Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di sebagian besar negara berkembang, sektor informal merupakan
tumpuan hidup dari masyarakat marginal di kota, karena sektor ini
menyerap cukup banyak tenaga kerja (Richardson, 1984). Sebagai contoh
di Amerika Latin, kira-kira 31 persen dari angkatan kerja di kota bekerja di
sektor informal (Portes dan Schauffer, 1993:42). Sedangkan di Indonesia,
pada tahun 1980 ada sekitar 80 persen dari angkatan kerja yang bekerja di
sektor informal, kemudian turun menjadi 68,8 persen pada tahun 1985 dan
pada akhirnya menjadi 63 persen pada tahun 1990 (Evers, 1994:260).
Aktivitas sektor informal mencakup berbagai sub-sektor, seperti: sub-
sektor pertanian, pertambangan, manufacture, listrik, konstruksi,
perdagangan, transportasi, bank/keuangan dan lain-lainnya.
Sektor pertanian merupakan sektor yang mendapatkan perhatian
cukup besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting
dalam rangka pembangunan ekonomi jangka panjang maupun dalam
rangka pemulihan ekonomi bangsa. Peranan sektor pertanian adalah
sebagai sumber penghasil bahan kebutuhan pokok, sandang dan papan,
menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk, memberikan
sumbangan terhadap pendapatan nasional yang tinggi, memberikan devisa
bagi negara dan mempunyai efek pengganda ekonomi yang tinggi dengan
rendahnya ketergantungan terhadap impor (multiplier effect), yaitu
keterkaitan input-output antar industri, konsumsi dan investasi. Dampak
pengganda tersebut relatif besar, sehingga sektor pertanian layak dijadikan
sebagai sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor
pertanian juga dapat menjadi basis dalam mengembangkan kegiatan
ekonomi perdesaan melalui pengembangan usaha berbasis pertanian yaitu
agribisnis dan agroindustri. Dengan pertumbuhan yang terus positif secara
konsisten, sektor pertanian berperan besar dalam menjaga laju
pertumbuhan ekonomi nasional (Antara,2009).
Petani merupakan salah satu pekerja sektor informal, berbeda
dengan pekerja sektor formal. Pembinaan kesehatan dan pencegahan
kecelakaan kerja terhadap tenaga kerja disektor formal telah berjalan
dengan baik, di bawah pengawasan Kementerian Tenaga Kerja serta
instansi terkait. Para petani atau tenaga kerja di pertanian, tidak jarang
mendapat penyakit maupun gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh
pekerjaannya tanpa disadari, misalnya keluhan pusing, cepat lelah, daya
kerja berkurang, jarang dianggap sebagai gangguan yang serius (Anies,
2005).
Sawah merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan yang sangat
strategis karena lahan tersebut merupakan sumber daya utama untuk
memproduksi padi/beras sebagai pangan pokok utama, sumber daya utama
bagi pemantapan ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional
bagi Indonesia (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
2004). Kebutuhan bahan pangan terutama beras di Indonesia akan terus
meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan
konsumsi perkapita akibat peningkatan pendapatan. Hingga saat ini dan
beberapa tahun mendatang, beras tetap menjadi sumber utama gizi dan
energi bagi lebih dari 90% penduduk Indonesia (Balitan 2005). Kecukupan
pangan wajib terpenuhi dari produksi dalam negeri dan impor sebagai hak
dan kelangsungan hidup bangsa (Kementan 2011). Namun dilain pihak,
upaya pen-ingkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai
kendala, seperti konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan,
penyimpangan iklim (Cli-mate anomaly), gejala kelelahan teknologi
(Technolo-gy fatique), penurunan kualitas sumberdaya lahan (Land
degradation) yang berdampak terhadap penurunan produktivitas (Pramono
et al. 2005).
Salah satu upaya meningkatkan produksi beras adalah intensifikasi.
Intensifikasi pertanian dapat dilakukan dengan cara pemupukan yang baik,
penggunaan benih unggul, pengendalian hama dan penyakit, dan
pengendalian gulma. Pengaruh gangguan gulma terhadap penurunan
produksi tana-man pangan sangat bervariasi tergantung keadaan yang
mempengaruhinya. Pitoyo (2006) menyatakan bahwa penurunan produksi
pangan khususnya padi yang diakibatkan oleh gulma masih tinggi yaitu 6
87 %. Secara nasional, penurunan produksi padi sawah mencapai 15
42 % dan padi gogo 47-87 %.
Balitan (2010) menyatakan teknologi tanpa olah tanah (TOT)
merupakan salah satu cara pengolahan lahan yang prospektif
dikembangkan untuk mengatasi beberapa kelemahan olah tanah sempurna
(OTS). Tanpa olah tanah dikenal sebagai teknologi olah tanah konservasi
(conservation tillage) karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain
mencegah erosi, mempertahankan keanekaragaman biologi, menekan
populasi beberapa jenis gulma dan hama invertebrata, memperbaiki
efisiensi penggunaan pupuk, meningkat-kan intensitas penanaman dan
pendapatan (Effendi dan Utomo 1993; Lamid et al. 1996; Lamid 1998;
Lamid 2011). Teknologi ini membuka peluang bagi penggunaan herbisida
non selektif purna tumbuh yang bekerja secara sistemik atau secara kontak
(Bangun 1995; Utomo 1995; Lamid 2011). Penggunaan herbisida dinilai
jauh lebih efisien, murah, dan cepat karena hemat tenaga kerja yang
diperlukan untuk penyiangan (Tjitrosoedirjo et al. 1984). Meskipun
demikian, pengaplikasian herbisida pada lahan persawahan secara terus
menerus dikhawatirkan dapat meninggalkan residu di dalam tanah,
tanaman dan hasil panen.
Dari pemaparan masalah diatas, ssetiap individu perlu diberikan
pengetahuan tentang herbisida, bagaimana pencegahannya dan apa saja
efek yang dapat ditimbulkan apabila digunakan setiap hari.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan herbisida?
2. Apa saja jenis herbisida?
3. Apa manfaat dari herbisida?
4. Bagaimanakah patofisiologi, toksokinetik dan toksodinamik
herbisida?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui herbisida di sektor informal.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi, jenis, manfaat, dan efek dari herbisida
2. Menganalisis pengaruh TOT dan kombinasinya dengan herbisida
IPA Glifosat terhadap produksi
3. Menganalisis konsentrasi residu herbisida IPA Glifosat di dalam
tanah, jerami dan beras dan batas maksimum residu (BMR).
1.4 Manfaat
1. Bagi petani
Sebagai masukan agar petani mengetahui dosis penggunaan
herbisida yang aman dan pemakaian APD yang dianjurkan.
2. Bagi peneliti
Menambah dan meningkatkan wawasan pengetahuan dan
pengalaman belajar dalam mempraktikkan ilmu yang didapatkan di
bangku perkuliahan khususnya ilmu kesehatan dan keselamatan
kerja.
3. Bagi peneliti lain
Sebagai bahan masukan dan referensi untuk peneliti
selanjutnya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Herbisida


