Anda di halaman 1dari 43

Tugas Individu

Mata Kuliah : Kimia Forensik Lanjutan

Dosen : Dr.Nursamran Subandi. M.Si

NARCOTIC IN FORENSIC POINT OF VIEW.

OLEH :

AWALUDDIN IWAN PERDANA (P1100212006)

JURUSAN KIMIA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam Sejahtera Bagi Kita Semua.

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sekalian, sehingga dalam kehidupan kita dapat berkarya
serta melaksanakan tugas dan kewajiban kita masing – masing. Semoga kita semua selalu
mendapat petunjuk dan perlindungan-Nya sepanjang masa. Dan atas izin – Nya,
Alhamdulillah niat dan tekad penyusun untuk menyelesaikan penyusunan makalah pada mata
kuliah Kimia Forensik Lanjutan dengan judul “narcotic in forensic point of view” dapat
tersusun dengan baik.

Makalah ini di susun dengan bahasa yang sederhana berdasarkan berbagai literatur
tertentu dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman mengenai teori yang di bahas.
Walaupun demikian, tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penyusun terbuka dengan
senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak demi perbaikan dan
penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak dan sumbangsih untuk kemajuan perkembangan IPTEK.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Makasar, 4 Juni 2012

PENYUSUN
BAB 1

PENGANTAR TOKSIKOLOGI FORENSIK

1.1.Pendahuluan
LOOMIS (1978) berdasarkan aplikasinya toksikologi dikelompokkan dalam tiga
kelompok besar, yakni: toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi dan toksikologi
forensik. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu
toksikologi untuk kepentingan peradilan.
Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang forensik sein. Meminjam
pengertian Forensic Science dari Saferstein adalah ”the application of science to low”, atau
secara umum dapat dimengerti sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu
untuk penegakan hukum dan keadilan.
Analisis toksikologi forensik pertama-kali dikerjakan oleh Orfila pada tahun
1813, dia memainkan peranan penting pada kasus LaFarge (kasus pembunuhan dengan
arsen) di Paris, dengan metode analisis arsen, ia membuktikan kematian diakibatkan oleh
keracuanan arsen. Melalui kerjanya ini dikenal sebagai bapak toksikologi modern karena
minatnya terpusat pada efek tokson, selain itu karena ia memperkenalkan metodologi
kuantitatif ke dalam studi aksi tokson pada hewan, pendekatan ini melahirkan suatu bidang
toksikologi modern, yaitu toksikologi forensik. Menurut Orfila, para ahli kimia yang
dihadapkan pada tindak pidana pembunuhan dengan racun, harus menyempurnakan
tahapantahapan pemeriksaan untuk mengungkapkan tindak kriminal tersebut dan
mengarahkan hakim untuk menghukum orang yang bersalah.
1.2. Bidang kerja Toksikologi Forensik
Toksikologi forensik mencakup aplikasi ilmu pengetahuan dan studi tentang racun untuk
menjawab pertanyaan yang timbul di dalam proses pengadilan. Subjek ini selalu berkaitan
dengan tugas polisi, dokter forensik, jaksa dan hakim.
Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk
kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis
kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik ”fisical evidance” dan menerjemahkan
temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam
tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di
pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu
laporan yang sesuai dengan hukum dan perundangan-undangan. Menurut Hukum Acara
Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat
Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi
untuk keperluan penegakan hukum dan peradilan.
Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung oleh
berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi,
farmakologitoksikologi, farmakokinetik, biotransformasi.
Secara umum bidang kerja toksikologi forensik meliputi:
- analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian,
- analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau napas, yang
dapat mengakibatkan perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai
kendaraan bermotor di jalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan, penggunaan
dooping),
- analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan obat terlarang lainnya.
Tabel 1.1. Kasus-kasus toksikologi forensik yang melibatkan
6.3. Bilamana pemeriksaan toksikologik diperlukan
Dalam tabel 1.1. digambarkan kasus-kasus yang umumnya di negara maju memerlukan
pemeriksaan toksikologi forensik. Kasus-kasus tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok besar yaitu:
a. kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di penjara,
kematian pada kebakaran, kematian setelah tindakan medis yang disebabkan oleh efek
samping obat atau kesalahan penanganan medis, kematian mendadak yang terjadi
pada sekelompok orang, dan kematian yang dikaitkan dengan tindakan abortus,
b. kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan nyawa
sendiri ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh obat-obatan,
alkohol, atau pun narkoba, seperti kecelakaan transportasi khusus pada pengemudi
dan pilot, kasus pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya, kasus penganiayaan atau
pembunuhan, dan
c. penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat
pemakaian obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya lainnya,
yang tidak memenuhi standar kesehatan (kasuskasus forensik farmasi).
Dari sekian contoh kasus-kasus yang perlu dilakukan pemeriksaan toksikologik, lalu timbul
pertanyaan: Siapa yang memutuskan untuk melakukan pemeriksaan tersebut dan siapa yang
berkompeten untuk melakukan pemeriksaan tersebut? Sudah barang tentu yang memutuskan
untuk melakukan adalah tim penyidik dan yang melakukan adalah seorang yang berkompeten
yaitu “toksikolog forensik”. Lalu dimana lembaga toksikolog forensik tersebut di negara kita?
1.4. Keracunan
Kasus keracunan karena kecelakaan atau upaya bunuh diri umumnya menjadi tanggungjawab
ahli toksikologi klinis atau ahli biokimia yang bekerja pada suatu pusat pengendalian
keracunan di rumah sakit. Keterlibatan analisis toksikologi sebagai upaya menegakkan terapi
instoksikasi.
Hasil analisis toksikologi dapat memastikan diagnose klinis, dimana diagnose ini dapat
dijadikan dasar dalam melakukan terapi yang cepat dan tepat, serta lebih terarah, sehingga
ancaman kegagalan pengobatan (kematian) dapat dihindarkan.
Kasus keracunan menjadi urusan ahli toksikologi forensik apabila ada pernyataan dari orang
yang keracunan tentang keterlibatan pihak-pihak tertentu sebagai penyebab keracunan
tersebut, atau karena pasien meninggal dan keterangan tentang penyebab kematiannya
dibutuhkan oleh penyidik karena dugaan adanya tindak pidana dalam kasus tersebut.
Persentase kasus-kasus semacam ini terhadap keseluruhan kasus keracunan yang terjadi di
masyarakat umumnya relatip kecil.
Tujuan utama dari analisis toksikologi forensik dalam penyidikan kasus keracunan adalah
berupaya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang mungkin timbul selama
berlangsungnya penyidikan atau pada tahapantahapan peradilan lainnya. Pertanyaan
tradisionil yang harus dijawab adalah: - apakah orang itu diracun. Apabila hasil pengujiannya
adalah positip, maka pertanyaan-pertanyaan berikut akan menyusul, seperti : -bagaimana
identitas racunnya, -bagaimana cara pemberiannya, - bagaimana pengaruh racun tersebut dan
–apakah jumlah racun yang dikonsumsi orang tersebut cukup berbahaya atau mematikan.
Dalam pemeriksaan forensik kasus keracunan berdasarkan tujuan pemeriksaannya, dapat
dibagi kedalam dua kelompok, yaitu pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian
dan yang kedua untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya: peristiwa
pembunuhan, kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan pesawat udara, dan pemerkosaan, dapat
terjadi. Tujuan kedua ini sebenarnya merupakan kasus yang terbanyak, namun sampai saat ini
masih sangat sedikit dilakukan penyidikan. Tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat
suatu rekaan rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi, sampai sejauh mana obat-obatan atau
racun tersebut berperan sehingga peristiwa itu dapat terjadi.
Pada kedua tujuan pemeriksaan atas diri korban diharapkan dapat diketemukan racun atau
obat dalam dosis tertentu sebagai dasar untuk menduga kenapa peristiwa tersebut terjadi.
Misalnya pada kasus kematian akibat racun, diharapkan cukup bukti konsentrasi obat “racun”
dalam darah/tubuh dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada tujuan pemeriksaan yang
kedua diperlukan interpretasi apakah konsentrasi obat “racun” dalam darah dapat
menyebabkan peristiwa yang dituduhkan terjadi.
Tabel 6.2. Racun yang sering menyebabkan keracunan dan simptomatisnya
Adapun dasar hukum untuk melakukan pemeriksaan toksikologi pada keracunan adalah
KUHAP pasal 133 (1), yang berbunyi:
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran forensik
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”
Jadi pemeriksaan toksikologi forensik mempunyai kekuatan hukum dan bersifat projustisia.
Tabel berikut ini (tabel 1.2) adalah daftar racun penyebab keracunan dan efek yang
ditimbulkan:
Kasus kematian yang disebabkan olah racun dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Kecelakaan/kematian tidak sengaja: Kebanyakan kecelakaan kerecunan yang terjadi di
rumah-tangga, seperti: keracunan pada anakanak akibat kelalaian atau kurang tepatnya
penyimpanan bahan-bahan rumah tangga berbahaya (ditergen, pestisida rumah-tangga, obat-
obatan), sehingga dapa dijangkau oleh anak-anak, adalah umumnya akibat
ketidaksengajaan/kelalaian. Untuk menghindari kasus keracunan ini diperlukan pesan
informasi pada etiket sediaan rumah-tangga mengenai, cara penyimpanan yang benar dan
pertolongan pertama apabila terjadi keracunan pada anakanak.
