Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Survival dimaknai sebagai upaya individu atau kelompok untuk bertahan hidup dari

kondisi-kondisi sulit atau bahaya, dalam menerapkan strategi survival setiap individu atau

kelompok mempunyai strategi yang berbeda tergantung karakteristik, struktur dan pola

masyarakat yang terbentuk di dalamnya. Begitu juga strategi survival yang diterapkan oleh buruh

perkebunan Pagilaran di desa Keteleng, kecamatan Blado, kabupaten Batang. Sebagai desa yang

terletak di dalam perkebunan kehidupan warganya bergantung pada pasang surut kondisi

perkebunan. Keberadaan buruh perkebunan di desa Keteleng sudah ada sejak zaman kolonial,

berawal dari penetapan undang-undang agraria pada tahun 1850 yang memberi kesempatan bagi

pengusaha swasta asing untuk menanamkan modal di negara jajahan. Perkebunan Pagilaran

didirikan pada tahun 1880 oleh maskapai Belanda di sekitar gunung Kemulyan. Berdirinya

perkebunan secara tidak langsung mengubah struktur dan karakteristik budaya masyarakat

sekitar perkebunan.

Pada awalnya masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan bertumpu pada sistem

pertanian, karena lahan pertanian mereka di sewa oleh Belanda, sehingga untuk memenuhi

kebutuhan hidup keluarganya mereka bekerja sebagai buruh perkebunan. Sebagai buruh

kehidupan warga Keteleng dihadapkan pada dualisme sistem ekonomi, yaitu sistem ekonomi

tradisional dan sistem ekonomi kapitalis dimana segala sesuatu dinilai dengan upah. Lambat laun

mengubah perinsip-perinsip kebersamaan secara tradisonal sejak dulu menjadi sistem nilai hidup

bermasyarakat untuk menjamin kelangsungan hidup warga, yang didasarkan pada ikatan
komunal mulai bergeser menjadi sistem nilai yang berbentuk konkrit dalam bentuk timbal jasa

berupa upah, terutama aktivitas dalam memeliharaan perkebunan. Peralihan sistem tradisonal ke

dalam sistem kapitalisme telah memunculkan struktur baru di dalam masyarakat desa Keteleng,

yaitu struktur pelapisan masyarakat perkebunan menjadi dua kelas, yaitu pekerja dan pemilik

modal. Secara struktural di golongkan menjadi empat lapisan terdiri dari pemilik modal,

administratur/ kepala kebun, staf/ karyawan, mandor besar, mandor dan buruh.

Buruh dalam pelapisan sosial menempati kelas paling paling bawah, sehingga harus

menerima konsekuensi mendapatkan upah yang rendah. Saat ini PT Pagilaran masih memberikan

upah di bawah standar minimum kabupaten Batang, upah yang diterima oleh buruh petik saat ini

masih berkisar antara Rp 300.000,- sampai Rp 450.000,- dengan rata-rata jumlah petikan 10 kg

sampai 30 kg bisa dikatakan kehidupan mereka jauh dari kata sejahtera, jika dibandingkan

dengan UMR Kabupaten Batang dengan frekuensi waktu kerja 5 jam sampai 8 jam kerja,

sedangkan untuk mencari pekerjaan sampingan cukup sulit dikarenakan waktu mereka

dihabiskan bekerja di perkebunan, karena keterbatasan ketrampilan dan pendidikan buruh dan

keluarganya tidak mempunyai pilihan lain selain bekerja, bertahan hidup dan menjadi bagian dari

sistem perkebunan.

Kondisi sosial ekonomi seperti ini membawa keluarga buruh pada posisi untuk menjaga

kelangsungan kontinuitas kerja sebagai jaminan kelangsungan hidupnya. Maka yang terpenting

bagi keluarga buruh adalah tenaga yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga, selain itu mer eka

juga menerapkan strategi survival untuk bertahan hidup di perkebunan. Survival sendiri tidak

hanya sebuah konsep ekonomi, tetapi suatu konsep yang menyangkut banyak aspek yang

berkaitan dengan kebutuhan manusia terkait dengan norma sosial budaya, motivasi, pengalaman,
pengetahuan dan pendidikan, kondisi fisik dan sosial, yang mempengaruhi strategi suvival setiap

individu maupun kelompok berbeda.

Dari gambaran kondisi kehidupan buruh, secara empirik (das sein) buruh perkebunan

menjadi objek yang relevan kondisi saat ini, dimana buruh dihadapkan pada beberapa aspek

yaitu: Pertama, upah yang rendah dan kondisi ekonomi yang tidak stabil membuat kehidupan

buruh perkebunan semakin sulit. Kedua, Buruh dihadapkan pada dualisme sistem ekonomi,

dimana perinsip kebersamaan secara tradisonal berdasarkan pada ikatan komunal yang menjamin

kelangsungan hidup tidak bisa diharapkan lagi, ketika sistem nilai-nilai sosial bergeser

didasarkan pada upah dan hubungan kontraktual. Ketiga. Secara subtansial kondisi perburuhan di

perkebunan saat ini dibandingkan dengan masa kolonial hampir sama, meskipun secara umum

kondisi situsi ekonomi, politik, dan sosial di dua zaman membawa ralitas yang berbeda pada

struktur dan kehidupan buruh perkebunan. Sedangkan secara teoritik (das sollen) penelitan

terdahulu yang relevan dikaji, khususnya menyinggung strategi survival masyarakat perkebunan.

Dari latar belakang diatas sebagai dasar penelitian strategi survival masyarakat

perkebunan di dua dusun Pagilaran dan dusun Kemadang Penelitian ini di selenggarakan di dua

dusun didasarkan pada beberapa aspek yaitu: Pertama. Dusun Kemadang dan dusun Pagilaran

secara administratif masuk dalam wilayah Desa Keteleng, sebagai desa yang terletak di dalam

perkebunan sebagian besar warganya bekerja di perkebunan. Kedua, meskipun letak dua dusun

berada di dalam perkebunan terdapat prototipe perumahan yang berbeda, yaitu perumahan

penduduk asli dan perumahan dinas (implasemen) sebagai perumahan dinas buruh dan karyawan

PT Pagilaran, perbedaan prototipe pola pemukiman berbeda memberikan karakteristik budaya

dan struktur masyarakat yang berbeda. Perbedaan inilah yang membedakan strategi survival

buruh perkebunan di dua dusun Pagilaran dan Kemadang.


Lewat penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran strategi survival dan realitas

kehidupan buruh perkebunan dengan segala keterbatasan yang dimiliki baik dalam segi lokasi,

tata ruang, ekologi, dan kondisi sosial ekonomi yang membuat mereka bisa tetap survive hidup di

perkebunan secara turun temurun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas rumusan masalah dalam penelitian ini,

bagaimana strategi survival buruh perkebunan dua dusun Pagilaran dan Kemadang.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini mencoba untuk mengetahui strategi survival buruh

perkebunan dua dusun Pagilaran dan dusun Kemadang.

