Di susun Oleh:
Aqro Wijaya Kusuma
(1208105024)
Ita Zuhriyah
(1208105025)
(1208105026)
(1208105027)
Dosen Pembimbing
Dr. I Nengah Wirajana, M.Si.
Dr. Ni Made Suaniti, M.Si.
Komang Ariati, S.,Si., M.P.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut Saferstein
yang dimaksud dengan Forensic Science adalah the application of science to low, maka
secara umum ilmu forensik (forensik sains) dapat dimengerti sebagai aplikasi atau
pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan peradilan. Guna lebih
memahami pengertian dan ruang lingkup kerja toksikologi forensik, maka akan lebih baik
sebelumnya jika lebih mengenal apa itu bidang ilmu toksikologi. Ilmu toksikologi adalah
ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat kimia atau racun terhadap
mekanisme biologis suatu organisme. Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan
efek yang berbahaya terhadap organisme. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi
atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi
forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik
dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun
yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal
(forensik) dipengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke
dalam suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan perundang undangan. Menurut Hukum
Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat
Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi
untuk keperluan penegakan hukum dan peradilan. Toksikologi forensik merupakan ilmu
terapan yang dalam praktisnya sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya,
seperti
kimia
analisis,
biokimia,
kimia
instrumentasi,
farmakologitoksikologi,
BAB II
ISI
2.1 Pedoman Toksikologi Forensik
Pedoman toksikologi forensik awalnya diterbitkan pada tahun 1991 dimana terdapat dua
dokumen utama yakni pedoman dan lampiran ditambah dengan daftar evaluasi diri. Pada tahun
1996 american board of toksikologi forensic meluncurkan program akreditasi forensic terutama
didasarkan pada LEMBUT/AAFS pedoman dan lampiran. Pada tahun 1997 New York State
mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan akreditasi semua forensik laboratorium disektor
public, dan lain-lain. Komite pedoman menyimpulkan bahwa sudah waktunya merumuskan
kembali Pedoman asli dan Lampiran kedalam dokumen kohesif tunggal yang akan lebih mudah
untuk referensi dan memperbaharui masa depan. Itu dilakukan, dan final dokumen yang disetujui
diadopsi. Pengenalan dari pedoman 1991. Masyarakat toksikologi forensik dan toksikologi dan
toksikologi bagian dari America Academy of Sciences Forensik diangkat bersama komite
anggota untuk merekomendasikan satu set tambahan pedoman untuk praktek toksikologi.
Pedoman federal, terutama berkenan dengan pegawai laboratorium dan prosedur operasi.
Pedoman laboratorium toksikologi forensik dibedakan menjadi dua yakni :
1. Post-Mortem Toksikologi Forensik
Menentukan ada atau tidaknya obat-obatan dan metabolitnya, bahan kimia dan zat
volatil lainnya seperti etanol, karbon monoksida dan gas lainnya, dan bahan kimia
beracun lainnya dalam cairan dan jaringan manusia.
2. Kinerja Toksikologi Forensik pada manusia.
Menentukan ada atau tidaknya etanol dan obat lain serta bahan kimia dalam darah,
napas atau spesimen lainnya yang sesuai, dan mengevaluasi peran dalam
memodifikasi kinerja dan perilaku manusia (Graham R,et.al, 1997).
Personil dalam laboratorium toksikologi forensic yakni direktur dan staf laboratorium.
Ada beberapa kriteria standart operating procedure, diantaranya sebagai berikut :
a. Laboratorium harus memiliki panduan standar operasi prosedur (SOP) yang lengkap,
up-to-date, dan tersedia untuk semua personil yang melakukan tes.
b. Manual SOP harus mencakup deskripsi rinci prosedur untuk sampel penerima,
analisis, jaminan kualitas dan kontrol kualitas, review data, dan pelaporan.
c. Manual SOP harus mencakup prosedur administrasi serta metode analisis dan
ditinjau, ditandatangani, dan tanggal setiap kali pertama ditempatkan ke dalam
penggunaan atau diubah.
d. Manual SOP harus mencakup setiap prosedur analitis sesuai berikut: a) teori dan
prinsip metode, b) instruksi untuk persiapan reagen, c) Rincian dari prosedur analitis,
d) instruksi untuk persiapan kalibrator dan kontrol, e) informasi tentang persyaratan
khusus untuk penanganan reagen atau untuk memastikan keamanan, f) parameter
2.2 Sampel
Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan
biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel adalah
salah satu faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik disamping kehandalan
penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda dengan analisis kimia lainnya, hasil
indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari analisis toksikologi
forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu menerjemahkan apakah analit
(toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu dapatdikatakan sebagai penyebab keracunan
(pada kasus kematian).
