Anda di halaman 1dari 45

PENGAUDITAN I

“Materialitas dan Risiko Audit”

Oleh Kelompok 7 :

Ni Kadek Nadia Putri Padmayuni (1607532082)


Cokorda Istri Agung Evita Nindia Putri (1607532090)
Ni Made Harista Dwi Anggreni (1607532099)

Program Non Reguler


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
2018
PENDAHULUAN

Alinea tanggungjawab auditor dalam laporan auditor independen berisi dua frasa (dicetak
miring di bawah ini) yang berkaitan langsung dengan materialitas dan risiko.
 Tanggungjawab kami adalah untuk menyatakan suatu opini atas laporan keuangan
tersebut berdasarkan audit kami. Kami melaksanakan audit berdasarkan Standar
Perikatan Audit. Standar tersebut mengharuskan kami untuk mematuhi ketentuan etika
serta merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai
bahwa laporan keuangan bebas dari kesalahan penyajian material.
Frasa memperoleh keyakinan memadai dimaksudkan untuk memberi informasi kepada
pengguna laporan audit bahwa auditor tidak menjamin kelayakan penyajian laporan keuangan.
Ada sejumlah risiko bahwa laporan keuangan tidak disajikan secara layak, walaupun auditor
memberi pendapat wajar tanpa pengecualian.
Frasa bebas dari kesalahan penyafian material dimaksudkan untuk memberi informasi
kepada pengguna laporan audit bahwa tanggungjawab auditor terbatas pada informasi
keuangan yang material saja. Materialitas penting artinya karena tidaklah praktis bagi auditor
untuk memberikan jaminan atas jumlah-jumlah yang tidak material.
Materialitas dan risiko adalah dua hal yang fundamental dalam perencanaan audit dan
merancang suatu strategi audit. Pada bab ini akan ditunjukkan bagaimana peran kedua konsep
tersebut dalam perencanaan audit.

MATERIALITAS

MATERIALITAS DALAM KONTEKS AUDIT


Kerangka pelaporan keuangan seringkali membahas materialitas dalam konteks penyusunan
dan penyajian laporan keuangan. Kerangka tersebut secara umum menjelaskan bahwa:
 Kesalahan penyaiian, termasuk penghilangan. Dianggap material bila kesalahan
penyajian tersebut, secara individual atau agregat, diperkirakan dapat mempengaruhi
keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan laporan keuangan oleh pengguna laporan
keuangan tersebut.
 Pertimbangan tentang materialitas dibuat dengan memperhitungkan berbagai kondisi
yang melingkupinya dan dipengaruhi oleh ukuran atau sifat kesalahan penyajian, atau
kombinasi keduanya; dan
 Pertimbangan tentang hal-hal yang material bagi pengguna laporan keuangan
didasarkan pada pertimbangan kebutuhan informasi keuangan yang umum diperlukan
oleh pengguna laporan keuangan sebagai suatu grup. Kemungkinan dampak kesalahan
penyajian terhadap pengguna laporan keuangan individual tertentu, yang kebutuhannya
beragam, tidak dipertimbangkan.

Pembahasan di atas jika ada dalam kerangka pelaporan keuangan yang berlaku,
menyediakan kerangka acuan bagi auditor dalam menentukan materialitas untuk audit. Jika
kerangka pelaporan keuangan yang berlaku tidak mencakup pembahasan tentang konsep
materialitas, maka karakteristik-karakteristik seperti diuraikan di atas dapat dijadikan sebagai
kerangka acuan bagi auditor dalam menentukan materialitas.
Konsep materialitas diterapkan oleh auditor pada tahap perencanaan dan pelaksanaan
audit, serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang teridentifikasi dalam
audit dan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi, jika ada. Terhadap laporan keuangan dan
pada saat merumuskan opini dalam laporan auditor.
Penentuan materialitas oleh auditor membutuhkan pertimbangan profesional, dan
dipengaruhi oleh persepsi auditor tentang informasi keuangan oleh para pengguna laporan
keuangan. Dalam konteks ini, adalah masuk akal bagi auditor untuk mengasumsikan bahwa
pengguna laporan keuangan :
a. Memiliki suatu pengetahuan memadai tentang aktivitas bisnis ekonomi serta akuntansi
dan kemauan untuk mempelajari yang ada dalam laporan keuangan dengan cermat,
b. Memahami bahwa laporan keuangan disusun; disajikan dan diaudit berdasarkan tingkat
materialitas tertentu;
c. Mengakui adanya ketidakpastian bawaan dalam pengukuran suatu jumlah yang
ditentukan berdasarkan penggunaan estimasi; pertimbangan dan pertimbangan masa
depan; dan
d. Membuat keputusan ekonomi yang masuk akal berdasarkan informasi dalam laporan
keuangan.

TAHAPAN DALAM PENERAPAN MATERIALITAS


Konsep materialitas diterapkan oleh auditor pada tahap perencanaan dan pelaksanaan audit,
serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang teridentifikasi dalam audit dan
kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi; jika ada, terhadap laporan keuangan dan pada saat
merumuskan opini dalam laporan auditor. Sebagaimana ditetapkan dalam standar audit (SA
320. Al) "Materialitas dan risiko audit perlu dipertimbangkan sepanjang pelaksanaan audit ,
khususnya pada saat:
(a) Mengidentifikasi dan menilai kesalahan penyajian material:
(b) Menentukan sifat, saat; dan luas prosedur audit selanjutnya; dan
(c) Mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi; jika ada; terhadap
laporan keuangan dan daiam merumuskan opini dalam laporan auditor
Auditor biasanya melakukan lima langkah dalam menerapkan materialitas seperti nampak
pada Gambar 7-1 di halaman berikut ini.

MATERIALITAS UNTUK LAPORAN KEUANGAN SECARA


KESELURUHAN

Standar auditing (SA 320.10) menyatakan bahwa "pada saat menetapkan strategi audit secara
keseluruhan, auditor harus menentukan materialitas untük laporan keuangan secara
keseluruhan". Hal ini disebut pertimbangan awal materialitas. Disebut demikian karena
meskipun opini ditetapkan secara profesional, namun hal itu bisa berubah ketika pengauditan
sedang berlangsung. Kebijakan awal ini harus didokumentasikan dalam file audit.

Tahap Menetapkan materialitas untuk laporan keuangan secara


1 keseluruhan

Merencanakan
luas pengujian
Tahap Menentukan materialitas pelaksanaan
2

Tahap Memperkirakan total kesalahan penyajian dalam segmen


3

Tahap Memperkecil keseluruhan kesalahan penyajian Mengevaluasi


4
hasil

Tahap Membandingkan taksiran keseluruhan dengan kebijakan awal


5 materialitas
Pertimbangan awal materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan (Tahap I
dalam Gambar 7-1 di atas) adalah jumlah maksimum yang di atas jumlah tersebut diyakini oleh
auditor akan membuat laporan keuangan menngandung kesalahan penyajian dan masih tidak
mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pengguna laporan (secara konseptual
ini adalah suatu jumlah yang Rp 1 lebih kecil daripada materialitas sebagaimana dirumuskan
dalam SA 320.2 yang telah disebutkan di atas).
Jika dalam kondisi spesifik entitas, terdapat satu atau lebih golongan transaksi, saldo
akun, atau pengungkapan tertentu yang mengandung kesalahan penyajian yang jumlahnya
lebih rendah daripada materialitas laporan keuangan secara keseluruhan diperkirakan secara
masuk akal akan mempengaruhi keputusan ekonomi yang dibuat oleh para pengguna
berdasarkan laporan keuangan tersebut, maka auditor harus menetapkan materialitas yang akan
diterapkan terhadap golongan transaksi, saldo akun atau pengungkapan tenentu tersebut.
Auditor menetapkan pertimbangan awal materialitas untuk membantu dalam
perencanaan pengumpulan bukti yang tepat. Semakin rendah jumlah rupiah pertimbangan
awal, semakin banyak bukti yang diperlukan. Berapakah jumlah keseluruhan kesalahan
penyajian yang akan berpengaruh pada pengguna laporan keuangan? Apakah kita yakin bahwa
Rp 1.000.000,00 kesalahan penyajian akan mempengaruhi keputusan yang akan diambil
pengguna laporan? Bila demikian, jumlah bukti yang diperlukan mungkin akan sedemikian
banyak sehingga berpengaruh pada honorarium audit yang nampaknya akan berada di luar
kemampuan perusahaan untuk membayamya. Atau mungkin kita berpendapat bahwa Rp
1.000.000.000,00 kesalahan penyajian dipandang material? Tidak ada jawaban yang pasti
tentang hal ini. Pengalaman auditor akan sangat berpengaruh pada penentuan jumlah yang
dipandang material sesuai dengan keadaan yang dihadapi.
Selama audit berlangsung, auditor sering mengubah kebijakan awal materialitas. Hal
ini kita sebut kebijakan tentang materialitas revisian. Auditor perlu melakukan revisi karena
adanya perubahan dalam salah satu faktor yang digunakan dalam menetapkan kebijakan awal;
dan hal itu berpengaruh terhadap kebijakan awal yang diputuskan auditor yang bisa menjadi
terlalu besar atau terlalu kecil. Standar auditing (SA 320.12) menyatakan bahwa auditor harus
merevisi materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan (dan, jika berlaku,
materialitas untuk golongan transaksi, saldo akun atau pengungkapan tertentu) pada saat
auditor menyadari adanya informasi selama audit yang mungkin saja menyebabkan auditor
menentukan jumlah materialitas yang berbeda dari jumlah materialitas yang pertama kali
ditetapkan. Sebagai contoh, kebijakan awal materialitas sering ditetapkan sebelum akhir tahun
buku yang didasarkan pada laporan keuangan tahun lalu atau informasi dari laporan keuangan
interim. Kebijakan yang telah dibuat auditor perlu dievaluasi kembali setelah laporan keuangan
selesai disusun oleh klien. Mungkin keadaan tertentu pada perusahaan klien telah berubah
karena adanya kejadian-kejadian kualitatif, seperti misalnya telah terjadi penerbitan utang baru
yang telah memunculkan kelompok baru pengguna laporan keuangan.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEBIJAKAN AWAL


MATERIALITAS
Faktor yang berpengaruh pada kebijakan awal materialitas yang ditetapkan auditor untuk
laporan keuangan yang akan diauditnya. Beberapa faktor terpenting adalah:

Konsep Materialitas adalah Relatif, Bukan Absolut


Sejumlah kesalahan penyajian bisa material bagi sebuah perusahaan kecil, tetapi jumlah sekian
tidak material bagi perusahaan lain yang lebih besar. Oleh karena itu, tidaklah mungkin untuk
membuat suatu pedoman jumlah rupiah untuk menetapkan kebijakan awal materialitas yang
akan berlaku umum bagi semua klien audit.
Sebagai contoh, total kesalahan penyajian sebesar Rp 1.000.000.000,00 akan dipandang sangat
material bagi perusahaan X yang memiliki total aset sebesar Rp60.000.000.000,00 dan laba
bersih kurang dari Rp5.000.000.000,00. Jumlah yang sama tidak dipandang material bagi
perusahaan multinasional Y yang memiliki laba bersih puluhan trilyun rupiah.

Diperlukan Dasar Tertentu untuk Mengevaluasi Materialitas


Mengingat bahwa materialitas bersifat relatif, maka diperlukan suatu dasar untuk menetapkan
apakah kesalahan penyajian dipandang material. Laba bersih sebelum pajak sering digunakan
sebagai dasar utama untuk menentukan apa yang material bagi perusahaan yang berorientasi
laba, karena laba bersih sebelum pajak merupakan hal yang penting bagi para pengguna
laporan. Beberapa kantor akuntan menggunakan lebih dari satu dasar untuk menilai
materialitas, karena laba bersih sering berfluktuasi secara signifikan dari tahun ke tahun
sehingga tidak merupakan dasar yang stabil, atau apabila klien bukan merupakan perusahaan
berorientasi mencari laba. Dasar Iain yang lazim digunakan adalah penjualan bersih, laba kotor,
atau total aset. Setelah menetapkan dasar utama, auditor harus menetapkan juga apakah
kesalahan penyajian bisa secara material mempengaruhi kewajaran dasar yang lain seperti
misalnya, aset lancet, aset tetap, kewajiban lancar, ekuitas pemilik. Standar auditing
mewajibkan auditor untuk mendokumentasikan dasar yang digunakan untuk menetapkan
kebijakan awal materialitas dalam kertas kerja audit.
Sebagai contoh, untuk suatu perusahaan tertentu, auditor menetapkan bahwa suatu kesalahan
penyajian dari laba sebelum paiak yang besarnya Rp10.000.000,00 atau lebih dipandang
material, tetapi yang disyaratkan, maka pengklasifikaslan utang menjadi utang lancar dan utang
jangka panjang akan terpengaruh secara material.
 Kesalahan penyajian yang kelihatannya tidak material, bisa menjadi material apabila
kesalahan penyajian tersebut memengaruhi tren laba.
Sebagai contoh. apabila laba bersih selama 5 tahun telah meningkat 3 persen per tahun,
tetapi laba tahun ini turun dengan 1 persen, maka perubahan tersebut bisa menjadi
material. Demiklan pula, kesalahan penyajian yang sebetulnya mengakibatkan rugi
tetapi dilaporkan sehingga menjadi laba perlu menjadi perhatian auditor.

