Anda di halaman 1dari 15

TRANSFUSI DARAH

(JENIS, INDIKASI, KONTRAINDIKASI, PERSIAPAN, PROSEDUR, REAKSI DAN KOMPLIKASI)

Transfusi darah ialah pemindahan darah dari donor ke dalam peredaran darah penerima (resipien). Definisi lain adalah sutu proses
pekerjaan memindahkan darah dari orang yang sehat kepada oarang yang sakit.

A. JENIS DAN KOMPONEN TRANSFUSI

a. Darah lengkap (whole blood)


Darah lengkap mempunyai komponen utama yaitu eritrosit, darah lengkap juga mempunyai kandungan trombosit dan faktor
pembekuan labil (V, VIII). Volume darah sesuai kantong darah yang dipakai yaitu antara lain 250 ml, 350 ml, 450 ml. Dapat
bertahan dalam suhu 4°±2°C. Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah eritrosit dan plasma secara bersamaan. Hb
meningkat 0,9±0,12 g/dl dan Ht meningkat 3-4 % post transfusi 450 ml darah lengkap.(6)
b. Sel darah merah
 Packed red cell
Packed red cell diperoleh dari pemisahan atau pengeluaran plasma secara tertutup atau septik sedemikian rupa sehingga
hematokrit menjadi 70-80%. Volume tergantung kantong darah yang dipakai yaitu 150-300 ml. Suhu simpan 4°±2°C. Lama
simpan darah 24 jam dengan sistem terbuka.(3)
Packed cells merupakan komponen yang terdiri dari eritrosit yang telah dipekatkan dengan memisahkan komponen-
komponen yang lain. Packed cells banyak dipakai dalam pengobatan anemia terutama talasemia, anemia aplastik, leukemia
dan anemia karena keganasan lainnya. Pemberian transfusi bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi jaringan dan alat-alat
tubuh. Biasanya tercapai bila kadar Hb sudah di atas 8 g%.
Dosis transfusi darah didasarkan atas makin anemis seseorang resipien, makin sedikit jumlah darah yang diberikan per et mal
di dalam suatu seri transfusi darah dan makin lambat pula jumlah tetesan yang diberikan. Hal ini dilakukan untuk
menghindari komplikasi gagal jantung. Dosis yang dipergunakan untuk menaikkan Hb ialah dengan menggunakan rumus
empiris:
Kebutuhan darah (ml) = 6 x BB (kg) x kenaikan Hb yang diinginkan.
Penurunan kadar Hb 1-2 hari pasca transfusi, maka harus dipikirkan adanya auto immune hemolytic anemia. Hal ini dapat
dibuktikan dengan uji coombs dari serum resipien terhadap eritrosit resipien sendiri atau terhadap eritrosit donor. Keadaan
demikian pemberian washed packed red cell merupakan komponen pilihan disamping pemberian immuno supressive
(prednison, imuran) terhadap resipien.(2)
 Red cell suspension
Dibuat dengan cara mencampur packed red cell dengan cairan pelarut dalam jumlah yang sama.
 Washed red cell
Washed red cell diperoleh dengan mencuci packed red cell 2-3 kali dengan saline, sisa plasma terbuang habis. Berguna untuk
penderita yang tak bisa diberi human plasma. Kelemahan washed red cell yaitu bahaya infeksi sekunder yang terjadi selama
proses serta masa simpan yang pendek (4-6 jam). Washed red cell dipakai dalam pengobatan aquired hemolytic anemia dan
exchange transfusion.(3)
 Darah merah pekat miskin leukosit
Kandungan utama eritrosit, suhu simpan 4°±2°C, berguna untuk meningkatkan jumlah eritrosit pada pasien yang sering
memerlukan transfusi. Manfaat komponen darah ini untuk mengurangi reaksi panas dan alergi.(6)
c. Suspensi granulosit/leukosit pekat
Kandungan utama berupa granulosit dengan volume 50-80 ml. Suhu simpan 20°±2°C. Lama simpan harus segera ditransfusikan
dalam 24 jam.(6)
Transfusi granulosit diberikan bila penderita nutropenia dengan panas tinggi telah gagal diobati dengan antibiotik yang tepat lebih
dari 48 jam. Transfusi granulosit diberikan kepada para penderita leukemia, penyakit keganasan lainnya serta anemia aplastik
yang jumlah leukositnya 2000/mm3 atau kurang dengan suhu 39°C atau lebih.
Donor dari keluarga terdekat akan memperkecil kemungkinan reaksi transfusi. Bila tidak diperoleh donor yang cocok golongan
ABO-nya maka dapat dipilih donor golongan O. Komponen suspensi granulosit harus diberikan segera setelah pembuatan dan
diberikan secara intravena langsung atau dengan tetesan cepat. Efek pemberian transfusi granulosit ini akan tampak dari
penurunan suhu, bukan dari hitung leukosit penderita. Penurunan suhu terjadi sekitar 1-3 hari pasca transfusi.(2)
d. Suspensi trombosit
Pemberian trombosit seringkali diperlukan pada kasus perdarahan yang disebabkan oleh kekurangan trombosit. Pemberian
trombosit yang berulang-ulang dapat menyebabkan pembentukan thrombocyte antibody pada penderita. (3)
Transfusi trombosit terbukti bermanfaat menghentikan perdarahan karena trombositopenia. Indikasi pemberian komponen
trombosit ialah setiap perdarahan spontan atau suatu operasi besar dengan jumlah trombositnya kurang dari 50.000/mm3.
misalnya perdarahan pada trombocytopenic purpura, leukemia, anemia aplastik, demam berdarah, DIC dan aplasia sumsum
tulang karena pemberian sitostatika terhadap tumor ganas. Splenektomi pada hipersplenisme penderita talasemia maupun
hipertensi portal juga memerlukan pemberian suspensi trombosit prabedah. Komponen trombosit mempunyai masa simpan
sampai dengan 3 hari.(2)
Macam sediaan:
 Platelet Rich Plasma (plasma kaya trombosit)
 Platelet Rich Plasma dibuat dengan cara pemisahan plasma dari darah segar. Penyimpanan 34°C sebaiknya 24 jam.
 Platelet Concentrate (trombosit pekat). Kandungan utama yaitu trombosit, volume 50 ml dengan suhu simpan

20°±2°C.Berguna untuk meningkatkan jumlah trombosit. Peningkatan post transfusi pada dewasa rata-rata 5.000-
10.000/ul. Efek samping berupa urtikaria, menggigil, demam, alloimunisasi Antigen trombosit donor.(6)
Dibuat dengan cara melakukan pemusingan (centrifugasi) lagi pada Platelet Rich Plasma, sehingga diperoleh endapan yang
merupakan pletelet concentrate dan kemudian memisahkannya dari plasma yang diatas yang berupa Platelet Poor Plasma.
Masa simpan ± 48-72 jam.(3)
e. Plasma
Plasma darah bermanfaat untuk memperbaiki volume dari sirkulasi darah (hypovolemia, luka bakar), menggantikan protein yang
terbuang seperti albumin pada nephrotic syndrom dan cirhosis hepatis, menggantikan dan memperbaiki jumlah faktor-faktor
tertentu dari plasma seperti globulin.(3)
Plasma diperlukan untuk penderita hiperbilirubinemia. Komponen albumin di dalam plasma yang diperlukan untuk mengikat
bilirubin bebas yang toksis terhadap jaringan otak bayi. Tindakan ini biasanya mendahului suatu tindakan transfusi tukar. Dosis
yang diperlukan ialah 35 ml/kgbb. Penggunaan sebagai plasma expander pada renjatan, substitusi protein pada kesulitan
masukan oral jarang dilakukan.(2)
Macam sediaan plasma adalah:
 Plasma cair
Diperoleh dengan memisahkan plasma dari whole blood pada pembuatan packed red cell.
 Plasma kering (lyoplylized plasma)
Diperoleh dengan mengeringkan plasma beku dan lebih tahan lama (3 tahun).
 Fresh Frozen Plasma
Dibuat dengan cara pemisahan plasma dari darah segar dan langsung dibekukan pada suhu -60°C. Pemakaian yang paling
baik untuk menghentikan perdarahan (hemostasis).(3)
Kandungan utama berupa plasma dan faktor pembekuan labil, dengan volume 150-220 ml. Suhu simpan -18°C atau lebih
rendah dengan lama simpan 1 tahun. Berguna untuk meningkatkan faktor pembekuan labil bila faktor pembekuan
pekat/kriopresipitat tidak ada. Ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek samping berupa urtikaria, menggigil,
demam, hipervolemia.(6)
 Cryopresipitate
Komponen utama yang terdapat di dalamnya adalah faktor VIII atau anti hemophilic globulin (AHG), faktor pembekuan XIII,
faktor Von Willbrand, fibrinogen. Penggunaannya ialah untuk menghentikan perdarahan karena kurangnya AHG di dalam
darah penderita hemofili A. AHG tidak bersifat genetic marker antigen seperti granulosit, trombosit atau eitrosit, tetapi
pemberian yang berulang-ulang dapat menimbulkan pembentukan antibodi yang bersifat inhibitor terhadap faktor VIII.
Karena itu pemberiannya tidak dianjurkan sampai dosis maksimal, tetapi sesuai dosis optimal untuk suatu keadaan klinis.(2)
Pembuatannya dengan cara plasma segar dibekukan pada suhu -60°C, kemudian dicairkan pada suhu 4-6°C. Akibat proses
pencairan terjadi endapan yang merupakan cryoprecipitate kemudian dipisahkan segera dari supernatant plasma.(3)
Setiap kantong kriopresipitat mengandung 100-150 U faktor VIII. Cara pemberian ialah dengan menyuntikkan intravena
langsung, tidak melalui tetesan infus, pemberian segera setelah komponen mencair, sebab komponen ini tidak tahan pada
suhu kamar. (2)
Suhu simpan -18°C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun, ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek
samping berupa demam, alergi.
 Heated plasma
Plasma dipanaskan pada suhu 60°C selama 10 jam. Bahaya hepatitis berkurang. Heated plasma mengandung albumin 88%,
globulin 12%, NaCL 0,06%, coprylic acid Na 0,02%, Na acetyl tuphtophen 0,02%, natrium cone 50 mEq/L
 Albumin
Dibuat dari plasma, setelah gamma globulin, AHF dan fibrinogen dipisahkan dari plasma. Kemurnian 96-98%. Dalam
pemakaian diencerkan sampai menjadi cairan 5% atau 20% 100 ml albumin 20% mempunyai tekanan osmotik sama dengan
400 ml plasma biasa

