengkompensasi luka tidak diperhitungkan (11). Di samping itu,
penentuan aras luka secara visual kurang tepat karena hasil dan berat
kering tanaman lebih ditentukan oleh luas daun yang tersisa daripada oleh
luas daun yang hilang setelah pelukaan (7).
Mengingat kelemahan cara pelukaan tersebut, maka penentuan
kehilangan hasil kedelai oleh ulat grayak dilakukan dengan
membandingkan hasil tanaman sehat dengan yang diinokulasi serangga
pada berbagai populasi dalam kurungan. Kehilangan hasil ditentukan
melalui hubungan antara ILD setelah pelukaan oleh serangga dan
persentase kehilangan hasil pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman
dapat ditentukan dengan model kuadratik: Y = a + bX+ cX 2, di mana Y=
persentase kehilangan hasil; X= ILD setelah pelukaan pada daun.
Untuk mengkompensasi pengaruh kurungan terhadap lingkungan
fisik dan pertumbuhan tanaman, dilakukan koreksi dengan mengalikan
hasil tanaman perlakuan dengan nisbah hasil tanaman kontrol yang tidak
dikurung dan yang dikurung.
Urutan langkah penentuan ALE ulat grayak hasil modifikasi cara
Stone dan Pedigo (19) adalah sebagai berikut:
1. Penentuan ambang perolehan (AP) atau gain threshold, yaitu nilai
kehilagan hasil kedelai yang diselamatkan dengan tindakan pengendalian
hama.

Biaya pengendalian (Rp/ha)


AP = -------------------------------------
Harga kedelai (Rp/kg)

2. Penentuan persentase kehilangan hasil (PKH) untuk menggambarkan AP


(langkah 1).

AP (kg/ha)
PKH = ---------------------------- X 100
Proyeksi hasil (kg/ha)

3. Penentuan ILD setelah pelukaan pada daun untuk menggambarkan PKH


(langkah 2) yang diperoleh dari persamaan regresi hubungan antara ILD
setelah pelukaan dan PKH pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman.
4. Penentuan pelukaan mutlak (PM) untuk menggambarkan PKH yang
sebanding dengan AP.

PM = Luas daun total - luas daun setelah pelukaan (langkah 3).

5. Penentuan ALE tanaman.

PM (langkah 4) (cm2)
ALE tanaman = ------------------------------------------
Daya makan ulat (cm2/ekor ulat)

6. Penentuan ALE ulat grayak.

ALE = ALE tanaman (langkah 5) x banyaknya tanaman/m baris

KESIMPULAN

1. Tanggapan tanaman kedelai akibat pelukaan oleh ulat grayak dapat


dipelajari melalui hubungan antara ILD dan berat kering tanaman.
2. Berdasarkan pendekatan fisiologi, kehilangan hasil kedelai oleh ulat grayak
dapat ditentukan dengan model regresi kuadratik: Y = a + bX + cX 2, di
mana Y = persentase kehilangan hasil; X = ILD setelah pelukaan,
3. ALE ulat grayak dapat ditentukan dengan urutan langkah perhitungan
sebagai berikut: (a) ambang perolehan, (b) persentase kehilangan hasil,
(c) ILD setelah pelukaan, (d) pelukaan mutlak, (e) ALE tanaman, dan (f)
ALE ulat grayak (16).
PUSTAKA