Herbisida adalah bagian atau anggota dari pestisida. Herbisida merupakan
bagian tak terpisahkan dari sistem budidaya OTK (Olah Tanah Konservasi) seperti
meningkatkan Indek Pertanaman, membantu persiapan lahan dalam skala luas,
menghemat biaya produksi dan akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani
(Irianto dan Johannis, 2011).
Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk
menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida ini dapat
mempengaruhi proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan
klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen, aktivitas enzim dan
sebagainya yang sangat diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Herbisida berasal dari metabolit, hasil ekstraksi, atau
bagian dari suatu organisme. Di samping itu herbisida bersifat racun terhadap
gulma atau tumbuhan penganggu juga terhadap tanaman. Herbisida yang
diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian dan jenis
tumbuhan. Pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan
dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya (Riadi, 2011).

2.2 Jenis Herbisida


Herbisida dapat digolongkan berdasarkan jenis gulma sasaran, cara kerja, dan
waktu aplikasi, berikut penggolongan nya :
1. Penggolongan Menurut Jenis Gulma
a. Herbisida untuk golongan gulma rumput (grasses)
Herbisida untuk golongan gulma berdaun lebar, herbisida untuk gulma
golongan teki dan herbisida yang berspektrum luas (broad spectrum).
Misalnya,herbisida untuk gulma golongan rumput adalah propanil yang
dipakai untuk mengendalikan gulma Echinochloa crusgalli pada
pertanaman padi sawah.
b. Herbisida untuk mengendalikan gulma golongan berdaun lebar adalah
2,4-D dan herbisida untuk mengendalikan lebih dari satu jenis gulma
adalah glifosat (mengendalikan gulma golongan rumput dan berdaun
lebar).
2. Penggolongan Herbisida Berdasarkan Cara Kerja
a. Herbisida Kontak
Herbisida kontak adalah herbisida yang mematikan bagian gulma yang
terkena butiran-butiran semprot yang disemburkan, Herbisida kontak
dikenal juga sebagai caustic herbicides, karena adanya efek bakar yang
terlihat, terutama pada konsentrasi tinggi padabagian yang berhijau daun.
Herbisida kontak hanya mematikan bagian gulmayang terkena larutan, jadi
bagian gulma di bawah tanah seperti akar atau rimpangtidak terpengaruhi
dan pada waktunya dapat tumbuh kembali. Salah satu contohherbisida
kontak yaitu paraquat, molekul herbisida ini menghasilkan radikalhydrogen
peroksida yang memecahkan membran sel dan merusak seluruhkonfigurasi
sel seperti umumnya pada herbisida kontak. Translokasi hampir tidakada.
Efektif untuk mengendalikan gulma semusim (annual weed), dapat
bersifatselektif atau non selektif, dapat berspektrum sempit atau
berspektrum luas. Gejalakematian gulma yang ditimbulkan terlihat antara
beberapa jam sampai satuminggu setelah aplikasi.
b. Herbisida Sistemik
Herbisida yang ditranslokasikan dan berefek luaspada seluruh sistem
tumbuhan. Herbisida sistemik efektif untuk mengendalikangulma tahunan
(perennial weed) dan dapat bersifat selektif maupun non selektif,dapat
berspektrum pengendalian luas maupun sempit. Gejala kematian
gulmaterlihat pada 2 4 minggu setelah aplikasi. Contoh herbisida sistemik
adalah 2,4-D, dalapon dan glifosat.
Macam herbisida sistemik, yaitu:
a. Paraquat
Paraquat (methyl viologen), [C12H14N2]2+, dengan nama kimia 1,1-
dimetil-4,4-bipiridinum atau dalam bentuk paraquat dichloride
[C12H14N2]Cl2 , merupakan herbisida golongan bipiridil yang berefek
toksik sangat tinggi. Paraquat dapat pula ditemukan secara komersial
sebagai garam methyl sulfat (C12H14N2 2CH3SO4). Paraquat adalah
produk sintesis yang pertama kali dibuat pada tahun 1882 oleh Weidel
dan Russo. Pada tahun 1933, Michaelis dan Hill menemukan
kandungan redoks dan disebut senyawa metil viologen. Kandungan
paraquat pertama kali dijelaskan pada tahun 1958 dan mulai menjadi
produk komersil pada tahun 1962.
Paraquat mempunyai ciri berupa:
a. berupa massa padat, tetapi biasanya dalam bentuk konsentrat 20-
24%
b. berat molekul 257,2 D
c. pH 6,5 7,5 dalam bentuk larutan
d. titik didih pada 760 mmHg sekitar 175oC 180oC.
e. berwarna kuning keputihan dan berbau seperti ammonia
f. sangat larut di dalam air, kurang larut dalam alkohol, dan tidak larut
dalam senyawa hidrokarbon
g. stabil dalam larutan asam atau netral dan tidak stabil dalam senyawa
alkali
h. tidak aktif akibat paparan sinar ultraviolet
Paraquat yang digunakan lebih dari 120 negara bekerja secara non-
selektif menghancurkan jaringan tumbuhan dengan mengganggu /
merusak membran sel. Gramoxone larutan 20%, produk Syngenta,
merupakan nama dagang dari paraquat yang paling banyak dipakai.
b. Diquat
Diquat, (C12H12N2) atau dalam bentuk diquat dibromide (1,1-
ethylene-2,2-dipyridylium-dibromida), C12H12N2Br2, merupakan
herbisida non-selektif yang mirip dengan analog paraquat tetapi
memilki efek toksik yang berbeda.Diquat membentuk monohidrat
dengan warna kristalin kekuningan. Tingkat lebur antara 335oC dan
340oC. Diquat memiliki pH sekitar 5-7. Diquat sangat larut dalam
tanah, tidak diabsorbsi oleh tanaman, dan tidak didekomposisi secara
metabolik oleh tanaman. Namun, paparan sinar matahari dapat
mendegradasi diquat dengan cepat dan luas. Diquat tidak terakumulasi
dalam makanan.