B. INDIKASI TRANSFUSI
a. Sel darah merah
Indikasi satu-satunya untuk transfusi sel darah merah adalah kebutuhan untuk memperbaiki penyediaan oksigen ke jaringan dalam
jangka waktu yang singkat.
 Kehilangan darah yang akut, jika darah hilang karena trauma atau pembedahan, maka baik penggantian sel darah merah maupun
volume darah dibutuhkan.
 Transfusi darah prabedah diberikan jika kadar Hb 80 g/L atau kurang.
 Anemia yang berkaitan dengan kelainan menahun, seperti penderita penyakit keganasan, artritis reumatoid, atau proses radang
menahun yang tidak berespon terhadap hematinik perlu dilakukan transfusi.
 Gagal ginjal, anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal diobati dengan transfusi sel darah merah maupun dengan
eritropoetin manusia rekombinan.
 Gagal sumsum tulang karena leukemia, pengobatan sitotoksik, atau infiltrat keganasan membutuhkan transfusi sel darah merah
dan komponen lain.
 Penderita yang tergantung transfusi seperti pada talasemia berat, anemia aplastik dan anemia sideroblastik membutuhkan
transfusi secara teratur.
 Penyakit sel bulan sabit, beberapa penderita ini juga membutuhkan transfusi secara teratur, terutama setelah stroke.
 Indikasi lain untuk transfusi pengganti pada penyakit hemolitik neonatus, malaria berat karena plasmodium falciparum dan
septikemia meningokokus.
b. Trombosit
 Gagal sumsum tulang yang disebabkan oleh penyakit atau pengobatan mielotoksik.
 Kelainan fungsi trombosit, yaitu berupa kelainan fungsi trombosit yang diturunkan seperti pada penyakit Glanzmann, sindrom
Bernard-Soulier, dan defisiensi tempat penyimpanan trombosit. Penderita defek fungsi trombosit yang didapat, sekunder
terhadap mieloma, paraproteinemia dan uremia.
 Trombositopenia akibat pengenceran yang sekunder terhadap transfusi masif atau transfusi pengganti, dan penderita mengalami
perdarahan.
 Pintas kardiopulmoner, baik selama atau setelahnya perdarahan dapat terjadi karena trombositopenia akibat pengenceran,
begitu juga karena gangguan fungsi trombosit.
 Purpura trombositopenia autoimun, walaupun kemungkinan tidak efektif karena trombosit yang ditransfusikan hancur oleh
autoantibodi yang sirkulasi.
c. Granulosit
Terbatas untuk kasus tertentu saja. Transfusi granulosit harus dipertimbangkan hanya untuk alasan seperti :
 Neutropenia persisten dan infeksi berat yang terdapat bukti jelas infeksi bakteri atau jamur yang tidak dapat dikendalikan dengan
pengobatan dengan antibiotik yang tepat selama 48-72 jam.
 Fungsi neutrofil abnormal dan infeksi persisten seperti pada penyakit granulomatosa kronis dan sebagian kasus mielodisplasia.
 Sepsis neonatus, terutama pada bayi prematur dengan sepsis dapat mengalami manfaat transfusi granulosit, walaupun
keefektifannya tidak terbukti.
d. Fresh Frozen Plasma
 Untuk mengoreksi defisiensi faktor pembekuan/pengentalan di (dalam) suatu pendarahan pasien dengan berbagai defisit faktor
pembekuan atau pengentalan (penyakit hati, DIC, transfusi masive)
 Warfarin yang berlebihan atau kekurangan vitamin K, proses perbaikan coagulopathy yang diperlukan di dalam 12-24 jam
 Pasien dengan perdarahan atau pasien dengan resiko pendarahan tinggi
 Penggantian defisiensi dalam Faktor V dan XI
e. Cryoprecipitate
 Hypofibrinogenemia - Fibrinogen <>
 Transfusi raksasa(masive)
 Defisiensi kongenital
 Defisiensi yang didapat ( misalnya DIC)
 Kekurangan Faktor XIII
 Uremia, dengan perdarahan yang tak bereaksi dengan therapy non-transfusion ( misalnya, dialisis, desmopressin)
 Dysfibrinogenemia ( disfungsi fibrinogen)

C. KONTRAINDIKASI TRANSFUSI
 Daerah yang memiliki tanda-tanda infeksi, infiltrasi atau thrombosis
 Daerah yang berwarna merah, kenyal, bengkak dan hangat saat disentuh
 Vena di bawah infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah area flebitis
 Vena yang sklerotik atau bertrombus
 Lengan dengan pirai arteriovena atau fistula
 Lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah, atau kerusakan kulit
 Lengan pada sisi yang mengalami mastektomi (aliran balik vena terganggu)
 Lengan yang mengalami luka bakar

D. PERSIAPAN
a. Persiapan Pasien
 Jelaskan prosedur dan tujuan tranfusi yang akan dilakukan
 Jelaskan kemungkinan reaksi tranfusi darah yang keungkinan terjadi dan pentingnya melaporkan reaksi dengan cepat kepada
perawat atau dokter
 Jelaskan kemungkinan reaksi lambat yang mungkin terjadi, anjurkan untuk segera melapor apabila reaksi terjadi
 Apabila klien sudah dipasang infus, cek apakah set infusnya bisa digunakan untuk pemberian tranfusi
 Apabila klien belum dipasang infus, lakukan pemasangan dan berikan normal saline terlebih dahulu
 Pastikan golongan darah pasien sudah teridentifikasi
b. Persiapan Alat
 Set pemberian darah
 Kateter besar (18 G atau 19 G)
 Cairan IV normal saline (NaCl 0,9 %)
 Set infus darah dengan filter
 Produk darah yang tepat
 Sarung tangan sekali pakai
 Kapas alkohol
 Plester dan gunting
 Manset tekanan darah
 Stetoskope
 Termometer
 Format persetujuan pemberian tranfusi yang ditandatangani
 Bengkok
 Penghangat darah (jika diperlukan)

Crossmatching Blood
Reaksi silang perlu dilakukan sebelum melakukan transfusi darah untuk melihat apakah darah penderita sesuai dengan darah donor.
Mayor crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel donor dan Minor Crossmatch adalah serum donor dicampur dengan
sel penerima. Jika golongan darah ABO penerima dan donor sama, baik mayor maupun minor test tidak bereaksi. Jika berlainan
umpamanya donor golongan darah O dan penerima golongan darah A maka pada test minor akan terjadi aglutinasi.
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi keselamatan penerima darah dan sebaiknya dilakukan demikian
sehingga Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat ditemukan dengan cara tabung saja. Cara dengan objek glass
kurang menjaminkan hasil percobaan. Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja tidak dapat mengesampingkan
aglutinin Rh yang hanya bereaksi pada suhu 37OC. Lagi pula untuk menentukan anti Rh sebaiknya digunakan cara Crossmatch dengan
high protein methode. Ada beberapa cara untuk menentukan reaksi silang yaitu reaksi silang dalam larutan garam faal dan reaksi
silang pada objek glass.
Reaksi Silang dalam Tabung
Prinsip : Sel donor dicampur dengan serum penerima (Mayor Crossmatch) dan sel penerima dicampur dengan serum donor dalam
bovine albumin 20% akan terjadi aglutinasi atau gumpalan dan hemolisis bila golongan darah tidak cocok.
Tujuan : untuk menentukan cocok tidaknya darah donor dengan darah penerima untuk persiapan transfusi darah.
Alat dan Reagensia :
- Tabung reaksi - Bovine albumin 20%
- Pipet tetes - Mikroskop
- Sentrifuge - NaCl 0,9 %
- Tabung sentrifuge - Serum Coombs
Bahan Pemeriksaan: Serum dan Eryhtrosit 5 %
Teknik Kerja :
a. Pembuatan suspensi Eryhtrosit 5 %
 Kedalam tabung 12 x 75 mm diisi dengan larutan NaCl 0,9 % sebanyak 5 ml.
 Tambahkan 5 tetes darah EDTA dan campur.
 Putar pada sentrifuge pada 1500 rpm selama 5 menit.
 Cairan dibuang dan pada endapan ditambahkan larutan NaCl 0,9 % sebanyak 5 ml. Campur dan putar lagi, ulangi langkah tadi
sebanyak 3 kali.
 Terakhir pada penambahan NaCl 0,9 % yang ke-4 kalinya sebanyak 5 ml merupakan suspensi eryhtrosit 5 %.
b. Pemeriksaan reaksi silang fase I
 Sediakan dua buah tabung reaksi kecil dalam rak, yang sebelah kiri untuk mayor test dan sebelah kanan untuk minor test.
 Tabung kiri diisi dengan 2 tetes serum penerima dan 2 tetes suspensi erythrosit donor 5 % dalam larutan NaCl 0,9 % dan 2
tetes bovine albumin 20%.
 Tabung kanan diisi dengan 2 tetes serum donor dan 2 tetes suspensi erythrosit penerima 5 % dalam larutan NaCl 0,9 % 2
tetes bovine albumin 20%.
 Masing-masing tabung dicampur dan diputar disentrifuge pada 1000 rpm selama 1 menit.
 Goyangkan hati-hati dan periksa adanya aglutinasi dan hemolisis.
 Bila hasil Mayor dan minor negatif, pemeriksaan dilanjutkan ke fase II
 Bila hasil Mayor dan minor positif, pemeriksaan tidak dilanjutkan (tidak cocok)
c. Crossmatch Fase II
 Tabung tadi diinkubasi pada suhu 370C selama 15 menit
 Putar selama 1 menit pada 1000 rpm disentrifuge.
 Baca adanya aglutinasi dan hemolisis dengan menggoyang perlahan-lahan sama dengan fase I, bila negatif dilanjutkan ke fase
III
d. Crossmatch Fase III
 Sel darah merah dicuci dengan NaCl 0,9% 3-4 kali
 Tambahkan 2 tetes serum Coombs pada kedua tabung mayor dan Minor test.
 Putar pada sentrifuge 1000 rpm selama 1 menit.
 Baca adanya aglutinasi dan hemolisis dengan menggoyang perlahan-lahan sama dengan fase I secara makroskopis.
Penafsiran :
 Bila aglutinasi dan hemolisis negatif (-) maka darah dapat ditransfusikan
 Bila aglutinasi dan hemolisis positif (+) maka darah tidak dapat ditransfusikan (tidak cocok)
Serum antiglobulin meningkatkan sensitivitas pengujian in vitro. Antibodi kelas IgM yang kuat biasanya menggumpalkan eritrosit
yang mengandung antigen yang relevam secara nyata, tetapi antibodi yang lemah sulit dideteksi. Banyak antibodi kelas IgG yang
tak mampu menggumpalkan eritrosit walaupun antibodi itu kuat. Semua pengujian antibodi termasuk uji silang tahap pertama
menggunakan cara sentrifugasi serum dengan eritrosit. Sel dan serum kemudian diinkubasi selama 15-30 menit untuk memberi
kesempatan antibodi melekat pada permukaan sel, lalu ditambahkan serum antiglobulin dan bila penderita mengandung antibodi
dengan eritrosit donor maka terjadi gumpalan.
Uji saring terhadap antibodi penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu hamil yang kemungkinan terkena penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir.