PENGGUNAAN TOLOK UKUR DALAM MENENTUKAN MATERIALITAS UNTUK


LAPORAN KEUANGAN SECARA KESELURUHAN
Penentuan materialitas membutuhkan penggunaan pertimbangan profesional Sebagai langkah
awal dalam menentukan matenalitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan. persentase
tertentu seringkali dterapkan pada suatu tolok ukur yanq telah dipilih. Faktor-faktor yang
memengaruhi proses identifikasi suatu tolok ukur yang tepat mencakup:
 Unsur-unsur laporan keuangan (sebagai contoh, aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan,
beban);
 Apakah terdapat unsur-unsur yang menjadi perhatian khusus para pengguna laporan
keuangan suatu entitas tertentu (sebagai contoh, untuk tujuan pengevaluasian kinerja
keuangan, pengguna laporan keuangan cenderung akan fokus pada laba, pendapatan
maupun aset bersih);
 Sifat entitas, posisi entitas dalam siklus hidupnya, dan industri serta lingkungan
ekonomi yang di dalamnya entitas tersebut beroperasi.
 Struktur kepemilikan dan pendanaan entitas (sebagai contoh, jika pendanaan sebuah
entitas hanya dari utang dan bukan dari ekuitas, maka pengguna laporan keuangan akan
lebih menekankan pada aset dan klaim atas aset tersebut daripada pendapatan entitas);
dan
 Fluktuasi relatif tolok ukur tersebut.
Untuk aset lancar, kesalahan penyajian dipandang material bila berjumlah Rp25.000.000,00
atau lebih. Dalam situasi demikian, tidaklah tepat bagi auditor untuk menggunakan kebijakan
awal materialitas sebesar Rp25.000.000,00 untuk laba sebelum pajak dan sekaligus juga untuk
aset lancar. Auditor harus merenca, akan untuk menemukan semua kesalahan penyajian yang
berpengaruh terhadap laba bersih sebelum pajak yang lebih besar dari kebijakan awal tentang
materilitas (lebih besar dari Rp10.000.000,00). Mengingat bahwa hampir semua kesalahan
penyajian berpengaruh baik terhadap laba bersih maupun terhadap neraca, maka auditor
menggunakan tingkat materialitas awal utama sebesar Rp 10.000.000,00 untuk sebagian besar
pengujian yang akan dilakukan. Kesalahan penyajian lain yang akan mempengaruhi aset lancar
adalah kesalahan klasifikasi dalam akun-akun neraca, seperti misalnya salah
mengklasifikasikan aset jangka panjang menjadi aset lancar. Oleh karena itu, selain membuat
kebijakan awal materialitas utama sebesar Rp10.000.000,00, auditor juga perlu merencanakan
audit dengan kebijakan awal untuk materialitas sebesar Rp25.000.000,00 untuk salah
klasifikasi dalam aset lancar.

Faktor Kualitatif Juga Mempengaruhi Materialitas


Jenis-jenis kesalahan penyajian tertentu seringkali lebih berpengaruh terhadap pengguna
laporan keuangan daripada lainnya, walaupun jumlah rupiahnya sama. Sebagai contoh:
 Kesalahan penyajian yang menyangkut kecurangan (fraud) dipandang lebih serius
daripada kekeliruan tidak disengaja walaupun jumlah rupiahnya sama, karena
kecurangan mencerminkan ketidakjujuran dan keandalan manajemen atau orang-orang
lain yang terlibat. Sebagai contoh, sebagian besar pengguna laporan keuangan
memandang kesalahan penyajian disengaja atas persediaan adalah lebih penting dari
pada kekeliruan penulisan persediaan yang tidak disengaja, walaupun jumlah rupiahnya
sama.
 Kesalahan penyajian yang jumlah rupiahnya kecil bisa menjadi material apabila terkait
dengan kewajiban kontraktual. Sebagai contoh, misalkan modal kerja bersih yang
tercantum dalam laporan keuangan beberapa puluh ribu rupiah di atas jumlah minimum
yang disyaratkan dalam perjanjian utang. Apabila modal kerja bersih yang benar lebih
kecil dari jumlah minimum

CONTOH PEDOMAN PENENTUAN MATERIALITAS


Standar akuntansi dan standar auditing tidak memberikan pedoman khusus tentang materialitas
bagi para praktisi. Hal tersebut disebabkan karena ada kekhawatiran bahwa pedoman tersebut
akan diterapkan tanpa mempertimbangkan berbagai kompleksitas yang akan mempengaruhi
keputusan akhir auditor. Pedoman datam bentuk pedoman kebijakan suatu kantor akuntan
dapat dilihat pada Gambar 7-2 berikut ini

Kantor Akuntan Publik


"Drs. Santosa & Rekan"
PERNYATAAN KEBIJAKAN
Judul: Pedoman Materialitas

Kebijakan profesional harus digunakan setiap saat dalam menetapkan dan menerapkan
pedoman materilitas di bawah ini. Sebagai pedoman umum, kebijakan umum di bawah ini
dapat diterapkan:
1. Total keseluruhan kesalahan penyajian dalam laporan keuangan di atas 6 persen
biasanya dipandang material. Total keseluruhan kesalahan penyajian di bawah 3 persen
dipandang tidak material apabila tidak ada faktor-faktor kualitatif. Total keseluruhan
kesalahan penyajian antara 3 persen dan 6 persen Iebih membutuhkan kebijakan
profesional untuk menentukan materialitasnya.
2. 3 persen sampai 6 persen harus diukur dalam kaitannya dengan dasar yang tepat.
Kerapkali harus digunakan lebih dari satu dasar untuk diperbandingkan. Pedoman di
bawah ini dapat digunakan untuk memilih dasar yang tepat:
a. Laporan laba-rugi. Total kesalahan penyajian dalam laporan laba-rugi sebesar 3
persen sampai 6 persen biasanya harus diukur dari laba operasi sebelum pajak.
Pedoman 3 persen sampai 6 persen bisa tidak tepat apabila diterapkan pada suatu
tahun yang labanya luar biasa besar atau luar biasa kecil. Apabila laba operasi pada
suatu tahun dipandang tidak representatif, disarankan untuk menggantinya dengan
ukuran laba yang lebih representatif. Sebagai contoh, misalnya laba operasi rata-
rata selama 3 tahun terakhir bisa digunakan sebagai dasar.
b. Neraca. Total kesalahan penyajian dalam neraca biasanya harus dievaluasi untuk
aset lancar, kewajiban lancar, dan total aset. Untuk aset lancar dan kewajiban
lancar, pedoman 3 persen dan 6 persen, harus diterapkan dengan cara yang sama
seperti halnva untuk laporan laba-rugi. Untuk total aset, pedomannya adalah antara
1 persen dan 3 persen yang diterapkan dengan cara yang sama seperti halnya untuk
laporan laba-rugi.
3. Pada setiap audit, faktor kualitatif harus dievaluasi dengan cermat. Dalam banyak hal.
faktor kualitatif lebih penting daripada pedoman yang diterapkan pada laporan laba-
rugi dan neraca. Penggunaan laporan keuangan dan sifat informasi dalam laporan, harus
dievaiuasi dengan cermat

PENERAPAN MATERIALITAS PADA PT ABC


Dengan menggunakan contoh pedoman pada Gambar 7-2, marilah kita terapkan pedoman
tersebut pada PT ABC. Penjabara,i pedoman akan menjadi sebagai berikut:
Kebijakan Awal Tentang Materialitas (Dibulatkan)
Minimum Maksimum
Persentase Jml. Rupiah Persentase Jml. Rupiah
Laba dari operasi 3 Rp 221.000 6 Rp 442.000
Aset lancar 3 1.531.000 6 3.062.000
Total asset 1 614.000 3 1.841.000
Kewajiban lancar 3 396.000 6 793.000
Apabila auditor yang mengaudit PT ABC berpendapat bahwa pedoman masuk akal.
maka tahap pertama yang harus dilakukannya adalah menilai apakah terdapat faktor kualitatif
yang signifikan mempengaruhi kebijakan materialitas. Seandainya tidak terdapat faktor
kualitatif, apabila pada akhir audit, auditor berkesimpulan bahwa total kesalahan penyajian
laba operasi sebelum pajak lebih kecil daripada Rp221.000,00 maka laporan akan dipandang
wajar. Apabila total kesalahan penyajian melebihi Rp442.000,00, maka laporan tidak akan
dipandang wajar. Apabila kesalahan penyajian berada di antara Rp221.000,00 dan
Rp442.000,00 diperlukan kebijakan lebih cermat atas semua fakta yang ada. Selanjutnya
auditor menerapkan proses yang sama untuk ketiga dasar yang lain.

MENENTUKAN MATERIALITAS PELAKSANAAN

Standar audiling (SA 320.9) merumuskan materialitas pelaksanaan sebagai berikut:


 Materialitas pelaksanaan (performance materiality) adalah suatu jumlah yang
ditetapkan oleh auditor, pada tingkat yang lebih rendah daripada materialitas untuk
laporan keuangan secara keseluruhan, untuk mengurangi ke tingkat rendah yang
semestinya kemungkinan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi dan yang tidak
terdeteksi yang secara agregat melebihi materialitas untuk laporan keuangan secara
keseluruhan. Jika berlaku, materialitas pelaksanaan dapat ditetapkan oleh auditor pada
jumlah yang lebih rendah daripada materialitas golongan transaksi, saldo akun atau
pengungkapan tertentu.
Penentuan materialitas pelaksanaan (tahap 2 dalam Gambar 7-1 di atas) diperlukan karena
auditor mengumpulkan bukti per segmen bukan untuk laporan keuangan secara keseluruhan,
dan tingkat materialitas pelaksanaan membantu nereka dalam menentukan bukti audit yang
tepat yang harus dikumpulkan. Materialitas pelaksanaan berhubungan terbalik dengan jumlah
bukti yang harus dikumpulkan auditor. Sebagai contoh, untuk suatu piutang usaha bersaldo
Rp1.000.000,00, auditor harus mengumpulkan bukti yang lebih banyak apabila kesalahan
penyajian sebesar Rp50.000,00 dipandang material, daripada apabila kesalahan penyajian
sebesar Rp300.000,00 dipandang material. Namun demikian, apabila auditor menerapkan
tingkat materialitas yang sama pada setiap segmen dari suatu audit yang diterapkan atas laporan
keuangan secara keseluruhan, ada kemungkinan terdapat kesalahan penyajian tidak
teridentifikasi yang melebihi materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan.
Materialitas pelaksanaan bisa berbeda-beda untuk golongan transaksi, saldo akun, atau
pengungkapan yang berbeda terutama bila terdapat fokus pada suatu bidang tertentu. Sebagai
contoh, pengguna laporan keuangan mungkin mengharapkan adanya pengungkapan tentang
transaksi dengan pihak yang berelasi yang melibatkan CEO, atau harga beli perusahaan yang
baru dimiliki yang lebih tepat, dan oleh karenanya auditor perlu menetapkan tingkat
materialitas yang lebih rendah untuk bidang ini.
Penentuan materialitas pelaksanaan bukan merupakan suatu perhitungan mekanis yang
sederhana dan membutuhkan adanya pertimbangan profesional. Penentuan ini dipengaruhi
oleh pemahaman auditor atas entitas, yang dimutahirkan selama pelaksanaan prosedur
penilaian risiko; dan sitat serta luasnya kesalahan penyajian yang terdeteksi dalam audit
sebelumnya serta harapan auditor berkaitan dengan kesalahan penyajian dalam periode
berjalan.
Dalam pembahasan di bawah ini, proses penentuan materialitas pelaksanaan disebut
sebagai proses pengalokasian pertimbangan awal tentang materialitas ke segmen-segmen.
Banyak praktisi mengalokasikan materialitas ke akun-akun neraca dan bukannya ke akun-akun
laba-rugi, karena kebanyakan kesalahan penyajian rugi-laba memiliki dampak yang sama
terhadap neraca sebagai akibat pelaksanaan metoda akuntansi berpasangan. Sebagai contoh,
lebih saji sebesar Rp2.000.000,00 pada piutang usaha juga berdampak lebih saji
Rp2.000.000,00 pada penjualan. Tidaklah tepat mengalokasikan pertimbangan awal
materialitas pada akun-akun neraca dan sekaligus juga pada akun-akun laba rugi karena hal
tersebut mengakibatkan penghitungan ganda (double counting). Dengan demikian auditor
hanya akan mengalokasikan materialitas pada akun-akun neraca saja atau pada akun-akun laba-
rugi saja. Karena kebanyakan prosedur audit berfokus pada akun-akun neraca, maka
materialitas harus dialokasikan hanya pada akun-akun neraca.
Penentuan materialitas pelaksanaan didasarkan pada pertimbangan profesional dan
mencerminkan jumlah kesalahan penyajian yang diinginkan auditor dapat diterima pada suatu
segmen tertentu. Sebagai contoh, apabila dari total pertimbangan awal tentang materialitas
sebesar Rp2.000.000,00, auditor memutuskan untuk mengalokasikan Rp1.000.000,00 ke
piutang usaha, maka hal ini berarti bahwa auditor menginginkan untuk memandang piutang
usaha telah disajikan secara wajar apabila kesalahan penyajian piutang tidak lebih dari
Rpl.000.000,00. Angka inilah yang kita sebut dengan materialitas pelaksanaan.
Auditor menghadapi tiga masalah dalam mengalokasikan materialitas ke akun-akun
neraca:
1. Auditor menduga akun-akun tertentu memiliki lebih banyak kesalahan penyajian dari
pada lainnya.
2. Baik lebih saji maupun kurang saji harus dipertimbangkan.
3. Biaya audit terkait mempengaruhi pengalokasian.
Ketiga kesulitan di atas telah dpertimbangkan dalam pengalökasian pada Gambar 7-3 di bawah
ini. Perlu diingat bahwa pada akhir audit, auditor harus menggabungkan semua kesalahan
penyajian sesungguhnya dan taksiran kesalahan penyajian dan membandingkannya dengan
kebijakan awal materialitas. Dalam menentukan tingkat materialitas pelaksanaan, auditor
berusaha untuk melakukan audit seefisien mungkin.