Pemilihan yang tepat, pengumpulan, dan pengajuan spesimen untuk analisis toksikologi
itu sangat penting. Jika hasil analisis yang diperoleh akurat dan interpretasi tepat akan berguna
dalam pengadilan kasus forensik. Pedoman dapat berlaku untuk penyelidikan oleh tim kesehatan
(postmortem forensik toksikologi) dan penyelidikan oleh lembaga penegak hukum dari kasus
yang melibatkan masalah kinerja manusia.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penerimaan sampel :
a. Jumlah spesimen yang dikumpulkan harus cukup.
b. Memberikan label pada wadah spesimen individu.
c. Lembaga yang mengirimkan sampel harus menunjukkan riwayat kesehatan yang relevan
pada pemilik sampel .
d. Sampel yang datang harus ditulis tanggal dan hari kedatangannya.
e. Penerimaan harus ditunjukkan dengan tulisan tangan atau elektronik tanda tangan (atau
inisial) dari orang yang menerima spesimen, minimal tanggal penerimaan juga harus
disertakan.
f. Spesimen yang diterima harus diberi label dengan nama orang yang meninggal atau
tersangka, jumlah dan jenis spesimen (misalnya darah) atau, tanggal spesimen diambil
dan identifikasi individu mengambil sampel (Graham R, et.al, 1997).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penanganan sampel :
a. Penanganan spesimen dari satu individu atau tempat ke tempat lain harus selalu
didokumentasikan dengan baik.
b. Spesimen harus disimpan dengan cara yang aman.
c. Setiap transfer spesimen yang dikeluarkan untuk analisis, harus didokumentasikan
sebagai bagian dari catatan laboratorium permanen.
d. Jumlah orang yang menangani sampel harus diminimalisir sekecil mungkin.
e. Spesimen individu harus diangkut dan disimpan sedemikian rupa untuk meminimalkan
kemungkinan degradasi, kontaminasi, gangguan dan / atau kerusakan dalam pengiriman.
f. Setelah dilakukan analisis dan diperoleh data hasilnya harus di catat dan
didokumentasikan (Graham R, et.al, 1997).
Dalam investigasi kematian, jenis dan jumlah minimum spesimen jaringan dan cairan
yang dibutuhkan untuk mengevaluasi obat-obatan dan bahan kimia beracun lainnya sering
ditentukan oleh analit atau analit yang harus diidentifikasi dan kuantitatif menilai.
Banyak kematian akibat mengonsumsi beberapa obat, yang memerlukan sejumlah besar
jaringan dan cairan yang dikumpulkan pada otopsi untuk pemeriksaan toksikologi. Berikut ini
adalah daftar yang disarankan spesimen dan jumlah yang akan dikumpulkan di otopsi dalam
kasus seperti:
Otak 50 gm
Hati 50 gm
Ginjal 50 gm
Jantung Darah 25 mL
Darah perifer 10 mL
Humor vitreous Semua Tersedia
Empedu Semua Tersedia
Kencing Semua Tersedia
Isi lambung Semua Tersedia
surat tanda terima, kemudian menyimpan sampel/spesimen dalam lemari pendingin freezer dan
menguncinya sampai analisis dilakukan. Prosedur ini dilakukan bertujuan untuk memberikan
rantai perlindungan/pengamanan spesimen (chain of custody).
Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel adalah: jenis
dan sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan analisis. Dengan demikian
akan dapat merancang atau memilih metode penanganan sampel, jumlah sampel yang akan
digunakan, serta memilih metode analisis yang tepat. Penanganan sampel perlu mendapat
perhatian khusus, karena sebagian besar sampel adalah materi biologis, sehingga sedapat
mungkin mencegah terjadinya penguraian dari analit. Pemilihan metode ekstraksi ditentukan
juga oleh analisis yang akan dilakukan, misal pada uji penapisan sering dilakukan ekstraksi satu
tahap, dimana pada tahap ini diharapkan semua analit dapat terekstraksi. Bahkan pada uji
penapisan menggunakan teknik immunoassay sampel tidak perlu diekstraksi dengan pelarut
tertentu. Sampel urin pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan dengan
menggunakan teknik immunoassay. Namun tidak jarang harus mendapatkan perlakuan awal,
seperti pengaturan pH dan sentrifugasi, guna menghilangkan kekeruhan.
Pemisahan sel darah dan serum sangat diperlukan pada persiapan sebelum dilakukan uji
penapisan
pada darah. Serum pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan
menggunakan teknik immunoassay. Tidak jarang sampel darah, yang diterima sudah mengalami
hemolisis atau menggupal, dalam hal ini darah dilarutkan dengan metanol, dan kemudian
disentrifugasi, sepernatannya dapat langsung dilakukan uji penapisan menggunakan teknik
immunoassay.
Ekstraksi satu tahap sangat diperlukan apabila uji penapisan tidak menggunakan teknik
immunoassay, misal menggunakan kromatografi lapis tipis dengan reaksi penampak bercak
tertentu. Atau juga ekstraksi bertingkat metode Stas-Otto-Gang untuk melalukan pemisahan
analit berdasarkan sifat asam-basanya.
Metode ekstraksi dapat berupa ekstraksi cair-cair, menggunakan dua pelarut yang
terpisah,atau ekstraksi cair-padat. Prinsip dasar dari pemisahan ekstraksi cair-cair berdasarkan
koefisien partisi dari analit pada kedua pelarut atau berdasarkan kelarutan analit pada kedua
pelarut tersebut. Pada ekstraksi cair-padat analit dilewatkan pada kolom yang berisi adsorben
fase kemudian dielusi dengan pelarut tertentu, biasanya diikuti dengan modifikasi pH pelarut.
Penyiapan sampel yang baik sangat diperlukan pada uji pemastian identifikasi dan
kuantifikasi, terutama pada teknik kromatografi. Karena pada umumnya materi biologik
merupakan materik yang komplek, yang terdiri dari berbagai campuran baik senyawa endogen
maupun senyawa eksogen xenobiotika. Penyiapan sampel umumnya meliputi hidrolisis,
ekstraski, dan pemurnian analit. Prosedur ini haruslah mempunyai efesiensi dan selektifitas yang
tinggi. Perolehan kembali yang tinggi pada ekstraksi adalah sangat penting untuk menyari semua
analit, sedangkan selektifitas yang tinggi diperlukan untuk menjamin pengotor atau senyawa
penggangu terpisahkan dari analit.
Pada analisis menggunakan GC/MS, penyiapan sampel termasuk derivatisasi analit secara
kimia, seperi salilisasi, metilisasi, dll. Derivatisasi ini pada umumnya bertujuan untuk
meningkatkan volatilitas analit atau meningkatkan kepekaan analisis.
2. Analisis meliputi :
a. Uji penapisan screening test atau dikenal juga dengan general unknown test
Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit) dalam sampel.
Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia maupun efek
farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika secara umum dalam uji
penapisan dikelompokkan menjadigolongan opiat, kokain, kannabinoid, turunan
amfetamin, turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-siklik, turunan
asam barbiturat, turunan metadon. Pengelompokan ini berdasarkan struktur inti
molekulnya.
Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan derajat
reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya relatif cepat.
Terdapat teknik uji penapisan yaitu:
a. Kromatografi lapis tipis (KLT) yang dikombinasikan dengan reaksi warna
KLT relatif lebih murah, namun dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang
relative lebih lama.
b. Teknik immunoassay
umumnya memiliki sifat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, serta dalam
pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif singkat, namun alat dan bahan dari
teknik ini semuanya harus diimpor, sehingga teknik inimenjadi relatif tidak murah.
b. Uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan kuantifikasi
Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan kadarnya.
