Anda di halaman 1dari 18

Veterinarian

ANTIKONVULSAN

iin muhadjir

2 tahun yang lalu

Iklan

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada zaman ini banyak manusia atau hewan yang sering mengalami kejang baik karena penyakit turunan
maupun karena suatu penyakit yang muncul saat dewasa. Penyebab terjadinya kejang antara lain trauma
terutama pada kepala, encephalitis (radang otak), obat, birth trauma (bayi lahir dengan cara vacuum-
kena kulit kepala-trauma), penghentian obat depresan secara tiba-tiba, tumor, demam tinggi, dan lain-
lain.

Terapi untuk epilepsi yaitu menggunakan terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non
farmakologi bisa dengan istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan
serangan epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan
teknik relaksasi lainnya. Sedangkan terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan obat anti epilepsi.

Dari hal-hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk meninjau lebih dalam mengenai obat dari
golongan antikonvulsan (antiepilepsi) khususnya tentang obat carbamazepine (karbamazepin) dan obat
tiagabine (tiagabin). Karena dengan mengetahui suatu hewan mengalami epilepsi, kita sebagai calon
dokter hewan harus dapat mendiagnosa lebih jauh lagi mengenai penyakit epilepsi yang menyerang
pada hewan tersebut, seperti faktor yang menyebabkan epilepsi itu terjadi, proses terjadinys epilepsi,
mekanisme obat dari golongan antikonvulsan (antiepilepsi), cara penggunaan obat dari golongan
antikonvulsan (antiepilepsi) yang diberikan, serta efek samping obat dari antikonvulsan (antiepilepsi).

Tujuan Makalah

Tujuan makalah golongan antikonvulsan ini adalah :

Untuk mengetahui absorpsi, distribusi, metabolisme, kimia, waktu paruh dan ekskresi dari obat golongan
antikonvulsan, khususnya carbamazepine (karbamazepin) dan obat tiagabine (tiagabin).
Untuk mengetahui mekanisme kerja dari obat golongan antikonvulsan, khususnya carbamazepine
(karbamazepin) dan obat tiagabine (tiagabin).

Untuk mengetahui cara penggunaan dari obat golongan antikonvulsan, khususnya carbamazepine
(karbamazepin) dan obat tiagabine (tiagabin).

Untuk mengetahui efek dari obat golongan antikonvulsan, khususnya carbamazepine (karbamazepin)
dan obat tiagabine (tiagabin).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengantar Golongan Antikonvulsan

2.1.1 Sejarah Golongan Antikonvulsan

Sebelum obat-obat antisezure dan dikembangkan pengobatan terhadap epilepsi terdiri dari trephining
(penerjemah : suatu metode tradisional dengan perlakuan pada daerah tertentu dari tubuh dengan
tujuan darah yang dianggap sebagai penyebab penyakit tersebut), cupping (penerjemah : suatu metode
tradisional dengan menggunakan gelas yang diletakkan terbaring pada permukaan tubuh kemudian
dipanasi sedemikian rupa, yang dipercaya dapat memperbaiki sumbatan pembuluh darah yang terjadi)
dan pemberian ramuan yang berasal dari ekstrak tanaman dan hewan. Pada tahun 1857, Charles Locock
menghasilkan keberhasilan penggunaan kalium bromida dalam pengobatan atas apa yang disebut
sebagai cetamenial epilepsy. Pada tahun 191.. phenobarbital digunakan untuk pertama kalinya pada
epilepsi, dan 25 tahun kemudian, 35 analog phenoarbital dipelajari kegunaanya segabai antikonvulsan.
Pada tahun 1938, dibuktikan bahwa phenytoin ternyata efektif terhadap seizure eksperimental pada
kucing (Bertram, 2002).

Antara tahun 1935 dan 1960, beberapa langkah maju telah dicapai dalam pengembangan model-model
eksperimental dan metode skrining dan pengujian obat-obat antiseizure baru. Selama dalam periode
tersebut, telah berhasil dikembangkan dan dipasarkan 13 obat antiseizure baru. Seiring dengan adanya
peraturan yang mengharuskan adanya bukti efikasi obat pada tahun 1962 pengembangan obat
antiseizure berkurang secara dramatis, dan hanya ada obat antiseizure baru yang dipasarkan dalam tiga
dekade berikutnya. Meskipun begitu, serangkaian senyawa-senyawa baru mulai tersedia pada 1990-an
(Bertram, 2002).

2.1.2. Keadaan Sekarang dari Perkembangan Obat untuk Epilepsi

Dalam kurun waktu yang lama, diduga bahwa obat tunggal dapat dikembalikan untuk pengobatan semua
epilepsi, tetapi penyebab epilepsi sangat beragam, meliputi cacat perkembangan dan kelainan genetis,
infeksi, neoplasma dan proses penyakit degeneratif, dan terapi obat saai ini memperlihatkan sedikit bukti
dari etiologi spesifik. Namun, ada beberapa spesifitas yang berhubungan dengan tipe seizure. Hal ini
paling jelas dengan seizure umum (generalized seizure) dan tipe absen (absence), secara tipikal dengan
letupan puncak dan gelombang 2-3 Hz pada eletroencephalogram (EEG), yang memberikan respons
terhadap ethosuximide dan trimethadione tetapi dapat diperpearah oleh phenytoin dan carbamazepine.
Obat-obat yang bekerja secara selektif pada obsence seizure dapat diidentifikasi melalui skring pada
hewan coba, dengan menggunakan nilai ambang seizure akibat pemberian pentylentetrazol pada mencit
atau tikus putih atau mencit mutan menunjukan adanya episode seperti absence seizure (yang disebut
letargi gazer atau tottering mutants). Sebaliknya, uji maximal eletroshock (MES, kejutan eletrik maksimal)
dengan penekanan terhadap fase ekstensor tonik mengidentifikasi obat-obat seperti phenytoin,
carbamazepine, dan lamotrigin yang aktif terhadap seizure toknik-klonik umum atau seizure persial
kompleks. Penggunaan uji kejut litrik maksimal (MES) adalah merupakan skrining pertama yang utama
untuk obat-obat baru yang kemungkinan memberikan identifikasi obat-obat baru yang kemungkinan
memberikan identifikasi obat-obat dengan mekanisme kerja umum yang meliputi perpanjangan
inaktivasi kanal natrium peka voltase (voltage sensitive sodium channel). Seizure limbik yang dihasilkan
pada tikus oleh proses electrical kindling (meliputi episode yang berulang dari stimulasi elektrik fokal)
kemungkinan merupakan persyaratan skrining yang lebih baik untuk memprediksi efikasi pada seizure
persial kompleks (Bertram, 2002).

