Transfusi darah ialah pemindahan darah dari donor ke dalam peredaran darah penerima (resipien). Definisi lain adalah sutu proses
pekerjaan memindahkan darah dari orang yang sehat kepada oarang yang sakit.
20°±2°C.Berguna untuk meningkatkan jumlah trombosit. Peningkatan post transfusi pada dewasa rata-rata 5.000-
10.000/ul. Efek samping berupa urtikaria, menggigil, demam, alloimunisasi Antigen trombosit donor.(6)
Dibuat dengan cara melakukan pemusingan (centrifugasi) lagi pada Platelet Rich Plasma, sehingga diperoleh endapan yang
merupakan pletelet concentrate dan kemudian memisahkannya dari plasma yang diatas yang berupa Platelet Poor Plasma.
Masa simpan ± 48-72 jam.(3)
e. Plasma
Plasma darah bermanfaat untuk memperbaiki volume dari sirkulasi darah (hypovolemia, luka bakar), menggantikan protein yang
terbuang seperti albumin pada nephrotic syndrom dan cirhosis hepatis, menggantikan dan memperbaiki jumlah faktor-faktor
tertentu dari plasma seperti globulin.(3)
Plasma diperlukan untuk penderita hiperbilirubinemia. Komponen albumin di dalam plasma yang diperlukan untuk mengikat
bilirubin bebas yang toksis terhadap jaringan otak bayi. Tindakan ini biasanya mendahului suatu tindakan transfusi tukar. Dosis
yang diperlukan ialah 35 ml/kgbb. Penggunaan sebagai plasma expander pada renjatan, substitusi protein pada kesulitan
masukan oral jarang dilakukan.(2)
Macam sediaan plasma adalah:
Plasma cair
Diperoleh dengan memisahkan plasma dari whole blood pada pembuatan packed red cell.
Plasma kering (lyoplylized plasma)
Diperoleh dengan mengeringkan plasma beku dan lebih tahan lama (3 tahun).
Fresh Frozen Plasma
Dibuat dengan cara pemisahan plasma dari darah segar dan langsung dibekukan pada suhu -60°C. Pemakaian yang paling
baik untuk menghentikan perdarahan (hemostasis).(3)
Kandungan utama berupa plasma dan faktor pembekuan labil, dengan volume 150-220 ml. Suhu simpan -18°C atau lebih
rendah dengan lama simpan 1 tahun. Berguna untuk meningkatkan faktor pembekuan labil bila faktor pembekuan
pekat/kriopresipitat tidak ada. Ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek samping berupa urtikaria, menggigil,
demam, hipervolemia.(6)
Cryopresipitate
Komponen utama yang terdapat di dalamnya adalah faktor VIII atau anti hemophilic globulin (AHG), faktor pembekuan XIII,
faktor Von Willbrand, fibrinogen. Penggunaannya ialah untuk menghentikan perdarahan karena kurangnya AHG di dalam
darah penderita hemofili A. AHG tidak bersifat genetic marker antigen seperti granulosit, trombosit atau eitrosit, tetapi
pemberian yang berulang-ulang dapat menimbulkan pembentukan antibodi yang bersifat inhibitor terhadap faktor VIII.
Karena itu pemberiannya tidak dianjurkan sampai dosis maksimal, tetapi sesuai dosis optimal untuk suatu keadaan klinis.(2)
Pembuatannya dengan cara plasma segar dibekukan pada suhu -60°C, kemudian dicairkan pada suhu 4-6°C. Akibat proses
pencairan terjadi endapan yang merupakan cryoprecipitate kemudian dipisahkan segera dari supernatant plasma.(3)
Setiap kantong kriopresipitat mengandung 100-150 U faktor VIII. Cara pemberian ialah dengan menyuntikkan intravena
langsung, tidak melalui tetesan infus, pemberian segera setelah komponen mencair, sebab komponen ini tidak tahan pada
suhu kamar. (2)
Suhu simpan -18°C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun, ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek
samping berupa demam, alergi.
Heated plasma
Plasma dipanaskan pada suhu 60°C selama 10 jam. Bahaya hepatitis berkurang. Heated plasma mengandung albumin 88%,
globulin 12%, NaCL 0,06%, coprylic acid Na 0,02%, Na acetyl tuphtophen 0,02%, natrium cone 50 mEq/L
Albumin
Dibuat dari plasma, setelah gamma globulin, AHF dan fibrinogen dipisahkan dari plasma. Kemurnian 96-98%. Dalam
pemakaian diencerkan sampai menjadi cairan 5% atau 20% 100 ml albumin 20% mempunyai tekanan osmotik sama dengan
400 ml plasma biasa
B. INDIKASI TRANSFUSI
a. Sel darah merah
Indikasi satu-satunya untuk transfusi sel darah merah adalah kebutuhan untuk memperbaiki penyediaan oksigen ke jaringan dalam
jangka waktu yang singkat.
Kehilangan darah yang akut, jika darah hilang karena trauma atau pembedahan, maka baik penggantian sel darah merah maupun
volume darah dibutuhkan.
Transfusi darah prabedah diberikan jika kadar Hb 80 g/L atau kurang.