c. Jenis Lain
Beberapa jenis herbisida lain berdasarkan mekanisme kerjanya pada
tanaman di antaranya:
a. menghambat proses fotosintesis, seperti anilides, uracils,
benzimidazoles, biscarmabates, pyridazinones, triazines, quinones,
dan triazinones.
b. menghambat sintesis asam amino, seperti glyphosate, sulfonilures,
bialaphos, dan imidazolinones.
c. mengganggu membran sel, seperti p-Nitrodiphenyl eter, N-
phenylamides, dan oxadiazoles.
d. menghambat sintesis lipid, seperti asam alkali aryloxyphenoxy.
e. mengambat sintesis selulosa, seperti dichlobenil.
f. menghambat pembelahan sel, seperti fosfor amida dan dinitroanilin
g. menghambat sintesis klorofil, seperti phiridazinones, fluoridone,
dan difluninone.
h. menghambat sintesis folat, seperti metil carbamate.
i. menghambat pertumbuhan tunas, seperti maetachlor.
j. mengatur perkembangan, seperti asam picolinic dan asam benzoic.
3. Penggolongan Herbisida Berdasarkan Waktu Aplikasi
a. Herbisida Pra Tanam (Pre Planting)
Digunakan sebelum tanaman pokokditanam atau benih disebar/ditebar,
misalnya triazin pada jagung
b. Herbisida Pra Tumbuh (Pre Emergence Herbicides)
Digunakan setelahtanaman pokoknya tumbuh, misalnya nitralin pada
timun; herbisidadiberikan pada permukaan tanah untuk mencapai akar atau
biji gulma.
c. Herbisida Pasca Tumbuh (Post Emergence Herbicides)
Digunakansesudah gulma dan tanaman pokoknya tumbuh, misalnya
propanil padapadi, glifosat atau dalapon pada tanaman karet ; herbisida
disemprotkanpada daun gulma dan mematikannya.Terdapat juga jenis
herbisida menurut manfaatnya, antara lain :