CONTOH PENGALOKASIAN
Gambar 7-3 melukiskan pendekatan pengalokasian yang dilakukan oleh seorang auditor senior,
dalam pengauditan atas PT ABC. Gambar ini meringkas neraca, menggabungkan akun-akun
tertentu, dan menunjukkan pengalokasian total materialitas sejumlah Rp442.000,00 (6% dari
laba operasi). Dalam melakukan pengalokasian, auditor menggunakan pertimbangan tertentu
karena ada dua ketentuan yang ditetapkan oleh Kantor Akuntan "Santoso & Rekan", yaitu:
 Kesalahan penyajian untuk setiap akun tidak boleh lebih besar dari 60% dari kebijakan
awal (60% dari Rp442.000,00 Rp265.000,00, dibulatkan).
 Jumlah total seluruh kesalahan penyajian bisa ditoleransi tidak boleh lebih besar dari
dua kali kebijakan awal materialitas (2 x Rp442.000,00=Rp884.000,00)
Ketentuan pertama dimaksudkan agar auditor tidak mengalokasikan seluruh total kesalahan
penyajian ke satu akun. Misalkan apabila seluruh kebijakan awal kesalahan penyajian sebesar
Rp442.000,00 dialokasikan ke akun piutang usaha, maka hal itu tidak dapat diterima karena
tidak memberi kemungkinan adanya kesalahan penyajian pada akun yang lain. Ketentuan
kedua dibuat karena dua alasan, yaitu:
 Kecil kemungkinan bahwa seluruh akun akan berisi kesalahan penyajian sebesar
jumlah kesalahan penyajian yang bisa diterima. Sebagai contoh, apabila akun aset lain-
lain mendapat alokasi kesalahan penyajian bisa diterima sebesar Rp 100.000,00 tetapi
tidak
Gambar 7-3 tingkat materialitas pelaksana pada PT ABC
Saldo Materiaiitas
31-12-2013 Pelaksanaan
(Dalam Ribuan) (Dalam Ribuan)
Kas Rp 828 Rp 6 (a)
Piutang usaha (neto) 18.957 265 (b)
Persediaan 29.865 265 (b)
Aset lancar Iain 1.377 60 (c)
Aset tetap 10.340 48 (d)
Total aset Rp61367
Utang usaha Rp 4.720 108 (e)
Utang wesel — total 28.300 0(a)
Utang gaji dan utang P.Ph karyawan 1.470 60 (c)
Utang bunga dan utang dividen 2.050 0(a)
Utang Iain-Iain 2.364 72 (c)
Modal saham 8.500 0(a)
Laba ditahan 13.963 TBD(f)
Total kewajiban dan ekuitas Rp 828 Rp61.367 Rp884 (2 x Rp442)
Keterangan:
(a) Nol atau kesalahan penyajian bisa ditolerasi berjumlah kecil karena akun bisa
sepenuhnya diaudit dengan biaya rendah dan diperkirakan tidak terdapat kesalahan
penyajian.
(b) Kesalahan penyajian bisa ditolerasi berjumlah besar karena akun bersaldo besar dan
memerlukan sampling yang besar untuk mengaudit akun ini.
(c) Kesalahan penyajian berjumlah besar sebagai persentase dari saldo akun karena akun
dapat diperiksa dengan biaya yang sangat rendah, mungkin bisa digunakan prosedur analitis,
apabila kesalahan penyajian bisa ditoleransinya besar.
(d) Kesalahan penyajian bisa ditoleransi berjumlah kecil sebagai persentase dari saldo
akun, karena sebagian besar dari saldo berada dalam tanah dan bangunan yang tidak berubah
dibanding tahun lalu dan tidak perlu diaudit lagi pada tahun berikutnya.
(e) Kesalahan penyajian bisa ditoleransi agak besar (moderat) karena diperkirakan
mengandung kesalahan penyajian relatif banyak.
(f) Tidak bisa diterapkan—laba ditahan adalah akun sisa (residu) yang dipengaruhi oleh
jumlah bersih kesalahan penyajian dalam akun-akun Iainnya.

dijumpai kesalahan penyajian ketika audit sudah dilakukan terhadap akun-akun


tersebut. Hal ini berarti bahwa auditor bisa mengalokasikan kesalahan penyajian bisa
diterima sebesar nol atau sejumlah kecil kesalahan penyajian untuk akun aset lain-lain.
Dalam praktik sangat sering auditor menemukan kesalahan penyajian yang lebih kecil
dari jumlah kesalahan penyajian bisa diterima.
 Sejumlah akun mempunyai kemungkinan besar akan mengandung lebih saji, dan
sejumlah akun lain mempunyai kemungkinan besar untuk kurang saji, akibatnya jumlah
bersih-nya kemungkinan bisa lebih kecil dari kebijakan awal.
Dalam pengalokasian materialitas, auditor menaruh perhatian besar atas pengaruh
kesalahan penyajian tiap-tiap akun neraca terhadap laba operasi. Suatu lebih saji dari suatu
akun aset akan mempunyai pengaruh yang sama terhadap laporan laba-rugi, seperti halnya juga
suatu kurang saji dari akun kewajiban. Kebalikannya, suatu kesalahan pengklasifikasian dalam
neraca, seperti misalnya pengklasifikasian utang wesel menjadi utang usaha, tidak berpengaruh
terhadap laba operasi. Oleh karena itu materialitas suatu pos yang tidak berpengaruh terhadap
laporan laba-rugi harus dipertimbangkan secara terpisah.
Gambar 7-3 di atas juga memuat pertimbangan (dasar pikiran) yang digunakan auditor
dalam memutuskan kesalahan penyajian bisa ditoleransi untuk setiap akun. Sebagai contoh,
auditor memutuskan bahwa tidak perlu mengalokasikan kesalahan penyajian bisa ditoleransi
untuk utang wesel, walaupun saldo akun tersebut hampir sama besarnya dengan persediaan.
Seandainya ia mengalokasikan masing-masing Rp132.500,00 untuk kedua akun tersebut
(persediaan dan utang wesel), maka ini berarti diperlukan lebih banyak bukti untuk persediaan,
tetapi konfirmasi untuk saldo utang wesel masih tetap diperlukan. Oleh karena itu akan lebih
efisien apabila mengalokasikan Rp265.000,00 ke persediaan dan tidak mengalokasikan apapun
ke utang wesel. Demikian pula, auditor mengalokasikan Rp60.000,00 ke akun aset lain-lain
dan utang gaji dan utang P.Ph karyawan yang mendapat alokasi besar dibandingkan dengan
saldo akun-akun tersebut. Auditor melakukan hal tersebut karena dia yakin bahwa akun-akun
tersebut bisa diverifikasi dalam rentang Rp60.000,00 hanya dengan menggunakan proseur
analitis yang biayanya murah. Apabila kesalahan penyajian bisa ditoleransi ditetapkan rendah,
auditor harus menggunakan prosedur audit yang lebih mahal sepetti misalnya memeriksa
dokumen dan konfirmasi.
Dalam praktik, seringkali tidak mudah untuk memprediksi di muka mana yang paling
mungkin mengandung kesalahan penyajian, dan apakah kesalahan penyajiannya berupa lebih
saji atau kurang saji. Selain biaya audit untuk akun yang berbeda seringkali tidak bisa
ditentukan. Itulah sebabnya pengalokasian kebijakan awal matertalitas ke akun-akun
merupakan pertimbangan protesional yang sulit. Ini pula sebabnya, banyak kantor akuntan
yang membuat pedoman yang kaku dan metoda sophisticated untuk melaksanakannya.
Pedoman tersebut juga membantu memastikan auditor mendokumentasikan dengan baik
jumlah kesalahan penyajian bisa ditoleransi serta dasar yang digunakan untuk menentukan
jumlah tersebut dalam kertas kerja.
Sebagai kesimpulan, tujuan pengalokasian kebijakan awal materialitas ke akun-akun
neraca adalah untuk membantu auditor dalam rnenentukan bukti yang tepat yang harus
diperoleh untuk setiap akun dalam neraca dan laporan laba-rugi. Dalam pengalokasian
diupayakan untuk meminimalkan biaya audit tanpa mengorbankan kualitas audit.
Bagaimanapun pengalokasian dilakukan, ketika audit sudah selesai, auditor harus yakin bahwa
keseluruhan kesalahan penyajian dalam semua akun adalah lebih kecil atau sama dengan
kebijakan awal materialitas yang telah direvisi.

MEMPERKIRAKAN KESALAHAN PENYAJIAN DAN


MEMBANDINGKAN DENGAN KEBIJAKAN AWAL

Dua tahap pertama dalam penerapan materialitas berkaitan dengan perencanaan. Tiga tahapan
lainnya merupakan hasil dari pelaksanaan pengujian audit. Pada saat auditor melaksanakan
prosedur audit utnuk setiap segmen audit, auditor mendokumentasikan semua kesalahan
penyajian yang dikemukakannya. Kesalahan penyajian dalam suatu akun bisa terdiri dari dua
tipe, yaitu kesalahan penyajian diketahui (known misstatement) dan kesalahan penyajian
diperkirakan (likely misstatement). Kesalahan penyajian diketahui adalah kesalahan penyajian
dalam akun yang bisa ditentukan jumlahnya. Sebagai contoh, ketika audit aset tetap, auditor
menjumpai adanya leased aset yang dikapitalisasi, padahal seharusnya diperlakukan sebagai
beban karena merupakan operating aset. Ada dua tipe kesalahan penyajian dipekirakan.
Pertama adalah kesalahan penyajian yang timbul dari perbedaan pertimbangan yang dibuat
auditor dengan pertimbangan manajemen dalam menaksir saldo akun. Sebagai contoh adalah
perbedaan dalam menaksir cadangan kerugian piutang atau kewajiban garansi. Kedua adalah
proyeksi kesalahan penyajian yang didasarkan pada pengujian auditor atas suatu sampel dari
populasi.
Tabel 7-1 melukiskan tiga tahapan terakhir dalam menerapkan materialitas. Untuk
menyederhanakan dalam tabel ini hanya dicantumkan tiga buah akun.

Tabel 7-1 Contoh Perbandingan antara Perkiraan Total Kesalahan Penyajian dengan
Pertimbangan Awal Materialitas

Jumlah Perkiraan Kesalahan Penyajian


Materialitas Kesalahan Penyajian
Akun Kesalahan
Pelaksanaan Diketahui dan Total
Sampling
Proyeksi Langsung
Kas Rp 4.000 Rp 2.000 Rp TBD Rp 2.000
Piutang Usaha 20.000 12.000 6.000 18.000
Persediaan 36.000 31.500 15.750 47.250
Total Perkiraan Jumlah
Kesalahan Penyajian Rp 45.000 Rp 16.800 Rp 62.300

Kebijakan Awal Materialitas Rp 50.000


Keterangan :

TBD = Tidak bisa diterapkan

Kas diaudit 100%

Kesalahan penyajian dalam kas sebesar Rp 2.000 adalah kesalahan penyajian diketahui yang
berasal dari temuan auditor tentang biaya administrasi bank yang tidak dicatat klien. Berbeda
dengan kas, kesalahan penyajian untuk piutang usaha dan persediaan didasarkan pada sampel.
Auditor menghitung perkiraan kesalahan penyajian untuk piutang usaha dan persediaan dengan
menggunakan kesalahan penyajian diketahui yang terdeteksi dalam sampel tersebut. Untuk
memberi contoh perhitungan, misalkan dalam mengaudit persediaan, auditor menemukan lebih
saji (bersih) Rp 3.500 dalam suatu sampel yang besarnya Rp 50.000 dari total populasi Rp
450.000. Kesalahan penyajian Rp 3.500 adalah kesalahan penyajian diketahui. Untuk
menghitung taksiran perkiraan kesalahan penyajian untuk total populasi Rp 450.000, auditor
membuat proyeksi langsung dari kesalahan penyajian diketahui dari sampel ke populasi dan
menambahkan satu taksiran untuk kesalahan sampling. Perhitungan proyeksi langsung
taksiran kesalahan penyajian.

55555555
Kesalahan penyajian bersih dalam sampel (Rp 3.500) Total Nilai Populasi Proyeksi langsung taksiran
x =
Total sampel (Rp 50.000) (Rp 450.000) kesalahan penyajian (Rp31.500)

Estimasi untuk kesalahan sampling diperlukan karena auditor mengambil sampel hanya
sebagian dari populasi dan oleh karenanya ada risiko bahwa sampel tidak secara akurat
mencerminkan populasi.

Dalam menggabungkan kesalahan penyajian pada Table 7-1 diatas, terlihat bahwa kesalahan
penyajian yang diketahui dan proyeksi langsung taksiran kesalahan penyajian untuk ketiga
akun ditambahkan ke Rp 45.000. Namun demikian, total kesalahan sampel lebih kecil dari
jumlah kesalahan sampe individual. Hal ini disebabkan karena kesalahan sampel
mencerminkan kesalahan penyajian maksimum dalam akun yang detilnya tidak diaudit.
Rasanya mungkin bahwa jumlah kesalahan penyajian maksimum ini terdapat pada semua akun
yang diakibatkan oleh sampel.