Obat-obat antiseizure yang ada sekarang sudsh cukup memberikan pengendalian seizure yang memadai
pada dua pertiga pasien. Pada anak-anak, beberapa sindroma seizure yang parah berkaitan dengan
kerusakan otak progresif sangat sulit diobati. Pada orang dewasa, beberapa fokal seizure resisten
terhadap pengobatan. Beberapa terutama di dalam lobu temporalis memerlukan pembedahan (Bertram,
2002).

Obat-obat antiseizure baru sedang dicari tidak hanya melalui uji skrining seperti seperti yang dijelaskan
diatas, tetapi juga melalui pendekatan yang lebih rasional. Senyawa-senyawa yang dicari adalah yang
bekerja melalui satu dari tiga mekanisme : (1) penguatan transmisi GABAergik (inhibitorik), (2)
pengurangan transmisi eksitatorik (biasanya glutamatergik), atau (3) modifikasi konduktans ionik
(Bertram, 2002).

Klasifikasi tipe seizure yaitu (Bertram, 2002) :

Seizure parsial

Seizure parsial simpel (Simple partial seizure)

Seizure parsial kompleks (Complex partial seizure)

Seizure parsial secara sekunder menjadi umum (Partial seizure secondary generilized)

Seizure umum

Seizure tonik-klonik umum (Generilized tonic-clonic [grand mal] seizure)

Seizure absen (Absensce [petit mal] seizure)


Seizure tonik (Tonic seizure)

Seizure atonik (Atonic seizure)

Seizure klonik dan mioklonik (Clonic and myoclonic seizure)

Seizure infantil (Infatile spasm). Spasm merupakan suatu sindroma epileptik dari pada suatu tipe seizure
yang spesifik : Obat-obat yang berguna pada spasme infentil akan dibicarakan secara terpisah.

2.1.2. Kimia Golongan Antikonvulsan

Hingga 1990, sekitar 16 obat antiseizure telah tersedia dan 13 diantaranya dapat diklasifikasikan ke
dalam lima grup kimia : barbiturate, hydantoin, oxazlidinedione, succinimide dan acetylurea. Semua grup
tersebut memiliki struktur cincin heterosiklik yang mirip dengan bermacam-macam subtituennya, untuk
obat dengan struktur dasar ini, substituen-substituen pada cincin heterosiklik menentukan kelas
farmakologi, apakah anti-MES atau antipentylenetetrazol. Perubahan struktur yang sangat kecil secara
dramatis dan mengubah mekanisme kerja dan sifat-sifat klinis senyawa-senyawa. Obat-obat yang ada
carbamazepine, valproic acid dan benzodiazepine struktur tidak mirip, seperti halnya pada senyawa-
senyawa baru dari 1990-an, yaitu felbamate, gabapentine, lamotrigine, oxcarbazepine, topiramate dan
vigabatrin (Bertram, 2002).

2.2. Golongan Antikonvulsan

2.2.1. Definisi Golongan Antikonvulsan dan Epilepsi

Antikonvulsan adalah kelompok obat yang secara khas mengakibatkan berbagai gejala neuropsikiatrik
apabila dosisnya melebihi kisaran teraupetik yang lazim (David, 2004).

Epilepsi secara fisiologik merupakan suatu gejala akibat lepasnya aktivitas elektrik yang berlebihan dan
periodik dari neuron serbrum yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter,
fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan psikis (Samekto dan
Abdul, 2001).

Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang timbul
spontan dan berulang dengan episoda singkat (disebut bangkitan berulang atau reccuent seizure) ;
dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitkan ini biasanya disertai kejang
(konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan
EEG (abnormal dan eksesif). Untuk penyakit epilepsi, gambaran EEG bersifat diagnostik. Berdasarkan
gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan disritmia serebral yang bersifat paroksimal (Hendra dan
Vincent, 2007).

Walau pada mulanya berbagai obat tersebut dipakai empirik dan semi empirik, tapi dalam
perkembangannya selalu dicari berbagai kemungkinan tentang mekanisme epilepsi dan juga mekanisme
aksi obat-obat anti konvulsan (Samekto dan Abdul, 2001).
Mekanisme aksi obat-obat anti epilepsi menurut Rall dan Schleifer (1992) melalui dua cara (Samekto dan
Abdul, 2001) :

Mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan

Mengurangi penyebab pacuan dari fokus serangan dan mencegah cetusan serta putusnya agregasi
normal neuron.

Bangkitkan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi
abnormal yang eksesif, terjadi suatu fokus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus
ini merupakan neuron epileptik yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptik. Neuron inilah
yang menjadi sumber bangkitan epilespsi (Hendra dan Vincent, 2007).