2.3 Manfaat Herbisida


Menurut Sukman dan Yakup (1991) terdapat beberapa
keuntunganmenggunakan herbisida diantaranya dapat mengendalikan gulma
sebelummengganggu tanaman budidaya, dapat mencegah kerusakan
perakarantanaman yang dibudidayakan, lebih efektif dalam membunuh gulma,
dalamdosis rendah dapat berperan sebagai hormon tumbuh, dan
dapatmeningkatkan produksi tanaman budidaya dibandingkan dengan
perlakuanpengendalian gulma dengan cara yang lain.
Keuntungan lain nya pemakaian herbisida adalah :
1. Pada umumnya ekonomis (tenaga kerja, waktu, modal)
2. Gulma yang peka tertekan
3. Dapat mengggantikan sebagian pengolahan lahan
4. Kerusakan akar lebih sedikit daripada cara mekanis
5. Mengurangi erosi
6. Dapat mengendalikan gulma sejak awal (pra tumbuh)
7. Dapat menghemat waktu dan tenaga kerja
8. Dapat menjangkau tempat-tempat yang tidak tercapai secara manual/mekanis
9. Saat pengendalian dapat disesuaikan dengan waktu yang tersedia
10. Areal pemakaian dapat diperluas
11. Herbisida yang selektif dapat mematikan gulma yang tumbuh dekat tanaman
12. Dapat mengurangi gangguan terhadap struktur tanaman
13. Gulma yang mati dapat berfungsi sebagai mulsa dan berperan sebagai sumber
bahan organik
2.4 Patofisiologi, Toksokinetik dan Toksodinamik Herbisida
Jika dalam penggunaan herbisida tidak memperhatikan batas pemakaian
keamanan akan membahayakan bagi kesehatan manusia dan hewan. Keamanan
dalam menggunakan herbisida sangat ditentukan antara lain oleh keterampilan dan
pengetahuan pemakai serta alat keamanan yang digunakan (Anonim 1982).
Menurut laporan dari Namasivayam et al (1994), Powitri et al (1996), dan Asano
(1997) herbisida dinilai berbahaya jika terpapar pada hewan dan manusia,
sehingga diperlukan pengujian mendalam sejauh mana tingkat bahaya dari
dampak herbisda jenis paraquat yang dapat menimbulkan kerusakan kromosom.
Beberapa jenis herbisida dapat menyebabkan cacat lahir (teratogenik).
Badan Lingkungan Hidup Amerika Serikat memiliki data beberapa herbisida yang
bersifat teratogen, diantaranya acrolein, bentazone, cyanazine, bromoxynil, 2,4-d,
dinocap, dinoseb, diquat, nitrofen, picloram, 2,4,5-T (YDA 1999). Selain
berbahaya bagi kesehatan masyarakat, herbisida dapat membahayakan
lingkungan. Pencemaran lingkungan oleh herbisida dapat mempengaruhi
kesehatan manusia lewat tanah dan air yang tercemar yang kemudian dapat
mencemari produk makanan manusia maupun hewan.
Patofisiologi Keracunan
Masuknya bahan-bahan herbisida dan jenis pestisida lain ke dalam tubuh
dapat melalui beberapa cara, yaitu melalui mulut (dengan cara
diminum/terminum), melalui hidung (dengan cara dihirup/terhirup, misalnya pada
petani yang sedang menyemprot tanamannya dengan cara yang tidak benar), dan
melalui kulit (dengan cara masuk lewat pori-pori), serta melalui rambut dan mata
(Purnawati 2008).
Herbisida dapat menimbulkan efek pada hama khususnya tanaman
pengganggu, namun herbisida dapat mempengaruhi mekanisme yang penting bagi
bentuk kehidupan yang lebih tinggi seperti manusia dan hewan. Dalam dosis
kecil, herbisida tidak berbahaya bagi manusia dan hewan karena ukurannya yang
jauh lebih besar dari hama tanaman pengganggu, namun apabila dosis kecil
tersebut terakumulasi dalam jumlah tertentu akan membahayakan manusia dan
hewan. Kontak dengan herbisida akan mengakibatkan efek bakar yang langsung
dan dapat terlihat pada penggunaan kadar tinggi karena kandungan asam sulfat 70
%, besi sulfat 30 %, tembaga sulfat 40 %, dan paraquat. Keracunan herbisida
menyebabkan rusaknya lapisan selaput lendir saluran pencernaan, dehidsrasi, rasa
terbakar di saluran pencernaan, terganggunya sistem pernafasan yang akhirnya
menyebabkan korban kejang, muntah, koma akibat kekurangan oksigen hingga
kematian mendadak jika tidak segera mendapatkan pertolongan (Zulfendi 2007).
Lama reaksi racun ditentukan dari kondisi fisik korban. Korban dengan
kondisi fisik lemah, kurang gizi, perut kosong atau menderita tukak lambung akan
cepat mengalami muntah muntah dan mulut berbuih. Jika terindikasi
keracunan, secepatnya korban diberikan antidota seperti norit, putih telur atau
susu. Tujuan pemberian antidota agar dinding usus tidak rusak dan racun tidak
diserap oleh darah. Namun cara yang paling penting adalah agar korban muntah
sehingga jumlah herbisida yang masuk berkurang (Zulfendi 2007).
Secara umum, patofisiologi pada keracunan herbisida dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Berhubungan dengan kerusakan membran plasma.
2. Hambatan pada jalur metabolisme seluler melibatkan asetilkoenzim A (asetil-
CoA).
3. Terganggunya proses fosforilasi oksidase dikuti dengan kerusakan membran
intraseluler. Gangguan proses fosforilase oksidatif merupakan komponen
yang penting yang dapat menyebabkan kematian pada pasien yang mendapat
paparan lama dari herbisida chlorophenoxy. Herbisida chlorophenoxy sendiri
menyebabkan tidak berlangsungnya proses fosforilasi in vitro dengan
mekanisme yang belum jelas. Proses dimana kebutuhan oksigen dan produksi
energi meningkat diluar proporsi dari pembentukan ATP. Mungkin hal itu
disebabkan karena faktor ekstrinsik seperti bahan-bahan kimia atau obat-obat
yang bisa merusak fungsi mitokondria. Pada awalnya, hal ini menyebabkan
peningkatan respirasi mitokondria sampai pada menurunnya jumlah ATP yang
dibutuhkan untuk fungsi sel termasuk transport pompa aktif seperti Na-K
ATPase. Yang kemudian menghilangkan ion sel dan mengganggu regulasi
volume, dimana jika ATP tidak disediakan dengan cukup akan menyebabkan
terjadinya kematian sel yang ireversibel.
4. Pada konsentrasi chlorophenoxy yang tinggi, dapat menyebabkan kerusakan
membran sel eritrosit dimana pada pemeriksaan mikroskop electron
memperlihatkan perubahan bentuk sel eritrosit menjadi bentuk bundel
(echinocyte) dengan konfigurasi beberapa spinula di sekitarnya.
5. Kelainan pada sistem saraf pusat akibat adanya gangguan pada sawar darah
otak dimana dibuktikan dengan ditemukannya serum albumin dan IgG pada
otak) yang disebabkan karena akumulasi herbisida pada sistem saraf pusat.
6. Herbisida chlorophenoxy juga mengganggu mekanisme pemindahan sel
membran, salah satunya pemindahan anion organik pada pleksus koroideus
dari otak ke pembuluh darah. Ditandai dengan ditemukannnya akumulasi
neurotransmiter dopamin dan serotonin.
7. 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid menyebabkan hambatan pada ion channel
yaitu gangguan transport Ca2+ sehingga terjadi aktivasi terus menerus dan
ireversibel sistem aktin miosin dan degenerasi miofibril.
8. Akibat peningkatan konsentrasi ion kalsium intraseluler pada hati disertai