1.4. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian-penelitian literatur maupun hasil penelitian ini diharapkan memiliki

beberapa manfaat antara lain:

1. Diharapkan dapat menambah penelitian pustaka mengenai strategi survival buruh

perkebunan dalam menghadapi masa-masa sulit.

2. Dari penelitian ini diharapkan dapat melihat kehidupan buruh perkebunan dari dekat

bagaimana strategi mereka bertahan hidup terhadap kondisi-kondisi sulit dan kendala-

kendala apa yang dihadapi oleh buruh untuk tetap survive.


1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai Tema strategi survival dengan objek penelitian petani maupun buruh

perkebunan di Indonesia, khususnya pulau Jawa memang telah banyak dilakukan oleh beberapa

ahli baik dari dalam maupun luar negeri, sejak zaman kolonial hingga sekarang. Berbagai

penelitian tersebut telah menghasilkan beragam intrepretasi dan kesimpulan, dikarenakan

perbedaan antara lain. Pertama, Lokasi dan fokus penelitian. Kedua, pendekatan, metode dan

strategi dalam analisis data penelitian, dan Ketiga. teori yang digunakan sebagai pijakan

penelitian. Terkait dengan konteks penelitian ini, ditampilkan beberapa penelitian yang

membahas tentang strategi survival.

1.5.1 Hasil Penelitian Terdahulu terkait Strategi Survival

Dalam Tesis Sahryzal (1996) Strategi buruh perkebunan mengatasi kemiskinan Studi di

perkebunan teh Mitra Kerinci di desa sungai lembai Kecamatan Sangir kabupaten Solok Sumatra

Barat. Penelitian Syahrizal mengkaji kehidupan buruh perkebunan teh, dengan melihat dari sudut

pandang rumah tangga buruh sebagai subjek penelitian, faktor kemiskinan keluarga buruh

menjadi latar belakang penelitian ini, terkait dengan strategi survival buruh perkebunan bertahan

hidup. Untuk bertahan hidup buruh perkebunan menerapkan strategi survival dengan :

melakukan usaha produksi subsistensi, melakukan pekerjaan tambahan, menekan pengeluaran

rumah tangga, berhutang di warung, membentuk jaringan sosial, membatasi jumlah anak dan

strategi masa depan. Dalam disertasinya Syahrizal menyimpulkan bahwa masyarakat perkebunan

bukanlah masyarakat yang pasif menerima keadaan, mereka mempunyai keinginan untuk

mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Dengan bekerja keras, menyisihkan pendapatan mereka
untuk di tabung, dengan tabungan yang mereka merencanakan strategi masa depan yang lebih

baik.

Dalam Tesis Maddukeleng (1997) terkait dengan posisi dan kedudukan buruh di desa

Bohotokong Kecamatan Bintai kabupaten Banggai. Penelitian ini melihat hubungan antara

majikan dan buruh perkebunan kelapa, dimana semua lahan dikuasai oleh etnis Cina (majikan)

sebagai bentuk peralihan kuasa kolonial Belanda. Maddukeleng menyimpulkan bahwa

perkebunan saat ini masih mewarisi sistem kolonial Belanda, dan tradisi yang berlaku

menunjukan pola hubungan vertikal (kekuasaan), yakni hubungan majikan ke buruh dalam satu

arah. Majikan mengeksploitasi buruh dengan sistim kerja (cara penggajian, penanaman,

pemberian bantuan, dan penguasaan lahan perkebunan). Pola hubungan Patron Klien masih

mewarnai kehidupan di perkebunan Onderneming, hal ini terlihat ketika majikan memberikan

pinjaman bersyarat kepada keluarga buruh berupa uang maupun barang dan atauran kerja yang

mengikat, dengan tujuan agar buruh terikat oleh ikatan solidaritas mekanis yang mendudukkan

buruh sebagai Klien.

Studi lain dilakukan oleh Ian Bremen dan Gunawan Windradi dalam bukunya masa “Cerah

dan Masa Suram” dalam versi bahasa Indonesia, dalam versi bahasa Inggrisnya yaitu “ Good

Time and Bad Time in Rural Java” merupakan sebuah studi longitudinal mengenai “kehidupan

dan kerja” di dua desa di pantai utara Jawa Barat, selama akhir abad ke-20. Penelitian Bremen di

awali pada awal tahun 1980 dan awal tahun 1990-an ketika Orde Baru masih berkuasa. Dengan

kemajuan ekonomi yang pesat ditandai dengan angkatan kerja pedesaan yang besar, jumlah

tenaga kerja pedesaan yang besar tidak diimbangi dengan ketersedian tenaga kerja sebagian dari

mereka melakukan urbanisasi dari desa ke kota. Tenaga kerja dari desa ke
kota di sebut Windradi (2004: 53) sebagai urban penglaju, hal ini ditentukan oleh intenstasitas

waktu selama bekerja di kota.

Penelitian Bremen dilanjutkan pada akhir tahun 90-an terkait dampak krisis ekonomi yang

melanda Indonesia, merupakan masa suram sepanjang sejarah kehidupan buruh di Indonesia.

Ribuan buruh yang bekerja di bidang industri dan kontruksi mengalami pemutusan hubungan

kerja (PHK), berdampak pada sektor informal, para buruh yang bekerja di bidang transportasi,

perdagangan, dan cabang ekonomi lain kehilangan pekerjaan, menyebabkan terjadinya de-

urbanisasi dari kota ke desa (Surya Kusuma, Julia. 2012 : 217).

De-urbanisasai sebagai gejala perpindahan horizontal perpindahan buruh dari kota ke desa

akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Buruh yang di PHK mulai mencari pekerjaan di sektor

pertanian, yang menjadi pertanyaan sejauh mana sektor pertanian mampu menampung jumlah

tenaga kerja, ketika ketersediaan lahan tidak sebanding di mana semua berebut untuk

mendapatkan kesempatan untuk bekerja kondisi ini memunculkan permasalahan sosial yang

berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran baik itu pengangguran mutlak, maupun

pengangguran terselubung. Bremen lebih menekankan menggunakan klasifikasi sosio-ekonomi

terkait denan tentang strategi survival yang digunakan oleh buruh pertanian menghadapi krisis,

dengan mengklasifikasikan beberapa kriteria rumah tangga berdasarkan kelas sosial.

Pengklasifikasian ini dilakukan oleh Bremen untuk merekam “gaya hidup rumah tangga” dan

berusaha merekam bagaimana gaya hidup itu berubah seiring dengan adanya krisis moneter

(krismon). Penelitian Bremen lebih dititik beratkan pada kehidupan buruh pertanian pedesaan

yang bekerja di kota sebagai buruh penglaju. Kehidupan buruh sebelum krisis sudah sulit

mencari nafkah di sektor pertanian di desa, sehingga mereka terpaksa mengembara dan melaju ke

perkotaan sampai ke Jakarta. Sebagian besar buruh penglaju bekerja di sektor konstruksi
sebagai kuli bangunan, dengan adanya krisis moneter mereka terpaksa kehilangan pekerjaannya

untuk waktu yang tidak ditentukan dan terpaksa kembali ke desa (de-urbanisasi) di desa

ketersediaan lapangan pekerjaan sangat sempit dan mereka terpaksa menganggur untuk waktu

ditentukan (Suryakusuma, 2012: 235). .