Tabel 7-1 menunjukkan bahwa total estimasi taksiran kesalahan penyajian sebesar Rp 62.300
adalah lebih besar daripada kebijakan awal materialitas yang besarnya Rp 50.000. Bidang yang
paling sulit adalah persediaan dengan taksiran kesalahan penyajian Rp 47.250 yang jauh lebih
besar dari kesalahan penyajian bisa ditoleransi Rp36.000. Berhubung gabungan taksiran
kesalahan penyajian lebih besar dari kebijakan awal, maka laporan keuangan tidak dapat
diterima. Dalam situasi demikian, auditor dapat menentukkan apakah taksirah kesalahan
penyajian sungguh-sungguh melebihi Rp 50.000 dengan melaksanakan prosedur audit
tambahan, atau minta klien untuk melakukan penyesuaian untuk taksiran kesalahan penyajian.
Apabila auditor memutuskan untuk melakukan prosedur tambahan, mereka akan memusatkan
perhatian pada persediaan.

Apabila jumlah bersih taksiran kesalahan penyajian untuk persediaan mencapai Rp 28.000 (Rp
18.000 + Rp10.000) auditor mungkin tidak perlu memperluas pengujian audit karena
memenuhi pengujian kesalahan penyajian bisa ditoleransi (Rp 36.000) dan kebijakan awal
materialitas (Rp2.000+Rp 18.000 + Rp 28.000 = Rp 48.000 < Rp 50.000). Dalam situasi seperti
dilukiskan contoh ini, auditor sebenarnya memiliki kelebihan wkatu karena hasil dari prosedur
yang diterapkan terdapat kas dan piutang usaha menunjukkan bahwa kedua akun tersebut
berada dalam batas kesalahan penyajian bisa ditoleransi. Apabila pendekatan yang diterapkan
auditor dilakukan secara berurutan , maka temuan audit dari akun-akun yang telah diaudit lebih
dahulu akan bisa ditoleransi yang telah ditetapkan untuk akun-akun yang diaudit kemudian.
Dalam contoh diatas, apabila auditor telah mengaudit kas dan piutang usaha sebelum
persediaan, maka kesalhan penyajian bisa ditoleransi untuk persediaan bisa dinaikkan.

RISIKO AUDIT

Standar audit (SA 315) mewajibkan auditor untuk mendapatkan pemahaman tentang entitas
dan lingkungannya, termasuk pengendalian internal, untuk menetapkan risiko kesalahan
penyajian material dalam laporan keuangan klien. Dalam Bab 6 telah dijelaskan bagaimana
auditor mendapatkan pemahaman tentang bisnis dan bidang usaha klien untuk menelapkan
risiko bisnis klien dan risiko terjadinya kesalahan penyajian material.

Sebagaimana kita Iihat pada Bab 6, auditor menerima suatu tingkat risiko atau ketidakpastian
dalam pelaksanaan fungsi pengauditan. Sebagai contoh, auditor mengakui ketidakpastian
inheren tentang ketepatan bukti. ketidakpastian tentang etektlvitas pengendalian internal klien.
dan ketidakpastian tentang apakah laporan keuangan disajikan secara wajar, ketika audit telah
berakhir. Auditor yang efektif mengakui tentang adanya risiko dan mengeiola risiko tersebut
dengan cara yang tepat. Banyak risiko yang sulit diukur dan membutuhkan pertimbangan yang
cermat sebelum auditor dapat menanggulanginya dengan tepat. Tanggapan terhadap risiko-
risiko secara tepat adalah sesuatu yang kritikal untuk mencapai audit berkualitas tinggi.

MODEL RISIKO AUDIT UNTUK PERENCANAAN

Risiko kesalahan penyajian material didefinisikan dalam standar audit (SA 200.13. (n)) sebagai
: Risiko bahwa laporan keuangan mengandung kesalahan penyajian material sebelum audit
dlakukan. Risiko kesalahan penyajian material dapat terjadi di dua tingkat:

• Tingkat laporan keuangan secara keseluruhan; dan


• Tingkat asersi untuk golongan transaksi, saldo, akun, dan pengungkapan.
Risiko kesalahan penyajian material pada tingkat laporan keuangan secara keseluruhan
mengacu ke risiko kesalahan penyajian material yang berdampak luas (pervasif) terhadap
laporan keuangan secara keseluruhan dan berpotensi memengaruhi banyak asersi.

Risiko kesalahan penyajian material pada tingkat asersi dinilai untuk menentukan sifat,
saat, dan luas prosedur audit yang diperlukan untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan
tepat. Bukti audit tersebut memungkinkan auditor untuk menyatakan opini atas laporan
keuangan pada tingkat rendah yang dapat diterima. Risiko kesalahan material pada tingkat
asersi terdiri dari dua komponen, yaitu: risiko inheren dan risiko pengendalian.

Penilaian risiko auditor atas risiko kesalahan penyajian material pada tingkat asesi dapat
berubah selama pelaksanaan audit, sejalan dengan diperolehnya bukti audit tambahan. Dalam
kondisi ketika auditor memperoleh bukti audit dari prosedur audit lanjutan, atau ketika
intormasi baru diperoleh, yang kedua bukti tersebut tidak konsisten dengan bukti audit awal
yang menjadi dasar penilaian. auditor harus merevisi penilaian tersebut, dan oleh karena itu
memodifikasi prosedur audit lanjutan yang direncanakan sebelumnya.

Auditor menggunakan beberapa pendekatan untuk mencapai tujuan penilaian risiko kesalahan
penyajian material. Salah satu pendekatan yang banyak digunakan para auditor adalah dengan
menggunakan suatu model yang menggarnbarkan hubungan urnum berbagai komponen risiko
audit dalam istilah matematis untuk mencapai tingkat risiko deteksi yang dapat diterima yang
disebut model risiko audit. Model tersebut berguna untuk merencanakan prosedur audit. Dalam
prosedur perencanaan, auditor mernpertimbangkan risiko untuk mendapatkan bukti audit
terutama dengan menerapkan model risiko audit.

Dalam uraian di bawah ini akan diperkenalkan pengertian risiko audit dan selanjutnya akan
dibahas lebih mendalam pada bagian akhir bab. Anda perlu memiliki pemahaman yang
mendalam tentang model ini agar dapat menyusun perencanaan audit yang efektif.

Model risiko audit membantu auditor dalam menentukan berapa banyak dan jenis bukti apa
yang harus dikumpulkan pada setiap siklus. Model risiko audit biasanya dinyatakan sebagai
berikut.

AR = IR X CR X DR Keterangan:
AR = Risiko Audit
Atau
IR = Risiko Inheren
𝐀𝐑 CR = Risiko Pengendalian
𝑫𝑹 =
𝐈𝐑 𝐗 𝐂𝐑 DR = Risiko Deteksi
Gambar 7-4 di bawah ini melukiskan hubungan antara model risiko audit dengan pemahaman
tentang bisnis dan bidang usaha klien yang telah dibahas pada Bab 6. Auditor menggunakan
model risiko audit untuk selanjutnya mengidenifikasi potensi kesalahan penyajian material
dalam keseluruhan laporan keuangan dan saldo akun tertentu, pada golongan transaksi, dan
mengungkapkan dirnana kesalahan penyajian paling mungkin terjadi.
Gambar 7-4 Model Risiko Audit dan Pemahaman tentang Bisnis dan Bidang Usaha
Klien

Lingkungan Industri dan Eksternal

Operasi dan Proses Bisnis

Pemahaman Bisnis dan


Manajemen dan Tata Kelola
Bidang Usaha Klien

Tujuan dan Strategi

Pengukuran dan Kinerja

Menetapkan Risiko Bisnis


Klien

MODEL RISIKO AUDIT


𝑨𝑹
Menetapkan Rsiko Kesalahan 𝑫𝑹 =
𝑰𝑹 𝑿 𝑪𝑹
Penyajian Material

Risiko Risiko
Inheren (IR) Pengendalian
(CR)
ILUSTRASI TENTANG RISIKO DAN BUKTI

Sebelum membahas komponen-komponen risiko audit, perhatikanlah ilustrasi untuk sebuah


perusahaan hipotesis pada Tabel 7-2 di bawah ini.

Tabel 7-2 Ilustrasi Perbedaan Banyaknya Bukti Antar Siklus

Siklus
Penjualan Siklus Siklus Siklus Siklus Perolehan
dan Pembelian dan Penggajian dan Persediaan dan Modal dan
Penjualan Pembayaran Personalia Penggudangan Pengembaliannya
Piutang
Penilaian auditor Diduga Diduga terdapat Diduga terdapat Diduga terdapat Diduga terdapat
tentang ekspektasi terdapat banyak sedikit kesalahan banyak sedikit kesalahan
kesalahan penyajian sejumlah kesalahan penyajian kesalahan penyajian
A material sebelum kesalahan penyajian penyajian
mempertimbangkan penyajian
pengendalian internal
(risiko inheren) (medium) (tinggi) (rendah) (tinggi) (rendah)
Penilaian auditor
Efektivitas Efektivitas Efektivitas Efektivitas Efektivitas
tentang pengendalian
Medium tinggi tinggi rendah medium
internal untuk
B mencegah dan
mendeteksi kesalahan
penyajian material
(medium) (rendah) (rendah) (tinggi) (medium)
(risiko pengendalian)
Kesediaan auditor
Kesediaan Kesediaan Kesediaan Kesediaan Kesediaan
unuk mengijinkan
menerima menerima risiko menerima risiko menerima risiko menerima risiko
keberadaan salah saji
C risiko rendah rendah rendah rendah rendah
material setelah audi
selesai (risiko audit
(rendah) (rendah) (rendah) (rendah) (rendah)
diterima)
Banyaknya bukti audit
Tingkat Tingkat medium Tingkat rendah Tingkat tinggi Tingkat medium
yang direncanakan
medium
D akan dikumpulkan
auditor (risiko deteksi
(medium) (medium) (tinggi) (rendah) (medium)
direncanakan)
Penjelasan ilustrasi di atas :

• Baris pertama dalam tabel menunjukkan frekuensi dan besarnya taksiran kesalahan
penyajian daiam berbagai siklus (A). Dalam siklus penggajian dan personalia
diperkirakan tidak ada kesalahan penyajian, sebaliknya dalam siklus persediaan dan
penggudangan diperkirakan banyak kesalahan penyajian. Hal ini disebabkan karena
transaksi penggajian bersifat rutin, sedangkan pencatatan persediaan sangat kompleks.
• Pengendalian internal diyakini berbeda efektivitasnya dalam kelima siklus di atas (B).
Sebagai contoh, pengendalian internal pada penggajian dan personalian dinilai sangat
efektif, sedangkan pengendalian internal atas persediaan dan penggudangan dinilai
tidak efektif.
• Auditor menetapkan kesediaan menerima kesalahan penyajian material yang rendah
setelah audit selesai untuk kelima siklus di atas (C). Hal semacam ini lazim bagi auditor
untuk menetapkan kesediaan menerima risiko kesalahan penyajian yang rendah untuk
semua siklus setelah auditor menyelesaikan audit dan menerbitkan pendapat wajar
tanpa pengecualian.
• Pertimbangan-pertimbangan di atas (A, B, dan C) mempengaruhi keputusan auditor
tentang sifat, saat, dan banyaknya bukti yang akan dikumpulkan (D). Sebagai contoh,
karena auditor memperkirakan hanya terdapat sedikit kesalahan penyajian dalam
penggajian dan personalia (A) dan pengendalian internalnya efektif (B), auditor
merencanakan untuk mengumpulkan bukti yang lebih sedikit dibandingkan untuk
persediaan dan penggudangan.

Apabila dinyatakan dengan angka, ilustrasi seperti tertuang dalam Tabel 7-2 di atas untuk
siklus persediaan dan penggudangan dapat dinyatakan sebagai berikut:

IR = 100%

CR = 100%

AR = 5%

𝟎,𝟎𝟓
𝑫𝑹 = = 0,05 atau 5%
𝟏,𝟎 𝐗 𝟏,𝟎

Penilaian-penilaian dalam Tabel 7-2 tidak dalam bentuk angka. Meskipun model penilaian
risiko bisa dinyatakan secara kuantitatif maupun nonkuantitatif, namun kebanyakan kantor
akuntan lebih suka menggunakan model penilaian secara nonkuantitatif karena sulitnya
melakukan pengukuran risiko secara kuantitatif dengan tepat.

KOMPONEN-KOMPONEN MODEL RISIKO AUDIT

Pada bagian berikut bab ini akan dibahas tentang keempat risiko agar kita memperoleh
gambaran tentang risiko audit. Risiko audit (atau sering disebut risiko audit yang bisa diterima)
dan risiko inheren akan dibahas secara detil pada bagian akhir bab ini. Pembahasan tentang
risiko pengendalian dibahas secara khusus pada Bab 8.

RISIKO DETEKSI

Standar audit (SA 200. 13 (e)) mendefinisikan risiko deteksi sebagai berikut:

Risiko deteksi adalah risiko bahwa prosedur yang dilaksanakan oleh auditor untuk
menurunkan risiko audit ke tingkat rendah yang dapat diterima tidak akan mendeteksi
suatu kesalahan penyajian yang ada dan yang mungkin material, baik secara individual
maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya.

