Kasus Ikterus
Kasus Ikterus
PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
Manfaat Teoritis :
Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang penyakit ikterus, tata
pelaksanaan, dan asuhan keperawatan pada pasien ikterus.
Manfaat Praktis :
Dapat dijadikan literatur perpustakaan untuk mata kuliah keperawatan dewasa IV.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat
penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan
konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. Atau bisa juga
Ikterus adalah akumulasi abnormal pigmen bilirubin dalarn darah yang
menyebabkan air seni berwarna gelap, warna tinja menjadi pucat dan perubahan
warna kulit menjadi kekuningan. Ikterus merupakan kondisi berubahnya jaringan
menjadi berwarna kuning akibat deposisi bilirubin. Ikterus paling mudah dilihat
pada, sklera mata karena elastin pada sklera mengikat bilirubin.
Ikterus harus dibedakan dengan karotenemia yaitu warna kulit kekuningan
yang disebabkan asupan berlebihan buah-buahan berwarna kuning yang
mengandung pigmen lipokrom, misalnya wortel, pepaya dan jeruk. Pada
karotemia warna kuning terutama tampak pada telapak tangan dan kaki disamping
kulit lainnya. Sklera pada karotemia tidak kuning. Istilah ikterus dapat dikacaukan
dengan kolestasis yang umumnya disertai ikterus. Definisi kolestasis adalah
hambatan aliran empedu normal normal untuk mencapai duodenum. Kolestatasis
ini dulu sering dinamakan jaundice obstruktif.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan kalau
ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34 sampai 43
uniol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin
mungkin sebenamya sudah mencapai angka 7 mg%.
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan
sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar
bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi
klinik.
Jaundice (berasal dari bahasa Perancis ‘jaune’ artinya kuning) atau ikterus
(bahasa Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan
membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada
jaringan tersebut.
2.2 Etiologi
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penimbunan pigmen
empedu pada tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning,
terutama pada jaringan tubuh yang banyak mengandung serabut elastin sperti
aorta dan sklera (Maclachlan dan Cullen di dalam Carlton dan McGavin 1995).
Warna kuning ini disebabkan adanya akumulasi bilirubin pada proses
(hiperbilirubinemia). Adanya ikterus yang mengenai hampir seluruh organ tubuh
menunjukkan terjadinya gangguan sekresi bilirubin. Berdasarkan penyebabnya,
ikterus dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Ikterus pre-hepatik
Ikterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan RBC atau intravaskular
hemolisis, misalnya pada kasus anemia hemolitik menyebabkan terjadinya
pembentukan bilirubin yang berlebih. Hemolisis dapat disebabkan oleh parasit
darah, contoh: Babesia sp., dan Anaplasma sp. Menurut Price dan Wilson (2002),
bilirubin yang tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air sehingga tidak
diekskresikan dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria tetapi terjadi peningkatan
urobilinogen. Hal ini menyebabkan warna urin dan feses menjadi gelap. Ikterus
yang disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan dan
berwarna kuning pucat. Contoh kasus pada anjing adalah kejadian Leptospirosis
oleh infeksi Leptospira grippotyphosa.
2. Ikterus Hepatik
Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan pengambilan dan
konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin terkonjugasi.
Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel hepatosit, hepatitis akut atau
kronis dan pemakaian obat yang berpengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh
sel hati. Gangguan konjugasi bilirubin dapat disebabkan karena defisiensi enzim
glukoronil transferase sebagai katalisator (Price dan Wilson 2002).
3. Ikterus Post-Hepatik
Mekanisme terjadinya ikterus post hepatik adalah terjadinya penurunan
sekresi bilirubin terkonjugasi sehinga mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut di dalam air, sehingga
diekskresikan ke dalam urin (bilirubinuria) melalui ginjal, tetapi urobilinogen
menjadi berkurang sehingga warna feses terlihat pucat. Faktor penyebab
gangguan sekresi bilirubin dapat berupa faktor fungsional maupun obstruksi
duktus choledocus yang disebabkan oleh cholelithiasis, infestasi parasit, tumor
hati, dan inflamasi yang mengakibatkan fibrosis.
Migrasi larva cacing melewati hati umum terjadi pada hewan domestik.
Larva nematoda yang melewati hati dapat menyebabkan inflamasi
dan hepatocellular necrosis (nekrosa sel hati). Bekas infeksi ini kemudian diganti
dengan jaringan ikat fibrosa (jaringan parut) yang sering terjadi pada kapsula hati.
Cacing yang telah dewasa berpindah pada duktus empedu dan menyebabkan
cholangitis atau cholangiohepatitis yang akan berdampak pada
penyumbatan/obstruksi duktus empedu. Contoh nematoda yang menyerang hati
anjing adalah Capillaria hepatica. Cacing cestoda yang berhabitat pada sistem
hepatobiliary anjing antara lain Taenia hydatigena dan Echinococcus
granulosus. Cacing trematoda yang berhabitat di duktus empedu anjing
meliputi Dicrocoelium dendriticum, Ophisthorcis tenuicollis, Pseudamphistomum
truncatum, Methorcis conjunctus, M. albidus, Parametorchis complexus, dan lain-
lain (Maclachlan dan Cullen di dalam Carlton dan McGavin 1995).
2.4 Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit.
Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari
ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam
beberapa minggu.
Ikterus fisiologis Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan
konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya
dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru
lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada
hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali
dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar
bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonjugasi < 2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-
faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin
maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih
lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki
kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang
berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi
peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit
(pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konjugasi
di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Ikterus hepatoseluler
Ikterus pasca hepatik (bendungan saluran empedu)
Ikterus prehepatik
WOC
3.1 Pengkajian
1. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2. Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks
menyusui yang lemah, Iritabilitas.
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)
Kerusakan
integritas kulit
2. Do : Hiperbilirubinemia hipertermia
Kulit memerah
Suhu tubuh
meningkat Indikasi fototerapi
Frekuensi
pernapasan
meningkat
Takikardi Sinar dengan
Kejang intensitas
Ds :
Pasien mengatakan
mual
Hipertermia
3.4 Intervensi
No. Diagnosa Tujuan & Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
1. kerusakan Tujuan: 1. Kaji warna kulit1. Memantau
integritas kulit Keutuhan kulit tiap 8 jam terjadinya
berhubungan bayi dapat 2. Pantau bilirubin perubahan warna
dengan dipertahankan direk dan indirek kulit
hiperbilirubinemi 3. Rubah posisi 2. Memantau kadar
a dan diare Kriteria Hasil: setiap 2 jam bilirubin
Warna kulit 4. Masase daerah 3. Mencegah
normal yang menonjol terjadinya
Kulit bersih 5. Jaga kebersihan penekanan pada
dan lembab kulit dan kulit
4. Meningkatkan
sirkulasi darah
Hazinki, M.F. (1984). Nursing Care of Critically Ill Child. , The Mosby Compani
CV, Toronto.
Mayers, M. et. al. ( 1995). Clinical Care Plans Pediatric Nursing. Mc.Graw-Hill.
Inc., New York.