Letupan depolarisasi dapat terjadi di daerah korteks. Penjalaran yang terbatas di daerah korteks akan
menimbulkan bangkitan persial misalnya epilepsi fokal Jackson ; letupan depolarisasi tersebut dapat
menjalar ke area yang lebih luas dan menimbulkan konvulsi umum (epilepsi umum ; generalized
epilepsy). Letupan depolariasasi di luar korteks motorik antara lain di korteks sensorik, pusat subkortikal,
menimbulkan gejala aura prakonvulsi antara lain adanya penghidupan bau wangi-wangian, gangguan
proksimal terhadap kesadaran/kejiwaan ; selanjutnya penjalaraan ke daerah korteks motorik
menybabkan konvulsi. Berdasarkan tempat asal letupan depolarisasi jenis bangkitan dan penjalaran
depolarisasi tersebut, dikenal sebagai bentuk epilepsi (Hendra dan Vincent, 2007).

2.2.2. Fungsi Golongan Antikonvulsan

Antikonvulsan (antikejang) digunakan untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic
seizure) dan bangkitan non-epilepsi. Bromida, obat pertama yang digunakan untuk terapi epilepsi telah
ditinggalka karena ditemukannya berbagai antiepilepsi baru yang lebih efektif (Hendra dan Vincent,
2007).

Fenobarbital diketahui memiliki efek antikonvulsan spesifik yang berarti efek antikonvulsannya tidak
berkaitan langsung dengan efek hipnotiknya. Di Indonesia fenobarbital ternyata masih digunakan,
walaupun diluar negeri obat ini mulai banyak ditinggalkan (Hendra dan Vincent, 2007).

Fenitoin sampai saat ini masih tetap merupakan obat utama antilepsi, khususnya untuk bangkitan parsial
dan bangkitan umum tonik-klonik. Disamping itu karbamazepin semakin banyak digunakan, karena
dibandingkan dengan fenitoin efek sampingnya lebih sedikit dan lebih banyak digunakan untuk anak-
anak karena tidak menyebabkan warna kasar dan hipertrofi gusi. Pengaruhnya terhadap perubahan
tingkah laku maupun kemampuan kognitif lebih kecil (Hendra dan Vincent, 2007).

Obat antikonvulsan terutama digunakan untuk menghindari dan mengendalikan serangan epileptik.
Kebanyakan kasus pengobatan simtomatik, hanya beberapa kasus cocok untuk pembedahan
kemungkinan penyembuhan (Robert, 1982).
Penyakit mempengaruhi mendekati dari 0,5 sampai 1,0 persen penduduk. Karena pengobatan sistomatik
sering sepanjang umur, dan perasaan rendah diri dan kata hati-diri sering memisahkan diri dari
masyarakat utama (Robert, 1982).

Sampai sekarang, hanya dua obat yang dapat bermanfaat untuk menekan korteks motor korteks motor
(mencegah konvulsi) juga korteks sensori (menimbulkan tidur). Mereka adalah bromid, yang
diperkenalkan dalam tahun sekotar 1857, dan fenobarbital, yang digunakan sejak tahun 1912. Sejak
diperkenalkan fenitoin (dilantin) tahun 1938, sejumlah obat antikonvulsan mengikuti yang lebih baik
dapat mengendalikan serangan ; mereka menunjukkan sedasi dapat memisahkan dari aktivitas
antikonvulsan dalam berbagai tipe epilepsi. Masing-masing tipe epilepsi dapat dibedakan oleh pola klinis
aelektroensefalografik, dan masing-masing respon berbeda terhadap berbagai golongan obat
antikonvulsan (Hendra dan Vincent, 2007).

Tipe umum serangan epileptik adalah (Hendra dan Vincent, 2007) :

Grand Mal. Mendadak kehilangan kesadaran diikuti kejang otot umum berakhir berkisar antara 2 sampai
5 menit. Sering dan beratnya serangan bermacam-macam.

Petit Mal. Kehilangan kesadaran sangat singkat dengan gerakan kecil kepala, mata dan kaki dan tangan,
berakhir setiap 5 sampai 30 detik. Pasien segera siap siaga, siap melanjutkan aktivitas normal. Mungkin
banyak peristiwa dalam sehari, kejadian tertinggal ditemukan pada anak-anak.

Serangan Psikomotor. Otomatis, pada gerakan berakhir dari 2 sampai 3 menit. Biasa amnesia dan sering
tidak mengingat adanya kejadian. Kejadian ini sering dikacaukan tingkah laku psikotik.

2.2.3. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi

Pemilihan obat untuk terapi masing-masing bentuk epilepsi tergantung dari bentuk bangkitan epilepsi
ssecara klinis dan kelainan EEGnya. Tidak ada satupun klasifikasi epilepsi yang dapat memuaskan dan
diterima oleh semua ahli penyakit saraf. Klasifikasi epilepi secara internasional tidak banyak membantu
sebagai pedoman untuk pembahasan obat antiepilepsi. Untuk maksud ini digunakan klasifikasi yang
lazim dipakai di klinik dan berkaitan erat dengn efektivitas dan epilepsi (Hendra dan Vincent, 2007).

Pada dasarnya epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Hendra dan Vincent, 2007) :

Bangkitan umum primer epilepsi (epilepsi umum) terdiri dari

Bangkitan toknik-klonik (epilepsi grand mal)

Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)

Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences), bangkitan tonik, bangkitan atonik, bangkitan infatil
(spasme inatil)

Bangkitan parsial atau fokal atau lokal (epilepsi parsial atau fokal)

Bangkitan parsial sederhana adalah kesadaran masih membaik


Berasal dari lobus motor frontal : (tonik, klonik, tonik-klonik, Jacsonian’s)

Berasal dari somatosensoris (visual, auditorik, olfaktorius, gustatorius, vertiginosa)

Autonom

Psikis murni

Bangkitan parsial kompleks, misalnya epilepsi psikomotor (epilepsi lobus temporalis)

Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum

Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau golongan II). Akan dibahas demam status epileptikus.