Dengan Iain perkataan, risiko deteksi adalah risiko yang timbul karena bukti audit tidak
berhasil mendeteksi kesaiahan penyajian yang melebihi kesalahan penyajian yang bisa
ditoleransi (atau disebut juga materialitas pelaksanaan). Ada dua hal yang perlu diketahui
tentang risiko deteksi (atau lebih tepat disebut risiko deteksi yang direncanakan). yaitu:

1. Risiko deteksi merupakan dependen dari tiga faktor lain yang tercakup dalam model.
Risiko ini akan berubah hanya apabila auditor mengubah salah satu (atau lebih) faktor
lain dalam model risiko.
2. Risiko deteksi menentukan jumlah bukti substantif yang direncanakan akan
dikumpulkan auditor yang berkebalikan dengan ukuran risiko deteksi. Apabila risiko
deteksi berkurang, auditor harus mengumpulkan bukti yang lebih banyak untuk
mencapai risiko deteksi yang telah berkurang tersebut. Sbg contoh,dalam Tabel 7-2,
risiko deteksi (D) untuk persediaan dan penggudangan adalah rendah, yang
menyebabkan bukti yang direncanakan menjadi tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada
siklus penggajian dan personalia.

Dalam contoh dengan angka di atas, risiko deteksi direncanakan (DR) adalah 0,05 yang berarti
auditor akan mengumpulkan bukti hingga risiko kesalahan penyajian melebihi kesalahan
penyajian ditoleransi berkurang sampai 5 persen. Apabila risiko pengendalian (CR) dimisalkan
0,50 (bukan 1,0), maka risiko deteksi direncanakan akan menjadi 0,10 dan oleh karenanya bukti
yang direncanakan dapat dikurangi.

RISIKO INHEREN

Standar audit (SA 200.13 (n)) mendefinisikan risiko inheren sebagai berikut:

Risiko inheren: Kerentanan suatu asersi tentang suatu golongan transaksi, saldo akun,
atau pengungkapan terhadap suatu kesalahan penyajian yang mungkin material, baik
secara individual maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan
penyajian lainnya, sebelum mempertimbangkan pengendalian internal yang terkait.

Dengan perkataan lain, risiko inheren adalah penilaian auditor mengenai kemungkinan adanya
kesalahan penyajian material yang disebabkan karena kekeliruan atau kecurangan sebelum
mempertimbangkan efektivitas pengendalian internal. Apabila auditor berkesimpulan bahwa
kemungkinan besar terdapat kesalahan penyajian, maka auditor akan berkesimpulan bahwa
risiko inherennya tinggi. Pada saat mempertimbangkan risiko inheren, pengendalian internal
kita kesampingkan karena dalam model risiko audit, pengendalian internal dipertimbangkan
tersendiri sebagai risiko pengendalian. Pada Tabel 7-2, risiko inheren (A) dinilai tinggi untuk
pembelian dan pembayaran dan untuk persediaan dan penggudangan, sedangkan untuk
penggajian dan personalia serta pendanaan dan pengembaliannya dinilai rendah. Penilaian
tersebut biasanya didasarkan atas hasil diskusi dengan manajemen, pengetahuan tentang
perusahaan, dan hasil audit tahun sebelumnya.

Risiko inheren berbanding terbalik dengan risiko deteksi dan berbanding lurus dengan bukti.
Risiko inheren untuk persediaan dan penggudangan pada Tabel 7-2 adalah tinggi, yang
mengakibatkan risiko deteksi lebih rendah dan dibutuhkan bukti yang lebih banyak
dibandingkan apabila risiko inherennya rendah. Hal ini akan kita bahas lebih detil di bagian
lain bab ini.

Risiko inheren yang tinggi, selain akan meningkatkan bukti yang harus dikumpulkan, juga
menuntut digunakannya staf audit yang lebih berpengalaman, dan review terhadap pengujian
audit lebih cermat. Sebagai contoh, apabila risiko inheren untuk keusangan persediaan sangat
tinggi, masuk diakal apabila auditor akan menugasi staf yang sudah berpengalaman untuk
melakukan pengujian lebih intensif terhadap keusangan persediaan dan melakukan review
yang mendalam terhadap hasil audit.
RISIKO PENGENDALIAN

Standar audit (SA 200.13 (n)) mendefinisikan risiko pengendalian sebagai berikut:

Risiko pengendalian: Risiko bahwa suatu kesalahan penyajian yang mungkin terjadi
dalam suatu asersi tentang suatu golongan transaksi, saldo akun, atau pengungkapan yang
mungkin material, baik secara individual maupun secara kolektit ketika digabungkan
dengan kesalahan penyajian lainnya, tidak akan dapat dicegah, atau dideteksi dan
dikoreksi, secara tepat waktu oleh pengendalian internal entitas.

Dengan perkataan lain, risiko pengendalian mengukur penilaian auditor tentang apakah
kesalahan penyajian yang melebihi jumlah kesalahan penyajian bisa ditoleransi pada suatu
segmen akan dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh sistem pengendalian internal
klien. Misalkan auditor berkesimpulan bahwa pengendalian internal sama sekali tidak efektif
untuk mencegah atau mendeteksi kesalahan penyajian, sebagaimana kesimpulan auditor
terhadap pengendalian internal atas persediaan dan penggudangan pada Tabel 7- 2. Dalam
situasi demikian, auditor akan memberi bobot yang tinggi, mungkin sampai 100%, untuk risiko
pengendalian. Semakin efektif pengendalian internal, semakin rendah faktor risiko yang
dibebankan pada risiko pengendalian.

Model risiko audit menunjukkan hubungan yang erat antara risiko inheren dengan
risiko pengendalian. Sebagai contoh, risiko inheren 40 persen dan risiko pengendalian 60%
mempengaruhi risiko deteksi dan bukti yang harus dikumpulkan, sama seperti halnya apabila
risiko inheren dan risiko pengendalian 40%, Dalarn kedua situasi tersebut, perkalian IR dengan
CR menghasilkan denominator daiam model risiko audit sebesar 24%. Gabungan risiko
inheren dengan risiko pengendalian disebutkan dalam standar auditing sebagai risiko
kesalahan penyajian material. Auditor bisa melakukan penilaian gabungan risiko kesalahan
penyajian material atau auditor bisa juga menilai risiko inheren dan risiko pengendalian secara
terpisah.(lngat, risiko inheren adalah dugaan kesalahan penyajian sebelum mempertimbangkan
pengaruh pengendalian internal).

Seperti halnya risiko inheren, hubungan antara risiko pengendalian dengan risiko
deteksi adalah berkebalikan, sedangkan hubungan antara risiko pengendalian dengan bukti
substantif yang harus dikumpulkan berbanding lurus. Apabila auditor menyimpulkan bahwa
pengendalian internal efektif, maka risiko deteksi dapat dinaikkan dan dengan demikian bukti
yang dikumpulkan bisa dikurangi. Auditor bisa menaikkan risiko deteksi apabila pengendalian
efektif, karena pengendalian internal yang efektif mengurangi kemungkinan terjadinya
kesalahan penyajian dalam laporan keuangan.

Sebelum auditor menetapkan risiko pengendalian kurang dari 100%, auditor harus
mendapatkan pemahaman tentang pengendalian internal, mengevaluasi seberapa baik
pengendalian berfungsi, dan melakukan pengujian tentang efektivitasnya. Mendapatkan
pemahaman tentang pengendalian interen harus dilakukan auditor pada setiap audit, sedangkan
evaluasi dan pengujian pengendalian diperlukan hanya apabila auditor menetapkan risiko
pengendalian di bawah maksimum.

Auditor pada umumnya memilih untuk lebih mengandalkan pada pengendalian yang
efektif, terutama apabila pengolahan transaksi sehari-hari dilakukan dengan menggunakan
prosedur otomatis. Apabila pengendalian diperkirakan tidak efektif dan risiko inheren tinggi,
penggunaan model risiko audit akan menyebabkan auditor menurunkan risiko deteksi dan
sebagai akibatnya harus menaikkan bukti yang harus dikumpulkan. Pada Bab 8 akan Kita bahas
tentang bagaimana mendapatkan pemahaman pengendalian internal, menilai risiko
pengendalian, dan menilai dampaknya terhadap bukti yang diperlukan.

RISIKO AUDIT

Standar audit (SA 200.13 (c)) mendefinisikan risiko audit sebagai berikut:

Risiko audit: risiko bahwa auditor menyatakan suatu opini audit yang tidak tepat ketika
laporan keuangan mengandung kesalahan penyajian material. Risiko audit merupakan
suatu fungsi kesalahan penyajian material dan risiko deteksi.

Dengan perkataan lain, risiko audit adaiah ukuran tentang seberapa besar auditor bersedia
untuk menerima bahwa laporan keuangan mungkin mengandung kesalnhan penyajian material
setelah audit selesai dikerjakan dan memberinya perdapat wajar tanpa pengecualian. Apabila
auditor memutuskan untuk menurunkan risiko audit, hal itu berarti bahwa auditor ingin lebih
pasti bahwa laporan keuangan tidak mengandung kesalahan penyajian material. Risiko nol
berarti sepenuhnya pasti, sedangkan risiko 100% berarti sama sekali tidak pasti. Jaminan penuh
(risiko nol) mengenai ketepatan laporan keuangan tidak ekonomis dan tidak praktis. Selain itu
seperti telah disebutkan pada Bab 3, auditor tidak dapat menjamin sepenuhnya bahwa laporan
keuangan tidak mengandung kesalahan penyajian material.

Seringkali auditor tidak monggunakan istilah risiko audit tetapi istilah lain seperti
misalnya asurans audit (audit assurance) atau tingkat asurans. Asurans audit atau istilah lain
adalah pelengkap risiko audit, yakni satu dikurangi risiko audit yang bisa diterima. Dengan lain
perkataan, risiko audit bisa diterima sebesar 2% adalah sama dengan asurans audit 98%.

Apabila kita menggunakan model risiko audit, didalamnya terkandung hubungan


langsung antara risiko audit yang bisa diterima dengan risiko deteksi, dan terdapat hubungan
berkebalikan antara risiko audit dengan bukti yang harus dikumpulkan. Apabila auditor
memutuskan untuk menurunkan risiko audit yang bisa diterima, maka risiko deteksi juga akan
turun, dan bukti yang harus dikumpulkan akan naik. Untuk klien dengan risiko audit yang
rendah, auditor biasanya menugasi staf audit yang lebih berpengalaman dan melakukan review
atas kertas kerja audit yang lebih mendalam.

PERBEDAAN ANTARA RISIKO-RISIKO DALAM MODEL RISIKO AUDIT

Ada perbedaan besar dalam hal bagaimana auditor menilai keempat faktor risiko dalam model
risiko audit. Untuk risiko audit yang bisa diterima, auditor memutuskannya sesuai dengan
kesediaan kantor akuntan menerima risiko bahwa laporan keuangan mengandung kesalahan
penyajian setelah audit selesai dikerjakan, berdasarkan berbagai faktor yang menyangkut klien.
Sebagai contoh, auditor akan menetapkan risiko audit bisa diterima yang sangat rendah untuk
perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana (initial public offering). Kita akan
membahas faktor-faktor apa saja yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan risiko audit
bisa diterima dalam uratan di bagian lain bab ini. Risiko inheren dan risiko pengendahan
didasarkan pada dugaan auditor atau prediksi tentang kondisi klien. Contoh risiko inheren yang
tinggi adalah apabila terdapat persediaan yang belum laku terjual dalam waktu dua tahun.
Contoh risiko pengendalian yang rendah adalah manakala terdapat pemisahan tugas antara
pemegang aset dengan akuntansi. Auditor tidak dapat mengubah kondisi klien semacam itu,
tetapi hanya bisa melakukan penilaian. Faktor-faktor risiko inheren akan dibahas pada bagian
lain bab ini, sedangkan risiko pengendalian akan dibahas tersendiri pada Bab 8. Risiko deteksi
sepenuhnya adalah dependen dari ketiga risiko yang lain, dan karenanya hanya dapat
ditentukan setelah auditor menetapkan ketiga risiko Iainnya.

MENETAPKAN RISIKO AUDIT BISA DITERIMA

Auditor harus memutuskan risiko audit yang bisa diterima untuk suatu audit, terutama pada
tahap perencanaan audit. Pertama-tama auditor harus menetapkan risiko penugasan dan
selanjutnya menggunakan risiko penugasan untuk menetapkan risiko audit.
DAMPAK RISIKO PENUGASAN TERHADAP RISIKO AUDIT BISA DITERIMA

Risiko penugasan adalah risiko yang harus ditanggung auditor atau kantor akuntan setelah
suatu audit diselesaikan, walaupun laporan audit yang dibuat sudah benar. Risiko penugasan
berkaitan erat dengan risiko bisnis klien sebagaimana telah disinggung pada Bab 6. Sebagai
contoh, apabila klien dinyatakan bangkrut oleh pengadilan setelah perusahaan tersebut diaudit,
kemungkinan besar kantor akuntan akan dituntut, meskipun audit yang dilakukan auditor telah
dilaksanakan dengan baik. Perlu dicatat bahwa para auditor berbeda pendapat tentang apakah
risiko penugasan perlu dipertimbangkan atau tidak dalam perencanaan audit. Para penentang
berargumentasi bahwa auditor tidak memberi pendapat audit untuk berbagai tingkat keyakinan
sehingga oleh karenanya tidak perlu memberi keyakinan lebih atau kurang karena adanya risiko
penugasan. Para pendukung berargumentasi bahwa auditor seyogyanya mengumpulkan bukti
tambahan, menugaskan auditor yang lebih berpengalaman, dan mereview audit lebih cermat
dalam audit yang berpotensi besar digugat secara hukum atau tindakan perlawanan lain yang
mempengaruhi keberadaan auditor, sepanjang tingkat keyakinan tidak berada di bawah suatu
tingkat tinggi tertentu manakala terdapat risiko risiko penugasan yang rendah.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RISIKO AUDIT BISA DITERIMA

Apabila auditor memodifikasi bukti untuk risiko penugasan, hal itu dilakukan dengan
mengelola risiko audit. Kita yakin bahwa suatu tingkat risiko audit yang rendah selalu
didambakan, tetapi dalam keadaan tertentu diperlukan risiko yang lebih rendah karena adanya
faktor-faktor risiko penugasan. Ada tiga faktor yang mempengaruhi risiko penugasan dan yang
selanjutnya berpengaruh pula pada risiko audit, yaitu (1) seberapa jauh pengguna laporan
eksteren mengandalkan laporan keuangan auditan, (2) kemungkinan klien mengalami kesulitan
keuangan setelah laporan audit diterbitkan, dan (3) integritas manajemen.