dengan pengurangan jumlah sel protektif hati seperti glutation dan protein
thiol, terjadi gangguan peroksidae lipid di hati.
9. Chlorophenoxy beserta analognya juga dapat menghambat agregasi platelet
dan produksi tromboksan, dimana mekanisme ini menjelaskan tentang
bagaimana terjadinya koagulopati pembuluh darah.
Toksikokinetika dan Toksikodinamika Keracunan Herbisida
Cara masuk herbisida ke dalam tubuh menentukan kecepatan penyerapan,
sehingga berpengaruh pada intensitas dan durasi keracunan. Herbisida masuk ke
dalam tubuh melalui beberapa jalur yaitu : (1) oral/mulut; (2) respirasi /
pernafasan; (3) penetrasi kulit/perkutan. Menurut OMalley (2007) jalur utama
adalah absorbsi kulit. Cara absorbsi yang paling berbahaya secara epidemologi
melalui terhirup (inhalasi) karena bahan berbentuk gas atau partikel, sehingga
memudahkan racun masuk ke dalam peredaran darah (Suwastika, 2009).
Absorbsi akan terjadi secara cepat, kurang lebih sebanyak 5 % diabsropsi melalui
lambung dan usus (Schmitz et al. 2001). Kemudian didistribusi ke ginjal, hati,
traktus gastrointestinal dan sistem saraf pusat dan perifer. Sebagian dari senyawa
asam mengalami konjugasi, tetapi biotransformasinya dalam tubuh masih
terbatas (Williams dan Wilkins 2004). Ekskresi senyawa herbisida semuanya
melalui urin. Salah satu jenis herbisida adalah 2,4- dichlorophenoxyacetic acid
yang merupakan hebisida chlorophenoxy, 2,4- dichlorophenoxyacetic acid (2,4-
D). Paparan terhadap 2,4- dichlorophenoxyacetic acid dapat terjadi secara
inhalasi, oral, kulit dan mata sehingga dapat menyebabkan iritasi parah pada kulit
dan mata (Anonim 2008). Absorbsi 2,4-D akan terjadi secara cepat dan lengkap.
2,4-D didistribusi ke ginjal, hati, traktus gastrointestinal dan sistem saraf pusat
dan perifer. Senyawa chlorophenoxy ini sangat mudah diabsorbsi pada traktus
gastrointestinal tetapi kurang diabsorbsi baik oleh paru paru. Kontak pada kulit
terjadi secara minimal, karena tidak mutlak bisa tersimpan dalam jaringan lemak.
Pada manusia, senyawa chlorophenoxy pada dosis oral akan diabsorbsi dalam
waktu 24 jam. Peningkatan konsentrasi plasma dalam tubuh terjadi antara 4
sampai 24 jam. Ekskresi 2,4-D semuanya melalui urin. Sebagian dari senyawa
asam mengalami konjugasi, tetapi biotransformasinya dalam tubuh masih terbatas
(William dan Wilkins 2004).
Levine (1991) menyatakan bahwa pemaparan terhadap pestisida maupun
herbisida dapat berupa :
1. Blood dyscrasia dan neoplasia
Hasil toksikologi menyatakan pemaparan lama terhadap herbisida dapat
menyebabkan terjadinya blood discrasia dan kanker pada organ-organ tubuh.
2. Gangguan reproduksi
Gangguan reproduksi yang dapat terjadi : (a) disfungsi seksual; (b)
abnormalitas sperma (jumlah, motilitas, bentuk); (c) subfekunditas (gonad
abnormal, gangguan prepubertas); (d) infertilitas; (e) gangguan
perkembangan
janin.
3. Gangguan sistem syaraf
Apabila tubuh terpapar herbisida secara berulang dan dalam jangka waktu
lama, maka mekanisme kerja enzim cholinesterase terganggu. Enzim
cholinesterase berfungsi memecah acetilcholine menjadi choline dan asam
asetat. Acetilcholine berfungsi dalam menghantarkan impuls syaraf (Sutarni
et al, 1996). Ketika herbisida memasuki tubuh manusia atau hewan, herbisida
menempel pada enzim cholinesterase. Enzim cholinesterase tidak dapat
memecah acetilcholine, sehingga impuls syaraf mengalir terus (konstan)
menyebabkan suatu twiching yang cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah
kepada kelumpuhan (Djau, 2009).
4. Sistem imunologi
Pemaparan herbisida dapat menyebabkan gangguan kemotaksis
neutrofil,yang akhirnya menyebabkan infeksi.
5. Efek pada respiratori
Pemaparan herbisida dapat terjadinya asma dan gangguan sistem pernafasan.
6. Penyakit kulit
Penyakit kulit yang sering terjadi akibat pemaparan herbisida adalah
dermatitis iritan dan dermatitis alergika.
7. Hati/liver
Hati adalah organ yang berfungsi menetralkan bahan-bahan kimia beracun,
maka hati itu sendiri seringkali rusak akibat herbisida. Hal ini dapat
menyebabkan penyakit hati, seperti hepatitis.
2.5 Pertolongan pada Keracunan Herbisida
Pertolongan terhadap pasien yang telah keracunan herbisida sangatlah
dibutuhkan agar racun dari kandungan zat yang masuk dalam tubuh tidak merusak
organ-organ sasaran . Berikut adalah cara menolong pasien sesuai dengan jalur
masuk herbisida ke dalam tubuh :
1. Terhirup
Pindahkan korban ke tempat berudara segar. Berikan pernapasan buatanjika
dibutuhkan. Segera bawa ke rumah sakit atau fasilitas kesehatanterdekat.
2. Kontak dengan Kulit
Segera tanggalkan pakaian, perhiasan, dan sepatu yang terkontaminasi.Cuci
kulit, kuku, dan rambut menggunakan sabun dan air yang banyak sampai
dipastikan tidak ada bahan kimia yang tertinggal, sekurangnyaselama 15-20
menit. Bila perlu segera bawa ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat.
3. Kontak dengan Mata
Segera cuci mata dengan air yang banyak, sekurangnya selama 15-20menit
dengan sesekali membuka kelopak mata bagian atas dan bawahsampai
dipastikan tidak ada lagi bahan kimia yang tertinggal. Segera bawake rumah
sakit atau fasilitas kesehatan terdekat.
4. Tertelan
Jangan lakukan induksi muntah. Jangan berikan apapun melalui mulut pada
korban yang tidak sadarkan diri. Segera bawa ke rumah sakit atau
fasilitaskesehatan terdekat.
2.6 Alat Pelindung Diri
Untuk mengurangi dampak dari paparan herbisida, diperlukan Alat Pelindung
diri untuk organ sasaran utama. Alat Pelindung Diri yang sebaiknya digunakan
oleh pekerja sesuai organ sasaran yaitu :
1. Perlindungan Mata
Gunakan alat pelindung mata (kacamata pelindung) yang telah diuji
dansesuai standar pemerintah yang berlaku.
2. Pakaian
Gunakan pakaian pelindung bahan kimia yang lengkap. Pakaian
yangdigunakan harus dipilih berdasarkan konsentrasi dan jumlah bahan
ditempat kerja.
3. Sarung Tangan
Sarung tangan yang digunakan harus memenuhi standar yang berlakudan
harus diperiksa terlebih dahulu sebelum digunakan. Penggunaansarung
tangan harus dilakukan dengan cara yang benar untukmenghindari kontak
bahan dengan kulit (tanpa menyentuh permukaanterluar sarung tangan).
Cara pembuangan sarung tangan yang telahdipakai harus sesuai dengan
peraturan atau praktek laboratorium yangbaik (Good Laboratory
Practices).
4. Respirator
Apabila hasil pemeriksaan pada daerah yang terpapar mengharuskan
penggunaan respirator, gunakan respirator tipe N100 (US) atau P3
(EN143) sebagai alat pelindung. Apabila respirator merupakan alat
pelindungsatu-satunya, maka gunakan respirator yang menutupi seluruh
wajah.Gunakan respirator yang memenuhi standar pemerintah setempat.

