PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman sayuran dimasukkan kedalam golongan tanaman perkebunan rakyat atau
yang lebih dikenal dengan nama hortikultura yang memiliki peranan penting bagi kehidupan
sehari-hari. Tanaman sayuran memerlukan perawatan dan perhatian lebih dari petani.
Perawatan yang perlu diperhatikan dalam bercocok tanam khususnya pada tanaman sayuran
atau hortikultura adalah pengolahan lahan, pemupukan, penataan air, bibit, persemaian,
penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanfaatan hasil, dan perawatan hasil. Untuk itu, kami
perlu melakukan observasi lahan dan interview petani untuk mengetahui seberapa besar usaha
petani dalam mengelola dan melakukan usaha pertaniannya, mulai dari penggarapan lahan,
perawatan, pemanenan, sampai pemasaran hasil panen ke distributor, serta jumlah biaya
perawatan
dan
keuntungan
yang
didapatkan
petani.
Dari
observasi
yang
dilakukan,diharapkan agar kami mendapatkan pengetahuan tentang hama dan penyakit yang
menyerang tanaman bunga, musuh alami yang berperan,kebutuhan pestisida pada tanaman
bunga serta pestisida yang sering digunakan.
1.2 Tujuan
a. Mengetahui cara pengolahan lahan yang digunakan oleh petani.
b. Mengetahui cara penanaman dan perawatan sayuran kubis
c. Mengetahui hama dan penyakit yang menyerang serta musuh alami yang berperan
pada sayuran kubis.
d. Mengetahui pupuk dan pestisida yang digunakan oleh petani.
e. Mengetahui kapan waktu pemanenan tanaman bunga dan hasil yang didapat dari
penanaman tanaman sayuran kubis.
1.3.
Manfaat
Manfaat yang kami dapat dari fieldtrip ini yakni menambah wawasan kami mengenai
sayuran kubis mulai dari pengolahan lahan sampai pemanenan dari aspek manajemen lahan,
pembudidayaan, penanggulangan hama dan penyakit yang menyerang, serta aspek ekonomi
pertanian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
mencapai/melebihi nilai ambang kerusakan, sehingga petani harus tahu kapan harus
melukan tindakan pengendalian (pada waktu yang tepat). Nilai AE ini bukanlah nilai
yang konstan (statik) tetapi bervariasi bergantung pada ALE (ketahan tanaman), fase
pertumbuhan tanaman pada saat patogen menginfeksi tanaman, keadaan iklim,
geografi daerah, dan sistem budidaya. (Untung, 1984)
2.3 Pengertian dan Konsep Ambang Kerusakan
Tujuan akhir dari tindakan pengendalian penyakit adalah untuk menekan
penyakit pada level yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi baik pada
jumlah maupun kulitas hasil, dengan demikian ambang kerusakan (tingkat kerusakan
ekonomi) haruslah diketahui untuk mencegah kerugian yang lebih besar akibat adanya
penyakit.
Dasar konsep Aras Luka Ekonomi adalah konsep Titik Impas (BreakEeven
Concept) dalam pengendalian hama. Pada titik impas ini terjadi kerusakan ekonomi
yaitu pada ALE, sehingga apabila dilakukan pengendalian hama di atas titik impas
masih akan menguntungkan. Sebaliknya apabila dilakukan di bawah titik impas maka
hanya akan merugikan petani karena besarnya nilai kehilangan hasil yang
diselamatkan lebih rendah daripada biaya pengendalian yang dikeluarkan.
Tingkat/level xt tertinggi yang dapat menimbulkan kerusakan ekonomi disebut
juga dengan aras luka ekonomi atau dalam entomologi jumlah kepadatan populasi
terendah yang dapat menyebabkan kerusakan secara ekonomi. Secara matematika
pengukuran ALE dapat modelkan sebagai berikut
Yang mana:
C = Biaya pengendalian
P = harga komoditi
e = intensitas penyakit (ALE)
d = koefisien proporsi kehilangan hasil
k = keefektifan tindakan pengendalian.
Nilai ambang kerusakan ini bervariasi bergantung pada tanaman, penyakit, dan
ekonomi lokal, sehingga dari musim ke musim atau dari daerah ke daerah bisa saja
berbeda-beda nilai ambang kerusakan ini, meskipun penyakitnya sama.(Untung, 1993)
2.4 Literatur Komoditas yang Diamati
Kubis putih (Brassica oleraceavar capitata L.) merupakan salah satu sayuran penting,
terutama di dataran tinggi. Sejak awal tahun 70-an kubis juga ditanam di beberapa
daerah dataran rendah, seperti di daerah Yogyakarta, Klaten, dan Jember. Kubis varietas
KK Cross (Permadi & Djuariah, 1992) dan Green Baru (Suryadi & Permadi, 1998) dapat
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
beradaptasi dengan baik dan mempunyai hasil krop tinggi dengan umur genjah, cocok
untuk dikembangkan di dataran rendah dan dataran medium. Tanaman kubis-kubisan
lainnya yang penting adalah petsai, kubis bunga, dan brokoli.