Stretegi-strategi bertahan hidup (survival) yang dilakukan oleh buruh beragam, bagi

golongan menengah mereka menggunakan tabungan mereka di dapat saat kesejahteraan mereka

lebih baik, tabungan mereka habis mulai menjual barang-barang konsumsi seperti perhiasan

emas, televisi, kendaraan bermotor, kipas angin dll. Sedangkan lapisan bawah mereka tidak

memiliki barang berharga mereka terpaksa bekerja serabutan meskipun dengan resiko dibayar

sangat murah. Mereka mulai mengurangi jatah makan dari tiga kali menjadi dua kali, menjadi

sekali dengan alternatif menggunakan makanan pengganti dari nasi menjadi jagung. Strategi –

strategi yang mereka lakukan bersifat temporer (sementara), para buruh tunakisma mengatasi

masa krisis dengan daya tubuh mereka, di sisi lain mulai mengandalkan sistem kekerabatan

dengan meminta dan menerima bantuan dari orang sekitar, sanak kerabat dan tetangga dekat.

Tentu saja bantuan ini juga tidak bisa diandalkan juga dihadapkan pada kondisi yang sama, yaitu

kemiskinan. Akantetapi solidaritas kelompok menjadi mekanisme sosial yang digunakan oleh

buruh untuk bertahan dari krisis.

Penelitian Bremen dan Windradi menemukan hal yang berbeda dengan penelitian-

penelitian sebelumnya, bahwa untuk bertahan hidup buruh menerapkan strategi survival dengan

memanfaatkan mekanisme-mekanisme jaringan sosial didasarakan pada perinsip-perinsip

kegotong royongan sudah mulai dihilangkan, yang tersisa hanya kewajiban membantu tetangga

karena adanya ikatan sosial. Hal ini disebabkan oleh sistem diversifikasi ekonomi pertanian dan

meningkatnya orientasi pada dunia luar yang berorientasi pada ekonomi dan modenrnitas di
lingkungan masyarakat desa. Hubungan sosial yang terjalin antara warga masyarakat desa telah

termonotisasi sama seperti kehidupan masyarakat kota. Ini berdampak pada hakekat hubungan

sosial yang memiliki ciri kontraktual tertentu, dan transaksi keuangan memainkan peran sentral

dalam menata jaringan sosial. Dalam mekanisme bertahan hidup masyarakat pedesaan

mengandalkan sektor informal.

Sektor informal ini menjadi tumpuan buruh tunakisma mendapatkan penghasilan, sebagai

pekerja serabutan dilakukan untuk bertahan hidup meskipun hasilnya tidak bisa dia andalkan.

Bagi masyarakat Jawa krisis bukan sesuatu yang baru, dimana mereka harus mengencangkan

ikat pinggang menjadi suatu hal yang lazim terjadi. Pengalaman mereka di jajah Belanda selama

350 tahun, dilanjutkan Jepang setidaknya memberikan makna tentang hakekat hidup bahwa ada

“masa cerah dan masa suram kehidupan” sehingga mereka mempunyai keyakinan dengan

bertahan hidup dan bertumpu pada kekuatan diri sendiri untuk tetap survive.

Penelitian lain terkait strategi masyarakat pertanian di Jawa antara lain Amri Marzali

(2003) terkait strategi survival petani Cikalong dalam menghadapi kemiskinan. Strategi yang

dilakukan oleh petani miskin di Cikalong menghadapi kemiskinan yaitu dengan bergantung pada

mekanisme jaringan sosial yang didasarkan pada ikatan komunal yang terbentuk antar warga

masyarakat Cikalong. Etika subsistensi, gotong royong, hubungan patron klien sebagai sisten

ekonomi tradisonal sebagai penjamin kelangsungan hidup buruh tani miskin di desa Cikalong.

Seperti halnya Marzali, Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Hayami dan Kikuchi (1981)

menganalisis hubungan kontrak antara petani dan buruh tani hubungan (Patron klien) sebagai

salah satu strategi bertahan hidup, hubungan ini terjalin didasarkan atas ikatan moral tradisonal

dan masih bekerjanya sistem pranata sosial di dalam masyarakat, meskipun Hayami dan Kikuchi

tidak memungkiri bahwa terjadi perubahan orientasi di dalam masyarakat pedesaan terkait
dengan komersialisasi barang dan jasa. Hal yang sama juga ditekankan oleh JH Booke, dan

Geertz yang lebih menekankan pada pendekatan moral ekonomi petani subsistensi, tolong

menolong sebagai bagian dari hidup peasant di Jawa.

Analisis berbeda diungkapkan oleh Igelson (1930) dikutip (Saptari, 2013:22) terkait

strategi survival buruh menghadapi resesi ekonomi dikarenakan penyusutan eksport gula yang

berdampak pada pemecatan buruh pribumi dengan argumen masyarakat pribumi mempunyai

jaringan sosial didasarkan pada ikatan komunal untuk tetap bertahan hidup. Akantetapi

pandangan akan jaring pengaman sosial yang didasarkan pada ikatan komunal pada masyarakat

pribumi tidak bisa di andalkan. Etika hubungan subsistensi, gotong royong, dan hubungan

Patron-Klien sebagai bentuk budaya masyarakat Jawa di dalam bidang industri dan tenaga kerja

mengalami pergeseran, hal ini disebabkan oleh surplus tenaga kerja di sektor pertanian, di mana

semua berebut untuk mendapatkan kesempatan ikut memanen. Sedangkan lahan petanian di Jawa

luasnya terbatas, dampak lain menurut Igelson dikutip (dalam Saptari, 2013:133) Buruh lebih

mengandalkan dengan membentuk mekanisme sosial tersendiri untuk bertahan dari krisis,

dengan mencari pekerjaan di sektor lain yaitu dengan mengembangkan sektor informal

diantaranya : kerja di sektor bangunan sebagai kuli, menjual makanan yang dikombinasikan

dengan penurunan tingkat konsumsi. Respon dan Strategi bertahan hidup buruh perkebunan

berdasarkan referensi di atas, penelitian ini memiliki kesamaan dan perbedaan tetang kehidupan

buruh untuk bertahan dari krisis, yaitu dengan etika subsistensi, melalui hubungan patron-klien.