E. PROSEDUR KERJA
 Baca status dan data klien untuk memastikan program tranfusi darah
 Pastikan bahwa klien telah menandatangani format persertujuan tindakan
 Cek alat-alat yang akan digunakan
 Cuci tangan
 Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya
 Perkenalkan nama perawat
 Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien
 Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan
 Kaji pernah tidaknya klien menerima tranfusi sebelumnya dan catat reaksi yang timbul, apabila ada
 Minta klien untuk melaporkan apabila menggigil, sakit kepala, gatal-gatal, atau
ruam dengan segera
 Beri kesempatan pada klien untuk bertanya
 Tanyakan keluhan klien saat ini
 Jaga privasi klien
 Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien
 Periksa tanda vital klien sebelum memulai tranfusi
 Kenakan sarung tangan sekali pakai
 Lakukan pemasangan infuse, apabila belum terpasang dengan menggunakan kateter berukuran besar ( 18 atau 19 G), apabila
sudah terpasang cek apakah set yang ada bisa digunakan untuk pemberian tranfusi dan cek kepatenan vena
 Gunakan selang infus yang memiliki filter di dalam selang (apabila selang infus masih menggunakan selang infuse yang kecil, ganti
dengan selang infus untuk tranfusi yang ukurannya lebih besar)
 Gantungkan botol normal saline untuk diberikan setelah pemberian darah selesai
 Ikuti protokol lembaga dalam mendapatkan produk darah dari bank darah. Minta darah pada saat Anda siap menggunakannya.
 Bersama seorang perawat lainnya yang telah memiliki lisensi, identifikasi produk darah yang akan dimasukkan (periksa etiket
kompabilitas yang menempel pada kantong darah dan informasi pada kantong tersebut; untuk darah lengkap, periksa golongan
darah ABO dan tipe Rh yang terdapat pada catatan klien; periksa kembali kesesuaian produk darah yang akan diberikan dengan
resep dokter; periksa data kadaluarsa pada kantong darah; inspeksi darah untuk melihat adanya bekuan darah; tanyakan nama
klien dan periksa tanda pengenal yang dimiliki klien)
 Mulai pemberian tranfusi darah (sebelum darah diberikan, berikan dahulu larutan normal saline; mulai berikan tranfusi secara
perlahan diawali dengan pengisian filter di dalam selang; atur kecepatan sampai 2 ml/menit untuk 15 menit pertama dan tetaplah
bersama klien. Apabila perawat menjumpai adanya reaksi, segera hentikan tranfusi, bilas selang dengan normal saline, laporkan
pada dokter dan beritahu bank darah)
 Monitor tanda vital (ukur setiap 5 menit pada 15 menit pertama, selanjutnya disesuaikan dengan kebijakan lembaga)
 Observasi klien untuk melihat adanya reaksi tranfusi
 Pertahankan kecepatan infus yang diprogramkan dengan menggunakanpompa, jika perlu
 Apabila tranfusi sudah selesai, bilas dengan normal saline
 Bereskan alat, lepas sarung tangan
 Cuci tangan
 Kaji respon klien setelah tranfusi diberikan
 Berikan reinforceament positif pada klien
 Buat kontrak untuk pertemuan selanjutnya
 Observasi timbulnya reaksi yang merugikan secara berkelanjutan
 Catat pemberian darah atau produk darah yang diberikan dan respon klien terhadap terapi darah pada status kesehatan klien
 Setelah tranfusi selesai, kembalikan kantong darah serta selang ke bank darah

F. REAKSI DAN KOMPLIKASI TRANSFUSI


Reaksi transfusi di klasifikasikan sebagai tipe Akut (cepat) dan Delayed (lambat), dimana masing-masing dari tipe tersebut terdiri dari
reaksi akibat Respon Imun dan Respon Non Imun (2,8).

1. Reaksi Transfusi akut


Reaksi Transfusi akut adalah reaksi yang timbul sampai dengan 24 jam setelah pemberian transfusi. Pembagiannya berdasarkan
reaksi Imun dan Non Imun.
a. Reaksi Imunologi
 Reaksi Hemolitik Akut (Acute Hemolytic Reaction)
Reaksi hemolisis akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien
akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml)
namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin
meningkatkan risiko
Pasien yang mengalami reaksi hemolitik akut mungkin mengalami mengeluh rasa panas di muka (flushing), nyeri di
tempat infuse, nyeri dada atau punggung, gelisah, cemas, mual, atau diare, dispnea. Tanda berupa demam dan menggigil
serta temuan khas pada syok dan gagal ginjal. Pada pasien koma atau dalam anestesi, indikasi pertama mungkin
hemoglobulinuria, atau perdarahan generalisata akibat koagulasi intravaskuler diseminata.
Pemeriksaan reaksi transfusi hemolitik:
Dilakukan pemeriksaan teliti identitas donor dan resipien, penyebab tersering adalah karena kesalahan klinis, terutama
kesalahaan pemberian label spesimen. Langkah berikutnya adalah membuktikan adanya destruksi sel darah merah,
pemeriksaan penyebabnya, dan penatalaksanaan status klinis pasien.
Pada hemolisis intravaskuler yang baru terjadi, hemoglobulin bebas dapat mewarnai plasma dan urin. Laboratorium
dapat mengkonfirmasi peningkatan hemoglobulin bebas, adanya methemalbumin, atau penurunan haptoglobin serum
bila perlu. Indikator terbaik adanya hemolisis intravaskuler adalah adanya peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi
(indirek) dan kegagalan hematokrit mencapai kadar pascatransfusi yang diharapkan.
Penatalaksanaan hemolisis akibat reaksi transfusi:
Segera menghentikan transfusi, lakukan terapi simptomatik dengan anti piretik oral/supp dan/atau anti histamine iv,
setelah 15-30 menit berikan hidrokortison dan epinefrin iv kemudian infuse manitol 10 % yang diteruskan dengan
pemberian bikarbonat natrikus serta diuretika (1). Buatlah laporan kepada Bank Darah untuk pemeriksaan akan sebab-
sebab reaksi.
Pencegahan Hemolisis akibat Reaksi transfuse:
Dilakukan pemeriksaan teliti identitas donor dan resipien

 Reaksi Alergi
Reaksi alergi terjadi pada 1% dari semua transfusi darah, sering terjadi pada orang – orang dengan riwayat alergi, dan
yang lebih sering lagi pada orang – orang yang telah banyak mendapat transfusi darah sebelumnya. Reaksi alergi ini
disebabkan oleh adanya antibody dalam tubuh penderita terhadap protein dalam plasma donor, atau pemindahan alergi
dari donor (1,2,8,9)
Tanda dan Gejala
Urtikaria disertai gatal, biasanya timbul segera mulainya transfuse, Dapat disertai demam, sakit kepala dan muntah,
Edema pada muka, bibir, dan kelopak mata, Edema laring jarang, namun bila timbul merupakan komplikasi yang berat,
Dapat timbul gejala gejala asma bronchial, Jarang terjadi reaksi anafilakik dengan gejala shok, tetapi bila ada, maka tanda
awalnya adalah takikardi, impotensi dan sesak nafas.
Penatalaksanaan
Bila gejala alergi ringan berupa urtikaria, transfusi diperlambat dan diberikan antihistamin iv.
Bila timbul gejala – gejala berat, transfusi dihentikan dan diberikan adrenalin, antihistamin dan kortikosteroid.
Pencegahan
Pada penderita dengan riwayat alergi sesudah transfusi atau penyuntikan, reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian
eritrosit yang telah dicuci.
Dapat diberikan antihistmin dan korikosteroid sebelum transfusi darah.
Dapat dilakukan skin test sebelumnya dengan plasma donor. Hasil negative belum tentu bebas reaksi karena dapat pula
terjadi “false negative”. Namun hasil positif dapat dipastikan akan terjadi reaksi bila transfusi dilakukan.