Menurut laporan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura (1999), luas
panen kubis di Indonesia dalam tahun 1998 adalah 65.974 hektar dengan total produksi
1.383.398 ton. Sejak lima tahun terakhir (1994-1998), rata-rata hasil panen atau
produktivitas kubis relatif konstan, yaitu sekitar 21 t/ ha. Nilai ini masih jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas kubis di daerah subtropik seperti di
Jerman (37,6 t/ha), Nederland (49,3 t/ha), dan Amerika Serikat (23 t/ha) (Nieuwhof,
1969). Hal itu antara lain disebabkan oleh (Permadi & Djuariah, 1992) : (1) seleksi
varietas-varietas impor yang dilakukan di daerah subtropik, (2) masa pertumbuhan tiap
hari di daerah subtropik lebih lama daripada masa pertumbuhannya di Indonesia (16-18
jam penyinaran setiap harinya di daerah subtropik), dan (3) adanya gangguan
hama/penyakit yang dapat menggagalkan panen kubis (Sastrosiswojo, 1994).
Kubis mempunyai arti ekonomi yang penting sebagai sumber pendapatan petani dan
sumber gizi (vitamin A dan C) bagi masyarakat. Jika rata-rata pemilikan lahan petani
sekitar 0,4 hektar, maka ada sekitar 165.000 petani terlibat dalam usahatani kubis, belum
termasuk petani kubis-kubisan lainnya. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan
produksi kubis dan kubis-kubisan lainnya perlu dilakukan. Dalam upaya mengatasi
masalah hama/penyakit tanaman kubis, pada umumnya para petani menekankan pada
pengendalian secara kimiawi. Menurut laporan Woodford (1981), biaya penggunaan
pestisida pada tanaman kubis yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Bandung adalah
sebesar 30% dari total biaya produksi. Umumnya pestisida digunakan secara intensif,
baik secara tunggal maupun campuran dari beberapa jenis pestisida, dengan konsentrasi
penyemprotan melebihi rekomendasi dan interval penyemprotan yang pendek, 1-2
kali/minggu (Sastrosiswojo, 1987). Dampak negatif yang timbul sebagai akibat
penggunaan pestisida yang intensif tersebut antara lain adalah : (1) hama ulat daun kubis
( Plutella xylostella L.) menjadi resisten terhadap beberapa jenis insektisida kimia dan
mikroba (Setiawati 1996), (2) resurgensi hama P. Xylostella terhadap Asefat, Permetrin
dan Kuinalfos (Sastrosiswojo, 1988), (3) residu pestisida yang dapat membahayakan
konsumen kubis (Soeriaatmadja, 1988) dan (4) terganggunya kehidupan dan peranan
parasitoid Diadegma semiclausum sebagai musuh alami penting hama P. xylostella
(Sastrosiswojo, 1987). Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, konsep Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) bertujuan membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin,
tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi kubis masih dapat dicapai.
2.5 Hama pada Komoditas yang Diamati
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
sebelum tanam
Tanaman muda
Ulat
jengkal
kubis
(Chrysodeixis
orichalcea L.)
8. Ulat bawang (Spodoptera exigua Hbn.)
9. Ulat grayak (Spodoptera litura F.)
10. Kutudaun persik (Myzus persicae Sulz.)
11.Ulat buah tomat (Helicoverpa armigera
Tanaman tua (umur
Hbn.)
1. Ulat daun kubis (P. Xylostella)*
8 minggu sampai
panen)
Tanaman muda
Wor.)*
2. Busuk lunak (E. Carotovora) *
3. Akar bengkak (P. Brassicae)*
4. Busuk hitam (Xanthomonas campestris
Downs)
5. Rebah kecambah (R. Solani Kuhn, Pythium
spp)
1. Akar bengkak (P. brasiccae )*
8 minggu sampai
panen)
BAB III
KONDISI UMUM WILAYAH
3.1
Lokasi Fieldtrip
Fieldtrip DPT (Dasar Perlindungan Tanaman) dilaksanakan di Desa Sumber
Brantas, Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu. Fieldtrip dilaksanakan pada hari Minggu
tanggal 18 Mei 2014 pada pukul 05.30 13.00.
3.2
Sejarah Lahan
Pada jaman penjajahan Jepang lahan tujuan fieltrip merupakan hutan. Setelah
Indonesia merdeka kakek Pak Ulum mengubah hutan tersebut menjadi lahan pertanian.