Konfirmatori test paling sedikit sesensitif dengan uji penapisan, namun haruslebih
spesifik. Umumnya uji pemastian menggunakan teknik kromatografi yang dikombinasi
dengan teknik detektor lainnya, seperti: kromatografigas - spektrofotometri massa (GCMS), kromatograficair kenerja tinggi (HPLC) dengan diode-arraydetektor, kromatografi
cair - spektrofotometri massa (LC-MS), KLT, Spektrofotodensitometri, dan teknik
lainnya. Meningkatnya derajat spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan
mengenali identitas analit, sehingga dapat menentukan secara spesifik toksikan yang ada
(Gelgel, 2008).
Metode Kalibrasi dan Validasi
Ketika melakukan analisis, harus berisi jumlah kalibrator dan kontrol yang cukup,
jumlah tergantung pada ukuran batch dan sifat dari tes. Ketika analisis sedang dilakukan
pada spesimen yang tidak biasa (jaringan terurai, vitreous cairan, dll), kalibrator matrikscocok t harus tepat, bila memungkinkan, bersiaplah dan diuji bersamaan dengan
spesimen. Untuk immunoassay, laboratorium minimal harus dapat menunjukkan bahwa
kalibrator kosong atau negatif ditambah dua standar deviasi tidak tumpang tindih dengan
cut-off atau
deteksi (LOD) dengan menentukan nilai rata-rata untuk kosong dan menambahkan tiga
standar deviasi untuk ini. Nilai (LOD = Xm + 3SD).
pengenceran substansi yang diuji dan untuk tes berbasis kromatografi, liberal
menggunakan pelarut "kosong" untuk menunjukkan kurangnya carryover.
3. Interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis.
Temuan analisis sendiri tidak mempunyai makna yang berarti jika tidak dijelaskan makna
dari temuan tersebut. Seorang toksikolog forensik berkewajiban menerjemahkan temuan
tersebut berdasarkan kepakarannya ke dalam suatu kalimat atau laporan yang dapat
menjelaskan atau mampu menjawab pertanyaan yang muncul berkaitan dengan
permasalahan/kasus yang dituduhkan. Terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh
toksikolog forensik dalam melakukan analisis :
a. Senyawa apa yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut ?
b. Berapa besar dosisnya?
c. Efek apa yang ditimbulkan?
d. Kapan tubuh korban terpapar oleh senyawa tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terungkap dari hasil analisis toksikologi dan didukung
oleh
penguasaan
ilmu
pendukung
lainnya
seperti
farmakologi
dan
toksikologi,
pemeriksaan) yang akan diserahkan kembali ke polisi penyidik. Berkas berita acara
pemeriksaan ini dikenal dengan keterangan ahli.
Pelaporan Hasil :
1. Rekomendasi umum
Rekomendasi umum terdiri dari :
1) nama dan / atau nomor identifikasi
2) Nomor identifikasi laboratorium
3) nama mengirimkan lembaga atau individu
4) Badan mengirimkan
5) tanggal disampaikan
6) tanggal laporan
7) spesimen diuji
8) hasil tes
Laboratorium harus memiliki panduan keselamatan yang membahas minimal hal-hal berikut:
Spesimen penanganan, termasuk penanganan bahan infeksius dan pembuangan specimen
biologi.
Penanganan dan pembuangan pelarut, pereaksi, dan bahan kimia lainnya di laboratorium .
Penanganan dan pembuangan bahan-bahan radioaktif yang digunakan di laboratorium
Penanganan dan pembuangan gelas laboratorium
Tanggapan terhadap cedera pribadi dan tumpahan spesimen biologi, kimia, pelarut,
BAB III
KESIMPULAN
1. Terdapat dua pedomaan laboratorium toksikolog forensic yaitu, post-mortem toksikologi
forensik dan kinerja toksikologi forensik pada manusia.
2. Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan
biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh.
3. Langkah-langkah analisis toksikologi forensik meliputi :
Penyiapan sampel sample preparation.
Analisis
Interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis.
DAFTAR PUSTAKA
Gelgel, Agus.2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interprestasi Temuan Analisis. Indonesian
Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):47-55. 24 Juli 2014.
Graham R. Jones, Ph.D. (Chair), W. Lee Hearn, Ph.D., H. Horton McCurdy, Ph.D. and J. Rod
McCutcheon, B.S. 1997. SOFT/AAFS Laboratory Guidelines Committee.