Dalam penelitian ini lebih menekankan pada strategi survival buruh perkebunan.
1.6. Kerangka Konseptual

Dalam kerangka konseptual ini memaparkan dimensi-dimensi utama dari penelitian,

faktor-faktor kunci yang menghubungkan suatu perkspektif atau paradigma tertentu sebagai

orientasi teoritis dalam proses penelitian. Pertama adalah mengurai konsep buruh menurut Marx,

yaitu dengan menjelaskan akar persoalan upah dan hubungan buruh dengan majikan. Kedua

menjelaskan dualisme Boeke terkait dualisme sistem ekonomi masyarakat perkebunan, dan teori

Subsistensi James Scott dan Ian Bremen untuk mengurai strategi survival buruh perkebunan,

Bagan Alur Berfikir Kerangka Konseptual

Buruh perkebunan

Buruh yang berasal dari penduduk asli Buruh yang tinggal di perumahan

Upah dan Kesejahteraan hidup yang rendah

Strategi Survival di pengaruhi Dualisme


Ekonomi

Masyarakat dusun Kemadang Masyarakat Dusun Pagilar

Ikatan Komunal Bertahan dengan dirinya sendiri


1.6.1 Buruh

Menurut Marx buruh adalah orang yang menjual tenaganya demi kelangsungan hidupnya,

tidak memilki sarana atau faktor produksi selain tenaganya sendiri, dan bekerja untuk menerima

upah (Suseno, Franz Magnis. 2003:18). Buruh sebagai kelompok sosial sendiri dalam sejarah

indonesia berhubungan erat dengan masuknya paham kapitalisme di Indonesia pada abad ke -19,

ditandai dengan dibukanya perkebunan dan pertambangan pada masa kolonialisme Belanda.

Dalam perkembanganya istilah buruh menjadi kategori sosial kelompok penerima upah dalam

posisi kelas pekerja perkebunan dan industri. Sedangkan mereka yang bekerja di sektor formal

dan instansi pemerintah menggunakan istilah “karyawan, pegawai”. Sedangkan kata “kuli”

mempunyai makna sama dengan buruh mengalami penyempitan makna lebih rendah dari buruh.

Kata kuli berasal dari kata “quli” dalam bahasa hindi artinya pelayan atau pekerja kasar (Elok,

Mahbubah,2003:93) Untuk menganalisa struktur masyarakat perkebunan dalam hal ini melalui

pendekatan struktural yang berakar pada matrialisme historis Marx.

Secara tradisonal sudah diasumsikan bahwa tekanan utama Marx adalah pada kebutuhan

material dan perjuangan kelas sebagai akibat dari usaha-usaha memenuhi kebutuhan, dalam

pandangan ini ide-ide dan kesadaran manusia tidak lain dari pada refleksi yang salah tentang

kondisi-kondisi materiil, yang dipusatkan pada usaha meningkatkan suatu revolusi sosial

sedemikian sehingga kaum proletariat dapat menikmati sebagian besar kelimpahan materi yang

dihasilkan oleh industrialisme (Doyle Paul Johnson ,1986) .

Menurut Marx pemilikan penguasaan yang berbeda atas barang milik ini merupakan

dasar yang azazi untuk munculnya kelas-kelas sosial. Karena sumber-sumber materi yang

dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan mereka bersifat langka, hubungan antara kelas yanga
berbeda itu menjadi kompetitif dan bersifat antagonis. Masing-masing kegiatan produktif serta

gaya hidup pada umumnya ditentukan oleh posisinya dalam pembagian kerja dan oleh

penggunaan sumber-sumber materi yang tersedia. Kegiatan individu apakah diarahkan untuk

sekedar mempertahankan hidup biologis, atau untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia

yang dibatasi oleh kedudukan sosial setiap individu baik itu sebagai buruh maupun

kedudukannya sebagai pemilik modal.

Marx dan Engel (Ritzer, 2012: 335) melihat perubahan-perubahan utama kondisi-kondisi

materi dan cara produksi satu pihak hubungan-hubungan sosial dan norma-norma pendidikan di

lain pihak, mulai dari masyarakat primitif ditandai secara kolektif pembagian kerja sangat kecil.

Tahap ini disusul dengan tipe struktur sosial komunal purba yang ditandai oleh bentuknya yang

lebih besar dan pembagian kerja yang semakin tinggi dan mulai adanya pemilikan pribadi. Tahap

pokok berikutnya adalah sistem feodal, yag meliputi perkembangan lebih lanjut dalam

pembagian kerja dan pola-pola pemilikan kekayaan pribadi yang lebih ketat. Tahap feodal ini

akhirnya memberikan jalan produksi borjuis dan hubungan-hubungan sosial yang menyertainya.

Keberadaan kaum borjuis didalam masyarakat komunal dipengaruhi oleh idiologi-

idiologi individualitas dan berkurangnya hubungan manusiawi menjadi hubungan pemilikan.

Dalam tahap kapitalis buruh upah proletar memiliki hubungan dengan majikan borjuis semata -

mata sebagai seorang penjual tenaga kerja yang kegiatan produktifnya digunakan untuk

menghasilkan produk-produk yang dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal. Tahap ini

akhirnya disusun oleh tahap komunis, menurut gagasan ideal Marx merupakan satu tahap di

mana pemilikan pribadi akan lenyap dan individu-individu akan berinteraksi dalam hubungan-

hubungan komunal, tidak semua didasarkan pada hubungan ekonomi. Lebih–lebih lagi aspek –

aspek pembagian kerja yang menekan dan merendahkan martabat manusia akan diganti dengan
satu sistem yang akan memungkinkan individu untuk mengembangkan sebesar-besarnya

kemampuan manusiawinya dari pada hanya terbatas satu bagian kerja sempit.

Dalam pandangan Marx bahwa manusia menciptakan sejarah sendiri selama mereka

berjuang menghadapi lingkungan meteriilnya dan terlibat dalam hubungan sosial yang terbatas

dalam proses ini. Tetapi kemampuan manusia untuk membuat sejarahnya sendiri di batasi oleh

keadaan materiil dan sosial. Dan tidak tersebarnya secara merata alat-alat produksi dikalangan

anggota masyarakat mengakibatkan mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi harus

menjalin hubungan sosial untuk memiliki alat-alat produksi. Hasilmya berupa differensiasi

masyarakat ke dalam kelas-kelas ekonomi dan sosial yang membentuk struktur masyarakat.

Dimana Marx melihat konsep kelas sebagai kategori yang medasar dalam struktur sosial.

Pembagian yang paling penting dalam masyarakat adalah pembagian antara kelas-kelas yang

berbeda. Faktor yang mempengaruhi kedudukan individu adalah gaya hidup dan kesadaran

individu dalam posisi kelas, ketegangan atau konflik di dalam masyarakat adalah ketegangan

antara kelas yang sosial.

Struktur klas di dalam masyarakat perkebunan secara umum dibagi menjadi empat

golongan: pertama, administratur ; kedua, pegawai staf; ketiga pegawai nonstaf; dan keempat

buruh perkebunan menurut Becford (dalam Mubyarto, 1992: 115). Penggolongan tenaga kerja ini

terpisah secara kaku yaitu didasarkan pada perbedaan bangsa, warna kulit, ras, serta status dan

sistem upah sangat mewarnai struktur di dalam masyarakat perkebunan. Meskipun saat ini telah

bergeser tetapi sosial warisan kolonial masih tetap di pertahankan.Secara hierarki struktur kelas

dalam masyarakat perkebunan saat ini kedudukan dan jabatan di dalam perkebunan bersifat

mobilitas terbuka dalam arti normatif dalam realitas di lapangan struktur kelas di bagi menjadi

beberapa lapisan yang membentuk pola hubungan yang tidak seimbang terkait dengan perbedaan
kepentingan antara buruh dan perkebunan yang dikukuhkan dalam perjanjian kerja berupa

peraturan yang harus ditaati dan sanksi-sanksi jika terjadi pelanggaran (Silaban,2009:70).