Lahan pertanian tersebut diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini. Kawasan disana
berasal dari hutan rakyat raden suryo dimana di dalamnya juga terdapat bumi perkemahan
dan pemandian air panas cangar, di sekitar mata air panas cangar juga terdapat gua-gua
buatan yang di bangun pada saat masa penjajahan Jepang. Pertanian hortikultura
merupakan hasil utama dari desa ini. Penduduk desa sumber brantas hamper seluruhnya
adalah petani yang pada umumnya menghasilkan produk pertanian sayur mayur, desa
Sumberbrantas merupakan desa yang terletak di wilayah barat daya lereng gunung arjuo
yang merupakan daerah pegunungan dan mempunyai hamparan lahan pertanian yang
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
3.3
Penggunaan Lahan
3.3.1
Jenis Penggunaan
Sepanjang tahun lahan milik Pak Ulum digunakan untuk budidaya kubis. Setiap
tahun Pak Ulum dapat memanen 3-4 kali. Pak Ulum lebih memilih untuk menanam kubis
karena lokasinya berada di dataran tinggi sehingga suhu udara cocok untuk ditanami
sayur-sayuran termasuk kubis. Selain itu permintaan pasar yang besar akan kubis
membuat Pak Ulum lebih menanam kubis.
3.3.2
yang
ada di
lokasi fieldtrip
menggunakan
monokultur.
Monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu
jenis tanaman pada satu areal.
3.3.3
kubis, dan bawang prei. Tetapi petani di Desa Sumber Brantas mayoritas mananam wortel
dan kentang.
3.3.4
sehingga tidak terlalu mengendalikan OPT yang dapat mengurangi hasil pertanian yang
ada di sana, dan musuh alami yang ada disana hanya ada beberapa dan tidak terlalu
banyak sehingga tanaman disana tetap terserang oleh organisme pengganggu tanaman dan
organisme yang lainnya yang berada disana. Sehingga pemanfaatan musuh alami tidak di
manfaatkan
BAB IV
METODE PELAKSANAAN
4. 1 Waktu dan Tempat
Fieldtrip Dasar Perlindungan Tanaman dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2014
berlokasi di Desa Sumber Berantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang dilakukan
pada pukul 07.00 11.00 WIB. Hal ini dimaksudkan agar pengamatan pada hama dan
penyakit akan jauh lebih mudah dilakukan pada pagi hari.
4. 2 Alat dan Bahan fungsi
1. Bolpoin
: untuk mencatat hasil wawancara.
2. Buku dan kuisioner
: untuk mencatat hasil wawancara.
3. Kamera
: untuk dokumentasi.
4. Kapas
: untuk menangkap serangga yg berukuran kecil
5. Alkohol 70 %
: untuk membuat pingsan serangga
6. Jarum Pentul
: untuk menusuk serangga agar dapat diamati
7. Sterofom 40 kali 40
: untuk pengamatan serangga
8. Kertas Bufallo ukuran 0,5 kali 2 cm
: untuk pengamatan serangga
9. Kertas Label
: untuk memberi label pada plastik yg ada hama
10. Alteko atau Lem G
: untuk menempelkan serangga
11. Plastik
: untuk menyimpan hama
4. 3 Pengamatan (metode pengamatan)
4.3.1 Pengamatan Hama
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di lahan kubis daerah Desa
Sumber Berantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu ditemukan beberapa arthropoda
yang berpotensi sebagai hama diantaranya adalah kumbang kubah spot, ulat.
Metode yang digunakan selama pengamatan hama di lapang adalah sebagai
berikut:Pengamatan di lakukan di di lahan kubis daerah Desa Sumber Berantas,
Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Kami langsung melakukan pengamatan di lahan,
dan mengidentifikasi hama yang terdapat pada lahan kubis dengan membawa alat
dan bahan yang telah di bawa.
1. Menyiapkan alat dan bahan. Alat yang di bawa selama pengamatan adalah,
Alat tulis; digunakan untuk mencatat data hasil pengamatan, Kuisioner; untuk
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
4.3.3
banyak ditemukan serangga ataupun hewan yang mengganggu tanaman dan juga
hewan yang dapat menguntungkan tanaman (musuh alami). Musuh alami
ditemukan pada lahan kubis, namun letak dari musuh alami sendiri tidak langsung
di tanaman kubis. Musuh alami yang ditemukan yaitu laba-laba ditemukan pada
sekitar daun pisang yang letaknya dekat dengan lahan kubis.
4.3.4 Pengamatan Pengolahan Tanah
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
petani disana tidak menggunakan varietas tahan. Karena tanaman kubis sendiri
bukan termasuk varietas tahan. Kubis tersebut bisa terhindar dari hama karena
adanya penggunaan pestisida, bukan karena kubis merupakan varietas tahan. Tetapi
kubis bisa dikatakan sebagai varietas tahan dengan adanya benih unggul yang
mempunyai syarat benih harus bebas dari hama dan penyakit. Pengendalian hama
penyakit menggunakan varietas tahan bertujuan untuk mencegah atau mengurangi
kerugian ekonomis dan meningkatkan atau mempertahankan nilai hasil panen.
