Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman sayuran dimasukkan kedalam golongan tanaman perkebunan rakyat atau
yang lebih dikenal dengan nama hortikultura yang memiliki peranan penting bagi kehidupan
sehari-hari. Tanaman sayuran memerlukan perawatan dan perhatian lebih dari petani.
Perawatan yang perlu diperhatikan dalam bercocok tanam khususnya pada tanaman sayuran
atau hortikultura adalah pengolahan lahan, pemupukan, penataan air, bibit, persemaian,
penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanfaatan hasil, dan perawatan hasil. Untuk itu, kami
perlu melakukan observasi lahan dan interview petani untuk mengetahui seberapa besar usaha
petani dalam mengelola dan melakukan usaha pertaniannya, mulai dari penggarapan lahan,
perawatan, pemanenan, sampai pemasaran hasil panen ke distributor, serta jumlah biaya
perawatan

dan

keuntungan

yang

didapatkan

petani.

Dari

observasi

yang

dilakukan,diharapkan agar kami mendapatkan pengetahuan tentang hama dan penyakit yang
menyerang tanaman bunga, musuh alami yang berperan,kebutuhan pestisida pada tanaman
bunga serta pestisida yang sering digunakan.
1.2 Tujuan
a. Mengetahui cara pengolahan lahan yang digunakan oleh petani.
b. Mengetahui cara penanaman dan perawatan sayuran kubis
c. Mengetahui hama dan penyakit yang menyerang serta musuh alami yang berperan
pada sayuran kubis.
d. Mengetahui pupuk dan pestisida yang digunakan oleh petani.
e. Mengetahui kapan waktu pemanenan tanaman bunga dan hasil yang didapat dari
penanaman tanaman sayuran kubis.
1.3.

Manfaat
Manfaat yang kami dapat dari fieldtrip ini yakni menambah wawasan kami mengenai

sayuran kubis mulai dari pengolahan lahan sampai pemanenan dari aspek manajemen lahan,
pembudidayaan, penanggulangan hama dan penyakit yang menyerang, serta aspek ekonomi
pertanian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

2.1 Pengertian Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Integrated pest management (IPM) is a broad based ecological approach to


structural and agricultural pest control that integrates pesticides/herbicides into a
management system incorporating a range of practices for economic control of a pest
Artinya : Pengelolaan hama terpadu (PHT) merupakan pendekatan ekologis berbasis
luas untuk pengendalian hama struktural dan pertanian yang mengintegrasikan
pestisida atau herbisida menjadi sistem manajemen menggabungkan berbagai praktek

untuk kontrol ekonomi hama (Apple, 1978)


Konsep Pengendalian Hama terpadu adalah suatu konsep pengelolaan agroekosistem yang bertujuan untuk mempertahankan populasi hama dan kerusakan
tanaman yang diakibatkannya pada aras yang tidak merugikan (secara ekonomi),
dengan memadukan dan memanfaatkan semua metode pengendalian hama, termasuk
pemanfaatan predator dan parasitoid, varietas tahan hama, teknik bercocok tanam,

serta bila perlu menggunakan pestisida secara selektif (Oka, 1995).


Integrated Pest Management (IPM) is a way approach, ways of thinking or
philosophy of pest control

based on considerations ecological and economic

efficiency in order to manage agroecosystem that responsible.


Artinya : Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah suatu cara pendekatan, cara
berfikir atau falsafah pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan
ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang
bertanggungjawab (Smith, 1978).
2.2 Pengertian dan Konsep Ambang Ekonomi
Ambang ekonomi adalah suatu tingkat/level kerusakan penyakit (keparahan
penyakit) yang mengharuskan dilakukan pengendalian sehingga penyakit tidak
berkembang mencapai ALE. Dengan kata lain AE adalah ambang tindakan (action
threshold). Nilai AE lebih rendah dari ALE, sehingga petani mempunyai kesempatan
melakukan tindakan pengendalian untuk mencegah berkembangnya penyakit
mencapai/melebihi ALE. Dengan demikian diharapkan tindakan pengendalian yang
dilakukan selain menekan penyakit (keparahan penyakit) mencapai level yang dapat
menimbulkan kerusakan ekonomi, juga diharapkan bahwa biaya yang dikeluarkan
untuk pengendalian lebih rendah (setidaknya sama dengan) nilai kehilangan hasil yang
dapat diselamatkan oleh tindakan pengendalian tersebut.
Model perkembangan penyakit, baik monosiklik dan polisiklik r (R) adalah
laju perkembangan penyakit, dimana nilainya bervariasi bergantung pada virulensi
patogen, ketahanan tanaman inang, dan lingkungan yang mendukung. Jika xo, r dan
ambang kerusakan telah diketahui, maka dapat diprediksikan kapan penyakit akan
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

mencapai/melebihi nilai ambang kerusakan, sehingga petani harus tahu kapan harus
melukan tindakan pengendalian (pada waktu yang tepat). Nilai AE ini bukanlah nilai
yang konstan (statik) tetapi bervariasi bergantung pada ALE (ketahan tanaman), fase
pertumbuhan tanaman pada saat patogen menginfeksi tanaman, keadaan iklim,
geografi daerah, dan sistem budidaya. (Untung, 1984)
2.3 Pengertian dan Konsep Ambang Kerusakan
Tujuan akhir dari tindakan pengendalian penyakit adalah untuk menekan
penyakit pada level yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi baik pada
jumlah maupun kulitas hasil, dengan demikian ambang kerusakan (tingkat kerusakan
ekonomi) haruslah diketahui untuk mencegah kerugian yang lebih besar akibat adanya
penyakit.
Dasar konsep Aras Luka Ekonomi adalah konsep Titik Impas (BreakEeven
Concept) dalam pengendalian hama. Pada titik impas ini terjadi kerusakan ekonomi
yaitu pada ALE, sehingga apabila dilakukan pengendalian hama di atas titik impas
masih akan menguntungkan. Sebaliknya apabila dilakukan di bawah titik impas maka
hanya akan merugikan petani karena besarnya nilai kehilangan hasil yang
diselamatkan lebih rendah daripada biaya pengendalian yang dikeluarkan.
Tingkat/level xt tertinggi yang dapat menimbulkan kerusakan ekonomi disebut
juga dengan aras luka ekonomi atau dalam entomologi jumlah kepadatan populasi
terendah yang dapat menyebabkan kerusakan secara ekonomi. Secara matematika
pengukuran ALE dapat modelkan sebagai berikut
Yang mana:
C = Biaya pengendalian
P = harga komoditi
e = intensitas penyakit (ALE)
d = koefisien proporsi kehilangan hasil
k = keefektifan tindakan pengendalian.
Nilai ambang kerusakan ini bervariasi bergantung pada tanaman, penyakit, dan
ekonomi lokal, sehingga dari musim ke musim atau dari daerah ke daerah bisa saja
berbeda-beda nilai ambang kerusakan ini, meskipun penyakitnya sama.(Untung, 1993)
2.4 Literatur Komoditas yang Diamati
Kubis putih (Brassica oleraceavar capitata L.) merupakan salah satu sayuran penting,
terutama di dataran tinggi. Sejak awal tahun 70-an kubis juga ditanam di beberapa
daerah dataran rendah, seperti di daerah Yogyakarta, Klaten, dan Jember. Kubis varietas
KK Cross (Permadi & Djuariah, 1992) dan Green Baru (Suryadi & Permadi, 1998) dapat
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