Hubungan antara buruh dan perkebunan sebagai pihak yang dieksploitasi dan

mengeksploitasi. Secara konsptual buruh adalah orang menjual tenaga demi kelangsungan

hidupnya, buruh tidak mempunyai sarana produksi selain tenaganya sendiri. Dengan kata lain

buruh adalah sumber daya manusia yang diperlukan dalam proses produksi selain pengusaha dan

pemilik modal, hal paling sejati diterima oleh buruh adalah upah tinggi rendahnya upah

ditentukan oleh nilai tenaga kerja. Nilai tenaga kerja dapat dimaknai sebagai jumlah nilai

komoditi yang harus dibeli oleh buruh ditentukan oleh kebutuhan dasar buruh yaitu dari

makanan, pakaian, tempat tinggal, dan semua kebutuhan buruh dan keluarganya (kebutuhan

primer). upah bagi buruh menjadi hal yang penting, sementara bagi pengusaha upah pekerja

merupakan biaya yang selalu diusahakan agar dapat ditekan hingga tingkat paling rendah demi

keuntungan maksimal (Suseno, Franz Magnis.2003).

1.6.2 Strategi Survival

Menurut Steefland, strategi biasanya digunkan oleh masyarakat sebagai respon terhadap

kondisi sulit atau problem kehidupan (Steefland: 1989). Kondisi sulit tersebut dapat diakibatkan

oleh faktor alam atau struktur ekonomi yang tidak menguntungkan (Purwono: 2005). Dalam

menerapkan strategi bertahan hidup, setiap manusia mempunyai respon yang berbeda, mereka

melakukan tindakan rasional, yang diperhitungkan untuk memperbesar kesenangan dan

menghindari penderitaan (Johnson, 1981:107). Menurut George Mead bahwa rangsangan dan

tanggapan merupakan awal dari tindakan yang lebih diidentikkan sebagai upaya untuk bertahan

dari kondisi-kondisi tertentu (Ritzer, 2012: 274).


Di sisi lain realitas buruh perkebunan sangat identik dengan kondisi kemiskinan dimana

kondisi tersebut sangat erat hubungannya dengan sumber daya yang dimiliki oleh buruh dan

keluarganya untuk bertahan hidup, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar pangan,

sandang, dan papan. Akan tetapi semakin berubahnya perkembangan zaman kebutuhan manusia

semakin kompleks tidak hanya sebatas kebutuhan dasar, untuk memenuhi kebutuhannya setiap

keluarga buruh membentuk jaringan sosial yang berfungsi untuk mempertahankan

keberlangsungan hidup (Mahbubah: 2004).

Dalam menerapkan strategi survival setiap masyarakat mempunyai cara yang beragam

terkait degan kultur dan karakteristik masyarakatnya, masyarakat perkebunan selalu diidentikan

dengan sistem dualisme ekonomi J H Boeke. Menurut Boeke kemandegan dan kemiskinan di

Jawa disebabkan oleh pemisahan kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial, sehingga tidak ada

kebijakan ekonomi yang merangsang mereka untuk maju (Mubyarto, 1992:7). Sistem dualime

Boeke berpangkal pada pendapat Sombart yang membagi masyarakat menjadi empat tahapan

yaitu pertama. Prakapitalisme, kapitalisme awal, kapitalisme tinggi, kapitalisme akhir. Menurut

Boeke empat tahapan perkembangan ekonomi ini tidak ditemui pada masyarakat Asia tenggara.

Empat tahapan ini hanya ditemui pada masyarakat barat yang homogen dengan hubungan-

hubungan kemasyarakatan yang bebeda, sedangkan sistem ekonomi masayarakat Asia heterogen

(1973). Hal ini dikarenakan adanya sistem sosial yang berasal dari negera-negara barat, yang

kemudian masuk dan berkembang di negara-negara Asia (negara jajahan). Penjelasan Boeke

didasarkan pada tiga aspek yang menentukan sistem ekonomi di masyarakat yaitu : semangat

sosial, bentuk organisasi, dan tekhnologi. Ketiga aspek inilah saling bergantung dan saling

berkaitan membentuk sistem ekonomi dualistis (Boeke, 1948). Menurut Boeke di masyarakat

Asia hanya mengalami dua tahapan yaitu masa prakapitalisme dan kapitalisme akhir.
Prakapitalisme dapat dimaknai sebagai corak kehidupan tradisional dan adatlah yang

menentukan corak produksi, dimana ikatan komunal sangat kuat hak kepemilikan individu tidak

diakui. Setiap kehidupan individu hidup diatur secara organis, tunduk serta menyesuaikan diri

dengan penguasa alam, dengan landasan eksistensi prakapitalis adalah hemat, ingat, dan istirahat,

nilai-niali sosial menjadi landasan utama. Sedangkan kapitalisme akhir adalah paham-paham

kapitalisme barat masuk di negara-negara jajahan, didasarkan pada rangsangan kebutuhan

ekonomi, kepemilikan modal dan alat produksi mempunyai peran penting dalam penguasaan

sumber daya baik sumber daya alam, maupun sumber daya manusia.

Saat ini dualisme sistem ini di masyarakat berjalan beriringan uang mempunyai per an

penting dalam sisitem pertukaran, disatu disisi kehidupan masyarakat pedesaan tetap berpijak

kuat pada lingkungan tatanan sosial. Masuknya sistem ekonomi kapitalisme akibat dari

perkembangan sektor perkebunan mengakibatkan perubahan dalam kegiatan-kegiatan ekonomi,

di sektor tradisional kegiatan pertukaran semakin meluas, kegiatan produksi bukan saja di

khususnkan untuk keperluan sendiri (subsistensi), tetapi juga untuk kebutuhan komersial.

Subsistensi sendiri menurut James Scott (1981: 39) adalah suatu pola khas yang terbentuk

di dalam masyarakat Asia Tenggara, sebagai upaya bertahan hidup dengan membentuk jaringan-

jaringan sosial dengan mengandalkan ikatan komunal dan hubungan Patron-Klien. Secara garis

besar dalam melakukan strategi survival setiap individu berbeda, mereka berusaha mencukupi

kebutuhan-kebutuhan pokoknya dengan memanfaatkan sumber-sumber lain, ketika sumber daya

lain tidak mampu mencukupi maka mereka akan mengencangkan ikat pinggang dengan jalan

mengatur pola makan sehari dua kali, sehari sekali dan mengganti makanan dengan mutu yang

lebih rendah. Akantetapi ketika situasi sulit berjalan berlarut-larut, maka mereka melakukan

strategi alternatif yaitu dengan mengembangkan etika subsistensi yang didasarkan pada ikatan
komunal (James Scott, 1981). James Scott menyimpulkan bahwa ikatan komunal begitu kuat

terjalin di dalam masyarakat desa, yang menumbuhkan nilai-nilai sosial yang mengukuhkan

semangat kegotong-royongan antar warga desa yang diikat oleh sistem kekerabatan. Hal senada

juga di ungkapkan oleh beberapa peneliti yang mengkaji tentang strategi survival masyarakat

miskin di Asia khususnya Jawa sebagaimana dinyatakan oleh Booke, bahwa ikatan komunal

masih kuat di dalam masyarakat tradisional. Sedangkan Hayami Kikuchi, Pichus dan Geertz

yang lebih menekankan pada pendekatan moral ekonomi subsistensi, tolong menolong sebagai

bagian dari strategi bertahan hidup peasant di Jawa (Bremen dan Windradi, 2002: 52).