Seberapa Jauh Pengguna Eksteren Mengandalkan Laporan Keuangan Auditan

Apabila pengguna eksteren sangat mengandalkan laporan keuangan auditan, sebaiknya tingkat
risiko audit ditetapkan lebih rendah. Apabila laporan sangat diandalkan, bisa timbul sejumlah
bahaya sebagai akibat adanya kesalahan penyajian signifikan yang tetap tidak terdeteksi dalam
laporan keuangan. Auditor akan bersedia untuk mengeluarkan biaya lebih banyak untuk
mendapatkan bukti tambahan apabila kerugian bagi pemakai sebagai akibat kesalahan
penyajian material diperkirakan substansial. Beberapa faktor bisa menjadi indikator tentang
seberapa jauh laporan diandalkan oleh pengguna eksteren:
 Ukuran entitas. Secara umum, semakin besar entitas yang diaudit, semakin besar pula
kemungkinan laporan digunakan. Ukuran entitas, diukur dengan total aset atau
pendapatan, akan memiliki dampak terhadap tingkat risiko audit bisa diterima.
 Distribusi kepemilikan. Laporan keuangan entitas-entitas publik biasanya menjadl
andaian lebih banyak pemakai dibandingkan dengan entitas tertutup. Dalam perusahaan
publik banyak pihak luar juga berkepentingan seperti misalnya Bapepam, analis-analis
keuangan, dan masyarakat luas.
 Sifat dan jumlah kewajiban (utang). Apabila laporan berisi jumlah utang yang besar,
laporan tersebut kemungkinan besar akan banyak digunakan oleh para kreditur
(termasuk kreditur potensial) dibandingkan dengan apabila tidak berisi banyak
kewajiban.

Kemungkinan Klien Mengalami Kesulitan Keuangan Setelah Laporan Audit Diterbitkan


Apabila klien terpaksa mengalami kebangkrutan atau menderita kerugian besar setelah audit
diselesaikan, auditor kemungkinan besar akan berhadapan dengan tuntutan untuk
membuktikan kualitas audit yang telah dilakukannya. Tendensi yang sering terjadi pada
mereka yang kehilangan uang karena bangkrut, atau karena keiatuhan nilai saham yang
dipegangnya, adalah melakukan tuntutan kepada auditor. Hal ini bisa diakibatkan oleh kualitas
audit yang tidak memenuhi standar minimum atau bisa juga karena niat pemakai laporan untuk
menutup kerugian yang dideritanya walaupun audit telah dilakukan dengan baik.
Dalam situasi di mana auditor yakin bahwa terdapat kemungkinan besar terjadi
kerugian besar dan dengan demikian meningkatkan risiko penugasan, maka risiko audit bisa
diterima harus dikurangi. Apabila tantangan muncul di kemudian hari, auditor berada dalam
posisi yang lebih baik untuk mempertahankan hasil auditnya. Jumlah bukti audit dan biaya
pemeriksaan akan meningkat, tapi hal ini bisa dipertanggungjawabkan karena risiko tambahan
sehubungan adarya tuntutan hukum yang harus dihadapi auditor.
Tidak mudah bagi auditor untuk memprediksi kegagalan keuangan sebelum hal itu
terjadi, tetapi beberapa faktor bisa n,enjadi indikator yang baik tentang kemungkinan terjadinya
hal tersebut.
 Posisi likuiditas. Apabila klien sering mengalami kekurangan kas dan modal kerja, hal
itu menunjukkan kemungkinan terjadinya kesulitan membayar utang di masa depan.
Auditor harus menilai kemungkinan dan signifikansi penurunan posisi likuiditas yang
terjadi terus menerus.
 Laba (rugi) tahun-tahun lalu. Apabita perusahaan mengalami penurunan laba yang
drastis atau peningkatan kerugian selama bertahun-tahun, auditor harus menyadari
kemungkinan terjadinya masalah solvabilitas yang akan dihadapi klien. Juga perlu
diperhatikan perubahan laba yang mempengaruhi saldo
 Metoda pendanaan. Semakin besar ketergantungan klien pada pinjaman untuk
memenuhi kebutuhan dananya, semakin besar pula risiko terjadinya kesulitan keuangan
apabila keberhasilan operasi perusahaan menurun. Auditor harus menilai apakah aset-
aset tetap didanai oleh pinjaman jangka pendek atau piniaman jangka panjang, karena
jumlah pengeluaran kas yang besar dalam waktu singkat akan bisa menyebabkan
perusahaan bangkrut.
 Sifat operasi klien. Jenis-jenis entitas tertentu memiliki risiko inheren yang besar
dibandingkan perusahaan lainnya.
 Kompetensi manajemen. Manajemen yang kompeten akan selalu waspada terhadap
kesulitan keuangan potensial dan segera memodifikasi metoda operasinya untuk
meminimumkan pengaruh masalah jangka pendek. Auditor harus menilai kemampuan
manajemen sebagai bagian dari kemungkinan terjadinya kebangkrutan.

Evaluasi Auditor tentang Integritas Manajemen

Sebagaimana telah kita bicarn.kan pada Bab 6 sebagai bagian dari penyelidikan terhadap calon
klien baru dan penilaian untuk keberlanjutan klien lama, apabila integritas manajemen
dipertanyakan, auditor seyogyanya menetapkan risiko audit bisa diterima yang lebih rendah.
Perusahaan dengan integritas rendah sering melakukan kegiatan bisnis yang memicu terjadinya
konflik dengan pemegang saham, regulator, dan konsumen. Konflik-konflik semacam itu bisa
mempengaruhi kualitas audit yang diinginkan para pemakai laporan dan bisa mengakibatkan
tuntutan hukum serta percekcokan lainnya. Manajemen yang pernah dihukum karena tindakan
krin.inal di masa lampau adalah contoh yang jelas tentang integritas manajemen yang
dipertanyakan. Contoh lain tentang integritas yang dipertanyakan adalah seringnya terjadi
ketidaksepahaman dengan auditor di masa lalu atau dengan pihak luar seperti misalnya
Bapepam. Perputaran personil keuangan kunci dan personil auditor internal serta sering
terjadinya konflik dengan serikat pekerja bisa juga menjadi indikasi adanya masalah integritas.
MEMBUAT KEPUTUSAN TENTANG RISIKO AUDIT BISA DITERIMA

Untuk menetapkan risiko audit bisa diterima, pertama-tama auditor harus menilai setiap
factor yang mempengaruhi risiko audit bisa diterima. Tabel ini melukiskan metoda-metoda
yang digunakan auditor untuk menilai ketiga factor yang telah dibahas diatas.

Faktor Metoda untuk Menetapkan Risiko Audit


Seberapa jauh pengguna eksteren  Mempelajari laporan keuangan termasuk
mengandalkan pada laporan keuangan catatan kaki.
auditan  Membaca notulen rapat dewan komisaris
untuk merencanakan masa depan perusahaan.
 Membicarakan perencanaan keuangan dengan
manajemen.
Kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan  Menganalisis laporan keuangan untuk
mengidentifikasi kesulitan keuangan dengan
menggunakan rasio-rasio dan prosedur
analitis lainnya.
 Mempelajari laporan arus kas sesungguhnya
dan proyeksi untuk mengetahui komponen
arus kas untuk dan arus keluar.
Integritas manajemen Menetapkan prosedur yang dibahas pada Bab 6 untuk
penerimaan dan keberlanjutan klien.
Setelah mempelajari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa penilaian atas setiap factor
sangat subyektif yang berarti bahwa penetapan risiko audit bisa diterima juga sangat subyektif.
Risiko audit biasanya dinyatakan dengan istilah tinggi, medium, dan rendah. Risiko audit yang
rendah mengandung arti bahwa klien sangat berisiko yang membutuhkan bukti lebih banyak.,
menggunakan lebih banyak staf audit berpengalaman, dan review atas kerja audit yang lebih
mendalam. Setelah audit berjalan, auditor akan mendapat informasi lebih banyak tentang klien,
dan risiko audit bisa diterima bisa dimodifikasi.

MENILAI RISIKO INHEREN

Dimasukkannya risiko inheren ke dalam model risiko audit merupakan konsep paling
penting dalam pengauditan. Hal itu berarti bahwa auditor harus berusaha memprediksi dimana
kesalahan penyajian paling mungkin dan mana yang paling kecil kemungkinannya dalam
laporan keuangan. Informasi tersebut mempengaruhi banyaknya bukti yang perlu dikumpulkan
auditor, staf audit yang akan diberi penugasan, dan review atas kertas kerja audit.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RISIKO INHEREN

Auditor harus menilai factor-faktor yang bisa meningkatkan risiko dan memodifikasi
bukti audit untuk dipertimbangkan. Untuk menetapkan risiko inheren, auditor harus
mempertimbangkan beberapa factor penting berikut:

 Sifat bisnis klien


 Hasil audit periode sebelumnya
 Penugasan baru atau penugasan ulangan
 Pihak-pihak yang berelasi
 Transaksi-transaksi non-rutin
 Pertimbangan yang diperlukan untuk mencatat saldo akun dan transaksi dengan benar
 Pembentuk populasi
 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecurangan pelaporan keuangan
 Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan asset

Sifat bisnis klien

Risiko inheren untuk akun tertentu dipengaruhi oleh sifat bisnis klien. Sebagai contoh, pabrik
peralatan elektronik berhadapan dengan kemungkinan keusangan persediaan lebih besar dari
pada pabrik baja. Risiko inheren berbeda-beda antara perusahaan yang satu dengan perusahaan
lainnya, untuk akun seperti persediaan, piutang usaha, dan asset tetap. Sifat bisnis klien tidak
mempunyai dampak atau kecil dampaknya terhadap risiko inheren untuk akun seperti kas,
utang wesel, dan utang hipotik. Informasi yang diperoleh pada tahap mendapatkan pemahaman
tentang bisnis dan bidang usaha klien dan penetapan risiko bisnis klien seperti telah dibahas
pada Bab 6 berguna untuk menilai factor ini.
Hasil dari Audit Sebelumnya

Kesalahan penyajian yang ditemukan dalam audit tahun sebelumnya memiliki kemungkinan
besar untuk terjadi lagi dalam audit tahun ini, karena banyak tipe kesalahan penyajian yang
sifatnya sistematik, dan organisasi seringkali lambat melakukan perubahan untuk meniadakan
kesalahan penyajian seperti itu. Oleh karena itu, auditor akan dipandang lalai jika hasil audit
tahun lalu diabaikan pada saat ia mengembangkan program audit untuk tahun ini. Sebagai
contoh, apabila auditor menemukan sejumlah kesalahan penyajian signifikan dala penetapan
harga persediaan dalam audit tahun lalu, auditor seyogyanya menilai risiko inheren yang tinggi
dalam audit tahun ini, dan pengujian yang ekstensif harus dilakukan sebagai cara untuk
memastikan apakah kelemahan dalam system pengendalian internal klien telah diperbaiki.
Namun apabila auditor tidak menjumpai kesalahan penyajian dalam kurun waktu beberapa
tahun dalam melakukan pengujian pada suatu bidang audit, auditor bisa menurunkan risiko
inheren, dengan catatan tidak terjadi perubahan dalam keadaan-keadaan yang relevan.

Penugasan baru atau penugasan ulangan

Auditor mendapat pengalaman dan pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya kesalahan


penyajian setelah mengaudit klien selama beberapa tahun. Apabila tidak ada hasil audit tahun
lalu, sebagian besar auditor akan menilai risiko inheren yang tinggi pada audit yang pertama
kali dilakukan dibandingkan dengan penugasan ulangan yang pada waktu lalu tidak ditemukan
kesalahan penyajian material. Kebanyakan auditor menetapkan risiko inheren yang tinggi pada
audit tahun pertama dan menguranginya pada tahun-tahun berikutnya sejalan dengan
diperolehnya pengetahuan tentang klien yang lebih banyak.

Pihak-pihak yang Berelasi

Contoh transaksi dengan pihak-pihak yang berelasi (related parties) adalah transaksi antara
perusahaan induk dengan perusahaan anak, dan antara manajemen dengan entitas perusahaan.
Karena transaksi semacam ini tidak terjadi antara dua pihak yang independen yang melakukan
tawar menawar secara bebas, maka terdapat kemungkinan besar bahwa transaksi demikian
direkayasa yang menyebabkan naiknya risiko inheren.
Transaksi-transaksi Non Rutin

Transaksi-transaksi yang tidak biasa terjadi (non-rutin) pada perusahaan klien mempunyai
kemungkinan besar dicatat secara salah dibandingkan dengan transaksi rutin, karena klien tidak
berpengalaman dalam mencatatnya. Sebagai contoh, adalah pencatatan transaksi kerugian
karena kebakaran, pembelian property berjumlah besar, dan restrukturisasi biaya yang
diakibatkan penghentian operasi. Dengan mengetahui bisnis klien dan mereview notulen rapat,
auditor akan dapat menilai konsekuensi dari transaksi non-rutin.