Anemia yang berkaitan dengan kelainan menahun, seperti penderita penyakit keganasan, artritis reumatoid, atau proses radang
menahun yang tidak berespon terhadap hematinik perlu dilakukan transfusi.
Gagal ginjal, anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal diobati dengan transfusi sel darah merah maupun dengan
eritropoetin manusia rekombinan.
Gagal sumsum tulang karena leukemia, pengobatan sitotoksik, atau infiltrat keganasan membutuhkan transfusi sel darah merah
dan komponen lain.
Penderita yang tergantung transfusi seperti pada talasemia berat, anemia aplastik dan anemia sideroblastik membutuhkan
transfusi secara teratur.
Penyakit sel bulan sabit, beberapa penderita ini juga membutuhkan transfusi secara teratur, terutama setelah stroke.
Indikasi lain untuk transfusi pengganti pada penyakit hemolitik neonatus, malaria berat karena plasmodium falciparum dan
septikemia meningokokus.
b. Trombosit
Gagal sumsum tulang yang disebabkan oleh penyakit atau pengobatan mielotoksik.
Kelainan fungsi trombosit, yaitu berupa kelainan fungsi trombosit yang diturunkan seperti pada penyakit Glanzmann, sindrom
Bernard-Soulier, dan defisiensi tempat penyimpanan trombosit. Penderita defek fungsi trombosit yang didapat, sekunder
terhadap mieloma, paraproteinemia dan uremia.
Trombositopenia akibat pengenceran yang sekunder terhadap transfusi masif atau transfusi pengganti, dan penderita mengalami
perdarahan.
Pintas kardiopulmoner, baik selama atau setelahnya perdarahan dapat terjadi karena trombositopenia akibat pengenceran,
begitu juga karena gangguan fungsi trombosit.
Purpura trombositopenia autoimun, walaupun kemungkinan tidak efektif karena trombosit yang ditransfusikan hancur oleh
autoantibodi yang sirkulasi.
c. Granulosit
Terbatas untuk kasus tertentu saja. Transfusi granulosit harus dipertimbangkan hanya untuk alasan seperti :
Neutropenia persisten dan infeksi berat yang terdapat bukti jelas infeksi bakteri atau jamur yang tidak dapat dikendalikan dengan
pengobatan dengan antibiotik yang tepat selama 48-72 jam.
Fungsi neutrofil abnormal dan infeksi persisten seperti pada penyakit granulomatosa kronis dan sebagian kasus mielodisplasia.
Sepsis neonatus, terutama pada bayi prematur dengan sepsis dapat mengalami manfaat transfusi granulosit, walaupun
keefektifannya tidak terbukti.
d. Fresh Frozen Plasma
Untuk mengoreksi defisiensi faktor pembekuan/pengentalan di (dalam) suatu pendarahan pasien dengan berbagai defisit faktor
pembekuan atau pengentalan (penyakit hati, DIC, transfusi masive)
Warfarin yang berlebihan atau kekurangan vitamin K, proses perbaikan coagulopathy yang diperlukan di dalam 12-24 jam
Pasien dengan perdarahan atau pasien dengan resiko pendarahan tinggi
Penggantian defisiensi dalam Faktor V dan XI
e. Cryoprecipitate
Hypofibrinogenemia - Fibrinogen <>
Transfusi raksasa(masive)
Defisiensi kongenital
Defisiensi yang didapat ( misalnya DIC)
Kekurangan Faktor XIII
Uremia, dengan perdarahan yang tak bereaksi dengan therapy non-transfusion ( misalnya, dialisis, desmopressin)
Dysfibrinogenemia ( disfungsi fibrinogen)
C. KONTRAINDIKASI TRANSFUSI
Daerah yang memiliki tanda-tanda infeksi, infiltrasi atau thrombosis
Daerah yang berwarna merah, kenyal, bengkak dan hangat saat disentuh
Vena di bawah infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah area flebitis
Vena yang sklerotik atau bertrombus
Lengan dengan pirai arteriovena atau fistula
Lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah, atau kerusakan kulit
Lengan pada sisi yang mengalami mastektomi (aliran balik vena terganggu)
Lengan yang mengalami luka bakar
D. PERSIAPAN
a. Persiapan Pasien
Jelaskan prosedur dan tujuan tranfusi yang akan dilakukan
Jelaskan kemungkinan reaksi tranfusi darah yang keungkinan terjadi dan pentingnya melaporkan reaksi dengan cepat kepada
perawat atau dokter
Jelaskan kemungkinan reaksi lambat yang mungkin terjadi, anjurkan untuk segera melapor apabila reaksi terjadi
Apabila klien sudah dipasang infus, cek apakah set infusnya bisa digunakan untuk pemberian tranfusi
Apabila klien belum dipasang infus, lakukan pemasangan dan berikan normal saline terlebih dahulu
Pastikan golongan darah pasien sudah teridentifikasi
b. Persiapan Alat
Set pemberian darah
Kateter besar (18 G atau 19 G)
Cairan IV normal saline (NaCl 0,9 %)
Set infus darah dengan filter
Produk darah yang tepat
Sarung tangan sekali pakai
Kapas alkohol
Plester dan gunting
Manset tekanan darah
Stetoskope
Termometer
Format persetujuan pemberian tranfusi yang ditandatangani
Bengkok
Penghangat darah (jika diperlukan)
Crossmatching Blood
Reaksi silang perlu dilakukan sebelum melakukan transfusi darah untuk melihat apakah darah penderita sesuai dengan darah donor.