BAB V
HASIL dan PEMBAHASAN
1.1
Hasil
5.1.1 Hama yang Ditemukan
Klasifikasi
Kingdom
: Animalia
10
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Diptera
Famili
: Culicidae
Genus
: Culex
Spies
: Culex pipiens
Gejala dan tanda: Gejala awal ditandai dengan noda/titik bekas tusukan ovipositor
(alat peletak telur) lalat betina saat meletakkan telur ke dalam buah. Selanjutnya karena
aktivitas hama di dalam buah, noda tersebut berkembang menjadi meluas. Larva makan
daging buah sehingga menyebabkan buah busuk sebelum masak. Apabila dibelah pada
daging buah terdapat belatung-belatung kecil dengan ukuran antara 4-10 mm yang
biasanya meloncat apabila tersentuh. Kerugian yang disebabkan oleh hama ini mencapai
30-60%. Kerusakan yang ditimbulkan oleh larvanya akan menyebabkan gugurnya buah
sebelum mencapai kematangan yang diinginkan.
Klasifikasi
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda,
Kelas
: Insect
Ordo
: Coleoptera
Family
: Chrysomelidae
Spesies
: Phyllotreta vittata F.
Klasifikasi
Kingdom
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
Famili
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
: Animalia
: Lepidoptera,
: Pyralidae
11
: Animalia
Filum
Kelas
: Insecta (serangga)
Ordo
: Hymenoptera
Familia
Genus
: Apis
Spesies
: Apis mellifera
Gejala : Pada tanaman budidaya yang kita tanam terjadi terdapat bintil-intil
pada permukaan daun dan jika ada bunga terdapat seperti cairanyaitu untuk
penyerbukan
Klasifikasi
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Family
: Yponomeutidae
Genus
: Plutella
Spesies
: P. Xylostella
Gejala : Ngengat P. xylostella kecil berwarna coklat kelabu, pada sayap depan
terdapat tanda tiga berlian. Ngengat aktif pada senja dan malam hari dengan meletakkan
telur tersebar pada daun. Stadium telur 3-5 hari. Larva instar pertama berukuran 1,2 mm
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
12
berwarna hijau cerah dengan kepala tampak hitam. Stadium larva 7-11 hari. Pupanya
tertutup oleh kokon, berwarna kuning pucat. Daur hidupnya berkisar 21 hari.Daun yang
terserang P. xylostella berlubang-lubang kecil dan bila serangan berat, tinggal tulang daun.
5.1.2 Musuh Alami
Klasifikasi
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Hesperiidae
Spesies
: Mycalesis horsfieldi
Klasifikasi
Kingdom
: Animalia
Kelas
: Insekta
Ordo
: Diptera
Family : Agromyzidae
Genus
: Liriomyza
: Myceteae
Divisi
: Amastigomycota
Subdivisi
: Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
13
Ordo
: Moniliales
Famili
: Tuberculariaceae
Genus
: Fusarium
Spesies
daun sebelah atas, kemudian diikuti dengan merunduknya tangkai, dan akhirnya
tanaman menjadi layu secara keseluruhan. Seringkali kelayuan didahului dengan
menguningnya daun, terutama daun bagian bawah. Kelayuan dapat terjadi sepihak. Pada
batang kadang terbentuk akar adventif. Pada tanaman yang masih muda dapat
menyebabkan matinya tanaman secara mendadak karena pada pangkal batang terjadi
kerusakan
Klasifikasi
Phylum
: Prokaryota
Kelas
: Scizomycetes
Ordo
: Pseudomonadales
Famili
: Pseudomonadaceae
Genus
: Xanthomonas
Spesies
14
Berdasarkan hasil wawancara dengan pak Sariadi, beliau mengatakan bahwa tidak
adanya musuh alami pada lahan yang dimilikinya. Beliau hanya menemukan ulat kubis
pada lahan kubisnya dan ulat kubis merupakan hama kubis. Beliau tidak mengandalkan
musuh alami pada lahan kubisnya. Jika serangan hama meningkat, beliau akan langsung
menyemprotnya dengan pestisida. Beliau melakukan hal tersebut untuk mendapatkan
hasil kubis yang baik sehingga dapat laku terjual di pasar.
5.2.3 Penggunaan Pestisida
Berdasarkan hasil praktikum lapang di daerah Sumberbrantas, Bumiaji, Kabupaten
Malang kami mewawancari seorang petani bernama Bapak Sariadi. Data yang kami
dapatkan dari hasil wawancara tersebut adalah Bapak Sariadi mengugkapkan bahwa
dirinya dan mayoritas petani-petani di daerah tersebut masih memakai pestisida kimia
dalam pengendalian hama. Pestisida yang biasa di gunakan adalah pestisida jenis
Diestela, Antrakol, Dakonil, dan Natifo, dengan dosis 250cc/drim. Ketika kami
menanyakan mengenai penggunaan pesisida nabati beliau mengungkapkan bahwa
beliau juga menggunakan pestisida nabati, namun frekuensinya masih jauh dari
pestisida kimia. Pertanian di daerah Sumberbrantas tersebut sebenarnya sudah mulai
menerapkan system pertanian organic,namun menurut Bapak Sariadi butuh proses untuk
membiasakan bertani tanpa menggunakan pestisida kimia, tidak bisa secara langsung.