Kecelakaan keracunan pada orang dewasa biasanya berhubungan dengan hilangnya label
“penanda” pada bahan beracun, penyimpanan tidak pada tempatnya, misal disimpan di dalam
botol minuman, kaleng gula, kopi dll, yang dapat menyebabkan kekeliruan. Kecelakaan
keracunan mungkin juga dapat terjadi di industri, untuk menghidari kecelakan akibat
kelalaian kerja diperlukan protokol khusus tentang keselamatan kerja di industri. Protokol ini
berisikan standard keamanan, peraturan perlindungan kerja, tersedianya dokter dalam
penanganan kasus darurat pada keracunan fatal.
b) Penyalahgunaan obat-obatan
Penyalahgunaan obat-obatan adalah penggunaan obat-obatan atau bahan kimia tertentu yang
bukan untuk tujuan pengobatan, melainkan untuk memperoleh perubahan perasaan atau
menimbulkan rasa bahagia “eporia”. Fakta menunjukkan sering akibat penyalahgunaan obat-
obatan dapat mengakibatkan beberapa keracunan, sampai kematian. Kematian pemakaian
heroin umumnya diakibatkan oleh depresi “penekanan” fungsi pernafasan, yang
mengakibatkan kegagalan pengambilan oksigen, sehingga terjadi penurunana kadar oksigen
yang drastis di otak. Pada kematian akibat keracunan heroin biasanya disertai dengan udema
paru-paru. Hal ini menandakan telah terjadi dipresi pernafasan.
Umumnya penyalahgunaan obat-obatan melibatkan penggunaan obat-obatan golongan
narkotika dan psikotropika, seperti narkotika (golongan opiat), hipnotika.sedativa
(barbiturat), halusinogen (3-4 metil deoksimetamfetamin “MDMA”, metil dioksiamfetamin
“MDA”, fensilidin “PCP”), dan stimulan (amfetamin, cocain).
Keracunan akibat penyalahgunaan obat-obatan dapat juga sebabkan oleh kelebihan dosis,
pengkonsomsi alkohol, atau salah pengobatan oleh dokter “mismedication”.
c) Bunuh diri dengan racun
Kasus kecelakan bunuh diri menggunakan pestisida rumah-tangga, ditergen, atau
menggunakan kombinasi obat-obatan yang komplek. Pada kasus bunuh diri dengan
obatobatan kadang ditemukan 3 hingga 7 jenis obat.
Untuk mencari penyebab kematian pada kasus bunuh diri diperlukan analisis toksikologi,
yaitu analisis kualitatif dan kuantitatif racun di cairan lambung, darah, urin, dan organ tubuh
lainnya untuk mencari dan menentukan jumlah minimum penyebab keracunan.
d) Pembunuhan menggunakan racun
Penyidikan kematian seseorang akibat pembunuhan dengan racun adalah penyidikan yang
paling sulit bagi penegak hukum dan dokter ferensin “termasuk toksikolog forensik”. Secara
umum bukti keracunan diperoleh dari simptom yang ditunjukan sebelum kematian.
Penyidikan pasca kematian oleh dokter patologi forensik dengan melakukan otopsi dan
pengambilan spesimen “sampel”, yang kemudian dilakukan analisis racun oleh toksikolg
forensik merupakan sederetan penyidikan penting dalam penegakan hukum.
Sampai saat ini belum terdapat data yang pasti yang menyatakan jumlah kasus keracunan
pertahun di Indonesia, dari studi jumlah kasus keracunan yang masuk ke Rumah Sakit
Sanglah diketemukan hampir terdapat 30 sampai dengan 50 kasus yang ditangani. Frekuensi
kasus didominasi oleh keracunan yang diduga disebabkan oleh: makanan, insektisida rumah
tangga (obat nyamuk), parasetamol, spikotropika dan narkotika, serta alkohol. Sedangkan
loporan SUBANDI (2005) “PusLabFor Bareskrim POLRI” kasus keracunan yang
ditanganinya didominasi oleh keracunan oleh makanan/minuman “food intoxication”, dikuti
secara berturut-turut oleh kasus keracunan obat-obatan (over dosis obat), kasus keracunan gas
(misalnya karbon monoksida), kasus keracunan insektisida, dan kasus keracunan lainya.
Peningkatan kasus keracunan makanan/minuman dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti
semakin bervariasinya bahan makanan yang dikonsumsi masyarakat, kondisi ekonomi
masyarakat, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahan makanan yang
mereka konsumsi, rendahnya kesadaran pihak-pihak produsen makanan terhadap tingkat
keamanan makanan yang mereka jual/produksi. Selain itu, belum optimalnya pengawasan
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas yang mempunyai kewenangan ini.
Sedangkan rendahnya tingkat keamanan kerja, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para
buruh pabrik merupakan faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya keracunan
bahan kimia pada pabrik/industri yang menggunakan/memproduksi bahan-bahan tersebut.
Upaya pengawasan terhadap peredaran dan penggunaan bahan beracun pada produk
makanan, secara langsung tidak termasuk dalam kajian toksikologi forensik. Tetapi, apabila
pihak masyarakat yang mengkonsumsi bahan makanan yang diproduksi oleh perusahaan
tertentu menjadi korban keracunan dan persoalannya diproses secara hukum, maka ahli
toksikologi forensik berperan untuk membuktikan bahwa keracunan yang dialami oleh
korban benar diakibatkan oleh bahan beracun yang terdapat di dalam makanan yang mereka
konsumsi tersebut
1.5. Langkah-langkah analisis toksikologi forensik
Secara umum tugas analisis toksikolog forensik dan toksikologi klinik dalam melakukan
analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu:
a) penyiapan sampel “sample preparation”,
b) Analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau dikenal juga dengan “general
unknown test” dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan kuantifikasi,
c) langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis.
Berbeda dengan kimia analisis lainnya seperti: analisis senyawa obat dan makanan,
analisis kimia klinis, pada analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun),
yang menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis.
Tidak sering hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi
forensik. Seperti kita ketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa
kimia yang mungkin menjadi target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target
analisis, biasanya target analit dapat digali dari informasi penyebab kasus forensik
(baca keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak kekerasan dibawah
pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat
kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik.
Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa induknya,
melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, matabolit
dari senyawa induk juga merupakan target analisis. Sampel dari toksikologi forensik pada
umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan biologis (darah, urin, air ludah), jaringan
biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel adalah salah satu faktor penentu keberhasilan
analisis toksikologi forensik disamping kehadalan penguasaan metode analisis instrumentasi.
Berbeda dengan analisis kimia lainnya, hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan
merupakan tujuan akhir dari analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik
dituntut harus mampu menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan
kadar tertentu dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan (pada kasus kematian).
1.6. Peranan toksikologi forensik dalam penyelesaian kasus kejahatan
Perdanakusuma (1984) mengelompokkan ilmu forensik berdasarkan peranannya dalam
menyelesaikan kasus-kasus kriminal ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah hukum. Dalam
kelompok ini termasuk hukum pidana dan hukum acara pidana. Kejahatan sebagai
masalah hukum adalah aspek pertama dari tindak kriminal itu sendiri, karena
kejahatan merupakan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
b. Ilmu-Ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah teknis.
Kejahatan dipandang sebagai masalah teknis, karena kejahatan dari segi wujud
perbuatannya maupun alat yang digunakannya memerlukan penganan secara teknis
dengan menggunakan bantuan diluar ilmu hukum pidana maupun acara pidana.
Dalam kelompok ini termasuk ilmu kriminalistik, kedokteran forensik, kimia forensik,
fisika forensik, toksikologi forensik, serologi/biologi molekuler forensik, odontologi
forensik, dan entomogoli forensik.
c. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah manusia Dalam
kelompok ini termasuk kriminologi, psikologi forensik, dan psikiatri/neurologi
forensik.
Kejahatan sebagai masalah manusia, karena pelaku dan objek penghukuman dari tindak
kriminal tersebut adalah manusia. Dalam melakukan perbuatannya, manusia tidak terlepas
dari unsur jasmani (raga) dan jiwa. Disamping itu, kodrat manusia sebagai mahluk sosial,
yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan juga
dipengaruhi oleh faktor internal (dorongan dari dalam dirinya sendiri) dan faktor eksternal
(dipengaruhi oleh lingkungannya).
Berdasarkan klasifikasi diatas peran ilmu forensik dalam menyelesaikan masalah / kasus-
kasus kriminal lebih banyak pada penanganan kejahatan dari masalah teknis dan manusia.
Sehingga pada umumnya laboratorium forensik dimanfaatkan untuk kepentingan peradilan,
khususnya perkara pidana.
Dalam sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia, peradilan perkara pidana diawali
oleh penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tunggal (lebih tepatnya penyidik umum) yang
dilakukan oleh kepolisian, namun dalam khasus-khasus khusus (tindak kejahatan ekonomi
dan pelanggaran Hak Asasi Manusia) pihak kejaksaan dapat melakukan penyidikan.
Sampurna (2000) menggambarkan proses penyidikan sampai ke persidangan seperti pada
gambar 1.1. Upaya penyidikan pada umumnya bermuara pada proses penuntutan dan disusul
oleh proses pengadilan. Pembuktian dari suatu perkara pidana adalah upaya untuk
membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana yang diperkarakan dan bahwa si
terdakwalah pelaku tindak pidana tersebut. Pembuktian dilakukan dengan mengajukan alat
bukti yang sah ke depan persidangan. Guna mendapatkan atau setidaktidaknya mendekati
kebenaraan materiil, dalam pembuktian (penyidikan dan pemeriksaan bukti fisik) harus
dilakukan pembuktian secara ilmiah.