Disimpulkan oleh Marzali terkait strategi paisan di Cikalong menghadapi kemiskinan

menyimpulkan bahwa etika subsistensi dan hubungan Patron Klien masih mewarnai kehidupan

masyarakat miskin, khususnya petani di di Jawa sebagai salah satu cara untuk bertahan hidup

(Marzali :2003).

Subsistensi adalah suatu pola khusus yang terbentuk pada masyarakat petani di Asia

tenggara (Scott,1981:31). Sedangkan bagi Hans Dieter Evers sektor produksi substansi diartikan

sebagi keseluruhan kegiatan ekonomi yang berorientasi pada nilai pakai dan konsumsi untuk dir i

sendiri diluar ekonomi pasar. Kegiatan produksi subsistensi ini disebabkan oleh karena usaha

manusia untuk mempertahanan hidupnya sendiri dan karenan interkasi dengan lingkungannya

(Hans Dieter Evers: 1991).

Lebih lanjut bagi Hans Dieter Ever istilah “perekonomian subsistensi” umumnya

digunakan khusus perekonomian desa agraris yang produktifitasnya rendah. Produksi subsistensi

merupakan bagian dari produksi pertanian yang dikonsumsi oleh para anggota rumah tangga itu

sendiri Produsen sekaligus sebagi konsumen dan interaksi pasar tidak terjadi (Hans Dieter Evers:

1990). Dengan demikian perekonomian subsistensi tidak hanya terdapat pada masyarakat agraris,
akan tetapi pola ini juga terdapat dalam masyarakat perkebunan. Di dalam masyarakat

perkebunan secara hirarki terjalin hubungan antara atasan dan bawahan, status dan hubungan

kerja antara buruh dengan mandor secara langsung membentuk hubungan subsistensi di dalam

masyarakat perkebunan. Di sisi lain realitas buruh perkebunan sangat identik dengan kondisi

kemiskinan di mana kondisi tersebut sangat dekat dalam menggambarkan sumber daya yang

dimiliki oleh individu untuk dapat terus bertahan hidup.

Himpitan ekonomi karena tidak memiliki akses, baik itu akses pekerjaan atau lahan untuk

bertahan hidup, mau tidak mau menuntut para buruh perkebunan untuk menempuh strategi -

strategi yang mengkondisikan mereka untuk tetap bertahan hidup. Akantetapi terjadi hal berbeda

pada masyarakat pertanian di pedesaan Jawa pada masa krisis akhir 1990-an. Bahwa mekanisme

jaring pengaman sosial dibentuk oleh masyarakat pedesaan yang di dasarkan pada perinsip

kegotong royongan dan hubungan Patron Klien sudah mulai luntur, akantetapi kewajiban

membantu tetangga masih tetap terjaga. Hal ini disebabkan oleh sistem diversifikasi ekonomi

pertanian dan meningkatnya orientasi pada dunia luar yang berorientasi pada ekonomi dan

modenrnitas di lingkungan masyarakat desa, yang telah termonotisasi sama seperti kehidupan

masyarakat kota. Ini berdampak pada gaya dan hakekat, hubungan sosial memiliki ciri

kontraktual tertentu, dan transaksi keuangan memainkan peran sentral dalam menata jaringan

sosial (Bremen dan Windardi, 2003). Oleh karena itu mekanisme jaringan sosial yang di dalam

masyarakat desa saat ini tidak bisa di diandalkan, untuk bertahan hidup buruh dan keluarganya

mengandalkan diri sendiri dan anggota keluarga mereka dengan bertumpu pada sektor informal.
6.1.3 Desa Perkebunan.

Desa di Jawa menurut Geertz adalah suatu kesatuan wilayah otonom dimana

masyarakatnya mempunyai satu ikatan yang kuat, dengan tingkat homogenitas yang tinggi,

bersifat egaliter, yang mempunyai kerjasama dan terpadu (Scott: 1981). Sedangkan Bremen

mempunyai intrepretasi yang berbeda terkait sejarah pembentukan desa pada awalnya

pembentukan desa di bentuk oleh pemerintah kolonial sebagai suatu alat untuk memudahkan

kegiatan produksi dan memungut pajak atas petani. Dapat disimpulkan bahwa penguasa kolonial

Belanda menciptakan pedesaan tetap, yang demokratis dan berlandaskan kerjasama, dengan

membentuk struktur administrasi dan pemerintahan sendiri yang mempunyai hak otonom

(Bremen, 1988: 73). Dengan diberlakukannya undang-undang agraria hubungan yang terjalin di

dalam masyarakat desa lebih kompleks dengan sistem campuran sewa-menyewa tanah

disembunyikan, melalui pembentukan desa-desa untuk tujuan memperluas wilayah kolonial dan

kontrol sepenuhnya oleh pemerintah kolonial (Newberry, 2012: 34).

Pembentukan desa di perkebunan secara garis besar di ciptakan oleh Belanda untuk

keuntungan kolonial, sedangkan masyarakat perkebunan adalah sarana produksi. Berawal dari

sistem tanam paksa (cultuurstesel) oleh Van den Boch pada tahun 1830 guna mengisi

kekosongan kas negara. Secara tidak langsung penerapan tanam paksa mengubah struktur

masyarakat pedesaan di Jawa (Kartodirdjo dan Suryo, 1991:7). Menurut Bremen masyarakat

desa pada mulanya adalah masyarakat yang bebas tanpa harus tunduk pada otiritas tunggal .

Mereka bebas melakukan migrasi tanpa adanya ikatan komunal atau hubungan potron klien yang

membatasi mereka, dengan penerapan tanam paksa masyarakat dipaksa untuk tunduk pada

pemerintah kolonial melalui kepala desa. Dalam hal ini kepala desa diberi otoritas penuh untuk

mengorganisir, menentukan jenis tanaman, mengawasi, dan mengumpulkan hasil panen. Kepala
desa dianggap sebagai representasi otoritas lokal yang menguasai desa, hal ini diperkuat dengan

obyektifitas adat oleh perspektif kolonialisme (Bremen, 1990:109).