Hal ini di karenakan petani-petani di daerah tersebut sudah sangat tergantung dengan
pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit pada tanaman kubis dan wortel yang
mereka budidayakan. Menurutnya bila tanaman yang sudah terbiasa disemprot
pestisida, kemudian di hentikan sama sekali maka jumlah tanaman yang terserang hama
akan meningkat, produksi rendah dan berakibat gagal panen, dan petani akan merugi.
Ketika kami menanyakan mengenai perbedaan hasil antara menggunakan pestisida
kimia dan pestisida nabati, menurut Bapak Sariadi untuk tanaman wortel misalnya
perbedaannya hanya pada warna. Wortel yang menggunakan pestisida nabati memliki
warna yang lebih merah dan ukuran yang agak besar. Sedangkan wortel yang
menggunakan pestisida kimia warnana lebih pudar dan ukurannya lebih kecil daripada
yang menggunakan pestisida nabati. Namun, menurut Bapak Sariadi jika menggunakan
pestisida nabati hasilnya sedikit dan rawan terserang hama penyakit, sehingga Bapak
Sariadi dan petani-petani yang lain lebih memilih menggunakan pestisida kimia. Dalam
bidang pengendalian hama tanaman petani memang masih mengandalkan penggunaan
pestisida terutama pestisida kimia. Karenanya kebutuhan akan pestisida setiap tahun
selalu meningkat (Sudarmo, 1991).
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
15
pengendalian yang sangat tepat oleh bapak Sariadi, khususnya pada tanaman sayuran,
Pendapat ini didukung oleh jurnal dari Kruniasih dan Paramita (2006) pada
jurnal KAJIAN PENGGUNAAN PESTISIDA PADA BUDIDAYA TANAMAN
SAYURAN OLEH PETANI SLPHT DAN NON-SLPHTDI PROVINSI JAWA
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
16
pemanfaatan
agensia
dari
jenis
jamur
dan
bakteri
untuk
17
pestisida sintetis; menghemat biaya produksi, aman bagi manusia serta ramah
lingkungan.
5.3.2 Pembahasan Serangan OPT Dikaitkan Dengan Konsep Ambang Ekonomi Dan
Ambang Kerusakan
Kerusakan yang diakibatkan dari adanya OPT di lahan pertanian kubis milik
Bapak Sariadi sudah melebihi ambang batas ekonomi dan kerusakan jika
bercak
daun pada kubis dan wortel sangat meresahkan petani. Pada saat serangan OPT
merebak hasil panen Bapak Sariadi dari seharusnya 10 ton menjadi 4 ton saja. Cara
yang dilakukan Bapak Sariadi dan petani disana adalah dengan melakukan
penyemprotan pestisida secara terjadwal, yaitu dilakukan hingga 3x penyemprotan
dalam seminggu. Dari data tersebut data kita simpulkan bahwa dengan adanya OPT
yang menyerang tanaman kubis maupun wortel dalam lahan pertanian Bapak sariadi
sudah sangat merugikan hingga 30% - 50% dari total biaya produksi per hektar.
Tindakan pengendalian hama atas dasar ambang ekonomi adalah tindakaan
pengendalian sedini mungkin. Aplikasinya ditujukan terhadap hama yang sedang
menyerang tanaman. Oleh karena itu, biasanya digunakan pengendalian dengan cara
kimiawi sebab lebih cepat dan lebih praktis dalam menekan populasi hama. Dalam
suatu nilai ambang ekonomi, untuk suatu jenis hama pada tanaman tertentu di suatu
daerah banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Nilai ambang ekonomi untuk
berbagai jenis hama akan berbeda. Demikian pula nilai ambang ekonomi untuk hama
yang sama pada berbagai jenis tanaman bisa berbeda (Natawigena, 1993). Perhitungan
ambang kendali yang dicontohkan Untung (2006), didasarkan pada nilai ambang
pendapatan. Dua faktor yang sangat berpengaruh adalah harga jual dan biaya
pengendalian. Efektifitas pengendalian diasumsikan 100% sehingga dengan biaya
yang digunakan populasi hama dapat dihilangkan di lapangan. Persamaan regresi
digunakan sebagai dasar menetapkan jumlah tingkat kehilangan hasil per individu
larva.