BAB III
STUDI KASUS
Dampak Aplikasi Herbisida IPA Glifosat Dalam Sistem Tanpa Olah Tanah (TOT)
Terhadap Tanah Dan Tanaman Padi Sawah

3.1 Pendahuluan
Sawah merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan yang sangat strategis
karena lahan tersebut merupakan sumber daya utama untuk memproduksi
padi/beras sebagai pangan pokok utama, sumber daya utama bagi pemantapan
ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional bagi Indonesia (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2004). Hingga saat ini dan
beberapa tahun mendatang, beras tetap menjadi sumber utama gizi dan energi bagi
lebih dari 90% penduduk Indonesia (Balitan 2005). Kecukupan pangan wajib
terpenuhi dari produksi dalam negeri dan impor sebagai hak dan kelangsungan
hidup bang-sa (Kementan 2011). Namun dilain pihak, upaya peningkatan
produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti konversi lahan
sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim (Climate anomaly),
gejala kelelahan teknologi (Technology fatique), penurunan kualitas sumberdaya
lahan (Land degradation) yang berdampak terhadap penurunan produktivitas
(Pramono et al. 2005).
Salah satu upaya meningkatkan produksi beras adalah intensifikasi.
Intensifikasi pertanian dapat dilakukan dengan cara pemupukan yang baik,
penggunaan benih unggul, pengendalian hama dan penyakit, dan pengendalian
gulma. Pengaruh gangguan gulma terhadap penurunan produksi tanaman pangan
sangat bervariasi tergantung keadaan yang mempengaruhinya. Secara nasional,
penurunan produksi padi sawah mencapai 15 42 % dan padi gogo 47-87 %.
Balitan (2010) menyatakan teknologi tanpa olah tanah (TOT) merupakan
salah satu cara pengolahan lahan yang prospektif dikembangkan untuk mengatasi
beberapa kelemahan olah tanah sempurna (OTS).Tanpa olah tanah dikenal sebagai
teknologi olah tanah konservasi (conservation tillage) karena memiliki beberapa
keuntungan, antara lain mencegah erosi, mempertahankan keanekaragaman
biologi, menekan populasi beberapa jenis gulma dan hama invertebrata,
memperbaiki efisiensi penggunaan pupuk, meningkatkan intensitas penanaman
dan pendapatan (Effendidan Utomo 1993; Lamid et al. 1996; Lamid 1998; Lamid
2011). Teknologi ini membuka peluang bagi penggunaan herbisida non selektif
purna tumbuh yang bekerja secara sistemik atau secara kontak (Bangun 1995;
Utomo 1995; Lamid 2011). Penggunaan herbisida dinilai jauh lebih efisien,
murah, dan cepat karena hemat tenaga kerja yang diperlukan untuk penyiangan
(Tjitrosoedirjo et al. 1984). Meskipun demikian, pengaplikasian herbisida pada
lahan persawahan secara terus menerus dikhawatirkan dapat meninggalkan residu
di dalam tanah, tanaman dan hasil panen.
3.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. Menganalisis pengaruh TOT dan kombinasinya dengan herbisida IPA
Glifosat terhadap produksi.
2. Menganalisis konsentrasi residu herbisida IPAGlifosat di dalam tanah,
jerami dan beras dan batasmaksimum residu (BMR).
3.3 Hasil dan Pembahasan
1. Hasil Produksi Pertanaman Padi
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap bobot gabah kering
giling (GKG) ditunjukkan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil ubinan pada
masing-masing petak perlakuan diperoleh rata-rata bobot gabah kering giling
(GKG) total yang dipanen sebesar 6.608 ton ha-1 .
Tabel 1. Hasil analisis uji lanjut bobot Gabah Kering Giling (GKG)
Perlakuan Bobot Gabah (ton ha-1)
Gm (OTS) 9.380c
G0 (Kontrol) 3.920a
G1 (Glifosat dosis 1,5 l/ha) 7.280bc
G2 (Glifosat dosis 3 l/ha) 6.440ab
G3 (Glifosat dosis 4,5 l/ha) 6.020ab
Dari hasil penelitian ini menunjukan cara pengolahan tanah memberikan
pengaruh yang nyata terhadap produksi gabah kering giling (GKG). Perlakuan
tertinggi diperoleh pada perlakuan Gm dengan bobot gabah sebesar 9.380 ton
ha-1 sedangkan antara perlakuan G1, G2, dan G3 tidak berbeda nyata.
Perlakuan terendah ditemukan pada perlakuan G0 dengan bobot kering giling
sebesar 3.920 ton ha-1. Walaupun hasil produksi Gm lebih tinggi, namun secara
statistik hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan perlakuan G1.Tingginya
produksi gabah perlakuan Gm dibanding perlakuan G1, G2, dan G3 diduga
dipengaruhi oleh pengolahan tanah yang dilakukan olah tanah sempurna
sehingga perakaran padi lebih berkembang dan lebih mudah menyerap unsur
hara dibanding tanpa olah tanah.
Penerapan herbisida glifosat mampu mempercepat pelapukan gulma dan
singgang tanaman padi. Materi lapuk tersebut tertinggal secara in situ dan
menyumbang terhadap kandungan C-organik tanah. Pada tanpa olah tanah,
nilai total hara N, P, dan K dalam tanah selalu lebih rendah dibanding olah
tanah sempurna karena hara tersebut banyak terabsorpsi sehingga kontribusi
terhadap pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman.
Akan tetapi, perlakuan G1 tanpa olah tanah diperoleh produksi gabah
kering giling sebesar 7.280 ton ha-1. Sejalan dengan Lamid (2001) yang
membuktikan bahwa jumlah gabah, gabah bernas, dan bobot 1.000 butir gabah
yang dihasilkan tanaman dengan penerapan tanpa olah tanah sebesar 8-22%
lebih tinggi dibanding olah tanah sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa gabah
yang dihasilkan lebih banyak, lebih bernas, dan relatif lebih besar sehingga
berkontribusi terhadap peningkatan hasil padi. Oleh karena itu, penerapan
tanpa olah tanah dengan perlakuan glifosat dengan dosis 1.5 l ha -1 dapat
diterapkan di lapang.
Penggunaan herbisida tidak dapat dipisahkan dalam penyiapan lahan
sistem TOT. Gulma yang tumbuh di atas permukaan tanah yang biasanya
dikendalikandengan cangkul, traktor atau alat mekanisasi lainnyadigantikan
dengan penyemprotan herbisida untuk mematikan gulma maupun sisa tanaman
yang masih hidup, yang selanjutnya dimanfaatkan sebagai mulsa dan bahan
organik (Sebayang et al. 2002). Sistem tanpa olah tanah berkaitan erat dengan
penggunaan herbisida glifosat. Glifosat lebih banyak digunakan karena
membunuh gulma secara menyeluruh. Penggunaan glifosat secara intensif
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap tanah, tanaman dan
meningkatkan serangan penyakit pada tanaman.
Di dalam tanah, glifosat tidak mudah terdegradasi dan terakumulasi
dengan mengikat kation tanah. Persistensi dan akumulasi glifosat di dalam
tanah tergantung pada komposisi tanah, kondisi iklim dan aktivitasmikroba.
Proses tersebut terjadi pada meristem akar di dalam tanah terbukti secara
signifikan mengurangi pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman dalam
menyerap nutrisi. Gangguan terhadap serapan nutrisi pada akar, juga
mempengaruhi kemampuan alami tanaman dalam mengimbangi kekurangan
nutrisi dalam jumlah sedikit. Glifosat dapat mengurangi serapan unsur hara
melalui toksisitasnya terhadap mikroorganisme tanah yang berperan penting
dalam meningkatkan ketersediaan nutrisi melalui proses mineralisasi dan
simbiosis. Glifosat berfungsi sebagai pengikat mineral-mineral logam yang
berspektrum luas dan menghentikan kofaktor mineral logam tertentu (Cu, Fe,
Mn, Ni, Zn) yang diperlukan untuk aktivitas enzim (Huber 2010a; Huber
2010b; Helander et al. 2012).
Glifosat merangsang mikroba tanah secara oksidatif yang bersifat
patogenik terhadap tanaman melalui eksudat akar di dalam tanah. Glifosat
mengurangi ketersediaan unsur hara dengan menurunkan kelarutannya untuk
penyerapan unsur hara bagi tanaman dan menghentikan proses tersebut dengan
aktivitas patogenik. Patogen tanaman dirangsang oleh glifosat, yaitu bakteri
dan jamur yang terdapat di dalam tanah menyerang pada akar, batang, dan
tajuk tanaman. Bakteri dan jamur menyerang dengan menghambat transportasi
nutrisi yang menyebabkan layu, mati ujung dan akar bengkak.