Pertimbangan yang Diperlukan Untuk Mencatat Saldo Akun dan Transaksi Dengan
Benar

Banyak saldo akun seperti misalnya investasi tertentu yang dicatat atas dasar nilai wajar,
cadangan kerugian piutang, keusangan persediaan, kewajiban untuk membayar garansi, dan
reserve untuk kerugian utang bank, memerlukan estiasi dan sarat dengan pertimbangan
manajemen. Karena hal-hal seperti itu membutuhkan pertimbangan tertentu, kemungkinan
kesalahan penyajiannya cukup tinggi, dan akibatnya auditor biasanya menetapkan risiko
inheren yang tinggi.

Pembentuk Populasi

Kadang-kadang unsur individual tertentu yang membentuk populasi juga berpengaruh terhadap
ekspektasi auditor tentang kesalahan penyajian material. Auditor biasanya akan menggunakan
risiko inheren yeng lebih tinggi untuk piutang usaha apabila sebagian besar tagihan telah lewat
waktu dibandingkan dengan apabila sebagian besar belum jatuh tempo. Contoh unsur-unsur
yang membutuhkan risiko inheren yang lebih tinggi misalnya transaksi dengan perusahaan
afiliasi, piutang kepada jajaran pimpinan perusahaan, dan piutang yang belum tertagih selama
berbulan-bulan. Situasi semacam ini membutuhkan penyelidikan lebih mendalam karena
terdapat kemungkinan besar terdapat kesalahan penyajian.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecurangan Pelaporan Keuangan dan


Penyalahgunaan Aset

Pada bab yang lalu telah kita bahas bahwa auditor bertanggungjawab untuk menilai risiko
terjadinya kecurangan pelaporan keuangan dan penyalahgunaan asset. Dari segi konsep
maupun praktik, sulit untuk memisahkan antara factor risiko kecurangan menjadi risko audit
bisa diterima, risiko inheren, atau risiko pengendalian. Sebagai contoh, manajemen yang
rendah integritasnya dan bermotivasi untuk melakukan kesalahan penyajian laporan keuangan
adalah salah satu factor dalam risiko audit bisa diterima, tetapi hal itu juga merupakan
mempengaruhi risiko pengendalian. Demikian pula sejumlah factor risiko mempengaruhi
karekteristik manajemen sebagian bagian dari pengendalian lingkungan yang akan dibahas
pada Bab 8. Hal ini menyangkut perilaku, tindakan, dan kebijakan yang mencerminkan
perilaku menyeluruh dari manajemen puncak tentang integritas, nilai etika, dan komitmen
terhadap kompetensi.

Untuk memenuhi persyaratan standar auditing, bagi auditor lebih penting menilai risko
dan menanggapinya daripada sekedar menggolongkan risiko menjadi jenis risiko tertentu.
Dengan alasan ini, banyak kantor akuntan menilai risiko kecurangan terpisah dari penilaian
atas komponen-komponen risiko audit.

Risiko kecurangan dapat dinilai untuk audit sebagai keseluruhan atau per siklus, dan
tujuan. Sebagai contoh, insentif yang besar untuk merangsang manajemen agar bekerja keras
untuk mencapai target pendapatan yang tinggi bisa berpengaruh terhadap keseluruhan audit,
sedangkan kerentanan terhadap pencurian persediaan hanya akan berpengaruh terhadap akun
persediaan. Untuk risiko kecurangan pelaporan keuangan dan risiko penyalahgunaan asset,
auditor focus pada bidang-bidang yang berisiko kecurangan tinggi dan merancang prosedur
audit atau mengubah keseluruhan tindakan audit untuk menanggapi risiko tersebut. Tanggapan
khusus terhadap risiko kecurangan yang teridentifikasi bisa berupa revisi atas penetapan risiko
diteksi bisa diterima, risiko inheren dan risko pengendalian. Penetapan risiko kecurangan akan
dibahas lebih lanjut pada bab 9.

MENETAPKAN RISIKO INHEREN

Auditor harus mengevaluasi informasiinformasi yang mempengaruhi risiko inheren dan


menetapkan tingkat risiko inheren untuk setiap siklus, dan untuk setiap tujuan audit. Dalam
stardar audit (SA 200. A38) disebutkan bahwa risiko inheren dapat lebih tinggi untuk beberapa
asersi dan golongan transaksi, saldo akun, serta pengungkapan tertentu. Sebagai contoh, risiko
bawaan mungkin lebih tinggi untuk perhitungan yang kompleks atau untuk akun yang terdiri
angka yang berasal dari estimasi akuntansi yang tergantung pada ketidakpastian estimasi
signifikan. Kondisi eksternal yang menimbulkan risiko bisnis juga dapat memengaruhi risiko
bawaan. Sebagai contoh, perkembangan teknologi dapat mengakibatkan produk tertentu
menjadi usang, dengan demikian mengakibatkan persediaan menjadi makin rentan terhadap
kelebihan penyajian. Factor dalam entitas dan lingkungannya yang berhubungan dengan
sebagian atau semua golongan transaksi, saldo akun, atau pengungkapan dapat memengaruhi
risiko bawaan yang berkaitan dengan asersi tertentu. Sebagai contoh, factor tersebut dapat
mencakup tidak ada modal kerja yang cukup untuk meneruskan operasi atau penurunan
industry yang ditandai dengan jumlah kegagalan bisnis yang tinggi.

Sejumlah factor tertentu lainnya juga bisa memengaruhi, seperti misalnya audit pertama
kali atau audit ulangan, akan berpengaruh terhadap banyak atau bahkan mungkin semua siklus,
sedangkan factor lainnya seperti misalnya transaksi non-rutin, hanya akan berpengaruh
terhadap akun-akun tertentu atau tujuan audit tertentu. Meskipun organisasi profesi tidak
menetapkan standar atau pedoman untuk menetapkan risiko inheren, namun auditor biasanya
konservatif dalam menetapkannya. Sebagai contoh, dalam audit terhadap persediaan, auditor
mencatat bahwa (1) dalam audit tahun yang lalu ditemukan banyak kesalahan penyajian dan
(2) kecepatan perputaran piutang melambat pada tahun ini. Dalam situasi semacam ini auditor
kemungkinan besar akan menetap risiko inheren pada tingkat relative tinggi (mungkin bisa
mencapai 100%) untuk tiap tujuan audit atas persediaan.

MENDAPATKAN INFORMASI UNTUK MENETAPKAN RISIKO INHEREN

Auditor memulai penetapan risiko inheren pada tahap perencanaan dan memutahirkan
penetapan tersebut selama audit berlangsung. Bab 6 telah membahas tentang bagaimana
auditor mengumpulkan informasi yang relevan untuk penetapan risiko inheren selama tahap
perencanaan audit. Sebagai contoh, untuk mendapatkan pemahaman tentang bisnis dan bidang
usaha klien, auditor bisa melakukan peninjauan mengelilingi perusahaan dan
mengindentifikasi pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Informasi ini dan
informasi-informasi lain tentang perusahaan dan lingkungannya telah dibahas pada bab 6
berkaitan langsung dngan penetapan risiko inheren. Demikian pula berbagai hal yang telah
dibahas sebelumnya yang berkaitan dengan factor-faktor yang mempengaruhi risiko inheren,
seperti misalnya hasil audit tahun lalu dan traksaksi non-rutin telah dibahas secara terpisah
untuk membantu menilai risiko inheren. Mengingat bahwa pengujian dilakukan di kala audit
berlangsung, auditor bisa memperoleh informasi tambahan yang mempengaruhi penilaian awal
risiko inheren.
HUBUNGAN ANTARA RISIKO DENGAN BUKTI DAN FAKTOR-
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RISIKO

Gambar 7-5 di bawah ini melukiskan factor-faktor yang menentukan masing-masing


risiko, pengaruh dari ketiga komponen risiko terhadap penentuan risiko deteksi direncanakan,
dan hubungan antara keempat risiko terhadap bukti audit direncanakan. Tanda ‘L’ dalam
gambar tersebut menunjukkan hubungan langsung (atau sejalan) antara suatu komponen risiko
dengan risiko deteksi direncanakan atau bukti yang direncanakan. “K” (singkatan dari
kebalikan) menunjukkan hubungan berkebalikan. Sebagai contoh, kenaikan dalam risiko audit
bisa diterima mengakibatkan kenaikan dalam risiko deteksi (L) dan penurunan dalam bukti
audit direncanakan (K).

Auditor menanggapi risiko terutama dengan mengubah luasnya pengujian dan jenis
prosedur audit, termasuk pula dengan memadukan hal-hal tak terduga dalam prosedur audit
yang digunakan. Selain dengan memodifikasi bukti audit, ada du acara lain yang dapat diubah
auditor untuk menanggapi risiko.

 Penugasan mungkin membutuhkan staf yang lebih berpengalaman. Kantor


akuntan akan menunjuk staf yang berkualitas untuk setiap penugasan. Untuk klien
dengan risiko audit bisa diterima yang rendah, diperlukan staf yang lebih
berpengalaman dengan penekanan pada pentingnya skeptisisme professional. Begitu
pula apabila suatu bidang audit, seperti misalnya persediaan, memiliki risiko inheren
yang tinggi, maka bidang audit tersebut sebaiknya ditangani oleh staf yang
berpengalaman dalam audit persediaan.
 Penugasan harus di-review lebih cermat. Kantor akuntan harus memastikan adanya
review yang memadai atas kertas kerja audit yang mendokumentasikan perencanaan
audit, pengumpulan bukti dan kesimpulan, serta hal-hal penting dalam audit. Apabila
risiko audit bisa diterima rendah, diperlukan review yang lebih cermat dan seksama,
termasuk dengan review oleh orang yang tidak terlibat dalam penugasan. Apabila risiko
kesalahan penyajian material (perpaduan antara risiko inheren dan risiko pengendalian)
tinggi untuk akun-akun tertentu, reviewer seyogyanya memberi waktu lebih banyak
untuk memastikan bahwa bukti sudah tepat dan dievaluasi dengan benar.
Gambar 7-5 Hubungan antara Faktor-faktor yang mempengaruhi Risiko dengan Risiko
dan Risiko dengan Bukti Direncanakan

FAKTOR-FAKTOR YANG RISIKO BUKTI AUDIT


MEMPENGARUHI RISIKO

 Sejauh mana
diandalkan oleh
Risiko audit bisa
pengguna ekstern
diterima
 Kemungkinan
kesulitan keuangan
 Integritas manajemen

L L
 Sifat bisnis K
 Hasil audit tahun lalu
Risiko Inheren K Risiko deteksi K Bukti audit
 Audit pertama kali atau
diterima direncanakan
audit ulangan
 Hubungan istimewa
K L
 Transaksi nonrutin
 Kebutuhan
pertimbangan
 Pembentuk populasi
 Faktor-faktor
kesalahan dari
penyajian yang timbul
kecurangan pelaporan
keuangan*)
 Kerentan aset untuk
disalahgunakan*)

 Efektivitas
pengendalian internal Risiko
 Keandalan Direncanakan
direncanakan

Keterangan :
L = Langsung ; K = Kebalikan
*) Faktor risiko kecurangan. Bisa juga mempengaruhi risiko audit bisa diterima dan risiko
pengendalian
RISIKO AUDIT PER SEGMEN

Risiko inheren dan risiko pengendalian tidak ditetapkan untuk audit sebagai
keseluruhan, melainkan ditetapkan untuk setiap siklus, setiap akun dalam suatu siklus, bahkan
kadang-kadang untuk setiap tujuan audit pada suatu akun. Untuk audit yang sama, risiko yang
ditetapkan bisa berbeda-beda antara siklus yang satu dengan siklus yang lain, antara akun yang
satu dengan akun yang lain, dan antara tujuan yang satu dengan tujuan yang lain. Sebagai
contoh, pengendalian internal untuk persediaan mungkin lebih efektif dibandingkan dengan
pengendalian internal untuk asset tetap. Dalam situsi demikian, risiko pengendalian untuk
pengendalian bisa lebih rendah untuk persediaan dibandingkan dengan risiko pengendalian
untuk asset tetap. Factor-faktor yang mempengaruhi risiko inheren seperti misalnya kerentanan
terhadap penyalahgunaan asset dan transaksi rutin juga bisa berbeda antara akun yang satu
dengan akun lainnya. Oleh sebab itu, merupakan hal yang normal apabila risiko inheren
berbeda untuk berbagai akun pada audit yang sama.

Risiko audit bisa diterima biasanya ditetapkan oleh auditor pada tahap perencanaan dan
tidak berubah untuk setiap siklus dan akun. Auditor biasanya menggunakan risiko audit bisa
diterima yang sama untuk setiap segmen, karena factor-faktor yang mempengaruhi risiko audit
bisa diterima berkaitan dengan keseluruhan audit, tidak untuk akun individual. Sebagai contoh,
luasnya penggunaan laporan keuangan auditan oleh pengguna eksternal biasa menyangkut
laporan keuangan sebagai keseluruhan, bukan hanya pada satu atau dua akun.