Bangkitan toknik-klonik (epilepsi grand mal)

Merupakan jens bangkitan yang paling dramatis, terjadi pada 10% populasi epilepsi. Terdiri atas 3 fase :
fase tonik, fase klonik dan faase pasca kejang. Terapi sama dengan terapi pada bangkitan parsial (Hendra
dan Vincent, 2007).

Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)

Bangkitan lena terjadi secara mendadak dan juga hilang secara mendadak (10-45 detik). Manifestasi
klinis : berupa kesadaran menurun sementara, namun kendali atas postur tubuh masih baik (pasien tidak
jatuh) : biasanya disertai automatisme (gerakan-gerakan berulang), maka berkedip gerakan-gerakan
sejak masa kanak-kanak (4-8 tahun). Romisi spontan 60-70% pasien pada masa remaja. Seringkali
disertai oleh bangkitan umum sekunder (Hendra dan Vincent, 2007).

Bangkitan lena apikal

Manifestasi klinisnya berupa perubahan postural terjadi lebih lambat dan lebih lama, biasanya disertai
retardasi mental. Lebih refrakter terhadap terapi (Hendra dan Vincent, 2007).

Bangkitan miklonik (bangkitan klonik)

Berupa kontraksi otot sebagian/seluruh tubuh yang terjadi secara cepat dan mendadak. Mioklonik dapat
terlihat pada berbagai jenis bangkitan seperti : bangkitan umum tonik-klonik, bangkitan persial,
bangkitan umum tipe absence dan spasme infatil (Hendra dan Vincent, 2007).

Bangkitan Atonik

Klinik : tiba-tiba kehilangan tonus otot postural sehingga seringkali jatuh tiba-tiba. Sering terjadi pada
anak-anak (Hendra dan Vincent, 2007).

Spasme infatil
Terjadi pada usia 4-8 bulan. Manifestasi klinisnya berupa kontraksi leher, batang tubuh dan ekstremitas
yang simetri bilateral ; ada fragmentasi serangan kejang/terputus. Faktor pencetus : infeksi, kernikterus,
tbc, hiperglikemia, kelainan metabolisme. Sebagian besar tidak responsif terhadap terapi, dan retadarsi
mental tidak dapat dicegah dengan terapi (Hendra dan Vincent, 2007).

Bangkitan Parsial Sederhana

Dapat menyebabkan gejala-gejala motorik, sensonik, otonom dan psikis tergantung korteks serebri yang
aktivasi, namun kesadaran tidak terganggu ; penyebaran cetusan listrik abnormal minimal pasien masih
sadar (Hendra dan Vincent, 2007).

Bangkitan Parsial Kompleks (epilepsi lobus temporalis)

Penyebaran cetusan listrik yang abnormal lebih banyak. Biasanya terjadi dari lobus temporal karena
lobus ini rentan terhadap hipoksia/infeksi. Klinis : ada tanda peringatan/ “aura” yang disertai oleh
perubahan kesadaran ; diikuti “automatisme” yanki gerakan otomatis yang tidak disadari seperti menjilat
bibir, menelan, menggaruk, berjalan yang biasanya berlangsung selama 30-120 detik. Kemudian,
biasanya pasien kembali normal yang disertai kelelahan selama beberapa jam (Hendra dan Vincent,
2007).

Bangkitan Parsil yang berkembang menjadi bangkitan umum

Biasanya terjadi beda pada bangkitan persial sederhana (Hendra dan Vincent, 2007).

Bangkitan lainnya

Kejang demam pada neonatus

Adalah kejang pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun tanpa disertai kelainan neurologis, bersifat umum
dan singkat (< 15 menit), terjadi bersamaan dengan demam hanya terjadi 1 x dalam waktu 24 jam. Anak-
anak dengan infeksi susunan saraf pusat atau kejang tanpa demam sebelumnya tidak dapat disebut
menderita kejang demam (Hendra dan Vincent, 2007).

Status epileptikus

Yaitu suatu bangkitan yang terjadi berulang-ulang Pasien belum sadar setelah episode pertama,
serangan berikutnya sudah dimulai. Merupakan suatu kegawatdaruratan. Ada berbagai jenis status
epileptikus, tapi yang paling sering adalah jenis status epileptikus umum, tonik-klonik (grand-mal). Dapat
disebabkan oleh penghentian terapi yang mendadak, terapi yang tidak memadai, penyakit-penyakit
dalam otak (ensefasilitis, tumor dalam otak, kelainan serebrovaskular) keracunan alkohol, kehamilan
(Hendra dan Vincent, 2007).
Mekanisme Terjadinya Bangkitan Epilepsi

Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu aba yang lalu oleh John Hunghings Jacson, bapak
epilepsi modern. Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang-kadang,
secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat; letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron normal
disekitarnya terkena pengaruh kelupan tersebut. Konsep ini masih tetap dianut dengan beberapa
perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi
memang dapat dibuktikan (Hendra dan Vincent, 2007).

Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adaalah karena adanya celusan listrik di fokal
korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron di sekitarnya, kemudian
menyebar melalui hubungan sinaps tampak, abnormalitas EEG tetap terekam pada periode antar kejang.
Kemudian cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontalateral melaui jalur hemisfer dan jalur
nukleus subkorteks. Gejala klinis tergantung bagian otak yang tereksitasi misalnya saliva, midriasis,
takikardi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke fokus korteks asalnya sehingga akan
meningkatkan aktivasi eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui
jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang toknik-klinik umum. Secara klinis
terjadi fase tonik-klonik berulang kali dan akhirnya timbul “kelelahan” neuron pada fokus epilepsi dan
menimbulkan paralisis dan kelelahan pascaepilepsi (Hendra dan Vincent, 2007).

Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni fase inisiasi dan fase
propagasi (Hendra dan Vincent, 2007).

Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++
dan Na+ serta hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau kanal ion K+
(Hendra dan Vincent, 2007).

Fase propagasi. Dalam keadaan normal, penyebaran dipolarisasi akan dihambat oleh neuron-neuron
inhibisi di sekitarnya yang mengadakan hiperpolarisasi. Namun pada fase propagasi terjadi peningkatan
K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron disekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre sinaps
(meningkatkan pelepasan neurontransmitor), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan
meningkatkan ion Ca++ sehingga terjadi inhibisi oleh neuron-neuron disekitarnya. Kemudian akan
dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsi
umum / epilepsi sekunder (Hendra dan Vincent, 2007).

Mekanisme Kerja Obat Antilepsi

Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebarang kejang.
Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung bersifat membatasi proses penyebaran kejang
daripada mencegah proses inisiasi. Dengan demikian secara umum ada dua mekanisme kerja, yakni :
peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion
Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmitor, meliputi (Hendra dan Vincent, 2007) :
Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson

Contoh : fenitoin dan karbamazepin (pada dosis terapi), fenobarbital dan asam valproat (dosis tinggi),
lamotrigin, topiramat, zonisamid.

Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus (yang berperan sebagai pace-maker untuk
membangkitkan celusan listrik umum di korteks).

Contoh : etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam.

Peningkatan inhibisi GABA

Langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-

Contoh : benzodiazepin, barbiturat.

Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-update dan metabolisme GABA.

Contoh : tiagabin, vigabatrin, asam valproat, gabapentin.

Penurunan eksitasi glutamat, yakni melalui :

Blok reseptor NMDA, misalnya lamotrigin

Blok reseptor AMPA, misalnya fenobarbital, topiramat. Banyak obat epilepsi bekerja pada beberapa
tempat

Kadar Antiepilepsi Dalam Plasma

Penetapan kadar antilepsi yang merupakan kegiatan. Therautic Drug Monitoring berperan penting dalam
individualisasi dosis antiepilepsi, karena berbagai faktor menyebabkan obat yang diminum menghasilkan
kadar yang berada antar individu. Perbedaan faktor genetik dan fisiologik akan mempengaruhi absorpsi,
distribusi biotransformasi maupun ekskresi obat. Pengukuran kadar obat akan membantu dokter untuk
mengetahui/mendeteksi : (1) kepatuhan pasien; (2) apakah kadar terapi sudah dicapai dengan dosis yang
diberikan; (3) pada bangkitan yang belum terkendali tanpa menimbulkan efek toksik; (4) besarnya dosis
untuk penyesuaian bila terjadi interaksi obat, perubahan keadaan fisiologis maupun penyakit (Hendra
dan Vincent, 2007).

Manfaat penetapan kadar antiepilepsi dalam darah pasien sudah jelas, yaitu 80% dapat dikendalikan
kejangnya dengan antiepilepsi yang tersedia saat ini, bila obat yang diberikan memberikan kadar terapi
optimal. Dengan memantau kadar antiepilepsi maka dosis dapat diberikan secara individual, agar efek
toksik dan kegagalan terapi dapat dihindarkan (Hendra dan Vincent, 2007).

Fenition merupakan salah satu antiepilepsi yang kadarnya dalam darah sangat dipantau. Pada dosis
terapi, biotransformasi fenition mungkin sudah mengalami kejunuhan sehingga dengan perubahan dosis
yang kecil dapat menimbulkan perubahan kadar yang drastis (Hendra dan Vincent, 2007).
Meskipun demikian, kadar terapi tidak boleh menjadi acuan keberhasilan terapi. Monitoring kadar obat
dapat memberi paduan penyesuaian dosis tetapi keputusan akhir tetap berdasarkan observasi klinisnya.
Jadi tidak perlu meningkatan dosis yang ternyata dibawah dosis terapi bila tidak ada serangan (Hendra
dan Vincent, 2007).

Peran Obat Antiepilepsi dan Farmakokinetik Obat Antiepilepsi

Peran Obat Antiepilepsi

Hingga kini, ada 16 obat antiepilepsi dan obat-obat tersebut digolongkan dalam 5 golongan kimiawi,
yakni hedantoin, barbiturat, oksazolidindion, suksimid dan asetil urea (Hendra dan Vincent, 2007).

Akhir-akhir ini karbamazepin dan asam valproat memegang peran penting dalam pengobatan epilepsi ;
karbamazepin untuk bangkitan parsial sederhana maupun kompleks, sedangkan asam valproat terutama
untuk bangkitan lena maupung bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik-klonik (Hendra dan
Vincent, 2007).

Farmakokinetik Obat Antiepilepsi

Pada umumnya, sebagian besar obat antiepilepsi dimetabolisme di hati, kecuali yang dieliminasi oleh
ekskresi ginjal. Fenitoin mengalami metabolisme hepar yang tersaturasi. Banyak obat antiepilepsi bekerja
pada beberapa tempat (Hendra dan Vincent, 2007).

Farmakokinetik

2.3.1. Farmakokinetik Carbamazepine (karbamazepin)

Absorbsi

Kecepatan absorpsi carbamazepine bervariasi sangat luas pada pasien yang berbeda-beda, walaupun
absorpsinya hampir sempurna pada semua pasien. Kadar puncak biasanya dicapai 6-8 jam setelah
pemberian obat. Memperlambat absorpsi dengan cara memberikan obat sesudah makan akan
membantu pasien menoleransi dosis hariaan lebih tinggin (Bertram, 2002)

Cepat diabsorbsi setelah pemberian oral (Samekto dan Abdul, 2001).