beradaptasi dengan baik dan mempunyai hasil krop tinggi dengan umur genjah, cocok
untuk dikembangkan di dataran rendah dan dataran medium. Tanaman kubis-kubisan
lainnya yang penting adalah petsai, kubis bunga, dan brokoli.
Menurut laporan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura (1999), luas
panen kubis di Indonesia dalam tahun 1998 adalah 65.974 hektar dengan total produksi
1.383.398 ton. Sejak lima tahun terakhir (1994-1998), rata-rata hasil panen atau
produktivitas kubis relatif konstan, yaitu sekitar 21 t/ ha. Nilai ini masih jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas kubis di daerah subtropik seperti di
Jerman (37,6 t/ha), Nederland (49,3 t/ha), dan Amerika Serikat (23 t/ha) (Nieuwhof,
1969). Hal itu antara lain disebabkan oleh (Permadi & Djuariah, 1992) : (1) seleksi
varietas-varietas impor yang dilakukan di daerah subtropik, (2) masa pertumbuhan tiap
hari di daerah subtropik lebih lama daripada masa pertumbuhannya di Indonesia (16-18
jam penyinaran setiap harinya di daerah subtropik), dan (3) adanya gangguan
hama/penyakit yang dapat menggagalkan panen kubis (Sastrosiswojo, 1994).
Kubis mempunyai arti ekonomi yang penting sebagai sumber pendapatan petani dan
sumber gizi (vitamin A dan C) bagi masyarakat. Jika rata-rata pemilikan lahan petani
sekitar 0,4 hektar, maka ada sekitar 165.000 petani terlibat dalam usahatani kubis, belum
termasuk petani kubis-kubisan lainnya. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan
produksi kubis dan kubis-kubisan lainnya perlu dilakukan. Dalam upaya mengatasi
masalah hama/penyakit tanaman kubis, pada umumnya para petani menekankan pada
pengendalian secara kimiawi. Menurut laporan Woodford (1981), biaya penggunaan
pestisida pada tanaman kubis yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Bandung adalah
sebesar 30% dari total biaya produksi. Umumnya pestisida digunakan secara intensif,
baik secara tunggal maupun campuran dari beberapa jenis pestisida, dengan konsentrasi
penyemprotan melebihi rekomendasi dan interval penyemprotan yang pendek, 1-2
kali/minggu (Sastrosiswojo, 1987). Dampak negatif yang timbul sebagai akibat
penggunaan pestisida yang intensif tersebut antara lain adalah : (1) hama ulat daun kubis
( Plutella xylostella L.) menjadi resisten terhadap beberapa jenis insektisida kimia dan
mikroba (Setiawati 1996), (2) resurgensi hama P. Xylostella terhadap Asefat, Permetrin
dan Kuinalfos (Sastrosiswojo, 1988), (3) residu pestisida yang dapat membahayakan
konsumen kubis (Soeriaatmadja, 1988) dan (4) terganggunya kehidupan dan peranan
parasitoid Diadegma semiclausum sebagai musuh alami penting hama P. xylostella
(Sastrosiswojo, 1987). Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, konsep Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) bertujuan membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin,
tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi kubis masih dapat dicapai.
2.5 Hama pada Komoditas yang Diamati
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

Fase Pertumbuhan (Umur Tanaman)


Di persemaian/

Nama Umum dan Nama Ilmiah


Hama
1. Ulat daun kubis (P. Xylostella L.)*

sebelum tanam

2. Kumbang daun (Phyllotreta vittata F.)

Tanaman muda

1. Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufn)*

(umur 1-7 minggu)

2. Ulat daun kubis (P. Xylostella) *


3. Ulat tanah (A. Ipsilon)*
4. Ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis
Zell)*
6. Ulat krop bergaris (Hellula undalis F.)
7.

Ulat

jengkal

kubis

(Chrysodeixis

orichalcea L.)
8. Ulat bawang (Spodoptera exigua Hbn.)
9. Ulat grayak (Spodoptera litura F.)
10. Kutudaun persik (Myzus persicae Sulz.)
11.Ulat buah tomat (Helicoverpa armigera
Tanaman tua (umur

Hbn.)
1. Ulat daun kubis (P. Xylostella)*

8 minggu sampai

2. Ulat krop kubis (C. Binotalis)*

panen)

3. Ulat grayak (S. Litura)


4. Ulat buah tomat (H. Armigera)
5. Ulat berbulu (Deychira inclusa Wlk.)

* Biasanya sebagai hama utama


(Sastosiswojo dkk, 2005)
2.6 Penyakit pada Komoditas yang Diamati
Fase Pertumbuhan (Umur Tanaman)
Di persemaian/
sebelum tanam

Nama Umum dan Nama Ilmiah


Penyakit
1. Penyakit tular tanah (Peronospora
brassicae Fr.)*
2. Busuk lunak (Erwinia carotovora Holland)
3. Rebah kecambah (Rhizoctonia solani
Kuhn, Pythium spp, Fusarium spp.)

Tanaman muda

4. Tepung berbulu (P. parasitica Fr.)*


1. Akar bengkak (Plasmodiophora brassicae

Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

(umur 1-7 minggu)

Wor.)*
2. Busuk lunak (E. Carotovora) *
3. Akar bengkak (P. Brassicae)*
4. Busuk hitam (Xanthomonas campestris
Downs)
5. Rebah kecambah (R. Solani Kuhn, Pythium

Tanaman tua (umur

spp)
1. Akar bengkak (P. brasiccae )*

8 minggu sampai

2. Busuk lunak (E. Carotovora)*

panen)

3. Busuk hitam (X. Campestris)


4. Bercak daun (Alternaria spp)

* Biasanya sebagai penyakit utama


(Sastosiswojo dkk, 2005)

BAB III
KONDISI UMUM WILAYAH
3.1

Lokasi Fieldtrip
Fieldtrip DPT (Dasar Perlindungan Tanaman) dilaksanakan di Desa Sumber
Brantas, Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu. Fieldtrip dilaksanakan pada hari Minggu
tanggal 18 Mei 2014 pada pukul 05.30 13.00.

3.2

Sejarah Lahan
Pada jaman penjajahan Jepang lahan tujuan fieltrip merupakan hutan. Setelah

Indonesia merdeka kakek Pak Ulum mengubah hutan tersebut menjadi lahan pertanian.
Lahan pertanian tersebut diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini. Kawasan disana
berasal dari hutan rakyat raden suryo dimana di dalamnya juga terdapat bumi perkemahan
dan pemandian air panas cangar, di sekitar mata air panas cangar juga terdapat gua-gua
buatan yang di bangun pada saat masa penjajahan Jepang. Pertanian hortikultura
merupakan hasil utama dari desa ini. Penduduk desa sumber brantas hamper seluruhnya
adalah petani yang pada umumnya menghasilkan produk pertanian sayur mayur, desa
Sumberbrantas merupakan desa yang terletak di wilayah barat daya lereng gunung arjuo
yang merupakan daerah pegunungan dan mempunyai hamparan lahan pertanian yang
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

3.3

Penggunaan Lahan

3.3.1

Jenis Penggunaan
Sepanjang tahun lahan milik Pak Ulum digunakan untuk budidaya kubis. Setiap

tahun Pak Ulum dapat memanen 3-4 kali. Pak Ulum lebih memilih untuk menanam kubis
karena lokasinya berada di dataran tinggi sehingga suhu udara cocok untuk ditanami
sayur-sayuran termasuk kubis. Selain itu permintaan pasar yang besar akan kubis
membuat Pak Ulum lebih menanam kubis.
3.3.2

Sistem Tanam yang Ada Di Lokasi Pengamatan


Sistem tanam

yang

ada di

lokasi fieldtrip

menggunakan

monokultur.

Monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu
jenis tanaman pada satu areal.
3.3.3

Jenis Komoditas yang Ada Di Lokasi Fieldtrip


Untuk jenis Komoditas yang ada pada lokasi fieldtrip antara lain wortel, kentang,

kubis, dan bawang prei. Tetapi petani di Desa Sumber Brantas mayoritas mananam wortel
dan kentang.
3.3.4

Potensi Pemanfaatan Musuh Alami dalam mengendalikan OPT


Musuh alami yang terdapat disana tidak secara langsung ada pada tanaman kubis

sehingga tidak terlalu mengendalikan OPT yang dapat mengurangi hasil pertanian yang
ada di sana, dan musuh alami yang ada disana hanya ada beberapa dan tidak terlalu
banyak sehingga tanaman disana tetap terserang oleh organisme pengganggu tanaman dan
organisme yang lainnya yang berada disana. Sehingga pemanfaatan musuh alami tidak di
manfaatkan

Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

BAB IV
METODE PELAKSANAAN
4. 1 Waktu dan Tempat
Fieldtrip Dasar Perlindungan Tanaman dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2014
berlokasi di Desa Sumber Berantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang dilakukan
pada pukul 07.00 11.00 WIB. Hal ini dimaksudkan agar pengamatan pada hama dan
penyakit akan jauh lebih mudah dilakukan pada pagi hari.
4. 2 Alat dan Bahan fungsi
1. Bolpoin
: untuk mencatat hasil wawancara.
2. Buku dan kuisioner
: untuk mencatat hasil wawancara.
3. Kamera
: untuk dokumentasi.
4. Kapas
: untuk menangkap serangga yg berukuran kecil
5. Alkohol 70 %
: untuk membuat pingsan serangga
6. Jarum Pentul
: untuk menusuk serangga agar dapat diamati
7. Sterofom 40 kali 40
: untuk pengamatan serangga
8. Kertas Bufallo ukuran 0,5 kali 2 cm
: untuk pengamatan serangga
9. Kertas Label
: untuk memberi label pada plastik yg ada hama
10. Alteko atau Lem G
: untuk menempelkan serangga
11. Plastik
: untuk menyimpan hama
4. 3 Pengamatan (metode pengamatan)
4.3.1 Pengamatan Hama
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di lahan kubis daerah Desa
Sumber Berantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu ditemukan beberapa arthropoda
yang berpotensi sebagai hama diantaranya adalah kumbang kubah spot, ulat.
Metode yang digunakan selama pengamatan hama di lapang adalah sebagai
berikut:Pengamatan di lakukan di di lahan kubis daerah Desa Sumber Berantas,
Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Kami langsung melakukan pengamatan di lahan,
dan mengidentifikasi hama yang terdapat pada lahan kubis dengan membawa alat
dan bahan yang telah di bawa.
1. Menyiapkan alat dan bahan. Alat yang di bawa selama pengamatan adalah,
Alat tulis; digunakan untuk mencatat data hasil pengamatan, Kuisioner; untuk
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

mendata hasil hama yang ditemukan di lapang, kamera; untuk dokumentasi


hama yang telah ditemukan di lapang.
2. Mencari dan mengamati hama di lapang. Selama pengamatan di lapang, kami
menggunakan pengamatan secara manual, yaitu dengan cara mengambil hama
yang terdapat pada lahan dan hama yang telah ditetemukan.
3. Hama- hama yang telah ditemukan pada lahan kubis kemudian di catat, dan
diidentifikasi dengan menggunakan Sterofom dengan cara hama di letakan di
sterofom lalu kedua ujung sayap tancapkan jarum pentul, apabila ukuran hama
berukuran kecil menggunakan Kertas Bufallo dan sejenisnya yang sudah
digunting dengan ukuran 0,5 kali 2 cm dan bawahnya di olesi lem agar hama
tidak bisa terbang kembali.
4. Mendokumentasikan hama. Hama yang telah di dapat selama pengamatan di
dokumentasikan sebagai bukti telah di dapat hama tersebut selam di lapang.
Melakukan wawancara kepada narasumber. Di samping kita mendapatkan data
di lapang, kami juga melakukan wawancara kepada petani setempat untuk
memperoleh data hama- hama di lapang yang mereka dapati selama mereka
berkebun sayuran kubis.
4.3.2 Pengamatan penyakit
Berdasarkan pengamatan pada fieldtrip pada hari Minggu tanggal 18 Mei 2014
di desa Sumberbrantas Kota Batu, pada tanaman budidaya kubis ditemukan
penyakit yang menyerang daun kubis dengan ciri berwarna kuning, coklat
menyerupai daun yang telah kering, cirri penyakit yang lainnya adalah terdapat
daun yang berwarna putih atau terdapat bercak putih pada daun, cirri berikutnya
adalah terdapat daun dengan bercak hitam dan coklat. Nama penyakit pada daun
tanaman kubis antara lain bercak daun.

4.3.3

Pengamatan Musuh Alami


Berdasarkan pengamatan pada fieldtrip di desa Sumberbrantas Kota Batu,

banyak ditemukan serangga ataupun hewan yang mengganggu tanaman dan juga
hewan yang dapat menguntungkan tanaman (musuh alami). Musuh alami
ditemukan pada lahan kubis, namun letak dari musuh alami sendiri tidak langsung
di tanaman kubis. Musuh alami yang ditemukan yaitu laba-laba ditemukan pada
sekitar daun pisang yang letaknya dekat dengan lahan kubis.
4.3.4 Pengamatan Pengolahan Tanah
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

Berdasarkan pengamatan pada fieldtrip di desa Sumberbrantas, untuk


pengolahan tanah pada lahan tanaman kubis dapat dikatakan sangat intensif.
Dengan menggunakan pola tanam zigzag karena tanaman kubis memiliki daun
yang lebar. Untuk pengolahan tanahnya dibuat dengan diberi bedengan-bedengan
untuk jalannya air.
4.3.5

Pengamatan Penggunaan Pestisida


Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di Desa Sumberbrantas

Bumiaji,salah satu petani disana menggunakan pestisida jenis kimia untuk


memberantas hama yang menyerang tanaman kubisnya. Pestisida ini khususnya
untuk membunuh ulat yang biasanya memakan semua daun kubis yang sudah mulai
tumbuh. Pemakaian pestisida ini yaitu dilakukan saat telah bermunculan dan
memakan semua daun sehingga gejala yang ditimbulkan yaitu daun menjadi
berlubang.
Untuk pencegahan, penyemprotan dilakukan sebelum hama menyerang
tanaman dengan dosis ringan. Unutk penanggulangan, penyemprotan dilakukan
sedini mungkin dengan dosis tepat, agar hama dapat segera ditanggulangi. Jenis
dandosis pestisida yang digunakan dalam menanggulangi hama sangat beragam
tergantung dengan hama yang dikendalikan dan tingkat populasi hama tersebut.
4.3.6

Pengamatan Penggunaan Varietas Tahan


Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Desa Sumberbrantas Bumiaji,

petani disana tidak menggunakan varietas tahan. Karena tanaman kubis sendiri
bukan termasuk varietas tahan. Kubis tersebut bisa terhindar dari hama karena
adanya penggunaan pestisida, bukan karena kubis merupakan varietas tahan. Tetapi
kubis bisa dikatakan sebagai varietas tahan dengan adanya benih unggul yang
mempunyai syarat benih harus bebas dari hama dan penyakit. Pengendalian hama
penyakit menggunakan varietas tahan bertujuan untuk mencegah atau mengurangi
kerugian ekonomis dan meningkatkan atau mempertahankan nilai hasil panen.