Mayor crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel donor dan Minor Crossmatch adalah serum donor dicampur dengan
sel penerima. Jika golongan darah ABO penerima dan donor sama, baik mayor maupun minor test tidak bereaksi. Jika berlainan
umpamanya donor golongan darah O dan penerima golongan darah A maka pada test minor akan terjadi aglutinasi.
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi keselamatan penerima darah dan sebaiknya dilakukan demikian
sehingga Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat ditemukan dengan cara tabung saja. Cara dengan objek glass
kurang menjaminkan hasil percobaan. Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja tidak dapat mengesampingkan
aglutinin Rh yang hanya bereaksi pada suhu 37OC. Lagi pula untuk menentukan anti Rh sebaiknya digunakan cara Crossmatch dengan
high protein methode. Ada beberapa cara untuk menentukan reaksi silang yaitu reaksi silang dalam larutan garam faal dan reaksi
silang pada objek glass.
Reaksi Silang dalam Tabung
Prinsip : Sel donor dicampur dengan serum penerima (Mayor Crossmatch) dan sel penerima dicampur dengan serum donor dalam
bovine albumin 20% akan terjadi aglutinasi atau gumpalan dan hemolisis bila golongan darah tidak cocok.
Tujuan : untuk menentukan cocok tidaknya darah donor dengan darah penerima untuk persiapan transfusi darah.
Alat dan Reagensia :
- Tabung reaksi - Bovine albumin 20%
- Pipet tetes - Mikroskop
- Sentrifuge - NaCl 0,9 %
- Tabung sentrifuge - Serum Coombs
Bahan Pemeriksaan: Serum dan Eryhtrosit 5 %
Teknik Kerja :
a. Pembuatan suspensi Eryhtrosit 5 %
Kedalam tabung 12 x 75 mm diisi dengan larutan NaCl 0,9 % sebanyak 5 ml.
Tambahkan 5 tetes darah EDTA dan campur.
Putar pada sentrifuge pada 1500 rpm selama 5 menit.
Cairan dibuang dan pada endapan ditambahkan larutan NaCl 0,9 % sebanyak 5 ml. Campur dan putar lagi, ulangi langkah tadi
sebanyak 3 kali.
Terakhir pada penambahan NaCl 0,9 % yang ke-4 kalinya sebanyak 5 ml merupakan suspensi eryhtrosit 5 %.
b. Pemeriksaan reaksi silang fase I
Sediakan dua buah tabung reaksi kecil dalam rak, yang sebelah kiri untuk mayor test dan sebelah kanan untuk minor test.
Tabung kiri diisi dengan 2 tetes serum penerima dan 2 tetes suspensi erythrosit donor 5 % dalam larutan NaCl 0,9 % dan 2
tetes bovine albumin 20%.
Tabung kanan diisi dengan 2 tetes serum donor dan 2 tetes suspensi erythrosit penerima 5 % dalam larutan NaCl 0,9 % 2
tetes bovine albumin 20%.
Masing-masing tabung dicampur dan diputar disentrifuge pada 1000 rpm selama 1 menit.
Goyangkan hati-hati dan periksa adanya aglutinasi dan hemolisis.
Bila hasil Mayor dan minor negatif, pemeriksaan dilanjutkan ke fase II
Bila hasil Mayor dan minor positif, pemeriksaan tidak dilanjutkan (tidak cocok)
c. Crossmatch Fase II
Tabung tadi diinkubasi pada suhu 370C selama 15 menit
Putar selama 1 menit pada 1000 rpm disentrifuge.
Baca adanya aglutinasi dan hemolisis dengan menggoyang perlahan-lahan sama dengan fase I, bila negatif dilanjutkan ke fase
III
d. Crossmatch Fase III
Sel darah merah dicuci dengan NaCl 0,9% 3-4 kali
Tambahkan 2 tetes serum Coombs pada kedua tabung mayor dan Minor test.
Putar pada sentrifuge 1000 rpm selama 1 menit.
Baca adanya aglutinasi dan hemolisis dengan menggoyang perlahan-lahan sama dengan fase I secara makroskopis.
Penafsiran :
Bila aglutinasi dan hemolisis negatif (-) maka darah dapat ditransfusikan
Bila aglutinasi dan hemolisis positif (+) maka darah tidak dapat ditransfusikan (tidak cocok)
Serum antiglobulin meningkatkan sensitivitas pengujian in vitro. Antibodi kelas IgM yang kuat biasanya menggumpalkan eritrosit
yang mengandung antigen yang relevam secara nyata, tetapi antibodi yang lemah sulit dideteksi. Banyak antibodi kelas IgG yang
tak mampu menggumpalkan eritrosit walaupun antibodi itu kuat. Semua pengujian antibodi termasuk uji silang tahap pertama
menggunakan cara sentrifugasi serum dengan eritrosit. Sel dan serum kemudian diinkubasi selama 15-30 menit untuk memberi
kesempatan antibodi melekat pada permukaan sel, lalu ditambahkan serum antiglobulin dan bila penderita mengandung antibodi
dengan eritrosit donor maka terjadi gumpalan.