1. Bardner, R. and K.E. Flectcher. 1974. Bull. Ent. Res: 64: 141-160.
2. Djafar, Z.R. dan R.M. Saleh. 1983. Kongres Entomologi II. Jakarta 24-26
Januari 1983, 11 p.
3. Hanway, J.J. and H.E. Thompson. 1967. Iowa State Univ. Spec. Rep. 53.
18 p.
4. Headley, J.C. 1975. Iowa State J. Res. 49: 623-628.
5. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of plant crop in Indonesia. Revised by P.A.
van der Laan. Ichtiar Baru - van Hoeve, Jakarta. 701 p.
6. Kogan, M. 1976. Proc. Conf. for Asia and Oceania. Univ. Illinois, Urbana
(INTSOY ser. 10). pp. 114-121.
7. Kogan, M. and S.G. Turnipseed. 1980. In M. Kogan and D.C. Herzog
(Eds.). Sampling methods in soybean entomology. Springer-Verlag, New
York. pp. 3-29.
8. Metcalf, R.L. 1975. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.).
Introduction to insect pest management. John Wiley and Sons, New York.
pp. 235-273.
9. Mumford, J.D. and G.A. Norton, 1984. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-174.
10. Naito, A., Harnoto, and A. Iqbal. 1983. Seminar CRIFC, Bogor, Oct. 14,
1983. 12 p.
11. Newsom, L.D., M. Kogan, F.D. Miner, R.L. Rabb, S.G. Turnipseed, and
W.H. Whitcomb. 1980. In C.B. Huffaker (Ed.). New technology of pest
control. John Wiley and Sons, New York. pp. 51-97.
12. Noch, I.P., A. Rahayu, A. Wahyu, and O. Mochida. 1983. Kongres
Entomologi II. Jakarta, 24-26 Januari 1983. 12 p.
13. Okada, M. 1977. Rev. Plant Protec. Res. 10: 102-128.
14. Rabb, R.L., R.E. Stinner, and G.A. Carlson. 1974. Proc. Summer lns. Biol.
Contr. of Plant lnsect and Dis. Univ. Press of Mississippi, Jackson. pp. 19
45.
I5. Rudd, W.G., W.G. Ruesink, L.D. Newsom, D.C. Herzog, R.L. Jensen, and
N.F. Marsolan. 1980. In C.B. Huffaker (Ed.). New technology of pest
control. John Wiley and sons, New York. pp. 99-122.
16. Ruesink, W.G. and M. Kogan. 1975. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann
(Eds.). Introduction to insect pest management. John Wiley and Sons,
New York. pp. 309-351.
17. Shoemaker, C.A. 1980. In C.B. Huffaker (Ed.). New technology of pest
control. John Wiley and sons, New York. pp. 25-49.
18. Stern, V.M., R.F. Smith, R. van den Bosch, and K.S. Hagen. 1959.
Hilgardia. 29: 81-101.
19. Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1972. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
20. Sumarno dan Harnoto. 1983. Bull. Tek. Puslitbangtan. 6: 53 p.
21. Sunjaya, P.I. 1970. Dasar-dasar ekologi serangga. IPB, Bogor, 138 p.
22. Surjana, T. dan O. Mochida. 1983. Kongres Entomologi II. Jakarta, 24-26
Januari 1983. 6p.
23. Tammes, P.M.L. 1961. Tijdschr. Plziekt. 67: 257-263.
24. Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1985. Kedelai. Puslitbangtan, Bogor.
Pp. 295-318.
25. Untung, K. 1984. Pengantar analisis ekonomi pengendalian hama
terpadu. Andi Offset, Yogjakarta. 92 p.
26. Untung, K dan L. Setyobudi. 1982. Simposium Entomologi. Bandung, 25-
27 Agustus 1982. 24 p.
27. Walker, P.T. 1980. In H.C. Gouindu et al. (Eds.). Assessmen of crop
losses due to pests and diseases. pp. 52-60.
28. Watson, D.J. 1952. Advances in Agron. 4: 101-145.
Arifin, M. 1988. Penentuan aras luka ekonomi ulat grayak kedelai
(Spodoptera litura F.) melalui pendekatan fisiologi, pp. 41-52. Dalam S.
Hardjosumadi et al. (Eds.). Seminar Balittan Bogor Tahun 1986. Vol. 1
(Palawija). Balittan Bogor.

http://muhammadarifindrprof.blogspot.co.id/2011/01/14-penentuan-aras-luka-
ekonomi-ulat.html

Anda mungkin juga menyukai