2. Residu Herbisida di Tanah, Jerami dan Hasil Panen (Beras)


Dari hasil analisis residu menunjukkan bahwa glifosat terdeteksi pada
seluruh sampel perlakuan padatanah, jerami dan beras dengan konsentrasi yang
berbeda-beda. Glifosat dapat terdeteksi pada semua perlakuandengan waktu
retensi yang diperlukan relatifsama antara 9.22 menit - 9.28 menit dengan
peakberkisar antara 5 9 dan area berkisar antara 75350 20770666.
Berdasarkan SNI 7313- 2008 batas residu maksimumglifosat yang
ditetapkan pada komoditas berasadalah sebesar 0.1 mg kg -1 (BSN 2008). Akan
tetapi,batas standar maksimum untuk jerami dan tanah belumditetapkan. Jerami
padi merupakan salah satusumber pakan ternak sapi yang banyak
dikembangbiakanoleh masyarakat (Makarim et al. 2007).Tercemarnya jerami
pada padi akan berakibat residuherbisida glifosat terbawa ke dalam tubuh
hewan ternak.Hal tersebut berbeda dengan komoditas jeramijagung segar dan
jerami serealia segar sebagai pakanternak yang telah ditetapkan batas
maksimum residu(BMR) glifosat sebesar 1 mg kg-1 dan 100 mg kg-1.
Hasil analisis laboratorium memperlihatkan bahwa konsentrasi residu
glifosat terdapat pada semua perlakuan. Konsentrasi glifosat tertinggi
terdapatpada sampel beras dibandingkan dengan sampel tanahdan jerami.
Tingginya konsentrasi glifosat di dalamberas diduga bahan aktif glifosat ikut
pada saat terjadinya translokasi hara yang dibutuhan selama fasegeneratif
tanamanan. Pada perlakuan kontrol jugaditemukan residu glifosat di dalam
beras namun dalamjumlah relatif lebih kecil (0.009 mg kg-1). Tercemarnya
glifosat di pertanaman padi pada perlakuan kontrol diduga akibat aplikasi
herbisida glifosat sebelumpenelitian ini dilakukan oleh petani atau cemaran
yangada dalam air irigasi. Residu herbisida glifosatdiketahui dapat bertahan di
dalam tanah selama 6 bulan,dan jangka waktunya dipengaruhi oleh dosis
yangdigunakan, faktor iklim dan jenis tanah (NPIC 2010).Meskipun tidak
menunjukan kecenderungan yangjelas, dosis herbisida yang lebih rendah
dalampenelitian ini juga menunjukkan residu yang lebih rendah.