 Reaksi Demam Non Hemolitik / Aloimunisasi


Karena tidak ada dua manusia yang memiliki susunan genetik yang sama, kecuali kembar identik, proses transfusi darah
berarti memasukkan banyak antigen asing. Antigen ini tidak secara langsung mengakibatkan reaksi imunologis. Antibodi
pada resipien akan terbentuk dalam hitungan hari, minggu atau bulan setelah proses transfusi.
Reaksi imunologi ini disebabkan rangsangan aloantigen asing yang terdapat pada eritrosit, leukosit, trombosit dan
protein plasma. Bila resipien mendapat transfusi yang mengandung antigen tersebut maka akan terjadi pembentukan
antibodi sehingga kelak bila mendapat transfusi dapat terjadi mediasi imunologi. Komplikasi ini hanya terdapat pada
pasien yang perlu berulang-ulang mendapat transfusi atau memerlukan sejumlah darah yang banyak, sekitar 10 kali
transfusi.
Tanda dan Gejala
Demam timbul secara tiba – tiba. Biasanya ½ - 3 jam mulainya transfusi. Suhu badan sekitar 38° C – 40° C.
Biasanya disertai menggigil, penderita gelisah, sakit kepala dan disertai mual dan muntah.
Jarang menimbulkan bahaya pada penderita, kecuali bila penderita dengan keadaan umum buruk.
Penatalaksanaan
Selimuti penderita agar tidak kedinginan
Anti piretika dan anti histamin dan/atau kortikosteroid.
Sedativa bila penderita gelisah.
Transfusi diperlambat, Bila tidak ada perbaikan transfusi dihentikan atau diganti
Pencegahan
Pada penderita-penderita anemia yang hanya membutuhkan erirosit, eritrosit saja yang diberikan sedang plasma dan
yang banyak mengandung leukosit dan trombosit tidak diberikan.
Pada penderita-penderita yang telah terbukti adanya antibody terhadap leukosit dan trombosit, sebaiknya diberikan
washed red cells (eritrosit cuci).

 Reaksi Anafilaksis
Reaksi anafilaktik ini sangat jarang, diperkirakan hanya terjadi pada 1 dari 170.000 transfusi. Reaksi anafilaktik dapat
terjadi pada pasien dengan defisiensi IgA dan pasien yang memiliki antibodi anti-IgA. Dua tanda klasik reaksi anafilaktik
segera terjadi yaitu gejala hanya setelah beberapa millimeter darah atau plasma dimasukkan tanpa adademam. Sitokin
dalam plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu.
Tanda dan Gejala
Batuk – batuk dengan kesulitan bernafas, disertai bronkospasme.
Mual, muntah terkadang disertai dengan diare dan dengan abdominal cramps
Penurunan kesadaran, hipotensi, bradikardi, dan shok.
Tampak beberapa saat setelah diberikannya transfusi.
Penatalaksanaan
Hentikan transfusi
Prinsipnya ABC, yaitu dengan bebaskan jalan nafas dan berikan bantuan nafas serta sirkulasi agar tetap stabil.
Berikan epinepherin (0,4 ml dari 1:1000 solution) sc/im
Berikan cairan koloid jika memungkinkan
Jangan berikan kembali transfusi, lakukan pemantauan tanda – tanda vital secara intensif sampai stabil.
Pencegahan
Pada penderita yang memiliki antibody terhadap molekul IgA, sebaiknya ditangani dengan komponen darah defisiensi
IgA dari saudara atau daftar donor.
Dapat dilakukan skin test sebelumnya dengan plasma donor. Hasil negative belum tentu bebas reaksi karena dapat pula
terjadi false negative. Namun hasil positif dapat dipastikan akan terjadi reaksi bila transfusi dilakukan.

 Kerusakan Paru akut akibat Transfusi (Transfusion-Related Acute Lung Injury = TRALI)
Kerusakan paru disebabkan transfusi antibodi di dalam plasma donor, yang bereaksi dengan granulosit resipien. Diduga
aglutinasi granulosit dan aktivasi komplemen terjadi dalam jaringan vaskuler paru, menyebabkan endotel kapiler rusak
sehingga terjadi kebocoran cairan kedalam alveoli.
Umumnya berupa ”respiratory distress” berat yang tiba-tiba, disebabkan oleh sindrom edema pulmonal non kardiogenik.
Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dan sianosis, sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada. Pada
pemeriksaan radiologis nampak edema paru.
Reaksi dapat terjadi dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya berat, umumnya akan mereda dalam 48-96 jam
dengan bantuan pernafasan, tanpa gejala sisa.
Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru dan hipoksia, termasuk bantuan pernafasan bila diperlukan. Dosis
tinggi kortikosteroid mungkin menguntungkan, karena menghambat agregrasi granulosit.
b. Reaksi Non Imunologi
 Reaksi Hemolitik Non Imun (1,8,9)
Reaksi hemolitik non imun merupakan reaksi akibat transfusi yang disebabkan bukan karena reaksi antara antigen dan
antibody, melainkan karena pemberian darah yang telah mengalami hemolisis atau oleh karena pemberian transfusi
bersama – sama dengan larutan hipotonis. Pada pemberian darah yang telah terhemolisis disebabkan oleh ; Darah donor
sudah terlalu lama disimpan, Cara penyimpanan yang kurang baik, sehingga eritrosit dapat membengkak atau hancur,
Pemanasan tiba - tiba dengan diberikan atau dimasukkan air panas yang temperaturnya melebihi panas tubuh atau suhu
yang terlalu rendah, Pemberian transfusi dengan cara memompa atau dengan tekanan, Telah terkontaminasi dengan
bakteri, sehingga eritrosit hancur
Tanda dan Gejala
Cepat dan beratnya gejala bervariasi, ada yang baru 40 – 50 ml sudah timbul gejala, ada yang setelah 1-2 jam transfusi
dihentikan. Pada yang cepat, gejalanya biasanya berat. Pada reaksi yang berat memberikan gejala yang klasik yakni :
Penderita gelisah, takut, rasa sesak, mual, munah, sakit pada region lumbal, kaki dan prekordial.
Menggigil, demam, takikardi dan shok.
Dapat disusul oliguria dan anuria akibat kegagalan ginjal mendadak.
Dapat timbul gangguan hemostatis berupa perdarahan yang abnormal dari vena punksi atau luka operasi.
Pada penderita yang sedang dalam pembiusan tanda dan gejala sering tidak tampak. Harus dicurigai adanya reaksi
hemolitik bila nadi meningkat dengan cepat, tekanan darah yang tiba-tiba menurun serta perdarahan yang sukar diatasi.
Gejala - gejala setelah melewati fase akut yaitu danya ikterus dan uremia akibat kegagalan ginjal mendadak.
Terjadinya kegagalan ginjal mendadak dan gangguan hemostatis disebabkan oleh proses koagulasi intravaskuler (DIC).
Pemeriksaan Laboratorium :
Hemoglobinemia secara mudah diketahui darah didiamkan plasma berwarna merah.
Hemoglobinuria dimana urin berwarna seperti air daging.
Pada fase berikutnya adanya hiperbilirubinemia dan ureum dapat meningkat
Adanya gangguan ketidakseimbangan elektrolit akibat terjadi kegagalan ginjal.
Penatalaksanaan
Transfusi segera dihentikan
Diganti dengan darah yang kompatibel atau plasma ekspader untuk mengatasi shok.
Kortikosteroid dan noradrenalin dapat diberikan
Untuk merangsang diuresis dapat diberikan manitol atau pemberian diuretika furosemid dosis tinggi.
Bila ada gangguan hemostatis pengobatan seperti DIC.
Pada penderita yang menetap dengan anuria atau oligouria dirawat dengan kegagalan ginjal akut.
Pencegahan :
Penyimpanan darah yang baik
Teliti dalam mengambil darah dengan memperhatikan tanggal (lama) penyimpanan darah.
Pada setiap botol darah, awasi menit – menit pertama pemberian transfusi, sebab gejala yang berat dapat terjadi 40-50
ml pertama.

 Kelebihan beban sirkulasi (1,9)


Terjadinya hipervolemia secara mendadak akibat transfusi akan menyebabkan terjadinya bendungan dalam paru yang
disusul dengan sembab paru dan akan tampak gejala – gejala dekompensasi jantung mendadak, edema paru serta
hiperhidrosis renalis. Komplikasi dekompensasi kordis merupakan yang terpenting karena banyak menyebabkan
kematian. Kemungkinan terjadinya over transfusi lebih besar pada penderita – penderita dengan anemia kronis, pada
orang tua, anak kecil, dan pada penderita dengan penyakit paru, jantung dan penyakit degeneratif.
Tanda dan Gejala
Seperti gejala dekompensasi kordis mendadak, timbul selama transfusi atau segera setelah transfusi dihentikan.
Penderita sesak, ortopnoe, sianosis, batuk – batuk dengan dahak kemerah – merahan.
Tekanan vena sentralis meningkat.
Pada auskultasi terdengar rhonki basah halus dan krepitasi.
Penatalaksanaan
Transfusi segera dihentikan dan penderita ditegakkan.
Berikan Diuretika (furosemid iv), Digitalis iv.
Oksigenasi
Torniket keempat ekstremitas dilonggarkan secara bergantian
Phlebotomi.
Pencegahan
Pada pengobatan anemia sebaiknya hanya diberikan packed red cell saja.
Pengawasan vena sentralis.
Pada penderita yang diduga mudah terjadi komplikasi ini, transfusi sebaiknya secara perlahan – lahan.
Pemberian diuretika sebelum/selama transfusi.