Sejak saat itulah kepala desa menjadi satu-satunya otoritas lokal yang resmi dan berhak

mengatur desa dan memiliki keterikatan dengan pemerintah (Mubyarto, 1990: 21). Politik tanam

paksa secara otomatis mengikat warga harus tetap tinggal di desa dan menanam tanaman yang

ditentukan oleh pemerintah kolonial, dari sini mulai tumbuh desa-desa kecil di huni oleh para

petani dengan ikatan komunal yang di bentuk didasarkan pada sistem kekerabatan.

Disisi lain dengan adanya tanam paksa menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat

pribumi khususnya di Jawa dan Sumatra. Kondisi ini banyak mengundang kecaman baik di

dalam dan diluar negeri Belanda, akhirnya pada tahun 1854 dihapuskannya tanam paksa dan

diterapkannya undang-undang Regeerings Reglement (RR) pada tahun 1854 (Mubiyarto, 1992:

35). Dengan diterapkannya undang-undang memberikan kesempatan secara resmi kepada modal

asing untuk membuka perkebunan dengan cara sewa. Dengan ketentuan tanah yang digunakan

untuk perkebunan adalah tanah tidak diolah oleh rakyat (tanah liar).

Pembukaan perkebunan di bangun di daerah yang jauh dari pedesaan, secara topografis

yaitu daerah luas dengan tanah yang subur, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi

Kondisi ini menyebabkan migrasi secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja

(Furnival, 2009:375). Migrasi adalah syarat utama kapitalisme, karena pembentukan perkebunan

ini membutuhkan banyak tenaga kerja yang besar dengan jumlah penduduk asli tinggal di

perkebunan tidak terpenuhi, untuk memenuhi jumlah tenaga kerja perkebunan maka diterapkan

sistem dan undang-undang coolie ordinance pada tahun 1880, dari sinilah muncul istilah kuli

kontrak (Bremen, 1991:70).


Keberadaan kuli kontrak inilah seluruh desa di Jawa mempunyai kebebasan untuk

melakukan migrasi demi mencari upah yang tidak bergantung pada belas kasih Patron atau

bersandar pada belas kasih kekuasaan lokal atau tetangganya sendiri. Warga desa telah menjadi

buruh tanpa harus pergi ke kota, namun memenuhi pusat-pusat perkebunan baik di Jawa Timur

atau Sumatera (Boeke, 1983:84). Dalam tiap perkebunan, perusahaan akan selalu membuat

pemukiman buruh di dalam permukiman, buruh dihadapkan pada kondisi yang kompleks yang

mencakup hubungan sosial-ekonomis, yang menciptakan sistim perekonomian dualistik, disatu

sisi sebagai masyarakat agraris dihadapkan pada sistem subsistensi, di satu sisi masyarakat

dihadapkan pada sistem kapitalisme (Sartono, Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 7).

Perkembanganya lambat laun permukiman yang disediakan untuk buruh berubah menjadi

desa dan para buruh bertempat tinggal cukup lama disitu. Ikatan patron klien tidak ada karena

tanah tempat mereka tinggal adalah milik perkebunan dan hubungan mereka dengan otoritas

lokal adalah hubungan kerja dengan upah. Kepala desa dengan demikian hanya berfungsi sebagai

mandor atau pengawas keamanan, sedangkan dominasi kekuasaan masih menjadi otoritas penuh

perkebunan. Perkampungan baru yang terbentuk di perkebunan seluruhnya diatur oleh penguasa

tingkat menengah yaitu kepala desa untuk mengatur kegiatan produksi dan keamanan desa

(Bremen, 1988). Dengan demikian desa perkebunan dalam penlitian ini satu kesatuan wilayah

otonom yang berada di dalam lingkungan perkebunan dimana aktifitas warganya berpusat di

dalam perkebunan dan secara administratif di pimpin oleh Kepala Desa yang di tunjuk oleh pihak

perkebunan untuk mengatur dan menjaga keamanan desa. Akantetapi perubahan politik saat ini

kekuasaan perkebunan mulai bergeser jabatan kepala desa diperoleh melalui persetujuan dan

dukungan dari warga dengan persetujuan dari pemerintah, sehingga peran kepala desa saat ini

tidak hanya sebatas mengatur dan menjaga keamanan desa,


tetapi secara administratif kedudukan kepala sebagai wakil pemerintah yang bertugas memimpin

desa.

1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian ini menekan pada penelitian etnografi untuk mendiskripsikan dan

membangun struktur sosial budaya suatu masyarakat dengan menekankan pada eksplorasi

tentang hakekat fenomena sosial tertentu dan bukan menguji hipotesis tentang fenomena

tersebut. Deskripsi mendalam dalam metode etnografi ditujukan untuk mengindentifikasi,

memahami, dan mengintepretasikan tindakan-tindakan sosial, struktur sosial, dan budaya suatu

masyarakat. Fokus etnografis ini berupaya untuk “menarik kesimpulan yang l uas dari hal yang

kecil, tapi yang tersusun dari fakta-fakta. Bukan mencari hukum-hukum pengetahuan

eksperimental, tapi pengetahuan interpreatif untuk menemukan makna (Geertz,1992) .

Metode etnografi, sebagai salah satu penelitin kualitatif, antara lain banyak

mengandalkan teknik pengumpulan data secara mendalam (in-depth), lengthy dan wawancara

terbuka atau terbatas, open-end interviews. Meskipun dalam penelitian ini lebih mengacu pada

tulisan Oscar Lewis (1988:5) untuk melihat konsep tentang keluarga secara utuh. Dengan

bantuan metodologi ini dapat menggali informasi dan mengeksplorasi data dari informan

sejauh ingatan dan pengalaman yang di dapat di lapangan dengan ikut berpartisipasi aktif

dengan kegiatan yang dilakukan inforaman.

1.7.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa perkebunan yaitu Desa Keteleng terdiri dari lima Dusun

yaitu: Dusun Keteleng, Dusun Kemadang, Dusun Pagilaran, Dusun Andong Sili, dan Dusun

Kayu landak. Dari kelima Dusun tersebut terdapat dua protipe yang berbeda Dusun Kemadang
dan Dusun Keteleng adalah pemukiman penduduk asli sedangkan Dusn Pagilaran, Dusun

Andong Sili, dan Dusun Kayu landak adalah pemukiman buruh perkebunan Pagilaran. Dari

kelima Dusun tersebut sebagai objek penelitian saya untuk melihat strategi durvival buruh

perkebunan teh saya fokuskan pada dua Dusun Pagilaran dan Dusun Kemadang, dengan

pertimbangan dua Desa ini berada di dalam lokasi perekbunan, jarak antara dua Desa cukup

dekat dibandingkan dengan jarak ke-tiga Dusun lainnya. Selain itu di Dusun Pagilaran terdapat

pabrik, perumahan dinas (implasemen sebagai tempat tinggal buruh), fasilitas-fasilitas

perkebunan seperti sekolah perkebunan, klinik, penitipan anak bagi keluarga buruh perkebunan,

dan hampir seluruh penduduknya bekerja sebagai buruh perkebunan. Sedangkan di Dusun

Kemadang terdapat kantor Administrasi Desa dan pemukiman penduduk asli. Pembedaan

penduduk asli dan pendatang di dasarkan pada posisi keberadaan mereka di Desa Keteleng,

penduduk asli keberdaan nenek buyut mereka sudah ada sebelum pembukaan perkebunan,

mereka sudah mendiami wilayah Desa Keteleng. Sedangkan pendatang keberadaan mereka

setelah perkebunan di dirikan mereka bekerja baik sebagai buruh maupun karyawan, pendatang

ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu keturunan dari kuli ordinance buruh perkebunan yang

didatangkan pada masa awal pembukaan perkebunan, dan pekerja pekerbunan yang diangkat

langsung oleh menejemen perkebunan dari pusat, sebagian besar dari mereka adalah tenaga

profesional yang berkedudukan sebagai karyawan, atau tenaga administrasi.