Penerapan ambang pengendalian kerusakan akibat OPT dilakukan salah
satunya untuk menekan penggunaan pestisida. Menurut Untung (1994) penggunaan
pestisida tidak harus dilakukan setiap saat secara rutin atau terjadwal, tetapi hanya
pada waktu tertentu yaitu pada saat populasi atau intensitas serangan OPT mencapai
batas yang memerlukan pengendalian dengan cara yang disebut dengan ambang
pengendalian. Jika pada saat itu tidak dilakukan pengendalian, serangan OPT masih
berada dibawah ambang pengendalian, pestisida belum perlu digunakan. Pada saat
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
18
demikian keberadaan OPT masih dapat dikendalikan secara alami oleh musuh
alaminya.
5.3.3 Keunggulan Pengendalian yang diterapkan oleh petani
Berdasarkan hasil fieldtrip yang telah dilakukan di daerah Sumber Brantas
kecamatan Bumiaji Kabupaten Malang, diperoleh data bahwa Bapak Sariadi
mengendalikan hama dengan menggunakan pestisida kimia. Namun, terkadang beliau
juga menggunakan pestisida nabati meskipun frekuensinya masih jauh dari pestisida
kimia. Selain itu, Pak Sariadi juga menggunakan varietas tahan untuk mencegah
tanaman budidaya terserang penyakit. Beberapa kelebihan dari cara ini, yaitu :
1. Pestisida kimia :
Mudah di dapatkan di berbagai tempat
Zatnya lebih cepat bereaksi pada tanaman yang diberi pestisida
Kemasan lebih praktis
Bersifat tahan lama untuk disimpan
Daya racunnya tinggi (langsung mematikan bagi serangga)
2. Pestisida nabati :
Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misalnya dengan bau yang
menyengat
Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot
Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa
Menghambat reproduksi serangga betina
Racun syaraf bagi hama
Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga
Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap
serangga
Mengendalikan pertumbuhan jamur/bakteri
Dapat menyebabkan gangguan dalam proses metamorfosa dan gangguan
makan (anti feedant) bagi serangga
3. Varietas tahan :
Dari segi ekologis mempunyai kekhususan
Bersifat komulatif, mudah diadopsi oleh petani
Aman dan ekonomis
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
19
20
lebih tinggi dan hama yang menyerang akan lebih terkendali. Dan untuk sistem
pertanian yang diterapkan masih kurang baik karena dalam pengendalian hama dan
penyakit masih menggunakan pestisida kimia maupun nabati.
5.3.5 Potensi Pemanfaatan Musuh Alami Dalam Mengendalikan OPT
Pengendalian hayati adalah pengendalian OPT dengan melibatkan peranan
musuh alami dari OPT tersebut, pengertian lain menyebutkan bahwa pengendalian
hayati pada dasarnya merupakan pengendalian populasi OPT dengan menggunakan
populasi agen hayati. Populasi OPT berupa populai hama, populasi patogen tanaman,
atau populasi gulma. Populasi agen hayati berupa populasi predator, populasi
parasitoid, populasi entomopatogen, populai antagonis, populasi pemakan gulma, dan
sebagainya. Pengendalian hayati ini dilakukan dengan cara mengkondisikan populasi
agen hayati (musuh alami) untuk menyerang populasi OPT, dengan harapan populasi
musuh alami dapat mengalahkan populasi OPT. Pengendalian hayati berbeda dengan
pengendalian alami dalam hal keterlibatan manusia dalam menangani agen pengendali
yang terlibat. Pada pengendalian hayati, agen hayati secara sengaja diintroduksi,
dibiakkan secara masal, dan kemudian dilepaskan untuk mengendalikan OPT.
Sebaliknya, dalam pengendalian alami agen pengendali ada yang dengan sendirinya
telah berada dialam. Agens hayati disini yang dimaksud adalah musuh alami seperti
predator, parasitoid, entomopatogen, antagonis, dan pemakan gulma. Pengendalian
hayati di Indonesia telah diterapkan, misalnya penggunaan parasitoid telur
Trichogrammatoidae bactrae yang digunakan untuk mengendalikan hama ulat daun
kubis. Predator dan parasitoid mempunyai pengertian bahwa, predator adalah
organisme yang memangsa organisme lain, umumnya predator mempunyai ukuran
lebih besar dari mangsanya, dengan cara kerja memakan mangsanya secara langsung.
Sedangkan parasitoid adalah serangga yang memarasit (hidup dan berkembang dengan
menumpang) serangga lain (yang disebut inang). Parasitoid ada yang berkembang
didalam tubuh inang (endoparasit), dan ada yang berkembang di luar tubuh inang
(ektoparasitoid). Inang yang diparasit dapat berupa telur, larva, nimfa, pupa atau
imago serangga hama. Umumnya cara kerja parasitoid dengan meletakan telur pada
inangnya (telur, larva, nimfa, pupa atau imago), kemudian setelah menetas larvanya
memakan/menghisap cairan tubuh inangnya tersebut hingga mati. Selain predator dan
parasitoid juga terdapat patogen dan agens antagonis.