 Emboli Udara
Kejadian ini dapat terjadi pada permulaan transfusi atau yang paling sering pada waktu transfusi habis dan tak terkontrol
oleh petugas. Juga terjadi pada transfusi yang dipercepat dengan meninggikan tekanan, dengan cara memasukkan udara
ke dalam botol, bisa terjadi juga pada saat pemasangan selang transfusi atau waktu penggantian botol darah. Namun
dengan adanya kantong plastik untuk darah emboli darah sudah jarang terjadi.
Tanda dan Gejala
Sesak nafas, sianosis dan gelisah
Takikardi dan tekanan darah menurun
Syncope terjadi oleh karena adanya tanda-tanda tersebut dan terjadi begitu cepat sehingga penderita dapat mendadak
iskemia serebral, Pingsan dan dapat disusul dengan kematian.
Penatalaksanaan
Selang segera diklem
Penderita segera dimiringkan ke kiri (jika memungkinkan) dan kepala direndahkan sedang tungkai ditinggikan dengan
demikian udara diharapkan tertahan di ventrikel kanan, tidak ikut aliran darah ke paru.
Oksigenasi.
Pencegahan
Pantau dan pastikan selang transfusi bebas dari udara.
Perhatikan jika kantong darah sudah akan habis, untuk mencegah masuknya udara.

 Keracunan Sitrat
Darah simpan supaya awet dan tidak membeku diberikan pengawet campuran sitrat untuk mengikat kalsium agar tidak
terjadi pembekuan, fosfat sebagai penyangga (buffer), dan dekstrosa sebagai sumber energi sel darah merah serta
Ademin untuk membantu resistensi adenosin Trifosfat dan menjaga supaya 2,3 DPG tidak cepat rusak.
Pada penderita yang mengalami penyakit hepar dan ginjal yang berat, akan menderita intoksikasi sitrat oleh karena sitrat
dimetabolisme di hati dan diekskresi di ginjal.
Pasien yag berisiko untuk berkembang menjadi keracunan sitrat atau deficit kalsium ialah mereka yang mendapat
transfusi plasma, wholeblood, trombosit dengan kecepatan melebihi 100 mL/menit, atau lebih rendah pada pasien
dengan penyakit hati. Dimana hati tidak bias mengikuti pemberian yang cepat, tidak bisa memetabolasi
sitrat,mengurangi kalsium yang terionisasi. Hipokalsemia dapat memicu aritmia jantung.
Tanda dan Gejala
Tremor
Perubahan EKG : ST segmen memanjang
Penatalaksanaan
Pemberian glukonas kalsikus 10 % 4 – 8 cc setiap pemberian transfusi 1 unit kolf darah.

 Gangguan Irama Jantung


Pada penderita yang menerima transfusi darah yang masif (cepat dan banyak) dapat timbul gangguan irama jantung yang
pada keadaan berat dapat menyebabkan cardiac arrest.
Faktor-faktor penyebab :
Hiperkalemi. Khusus bila digunakan darah yang telah lama disimpan (lebih dari satu minggu), dimana telah banyak ion
kalium keluar dari sel-sel darah ke dalam plasma. Keadaan hiperkalemi lebih mudah terjadi bila penderita insufisiensi
ginjal.
Keracunan sitrat yang menyebabkan hipokalsemia, sehingga memberikan gejala tetani keracunan sitrat lebih mudah
terjadi bila ada gangguan hepar.
Darah yang dingin yang diberikan secara cepat dan banyak (masif)
Penatalaksanaan
Berikan obat Anti Aritmia
Apabila terjadi cardiac arrest lakukan resusitasi jantung – paru
Bila penyebab adalah intoksikasi sitrat lakukan terapi seperti pada intoksikasi sitrat
Pencegahan :
Hiperkalemi. Usahakan gunakan darah yang belum terlalu lama disimpan.
Keracunan sitrat dapat dihindari dengan pemberian 10 ml 10 % larutan kalsium glukosa setiap liter darah pada transfusi
yang masif.
Memanaskan darah sampai suhu tubuh, tetapi hati-hati terjadinya over heating karena dapat terjadi hemolisis.

 Thrombo Flebritis
Merupakan peradangan pada sepanjang pembuluh darah vena yang digunakan. Biasanya sering timbul pada transfusi
yang lama. Walaupun jarang terjadi namun dapat menyebabkan komplikasi berupa emboli dan/atau sepsis.
Penatalaksanaan
Anti inflamasi, phenylbutazon 3 x 100 mg/hari, memberikan hasil yang baik.
Antibiotika terutama bila ditakutkan terjadinya infeksi
Pencegahan
Transfusi setiap 48 jam harus dipindahkan ke vena yang lain.
Pengawasan, bila ada tanda-tanda peradangan, harus segera dipindahkan.

 Gangguan Hemostatis
Pada suatu transfusi darah dapat terjadi gangguan hemostatis atau koagulasi yang memberikan gejala-gejala
perdarahan.
Faktor-faktor penyebab :
 Dilutional trombocytopenia (trombositopenia akibat pengenceran)
Darah yang telah disimpan lebih dari 48 jam, hampir tidak mengandung trombosit lagi, sehingga sesudah transfusi
darah yang masif trombosit penderita mengalami pengenceran.
 Kekurangan faktor V dan Viii (faktor labil)
Pada penyimpanan darah secara biasa faktor V dan VIII juga cepat rusak, tetapi telah diselediki setelah
penyimpanan 21 hari, faktor-faktor ini masih ada 20 % - 50 %, sedang untuk proses pembekuan berjalan biasa,
cukup dengan 5 – 20 % dari kadar normal, sehingga kekurangan faktor-faktor ini bukan sebab utama terjadi
perdarahan pasca tranfusi.
 Disseminata Intravasculer Coagulation (DIC)
Diduga oleh adanya hipoksia jaringan dan Stagnant blood flow akan dilepaskan tromboplastin jaringan yang
selanjutnya merangsang terjadinya koagulasi intravaskuler.
Penatalaksanaan dan Pencegahan :
Pada transfusi yang masif sebaiknya diselingi pemberian darah segar yang masih cukup mengandung trombosit dan
faktor-faktor pembekuan.
Bila ada tanda-tanda D.I.C, lakukan terapi D.I.C

2. Reaksi Transfusi Delayed (lambat)


Reaksi transfusi yang terjadi setelah 24 jam pemberian transfusi. Pembagiannya berdasarkan akibat reaksi Imun dan Non Imun
a. Reaksi Imunologi :
 Reaksi Hemolitik Lambat
Reaksi ini biasanya timbul setelah 3-21 hari setelah transfusi (1) reaksi ini biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri.
Reaksi ini umumnya bersifat sekunder, terjadi sesudah kemasukan antigen eritrosit, respon terbentuknya antibodi
lambat, puncak reaksi tercapai juga lambat. Pada reaksi transfusi hemolotik lambat ini, perusakan eritrosit donor
terjadi ekstravaskular, yaitu di sistem retikulo endotelial (clearance dipercepat)
Tanda dan Gejala
Gejala yang timbul dapat berupa Sakit kepala (berdenyut), sakit pinggang, panas, muka kemerahan, kelesuan yang
hebat, sakit dada, respirasi menjadi cepat dan pendek, urtikaria, anemia, kadang – kadang hipotensi dan takikardi,
dapat pula mengakibatkan gagal ginjal akut (1).
Terapi (Seperti terapi pada reaksi hemolitik yang lain)
Transfusi segera dihentikan
Diganti dengan darah yang kompatibel atau plasma ekspader untuk mengatasi shok.
Kortikosteroid dan noradrenalin dapat diberikan
Untuk merangsang diuresis dapat diberikan manitol atau pemberian diuretika furosemid dosis tinggi.
Bila ada gangguan hemostatis pengobatan seperti DIC.
Pada penderita yang menetap dengan anuria atau oligouria dirawat dengan kegagalan ginjal akut.

 Sensitisasi imun terhadap antigen Rhesus D


Sensitisasi imun terhadap antibody Rhesus D dapat menyebabkan hemolisis ekstravaskuler karena bersifat imun. Hal
tersebut terjadi dari transfusi sebelumnya atau kehamilan (8,9).
Tanda dan Gejala
Klinis yang tampak berupa malaise, ikterus serta demam dijumpai pada 1:500 pasien yang ditransfusi, biasanya
ringan dan timbul 5-10 hari setelah transfusi. Syok dan penyulit ginjal jarang terjadi. Sekitar 1 dari 150 pasien
asimptomatik akan membentuk antibody baru setelah 1 minggu transfusi, dan menunjukkan peningkatan amnestik
antibody yang sebelumnya tidak terdeteksi oleh rangsangan transfusi. Walaupun jarang, pasien dapat
menghancurkan semua sel yang ditransfusikan tanpa memperlihatkan adanya sel antibody.
Penatalaksanaan
Pasien yang mengalami hemolisis ekstravaskuler akibat sensitisasi imun terhadap rhesus D harus di tangani secara
konservatif. Transfusi lebih lanjut harus ditunda sampai serologi pasien dapat ditentukan dengan jelas, kecuali bila
nyawa pasien terancam. Penanganan yang lainnya bersifat simptomatik seperti pada penatalaksanaan reaksi
hemolisis yang lain.
Pencegahan
Anti-D bertanggung jawab untuk sebagian besar problem klinis yang bersamaan dengan system ini oleh karena itu
skrinning orang – orang terhadap rhesus D positif atau rhesus D negative memberikan maksud klinik terhadap
pencegahan kasus ini.