BAB V
HASIL dan PEMBAHASAN
1.1

Hasil
5.1.1 Hama yang Ditemukan
Klasifikasi
Kingdom

Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

: Animalia
10

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Diptera

Famili

: Culicidae

Genus

: Culex

Spies

: Culex pipiens

Gejala dan tanda: Gejala awal ditandai dengan noda/titik bekas tusukan ovipositor
(alat peletak telur) lalat betina saat meletakkan telur ke dalam buah. Selanjutnya karena
aktivitas hama di dalam buah, noda tersebut berkembang menjadi meluas. Larva makan
daging buah sehingga menyebabkan buah busuk sebelum masak. Apabila dibelah pada
daging buah terdapat belatung-belatung kecil dengan ukuran antara 4-10 mm yang
biasanya meloncat apabila tersentuh. Kerugian yang disebabkan oleh hama ini mencapai
30-60%. Kerusakan yang ditimbulkan oleh larvanya akan menyebabkan gugurnya buah
sebelum mencapai kematangan yang diinginkan.
Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda,

Kelas

: Insect

Ordo

: Coleoptera
Family

: Chrysomelidae

Spesies

: Phyllotreta vittata F.

Gejala : Gejala serangan yang umumnya ditimbulkan oleh Chrysomelidae adalah


pada fase larva membuat lubang pada daun, akar, kuntum bunga dan bunga, sedangkan
untuk serangga dewasa juga dapat memakan daun.

Klasifikasi
Kingdom
Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Ordo
Famili
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

: Animalia

: Lepidoptera,
: Pyralidae
11

Spesies : Hellula undalis (striped cabbage heart caterpillar)


Gejala : Ngengat H undalis berwarna kelabu dan pada sayap depan terdapat garisgaris pucat serta titik-titik. Larvanya berwarna kuning kecoklatan dengan kepala hitam
dan pada badannya terdapat enam garis yang memanjang berwarna coklat. Pupanya di
tanah terbungkus kokon, tertutup oleh partikel tanah. Daur hidupnya 23-25 hari.
Serangan larva muda seperti serangan yang disebabkan oleh Plutela sp. dan gejala
serangan larva tua seperti gejala serangan Crocidolomia sp. Tanaman inang H.undalis
adalah Petsai, sawi, lobak, dan, kubis tunas.
Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda (kaki beruas-ruas)

Kelas

: Insecta (serangga)

Ordo

: Hymenoptera

Familia

: Apidae (belum diketahui)

Genus

: Apis

Spesies

: Apis mellifera

Gejala : Pada tanaman budidaya yang kita tanam terjadi terdapat bintil-intil
pada permukaan daun dan jika ada bunga terdapat seperti cairanyaitu untuk
penyerbukan

Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Lepidoptera

Family

: Yponomeutidae

Genus

: Plutella

Spesies

: P. Xylostella

Gejala : Ngengat P. xylostella kecil berwarna coklat kelabu, pada sayap depan
terdapat tanda tiga berlian. Ngengat aktif pada senja dan malam hari dengan meletakkan
telur tersebar pada daun. Stadium telur 3-5 hari. Larva instar pertama berukuran 1,2 mm
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

12

berwarna hijau cerah dengan kepala tampak hitam. Stadium larva 7-11 hari. Pupanya
tertutup oleh kokon, berwarna kuning pucat. Daur hidupnya berkisar 21 hari.Daun yang
terserang P. xylostella berlubang-lubang kecil dan bila serangan berat, tinggal tulang daun.
5.1.2 Musuh Alami
Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Lepidoptera

Famili

: Hesperiidae

Spesies

: Mycalesis horsfieldi

Gejala : Larvanya menjadi hama dengan menggigit


dan mengunyah daun-daun hingga robek. Selain itu hama ini juga menyerang buah-buah,
membuat buah menjadi busuk. Daun-daun yang dihinggapi telur serangga ini akan
menjadi makanannya setelah telur-telur tersebut menetas nantinya.
5.1.3 Serangga Lain

Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Kelas

: Insekta

Ordo

: Diptera

Family : Agromyzidae
Genus

: Liriomyza

Spesies : Liriomyza huidobrensis


Gejala: Lalat betina dengan ovipositornya menusuk buah dan meletakkan telurnya
dalam lapisan epidermis. Pada waktu menetas, larvanya akan memakan daging buah
hingga warna buah menjadi jelek dan tidak dapat dimakan. Biasanya serangan lalat ini
diikuti hama lain.Telur kadang diletakkan tidak hanya di dalam buah, tetapi juga pada
bunga dan batang. Batang yang terserang akan menjadi bisul.Sementara itu buahnya akan
menjadi kecil dan berwarna kuning.
5.1.4

Penyakit yang ditemukan


Klasifikasi
Kingdom

: Myceteae

Divisi

: Amastigomycota

Subdivisi

: Deuteromycota

Kelas

: Deuteromycetes

Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

13

Ordo

: Moniliales

Famili

: Tuberculariaceae

Genus

: Fusarium

Spesies

: Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici


Gejala awal penyakit layu Fusarium tomat berupa pucatnya tulang daun, terutama

daun sebelah atas, kemudian diikuti dengan merunduknya tangkai, dan akhirnya
tanaman menjadi layu secara keseluruhan. Seringkali kelayuan didahului dengan
menguningnya daun, terutama daun bagian bawah. Kelayuan dapat terjadi sepihak. Pada
batang kadang terbentuk akar adventif. Pada tanaman yang masih muda dapat
menyebabkan matinya tanaman secara mendadak karena pada pangkal batang terjadi
kerusakan
Klasifikasi
Phylum

: Prokaryota

Kelas

: Scizomycetes

Ordo

: Pseudomonadales

Famili

: Pseudomonadaceae

Genus

: Xanthomonas

Spesies

: Xanthomonas campestris pv. Oryzae

Gejala: Bakteri Xanthomonas campestris pv. Oryzae berbentuk batang pendek, di


ujungnya mempunyai satu flagel dan berfungsi sebagai alat gerak. Bakteri ini berukuran
6-8 bersifat aerob,gram negatif dan tidak membentuk spora . Diatas media PDA bakteri
ini membentuk koloni bulat cembung yang berwarna kuning keputihan sampai kuning
kecoklatan dan mempunyai permukaan yang licin. Pada penyakit ini yang ditimbulkan
adalah bercak bercak yang timbul pada daun dan merugikan pada tanaman budidaya.
5.2
Jenis Pengendalian yang dilakukan petani
5.2.1 Pengolahan tanah
Pengolahan tanah yang dilakukan oleh pak Sariadi yakni dengan mencangkul
dengan cangkul tradisional. Hal ini dilakukan karena lahan yang beliau miliki tidak
terlalu luas, selain itu penggunaan bajak traktor pun membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Sehingga beliau mengolah tanah dengan cangkul. Beliau mengolah tanah pada
saat akan memulai budidaya, hal ini dilakukan untuk membalik tanah, sehingga tanah
bagian dalam mendapatkan cahaya matahari dan udara untuk memenuhi kebutuhan hara
tanah dan juga untuk membunuh gulma yang berada di sekitar lahan budidaya.
5.2.2 Pemanfaatan musuh alami
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