Distribusi

Distribusinya lambat dan volume distribusi kira-kira 1 L/kg. Obat ini hanya 70% terikat dengan protein
plasma ; tidak dapat pendesakan oleh obat-obat lain dari ikatannya dengan protein plasma (Bertram,
2002).

Kosentrasi puncak tercapai dalam 2-6 jam. Terikat 80 persen dalam protein plasma (Samekto dan Abdul,
2001).
Ekskresi dan Metabolisme

Carbamazepine mempunyai klirens sistemis yang sangat lambat, yaitu sekitar 1 L/kg/hari pada awal
terapi. Obat ini memiliki suatu kemampuan untuk menginduksi enzim mikrosomal. Dalam beberapa studi
dari penderita epilepsi atau sukarelawan atas regimentasi dosis yang lebih 1 bulan, klirens
carbamazepine meningkat dua kali dari pengobatan awal. Biasanya waktu paruh 36 jam yang teramati
pada subjek setelah pemberian dosis permulaan, menurun hingga kuraang dari 20 jam pada subjek yang
telah menerima pengobatan kontinyu. Pengaturan dosis yang berarti, selanjutnya diharapkan selama
minggu pertama pengobatan. Perubahan-perubahan dosis ini kemungkinan dapat mengubah kapasitas
enzim mikrosomal. Carbamazepine juga mengubah obat-obat lainnya (Bertram, 2002).

Pada manusia carbamazepine dimetabolisme sempurna, sebagian menjadi derivat 10, 11-dihydro, yang
mana selanjutnya mengalami konjugasi. 11-dihydro tersebut dibentuk dari suatu epoxide yang stabil,
carbamazepine epoxide, yang telah ditunjukkan mempunyai aktivitas antikonvulsan. Peranan dari
metabolit ini dan metabolit lainnya terhadap aktivitasi dari carbamazepine masih belum dapat diketahui
(Bertram, 2002).

Kimia

Meskipun kurang jelas strukturnya diperlihatkan secara dua dimensi, carbamazepine memiliki banyak
persamaan dengan phenytoin. Gugus aktif ureida (-N-CO-NH2) yang terdapat didalam cincin heterosiklik
dari sebagian besar obat-obat juga ada carbamazepine. Studi struktur tiga dimensi menunjukkan bahwa
konformasi ruangan mirip dengan phenytoin (Bertram, 2002).

Kadar Teraupetik dan Dosis

Carbamazepine dianggap sebagai pilihan obat untuk seizure parsial. Obat ini tersedia dalam bentuk
sediaan oral. Obat ini efektif bagi anak-anak dan yang tepat adalah 15-25 mg/kg/hari. Pada orang
dewasa dosis harian ini 1 g atau bahkan 2 g masih dapat ditoleransi. Dosis yang lebih tinggi dapat melalui
pemberian dosis ganda yang terbagi setiap hari. Suatu preparansi perlahan memberikan kemungkinan
pemberian dosis dua kali sehari sebagian besar pasien. Pada pasien yang darahnya diambil menjelaskan
pemberian dosis pagi hari (kadar puncak) kadar teraupetiknya biasanya 4-8 μg/mL ; meskipun banyak
pasien mengeluh diplopia pada kadar di atas 7 μg/mL, lainnya dapat menoleransi kadar hingga di atas 10
μg/mL terutama dengan monoterapi. Apabila darah diambil secara kadarnya seringkali diatas 8 μg/mL,
tetapi fluktasi yang berhubungan di absorpsi menyulitkan perbandingan untuk jangka waktu yang lama
(Bertram, 2002).

Dewasa : 200 mg, 2 kali sehari 600-1200 mg. Dosis terbagi 4 kali bila perlu. Anak : 20-30 mg/kg/BB.
Kosentrasi plasma terapetik : 6-8 μg/mL. Terjadi efek samping pada SSP pada konsentrasi 8,5-10 μg/mL
(Samekto dan Abdul, 2001).

Dosis anak dibawah 6 tahun, 100 mg sehari ; 6-12 tahun, 2 kali 100 mg sehari. Dosis dewasa : dosis awal
2 kali 200 mg sehari pertama, selanjutnya dosis ditingkatkan secara bertahap. Dosis pemeliharaan
berkisar antara 800-1200 mg sehari untuk dewasa atau 20-30 mg/kgBB untuk anak. Dengan dosis ini
umumnya tercapai kadar terapi dalam serum 6-8 μg/mL (Hendra dan Vincent, 2007).

Farmakokinetik Tiagabine (Tiagabin)

Absorbsi

Setelah diberi per-oral, tiagabin akan diabsorbsi dengan sangat cepat (Samekto dan Abdul, 2001).

Distribusi

Biovaibilitas tiagabin tidak dipengaruhi oleh makanan, tetapi kecepatan absorbsinya diperlambat dengan
makanan. Kadar serum dengan protein sangat tinggi (96 persen). Tiagabin mempunyai toleransi yang
baik dan merupakan obat anti epilepsi yang aman (Samekto dan Abdul, 2001).

Bioavailabilitas tiagabine adalah 90-100%, mempunyai kinetika linier dan terikat kuat dengan protein
plasma. Makanan menurunkan konsentrasi plasma puncak, tetapi tidak menurunkan AUC (Bertram,
2002).

Ekskresi

Eliminasinya terutama melalui-melalui feses (60-65%) dan urine (25%) (Bertram, 2002).

Metabolisme

Gangguan fungsi hati menyebabkan sedikit penurunan di dalam klirens (dan mungkin memerlukan dosis
yang lebih rendah), tetapi obat ini tidak menyebabkan inhibisi atau induksi enzim-enzim hati. Tiagabine
tidak menyebabkan perubahan yang tetap terhadap obat-obat antizeizure (Bertram, 2002).