 Purpura Pasca Transfusi


Merupakan pengembangan trombositopeni yang mengancam kehidupan, terjadi pada hari ke 5-10 sesudah
transfusi. Ini disebabkan oleh berkembangnya aloantibodi yang ditijukan kepada antigen khusus trombosit.

b. Reaksi Non Imunologi


 Reaksi Penularan Penyakit
Transfusi dengan darah yang telah kejangkitan kuman sangat berbahaya, apalagi telah lama disimpan dapat
menyebabkan syok sampai kematian. Untungnya kejadian ini jarang terjadi, meskipun darah diambil secara steril
mungkin, umumnya akan terjadi kontaminasi dengan kuman yang ada di kulit atau diudara, tetapi darah segar
bersifat bakterisid sehingga kuman yang terkontaminasi sebagian besar akan mati, sedang kuman yang tidak mati,
bila darah yang akan diambil dilakukan penyimpangan dengan baik (dengan segera dimasukkan dalam refrigerator).
Kuman tersebut tidak akan berkembang biak dan tidak akan memberikan gejala klinis. Tetapi bila penyimpanan tidak
baik atau darah dibiarkan dengan temperature ruangan maka kuman akan cepat berkembang. Yang paling banyak
ditemukan ialah kuman gram (-), yang menimbulkan gejala – gejala syok akibat endotoksin.(1,9).
Tanda dan Gejala
Pada darah yang mengalami kontaminasi berat akan menyebabkan sepsi akut dan syok endotoksin dengan didahului
demam, menggigil, berkeringat, mual, muntah, takikardi disusul penurunan tekanan darah. Kadang – kadang sulit
dibedakan dengan reaksi hemolitik. Kematian dapat terjadi sesudah transfusi. Untuk membedakannya secara
sederhana :
Ambil darah penderita, diamkan sejenak dan dilihat bila plasmanya berwarna merah merah oleh adanya
hemoglobinemia, berarti adanya hemolisis
Buat preparat hapus dari sisa darah botol transfusi dan diwarnai menurut gram, bila terlihat kuman berarti darah
yang mengalami kontaminasi kuman.
Diagnosa diperkuat dengan pemeriksaan kultur darah dari sisa darah yang diberikan dan dari darah penderita.
Adapun penularan penyakit yang dilaporkan oleh peneliti dan para ahli Hematologi adalah sebagai berikut (1)
 Sebab Viral: Hepatitis, CMV, EBV, HIV
 Sebab Triponema (sifilis)
 Sebab Protozoa: Malaria, Chaga’s disease, Tryponemiasis, Kala Azar
 Sebab Bakterial: Coliform sp, Pseudomonas, Proteus

 Hemosiderosis Transfusi
Hemosiderosis akibat transfusi merupakan tertimbunnya zat besi dalam jaringan – jaringan yang dapat terjadi pada
transfusi yang berulang – ulang pada penderita anemia yang bukan kekurangan besi. Anak yang menderita talesemia
minor merupakan satu-satunya kelompok yang terkena, tetapi cukup banyak anak yang menderita anemia
kongenital dan orang dewasa dengan anemia refrakter yang diterapi secara intensif juga beresiko.
Setiap milliliter sel darah merah mengendapkan 1,08 mg besi di jaringan sewaktu sel darah merah menua atau mati.
Deposit besi mulai mempengaruhi fungsi endokrin, hati dan jantung bila beban tubuh total naik mencapai lebih dari
20 gram, ekivalen dengan sekitar 100 unit sel darah merah. Penyulit jantung letal terjadi pada beban 60 gram atau
sekitar 300 unit. Terapi kelasi besi harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang diperkirakan memerlukan
pemberian sel darah intensif.

HIPERSENSITIFITAS

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara
imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut
disebut allergen.Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respon imun berlebihan atau tidak tepat
terhadap suatu benda asing. Reaksi hipersensitivitas biasanya disubklasifikasikan menjadi tipe I-IV

A. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I


Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, atau reaksi alergi, yang timbul kurang dari 1 jam sesudah tubuh terpajan oleh alergen yang sama
untuk kedua kalinya. Pada reaksi tipe ini, yang berperan adalah antibodi IgE, sel mast ataupun basofil, dan sifat genetik seseorang yang
cendrung terkena alergi (atopi). Prosesnya adalah sebagai berikut:
Ketika suatu alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan terpajan oleh makrofag. Makrofag akan mempresentasikan epitop
alergen tersebut ke permukaannya, sehingga makrofag bertindak sebagai antigen presenting cells (APC). APC akan mempresentasikan
molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2, dan sel Th2 mengeluarkan mediator IL-4 (interleukin-4) untuk menstimulasi sel B untuk
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel Plasma. Sel Plasma akan menghasilkan antibodi IgE dan IgE ini akan berikatan di reseptor FC-
εR di sel Mast/basofil di jaringan. Ikatan ini mampu bertahan dalam beberapa minggu karena sifat khas IgE yang memiliki afinitas yang
tinggi terhadap sel mast dan basofil. Ini merupakan mekanisme respon imun yang masih normal.
Namun, ketika alergen yang sama kembali muncul, ia akan berikatan dengan IgE yang melekat di reseptor FC-εR sel Mast/basofil tadi.
Perlekatan ini tersusun sedimikian rupa sehingga membuat semacam jembatan silang (crosslinking) antar dua IgE di permukaan (yaitu
antar dua IgE yang bivalen atau multivalen, tidak bekerja jika igE ini univalen). Hal inilah yang akan menginduksi serangkaian mekanisme
biokimiawi intraseluler secara kaskade, sehingga terjadi granulasi sel Mast/basofil. Degranulasi ini mengakibatkan pelepasan mediator-
mediator alergik yang terkandung di dalam granulnya seperti histamin, heparnin, faktor kemotaktik eosinofil, danplatelet activating factor
(PAF). Selain itu, peristiwa crosslinking tersebut ternyata juga merangsang sel Mast untuk membentuk substansi baru lainnya, seperti
LTB4, LTC4, LTD4, prostaglandin dan tromboksan. Mediator utama yang dilepaskan oleh sel Mast ini diperkirakan adalah histamin, yang
menyebabkan kontraksi otot polos, bronkokonstriksi, vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas vaskular, edema pada
mukosa dan hipersekresi.
Gejala yang ditimbulkan: bisa berupa urtikaria, asma, reaksi anafilaksis, angioedema dan alergi atopik.

B. REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE II


Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja
pada antigen yang terdapat di permukaan sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa berupa mikroba atau
molekul2 kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang, antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG dan
IgM. Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan
antigen tersebut. Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-
antibodi di permukaan sel sasaran tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu
sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik/sitolisis (sito=sel, toksik=merusak, lisis=menghancurkan).
Prosesnya ada 3 jenis mekanisme yang mungkin, yaitu:
- Proses sitolisis oleh sel efektor. Antibodi IgG/IgM yang melekat dengan antigen sasaran, jika dihinggapi sel efektor, ia (antibodi) akan
berinteraksi dengan reseptor Fc yang terdapat di permukaan sel efektor itu. Akibatnya, sel efektor melepaskan semacam zat toksik yang
akan menginduksi kematian sel sasaran. Mekanisme ini disebut ADCC (Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity).
- Proses sitolisis oleh komplemen. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran didatangi oleh komplemen C1qrs, berikatan dan
merangsang terjadinya aktivasi komplemen jalur klasik yang akan berujung kepada kehancuran sel.
- Proses sitolisis oleh sel efektor dengan bantuan komplemen. Komplemen C3b yang berikatan dengan antibodi akan berikatan di
reseptor C3 pada pemukaan sel efektor. Hal ini akan meningkatkan proses sitolisis oleh sel efektor.
Keseluruhan reaksi di atas terjadi dalam waktu 5-8 jam setelah terpajan antigen yang sama untuk kedua kalinya.
Contoh penyakit yang ditimbulkan: Reaksi transfusi, Rhesus Incompatibility, Mycoplasma pneumoniae related cold agglutinins, Tiroiditis
Hashimoto, Sindroma Goodpasture’s, Delayed transplant graft rejection.

C. REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE III


Reaksi hipersensitifitas tipe III ini mirip dengan tipe II, yang melibatkan antibodi IgG dan IgM, akan tetapi bekerja pada antigen yang
terlarut dalam serum.
Prosesnya adalah sebagai berikut:
Seperti tipe yang lainnya, ketika antigen pertama kali masuk, ia akan mensensitisasi pembentukan antibodi IgG dan IgM yang spesifik.
Ketika pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama, IgG dan IgM spesifik ini akan berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum
membentuk ikatan antigen-antibodi kompleks. Kompleks ini akan mengendap di salah satu tempat dalam jaringan tubuh (misalnya di
endotel pembuluh darah dan ekstraseluler) sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun akan aktif sehingga
dihasilkanlah mediator-mediator inflamasi seperti anafilatoksin, opsonin, kemotaksin, adherens imun dan kinin yang memungkinkan
makrofag/sel efektor datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena kompleks antigen antibodi ini mengendap di jaringan, aktifitas sel efektor
terhadapnya juga akan merusak jaringan di sekitarnya tersebut. Inilah yang akan membuat kerusakan dan menimbulkan gejala klinis,
dimana keseluruhannya terjadi dalam jangka waktu 2-8 jam setelah pemaparan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit
yang ditimbulkan: Systemic Lupus Erythematosus, Erythema Nodosum, Polyarteritis nodosa, Arthus Reaction, Rheumatoid Arthritis,
Elephantiasis (Wuchereria bancrofti reaction), Serum Sickness.

D. REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE IV


Reaksi hipersensitifitas tipe IV berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena reaksi ini tidak melibatkan antibodi akan tetapi melibatkan sel-
sel limfosit. Umumnya reaksi ini timbul lebih dari 12 jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini disebut reaksi
hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein,
bahan kimia yang dapat menembus kulit, dan lain-lain.
Prosesnya secara umum adalah sebagai berikut:
Ketika tubuh terpajan alergen pertama kali, ia akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke limfonodus regional. Disana ia akan mensensitasi
sel Th untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel DTH (Delayed Type Hypersensitivity). Bila sel DTH yang disensitasi terpajan
ulang dengan antigen yang sama, ia akan melepas sitokin (berupa IFN-γ, TNF-β, IL-2,IL-3) dan kemokin (berupa IL-8, MCAF, MIF) yang akan
menarik dan mengaktifkan makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitifitas.
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivits tipe IV, yaitu :
a. Reaksi Jones Mote
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem
tanpa indurasi, yang merupakan ciri dari CMI (Baratawidjaya, 2002)
b. Hipersensitivitas Kontak dan Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Sel langerhans sebagai APC memegang peranan pada reaksi ini
c. Reaksi Tuberkulin
Terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear. Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam
jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit
d. ReaksiGranuloma
Reaksi granuloma merupakan reaksi hipersensitivitas yang paling penting karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi
karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau
kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik. Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen
yang persisten, sedang reaksi tuberkulin merupakan respon imun seluler oleh antigen mikroorganisme yang sama misalnya M.
tuberculosis dan M. leprae
Contoh penyakit yang ditimbulkan: reaksi tuberkulin, dermatitis kontak.

TANDA DAN GEJALA


Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberianantigen protein atau obat (misalnya, bias lebah
atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria(bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan
menyebabkanobstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan
vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat
mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat
tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare),
atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Adapun Gejala klinisnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi : apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
Palpasi : ada nyeri tekan pada kemerahan
Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung
lebih meningkat)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari
rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada
alergi makanan.
IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya
menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan
limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

DIAGNOSTIK
Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia,
keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium
glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella),
virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada
ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
Reaksi psikologi

TERAPI
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar :
1.Menghindari allergen

2.Terapi farmakologis
• Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin,
albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat
menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
• Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan
sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamin.•Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat
merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut.
Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
• Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung
yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.

3.Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat
menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati
memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti
yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah
terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun.

4.Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

PENYAKIT AUTOIMUN

Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen tubuh sendiri yang disebabkan oleh menkanisme normal yang gagal berperan untuk
mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun, menyerang bagian dari
tubuh tersebut dan merupakan kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem
imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro-jasad,
parasit (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokkan organ dan jaringan.

ETIOLOGI
 Genetik : Telah ditunjukkan pada manusia bahwa gen Major Histocompatibility Complex (MHC) dikaitkan dengan kejadian spesifik dari
penyakit autoimmune. Gen MHC ada pada semua vertebrata, gen ini menandai 2 katagori pokok molekul yang membentuk bagian
dari sel membran dan seluruh bagian membran. Secara khusus gen tersebut memiliki peranan dalam menseleksi antigen yang dapat
dikenali oleh sel-T. Sebuah analisa keturunan dari anjing beardies menunjukan bahwa hypoadrenocorticism mempengaruhi sifat
keturunan yang dihasilkan. Kejadian ini disebabkan adanya autosomal recessive gene yang melakukan penetrasi secara tidak lengkap.
Para peneliti berharap dapat mengidentifikasi gen atau gen-gen pada satu atau lebih loci yang memiliki hubungan dengan
hypoadrenocorticism. Analisa pedigree pada populasi besar Old English Sheepdogs dan breeds lainnya yang pada populasi lebih kecil,
menunjukkan bahwa hampir semua kasus autoimmune terjadi pada hewan yang memiliki darah segaris. Namun demikian data
tersebut juga menjelaskan bahwa anjing-anjing yang dalam segaris keturunan tidak selalu menderita penyakit autoimmune dimana
mayoritas dalam kondisi normal, sehat walaupun beberapa menderita gangguan subklinis penyakit autoimmune. Kesimpulan yang
dapat ditarik dari kasus diatas bahwa ; Tampaknya anjing memiliki kecendurungan secara genetik untuk menderita penyakit
autoimmune.
Fakta lain menunjukkan bahwa gen spesifik atau kelompok gen sebagai predisposisi suatu keluarga terhadap Psoriasis. Sebagai
tambahan, individu anggota suatu keluarga dengan penyakit autoimmune dapat berperan dalam membentuk abnormalitas gen yang
mendorong kejadian penyakit autoimmune walaupun mungkin menurunkan penyakit autoimmune dalam jenis penyakit autoimmune
lainnya. Sebagai contoh; salah satu orangtuanya menderita lupus, maka keturunannya dimungkinkan menderita dermatomyositis dan
mungkin keturunan lainnya penderita Rheumatoid arthritis.

PATOFISIOLOGI
Jika tubuh dihadapkan sesuatu yang asing maka tubuh memerlukan ketahanan berupa respon immun untuk melawan substansi tersebut
dalam upaya melindungi dirinya sendiri dari kondisi yang potensial menyebabkan penyakit. Untuk melakukana hal tersebut secara efektif
maka diperlukan kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri sehingga dapat memberikan respon pada kondisi asing atau bukan dirinya
sendiri. Pada penyakit autoimmune terjadi kegagalan untuk mengenali beberapa bagian dari dirinya (NIH, 1998).
Ada 80 grup Penyakit autoimmune serius pada manusia yang memberikan tanda kesakitan kronis yang menyerang pada hampir seluruh
bagian tubuh manusia. Gejala-gejala yang ditimbulkan mencakup gangguan nervous, gastrointestinal, endokrin sistem, kulit dan jaringan
ikat lainnya, mata, darah, dan pembuluh darah. Pada gangguan penyakit tersebut diatas, problema pokoknya adalah terjadinya gangguan
sistem immune yang menyebabkan terjadinya salah arah sehingga merusak berbagai organ yang seharusnya dilindunginya.

PENYAKIT AUTOIMMUNE (PSORIASIS)


Contoh penyakit autoimun meliputi penyakit seliaka, diabetes mellitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjögren,
Churg-Strauss Syndrome, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, purpura idiopatik thrombocytopenic, dan rheumatoid arthritis (RA).
Beberapa ganguan autoimun yang sering terjadi seperti radang sendi rheumatoid, lupus erythematosus sistemik (lupus), dan vasculitis,
diantaranya. Penyakit tambahan yang diyakini berhubungan dengan autoimun seperti glomerulonephritis, penyakit Addison, penyakit
campuran jaringan ikat, sindroma Sjogren, sclerosis sistemik progresif, dan beberapa kasus infertilitas.
Ada beberapa penyakit autoimmune dan masing-masing dapat berdampak pada tubuh dengan berbagai model, sebagai contoh; reaksi
autoimmune berlangsung menyerang otak pada kasus multiple sclerosis dan menyerang saluran pencernaan pada kasus penyakit
Crohn&rsquo;s. Pada kasus penyakit autoimmune lainnya, seperti lupus erythematosus (lupus), berdampak pada jaringan dan organ-organ
yang bervariasi antar individu dengan penyebab penyakit yang sama.
Seseorang yang menderita lupus mungkin berdampak pada kulit dan persendian sementara kasus lupus pada individu lainnya memberikan
dampak kulit, ginjal dan paru-paru. Pada akhirnya kerusakan pada jaringan-jaringan yang disebabkan oleh sistem kekebalan akan
permanen sebagaimana kerusakan sel pankreas yang memproduksi insulin pada diabetes mellitus tipe I.

 Penyakit Autoimmune (Rhematoid-Arthritis)


Beberapa penyakit autoimmune diketahui terjadi dan makin terjadi karena adanya faktor pemicu seperti infeksi virus. Sinar matahari
tidak saja berperan sebagai pemicu kejadian lupus akan tetapi sinar matahari malahan dapat memperburuk kondisi penderita lupus.
Hal ini perlu disadari sehingga faktor-faktor tersebut dapat dihindari oleh individu yang rentan dalam rangka mencegah atau
meminimalisasikan jumlah kerusakan yang ditimbulkan oleh karena penyakitauto immune pada penderita. Faktor-faktor lainnya
seperti : stress kronis, hormonal dan kehamilan, belum banyak diketahui dampaknya terhadap sistem kekebalan dan penyakit
autoimmune (Aronson, 1999)

 Penyakit Autoimmune Lupus


Penyakit lupus atau erythematosus merupakan penyakit kronis yang terjadi karena produksi antibodi atau zat kekebalam tubuh yang
terlalu berlebihan. Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun karena pada saat terkena penyakit lupus, tubuh akan menghasilkan
antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, namun dalam keadaan autoimun, antibodi
tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri. Bagian dari organ tubuh yang sering dirusak adalah: ginjal, sendi, kulit, jantung, apru,
otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan organ tubuh.
a. Gejala Penyakit Lupus
Demam merupakan gejala yang paling sering muncul. Selain itu juga terdapat rasa nyeri sendi, kelainan pada kulit, anemia,
gangguan pada fungsi ginjal, rasa nyeri kepala, sampai kadang terjadi kejang. Pada kasus tertentu, kadang pada jantung dan
ginjal juga bisa terdapat cairan yang bisa menimbulkan sesak nafas. Banyak dari gejala penyakit lupus yang menyerupai
penyakit lain. Oleh karena itu, penyakit lupus juga sering disebut sebagai penyakit peniru ulung.
b. Jenis Penyakit Lupus
Pada dasarnya, penyakit lupus dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
 Penyakit Lupus Diskoid
Penyakit lupus diskoid merupakan penyakit lupus yang hanya terbatas pada kulit. Penyakit inibiasanya lebih ringan dan
hanya sekitar 10% - 155 yang berkembang menjadi penyakit lupus sistemi
 Penyakit Lupus Sistemik
 Penyakit lupus sistemik merupakan penyakit lupus yang bisa menyebabkan kerusakan organ tubuh