Uji saring terhadap antibodi penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu hamil yang kemungkinan terkena penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir.
E. PROSEDUR KERJA
Baca status dan data klien untuk memastikan program tranfusi darah
Pastikan bahwa klien telah menandatangani format persertujuan tindakan
Cek alat-alat yang akan digunakan
Cuci tangan
Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya
Perkenalkan nama perawat
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien
Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan
Kaji pernah tidaknya klien menerima tranfusi sebelumnya dan catat reaksi yang timbul, apabila ada
Minta klien untuk melaporkan apabila menggigil, sakit kepala, gatal-gatal, atau
ruam dengan segera
Beri kesempatan pada klien untuk bertanya
Tanyakan keluhan klien saat ini
Jaga privasi klien
Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien
Periksa tanda vital klien sebelum memulai tranfusi
Kenakan sarung tangan sekali pakai
Lakukan pemasangan infuse, apabila belum terpasang dengan menggunakan kateter berukuran besar ( 18 atau 19 G), apabila
sudah terpasang cek apakah set yang ada bisa digunakan untuk pemberian tranfusi dan cek kepatenan vena
Gunakan selang infus yang memiliki filter di dalam selang (apabila selang infus masih menggunakan selang infuse yang kecil, ganti
dengan selang infus untuk tranfusi yang ukurannya lebih besar)
Gantungkan botol normal saline untuk diberikan setelah pemberian darah selesai
Ikuti protokol lembaga dalam mendapatkan produk darah dari bank darah. Minta darah pada saat Anda siap menggunakannya.
Bersama seorang perawat lainnya yang telah memiliki lisensi, identifikasi produk darah yang akan dimasukkan (periksa etiket
kompabilitas yang menempel pada kantong darah dan informasi pada kantong tersebut; untuk darah lengkap, periksa golongan
darah ABO dan tipe Rh yang terdapat pada catatan klien; periksa kembali kesesuaian produk darah yang akan diberikan dengan
resep dokter; periksa data kadaluarsa pada kantong darah; inspeksi darah untuk melihat adanya bekuan darah; tanyakan nama
klien dan periksa tanda pengenal yang dimiliki klien)
Mulai pemberian tranfusi darah (sebelum darah diberikan, berikan dahulu larutan normal saline; mulai berikan tranfusi secara
perlahan diawali dengan pengisian filter di dalam selang; atur kecepatan sampai 2 ml/menit untuk 15 menit pertama dan tetaplah
bersama klien. Apabila perawat menjumpai adanya reaksi, segera hentikan tranfusi, bilas selang dengan normal saline, laporkan
pada dokter dan beritahu bank darah)
Monitor tanda vital (ukur setiap 5 menit pada 15 menit pertama, selanjutnya disesuaikan dengan kebijakan lembaga)
Observasi klien untuk melihat adanya reaksi tranfusi
Pertahankan kecepatan infus yang diprogramkan dengan menggunakanpompa, jika perlu
Apabila tranfusi sudah selesai, bilas dengan normal saline
Bereskan alat, lepas sarung tangan
Cuci tangan
Kaji respon klien setelah tranfusi diberikan
Berikan reinforceament positif pada klien
Buat kontrak untuk pertemuan selanjutnya
Observasi timbulnya reaksi yang merugikan secara berkelanjutan
Catat pemberian darah atau produk darah yang diberikan dan respon klien terhadap terapi darah pada status kesehatan klien
Setelah tranfusi selesai, kembalikan kantong darah serta selang ke bank darah
Reaksi Alergi
Reaksi alergi terjadi pada 1% dari semua transfusi darah, sering terjadi pada orang – orang dengan riwayat alergi, dan
yang lebih sering lagi pada orang – orang yang telah banyak mendapat transfusi darah sebelumnya. Reaksi alergi ini
disebabkan oleh adanya antibody dalam tubuh penderita terhadap protein dalam plasma donor, atau pemindahan alergi
dari donor (1,2,8,9)
Tanda dan Gejala
Urtikaria disertai gatal, biasanya timbul segera mulainya transfuse, Dapat disertai demam, sakit kepala dan muntah,
Edema pada muka, bibir, dan kelopak mata, Edema laring jarang, namun bila timbul merupakan komplikasi yang berat,
Dapat timbul gejala gejala asma bronchial, Jarang terjadi reaksi anafilakik dengan gejala shok, tetapi bila ada, maka tanda
awalnya adalah takikardi, impotensi dan sesak nafas.
Penatalaksanaan
Bila gejala alergi ringan berupa urtikaria, transfusi diperlambat dan diberikan antihistamin iv.
Bila timbul gejala – gejala berat, transfusi dihentikan dan diberikan adrenalin, antihistamin dan kortikosteroid.
Pencegahan
Pada penderita dengan riwayat alergi sesudah transfusi atau penyuntikan, reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian
eritrosit yang telah dicuci.
Dapat diberikan antihistmin dan korikosteroid sebelum transfusi darah.