Peran toksikolog forensik dalam membantu penyidik dalam penyelesaian kasus tindak pidana
tersirat dalam pasal 133 (1) KUHAP, berbunyi: dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan atau pun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Dalam pembuktian
kasus penyalahgunaan Narkorba dan Zat aditif lainnya mutlak diperlukan peran toksikolog
forensik.
Sesuai dengan bagan pada gambar 1 toksikolog forensik dapat terlibat dalam penyidikan
kasuskasus toksikologi pada pemeriksaan bukti fisik, sampai persidangan. Hasil analisis
toksikologik berupa ada-tidaknya zat racun yang diduga terlibat dalam kasus yang
dituduhkan (misal keracuanan), dan interpretasi dari temuan analisis sebagai suatu
argumentasi apakah zat racun, dengan konsetrasi terukur dapat diduga sebagai penyebabkan
keracunan. Dipersidangan seorang toksikolog forensik dapat dipanggil oleh hakim sebagai
saksi ahli.
1.7. Keberadaan analisis toksikologi forensik di Indonesia
Sampai saat ini analisis toksikologi forensik di Indonesia diselenggarakan oleh Laboratorium
Forensik Bareskrim Mabes Polri. Hal ini sesuai dengan tugas pokok Laboratorium forensik
Bareskrim Polri, berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pasal 14, butir c, yaitu membina dan menyelenggarakan fungsi laboratorium
forensik dalam mendukung penyidikan yang dilakukan oleh Polri.
Pemeriksaan kasus-kasus toksikologi forensik dilaksanakan di Labfor Polri, khususnya pada
unit Toksikologi dan Pencemaran Lingkungan, di bawah kendali Departemen Kimia dan
Biologi Forensik (Subandi 2005). Pemeriksaan toksikologi forensik dapat berupa
pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan Barang Bukti (BB) yang berkaitan
kasus-kasus keracunan/peracunan yang diduga mengandung unsur tindak pidana.
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mendukung penyidik dalam mengungkapkan kasus yang
mereka sidik. Hasil pemeriksaan toksikologi forensik dituangkan dalam bentuk Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) Laboratoris Kriminalistik yang dapat menjadi salah satu alat bukti yang
sah di pengadilan. Selain dalam bentuk BAP, pemeriksa toksikologi forensik di Labfor Polri
juga dapat mendukung penyidik, jaksa dan hakim dengan menjadi saksi ahli di pengadilan
apabila pihakpihak tersebut memerlukannya.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan toksikologi forensik Labfor Bareskrim Mabes Polri
bekerjasama dengan pihak lain seperti Instalasi Kedokteran Forensik, khususnya dalam
mengungkap penyebab kematian. Selain itu, sudah menjadi aturan main bahwa “Keterangan
Penyebab Kematian” harus dikeluarkan oleh pihak dokter yang melakukan otopsi, maka
kerjasama antara pemeriksa toksikologi di Labfor Bareskrim Mabes Polri dengan dokter
forensik merupakan hal yang harus dilakukan, khususnya dalam penanganan kasus keracunan
dengan korban meninggal. Dalam hal ini, kesimpulan hasil pemeriksaan toksikologi forensik
di Labfor Bareskrim Mabes Polri juga dimasukkan menjadi bagian dari Visum et Revertumer
yang dikeluarkan oleh dokter forensik (Subandi 2005).
BAB 2
NARKOTIKA DAN OBAT-OBATAN TERLARANG
(NARKOBA)
2.1. Definisi Narkotika dan obat-obat Terlarang (Narkoba)
Narkoba merupakan barang terlarang di masyarakat, tidak mungkin diedarkan secarat erang-
terangan. Mereka biasanya berdagang secara sembunyi-sembunyi, penjual berusaha menjual
barang kepada yang mereka kenal betul atau konsumen yang mereka anggap aman. Mereka
menyadari betul akan resiko apabila tertangkap oleh petugas maupun sampai dipergoki
masyarakat sehingga dilaporkan pada petugas, karena ancaman hukuman LIMO (narkoba
sangat tinggi bahkan ada yang sampai pada hukuman mati).
Istilah “narkoba” muncul sekitar tahun 1998, karena banyak terjadi peristiwa penggunaan
atau pemakaian barang-barang yang termasuk dalam golongan narkotika dan obat-obatan
adiktif yang terlarang. Oleh sebab itu untuk memudahkan orang berkomunikasi dan tidak
menyebut istilah yang tergolong panjang, maka kata-kata “narkotika dan obatobatan adiktif
yang terlarang” disingkat menjadi narkoba. Makin lama istilah tersebut makin sering
terdengar di telinga dan disebut-sebut orang. Namun demikian sekalipun sudah banyak orang
mengenal istilah narkoba, belum semua orang mengerti yang namanya narkoba itu apa saja,
karena barang-barang yang termasuk dalam narkoba itu banyak macamnya dan merupakan
barang yang terlarang di masyarakat.
Kalangan muda dan remaja merupakan kalangan yang sangat rentan terhadap
penyalahgunaan narkoba ini, oleh sebab itu bila tidak segera diatasi akan menjadi bahaya
yang sangat besar bagi bangsa dan negara kita. Kalangan muda terutama para remajanya
adalah kalangan yang mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkoba, karena masa remaja
adalah masa seorang anak mengalami perubahan cepat baik dalam perubahan tubuh,
perasaan, kecerdasan, sikap sosial, kepribadian, namun jiwanya masih labil dan mudah
terpengaruh oleh lingkungan sehingga terkadang mengarah pada perilaku nakal. Demikian
halnya mereka yang berusia 21 tahun sampai dengan 25 tahun, menurut Dr. Zakiah Daradjat
walaupun dari perkembangan jasmani dan kecerdasan telah betul-betul dewasa, dan emosinya
juga sudah stabil, namun dari segi kematangan agama dan ideologi masih dalam proses
pemantapan.
Dengan adanya pemberitaan di berbagai media massa, baik yang merupakan siaran yang ada
kaitannya dengan ilmu pengetahuan maupun pemberitaan yang berkenaan dengan
kriminalitas, maka semakin banyak orang yang mulai mengenal macam-macam narkoba yang
sudah cukup banyak digunakan secara tidak sah di Indonesia, yaitu antara lain yang dikenal
dengan istilah ganja, kokain, heroin, pil nipam, pil koplo, ekstasi, shabu-shabu dan
sebagainya.
Dalam kasus-kasus narkoba yang melibatkan warga masyarakat, narkoba dapat sampai ke
tangan seseorang selaku pengguna atau pemakai adalah dari perdagangan gelap. Para
pemakai narkoba tidak akan sembarangan mau menikimati barang tersebut di mana saja,
seperti di warung atau restoran, dalam perjalanan dimana banyak orang ada disekitarnya,
ditempat hiburan yang terbuka dan sebagainya, tetapi mereka mencari tempat-tempat yang
sifatnya tertutup yang mana hanya orang-orang tertentu di lingkungan mereka saja yang tahu,
bahkan tidak jarang orang terdekat mereka seperti orang tua dan keluarga dekat yang tinggal
dalam satu rumah tidak menyadari bahwa ada anggota keluarga mereka yang sedang
memakai narkoba.
Bahaya penggunaan narkoba sangat besar pengaruhnya terhadap bangsa dan negara kita,
sebab kalau sampai terjadi pemakaian narkoba secara besar-besaran di masyarakat,
1 Zakiah Daradjat., “Faktor-faktor yang merupakan masalah dalam proses pembinaan
generasi muda”. Kertas kerja pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan
Anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, tanggal 24-26 Januari 1980 di Jakarta maka
bangsa kita akan menjadi bangsa yang sakit. Tentu saja akan besar pula pengaruhnya
terhadap ketahanan nasional.
Beberapa faktor yang mempengaruhi seorang menjadi pemakai sampai akhirnya menjadi
ketergantungan pada narkoba antara lain sebagai berikut
a. Faktor Predisposisi :
1. Gangguan kepribadian.
2. Kecemasan.
3. Depress.
b. Faktor konstribusi.
1. Hubungan interpersonal.
2. Keutuhan keluarga.
3. Kesibukan keluarga.
c. Faktor Pencetus.
1. Pengaruh teman.
2. Kelompok pemakai.
Ketiga kelompok di atas merupakan faktor Demand (permintaan) untuk mempengaruhi
seseorang menjadi memakai, ketiganya juga saling terkait dan saling berpengaruh serta tidak
berdiri sendiri. Jika kondisi-kondisi tersebut telah tercipta maka demand ini hanya menunggu
supply.
Berkenaan dengan perilaku korban akibat penyalahgunaan narkoba sangat dipengaruhi oleh
jenis zat/obat yang dipakai dan dosis yang digunakan, disamping itu juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor.
a. Derajad kemurnian Zat.
b. Bahan pelarut.
c. Riwayat pemakai zat/obat sebelumnya.
d. Kepribadian pemakai.
e. Ada tidaknya rasa sakit sebelumnya.
f. Harapan si pemakai terhadap zat/obat sebelumnya. Suasana pada waktu memakai.Pada
umunya bagi mereka yang baru pertama kali memakai, biasanya timbul rasa tidak enak,
misalnya rasa mual, muntah, kesadaran menurun, gelisah, ketakutan. Bagi mereka yang
memakai untuk mengilangkan rasa sakit akan timbul rasa gembira karena rasa sakit hilang
(euforia). Sebaliknya pada penyalahgunaan obat dapat menimbulkan rasa senang yang
berlebihan, high dan fly, gejala-gejala pada penyalahgunaan narkoba bermacam-macam
tergantung jenis zat/obatnya. Mereka yang mengkonsumsi narkoba berakibat kesehatannya
tidak atau kurang normal. Seorang pemakai narkoba jenis ganja di persidangan mengaku
setelah mengisap beberapa ganja yang dibetuk seperti rokok, badannya terasa enteng dan
melayang. Pengguna ekstasi merasa dirinya kelihatan senang dan kuat berjoget sambil
kepalanya geleng-geleng semalam suntuk, demikian pula pemakai sabu-sabu.
2.2. Macam-Macam Narkotika dan obat-obat Terlarang (Narkoba)
Menurut proses pembuatannya, narkotika berasal dari : Alam, Semi Sintetik dan sintetik
dengan uraian sebagai berikut:
1. Narkotik Alam terdiri :
a. Opium, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum yang getahnya bila
dikeringkan akan menjadi opium mentah.
b. Koka, diperoleh dari daun tumbuhan erythroxylon coca, dalam peredaran mempunyai
efek stimulasia yang disebut kokain.
c. Canabis, diperoleh dan tanaman Perdu Cannabis Saliva (ganja) yang mengandung
tanaman aktif yang bersi fat adiktif
2. Narkotik Semi Sintetik.
Dibuat dari alkalohol opium yang mempunyai inti Phenanthren dan diproses secara kimiawi
menjadi suatu bahan obat yang berkhasiat sebagai narkotik. Contoh : Heroin, Codein,
Oxymorphon dan lain-lain.
3. Narkotik Sintetik.
Dibuat dengan suatu proses kimia dengan menggunakan bahan baku kimia sehingga
diperoleh suatu hasil baru yang mempunyai efek Narkotik.
Narkotika sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam
golongan, yang masing-masing golongan meliputi :
1. Narkotika Golongan I
Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanva dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta “mempunyai
potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”.
Ada 26 macam narkotika yang masuk dalam narkotika golongan yaitu antara lain adalah :
- Tanaman papaver somniverum
- Opium mentah
- Opium masak
- Tanaman koka.
- Daun koka
- Kokain mentah
- Kokaina
- Heroin
- Morphine
- Ganja.
2. Narkotika Golongan II
Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta “mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan”.
Ada 87 macam narkotika golongan II, yaitu antara lain :
- Alfastilmetadol
- Benzetidin
- Betametadol
3. Narkoba Golongan III .
Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta “mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan”
Ada 14 macam narkotika golongan III, yaitu antara lain :
- Asetidihidrokodeina.
- Dokstroproposfem.
- Dihidrokodeina.
Selanjutnya menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1997, yang dimaksud dengan Narkotika
tersebut meliputi :
1. Golongan Opiat : Heroin, Morfin, Madat, dan lain-lain.
2. Golongan Kanabis : Ganja, Hashish.
3. Golongan Koka : Kokain, Crack
2.3. Aspek Kesehatan Penggunaan Narkoba
Bahaya penyalahgunaan narkotika, juga merupakan bahaya yang sangat buruk dampaknya,
bukan saja bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bagi umat manusia. Korban-korban
penyalahgunaan narkotika ini sebagian besar adalah generasi muda, berarti bahwa secara
langsung penyalahgunaan narkotika ini merusak generasi-generasi harapan bangsa di masa
yang akan datang.
Sedangkan bahaya dan akibat sosial dari penyalahgunaan narkotika lebih besar daripada
bahaya yang bersifat pribadi, karena menyangkut kepentingan bangsa dan negara dimasa
mendatang. Adapun yang dimaksud bahaya sosial dalam hal ini antara lain adalah :
1. Kemerosotan moral.
2. Meningkatnya kecelakaan.
3. Meningkatnya kriminalitas.
4. Pertumbuhan dan perkembangan generasi terhenti.
Bahaya dan akibat penyalahgunaan narkotika dapat bersifat bahaya pribadi bagi si pemakai
dan dapat pula berupa bahaya sosial bagi terhadap masyarakat atau lingkungan. Bahaya yang
bersifat pribadi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sifat, yaitu:
1. Yang bersifat umum dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efek terhadap tubuh si
pemakai dengan gejala-gejala sebagai berikut
a. Euphoria, yaitu suatu rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan kenyataan
dan kondisi badan si pelaku (biasanya efek ini masih dalam penggunaan narkotik
dalam dosis yang tidak begitu banyak)
b. Dellirium, adalah suatu keadaan di mana si pemakai narkotika mengalami
menurunnya kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap gerakan anggota tubuh si pemakai (biasanya pemakaian dosis
lebih banyak daripada keadaan euphoria).
c. Halusinasi adalah suatu keadaan dimana si pemakai narkotika mengalami “khayalan”.
Misalnya melihat, mendengar yang tidak ada pada kenyataannya.
d. Weakness adalah kelemahan yang dialami fisik atau psychis/keduaduanya.
e. Drowsiness adalah kesadaran merosot seperti orang mabok, kacau ingatan
mengantuk.
f. Coma adalah keadaan si pemakai narkotika sampai pada puncak kemerosotan yang
akhirnya dapat membawa kematian.
2. Yang bersifat khusus, yaitu bahaya yang menyangkut langsung terhadap penyalahgunaan
narkotika itu sendiri, dapat menimbulkan efek-efek pada tubuh yang menimbulkan gejala
sebagai berikut :
a. Heroin, termasuk narkotika golongan I. Heroin juga menghasilkan codeine morphine dan
opium. Putauw adalah sebutan lain dari heroin yang berupa serbuk putih dengan rasa pahit,
selain putih, ada kalanya berwarna coklat atau dadu, tergantung pada bahan campurannya,
seperti : kakao, tawas, kina, tepung jagung atau tepung susu. Heroin dapat menghilangkan
rasa nyeri. Cara penggunaan biasanya dengan disuntik ke dalam vena, disedot, atau dimakan
(tapi ini jarang dilakukan). Bahaya akibat mengkonsumsi heroin :
1) tampak mengantuk;
2) bicara cadel, apatis;
3) jalan sempoyongan dan gerak lamban;
4) Daya ingat dan perhatian terganggu;
5) tubuh menjadi kurus, pucat, kurang gizi.
b. Ecstasy, mempunyai merk perdagangan yang terkenal seperti buterfly, black heart, yupie
drag dan lain-lain. Dalam farmakologi tergolong sebagai psikostimulansia (narkotika
golongan II) seperti amfetamine, methamphetamine, kafein, kokain, khat dan nikotin yang
direkayasa untuk tujuan bersenang-senang. Bahaya dan akibatmengkonsumsi ecstasy adalah :
1) dapat menimbulkan denyut jantung dan nadi bertambah cepat;
2) gerak anggota badan tak terkendali (triping);
3) kemampuan berempati meningkat;
4) keintiman bertambah dan rasa percaya diri meningkat;
5) penglihatan kabur;
6) halusinasi.
c. Meth-Amphetamine, disebut juga dengan nama shabu-shabu. Dalam farmakologi termasuk
psiko-stimulansia yang tergolong jenis narkotika golongan II. Bahaya dan akibat
mengkonsumsi jenis narkotika ini sama dengan ecstasy tetapi rasa curiga (paranoid) dan
halusinasi lebih menonjol, sengaja dibuat untuk tujuan bersenangsenang seperti ecstasy.
d. Ganja, nama lainnya adalah mariyuana, hashis. Jenis narkotika ini termasuk golongan 1.
Bahaya dan akibat mengkonsumsi ganja dapat menimbulkan : kedua mata merah, mulut
kering;
1) banyak keringat, jantung berdebar;
2) kecemasan dan kecurigaan yang berlebihan;
3) denyut jantung bertambah cepat;
4) nafsu makan bertambah;
5) euphoria, apatis, perasaan waktu berjalan lambat.
e. Sedativa/Hipnotika (obat penenang/tidur), obat ini memiliki banyak jenis. Dan tergolong
psikotropika, seperti : metaquanon/mandrax, flunitrazepani, clonazepam, nitrazepatn, dan
lain-lain. Toleransi perkembangannya tidak secepat heroin. Mengkonsumsi obat ini dapat
mengakibatkan :
1) banyak bicara
2) bicara cadel;
3) jalan sempoyongan;
4) pengendalian diri berkurang/melemah sehingga mudah tersinggung dan terlibat
perkelahian;
5) kadang-kadang kesadaran terganggu (dellirium)
f. Alkohol, nama kimianya adalah etanol atau etil alkohol. Banyak jedis dan merek dari
alkohol seperti : bir, wisky, gin, vodka, martini, brem, arak, ciu, saguer, tuak, johnny walker,
black and white dan sebagainya. Rekomendasi farmakologi, obat ini mirip obat
penenang/obat tidur Toleransi perkembangannya lambat, sedangkan gejala putus zat dapat
berakibat fatal, seperti :
1) muka merah;
2) banyak bicara dan cadel;
3) pengendalian diri berkurang/melemah sehingga mudah tersinggung, marah dan
terlibat perkelahian;
4) gangguan koordinasi motorik;
5) jalan sempoyongan;
6) sulit memusatkan perhatian.
2.4. Hukuman Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Menurut Perundang-
Undangan Di Indonesia
Mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, diatur dalam Pasal 59
sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No, 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, yang mana
seluruhnya merupakan kejahatan. Ancaman hukuman untuk penyalahgunaan psikotropika
maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup dan pidana denda berkisar antara Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta) sampai dengan Rp 5. 000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Menurut ketentuan dalam Pasal 59 sampai dengan 66 yang diancam hukuman antara lain
meliputi Barangsiapa yang :
1. Menggunakan.
2. Memproduksi.
3. Mengedarkan.
4. Mengimpor.
5. Mengekspor.
6. Memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika.
7. Menyalurkan.
8. Menerima penyaluran.
9. Menyerahkan.
10. Menerima penyerahan.
11. Melakukan pengangkutan.
12. Melakukan perubahan negara tujuan.
13. Melakukan pengemasan.
14. Tidak mencantumkan label.
15. Mencantumkan tulisan.
16. Mengiklankan.
17. Melakukan pemusnahan yang tidak sesuai.
18. Menghalang-halangi penderita menjalani pengobatan/perawatan.
19. Menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi tanpa ijin.
20. Tidak melapor adanya penyalahgunaan/pemilikan psikotropika.
21. Saksi dan orang lain.
Ada 2 (dua) macam sanksi yang dapat dijatuhkan bagi penyalahgunaan psikotropika ini yaitu
sanksi administratif dan sanksi hukum.
Macam-macam sanksi adinistratif yang diatur dalam Pasal 51 ayat (2) Undangundang No. 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah :
a. Teguran lisan.
b. Teguran tertulis.
c. Penghentian sementara kegiatan.
d. Denda administratif.
e. Pencabutan ijin praktek.9
Yang dapat menjatuhkan sanksi di atas adalah Menteri Kesehatan. Dan berdasarkan Pasal 51
ayat(1) Undang-undang Psikotropika ada 3 (tiga) pihak yang dapat dijatuhi sanksi
administrati I karena melakukan pelanggaran undang-undang tersebut yaitu :
1) Pihak pengedar psikotropika : pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan dan dokter.
2) Pihak lembaga penelitian dan lembaga pendidikan.
3) Pihak fasilitas rehabilitasi.
Dalam hal sanksi administratif sudah dijatuhkan kepada si pelanggar Undang-undang
Psikotropika, akan tetapi saksi tersebut tidak menghapus proses perkara pidananya. Secara
lebih rinci untuk pelaku penyalahgunaan Psikotropika dapat dikenakan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dengan klasifikasi sebagai berikut :
a) Sebagai Pengguna.
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 59 dan 62 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika, dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun dan paling lama 15
tahun + denda.
b) Sebagai Pengedar.
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 59 dan 60 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun + denda.
c) Sebagai Produsen.
Dikenalkan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 80 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun + denda.
2.5. Peraturan-Peraturan Lain Yang Mengatur Tentang Narkoba
Sedangkan berkenaan dengan Bahan Berbahaya, ada beberapa ketentuan/peraturan yang
perlu diingat, yaitu :
1. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 453/Menkes/Pen/XI/1983 tanggal 16
September 1983, tentang Bahan-bahan Berbahaya.
2. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 86/Menkes/Pen/W/1977, tentang
Minuman Keras.
3. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Noiuoi 329/Menkes/Pen/XII/1976 tentang
Makanan.
4. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 220/Menkes/Pen/LX/1976, tentang
Kosmetika.
5. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 239/MenIces/Pen/V/1985, tentang
Zat-zat warna tetentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya.
6. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03/SE/MenKLH?VI/
1987 tentang Prosedur Penanggulangan kasus Pencemaran dan Pengrusakan
Lingkungan Hidup (Limbah).
7. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 7 Tahun 1973, tentang Pengawasan atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida.
8. Ordonansi bahan Berbahaya STB No. 377 tahun 1949.
9. Pasal 204, 205, 300, 537, 538, 382bis, 386, 501, 522 KUHP.
BAB 3
ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK

