Anda di halaman 1dari 9

Dasar teori

Cara pemberian obat

A.2 Rute Pemberian Obat

Abrobsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah. Bergantung
pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan
rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. (Ganiswara, 2008)

Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barrier absorbsi adalah
membran epitel saluran cerna yang seperti halnya semua membran sel epitel saluran cerna , yang
seperti halnya semua membran sel ditubuh kita, merupakan lipid bilayer. Dengan demikian , agar
dapat melintasi membran sel tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah
terlebih dulu larut dalam air). (Ganiswara, 2008). Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan
penentu dalam memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan
efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat
diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of
action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan
respons tertentu.

Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang
berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah
yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut
berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam
waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzug, 1989).
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi
pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

a) Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik


b) Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c) Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d) Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e) Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter.
f) Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute
g) Kemampuan pasien menelan obat melalui oral

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi,
dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat
dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat
misalnya salep (Anief, 1990).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara :
a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan
c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara :
a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga
b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan
kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan

Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk
kedalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau
kemungkinan timbulnya efek yang merugikan.
Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008):
a) Jalur Enternal
Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti pemberian
obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral merupakanjalur
pemberianobat paling banyak digunakankarena paling murah, paling mudah, dan paling
aman. Kerugian
dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan
pada pasien yang tidak sadar atau tidak dapat menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui
jalur ini, selain alasan di atas juga alasan kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit.
Bahkan dianjurkan jika obat dapat diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan
emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
b) Jalur Parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah transdermal
(topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea menggunakan endotrakeal
tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini dapat menimbulkan efek sistemik atau
local.
Cara/bentuk sediaan parenteral antara lain :
1) Intravena (IV) Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of
action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk
obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya
berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek.
(Joenoes, 2002).

2) Intramuskular (IM) “Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air


yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak,
dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan
penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang
tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi.
(Joenoes, 2002).

3) Subkutan (SC) “Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi,


determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana
terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal
sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan
menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah
mukopolisakarida dari matriks jaringan. (Joenoes, 2002).

4) Intratekal berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada


selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP
yang akut. (Anonim, 1995).
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan
parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial,
melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang lain,
seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses
penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor
site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit
atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan
menyebabkan kegagalan pengobatan (Siswandono, 1995).

Rute penggunaan obat dapat diperlihatkan sebagai berikut:

No. Istilah Letak masuk dan jalan absorpsi obat


1. Per oral (per os) Melalui mulut masuk saluram intestinal (lambung),
penyerapan obat melalui membran mukosa pada
lambung dan usus memberi efek sistemik
2. Sublingual Dimasukkan di bawah lidah, penyerapan obat mellaui
membran mukosa, memberi efek sistemik
3 Parenteral atau melalui selain jalan lambung dengan merobek beberap
injeksi jaringan
a. intravena Masuk pembuluh darah balik (vena), memberi efek
b. intrakardial sistemik
c. intrakutan Menembus jantung, memberi efek sistemik
d. subkutan Menembus kulit, memberi efek sistemik
e. intramuskular Di bawah kulit, memberi efek sistemik
Menembus otot daging, memberi efek sistemik
4 Intranasal Diteteskan pada lubang hidung, memberi efek lokal
5 Aural Diteteskan pada lubang telinga, memberi efek lokal
6 Intrarespiratoral Inhalasi berupa gas masuk paru-paru, memberi efek
lokal
7 Rektal Dimasukkan ke dalam dubur, memberi efek lokal +
sistemik
8 Vaginal Dimasukkan ke dalam lubang kemaluan wanita,
memberi efek lokal
9 Uretral Dimasukkan ke dalam saluran kencing, memberi efek
lokal
(Anief, M., 1994).
1. Mencit

Volume obat yang diinjeksikan

2. Tikus

Volume obat yang diinjeksikan


Pada literature dijelaskan bahwa onset paling cepat adalah intra peritonial,

intra muscular, subkutan, peroral. Hal ini terjadi karena :

a. Intra peritonial mengandung banyak pembuluh darah sehingga obat langsung

masuk ke dalam pembuluh darah.

b. Intra muscular mengandung lapisan lemak yang cukup kecil sehingga obat
akan terhalang oleh lemak sebelum terabasorbsi.

c. Subkutan mengandung lemak yang cukup banyak.

d. Peroral disini obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai

reseptor karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor

penghambat seperti protein plasma.

Dan durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial, intramuscular, subkutan.

Hal ini terjadi karena :

a. Peroral, karena melalui saluran cerna yang memiliki rute cukup panjang dan

banyak factor penghambat maka konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin

sedikit dan efek obat lebih cepat.

b. Intra peritonial, disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga

efek yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan

karena obat di metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.

c. Intra muscular, terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat

akan konstan dan lebih tahan lama.

d. Subkutan, terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga durasi lebih

lama disbanding intra muscular.


Dapus

Anief, M. (1994). Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Harmita dan Maksum Radji. 2008. Buku ajar analisis hayati edisi 3. Jakarta : buku kedokteran egc

Katzung, B., G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta:Salemba Medika


Priyanto, 2008. Farmakologi Dasar Untuk Mahasiswa Farmasi & Keperawatan Edisi II.
Jakarta:Leskonfi
Siswandono dan Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Penerbit Airlangga
University Press.
Ganiswara, Sulistia G (Ed). 2008. Farmakologi dan Terapi. Edisi Revisi V. Balai
Penerbit Falkultas. Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Joenoes, Z. N. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3. Airlangga University Press. Surabaya

Anda mungkin juga menyukai