Patogen merupakan mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi dan
menimbulkan penyakit terhadap OPT. Secara spesifik mikroorganisme yang dapat
menimbulkan penyakit pada serangga disebut entomopatogen, patogen berguna karena
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
21
mematikan banyak jenis serangga hama tanaman, seperti jamur, bakteri dan virus.
Cara kerjanya yaitu patogen tersebut masuk kedalam tubuh serangga melalui kulit
diantara ruas-ruas tubuhnya, mekanisme penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan
spora pada kutikala, didalam tubuh inangnya, hifa berkembang dan selanjutnya
memasuki pembuluh darah, melalui beberapa proses lebih lanjut di dalam tubuh
menyebabkan kematian serangga.
Sedangkan agens antagonis mempunyai pengertian bahwa mikroorganisme
yang mengintervensi/menghambat pertumbuhan patogen penyebab penyakit pada
tumbuhan dengan cara menghambat pertumbuhan lawannya atau dengan persaingan
tempat dan makanan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pak Sariadi, beliau mengatakan bahwa
tidak adanya musuh alami pada lahan yang dimilikinya. Beliau hanya menemukan ulat
kubis pada lahan kubisnya dan ulat kubis merupakan hama kubis. Beliau tidak
mengandalkan musuh alami pada lahan kubisnya. Jika serangan hama meningkat,
beliau akan langsung menyemprotnya dengan pestisida. Beliau melakukan hal tersebut
untuk mendapatkan hasil kubis yang baik sehingga dapat laku terjual di pasar. Namun
konsekkuensi
penggunaan
pestisida
berlebih
adalah
pemborosan
sehingga
meningkatkan biaya produksi. Dampaknya berakibat kerugian yang lebih besar lagi
seperti terjadinya pencemaran racun pestisida pada hasil panen dan lingkungan,
musnahnya musuh alami, timbulnya ketahanan OPT serta terjadinya resurgensi hama
tertentu. Salah satu alternatif pengendalian OPT yang dapat digunakan adlaah
pengendalian hayati dengan memanfaatkan pendekatan kuantitas, kualitas serta
diversitas musuh alami dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Ketidakseimbangan ekosistem pada lahan pertanian akan berpengaruh terhadap
pengendalian hayati pada lahan tersebut, dikarenakan punahnya beberapa serangga
yang berfungsi sebagai musuh alami. Salah satu faktor yang menyebabkan
ketidakseimbangan itu antara lain disebabkan penggunaan bahan kimia yang tidak
ramah lingkungan dan tidak tepat waktu, fungsi maupun sasarannya. Untuk itu
diperlukan tindakan untuk menyelamatkan keseimbangan ekosistem tersebut, sehingga
pengendalian hama maupun penyakit secara terpadu dapat terlaksana dan tercipta pola
pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penggunaan bahan kimia untuk
mengendalikan OPT yang berlebihan, tidak tepat waktu, fungsi dan sasaran hanya
akan menyebabkan resiko yang semakin parah diwaktu yang akan datang.
5.3.6 Rekomendasi Terhadap Kegiatan Budidaya yang Ada di Lokasi Fieldtrip
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan, dapat
diidentifikasi bahwa pertanian yang dilakukan oleh para petani di desa Sumberbrantas
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
22
khususnya Bapak Sariadi sangat kurang baik. Hal ini dikarenakan penggunaan
pestisida dalam jumlah yang cukup banyak dalam membasmi hama yang ada di lahan
pertanian. Penggunaan pestisida secara terus menerus tersebut dapat meracuni tanah
sekitar tanaman dan juga akan memberi dampak negatif bagi manusia terutama dalam
hal kesehatan. Oleh karena itu, kami merekomendasikan kepada para petani,
khususnya Bapak Sariadi untuk mengatasi hama dengan menggunakan teknik
pengendalian hama terpadu seperti menggunakan musuh alami untuk mengendalikan
serangan hama, atau dapat pula diterapkan pola penanaman secara tumpang sari. Pola
penanaman tumpang sari akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan
tanaman budidaya maupun pengendalian jumlah OPT di lahan. Dengan pola
penanaman tumpang sari, terdapat beberapa jenis tanaman di lahan yang akan
menciptakan kondisi lingkungan atau habitat hidup yang disukai atau mendukung
kehidupan musuh alami. Sehingga jumlah musuh alami dapat mengendalikan jumlah
OPT atau hama yang ada di lahan. Pada keadaan tersebut, hama atau OPT masih tetap
dapat ditemukan di lahan, tetapi keberadaannya tidak akan mengganggu tanaman
budidaya dan menimbulkan kerugian secara ekonomi.