3.1. Pendahuluan

Istilah forensik belakang ini sering mampir di telinga kita melalui berbagai berita kriminal.
Biasanya menyangkut penyidikan tindak pidana seperti mencari sebab-sebab kematian
korban, dan usaha pencarian pelaku kejahatan. Secara garis besar yang dimaksud dengan
forensik sains adalah aplikasi atau pemanfatan ilmu pengetahuan untuk penegakan hukum
dan peradilan.

Tosikologi forensik adalah salah satu cabang forensik sain, yang menekunkan diri pada
aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi dan kimia analisis untuk kepentingan peradilan.
Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif
dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah
ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti
dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan
analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan
perundangan-undangan. Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut
dengan ”Surat Keterangan Ahli” atau ”Surat Keterangan”.

Secara umum tugas toksikolog forensik adalah membantu penegak hukum khususnya dalam
melakukan analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif dan kemudian menerjemahkan
hasil analisis ke dalam suatu laporan (surat, surat keterangan ahli atau saksi ahli), sebagai
bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Lebih jelasnya toksikologi forensik
mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal,
dengan tujuan mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun dan metabolitnya
dari cairan biologis dan akhirnya menginterpretasikan temuan analisis dalam suatu
argumentasi tentang penyebab keracunan dari suatu kasus. Menurut masyarakat toksikologi
forensik amerika “society of forensic toxicologist, inc. SOFT” bidang kerja toksikologi
forensik meliputi:

- analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian,


- analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau napas, yang dapat
mengakibatkan perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan
bermotor di jalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan, penggunaan dooping),

- analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika
dan obat terlarang lainnya.

Tujuan lain dari analisis toksikologi forensik adalah membuat suatu rekaan rekostruksi suatu
peristiwa yang terjadi, sampai sejauh mana obat atau racun tersebut dapat mengakibatkan
perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai, yang dapat mengakibatkan
kecelakaan yang fatal, atau tindak kekerasan dan kejahatan).

3.2. Bilamana memerlukan pemeriksaan toksikologik

Dalam tabel berikut ini digambarkan kasus-kasus yang umumnya di negara maju
memerlukan pemeriksaan toksikologi forensik. Kasus-kasus tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kelompok besar yaitu:

a) kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di penjara,


kematian pada kebakaran, dan kematian medis yang disebabkan oleh efek samping obat
atau kesalahan penanganan medis,

b) kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan nyawa sendiri
ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh obat-obatan, alkohol, atau
pun narkoba,

c) penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat pemakaian
obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya lainnya, yang tidak
memenuhi standar kesehatan (kasus-kasus forensik farmasi).

Dari sekian contoh kasus-kasus yang perlu dilakukan pemeriksaan toksikologik, lalu timbul
pertanyaan: Siapa yang memutuskan untuk melakukan pemeriksaan tersebut dan siapa yang
berkompeten untuk melakukan pemeriksaan tersebut? Sudah barang tentu yang memutuskan
untuk melakukan adalah tim penyidik dan yang melakukan adalah seorang yang berkompeten
yaitu “toksikolog forensik”. Lalu dimana lembaga toksikolog forensik tersebut di negara kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan “assesment” tugas fungsi pokok lembaga-
lembaga yang terkait, seperti Laboratorium Forensik Polri, BNN, BNP, BNK, Badan
Pengawasan Obat dan Makanan, LabKesDa, Laboratrium Forensik di Universitas dan juga
peraturan perundangan yang berlaku.

Tabel 1. Kasus-kasus toksikologi forensik yang melibatkan

Jenis Kasus Pertanyaan yang muncul Litigasi


Kematian yang tidak Apakah ada keterlibatan obat Kriminal: Pembunuhan
wajar (mendadak) atau racun sebagai penyebab
Sipil: klaim tanggungan
kematiannya?
asuransi, tuntunan kepada
pabrik farmasi atau kimia
Kematian di penjara Kecelakaan, pembunuhan yang Kriminal: pembunuhan
melibatkan racun atau obat
Sipil: gugatan tanggungan dan
terlarang?
konpensasi terhadap
pemerintah
Kematian pada Apakah ada unsur penghilangan Kriminal: pembunuhan
kebakaran jejak pembunuhan?
Sipil: klaim tanggungan
Apa penyebab kematian: CO, asuransi
racun, kecelakaan, atau
pembunuhan?
Kematian atau Berapa konsentrasi dari obat dan Malpraktek kedokteran,
timbulnya efek samping metabolitnya? gugatan terhadap fabrik
obat berbahaya akibat farmasi
Apakah ada interaksi obat?
salah pengobatan
Kematian yang tidak Apakah pengobatannya tepat? Klaim malpraktek, tindak
wajar di rumah sakit kriminal, pemeriksaan oleh
Kesalahan terapi?
komite ikatan profesi
kedokteran (”IDI”)
Kecelakaan yang fatal Apakah ada keterlibatan racun, Gugatan terhadap ”employer”,
di tempat kerja, sakit alkohol, atau obat-obatan? Memperkerjakan kembali
akibat tempat kerja,
Apakah kematian akibat
pemecatan
”human eror”?

Apakah sakit tersebut


diakibatkan oleh senyawa kimia
di tempat kerja? Pemecatan
akibat terlibat penyalahgunaan
Narkoba?
Kecelakan fatal dalam Meyebabkan kematian? Kriminal: Pembunuhan,
menyemudi kecelakaan bermotor
Adakah keterlibatan alkohol,
obat-obatan atau Narkoba? Sipil: klaim gugatan asuransi

Kecelakaan, atau pembunuhan?


Kecelakaan tidak fatal Apakah kesalahan pengemudi? Kriminal: Larangan
atau mengemudi Mengemudi dibawah pengaruh Mengemudi dibawah
dibawah pengaruh obat- obat-obatan atau Narkoba? pengaruh Obat-obatan atau
obatan Narkona

Sipil: gugatan pencabutan atau


pengangguhan SIM
Penyalahgunaan Penyalahgunaan atau pasient Kriminal:
Narkoba yang sedang mengalami terapi
Sipil: rehabilitasi
rehabilitasi narkoba
Farmaseutikal dan Obat Identifikasi bentuk sediaan, Kriminal: pengedaran obat
palsu, atau tidak kandungan sediaan obat, ilegal.
memenuhi syarat penggunaan obat palsu.
Sipil: tuntutan penggunan obat
standar ”Forensik
palsu terhadap dokter atau
Farmasi”
yang terkait

Sumber: Finkle, B.S., (1982), Progress in Forensic Toxicology: Beyond Analytical


Chemistry, J. Anal. Tox. (6): 57-61
3.3. Langkah-langkah analisis toksikologi forensik

Secara umum tugas analisis toksikolog forensik dalam melakukan analisis dapat
dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1) penyiapan sampel “sample preparation”, 2)
analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau dikenal juga dengan “general unknown
test” dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan kuantifikasi, 3) langkah terakhir
adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis.

Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan makanan, analisis
kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang menjadi
target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal ini
menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti
diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi
target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali
dari informasi penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan,
tindak kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan
pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi
penyidik.

Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa induk,
melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa
matabolit juga merupakan target analisis.

Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan
biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel adalah
salah satu faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik disamping kehadalan
penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda dengan analisis kimia lainnya, hasil
indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari analisis
toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu menerjemahkan
apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu dapat dikatakan sebagai
penyebab keracunan (pada kasus kematian).

3.3.1. Penyiapan Sampel


Spesimen untuk analisis toksikologi forensik biasanya diterok oleh dokter, misalnya pada
kasus kematian tidak wajar spesimen dikumpulkan oleh dokter forensik pada saat melakukan
otopsi. Spesimen dapat berupa cairan biologis, jaringan, organ tubuh. Dalam pengumpulan
spesimen dokter forensik memberikan label pada masing-masing bungkus/wadah dan
menyegelnya. Label seharusnya dilengkapi dengan informasi: nomer indentitas, nama
korban, tanggal/waktu otopsi, nama spesimen beserta jumlahnya. Pengiriman dan penyerahan
spesimen harus dilengkapi dengan surat berita acara menyeran spesimen, yang ditandatangani
oleh dokter forensik. Toksikolog forensik yang menerima spesimen kemudian memberikan
dokter forensik surat tanda terima, kemudian menyimpan sampel/spesimen dalam lemari
pendingin “freezer” dan menguncinya sampai analisis dilakukan. Prosedur ini dilakukan
bertujuan untuk memberikan rantai perlindungan/pengamanan spesimen (chain of custody).

Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel adalah: jenis dan
sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan analisis. Dengan demikian
akan dapat merancang atau memilih metode penanganan sampel, jumlah sampel yang akan
digunakan, serta memilih metode analisis yang tepat. Penanganan sampel perlu mendapat
perhatian khusus, karena sebagian besar sampel adalah materi biologis, sehingga sedapat
mungkin mencegah terjadinya penguraian dari analit.

Pemilihan metode ekstraksi ditentukan juga oleh analisis yang akan dilakukan, misal pada uji
penapisan sering dilakukan ekstraksi satu tahap, dimana pada tahap ini diharapkan semua
analit dapat terekstraksi. Bahkan pada uji penapisan menggunakan teknik “immunoassay”
sampel tidak perlu diekstraksi dengan pelarut tertentu.

Sampel urin pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan dengan menggunakan
teknik immunoassay. Namun tidak jarang harus mendapatkan perlakuan awal, seperti
pengaturan pH dan sentrifuga, guna menghilangkan kekeruhan. Pemisahan sel darah dan
serum sangat diperlukan pada persiapan sebelum dilakukan uji penapisan pada darah. Serum
pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan menggunakan teknik immunoassay.
Tidak jarang sampel darah, yang diterima sudah mengalami hemolisis atau menggupal, dalam
hal ini darah dilarutkan dengan metanol, dan kemudian disentrifuga, sepernatan dapat
langsung dilakukan uji penapisan menggunakan teknik immunoassay.

Ekstraksi satu tahap sangat diperlukan apabila uji penapisan tidak menggunakan teknik
immunoassay, misal menggunakan kromatografi lapis tipis dengan reaksi penampak bercak
tertentu. Atau juga ekstraksi bertingkat “metode Stas-Otto-Gang” untuk melalukan
pemisahan analit berdasarkan sifat asam-basanya.

Metode ekstraksi dapat berupa ekstraksi cair-cair, menggunakan dua pelarut yang terpisah,
atau ekstraksi cair-padat. Prinsip dasar dari pemisahan ekstraksi cair-cair berdasarkan
koefisien partisi dari analit pada kedua pelarut atau berdasarkan kelarutan analit pada kedua
pelarut tersebut. Pada ekstraksi cair-padat analit dilewatkan pada kolom yang berisi adsorben
fase padat (SPE, Si-Gel C-18, Extrelut®, Bund Elut Certify®, dll), kemudian dielusi dengan
pelarut tertentu, biasanya diikuti dengan modifikasi pH pelarut.