 Penyakit Lupus yang Disebabkan Obat


Penyakit lupus jenis ini bisa menimbulkan gejala seperti pada penyakit lupus sistemik namun
gejalanya akan semakin membaik jika pemakaian obat dihentikan. Jenis obat yang sering enimbulkan penyakit lupus diantaranya
adalah: prokainamid, hidralazin, serta INH (obat tuberkulosis)
Penyakit lupus akan muncul ketika seperangkat gen yang memiliki kecenderungan tertentu terkena kombinasi unsur-unsur
lingkungan, perantara infeksi, obat - obatan, sinar ultraviolet, trauma fisik, tekanan emosional, atau faktor - faktor lain. Pada anak -
anak dan orang dewasa diatas 50th, timbulnya penyakit lupus menunjukkan hanya sedikit kecenderungan pada perempuan, tetapi
antara umur 15 - 45 tahun, hampir 90% pengidapnya adalah perempuan

 Penyakit Autoimun Lainnya


Beberapa Gangguan Autoimun
Gangguan Jaringan yang terkena Konsekwensi
Anemia Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah) terjadi, menyebabkan kepenatan,
hemolitik Sel darah merah kelemahan, dan sakit kepala ringan. Limpa mungkin membesar. Anemia bisa hebat dan
autoimun bahkan fatal.
Bullous Lepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak yang merah, terbentuk di kulit. Gatal biasa.
Kulit
pemphigoid Dengan pengobatan, prognosis baik.
Gejala, seperti pendeknya nafas, batuk darah, kepenatan, bengkak, dan gatal, mungkin
Sindrom
Paru-paru dan ginjal berkembang. Prognosis baik jika pengobatan dilaukan sebelum kerusakan paru-paru atau
Goodpasture
ginjal hebat terjadi.
Kelenjar gondok dirangsang dan membesar, menghasilkan kadar tinggi hormon thyroid
Penyakit
Kelenjar tiroid (hyperthyroidism). Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat, tidak tahan panas,
Graves
tremor, berat kehilangan, dan kecemasa. Dengan pengobatan, prognosis baik.
Kelenjar gondok meradang dan rusak, menghasilkan kadar hormon thyroid rendah
Tiroiditis (hypothyroidism). Gejala seperti berat badan bertambah, kulit kasar, tidak tahan ke dingin,
Kelenjar tiroid
Hashimoto dan mengantuk. Pengobatan seumur hidup dengan hormon thyroid perlu dan biasanya
mengurangi gejala secara sempurna.
Seluruh sel syaraf yang terkena rusak. Akibatnya, sel tidak bisa meneruskan sinyal syaraf
Multiple seperti biasanya. Gejala mungkin termasuk kelemahan, sensasi abnormal, kegamangan,
Otak dan spinal cord
sclerosis masalah dengan pandangan, kekejangan otot, dan sukar menahan hajat. Gejala berubah-
ubah tentang waktu dan mungkin datang dan pergi. Prognosis berubah-ubah.
Koneksi antara saraf dan Otot, teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan lelah dengan mudah, tetapi
Myasthenia
otot (neuromuscular kelemahan berbeda dalam hal intensitas. Pola progresivitas bervariasi secara luas. Obat
gravis
junction) biasanya bisa mengontrol gejala.
Pemphigus Kulit Lepuh besar terbentuk di kulit. Gangguan bisa mengancam hidup.
Kerusakan pada sel sepanjang perut membuat kesulitan menyerap vitamin B12. (Vitamin
B12 perlu untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan sel syaraf). Anemia adalah,
sering akibatnya menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Syaraf bisa
Pernicious Sel tertentu di
rusak, menghasilkan kelemahan dan kehilangan sensasi. Tanpa pengobatan, tali tulang
anemia sepanjang perut
belakang mungkin rusak, akhirnya menyebabkan kehilangan sensasi, kelemahan, dan
sukar menahan hajat. Risiko kanker perut bertambah. Juga, dengan pengobatan, prognosis
baik.
Sendi atau jaringan lain
Banyak gejala mungkin terjadi. termasuk demam, kepenatan, rasa sakit sendi, kekakuan
Rheumatoid seperti jaringan paru-
sendi, merusak bentuk sendi, pendeknya nafas, kehilangan sensasi, kelemahan, bercak,
arthritis paru, saraf, kulit dan
rasa sakit dada, dan bengkak di bawah kulit. Progonosis bervariasi
jantung
Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi cacat. Gejala anemia, seperti kepenatan,
Systemic lupus sendi, ginjal, kulit, paru- kelemahan, dan ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal, paru-paru, atau jantung
erythematosus paru, jantung, otak dan mengacaukan, seperti kepenatan, pendeknya nafas, gatal, dan rasa sakit dada, mungkin
(lupus) sel darah terjadi. Bercak mungkin timbul. Ramalan berubah-ubah secara luas, tetapi kebanyakan
orang bisa menempuh hidup aktif meskipun ada gejolak kadang-kadang kekacauan.
Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang air kecil, dan selera makan, seperti
komplikasi bervariasi dengan jangka panjang.
Sel beta dari pankreas
Diabetes Pengobatan seumur hidup dengan insulin diperlukan, sekalipun perusakan sel pankreas
(yang memproduksi
mellitus tipe berhenti, karena tidak cukup sel pankreas yang ada untuk memproduks iinsulin yang
insulin)
cukup. Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi lebih jelek kalau penyakitnya
parah dan bertahan hingga waktu yang lama.
Vasculitis bisa mempengaruhi pembuluh darah di satu bagian badan (seperti syaraf,
kepala, kulit, ginjal, paru-paru, atau usus) atau beberapa bagian. Ada beberapa macam.
Gejala (seperti bercak, rasa sakit abdominal, kehilangan berat badan, kesukaran
Vasculitis Pembuluh darah pernafasan, batuk, rasa sakit dada, sakit kepala, kehilangan pandangan, dan gejala
kerusakan syaraf atau kegagalan ginjal) bergantung pada bagian badan mana yang
dipengaruhi. Prognosis bergantung pada sebab dan berapa banyak jaringan rusak.
Biasanya, prognosis lebih baik dengan pengobatan.

DIAGNOSIS
Diagnosa penyakit autoimmune didasarkan pada gejala individu yang didapatkan melalui pengamatan kondisi fisik dan hasil pemeriksaan
laboratorium. Diagnose dini penyakit autoimmune sangat sulit dilakukan. Beberapa gejala dari penyakit autoimmune, seperti kecapaian,
adalah tidak spesifik. Test laboratorium mungkin sangat membantu, tetapi seringkali tidak mencukupi didalam mengkonfirmasi suatu
diagnostik. Jika individu menderita gejala semacam sakit persendian dan hasil laboratorium positif tetapi non spesifik, maka penderita
tersebut akan didignose dengan nama yang membingunggkan (undifferentiated) sebagai awal atau tidak terbedakan sebagai penyakit
jaringan ikat (connective tissue disease) (NIH, 1998).
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit
(ESR) seringkali meningkat, karena protein yang dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah
(erythrocytes) untuk tetap ada di darah. Sering, jumlah sel darah merah berkurang (anemia) karena radang mengurangi produksi mereka.
Tetapi, radang mempunyai banyak sebab, banyak diantaranya yang bukan autoimun. Dengan begitu, dokter sering mendapatkan
pemeriksaan darah untuk mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguan autoimun khusus.
Contoh antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di lupus erythematosus sistemik, dan faktor rheumatoid atau anti-cyclic
citrullinated peptide (anti-CCP) antibodi, yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Tetapi antibodi ini pun kadang-kadang mungkin
terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh sebab itu dokter biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda
dan gejala orang untuk mengambil keputusan apakah ada gangguan autoimun.

Penyebab Autoimmune
Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal :
 Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (dan demikian disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh)
dilepaskan ke dalam aliran darah.Misalnya, pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran
darah.Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya.
 Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin
kelihatannya asing bagi sistem kekebalan tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan. Sel yang ditulari
oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya.
 Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan. Sistem kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati
dapat menjadikan senyawa badan mirip seperti bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan
mempunyai beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi, sistem kekebalan tubuh dapat menyerang
jantung orang sesudah sakit kerongkongan (reaksi ini bagian dari deman rumatik).
 Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih) mungkin rusak dan menghasilkan antibodi
abnormal yang menyerang beberapa sel badan.
Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan kekacauan, daripada kekacauan itu sendiri, mungkin
diwarisi. Pada orang yang rentan, satu pemicu, seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang.
Faktor Hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan autoimun lebih sering terjadi pada wanita.

MANIFESTASI KLINIS
Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Tetapi, gejala bervariasi bergantung pada gangguan dan bagian badan yang terkena.
Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi jenis tertentu jaringan di seluruh badan misalnya, pembuluh darah, tulang rawan, atau kulit.
Gangguan autoimun lainnya mempengaruhi organ khusus. Sebenarnya organ yang mana pun, termasuk ginjal, paru-paru, jantung, dan
otak, bisa dipengaruhi. Hasil dari peradangan dan kerusakan jaringan bisa menyebabkan rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan,
penyakit kuning, gatal, kesukaran pernafasan, penumpukan cairan (edema), demam, bahkan kematian.

TATALAKSANA
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi
autoimmune juga mengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine,
mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkali dengan jangka panjang. Tetapi, obat ini menekan
bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad
penyebab infeksi dan sel kanker. Kosekwensinya, risiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.
Sering, kortikosteroid, seperti prednison, diberikan, biasanya secara oral. Obat ini mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan
tubuh. KortiKosteroid yang digunakan dlama jangka panjang memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin, kortikosteroid dipakai untuk
waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi, kortikosteroid kadang-kadang harus dipakai untuk
jangka waktu tidak terbatas.
Ganggua autoimun tertentu (misalnya, multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan
kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi gejala juga mungkin diperlukan.
Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan.
Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati
gangguan autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker tertentu.
Obat baru tertentu secara khusua membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga
berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi
rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja dengan menghabiskan sel darah putih
tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun
lainnya. Obat lain yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi
abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu
mereka mulai. Tetapi, kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala. Prognosis
bervariasi bergantung pada gangguan.

Anda mungkin juga menyukai