Dapat
kami
rekomendasikan
pula
bahwa
komoditas
kubis
dapat
dikombinasikan dengan tanaman selasih, cabai rawit, atau lainnya. Hal ini diperkuat
pula dengan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Seto Pandu Kristanto,
Sutjipto, Soekarto di desa Semboro, Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember dengan
judul Pengendalian Hama Pada Tanaman Kubis Dengan Sistem Tanam Tumpangsari,
dinyatakan bahwa Perlakuan P1, P2, P3, P4, P5 dan P6 dalam mengendalikan hama
P.xylostella menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata, namun pada perlakuan P4
(kubis + selasih) menunjukan hasil populasi hama P.xylostella paling rendah yaitu
sebesar 1.17 ekor/tanaman, hal ini dikarenakan ulat tersebut terganggu dengan adanya
aroma dari tanaman selasih.
Pengendalian
yang
kami
rekomendasikan
dapat
dilakukan
dengan
memperhatikan kondisi dan keadaan tanah, cara budidaya, dan pengendalian terhadap
populasi OPT tersebut. Pertama-tama usaha yang harus dilakukan petani adalah untuk
mengurangi penggunaan pestisida kimia, sehingga kondisi lingkungan tidak akan
tercemar. Selanjutnya dapat dilakukan pengolahan tanah untuk menciptakan kondisi
tanah yang sehat. Kemudian dapat didukung dengan penggunaan varietas tahan dan
bibit maupun benih yang sehat, sehingga tanaman tahan terhadap serangan OPT
maupun penyakit. Dengan demikian tercipta keseimbangan di alam.
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
23
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hama adalah binatang yang dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi, pada
tanaman budidaya. Berdasarkan fieldtrip yang dilaksanaan di dusun
Sumberbrantas,
Kecamatan Bumiaji, Kabupaten Malang, pada tanaman kubis yang diamati, ditemukan hama
ulat daun Phillotreta xylostella sebagai hama, selain hama juga ditemukan penyakit yaitu
penyakit layu pusarium. Dengan adanya OPT tersebut petani menggunakan pengendalian
pestisida, namun pengendalian lain juga digunakan yaitu dengan menggunakan benih unggul,
yaitu benih yang bebas dari hama dan penyakit. Hal inilah yang dilakukan oleh Bapak Sariadi
pada tanaman kubisnya.
Pestisida merupakan bahan kimia beracun yang digunakan untuk mengendalikan
hama, pengendalian ini memang mempunyai dampak positif yang sangat banyak, namun para
petani lebih suka menggunakan pestisida karena selain cara kerjanya yang cepat, pestisida
juga merupakan pengendalian yang sangat simpel dibandingkan dengan pengendalian yang
lain, namun kami sebagai mahasiswa seharusnya berpikir secara luas, karena di dalam suatu
ekosistem itu membutuhkan yang namanya keseimbangan, jika pengendalian pestisida
dilakukan terus menerus dan tidak sesuai dengan anjuran maka akan menyebabbkan
ketidakseimbangan ekosistem. Selain itu juga akan menyebabkan resistensi dan resurjensi
pada hama itu sendiri. Maka dari itu, sangat dibutuhkan suatu tindakan yaitu dengan
melakukan pengendalian hama terpadu (PHT) guna untuk mengendalikan hama yang
menyerang pada suatu tanaman budidaya, supaya ekosistem yang ada tetap terjaga tanpa ada
kerusakan pada tanaman itu sendiri maupun pada ekosistem yang lain.
5.2 Saran
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
24
Dengan adanya fieldtrip yang telah dilakukan, harapan kami untuk para petani adalah
agar tidak untuk menggunakan pestisida yang berjenis kimia dalam mengendalikan hama
yang menyerang tanaman budidayanya. Walaupun tindakan tersebut secara kasat mata
menguntungkan karena pengurangan hama yang begitu drastis, tetapi hal ini justru merugikan
jika dilakukan secara berkepanjangan. Ada hal lain yang lebih efektif dilakukan jika kita
masih mempedulikan ekosistem yang ada, yaitu dengan dilakukan pengendalian hama secara
terpadu. Dengan pengendalian ini, ekosistem yang ada tidak akan rusak.
Selain saran yang ditujukan kepada para petani, kami juga memiliki saran bagi para
praktikan agar mulai dari sekarang supaya mempelajari hal-hal yang harus dilakukan untuk
menghindari perbuatan-perbuatan yang merusak ekositem sehingga merugikan pada lingkup
pertanian. Hal yang perlu dilakukan ialah dengan mempelajari dan melakukan tindakan yang
berakhir dengan hal positif sehingga pertanian di Indonesia bersifat berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Apple, J.L. 1978. Principles of Integrated Pest Control. IRRI Mimeograph
Natawigena, Hidayat. 1993. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Bandung: Penerbit
Trigenda Karya.
Laporan Besar Dasar Perlindungan Tanaman
25
26
27