Selulitis PDF
Selulitis PDF
I. PENDAHULUAN
ini biasanya didahului trauma, karena itu tempat predileksinya di tungkai bawah. 1
Gejala prodormal selulitis adalah demam dan malaise, kemudian diikuti tanda-tanda
peradangan yaitu bengkak (tumor), nyeri (dolor), kemerahan (rubor), dan teraba
hangat (kalor) pada area tersebut (buku merah). 1
Prevalensi selulitis di seluruh dunia tidak diketahui secara pasti. Sebuah studi
tahun 2006 melaporkan insidensi selulitis di Utah, AS, sebesar 24,6 kasus per 1000
penduduk per tahun dengan insidensi terbesar pada pasien laki-laki dan usia 45-64
tahun. Secara garis besar, terjadi peningkatan kunjungan ke pusat kesehatan di
Amerika Serikat akibat penyakit infeksi kulit dan jaringan lunak kulit yaitu dari
32,1 menjadi 48,1 kasus per 1000 populasi dari 1997-2005 dan pada tahun 2005
mencapai 14,2 juta kasus (5). Data rumah sakit di Inggris melaporkan kejadian
selulitis sebanyak 69.576 kasus pada tahun 2004-2005, selulitis di tungkai
menduduki peringkat pertama dengan jumlah 58.824 kasus (3). Data rumah sakit di
Australia melaporkan insidensi selulitis sebanyak 11,5 per 10.000 populasi pada
tahun 2001-2002. Di Spanyol dilaporkan 8,6% (122 pasien) dalam periode 5 tahun
menderita erysepelas dan selulitis (a). Banyak penelitian yang melaporkan kasus
terbanyak terjadi pada laki-laki, usia dekade keempat hingga dekade kelima, dan
lokasi tersering di ekstremitas bawah.
II. DEFINISI
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi
menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis. Infeksi ini biasanya
1
eritema, teraba hangat, dan nyeri serta terjadi limfangitis dan sering bergejala
sistemik seperti demam dan peningkatan hitungan sel darah putih. Selulitis yang
4
III. ETIOLOGI
IV. EPIDEMIOLOGI
Selulitis dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di bawah 3 tahun dan
usia dekade keempat dan kelima (2). Insidensi pada laki-laki lebih besar daripada
perempuan dalam beberapa studi epidemiologi. Insidensi selulitis ekstremitas masih
menduduki peringkat pertama. Terjadi peningkatan resiko selulitis seiring
meningkatnya usia, tetapi tidak ada hubungan dengan jenis kelamin (C).
V. FAKTOR PREDISPOSISI
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala prodormal
berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang dengan cepat,
sebelum menimbulkan gejala-gejala khasnya. Pasien imunokompromais rentan
mengalami infeksi walau dengan patogen yang patogenisitas rendah. Terdapat
gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan nyeri tekan. Jika tidak diobati, gejala
akan menjalar ke sekitar lesi terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat
yang sama dapat terjadi elefantiasis. (buku merah)
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada orang
dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat seringnya
trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah obat, sering berlokasi di lengan atas.
Komplikasi jarang ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis akut (jika
disebabkan oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis, endokarditis
bakterial subakut). Kerusakan pembuluh limfe dapat menyebabkan selulitis
rekurens. (buku kuning)
VII. PATOGENESIS
IX. DIAGNOSIS
Selulitis yang disebabkan oleh H. Influenza tampak sakit berat, toksik dan
sering disertai gejala infeksi traktus respiratorius bagian atas bakteriemia dan
septikemia.(6) Lesi kulit berwarna merah keabu-abuan, merah kebiru-biruan atau
merah keunguan. Lesi kebiru-biruan dapat juga ditemukan pada selulitis yang
disebabkan oleh Streptokokus pneumonia Pada pemeriksaan darah tepi selulitis
terdapat leukositosis (15.000-400.000) dengan hitung jenis bergeser ke kiri.(7)
X. PENGOBATAN
XI. KOMPLIKASI
XII. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2008
2. Fitzpatrick, Thomas B. Dermatology in General Medicine, seventh edition.
New York: McGrawHill: 2008
3. Pandaleke, HEJ. Erisipelas dan selulitis. Fakultas kedokteran Universitas
Samratulangi; Manado. Cermin Dunia Kedokteran No. 117, 1997
4. Herchline TE. 2011. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State
of America.
5. Morris, AD. 2008. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales,
Cardiff, UK. 1708
6. Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and
cellulitis: a retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94
7. Wolff K, Johnson RA, Fitspatricks: color atlas and synopsis of clinically
dermatology. New York: McGrawHill. 2008
8. Eron LJ. 2008. Cellulitis and Soft-Tissue Infections. American College of
Physicians.
9. Kertowigno S. 2011. 10 Besar Kelompok Penyakit Kulit. Unsri press,
Palembang, Indonesia, hal: 146-149
10. Swartz MN. 2004. Cellulitis. New England Journal of Medicine. 350:904-12
11. McNamara DR, Tleyjeh IM, Berbari EF, et al. 2007. Incidence of lower
extremity cellulitis: a population based stud in Olmsted county, Minnesota.
82(7):817-21
12. Arnold HL, Odom RB, James WD. Andrew’s Disieases of the Skin, Clinical
Dermatology 8th. Philadelphia, London, Toronto: WB saunders Co, 1990-
27778
13. Isselbacher, Baraundwald, Wilson. 1994. Harrison’s Principles of Internal
Medicine, Internasional edition. Mcgraw Hill Book Co, Singapore