14

Berdasarkan hasil wawancara dengan pak Sariadi, beliau mengatakan bahwa tidak
adanya musuh alami pada lahan yang dimilikinya. Beliau hanya menemukan ulat kubis
pada lahan kubisnya dan ulat kubis merupakan hama kubis. Beliau tidak mengandalkan
musuh alami pada lahan kubisnya. Jika serangan hama meningkat, beliau akan langsung
menyemprotnya dengan pestisida. Beliau melakukan hal tersebut untuk mendapatkan
hasil kubis yang baik sehingga dapat laku terjual di pasar.
5.2.3 Penggunaan Pestisida
Berdasarkan hasil praktikum lapang di daerah Sumberbrantas, Bumiaji, Kabupaten
Malang kami mewawancari seorang petani bernama Bapak Sariadi. Data yang kami
dapatkan dari hasil wawancara tersebut adalah Bapak Sariadi mengugkapkan bahwa
dirinya dan mayoritas petani-petani di daerah tersebut masih memakai pestisida kimia
dalam pengendalian hama. Pestisida yang biasa di gunakan adalah pestisida jenis
Diestela, Antrakol, Dakonil, dan Natifo, dengan dosis 250cc/drim. Ketika kami
menanyakan mengenai penggunaan pesisida nabati beliau mengungkapkan bahwa
beliau juga menggunakan pestisida nabati, namun frekuensinya masih jauh dari
pestisida kimia. Pertanian di daerah Sumberbrantas tersebut sebenarnya sudah mulai
menerapkan system pertanian organic,namun menurut Bapak Sariadi butuh proses untuk
membiasakan bertani tanpa menggunakan pestisida kimia, tidak bisa secara langsung.
Hal ini di karenakan petani-petani di daerah tersebut sudah sangat tergantung dengan
pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit pada tanaman kubis dan wortel yang
mereka budidayakan. Menurutnya bila tanaman yang sudah terbiasa disemprot
pestisida, kemudian di hentikan sama sekali maka jumlah tanaman yang terserang hama
akan meningkat, produksi rendah dan berakibat gagal panen, dan petani akan merugi.
Ketika kami menanyakan mengenai perbedaan hasil antara menggunakan pestisida
kimia dan pestisida nabati, menurut Bapak Sariadi untuk tanaman wortel misalnya
perbedaannya hanya pada warna. Wortel yang menggunakan pestisida nabati memliki
warna yang lebih merah dan ukuran yang agak besar. Sedangkan wortel yang
menggunakan pestisida kimia warnana lebih pudar dan ukurannya lebih kecil daripada
yang menggunakan pestisida nabati. Namun, menurut Bapak Sariadi jika menggunakan
pestisida nabati hasilnya sedikit dan rawan terserang hama penyakit, sehingga Bapak
Sariadi dan petani-petani yang lain lebih memilih menggunakan pestisida kimia. Dalam
bidang pengendalian hama tanaman petani memang masih mengandalkan penggunaan
pestisida terutama pestisida kimia. Karenanya kebutuhan akan pestisida setiap tahun
selalu meningkat (Sudarmo, 1991).
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

15

Bapak Sariadi mengungkapkan bahwa penggunaan pestisida yang luar biasa


adalah pada saat pergantian musim antara musim kemarau dan musim penghujan. Jika
sudah memasuki masa-masa pergantian musim serangan hama ulat kubis, bercak daun
pada kubis dan wortel sangat meresahkan petani. Sehingga penyemprotan pestisida
dilakukan hingga 3x dalam seminggu. Bapak Sariadi mengaku tidak peduli akan bahaya
residu pestisida pada tanaman, menurutnya yang penting adalah tanaman tumbuh dengan
baik, dengan tampilan yang menarik dan laku dengan harga yang mahal.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa petani di daerah tersebut
termasuk petani yang konvensional karena sangat tergantung pada pestisida kimia, dan
tidak dapat mengontrol pertaniannya sendiri.
5.2.4 Penggunaan Varietas Tahan
Berdasarkan praktikum lapang, Bapak Sariadi mengungkapkan bahwa untuk penggunaan
varietas tahan dirinya dan petani-petani yang lain tidak menggunakan varietas tahan yang di
jual di toko-toko pertanian, beliau dan petani-petani lain hanya membeli benih biasanya
dengan harga Rp85000/kg. Sedangkan untuk wortel bapak Sariadi dan juga petani-petani
yang lain menanam sendiri bibit wortel. Yakni dengan cara menanam buah wortel. Lalu
memindahkan bibit yang telah tumbuh. Jadi bapak Sariadi dan juga petani-petani lain di desa
tersebut tidak menggunakan varietas tahan dalam budidaya kubis dan wortel.
5.3 Pembahasan
5.3.1 Pembahasan mengenai jenis OPT yang ditemukan dbeserta hubungannya
dengan pengendalian yang digunakan dan dibandingkan dengan literatur.
Berdasarkan hasil praktikum lapang di daerah Sumberbrantas, Bumiaji,
Kabupaten Malang. Yang dilakukan di lahan Bapak Sariadi, dimana bapak ini
membudidayakan tanaman sayura yaitu kubis, pada lahan kubis ini ditemukan hama
yaitu Phillotreta xylostella (ulat daun), berdasarkan pengamatan yang dilakukan di
lapang tanda dari hama tersebut adalah merusak daun kubis dengan cara memakannya,
hal ini dapat membuat daun kubis menjadi berlubang, namun berdasarkan wawancara
yang dilakukan pada bapak Sariadi, dalam penendaliannya beliau menggunakan
pestisida yaitu pestisida jenis Diestela, Antrakol, Dakonil, dan Natifo, dengan dosis
250cc/drim, pengendalian

dengan tia jenis pestisida ini di anggap sebagai

pengendalian yang sangat tepat oleh bapak Sariadi, khususnya pada tanaman sayuran,
Pendapat ini didukung oleh jurnal dari Kruniasih dan Paramita (2006) pada
jurnal KAJIAN PENGGUNAAN PESTISIDA PADA BUDIDAYA TANAMAN
SAYURAN OLEH PETANI SLPHT DAN NON-SLPHTDI PROVINSI JAWA
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

16

TIMUR yang menyatakan bahwa pada budidaya tanaman sayuran penggunaan


pestisida dalam pengendalian OPT tanaman lebih dari 3 macam formulasi pestisida,
hal ini sangat tergantung pada tingkat dan macam serangan OPT.
Selain jenis hama yang ditemukan dalam praktikum yang dilakukan juga
menemukan sejumlah penyakit, yaitu penyakit klorosis, embun tepung, bercak daun
kerdil, dan layu fusarium, jenis penyakit ini dikendalikan menggunakan pengendalian
kimia yaitu menggunakan pestisida jenis Diestela, Antrakol, Dakonil, dan Natifo,
dengan dosis 250cc/drim.
Hal ini sesuai dengan jurnal yang ditulis oleh Nurhayati yang berjudul
PENGGUNAAN JAMUR DAN BAKTERI DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT
TANAMAN SECARA HAYATI YANG RAMAH LINGKUNGAN yaitu Penggunaan
bahan kimia yang terus menerus ternyata memberikan dampak yang tidak baik
terhadap lingkungan.Akhir-akhir ini orang semakin menyadari bahwa penggunaan
pestisida yang berlebihan tidak saja berakibat buruk terhadap lingkungan pertanian
itus sendiri seperti matinya organism berguna, kebalnya hama atau pathogen akan
tetapi residu yang terbawa oleh tanaman akan sangat berbahaya bagi kesehatan
masyarakat. Oleh karenanya pelaksanaan program pengendalian hama dan penyakit
terpadu merupakan angka strategis untuk mencapai tujuan yang digagas oleh
pemerintah selama ini. Hal ini karena dengan meminimalkan penggunaaan bahan
kimia dan menggantikannya dengan penggunaan bahan-bahan yang ramah linkungan
maka diharapkan produksi yang dihasilkan akan aman dikonsumsi disamping
terjaganya kelestarian lingkungan serta pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan. Pengembangan pertanian yang memanfaatkan pengendalian hama
ataupun penyakit secara hayati tidak saja akan memberikan hasil yang efektif, tidak
merusak atau mematikan organisma berguna, tidak berdampak negative terhadap
konsumen ataupun menghasilkan ledakan hama atau penyakit skunder akan tetapi
lebih berwawasan ramah terhadap lingkungan. Akhir-akhir ini telah banyak
dikembangkan

pemanfaatan

agensia

dari

jenis

jamur

dan

bakteri

untuk

menggendalikan serangan pathogen pada tanaman. Pemanfaatan jamur dan bakteri


sebagai agensia pengendalian hayati mempunyai prospek yang cukup menjanjikan
karena selain mudah diperoleh, agensia ini dapat , mencegah timbulnya ledakan OPT
sekunder; produk tanaman yang dihasilkan bebas dari residu pestisida, terdapat di
sekitar pertanaman sehingga dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap

Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

17

pestisida sintetis; menghemat biaya produksi, aman bagi manusia serta ramah
lingkungan.
5.3.2 Pembahasan Serangan OPT Dikaitkan Dengan Konsep Ambang Ekonomi Dan
Ambang Kerusakan
Kerusakan yang diakibatkan dari adanya OPT di lahan pertanian kubis milik
Bapak Sariadi sudah melebihi ambang batas ekonomi dan kerusakan jika

bercak

daun pada kubis dan wortel sangat meresahkan petani. Pada saat serangan OPT
merebak hasil panen Bapak Sariadi dari seharusnya 10 ton menjadi 4 ton saja. Cara
yang dilakukan Bapak Sariadi dan petani disana adalah dengan melakukan
penyemprotan pestisida secara terjadwal, yaitu dilakukan hingga 3x penyemprotan
dalam seminggu. Dari data tersebut data kita simpulkan bahwa dengan adanya OPT
yang menyerang tanaman kubis maupun wortel dalam lahan pertanian Bapak sariadi
sudah sangat merugikan hingga 30% - 50% dari total biaya produksi per hektar.
Tindakan pengendalian hama atas dasar ambang ekonomi adalah tindakaan
pengendalian sedini mungkin. Aplikasinya ditujukan terhadap hama yang sedang
menyerang tanaman. Oleh karena itu, biasanya digunakan pengendalian dengan cara
kimiawi sebab lebih cepat dan lebih praktis dalam menekan populasi hama. Dalam
suatu nilai ambang ekonomi, untuk suatu jenis hama pada tanaman tertentu di suatu
daerah banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Nilai ambang ekonomi untuk
berbagai jenis hama akan berbeda. Demikian pula nilai ambang ekonomi untuk hama
yang sama pada berbagai jenis tanaman bisa berbeda (Natawigena, 1993). Perhitungan
ambang kendali yang dicontohkan Untung (2006), didasarkan pada nilai ambang
pendapatan. Dua faktor yang sangat berpengaruh adalah harga jual dan biaya
pengendalian. Efektifitas pengendalian diasumsikan 100% sehingga dengan biaya
yang digunakan populasi hama dapat dihilangkan di lapangan. Persamaan regresi
digunakan sebagai dasar menetapkan jumlah tingkat kehilangan hasil per individu
larva.
Penerapan ambang pengendalian kerusakan akibat OPT dilakukan salah
satunya untuk menekan penggunaan pestisida. Menurut Untung (1994) penggunaan
pestisida tidak harus dilakukan setiap saat secara rutin atau terjadwal, tetapi hanya
pada waktu tertentu yaitu pada saat populasi atau intensitas serangan OPT mencapai
batas yang memerlukan pengendalian dengan cara yang disebut dengan ambang
pengendalian. Jika pada saat itu tidak dilakukan pengendalian, serangan OPT masih
berada dibawah ambang pengendalian, pestisida belum perlu digunakan. Pada saat
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

18

demikian keberadaan OPT masih dapat dikendalikan secara alami oleh musuh
alaminya.
5.3.3 Keunggulan Pengendalian yang diterapkan oleh petani
Berdasarkan hasil fieldtrip yang telah dilakukan di daerah Sumber Brantas
kecamatan Bumiaji Kabupaten Malang, diperoleh data bahwa Bapak Sariadi
mengendalikan hama dengan menggunakan pestisida kimia. Namun, terkadang beliau
juga menggunakan pestisida nabati meskipun frekuensinya masih jauh dari pestisida
kimia. Selain itu, Pak Sariadi juga menggunakan varietas tahan untuk mencegah
tanaman budidaya terserang penyakit. Beberapa kelebihan dari cara ini, yaitu :
1. Pestisida kimia :
Mudah di dapatkan di berbagai tempat
Zatnya lebih cepat bereaksi pada tanaman yang diberi pestisida
Kemasan lebih praktis
Bersifat tahan lama untuk disimpan
Daya racunnya tinggi (langsung mematikan bagi serangga)
2. Pestisida nabati :
Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misalnya dengan bau yang
menyengat
Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot
Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa
Menghambat reproduksi serangga betina
Racun syaraf bagi hama
Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga
Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap
serangga
Mengendalikan pertumbuhan jamur/bakteri
Dapat menyebabkan gangguan dalam proses metamorfosa dan gangguan
makan (anti feedant) bagi serangga
3. Varietas tahan :
Dari segi ekologis mempunyai kekhususan
Bersifat komulatif, mudah diadopsi oleh petani
Aman dan ekonomis
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

19

Dapat menghambat perkembangan serangga yang bertindak sebagai vektor


penyakit
Adanya sifat keserasian dengan cara pengendalian yang lain
5.3.4

Analisis Keadaan Pertanian yang ada di lokasi pengamatan


Lahan yang diamati di desa Sumber Brantas merupakan lahan pertanian berupa
tegalan yang berada di dataran tinggi. Sebelum melakukan penanaman, tentunya
diadakan proses pengolahan lahan. Dalam mengolah lahan, Pak Sariadi menggunakan
cara pengolahan yang umum dan sering dilakukan oleh para petani, yaitu dengan
mencangkul. Karena lahan yang diolah tidak terlalu luas, beliau tidak menggunakan
bajak traktor. Biaya yang cukup mahal juga menjadi pertimbangan Pak Sariadi untuk
tidak menggunakan bajak traktor. Selain itu dengan mencangkul, gulma disekitar juga
akan ikut terkendali.
Komoditas tanaman yang dibudidayakan oleh Bapak Sariadi adalah kubis
dengan pola tanam monokultur dan sistem tanam zig-zag. Tujuan menanam secara
monokultur adalah meningkatkan hasil pertanian. Misalnya pada lahan yang diamati
hanya ditanami tanaman kubis. Disisi lain, penanaman monokultur menyebabkan
terbentuknya lingkungan pertanian yang tidak mantap. Tanah pertanian harus diolah
terlebih dahulu, dipupuk dan disemprot dengan insektisida. Jika tidak, tanaman
pertanian mudah terserang hama dan penyakit. Jika tanaman pertanian terserang hama,
maka dalam waktu cepat hama itu akan menyerang wilayah yang luas. Petani tidak
dapat panen karena tanamannya terserang hama. Kelebihan sistem ini yaitu teknis
budidayanya relatif mudah karena tanaman yang ditanam maupun yang dipelihara
hanya satu jenis. Namun, kelemahan sistem ini adalah tanaman relatif mudah terserang
hama maupun penyakit.
Sedangkan sistem tanam zig-zag bertujuan untuk menjaga kelembaban antar
tanaman sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman satu sama lain. Suhu
udara disana sangat cocok untuk ditanami sayur-sayuran termasuk kubis. Permintaan
pasar yang tinggi terhadap kubis juga menjadi pertimbangan Pak Sariadi untuk lebih
memilih menanam kubis. Dalam satu tahun, Pak Sariadi bisa memanen kubis 3-4 kali.
Selain itu, komoditas lain yang ada di lokasi pengamatan adalah wortel, kentang, dan
bawang prei.
Dapat disimpulkan bahwa pola tanam yang diterapkan Pak Sariadi cukup baik.
Namun, akan lebih baik lagi apabila Pak Sariadi menerapkan sistem tumpang sari.
Contohnya antara tanaman kubis dengan tomat. Sehingga nilai ekonomisnya akan

Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

20

lebih tinggi dan hama yang menyerang akan lebih terkendali. Dan untuk sistem
pertanian yang diterapkan masih kurang baik karena dalam pengendalian hama dan
penyakit masih menggunakan pestisida kimia maupun nabati.
5.3.5 Potensi Pemanfaatan Musuh Alami Dalam Mengendalikan OPT
Pengendalian hayati adalah pengendalian OPT dengan melibatkan peranan
musuh alami dari OPT tersebut, pengertian lain menyebutkan bahwa pengendalian
hayati pada dasarnya merupakan pengendalian populasi OPT dengan menggunakan
populasi agen hayati. Populasi OPT berupa populai hama, populasi patogen tanaman,
atau populasi gulma. Populasi agen hayati berupa populasi predator, populasi
parasitoid, populasi entomopatogen, populai antagonis, populasi pemakan gulma, dan
sebagainya. Pengendalian hayati ini dilakukan dengan cara mengkondisikan populasi
agen hayati (musuh alami) untuk menyerang populasi OPT, dengan harapan populasi
musuh alami dapat mengalahkan populasi OPT. Pengendalian hayati berbeda dengan
pengendalian alami dalam hal keterlibatan manusia dalam menangani agen pengendali
yang terlibat. Pada pengendalian hayati, agen hayati secara sengaja diintroduksi,
dibiakkan secara masal, dan kemudian dilepaskan untuk mengendalikan OPT.
Sebaliknya, dalam pengendalian alami agen pengendali ada yang dengan sendirinya
telah berada dialam. Agens hayati disini yang dimaksud adalah musuh alami seperti
predator, parasitoid, entomopatogen, antagonis, dan pemakan gulma. Pengendalian
hayati di Indonesia telah diterapkan, misalnya penggunaan parasitoid telur
Trichogrammatoidae bactrae yang digunakan untuk mengendalikan hama ulat daun
kubis. Predator dan parasitoid mempunyai pengertian bahwa, predator adalah
organisme yang memangsa organisme lain, umumnya predator mempunyai ukuran
lebih besar dari mangsanya, dengan cara kerja memakan mangsanya secara langsung.
Sedangkan parasitoid adalah serangga yang memarasit (hidup dan berkembang dengan
menumpang) serangga lain (yang disebut inang). Parasitoid ada yang berkembang
didalam tubuh inang (endoparasit), dan ada yang berkembang di luar tubuh inang
(ektoparasitoid). Inang yang diparasit dapat berupa telur, larva, nimfa, pupa atau
imago serangga hama. Umumnya cara kerja parasitoid dengan meletakan telur pada
inangnya (telur, larva, nimfa, pupa atau imago), kemudian setelah menetas larvanya
memakan/menghisap cairan tubuh inangnya tersebut hingga mati. Selain predator dan
parasitoid juga terdapat patogen dan agens antagonis.
Patogen merupakan mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi dan
menimbulkan penyakit terhadap OPT. Secara spesifik mikroorganisme yang dapat
menimbulkan penyakit pada serangga disebut entomopatogen, patogen berguna karena
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

21

mematikan banyak jenis serangga hama tanaman, seperti jamur, bakteri dan virus.
Cara kerjanya yaitu patogen tersebut masuk kedalam tubuh serangga melalui kulit
diantara ruas-ruas tubuhnya, mekanisme penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan
spora pada kutikala, didalam tubuh inangnya, hifa berkembang dan selanjutnya
memasuki pembuluh darah, melalui beberapa proses lebih lanjut di dalam tubuh
menyebabkan kematian serangga.
Sedangkan agens antagonis mempunyai pengertian bahwa mikroorganisme
yang mengintervensi/menghambat pertumbuhan patogen penyebab penyakit pada
tumbuhan dengan cara menghambat pertumbuhan lawannya atau dengan persaingan
tempat dan makanan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pak Sariadi, beliau mengatakan bahwa
tidak adanya musuh alami pada lahan yang dimilikinya. Beliau hanya menemukan ulat
kubis pada lahan kubisnya dan ulat kubis merupakan hama kubis. Beliau tidak
mengandalkan musuh alami pada lahan kubisnya. Jika serangan hama meningkat,
beliau akan langsung menyemprotnya dengan pestisida. Beliau melakukan hal tersebut
untuk mendapatkan hasil kubis yang baik sehingga dapat laku terjual di pasar. Namun
konsekkuensi

penggunaan

pestisida

berlebih

adalah

pemborosan

sehingga

meningkatkan biaya produksi. Dampaknya berakibat kerugian yang lebih besar lagi
seperti terjadinya pencemaran racun pestisida pada hasil panen dan lingkungan,
musnahnya musuh alami, timbulnya ketahanan OPT serta terjadinya resurgensi hama
tertentu. Salah satu alternatif pengendalian OPT yang dapat digunakan adlaah
pengendalian hayati dengan memanfaatkan pendekatan kuantitas, kualitas serta
diversitas musuh alami dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Ketidakseimbangan ekosistem pada lahan pertanian akan berpengaruh terhadap
pengendalian hayati pada lahan tersebut, dikarenakan punahnya beberapa serangga
yang berfungsi sebagai musuh alami. Salah satu faktor yang menyebabkan
ketidakseimbangan itu antara lain disebabkan penggunaan bahan kimia yang tidak
ramah lingkungan dan tidak tepat waktu, fungsi maupun sasarannya. Untuk itu
diperlukan tindakan untuk menyelamatkan keseimbangan ekosistem tersebut, sehingga
pengendalian hama maupun penyakit secara terpadu dapat terlaksana dan tercipta pola
pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penggunaan bahan kimia untuk
mengendalikan OPT yang berlebihan, tidak tepat waktu, fungsi dan sasaran hanya
akan menyebabkan resiko yang semakin parah diwaktu yang akan datang.
5.3.6 Rekomendasi Terhadap Kegiatan Budidaya yang Ada di Lokasi Fieldtrip
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan, dapat
diidentifikasi bahwa pertanian yang dilakukan oleh para petani di desa Sumberbrantas
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

22

khususnya Bapak Sariadi sangat kurang baik. Hal ini dikarenakan penggunaan
pestisida dalam jumlah yang cukup banyak dalam membasmi hama yang ada di lahan
pertanian. Penggunaan pestisida secara terus menerus tersebut dapat meracuni tanah
sekitar tanaman dan juga akan memberi dampak negatif bagi manusia terutama dalam
hal kesehatan. Oleh karena itu, kami merekomendasikan kepada para petani,
khususnya Bapak Sariadi untuk mengatasi hama dengan menggunakan teknik
pengendalian hama terpadu seperti menggunakan musuh alami untuk mengendalikan
serangan hama, atau dapat pula diterapkan pola penanaman secara tumpang sari. Pola
penanaman tumpang sari akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan
tanaman budidaya maupun pengendalian jumlah OPT di lahan. Dengan pola
penanaman tumpang sari, terdapat beberapa jenis tanaman di lahan yang akan
menciptakan kondisi lingkungan atau habitat hidup yang disukai atau mendukung
kehidupan musuh alami. Sehingga jumlah musuh alami dapat mengendalikan jumlah
OPT atau hama yang ada di lahan. Pada keadaan tersebut, hama atau OPT masih tetap
dapat ditemukan di lahan, tetapi keberadaannya tidak akan mengganggu tanaman
budidaya dan menimbulkan kerugian secara ekonomi.
Dapat