Penyiapan sampel yang baik sangat diperlukan pada uji pemastian “identifikasi dan
kuantifikasi”, terutama pada teknik kromatografi. Karena pada umumnya materi biologik
merupakan materik yang komplek, yang terdiri dari berbagai campuran baik senyawa
endogen maupun senyawa eksogen “xenobiotika”. Penyiapan sampel umumnya meliputi
hidrolisis, ekstraski, dan pemurnian analit. Prosedur ini haruslah mempunyai efesiensi dan
selektifitas yang tinggi. Perolehan kembali yang tinggi pada ekstraksi adalah sangat penting
untuk menyari semua analit, sedangkan selektifitas yang tinggi diperlukan untuk menjamin
pengotor atau senyawa penggangu terpisahkan dari analit.

Pada analisis menggunakan GC/MS, penyiapan sampel termasuk derivatisasi analit secara
kimia, seperi salilisasi, metilisasi, dll. Derivatisasi ini pada umumnya bertujuan untuk
meningkatkan volatilitas analit atau meningkatkan kepekaan analisis.

3.3.2. Uji Penapisan “Screening test”

Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit) dalam sampel. Disini
analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia maupun efek farmakologi
yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika secara umum dalam uji penapisan
dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain, kannabinoid, turunan amfetamin, turunan
benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-siklik, turunan asam barbiturat, dan
turunan metadon. Pengelompokan ini berdasarkan struktur inti molekulnya. Sebagai contoh,
disini diambil senyawa golongan opiat, dimana senyawa ini memiliki struktur dasar morfin,
beberapa senyawa yang memiliki struktur dasar morfin seperti, heroin, mono-asetil morfin,
morfin, morfin-3-glukuronida, morfin-6-glukuronida, asetilkodein, kodein, kodein-6-
glukuronida, dihidrokodein serta metabolitnya, serta senyawa turunan opiat lainnya yang
mempunyai inti morfin.

Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan derajat reabilitas
dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya relatif cepat. Terdapat teknik
uji penapisan yaitu: a) kromatografi lapis tipis (KLT) yang dikombinasikan dengan reaksi
warna, b) teknik immunoassay. Teknik immunoassay umumnya memiliki sifat reabilitas dan
sensitifitas yang tinggi, serta dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif singkat,
namun alat dan bahan dari teknik ini semuanya harus diimpor, sehingga teknik ini menjadi
relatif tidak murah. Dibandingkan dengan immunoassay, KLT relatif lebih murah, namun
dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif lebih lama.

a) teknik immunoassay

Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam analisis obat
terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan “anti-drug antibody” untuk
mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi biologik). Jika di dalam
matrik terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target) maka dia akan berikatan dengan “anti-
drug antibody”, namun jika tidak ada antigen-target maka “anti-drug antibody” akan
berikatan dengan “antigen-penanda”. Terdapat berbagai metode / teknik untuk mendeteksi
ikatan antigen-antibodi ini, seperti “enzyme linked immunoassay” (ELISA), enzyme
multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence polarization immunoassay (FPIA),
cloned enzyme-donor immunoassay (CEDIA), dan radio immunoassay (RIA).

Pemilihan teknik ini sangat tergantung pada beban kerja (jumlah sampel per-hari) yang
ditangani oleh laboratorium toksikologi. Misal dipasaran teknik ELISA atau EMIT terdapat
dalam bentuk single test maupun multi test. Untuk laboratorium toksikologi dengan beban
kerja yang kecil pemilihan teknik single test immunoassay akan lebih tepat ketimbang teknik
multi test, namun biaya analisa akan menjadi lebih mahal.

Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, bukan untuk
menarik kesimpulan, karena kemungkinan antibodi yang digunakan dapat bereaksi dengan
berbagai senyawa yang memiliki baik bentuk struktur molekul maupun bangun yang hampir
sama. Reaksi silang ini tentunya memberikan hasil positif palsu. Obat batuk yang
mengandung pseudoefedrin akan memberi reaksi positif palsu terhadap test immunoassay
dari anti bodi- metamfetamin. Oleh sebab itu hasil reaksi immunoassay (screening test) harus
dilakukan uji pemastian (confirmatori test).

b) kromatografi lapis tipis (KLT)

KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya, namun KLT
kurang sensitif jika dibandungkan dengan teknik immunoassay. Untuk meningkatkan
sensitifitas KLT sangat disarankan dalam analisis toksikologi forensik, uji penapisan dengan
KLT dilakukan paling sedikit lebih dari satu sistem pengembang dengan penampak noda
yang berbeda. Dengan menggunakan spektrofotodensitometri analit yang telah terpisah
dengan KLT dapat dideteksi spektrumnya (UV atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya
akan meningkatkan derajat sensitifitas dan spesifisitas dari uji penapisan dengan metode
KLT. Secara simultan kombinasi ini dapat digunakan untuk uji pemastian.

3.3.3. Uji pemastian “confirmatory test”

Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan kadarnya. Konfirmatori
test paling sedikit sesensitif dengan uji penapisan, namun harus lebih spesifik. Umumnya uji
pemastian menggunakan teknik kromatografi yang dikombinasi dengan teknik detektor
lainnya, seperti: kromatografi gas - spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi cair
kenerja tinggi (HPLC) dengan diode-array detektor, kromatografi cair - spektrofotometri
massa (LC-MS), KLT-Spektrofotodensitometri, dan teknik lainnya. Meningkatnya derajat
spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan mengenali identitas analit, sehingga dapat
menentukan secara spesifik toksikan yang ada.

Prinsip dasar uji konfirmasi dengan menggunakan teknik CG-MS adalah analit dipisahkan
menggunakan gas kromatografi kemudian selanjutnya dipastikan identitasnya menggunakan
teknik spektrfotometrimassa. Sebelumnya analit diisolasi dari matrik biologik, kemudian jika
perlu diderivatisasi. Isolat akan dilewatkan ke kolom CG, dengan perbedaan sifat fisikokima
toksikan dan metabolitnya, maka dengan GC akan terjadi pemisahan toksikan dari senyawa
segolongannya atau metabolitnya. Pada prisipnya pemisahan menggunakan GC, indeks
retensi dari analit yang terpisah adalah sangat spesifik untuk senyawa tersebut, namun hal ini
belum cukup untuk tujuan analisis toksikologi forensik. Analit yang terpisah akan memasuki
spektrofotometri massa (MS), di sini bergantung dari metode fragmentasi pada MS, analit
akan terfragmentasi menghasilkan pola spektrum massa yang sangat kharakteristik untuk
setiap senyawa. Pola fragmentasi (spetrum massa) ini merupakan sidik jari molekular dari
suatu senyawa. Dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum massanya, maka
identitas dari analit dapat dikenali dan dipastikan.

Dengan teknik kombinasi HPLC-diode array detektor akan memungkinkan secara simultan
mengukur spektrum UV-Vis dari analit yang telah dipisahkan oleh kolom HPLC. Seperti
pada metode GC-MS, dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum UV-Vis analit,
maka dapat mengenali identitas analit.

Disamping melakukan uji indentifikasi potensial positif analit (hasil uji penapisan), pada uji
ini juga dilakukan penetapan kadar dari analit. Data analisis kuantitatif analit akan sangat
berguna bagi toksikolog forensik dalam menginterpretasikan hasil analisis, dengan kaitannya
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul baik dari penyidik maupun hakim
sehubungan dengan kasus yang terkait. Misal analisis toksikologi forensik ditegakkan
bertujuan untuk memastikan dugaan kasus kematian akibat keracunan atau diracuni,
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul pada kasus ini adalah:

- senyawa racun apa yang terlibat?

- berapa besar dosis yang digunakan?

- kapan paparan tersebut terjadi (kapan racun tersebut mulai kontak dengan korban)?

- melalui jalur apa paparan tersebut terjadi (jalur oral, injeksi, inhalasi)?

Dalam praktis analisis menggunakan teknik GC-MS, LC-MS, atau HPLC-Diode array
detektor memerlukan biaya analisis yang relatif mahal ketimbang KLT-
Spektrofotodensitometri. Sehingga disarankan dalam perencanaan pengadaan/pemilihan
peralatan suatu laboratorium toksikologi seharusnya mempertimbangkan biaya operasional
penanganan sampel. Hal ini pada kenyataannya sering menjadi faktor penghambat dalam
penyelenggaraan laboratorium toksikologi. Karena pada kenyataanya telah diatur dalam
KUHAP, bahwa biaya yang ditimbulkan akibat pemeriksaan atau penyidikan dibebankan
pada negara, namun pada kenyataanya sampai saat negara belum mampu memikul beban
tersebut.

3.4. Interpretasi temuan analisis


Temuan analisis sendiri tidak mempunyai makna yang berarti jika tidak dijelaskan makna
dari temuan tersebut. Seorang toksikolog forensik berkewajiban menerjemahkan temuan
tersebut berdasarkan kepakarannya ke dalam suatu kalimat atau laporan, yang dapat
menjelaskan atau mampu menjawab pertanyaan yang muncul berkaitan dengan
permasalahan/kasus yang dituduhkan.

Berkaitan dengan analisis penyalahgunaan obat-obatan terlarang, mengacu pada hukum yang
berlaku di Indonesia (UU no 5 th 1997 tentang spikotropika dan UU no 22 th 1997 tentang
Narkotika), interpretasi temuan analisis oleh seorang toksikolog forensik adalah merupakan
suatu keharusan (Wirasuta, 2005). Heroin menurut UU no 22 tahun 1997 termasuk narkotika
golongan I, namun metabolitnya (morfin) masuk ke dalam narkotika golongan II. Dilain hal
kodein (narkotika golongan III) di dalam tubuh akan sebagian termetabolisme menjadi
morfin. Namun pada kenyataannya heroin illegal juga mengandung acetilkodein, yang
merupakan hasil asetilasi dari kodein, sehingga dalam analisis toksikologi forensik pada
pembuktian kasus penyalahgunaan heroin ilegal akan mungkin diketemukan morfin dan
kodein. Menurut UU narkotika ini (pasal 84 dan 85), menyatakan bahwa penyalahgunaan
narkotika golongan I, II, dan III memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, sehingga
interpretasi temuan analisis toksikologi forensik, khususnya dalam kaitan menjawab
pertanyaan narkotika apa yang telah dikonsumsi, adalah sangat mutlak dalam penegakan
hukum.

Terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh toksikolog forensik dalam melakukan
analisis:

a. Senyawa apa yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut (senyawa apa yang
menyebabkan keracunan, menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan dalam
berlalulintas, atau narkoba apa yang telah disalah gunakan)?

b. Berapa besar dosisnya?

c. Efek apa yang ditimbulkan?

d. Kapan tubuh korban terpapar oleh senyawa tersebut?


e. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terungkap dari hasil analisis toksikologi dan
didukung oleh penguasaan ilmu pendukung lainnya seperti farmakologi dan toksikologi,
biotransformasi, dan farmakokinetik.