Kimia

Tiagabine merupakan turunan dari nipestoic acid didesain secar rasional sebagai suatu inhibitor ambilan
GABA (berlawanan dngan penemuan melalui skrining acak) (Bertram, 2002).

Kadar Teraupetik dan Dosis

Tiagabine diindikasikan sebagai pengobatan tambahan terhadap seizure parsial dan efektif dalam dosis
yang berkisar dari 16 mg/hari sampai 56 mg/hari. Kadang-kadang diperlukan untuk memberikan dosis
terbagi sebanyak empat kali sehari. Sebagian pasien tampaknya sesuai dengan monoterapi tiagabine,
yang mana umumnya dapat ditoleransi dengan baik (Bertram, 2002).

2.4. Farmakodinamik

2.4.1.Farmakodinamik Carbamazepine (Karbamazepin)


a. Interaksi obat

Interaksi Obat yang melibatkan carbamazepine hampir secara eksklusif berikatan dengan sifat
penginduksi enzim yang dimiliki obat. Seperti yang telah ditemukan sebelumnya, peningkatan kapasitas
metabolisme enzim-enzim hati masih menyebabkan reaksi penurunan kosentrasi carbamazepine tunak
meningkatkan kecepatan metabolisme primidone, phenytoin, etoxusimide, acid dan clonazepam. Obat-
obat lainnya seperti propoxyphene, troleandomye, valporic acid dapat menghambat klirens
carbamazepine dan meningkatkan tunak dari carbamazepine melalui induksi enzim. Tidak ada interaksi
berdasarkan ikatan obat dengan protein plasma yang berarti secara klinis pernah dilaporkan (Bertram,
2002)

Interaksi obat karbamazepin dengan tubuh (Samekto dan Abdul, 2001) yaitu :

Induksi metabolisme karbamazepin oleh obat-obat lain antikonvulsi, menyebabkan turunnya kadar
karbamazepin, dengan : fenitoin, fenobarbital atau primidion.

Waktu paruh karbamazepin lebih pendek bila diberikan bersama obat lain

Karbamazepin juga membantu metabolisme fenitoin dan obat-obat lain

Mekanisme Obat

Mekanisme kerja carbamazepine tampaknya mirip dengan phenytoin. Seperti phenytoin, carbamazepine
menunjukan aktivitas terhadap seizure MES. Studi-studi permeabilitas membran menunjukan bahwa
carbamazepine, seperti halnya phenytoin, menyakat kanal ion natrium teraupetik dan menyakat aktifitas
berulang dengan frekuensi tinggi pada kultur neuron. Obat ini juga bekerja secara prasinaptik. Efek-efek
ini kemungkinan besar menentukan kerja antikonvulsan dari carbamazepine. Studi peningkatan
menunjukan bahwa carbamazepine mengadakan interaksi dengan reseptor adenosine, tetapi makna
fungsional dari pengamatan ini belum diketahui. Carbamazepine juga menghambat dan rilis
norepnephrine dari sinaptosom otak tetapi tidak mempengaruhi ambilan GABA dalam potong-potongan
otak (brain slices). Bukti terbaru menunjukkan bahwa kerja pascaasinaptik dari GABA dapat diperkuat
oleh carbamazepine (Bertram, 2002).

Mekanisme aksi obat (Samekto dan Abdul, 2001)

Pada percobaan binatang mirip fenitoin

Karbamazepin menaikkan nilai ambang serangan

Menghambat serangan elektroshock maksimal.

Menghilangkan lepas muatan listrik otak fokal.


Durasi dan Waktu Paruh

Waktu paruh 13-17 jam karbamazepin sedang metabolitnya (10,11-epokside) juga mempunyai waktu
paruh 5-8 jam (Samekto dan Abdul, 2001).

Efek Samping dan Toksisitas

Efek samping yang berkaitan dengan dosis yang paling umum dari carbamazepine adalah diplopia dan
ataksia. Diplopia sering terjadi pertama kali dan berlangsung selama kurang dari satu jam dalam waktu
tertentu dalam satu interaksi. Pengaturan kembali dosis harian yang terbagi seringkali dapat meredahkan
keluhan ini. Keluhan lainnya yang berikatan dengan dosis adalah mengganggu ringan pencernaan, gelisah
dan pada dosis yang tinggi ada rasa ngantuk. Hiponatremia dan intoksikasi air kadang-kadang terjadi dan
mungkin berkaitan dengan dosis (Bertram, 2002).

Ada hal yang perlu dipertimbangkan terhadap terjaadinya diskrasia darah idiosinkratik dengan
carbamazepine, termasuk kasus fatal anemia aplastis dan agranulositosis. Sebagian besar dari kasus ini
terjadi pada pasien lanjut usia dengan neuralgia trigeminal, dan sebagian besar terjadi dalam empat
bulan pertama pengobatan. Leukopenia ringan dan berlangsung lama yang tampak pada sebagian pasien
tidaklah selalu merupakan indikasi untuk menghentikan pengobatan, tetapi memerlukan pemantauan
yang sangat hati-hati. Reaksi idiosinkrasi yang paling umum adalah ruam kulit eritematus ; respons
lainnya seperti gangguan fungsi hati, tidak bisa terjadi (Bertram, 2002).