Dapat dilakukan skin test sebelumnya dengan plasma donor. Hasil negative belum tentu bebas reaksi karena dapat pula
terjadi “false negative”. Namun hasil positif dapat dipastikan akan terjadi reaksi bila transfusi dilakukan.
Reaksi Anafilaksis
Reaksi anafilaktik ini sangat jarang, diperkirakan hanya terjadi pada 1 dari 170.000 transfusi. Reaksi anafilaktik dapat
terjadi pada pasien dengan defisiensi IgA dan pasien yang memiliki antibodi anti-IgA. Dua tanda klasik reaksi anafilaktik
segera terjadi yaitu gejala hanya setelah beberapa millimeter darah atau plasma dimasukkan tanpa adademam. Sitokin
dalam plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu.
Tanda dan Gejala
Batuk – batuk dengan kesulitan bernafas, disertai bronkospasme.
Mual, muntah terkadang disertai dengan diare dan dengan abdominal cramps
Penurunan kesadaran, hipotensi, bradikardi, dan shok.
Tampak beberapa saat setelah diberikannya transfusi.
Penatalaksanaan
Hentikan transfusi
Prinsipnya ABC, yaitu dengan bebaskan jalan nafas dan berikan bantuan nafas serta sirkulasi agar tetap stabil.
Berikan epinepherin (0,4 ml dari 1:1000 solution) sc/im
Berikan cairan koloid jika memungkinkan
Jangan berikan kembali transfusi, lakukan pemantauan tanda – tanda vital secara intensif sampai stabil.
Pencegahan
Pada penderita yang memiliki antibody terhadap molekul IgA, sebaiknya ditangani dengan komponen darah defisiensi
IgA dari saudara atau daftar donor.
Dapat dilakukan skin test sebelumnya dengan plasma donor. Hasil negative belum tentu bebas reaksi karena dapat pula
terjadi false negative. Namun hasil positif dapat dipastikan akan terjadi reaksi bila transfusi dilakukan.
Kerusakan Paru akut akibat Transfusi (Transfusion-Related Acute Lung Injury = TRALI)
Kerusakan paru disebabkan transfusi antibodi di dalam plasma donor, yang bereaksi dengan granulosit resipien. Diduga
aglutinasi granulosit dan aktivasi komplemen terjadi dalam jaringan vaskuler paru, menyebabkan endotel kapiler rusak
sehingga terjadi kebocoran cairan kedalam alveoli.
Umumnya berupa ”respiratory distress” berat yang tiba-tiba, disebabkan oleh sindrom edema pulmonal non kardiogenik.
Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dan sianosis, sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada. Pada
pemeriksaan radiologis nampak edema paru.
Reaksi dapat terjadi dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya berat, umumnya akan mereda dalam 48-96 jam
dengan bantuan pernafasan, tanpa gejala sisa.
Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru dan hipoksia, termasuk bantuan pernafasan bila diperlukan. Dosis
tinggi kortikosteroid mungkin menguntungkan, karena menghambat agregrasi granulosit.
b. Reaksi Non Imunologi
Reaksi Hemolitik Non Imun (1,8,9)
Reaksi hemolitik non imun merupakan reaksi akibat transfusi yang disebabkan bukan karena reaksi antara antigen dan
antibody, melainkan karena pemberian darah yang telah mengalami hemolisis atau oleh karena pemberian transfusi
bersama – sama dengan larutan hipotonis. Pada pemberian darah yang telah terhemolisis disebabkan oleh ; Darah donor
sudah terlalu lama disimpan, Cara penyimpanan yang kurang baik, sehingga eritrosit dapat membengkak atau hancur,
Pemanasan tiba - tiba dengan diberikan atau dimasukkan air panas yang temperaturnya melebihi panas tubuh atau suhu
yang terlalu rendah, Pemberian transfusi dengan cara memompa atau dengan tekanan, Telah terkontaminasi dengan
bakteri, sehingga eritrosit hancur
Tanda dan Gejala
Cepat dan beratnya gejala bervariasi, ada yang baru 40 – 50 ml sudah timbul gejala, ada yang setelah 1-2 jam transfusi
dihentikan. Pada yang cepat, gejalanya biasanya berat. Pada reaksi yang berat memberikan gejala yang klasik yakni :
Penderita gelisah, takut, rasa sesak, mual, munah, sakit pada region lumbal, kaki dan prekordial.
Menggigil, demam, takikardi dan shok.
Dapat disusul oliguria dan anuria akibat kegagalan ginjal mendadak.
Dapat timbul gangguan hemostatis berupa perdarahan yang abnormal dari vena punksi atau luka operasi.
Pada penderita yang sedang dalam pembiusan tanda dan gejala sering tidak tampak. Harus dicurigai adanya reaksi
hemolitik bila nadi meningkat dengan cepat, tekanan darah yang tiba-tiba menurun serta perdarahan yang sukar diatasi.
Gejala - gejala setelah melewati fase akut yaitu danya ikterus dan uremia akibat kegagalan ginjal mendadak.
Terjadinya kegagalan ginjal mendadak dan gangguan hemostatis disebabkan oleh proses koagulasi intravaskuler (DIC).
Pemeriksaan Laboratorium :
Hemoglobinemia secara mudah diketahui darah didiamkan plasma berwarna merah.