MENGAITKAN MATERIALITAS PELAKSANAAN (KESALAHAN PENYAJIAN


BISA DITOLERANSI) DAN RISIKO DENGAN TUJUAN AUDIT ATAS SALDO

Meskipun dalam praktik lazim untuk menetapkan risiko inheren dan risiko pengendalian untuk
setiap tujuan audit saldo akun, namun tidal lazim untuk mengalokasikan materialitas pada
tujuan-tujuan tersebut. Auditor akan lebih efektif untuk menggunakan risiko yang berbeda-
beda untuk tujuan yang berbeda, dan biasanya tidaklah sulit untuk menghubungkan risiko
dengan satu atau dua tujuan. Sebagai contoh, keusangan dalam persediaan kemungkinan besar
hanya akan berpengaruh terhadap nilai bersih bisa direalisasi. Akan jauh lebih sulit untuk
memutuskan berapa banyak materialitas yang dialokasikan pasa suatu akun akan dialokasikan
lebih lanjut pada satu atau dua tujuan trtentu. Oleh karena itu kebanyakan auditor tidak
berusaha mengalokasikan materialitas pada tujuan-tujuan audit tertentu.
KETERBATASAN PENGUKURAN

Salah satu keterbatasan paling besar dalam penerapan model risiko audit adalah adanya
kesulitan dalam pengukuran komponen-komponen dalam model. Disampin kerja keras auditor
dalam membuat perencanaan audit, penetapan risiko audit bisa diterima, risiko inheren, risiko
pengendalian, dan selanjutnya risiko deteksi direncanakan sangat bersifat subyektif dan hanya
merupakan perkiraan. Cobalah bayangkan upaya untuk menetapkan risiko inheren yang tepat
dengan menentukan dampak dari berbagai factor seperti misalnya kesalahan penyajian yang
ditemukan dalam audit tahun lalu dan perubahan teknologi dalam bidang usaha klien.

Untuk mengatasi masalah pengukuran di atas, banyak auditor menggunakan


pengukuran subyektif yang dinyatakan dengan istilah seperti rendah, medium, dan tinggi.
Seperti terlihat pada tabel 7-4, auditor bisa menggunakan informasi ini untuk menetapkan
jumlah dan jenis bukti yang tepat yang harus dikumpulkan. Sebagai contoh, dalam situasi 1,
auditor telah memutuskan suatu risiko audit bisa diterima yang tinggi untuk suatu akun atau
tujuan. Auditor telah menyimpulkan suatu risiko kesalahan penyajian yang rendah dalam
laporan keuangan dan pengendalian internalnya efektif. Sebagai akibatnya, hanya sedikit bukti
audit yang dibutuhkan. Situasi 3 menggambarkan situasi yang berlawanan. Apabila risiko
inheren dan risiko pengendalian tinggi dan auditor menghendaki risiko audit bisa diterima yang
rendah, maka dibutuhkan bukti yang banyak sekali. Tiga situasi lainnya berada diantara dua
situasi ekstrim di atas.

Tabel 7-4 Hubungan antara Risiko dengan Bukti

Situasi Risiko Risiko Risiko Risiko Jumlah


Audit Bisa Inheren Pengendalian Deteksi Bukti
Diterima Diperlukan
1 Tinggi Rendah Rendah Tinggi Rendah
2 Rendah Rendah Rendah Medium Medium
3 Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi
4 Medium Medium Medium Medium Medium
5 Tinggi Rendah Medium Medium Medium

Penentuan jumlah bukti sebagai penerapan dari risiko deteksi direncanakan tertentu juga tidak
mudah. Program audit yang ditujukan untuk menurunkan risiko deteksi ke tingkat yang
direncanakan adalah suatu perpaduan prosedur audit, menggunakan berbagai jenis bukti yang
diterapkan pada berbagai tujuan audit. Metoda pengukuran yang digunakan auditor sangat teliti
agar dapat mengukur secara kuantitatif dengan akurat perpaduan bukti-bukti tersebut. Oleh
karena itu, para auditor cenderung untuk secara subyektif mengevaluasi apakah bukti yang
tepat dan cukup telah direncanakan untuk memenuhi risiko deteksi direncanakan yang rendah,
medium, atau tinggi. Barangkali metoda pengukuran cukup untuk memungkinkan seorang
auditor menentukan apakah bukti yang lebih banyak atau berbeda diperlukan untuk memenuhi
rencana risiko deteksi yang rendah (daripada yang medium atau tinggi). Dalam hal ini
diperlukan pertimbangan professional untuk memutuskan seberapa banyak hal itu harus
dilakukan.

Dalam menerapkan model risiko audit, auditor khawatir akan terjadinya “lebih-audit”
dan “kurang-audit”. Biasanya auditor lebih khawatir akan terjadinya kurang-audit
dibandingkan dengan lebih-audit, karena bila hal itu terjadi, auditor mungkin akan berhadapan
dengan tuntutan hukum dan kehilangan reputasi profesionalnya. Karena auditor khawatir akan
terjadinya kurang-audit, auditor pada umumnya akan menetapkan risiko secara konservatif.

HUBUNGAN ANTARA RISIKO DAN MATERIALITAS DENGAN BUKTI AUDIT

Konsep materialitas dan risiko dalam pengauditan berhubungan erat satu sama lain dan tidak
bisa dipisahkan. Risiko adalah pengukuran ketidakpastian, sedangkan materialitas adalah
pengukuran besarnya atau ukurannya. Namun apabila keduanya digabungkan akan mengukur
besaran ketidakpastian dari suatu jumlah tertentu. Sebagai contoh, pernyataan bahwa auditor
merencanakan akan mengumpulkan bukti sedemikian rupa sehingga hanya 5 persen risiko
(kesalahan penyajian bisa diterima) tidak ditemukannya kesalahan penyajian yang melebihi
kesalahan penyajian bisa ditoleransi sebesar Rp 265.000 (materialitas) adalah pernyataan yang
tepat dan bermakna. Apabila pernyataan itu tidak disertai dengan besarnya risiko atau porsi
materialitas, maka pernyataan itu tidak bermakna. Risiko 5% tanpa disertai dengan suatu
ukuran materialitas yang spesifik, bisa diartikan bahwa Rp100.000 atau Rp10.000.000
kesalahan penyajian bisa diterima. Suatu lebih saji sebesar Rp265.000 tanpa disertai suatu
risiko spesifik bisa diartikan bahwa risiko 1% atau 80% bisa diterima.

Hubungan antara kesalahan penyajian bisa ditoleransi dan keempat risiko dengan bukti
audit direncanakan bisa dilihat pada Gambar 7-6. Gambar ini merupakan perluasan dari
Gambar 7-5 (halaman 342) dengan memasukkan kesalahan penyajian bisa ditoleransi. Dalam
gambar ini terlihat bahwa kesalahan peyajian bisa ditoleransi tidak mempengaruhi satu pun
dari keempat risiko, dan risiko tidak mempunyai pengaruh terhadap kesalahan penyajian bisa
ditoleransi, namun secara bersama-sama keduanya menentukan bukti yang direncanakan.
Dengan kata lain, kesalahan penyajian bisa ditoleransi bukan merupakan bagian dari model
risiko audit, tetapi perpaduan antara kesalahan penyajian bisa ditoleransi dan factor-faktor
model risiko audit menentukan bukti audit direncanakan.

MEREVISI PENILAIAN RISIKO DAN BUKTI

Model risiko audit utamanya merupakan model perencanaan dan oleh karena itu
kegunaannya terbatas dalam mengevaluasi hasil. Tidak ada kesulitan ketika auditor
mengumpulkan bukti yang direncanakan dan menyimpujkan bahwa penetapan setiap risiko
telah dilakukan secara wajar atau lebih baik dari yang semula diperkirakan. Auditor akan
berkesimpulan bahwa bukti yang tepat dan cukup telah terkumpul untuk akun atau siklus
tersebut.

Namun demikian, SA 315. 31 menegaskan bahwa peniiaian risiko auditor atas risiko
kesalahan penyajian material dapat berubah selama pelaksanaan audit, sejalan dengan
diperolehnya bukti audit tambahan. Dalam kondisi ketika auditor memperoleh bukti audit
dari pelaksanaan prosedur audit Ianjutan, atau ketika informasi baru diperoleh, yang kedua
bukti tersebut tidak konsisten dengan bukti audit awal yang menjadi landasan penilaian,
auditor harus merevisi penilaian tersebut, dan oleh karena itu, memodifikasi prosedur audit
lanjutan yang direncanakan sebelumnya.

Auditor harus cermat dalam memutuskan, berdasarkan bukti yang terkumpul, apakah
penetapan awal risiko pengendalian dan risiko inheren telah dilakukan terlalu rendah, atau
risiko audit bisa diterima telah ditetapkan terlalu tinggi. Dalam situasi demikian, auditor
dapat melakukan dua tahap pendekatan sebagai berikut:

1. Auditor harus merevisi penetapan awal risiko. Merupakan tindakan gegabah untuk
membiarkan penetapan awal tidak diubah, padahal auditor tahu bahwa penetapan
tersebut tidak tepat.
2. Auditor harus mempertimbangkan pengaruh revisi terhadap bukti yang diperlukan,
tanpa menggunakan model risiko audit. Apabila risiko hasil revisi digunakan dalam
model risiko audit untuk menentukan risiko deteksi yang telah direvisi, dikhawatirkan
tidak terjadi penambahan bukti yang mencukupi. Oleh karena itu, akan lebih baik
apabila auditor mengevaluasi dengan cermat implikasi dari revisi alas risiko dan
memodifikasi bukti dengan tepat, diluar pengunaan model risiko audit.

Sebagai contoh, misalkan auditor mengkonfirmasi piutang usaha dan berdasarkan


kesalahan penyajian yang ditemukan, menyimpulkan bahwa penetapan awal risiko
pengendalian adalah terlalu rendah. Auditor harus merevisi taksiran awal dan menaikkannya
dan dengan cermat mempertimbangkan pengaruh revisi tersebut terhadap tambahan bukti
yang diperlukan dalam pengauditan piutang usaha dan siklus penjualan dan pengumpulan
piutang. Berdasarkan hasil pengujian tambahan yang dilakukan, auditor harus dengan cermat
pula mengevaluasi apakah bukti yang tepat dan cukup telah diperoleh dalam situasi yang
bersangkutan untuk menurunkan risiko audit pada tingkat yang dapat diterima.

RISIKO SIGNIFIKAN

Sebagaimana telah disinggung di atas, standar audit (SA 315.25) mengharuskan auditor untuk
menilai risiko kesalahan penyajian material pada tingkat laporan keuangan dan pada tingkat
asersi untuk golongan transaksi, saldo akun, dan pengungkapan. Sebagai bagian dari
penilaian risiko tersebut, auditor harus menentukan apakah risiko yang diidentifikasi adalah,
menurut pertimbangan auditor, suatu risiko yang signifikan (SA 315.27).

Risiko signifikan adalah suatu risiko kesalahan penyajian material yang diidentifikasi
dan dillilai yang, dalam pertimbangan auditor, memerlukan pertimbangan audit khusus (SA
315.4 (e)). Risiko signifikan sering berkaitan dengan transaksi nonrutin yang signifikan atau
hal-hal yang memerlukan pertimbangan. Transaksi nonrutin adalah transaksi yang tidak
biasa, karena ukuran maupun sifatnya, dan oleh karena itu tidak sering terjadi. Hal-hal yang
memerlukan pertimbangan dapat mencakup penyusunan estimasi akuntansi yang di dalamnya
terkandung ketidakpastian pengukuran yang signifikan. Kecil kemungkinannya transaksi
rutin dan nonkompleks yang harus melaiui suatu pengolahan sistematis mengakibatkan
timbulnya risiko signifikan.

Risiko kesalahan penyajian material mungkin lebih besar untuk transaksi nonrutin
yang signifikan yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

• Intervensi manajemen yang lebih besar dalam menentukan perlakuan akuntansi.


• Intervensi manual yang lebih besar dalam pengumpulan dan pengolahan data.
• Perhitungan atau prinsip akuntansi yang kompleks.
• Sifat transaksi nonrutin yang dapat yang dapat menyebabkan kesulitan bagi entitas
untuk mengimplementasikan pengendalian yang efektif terhadap risiko.

Dalam melakukan pertimbangan atas penentuan suatu risiko sebagai risiko yang signifikan
(significant risk), auditor harus mempertimbangkan

(a) Apakah risiko tersebut merupa,kan suatu risiko kecurangan;

(b) Apakah risiko tersebut terkait dengan perkembangan terkini yang signifikan dalam
bidang ekonomi, akuntansi, atau Iainnya, dan oleh karena itu, membutuhkan perhatian
spesifik;

(c) Kompleksitas transaksi;

(d) Apakah risiko tersebut melibatkan transaksi signifikan dengan pihak berelasi

(e) Derajat subyektivitas dalam pengukuran informasi keuangan yang berkaitan risiko,
terutama pengukuran yang melibatkan ketidakpastian pengukuran yang luas; dan

(f) Apakah risiko tersebut melibatkan transaksi signifikan yang terjadi di luar kegiatan
kegiatan bisnis normal entitas, atau yang tampaknya tidak biasa.

Jika auditor telah menentukan bahwa terdapat suatu risiko signifikan, auditor harus
memperoleh suatu pemahaman tentang pengendalian entitas, termasuk aktivitas pengendalian
yang relevan dengan risiko tersebut. Hal ini akan dibahas dalam penetapan risiko
pengendalian pada

Anda mungkin juga menyukai