3. Batas Maksimum Residu Glisofat


Tingkat bahaya residu pestisida pada suatu bahan tanaman dapat diketahui
dengan melihat batas maksimumresidu (BMR). Batas maksimum residu
ditentukanoleh pemerintah yang secara hukum diizinkanatau diketahui sebagai
acuan dalam menentukan batasambang konsentrasi senyawa residu yang
dapatditerima pada hasil pertanian yang dinyatakan dalamsatuan miligram
residu pestisida per kilogram hasilpertanian (BSN 2008). Berdasarkan hasil
analisisresidu herbisida yang dilakukan di laboratoriummenunjukkan
kandungan residu glifosat pada beberapasampel yang diuji sebagai berikut:
pada sampeltanah kandungan residu berkisar 0.001-0.048 mg kg-1,sampel
jerami berkisar 0.004-0.147 mg kg-1 dan sampelberas berkisar 0.009-0.272 mg
kg-1.
Berdasarkan batas maksimum residu pada tiga perlakuanyang melewati
ambang batas maksimum residuadalah sampel beras. Hal ini berarti bahwa
residuglifosat yang terkandung di dalam beras tidak dalambatas aman untuk
dikonsumsi dan dapat menimbulkanefek akut terhadap manusia apabila
dikonsumsi setiaphari. Untuk mencegah kemungkinan terjadinyagangguan
kesehatan pada manusia, residu yang terkandung dalam produk pangan dan
pakan tidak bolehmelebihi batas yang diijinkan (Djojosumarto 2008).
Standar keamanan pangan yang digunakan yaitu Acceptable Daily Intake
(ADI). EFSA (2014) menyatakanbahwa Acceptable Daily Intake (ADI)
adalahperkiraan jumlah zat dalam makanan yang dapat dicernasetiap hari
selama seumur hidup tanpa risikojangka panjang kronis yang cukup untuk
setiap konsumendinyatakan dalam mg/kg secara berat badan.Nilai Acceptable
Daily Intake (ADI) untuk glifosatyaitu 0.3 mg kg-1 (EC 2002). Dimana nilai
ADIglifosat dibagi dengan faktor keselamatan sebesar 100maka hasilnya 0.003
mg kg-1 berat badan, artinyaseseorang (diharapkan) tidak menampakan
gejalagangguan kesehatan jika mengkonsumsi glifosatsebanyak 0.003 mg kg -1
berat badannya. Untukmengetahui jumlah pestisida yang boleh dikonsumsiper
hari dinyatakan dalam maximum permissible level (MPL) atau maximum
permissible intake (MPI) yangdinyatakan dalam mg orang-1 hari-1. Nilai MPL
atauMPI adalah ADI dikalikan berat badan orang bersangkutandimana nilai
0.003 mg kg-1 dikalikan 60(berat badan rata-rata orang Indonesia dewasa)
samadengan 0.018 mg. Angka MPL sebesar 0.018 mg inimenunjukkan bahwa
orang Indonesia dewasa denganberat badan 60 kg tidak akan menunjukkan
gejala keracunan atau menderita gangguan kesehatan jikamengkonsumsi 0.018
mg glifosat per hari.
Salah satu penyakit yang diakibatkan oleh residuglifosat dalam makanan
yaitu penyakit Celiac. PenyakitCeliac atau intoleransi gluten adalah masalah
yangberkembang di seluruh dunia, terutama di AmerikaUtara dan Eropa, di
mana sekitar 5% dari populasisekarang menderita penyakit ini. Penyakit ini
mengganggusaluran pencernaan sehingga tak bisa menyerapnutrisi secara baik.
Penderita tak bisamengkonsumsi segala bentuk protein yang berasal darigluten,
yang banyak di temukan dalam gandum, roti,dan tepung. Gejala termasuk
mual, diare, ruam kulit,anemia makrositik dan depresi. Ini adalah
penyakitmultifaktorial yang berhubungan dengan berbagaikekurangan gizi
serta masalah reproduksi dan peningkatanrisiko penyakit tiroid, gagal ginjal
dan kanker. Penyakit celiac berhubungan dengan ketidakseimbangan bakteri di
dalam usus yang disebabkan olehpengaruh glifosat pada bakteri usus.
Karakteristikpenyakit celiac terjadinya penurunan banyak enzimsitokrom
P450, dimana enzim ini berperan pentingdalam detoksifikasi toksin
lingkungan, mengaktifkanvitamin D3, mengkatabolis vitamin A, dan
mempertahankanproduksi asam empedu dan sulfat di dalamusus. Glifosat
diketahui menghambat enzim sitokromP450. Kekurangan zat besi, kobalt,
molibdenum, tembagadan mineral logam lainnya yang berhubunganerat
dengan penyakit celiac dapat dikaitkan dengankemampuan yang kuat glifosat
untuk mengikat elemen-elemen tersebut. Kekurangan triptofan,
tirosin,metionin dan selenomethionine terkait dengan penyakitceliac dimana
terjadinya penurunan asam aminoyang disebabkan oleh glifosat (Samsel dan
Seneff2013).

3.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Perlakuan Gm dan G1 menghasilkan produksi gabah yang paling tinggi
dengan rerata produksi gabahkering giling masing-masing sebesar 938 g
m-1 dan 728 g m-1.
2. Glifosat yang terkandung pada sampel tanah, jeramidan beras
membuktikan bahwa penggunaan glifosatsecara intensif dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap aktivitas mikroba tanah,
ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit dan residu yang terbawa
didalam tanaman.
3. Residuglifosat yang terdapat di dalam makanan tidak dalambatas aman
apabila dikonsumsi setiap hari dan dapatmenimbulkan pengaruh buruk
bagi kesehatan manusia.Salah satu penyakit yang diakibatkan oleh
residuglifosat dalam makanan yaitu penyakit Celiac.
4. Residu herbisida glifosatdiketahui dapat bertahan di dalam tanah selama
6 bulan,dan jangka waktunya dipengaruhi oleh dosis yangdigunakan,
faktor iklim dan jenis tanah
5. Nilai Acceptable Daily Intake (ADI) untuk glifosatyaitu 0.3 mg kg-1.
DAFTAR PUSTAKA
Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo, dan J. Wiroatmojo. 1984. Pengelolaan Gulma di
Perkebunan. P.T. Gramedia. Jakarta. 209 hlm
Irianto, M.Y dan M.L.I. Johannis. 2011. Peranan herbisida dalam sistem olah
tanah konservasi untuk menunjang ketahanan pangan. J. Gul danTumb
Invasif Trop 2: 62-69.
Kesuma, S., Hariyadi, Anwar, S. 2015. Dampak Aplikasi Herbisida IPA Glifosat
Dalam Sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) Terhadap Tanah Dan Tanaman Padi
Sawah. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 5 No. 1
(Juli 2015): 61-70
Siregar, Padang Rihim. 2013. Profil Sektor Informal (Studi Pedagang Kaki Lima
di Jalan Hang Tuah Kota Tanjungpinang). Diakses tanggal 12 November
2016 [http://riset.umrah.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/PROFIL-
SEKTOR-INFORMAL.pdf.]

Anonym. http://digilib.unila.ac.id/2619/13/BAB%20II.pdf. Diakses tanggal 11


November 2016
Anonim.
https://ocw.ipb.ac.id/file.php/14/Pengendalian_Gulma/BAB7_Pengendalian_
Kimiawi.pdf. Diakses tanggal 11 November 2016
Anonym. http://www.cdc.gov/niosh/ipcsneng/neng0160.html. Diakses tanggal 11
November 2016

Anda mungkin juga menyukai