Hemoglobinuria dimana urin berwarna seperti air daging.
Pada fase berikutnya adanya hiperbilirubinemia dan ureum dapat meningkat
Adanya gangguan ketidakseimbangan elektrolit akibat terjadi kegagalan ginjal.
Penatalaksanaan
Transfusi segera dihentikan
Diganti dengan darah yang kompatibel atau plasma ekspader untuk mengatasi shok.
Kortikosteroid dan noradrenalin dapat diberikan
Untuk merangsang diuresis dapat diberikan manitol atau pemberian diuretika furosemid dosis tinggi.
Bila ada gangguan hemostatis pengobatan seperti DIC.
Pada penderita yang menetap dengan anuria atau oligouria dirawat dengan kegagalan ginjal akut.
Pencegahan :
Penyimpanan darah yang baik
Teliti dalam mengambil darah dengan memperhatikan tanggal (lama) penyimpanan darah.
Pada setiap botol darah, awasi menit – menit pertama pemberian transfusi, sebab gejala yang berat dapat terjadi 40-50
ml pertama.
Emboli Udara
Kejadian ini dapat terjadi pada permulaan transfusi atau yang paling sering pada waktu transfusi habis dan tak terkontrol
oleh petugas. Juga terjadi pada transfusi yang dipercepat dengan meninggikan tekanan, dengan cara memasukkan udara
ke dalam botol, bisa terjadi juga pada saat pemasangan selang transfusi atau waktu penggantian botol darah. Namun
dengan adanya kantong plastik untuk darah emboli darah sudah jarang terjadi.
Tanda dan Gejala
Sesak nafas, sianosis dan gelisah
Takikardi dan tekanan darah menurun
Syncope terjadi oleh karena adanya tanda-tanda tersebut dan terjadi begitu cepat sehingga penderita dapat mendadak
iskemia serebral, Pingsan dan dapat disusul dengan kematian.
Penatalaksanaan
Selang segera diklem
Penderita segera dimiringkan ke kiri (jika memungkinkan) dan kepala direndahkan sedang tungkai ditinggikan dengan
demikian udara diharapkan tertahan di ventrikel kanan, tidak ikut aliran darah ke paru.
Oksigenasi.
Pencegahan
Pantau dan pastikan selang transfusi bebas dari udara.
Perhatikan jika kantong darah sudah akan habis, untuk mencegah masuknya udara.
Keracunan Sitrat
Darah simpan supaya awet dan tidak membeku diberikan pengawet campuran sitrat untuk mengikat kalsium agar tidak
terjadi pembekuan, fosfat sebagai penyangga (buffer), dan dekstrosa sebagai sumber energi sel darah merah serta
Ademin untuk membantu resistensi adenosin Trifosfat dan menjaga supaya 2,3 DPG tidak cepat rusak.
Pada penderita yang mengalami penyakit hepar dan ginjal yang berat, akan menderita intoksikasi sitrat oleh karena sitrat
dimetabolisme di hati dan diekskresi di ginjal.
Pasien yag berisiko untuk berkembang menjadi keracunan sitrat atau deficit kalsium ialah mereka yang mendapat
transfusi plasma, wholeblood, trombosit dengan kecepatan melebihi 100 mL/menit, atau lebih rendah pada pasien
dengan penyakit hati. Dimana hati tidak bias mengikuti pemberian yang cepat, tidak bisa memetabolasi
sitrat,mengurangi kalsium yang terionisasi. Hipokalsemia dapat memicu aritmia jantung.
Tanda dan Gejala
Tremor
Perubahan EKG : ST segmen memanjang
Penatalaksanaan
Pemberian glukonas kalsikus 10 % 4 – 8 cc setiap pemberian transfusi 1 unit kolf darah.
Thrombo Flebritis
Merupakan peradangan pada sepanjang pembuluh darah vena yang digunakan. Biasanya sering timbul pada transfusi
yang lama. Walaupun jarang terjadi namun dapat menyebabkan komplikasi berupa emboli dan/atau sepsis.
Penatalaksanaan
Anti inflamasi, phenylbutazon 3 x 100 mg/hari, memberikan hasil yang baik.
Antibiotika terutama bila ditakutkan terjadinya infeksi
Pencegahan
Transfusi setiap 48 jam harus dipindahkan ke vena yang lain.
Pengawasan, bila ada tanda-tanda peradangan, harus segera dipindahkan.
Gangguan Hemostatis
Pada suatu transfusi darah dapat terjadi gangguan hemostatis atau koagulasi yang memberikan gejala-gejala
perdarahan.
Faktor-faktor penyebab :
Dilutional trombocytopenia (trombositopenia akibat pengenceran)
Darah yang telah disimpan lebih dari 48 jam, hampir tidak mengandung trombosit lagi, sehingga sesudah transfusi
darah yang masif trombosit penderita mengalami pengenceran.
Kekurangan faktor V dan Viii (faktor labil)
Pada penyimpanan darah secara biasa faktor V dan VIII juga cepat rusak, tetapi telah diselediki setelah
penyimpanan 21 hari, faktor-faktor ini masih ada 20 % - 50 %, sedang untuk proses pembekuan berjalan biasa,
cukup dengan 5 – 20 % dari kadar normal, sehingga kekurangan faktor-faktor ini bukan sebab utama terjadi
perdarahan pasca tranfusi.