Efek samping dan toksisitas (Samekto dan Abdul, 2001) yaitu :

Mengantuk

Dizzines

Bingung

Diplopia

Gangguan Keseimbangan

Nausea, vomitus

Sindromo inappropriat anti diuretic hormon secretion

Penglihatan kabur

Ataksia

Bila karbamazepin disertai eriktomisin akan timbul gejala toksisitas karbamazepin. Karbamazepin
dimetabolisme di hepar oleh enzim mikrosomal. Eriktomisin mengganggu metabolisme karbamazepine
melalui ikatan kometitif terhadap sitokrom P-450, menooksigenase yang diperlukan untuk oksidasi
karbamazepin. Klirens karbamazepin oral lebih terdapat eritromisin, dan terdapat kosentrasi plasma
yang lebih tinggi dari karbamazepin.
Karbamazepin dapat menimbulkan efek samping pada jangtung yakni A-V block grade I yang reversible
bersifat dose-related.

Anemia aplastik (dapat fatal), oliguria akut

Depresi sum-sum tulang : leukopenia, trombocytopenic pupura, ikterus

Skin rash, stevens johnson syndrome, exofoliative dermatitis, fotosensivitas, pigmentasi kulit bertambah,
SLE.

2.4.2. Farmakodinamik Tiagabine (Tiagabin)

Mekanisme Obat

Tiagabine merupakan inhibitor ambilan GABA baik dalam neuron maupun glia. Obat ini hanya
menghambat isoform transporter 1 (GAT-1) dan tidak menghambat GAT-2 dan GAT-3 dan meningkatkan
kadar GABA ekstraselular dalam otak bagian depan dan hipokampus. Topiramate memperlama kerja
inhibitor dari GABA yang dirilis secara sinaptik. Pada hewan pengerat, obat ini sangat poten terhadap
kindled seizure, tetapi lemah terhadap model MES dari tonik klonik dan seizure parsial kompleks.
(Bertram, 2002).

Mekanisme aksi obat Tiagabine (Tiagabin) adalah sebagai mediator, dengan menghambat reuptake GABA
eleft sinaptik (Samekto dan Abdul, 2001).

Durasi dan Waktu Paruh

Waktu paru 5-8 jam dan berkurang jika ada obat-obat yang menginduksi enzim (Bertram, 2002).

Efek Samping dan Toksisitas

Efek samping dan toksisitas adalah berdasarkan uji klinis buat ganda, efek samping yang timbul adalah
dizziness (30 persen), astenia (24 persen), neurosness (12 persen), tremor (9 persen), diare (7 persen),
depresi (5 persen) dan emosi yang stabil 4 persen (Samekto dan Abdul, 2001)

Efek yang tidak diinginkan ringan adalah berkaitan dengan dosis dan meliputi ketegangan, pusing,
tremor, suka berkonsentrasi dan depresi. Kebingungan berlebihan, samnolen, atau ataksia memerlukan
penghentian obat. Jarang terjadi psikosis. Ruam merupakan efek yang tidak diinginkan yang idiosinkratik
yang tidak umum. Studi laboaterium biasanya normal (Bertram, 2002).

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Antikonvulsan adalah kelompok obat yang secara khas mengakibatkan berbagai gejala neuropsikiatrik
apabila dosisnya melebihi kisaran teraupetik yang lazim (David, 2004).

Epilepsi secara fisiologik merupakan suatu gejala akibat lepasnya aktivitas elektrik yang berlebihan dan
periodik dari neuron serbrum yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter,
fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan psikis (Samekto dan
Abdul, 2001).

Epilepsi tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga bisa terjadi pada anak-anak. Epilepsi juga
dapat terjadi pada hewan.

Cara pengobatan epilepsi yaitu dengan terapi. Terapi untuk epilepsi adalah menggunakan terapi non
farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologi bisa dengan istrirahat yang cukup karena
kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan
menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik relaksasi lainnya. Sedangkan terapi farmakologis
yaitu dengan menggunakan obat anti epilepsi.

Obat anti epilepsi atau sekarang dikenal dengan obat antikonvulsan, terdiri dari berbagai jenis.

Hingga kini, ada 16 obat antiepilepsi dan obat-obat tersebut digolongkan dalam 5 golongan kimiawi,
yakni hedantoin, barbiturat, oksazolidindion, suksimid dan asetil urea (Hendra dan Vincent, 2007).

Akhir-akhir ini karbamazepin dan asam valproat memegang peran penting dalam pengobatan epilepsi ;
karbamazepin untuk bangkitan parsial sederhana maupun kompleks, sedangkan asam valproat terutama
untuk bangkitan lena maupung bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik-klonik (Hendra dan
Vincent, 2007).

Saran

Sebaiknya ada pembagian obat pada makalah antikonvulsan sehingga obat yang dipaparkan berbeda-
beda.

Sebaiknya tersedia juga buku kedokteran hewan tentang farmakologi, khususnya obat dari golongan
antikonvulsan agar pembahasannya lebih spesifik tentang mengobati hewan.

DAFTAR PUSTAKA

Doerge, Robert F. 1982. Buku teks Wilson dan Gisvold Kimia Farmasi dan Medisinal

Organik Edisi VIII, diterjemahkan oleh Drs. Achmad Mustofa Fatah, Apt, SU

Philapeedia. Toronto.
Katzung, Betram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku Dua, diterjemahkan

oleh Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Erlangga. Jakarta :

Salemba Medika

Utama, Hendra, dan Vincent H.S. Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Tomb, David A. 2003. Buku Saku Psikiatri Edisi 6, diterjemahkan ahli bahasa oleh

Martina Wiwi S. Nasrun et al ; edisi bahasa Tiara Mathami N. Jakarta : EGS

Wibowo, Samekto, dan Abdul Gofir. 2001. Farmakoterapi dalam Neurologi.

Yogyakarta : Salemba Medika

Iklan

Kategori: Tak Berkategori

Tinggalkan sebuah Komentar

Veterinarian

Blog di WordPress.com.

Kembali ke atas

Iklan

Anda mungkin juga menyukai