Data temuan hasil uji penapisan dapat dijadikan petunjuk bukan untuk menarik kesimpulan
bahwa seseorang telah terpapar atau menggunakan obat terlarang. Sedangkan hasil uji
pemastian (confirmatory test) dapat dijadikan dasar untuk memastikan atau menarik
kesimpulan apakah sesorang telah menggunakan obat terlarang yang dituduhkan. Pernyataan
ini terdengar sangatlah mudah, namun pada praktisnya banyak faktor yang mempengaruhi.

Untuk lebih jelasnya disini akan diberikan suatu perumpamaan kasus, misal dari hasil uji
penapisan menggunakan teknik immunoassay diperoleh dalam sampel darah dan urin
tertuduh memberikan reaksi positif terhadap golongan opiat. Hasil ini tidak cukup untuk
membuktikan (menuduh) terdakwa telah mengkonsumsi obat terlarang narkotika golongan
opiat, karena obat batuk dekstrometorfan HBr mungkin memberikan reaksi positif. Dilain hal
senyawa golongan opiat terdistribusi ke dalam golongan narkotika I sampai III, dimana
menurut UU Narkotika, penyalahgunaan golongan tersebut memiliki konsekuen hukum yang
berbeda. Metabolit glukuronida dari morfin dan kodein tidak dimasukkan ke dalam senyawa
narkotika. Kenyataan ini akan membuat interpretasi toksikologi forensik, yang hanya
berdasarkan data hasil analisis uji penapisan, menjadi lebih komplek.

Dilain hal banyak senyawa obat, dimana metabolitnya memungkinkan memberi reaksi positif
(reaksi silang) terhadap test anti-amfetamin-antibodi. Senyawa obat tersebut antara lain: a)
golongan obat bebas yang digunakan sebagai dekongestan dan anoreksia, seperti: efedrin,
pseudoefedrin dan fenilpropanolamin; b) golongan keras (dengan resep): benzofetamin,
fenfluramine, mefentermin, fenmeterzine, dan fentermine; c) obat / senyawa obat, dimana
amfetamin atau metamfetamin sebagai metabolitnya, seperti: etilamfetamin, clobenzorex,
mefenorex, dimetilamfetamin, dll (United Nation, 1995).

Pada interpretasi hasil analisis pada kasus kematian, seorang toksikolog forensik dituntut
mampu menjawab pertanyaan spesifik seperti: rute pemakaian toksikan, apakah konsentrasi
toksikan yang ditetapkan cukup sebagai menyebabkan kematian atau penyebab keracunan.
Penetapan rute pemakaian biasanya diperoleh dari analisis berbagai spesimen, dimana pada
umumnya konsentrasi toksikan yang lebih tinggi ditemukan di daerah rute pemakaian. Jika
ditemukan toksikan dalam jumlah besar di saluran pencernaan dan hati, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa paparan melalui jalur oral. Demikian juga apabila konsentrasi yang tinggi
ditemukan di paru-paru atau pada organ viseral lainnya mengindikasikan paparan melalui
inhalasi. Bekas suntikan yang baru pada permukaan tubuh (seperti telapak tangan, lengan,
dll), yang ditemukan pada kasus kematian akibat penyalahgunaan narkotika, merupakan
petujuk paparan melalui injeksi.

Ditemukannya toksikan dalam konsentrasi yang cukup tinggi baik di saluran pencernaan
maupun di darah, dapat dijadikan cukup bukti untuk menyatakan toksikan tersebut sebagai
penyebab kematian. Seorang toksikolog forensik dituntut juga dapat menerangkan absorpsi
toksikan dan transportasi/distribusi melalui sirkulasi sistemik menuju organ-jaringan sampai
dapat menimbulkan efek yang fatal. Interpretasi ini diturunkan dari data konsentrasi toksikan
baik di darah maupun di jaringan-jaringan.

Hasil analisis urin biasanya kurang berarti dalam menentukan efek toksik/psikologi dari suatu
toksikan. Secara umum hasil analisis urin menyatakan adanya paparan toksikan sebelum
kematian. Dari jumlah volume urin dan konstelasi jumlah toksikan dan metabolitnya di dalam
kantung kemih, dengan berdasarkan data laju eksresi toksikan dan metabolitnya, maka
dimungkinkan untuk menurunkan informasi lamanya waktu paparan telah terjadi sebelum
kematian (Wirasuta 2004).

Kebanyakan efek farmakologik/psikologi xenobiotika berhubungan dengan tingkat


konsentrasinya di darah dan tempat kerjanya (reseptor). Oleh sebab itu tingkat konsentrasi di
darah adalah sebagai indikator penting dalam mencari faktor penyebab kematian/keracunan.
Dalam menginterpretasikan tingkat konsentrasi di dalam darah dan jaringan sebaiknya
memperhatikan tingkat efek spikologis yang sebenarnya dan semua faktor yang berpengaruh
dari setiap tingkat konsentrasi yang diperoleh dari spesimen. Interpretasi tingkat konsentrasi
dalam darah dan jaringan dapat dibagi menjadi tiga katagori: normal atau terapeutik, toksik,
dan lethal. Tingkat konsentrasi normal dinyatakan sebagai keadaan, dimana tidak
menimbulkan efek toksik pada organisme. Tingkat konsentrasi toksik berhubungan dengan
gejala membahayankan nyawa, seperti: koma, kejang-kejang, kerusakan hati atau ginjal.
Tingkat konsentrasi kematian dinyatakan sebagai konsentrasi yang dapat menyebabkan
kematian. Contoh: sianida pada konsentrasi yang tinggi (0,17-2,22 mg/l, diketemukan pada
kematian akibat keracunan sianida), dinyatakan sebagai penyebab keracunan. Sedangkan
pada konsentrasi yang sangat kecil (0,004 mg/l pada orang sehat dan 0,006 mg/l pada
perokok), sianida berperan dalam pembentukan vitamin B12. Dalam jumlah kecil sianida
juga diabsorpsi dan dibangkitkan selama merokok. Oleh sebab itu mendeteksi sianida di
darah pada tingkat dibawah konsentrasi toksik, masih dapat ditolerir sebagai tanpa efek
toksik. Beberapa logam berat, seperti arsen, timbal, dan merkuri tidak diperlukan untuk
fungsi normal tubuh. Keberadaan logam tersebut dibawah tingkat konsentrasi toksik
mengindikasikan bahwa korban telah terpapar logam berat akibat polusi lingkungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi respon individu terhadap tingkat konsentrasi toksik


(seperti: usia, jenis kelamin/status hormonal, berat badan, status nutrisi, genetik, status
immunologi, kelainan patologik dan penyakit bawaan, kelainan fungsi organ, sifat
farmakokinetik dari toksikan) seharusnya juga dipertimbangkan dalam menginterpretasikan
hasil analisis, yang bertujuan mencari faktor penyebab keracunan. Faktor lain yang juga harus
mendapat perhatian adalah fenomena farmakologi seperti toleransi. Toleransi adalah suatu
keadaan menurunnya respon tubuh terhadap toksikan sebagai hasil paparan yang berulang
sebelumnya, biasanya dalam waktu yang lama. Penurunan respon dapat diakibatkan oleh
adaptasi selular pada suatu konsentrasi toksikan, yang dapat berakibat pada penekanan efek
farmakologis yang diinginkan. Hal ini sering dijumpai pada kasus kematian akibat
menyalahgunaan heroin, dimanakan ditemukan tumpang tindih rentang konsentrasi morfin di
darah pada kasus “lethal related heroine (0,010 - 2,200 µg/ml, rataan: 0,277 µg/ml)” dan
“non-lethal related heroine (0,010 -0,275 µg/ml, rataan: 0,046 µg/ml)” (Wirasuta 2004).
Konsetrasi morfin yang tinggi mungkin tidak mengakibatkan efek toksik pada junkis yang
telah berulang memakai heroin, sedangkan pada konsentrasi yang sama mungkin
menimbulkan efek kematian pada orang yang baru menggunakan. Bahaya kematian sering
dijumpai pada pemakaian dosis tinggi oleh pencadu, yang memulai kembali menggunakan
heroin setelah lama berhenti menggunakannya, dimana dosisnya didasarkan pengalaman
pribadi saat efek tolerasi masih timbul.

Melalui pengamatan ulang riwayat kasus, memperhatikan semua faktor toksokinetik,


toksodinamik, dan dengan membandingkan hasil analisis dengan laporan kasus yang sama
dari beberapa pustaka atau pengalaman sendiri, seorang ahli toksikologi membuat interpretasi
akhir dari suatu kasus.

Contoh-contoh di atas dengan jelas memaparkan, bahwa hasil reaksi positif dengan teknik
immunoassay belum cukup bukti untuk memastikan/menuduh seseorang telah mengkonsumsi
obat terlarang. Lebih lanjut berikut ini diberikan ilustrasi kasus dan interpretasi dari hasil
analisis toksikologi forensik yang lengkap:
Contoh: Ilustrasi kasus toksikologi forensik (data dikutif dari kasus yang masuk ke Institut of
Legal Medicine of Goerg August University, Göttingen, Germany):

Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan dari penyidik dilaporkan telah diketemukan mayat di
kamar mandi sebuah cafe. Dilengan kanannya masih tertancap jarum suntik. Hasil otopsi
melaporkan terdapat baik bekas suntikan yang masih baru maupun yang sudah menua
dilengan kanan dan kiri, telapak tangan, kaki. Terdapat udema paru-paru, dan bau aromatis
dari organ tubuh seperti saluran cerna. Dokter spesialis Forensik menyimpulkan kematian
diduga diakibatkan oleh keracunan obat-obatan.

Hasil analisis toksikologi forensik:

Uji skrining menggunakan teknin immonoassay test (EMIT) terdeteksi positif golongan opiat
dan benzodiazepin. Dari penetapan kadar alkohol di darah dan urin terdapat alkohol 0,1
promil dan 0,1 promil.