Disseminata Intravasculer Coagulation (DIC)
Diduga oleh adanya hipoksia jaringan dan Stagnant blood flow akan dilepaskan tromboplastin jaringan yang
selanjutnya merangsang terjadinya koagulasi intravaskuler.
Penatalaksanaan dan Pencegahan :
Pada transfusi yang masif sebaiknya diselingi pemberian darah segar yang masih cukup mengandung trombosit dan
faktor-faktor pembekuan.
Bila ada tanda-tanda D.I.C, lakukan terapi D.I.C
Hemosiderosis Transfusi
Hemosiderosis akibat transfusi merupakan tertimbunnya zat besi dalam jaringan – jaringan yang dapat terjadi pada
transfusi yang berulang – ulang pada penderita anemia yang bukan kekurangan besi. Anak yang menderita talesemia
minor merupakan satu-satunya kelompok yang terkena, tetapi cukup banyak anak yang menderita anemia
kongenital dan orang dewasa dengan anemia refrakter yang diterapi secara intensif juga beresiko.
Setiap milliliter sel darah merah mengendapkan 1,08 mg besi di jaringan sewaktu sel darah merah menua atau mati.
Deposit besi mulai mempengaruhi fungsi endokrin, hati dan jantung bila beban tubuh total naik mencapai lebih dari
20 gram, ekivalen dengan sekitar 100 unit sel darah merah. Penyulit jantung letal terjadi pada beban 60 gram atau
sekitar 300 unit. Terapi kelasi besi harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang diperkirakan memerlukan
pemberian sel darah intensif.
HIPERSENSITIFITAS
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara
imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut
disebut allergen.Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respon imun berlebihan atau tidak tepat
terhadap suatu benda asing. Reaksi hipersensitivitas biasanya disubklasifikasikan menjadi tipe I-IV
PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi : apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
Palpasi : ada nyeri tekan pada kemerahan
Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung
lebih meningkat)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari
rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada
alergi makanan.
IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya
menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan
limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
DIAGNOSTIK
Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia,
keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium
glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella),
virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada
ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
Reaksi psikologi
TERAPI
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar :
1.Menghindari allergen
2.Terapi farmakologis
• Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin,
albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat
menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
• Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan
sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamin.•Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat
merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut.
Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
• Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung
yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3.Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat
menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati
memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti
yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah
terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun.
4.Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
PENYAKIT AUTOIMUN
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen tubuh sendiri yang disebabkan oleh menkanisme normal yang gagal berperan untuk
mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun, menyerang bagian dari
tubuh tersebut dan merupakan kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem
imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro-jasad,
parasit (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokkan organ dan jaringan.
ETIOLOGI
Genetik : Telah ditunjukkan pada manusia bahwa gen Major Histocompatibility Complex (MHC) dikaitkan dengan kejadian spesifik dari
penyakit autoimmune. Gen MHC ada pada semua vertebrata, gen ini menandai 2 katagori pokok molekul yang membentuk bagian
dari sel membran dan seluruh bagian membran. Secara khusus gen tersebut memiliki peranan dalam menseleksi antigen yang dapat
dikenali oleh sel-T. Sebuah analisa keturunan dari anjing beardies menunjukan bahwa hypoadrenocorticism mempengaruhi sifat
keturunan yang dihasilkan. Kejadian ini disebabkan adanya autosomal recessive gene yang melakukan penetrasi secara tidak lengkap.
Para peneliti berharap dapat mengidentifikasi gen atau gen-gen pada satu atau lebih loci yang memiliki hubungan dengan
hypoadrenocorticism. Analisa pedigree pada populasi besar Old English Sheepdogs dan breeds lainnya yang pada populasi lebih kecil,
menunjukkan bahwa hampir semua kasus autoimmune terjadi pada hewan yang memiliki darah segaris. Namun demikian data
tersebut juga menjelaskan bahwa anjing-anjing yang dalam segaris keturunan tidak selalu menderita penyakit autoimmune dimana
mayoritas dalam kondisi normal, sehat walaupun beberapa menderita gangguan subklinis penyakit autoimmune. Kesimpulan yang
dapat ditarik dari kasus diatas bahwa ; Tampaknya anjing memiliki kecendurungan secara genetik untuk menderita penyakit
autoimmune.
Fakta lain menunjukkan bahwa gen spesifik atau kelompok gen sebagai predisposisi suatu keluarga terhadap Psoriasis. Sebagai
tambahan, individu anggota suatu keluarga dengan penyakit autoimmune dapat berperan dalam membentuk abnormalitas gen yang
mendorong kejadian penyakit autoimmune walaupun mungkin menurunkan penyakit autoimmune dalam jenis penyakit autoimmune
lainnya. Sebagai contoh; salah satu orangtuanya menderita lupus, maka keturunannya dimungkinkan menderita dermatomyositis dan
mungkin keturunan lainnya penderita Rheumatoid arthritis.