kami

rekomendasikan

pula

bahwa

komoditas

kubis

dapat

dikombinasikan dengan tanaman selasih, cabai rawit, atau lainnya. Hal ini diperkuat
pula dengan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Seto Pandu Kristanto,
Sutjipto, Soekarto di desa Semboro, Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember dengan
judul Pengendalian Hama Pada Tanaman Kubis Dengan Sistem Tanam Tumpangsari,
dinyatakan bahwa Perlakuan P1, P2, P3, P4, P5 dan P6 dalam mengendalikan hama
P.xylostella menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata, namun pada perlakuan P4
(kubis + selasih) menunjukan hasil populasi hama P.xylostella paling rendah yaitu
sebesar 1.17 ekor/tanaman, hal ini dikarenakan ulat tersebut terganggu dengan adanya
aroma dari tanaman selasih.
Pengendalian

yang

kami

rekomendasikan

dapat

dilakukan

dengan

memperhatikan kondisi dan keadaan tanah, cara budidaya, dan pengendalian terhadap
populasi OPT tersebut. Pertama-tama usaha yang harus dilakukan petani adalah untuk
mengurangi penggunaan pestisida kimia, sehingga kondisi lingkungan tidak akan
tercemar. Selanjutnya dapat dilakukan pengolahan tanah untuk menciptakan kondisi
tanah yang sehat. Kemudian dapat didukung dengan penggunaan varietas tahan dan
bibit maupun benih yang sehat, sehingga tanaman tahan terhadap serangan OPT
maupun penyakit. Dengan demikian tercipta keseimbangan di alam.
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

23

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hama adalah binatang yang dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi, pada
tanaman budidaya. Berdasarkan fieldtrip yang dilaksanaan di dusun

Sumberbrantas,

Kecamatan Bumiaji, Kabupaten Malang, pada tanaman kubis yang diamati, ditemukan hama
ulat daun Phillotreta xylostella sebagai hama, selain hama juga ditemukan penyakit yaitu
penyakit layu pusarium. Dengan adanya OPT tersebut petani menggunakan pengendalian
pestisida, namun pengendalian lain juga digunakan yaitu dengan menggunakan benih unggul,
yaitu benih yang bebas dari hama dan penyakit. Hal inilah yang dilakukan oleh Bapak Sariadi
pada tanaman kubisnya.
Pestisida merupakan bahan kimia beracun yang digunakan untuk mengendalikan
hama, pengendalian ini memang mempunyai dampak positif yang sangat banyak, namun para
petani lebih suka menggunakan pestisida karena selain cara kerjanya yang cepat, pestisida
juga merupakan pengendalian yang sangat simpel dibandingkan dengan pengendalian yang
lain, namun kami sebagai mahasiswa seharusnya berpikir secara luas, karena di dalam suatu
ekosistem itu membutuhkan yang namanya keseimbangan, jika pengendalian pestisida
dilakukan terus menerus dan tidak sesuai dengan anjuran maka akan menyebabbkan
ketidakseimbangan ekosistem. Selain itu juga akan menyebabkan resistensi dan resurjensi
pada hama itu sendiri. Maka dari itu, sangat dibutuhkan suatu tindakan yaitu dengan
melakukan pengendalian hama terpadu (PHT) guna untuk mengendalikan hama yang
menyerang pada suatu tanaman budidaya, supaya ekosistem yang ada tetap terjaga tanpa ada
kerusakan pada tanaman itu sendiri maupun pada ekosistem yang lain.
5.2 Saran
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

24

Dengan adanya fieldtrip yang telah dilakukan, harapan kami untuk para petani adalah
agar tidak untuk menggunakan pestisida yang berjenis kimia dalam mengendalikan hama
yang menyerang tanaman budidayanya. Walaupun tindakan tersebut secara kasat mata
menguntungkan karena pengurangan hama yang begitu drastis, tetapi hal ini justru merugikan
jika dilakukan secara berkepanjangan. Ada hal lain yang lebih efektif dilakukan jika kita
masih mempedulikan ekosistem yang ada, yaitu dengan dilakukan pengendalian hama secara
terpadu. Dengan pengendalian ini, ekosistem yang ada tidak akan rusak.
Selain saran yang ditujukan kepada para petani, kami juga memiliki saran bagi para
praktikan agar mulai dari sekarang supaya mempelajari hal-hal yang harus dilakukan untuk
menghindari perbuatan-perbuatan yang merusak ekositem sehingga merugikan pada lingkup
pertanian. Hal yang perlu dilakukan ialah dengan mempelajari dan melakukan tindakan yang
berakhir dengan hal positif sehingga pertanian di Indonesia bersifat berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Apple, J.L. 1978. Principles of Integrated Pest Control. IRRI Mimeograph
Natawigena, Hidayat. 1993. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Bandung: Penerbit
Trigenda Karya.
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

25

Nieuwhof, M. 1969. Cole crops. Leonard Hill : London.


Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Permadi, A.H. & D. Djuariah. 1992. Seleksi daya krop dan ketahanan terhadap bolting
kubis semusim di dataran rendah. Bul. Penelitian Hortikultura 22(4) : 99-106.
Salikin, Karwan A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan.Yogyakarta: Kanisius
Sastrosiswojo, dkk. 2005. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman Kubis. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran : Bandung
Sastrosiswojo, S. 1987. Perpaduan pengendalian secara hayati dan kimiawi hama ulat daun
kubis ( Plutella xylostella L; Lepidoptera : Yponomeutidae) pada tanaman kubis.
Disertasi Fakultas Pascasarjana UNPAD : Bandung.
Sastrosiswojo, S. 1988. The effect of insecticide applications on the fecundity and longevity of
diamondback moth, Plutella xylostellaL. (Lep. : Yponomeutidae). Dalam Tohari,
M., S. Tjitrosemito, R. Umaly, A.G. Ibrahim, J.P. Sumangil, S.M. Bato, C.T. Hing
& D.M. Sitompul (Eds.). Proccedings of the Symposium of Pests Ecology and Pest
Management 32: 123-128. Bogor
Setiawati, W. 1996. Status resistensi Plutella xylostella L. strain Lembang, Pangalengan dan
Garut terhadap insektisida Bacillus thuringiensis. J. Hort. 6(4) : 387-39
Smith, R.F.1978. Distory and Complexity of Integrated Pest Management. In: Pest Control
Strategis. S.H. Smith and D. Pimentel (Ed.). Acad. Press: New York.
Soeriaatmadja, R.E.. 1988. Pemeriksaan residu insektisida dalam buah tomat dan tanaman
kubis di Kecamatan Lembang, Pangalengan dan Cisurupan. Media Penelitian
Sukamandi 6 : 13-21.
Sudarmo, Subyakto. 1991. Pestisida. Kanisius. Yogyakarta.
Suryadi & A.H. Permadi. 1998. Evaluasi pertumbuhan dan daya hasil sepuluh ginotipe kubis
di dataran tinggi dan medium. J. Hort. 7(4) : 864-869.
Untung, K. 1984. Pengantar Analisis Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset:
Yogyakarta.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta
Untung, K. 1994, Konsep, strategi, dan taktik pengendalian hama terpadu dalam menunjang
pembangunan pertanian berkelanjutan, Prosiding lokakarya pengembangan
entomologi di kawasan timur Indonesia dalam upaya menunjang pengendalian

Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

26

hama terpadu, Faperta Universitas Samratulangi, Manado PHT-BAPPENAS, hlm.


1-20
Untung, K. 2006 a. Penerapan Konsep Pengendalian Hama Terpadu Sebagai
Proses
Koordinasi

Pemberdayaan. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Rapat


Wilayah III Himpunan Mahasiswa Perlindungan Tanaman

Indonesia. Universitas Brawijaya, 18 Maret 2002. hal 9.


Woodford, J.A.T. 1981. The use of agrochemicals on potato, tomato, and cabbage in West
Java. BPTP Lembang-Project ATA-28. 37

Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman

27

Anda mungkin juga menyukai