Pada uji konfirmasi dengan menggunakan alat GC-MS diperoleh hasil:

- darah sebelum di hidrolisis: - morfin: 0,200 µg/ml, - kodein: 0,026 µg/ml

- darah setelah hidrolisis: - morfin: 0,665 µg/ml, - kodein: 0,044 µg/ml

- urin sebelum hidrolisis: - 6-asetilmorfin: 0,060 µg/ml, - morfin: 0,170 µg/ml, - kodein:
0,040 µgml

- urin setelah hidrolisis : - morfin: 0,800 µg/ml, - kodein: 0,170 µg/ml

Golongan benzodiazepin yang terdeteksi di darah adalah: diazepam: 1,400 µg/ml;


nordazepam: 0,086 µg/ml; oxazepam: 0,730 µg/ml; temazepam: 0,460 µg/ml

Dalam menginterpretasikan hasil temuannya seorang toksikolog forensik harus mengulas


kembali efek toksik dan farmakologi yang ditimbulkan oleh analit, baik efek tunggal dari
opiate dan benzodiazepin maupun efek kombinasi yang ditimbulkan dalam pemakaian
bersama antara opiat dan benzodiazepin. Menyacu informasi konsentrasi toksik (“lethal
concentration”) dapat diduga penyebab kematian dari korban.
Efek toksik yang ditimbulkan oleh pemakaian heroin adalah dipresi saluran pernafasan.
Keracunan oleh heroin ditandai dengan adanya udema paru-paru. Sedangkan pemakaian
diazepam secara bersamaan akan meningkatkan efek heroin dalam penekanan sistem
pernafasan. Hal ini akan mempercepat kematian.

Guna mengetahui obat apa yang telah dikonsumsi oleh korban, berdasarkan hasil analisis dan
alur metabolisme dari suatu senyawa obat, seorang toksikolog forensik akan merunut balik
apa yang telah dikonsumsi korban.

Di darah dan urin terdapat morfin dan kodein baik dalam bentuk bebas maupun terikat
dengan glukuronidnya namun di urin terdeteksi juga 6-asetilmorfin. Heroin di dalam tubuh
dalam waktu yang sangat singkat akan termetabilisme menjadi 6-asetilmorfin, dan kemudian
membentuk morfin. Morfin akan terkonjugasi menjadi morfin-glukuronidanya. Dari hasil
analisis seorang toksikolog forensik sudah dapat menyimpulkan bahwa korban telah
mengkonsumsi heroin.

Di dalam tubuh diazepam akan termetabolisme melalui N-demitelasi membentuk


desmitldiazepam (nordazepam) dan kemudian akan terhidrolisis membentuk oksazepam,
sebagaian kecil akan termetabolisme membentuk temazepam. Sehingga dari temuan analisis
dapat disimpulkan korban juga telah mengkonsumsi diazepam.

Berdasarkan data farmakokinetik dari heroin serta metabolitnya dan juga konstelasi dari
konsentrasi morfin bebas dan terikatnya dapat diambil duga kematian terjadi lebih kurang
dari satu sampai dua jam setelah pemakaian heroin (perkiraan ini didasarkan atas model
farmakokinetik dari Wirasuta 2004).

Semua temuan dan hasil interpretasi ini dibuat dalam suatu laporan (berita acara
pemeriksaan) yang akan diserahkan kembali ke polisi penyidik. Berkas berita acara
pemeriksaan ini dikenal dengan keterangan ahli.

Interpretasi akan menjadi benar secara ilmiah apabila didasarkan pada data analisis yang
valid, dan harus didukung oleh pemahaman ilmu toksikologi-farmakologi, farmakokinetik,
biotransformasi yang baik. Untuk mendapatkan data analisis yang valid/sahih, harus
dilakukan validasi terhadap semua prosedur analisis dan mengevalusai sumber-sumber yang
mungkin memberikan kesalahan analisis. Mengevaluasi/menganalisis validasi dari hasil
analisis dapat ditinjau dari tiga tingkat faktor utama yang menentukan hasil analisis (DFG,
1990, 1995), yaitu:

1) Tataran teknis analisis yang menghasilkan data analisis. Dalam tataran ini kesalahan
dapat diakibatkan oleh faktor metode analisis. Untuk mendapatkan data analisis yang
valid, perlu dilakukan validasi prosedur analisis, sesuai dengan kentuan yang diatur
secara international (misal mengikuti ketentuan validasi prosedur analisis yang dimuat
dalam Farmakope International, USP, AOAC, dll).

2) Tataran biologis, variansi matrik biologis dari sampel memungkinkan ikut memberikan
sumbangan kesalahan terhadap hasil analisis. Terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan
dalam mengevaluasi data analisis dari sudut pandang tataran biologis, yaitu: kontrol
plausibilitas, evaluasi longitudinal dan transversal.

Kontrol plausibilitas mencangkup:

- Kontrol data ekstrim, data ini dikontrol berdasarkan data medikal misalnya data analisis
tidak sesuai dengan data yang telah diperoleh dari populasi manusia atau sangat jauh
menyimpang secara statistik.

- Kontrol konstelasi yaitu membandingkan dari berbagai data analisis, yang diperoleh dari
matrik biologis yang berbeda tetapi seri data tersebut masih memiliki parameter yang
saling bergantungan. Misal membandingkan data analisis toksikan dan metabolitnya di
darah dan di urin, konstelasi data yang ditimbulkan dikontrol berdasarkan sifat
farmakokinetik dari toksikan dan metabolitnya.

- Kontrol trend data: data analisis yang diperoleh dari satu pasien (korban) dievalusi
terhadap perubahan waktu, hal ini bertujuan untuk mengetahui sifat perubahan biologis
(misal: laju eliminasi) yang terjadi pada pasien tersebut.

Tujuan dari krontrol plausibilitas adalah untuk mencari kesalahan analisis, dimana dari
tataran teknik analitik tidak teridentifikasi, sehingga diharapkan diperolehnya data analsis
yang sahih.

Analisis tongitodinal, evaluasi ini didasarkan terhadap sifat farmakokinetik (toksokinetik)


dan reaksi biotransformasi dari toksikan dan metabolitnya. Data analisis (toksikan dan
metabolitnya) dari pasien yang sama, yang diperoleh dari selang waktu pengambilan
sampel (penerokan) yang berbeda dibandingkan satu sama lainnya. Dari hasil
pembandingan data analisis tersebut, dengan didasarkan sifat farmakokinetik, maka dapat
dijadikan dasar untuk menduga/mengontrol konsentrasi aktuel (waktu terjadinya
keracunan). Lebih lanjut data ini dapat dijadikan dasar untuk memperkirakan waktu
terjadinya eksposisi.

Analisis transversal, data analisis yang diperoleh dari satu pasien dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Data dari kelompok kontrol mungkin dapat berupa data konsentrsi
toksikan/obat, yang diambil dari interval waktu tertentu, seperti interval waktu
konsentrasi efek terapeutik, interval konstrasi toksik atau “lethal dosis”.

3) Tataran nosologi (ilmu pengelompokan penyakit), kesalahan dapat ditimbulkan akibat


kesalahan dalam mendiagnose keracunan atau mungkin muncul akibat kesalahan
menginterpretasikan temuan patologis atau psiologis pasient (korban). Kesalahan ini
mungkin muncul karena keracunan dapat menampakkan kelainan patoligis.

3.5. Kesimpulan

Toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam
tindak kriminal, dengan tujuan mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun
dan bentuk metabolitnya dari dalam cairan biologi dan akhirnya menginterpretasikan temuan
analisis dalam suatu argumentasi tentang penyebab keracunan dari suatu kasus.

Analisis toksikolog forensik (klinik) dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1)
penyiapan sampel, 2) Analisis meliputi uji penapisan dan uji konfirmasi yang meliputi uji
identifikasi dan kuantifikasi, dan 3) interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan
analisis.

Data temuan hasil uji penapisan dapat dijadikan petunjuk bukan untuk menarik kesimpulan
bahwa seseorang telah terpapar atau menggunakan obat terlarang. Sedangkan hasil uji
pemastian (confirmatory test) dapat dijadikan dasar untuk memastikan atau menarik
kesimpulan apakah sesorang telah menggunakan obat terlarang yang dituduhkan
DAFTAR PUSTAKA

1. Kerrigan, S, (2004), Drug Toxicology for Prosecutors Targeting Hardcore Impaired


Drivers, New Mexico Department of Health Scientific Laboratory Division Toxicology
Bureau, New Mexico.
2. Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.) IKIP Semarang Press,
Semarang
3. Lowry, W.T., Garriot, J.C. (1979), Forensic Toxicology Controlled Substances and
Dangerous Drugs, Plenum Press, New York.
4. Moffat, Ac., Jackson, J.V., Moss, M.S. and Widdop, B., 1986, Clark’s isolation and
indentification of drugs in pharmaceuticals, body fluids, and post-mortem material, 2nd Ed.
The Pharmaceutical Press, London
5. Perdanakusuma, P., 1984, Bab-bab tentang kedokteran forensik, Ghalia Indonesia, Jakarta
6. Poklis, A. (1980), Forensic Toxicology, in Eckert, W.G., (Ed), Introduction to Forensic
sciences, The C.V. Mosby Company, St. Louis, Missori
7. Purwandianto, A. 2000, Pemanfaatan Laboratorium Forensik Untuk Kepentingan Non-
Litigasi, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan
Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta
8. Saferstein R:, 1995, Criminalistics, an Introduction to Forensic Science, 5th Ed., A Simon
& Schuster Co., Englewood Cliffs, New Jersey.
9. Sampurna, B., 2000, Laboratorium Kriminalistik Segabai Sarana Pembuktian Ilmiah,
dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan
Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta
10. SOFT (Society of Forensic Toxicologist, Inc.) and AAFS (the American Academy of
Forensic Sciences, Toxicology Section), (2002), Forensic Toxicology Laboratory Guidelines,
SOFT / AAFS.
11. Subandi, N. (2005), Peranan Labfor Polri Dalam Penanganan Kasus-Kasus Toksikologi
Forensik, Workshop Analisis Toksikologi Forensik 7-8 Desember 2005,
BPOM RI., Jakarta
12. Wirasuta, I M.A.G., (2005), Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan
Analisis, Workshop Analisis Toksikologi Forensik 7-8 Desember 2005, BPOM RI., Jakarta
13. Wirasuta, I M.A.G., (2005), Hambatan dalam pengegakan Undang-Undang No 22 th
1997 tentang Narkotika, khususnya pada penyalahgunaan narkotika golongan opiat ditinjau
dari sifat farmakokinetiknya, dalam Wirasuta, I M.A.G., et al. (Ed.) (2005), Peran kedokteran
forensik dalam penegakan hukum di Indonesia. Tantangan dan tuntuan di masa depan,
Penerbit Udayana, Denpasar
14. Wirasuta, I M.A.G., (2005), Peran Toksikologi forensik dalam penegakan hukum
kesehatandi Indonesia, dalam Wirasuta, I M.A.G., et al. (Ed.) (2005), Peran kedokteran
forensik dalam penegakan hukum di Indonesia. Tantangan dan tuntuan di masa depan,
Penerbit Udayana, Denpasar

Anda mungkin juga menyukai