PATOFISIOLOGI
Jika tubuh dihadapkan sesuatu yang asing maka tubuh memerlukan ketahanan berupa respon immun untuk melawan substansi tersebut
dalam upaya melindungi dirinya sendiri dari kondisi yang potensial menyebabkan penyakit. Untuk melakukana hal tersebut secara efektif
maka diperlukan kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri sehingga dapat memberikan respon pada kondisi asing atau bukan dirinya
sendiri. Pada penyakit autoimmune terjadi kegagalan untuk mengenali beberapa bagian dari dirinya (NIH, 1998).
Ada 80 grup Penyakit autoimmune serius pada manusia yang memberikan tanda kesakitan kronis yang menyerang pada hampir seluruh
bagian tubuh manusia. Gejala-gejala yang ditimbulkan mencakup gangguan nervous, gastrointestinal, endokrin sistem, kulit dan jaringan
ikat lainnya, mata, darah, dan pembuluh darah. Pada gangguan penyakit tersebut diatas, problema pokoknya adalah terjadinya gangguan
sistem immune yang menyebabkan terjadinya salah arah sehingga merusak berbagai organ yang seharusnya dilindunginya.
DIAGNOSIS
Diagnosa penyakit autoimmune didasarkan pada gejala individu yang didapatkan melalui pengamatan kondisi fisik dan hasil pemeriksaan
laboratorium. Diagnose dini penyakit autoimmune sangat sulit dilakukan. Beberapa gejala dari penyakit autoimmune, seperti kecapaian,
adalah tidak spesifik. Test laboratorium mungkin sangat membantu, tetapi seringkali tidak mencukupi didalam mengkonfirmasi suatu
diagnostik. Jika individu menderita gejala semacam sakit persendian dan hasil laboratorium positif tetapi non spesifik, maka penderita
tersebut akan didignose dengan nama yang membingunggkan (undifferentiated) sebagai awal atau tidak terbedakan sebagai penyakit
jaringan ikat (connective tissue disease) (NIH, 1998).
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit
(ESR) seringkali meningkat, karena protein yang dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah
(erythrocytes) untuk tetap ada di darah. Sering, jumlah sel darah merah berkurang (anemia) karena radang mengurangi produksi mereka.
Tetapi, radang mempunyai banyak sebab, banyak diantaranya yang bukan autoimun. Dengan begitu, dokter sering mendapatkan
pemeriksaan darah untuk mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguan autoimun khusus.
Contoh antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di lupus erythematosus sistemik, dan faktor rheumatoid atau anti-cyclic
citrullinated peptide (anti-CCP) antibodi, yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Tetapi antibodi ini pun kadang-kadang mungkin
terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh sebab itu dokter biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda
dan gejala orang untuk mengambil keputusan apakah ada gangguan autoimun.
Penyebab Autoimmune
Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal :
Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (dan demikian disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh)
dilepaskan ke dalam aliran darah.Misalnya, pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran
darah.Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya.
Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin
kelihatannya asing bagi sistem kekebalan tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan. Sel yang ditulari
oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya.
Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan. Sistem kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati
dapat menjadikan senyawa badan mirip seperti bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan
mempunyai beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi, sistem kekebalan tubuh dapat menyerang
jantung orang sesudah sakit kerongkongan (reaksi ini bagian dari deman rumatik).
Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih) mungkin rusak dan menghasilkan antibodi
abnormal yang menyerang beberapa sel badan.
Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan kekacauan, daripada kekacauan itu sendiri, mungkin
diwarisi. Pada orang yang rentan, satu pemicu, seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang.
Faktor Hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan autoimun lebih sering terjadi pada wanita.
MANIFESTASI KLINIS
Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Tetapi, gejala bervariasi bergantung pada gangguan dan bagian badan yang terkena.
Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi jenis tertentu jaringan di seluruh badan misalnya, pembuluh darah, tulang rawan, atau kulit.
Gangguan autoimun lainnya mempengaruhi organ khusus. Sebenarnya organ yang mana pun, termasuk ginjal, paru-paru, jantung, dan
otak, bisa dipengaruhi. Hasil dari peradangan dan kerusakan jaringan bisa menyebabkan rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan,
penyakit kuning, gatal, kesukaran pernafasan, penumpukan cairan (edema), demam, bahkan kematian.
TATALAKSANA
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi
autoimmune juga mengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine,
mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkali dengan jangka panjang. Tetapi, obat ini menekan
bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad
penyebab infeksi dan sel kanker. Kosekwensinya, risiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.
Sering, kortikosteroid, seperti prednison, diberikan, biasanya secara oral. Obat ini mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan
tubuh. KortiKosteroid yang digunakan dlama jangka panjang memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin, kortikosteroid dipakai untuk
waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi, kortikosteroid kadang-kadang harus dipakai untuk
jangka waktu tidak terbatas.
Ganggua autoimun tertentu (misalnya, multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan
kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi gejala juga mungkin diperlukan.
Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan.
Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati
gangguan autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker tertentu.
Obat baru tertentu secara khusua membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga
berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi
rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja dengan menghabiskan sel darah putih
tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun
lainnya. Obat lain yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi
abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu
mereka mulai. Tetapi, kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala. Prognosis
bervariasi bergantung pada gangguan.