Pemilihan terhadap dua Desa ini setidaknya dapat mempresentasikan kehidupan buruh

perkebunan dengan dinamika, serta bentuk-bentuk strategi survival ketika mereka dihadapkan

pada upah dan kesejahteraan hidup yang rendah.


1.7.2 Sumber Data dan Pengumpulan Data

Sumber data dalam penelitian ini didapatkan dari data primere maupun sekunder. Data

primer diperoleh dari masyarakat dan pihak-pihak lain secara langsung dengan melakukan

observasi dan wawancara. Sementara itu, data sekunder adalah data yang telah tersedia, baik di

masyarakat maupun instansi-instansi negara maupun swasta, seperti statistik, monografi,

dokumen, hasil-hasil studi, laporan tahunan suatu instansi negara atau swasta, jurnal, majalah,

arsip, buletin, dan dokumen-dokumen tertulis lain yang di nilai penting untuk keperluan studi.

Obervasi dan penelitian lapangan untuk mengeksplor secara lebih dalam, penelitian ini

menggunakan pengamatan peran serta (participant observation) untuk mendapatkan data yang

natural, Pertama. Mengamati kondisi kehidupan masyarakat perkebunan di dua Dusun, Kedua.

Berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat secara sehingga mendapatkan data secara langsung

baik dengan cara menulis catatan, maupun hasil rekaman lewat keseharian kehidupan masyarakat

perkebunan di dua Dusun Pagilaran dan Kemadang, kemudian menganalisis secara tetulis. Selain

pengamatan peran untuk mendapatkan data dalam penelitian ini melakukan wawancara

mendalam (depth interviuw). Dalam proses wawancara dilakukan kepada informan secara tidak

terstruktur yang disesuikan dengan karakteristik keunikan masing-masing informan. Sedangkan

pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini pertanyaan yang bersifat deskriptif sehingga dapat

memperoleh gambaran tentang kondisi masyarakat, dengan cara mengorganisir gagasan dan

pengetahuan yang mereka miliki, selain itu mengajukan pertanyaan kontras guna menggali

informasi dari informan yang diberikan dalam bahasa aslinya (sesuai kondisi yang ada).

Seain itu untuk mendapatkan sumber data primer dalam penelitian ini, dalam menentukan

dan mencari informan yang akan dipilih dengan menggunakan teknik “bola salju” (snowbowl).

Dengan alur sebagai berikut: Pertama, mendapatkan informasi dari tokoh masyarakat setempat,
(keypersons) yang paling berpengaruh. Berdasarkan informasi-informasi dari tokoh-tokoh utama,

kemudian mencari informan berikutnya yang bisa mengetahui lebih lanjut tentang kondisi

masayarakat Dusun Pagilaran dan Dusun Kemadang, Untuk meminimalisir perbedaan-perbedaan

dan persepsi dan pemaknaan dari informasi (hasil wawancara), kemudian melakukan wawancar a

ulang (re-interview) untuk tujuan konfirmasi terhadap para informan lain yang di anggap

mengerti tentang kondisi desa.

1.7.3 Penafsiran dan Analisis

Dalam menafsikan dan menganalisis data dalam penelitian ini melewati beberapa tahapan,

pertama menelaah semua data yang tersedia baik dari hasil wawancara maupun pengamatan,

yang ditulis dalam catatan lapangan dan dokumentasi. Sehingga secara empirik data-data yang di

dapat dari lapangan dikumpulkan dan disatukan dalam satu susunan yang menggambarkan

sejumlah persepsi maupun tindakan masyarakat yang terkait dengan strategi survival. Langkah

selanjutnya adalah mereduksi data yaitu dengan memasukkan data yang relevan dengan tujuan

penelitian dan membuang data yang tidak relevan dengan tujuan penelitian. Kemudian menyusun

dalam satuan-satuan dan mengkategorisasikan. Tahap akhir dari analisa ini adalah mengadakan

pemeriksaan keabsahan data dan mulai menafsirkan data yang telah dikumpulkan tidak diuji

dengan statistik, tetapi dipahami maknanya dalam setiap kegiatan usaha, dan landasan teoritis

akan digunakan sebagai farme of reference dalam interpretasi data, dan penjelasan ini akan dibuat

dalam bentuk deskriptif yang menghubungkan antara landasan teoritis dan fakta empiris.

Disesuaikan dengan jenis penelitiannya, yaitu penelitian etnografi maka penelitian ini tidak

memaksakan sebuah teori guna membahas fakta di lapangan, tetapi justru fakta empirislah yang

digunakan sebagai pijakan untuk menentukan teori yang sesuai dengan realitas di lapangan.
Dalam penelitian melakukan beberapa tahapan, melalui beberapa tahap antara lain: tahap pra

lapangan, tahap kerja lapangan, tahap analisis data, dan penarikan kesimpulan.

1. Tahap Pra Lapangan

Dalam tahap pra-lapangan pertama yang dilakukan adalah mencari data berkenaan

permasalahan yang akan di angkat baik memalui madia massa, dokumen, maupun wacana yang

berkembang, dalam orientas lapangan peneliti melakukan obeservasi dengan tinggal dan hidup

bersama (live in) dengan masyarakat perkebunan.

2. Tahap Kerja Lapangan

Langkah pada tahap ini, peneliti lakukan dengan mengadakan wawanacara serta

obseravasi secara lebih mendalam. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui kehidupan dan

strategi apa saja yang dilakukan oleh masyarakat perkebunan menghadapi krisis.

3. Tahap Analisa Data

Dalam menganalisa datayang dihasilkan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan

etnografi. Analisa dilakukan dengan melakukan reduksi data (menyeleksi data yang ada

untuk disederhanakan dan diambil intinya), penyajian data (penyajian secara tertulis

berdasarkan kasus-kasus secara faktual yang berkaitan), serta verifikasi data (menarik

kesimpulan atas pola keteraturan dan penyimpangan yang ada dalan fenomena yang ada di

dalam masyarakat). Dari hasil wawancara dengan informan, kemudian di olah dengan cara

menyeleksi data yakni mengambil data yang relevan saja dengan fokus permasalahan serta

mebuang yang over loaded. Selanjutnya, hasil wawancara di olah dengan cara memolesnya

dengan literatur yang ada serta teori yang relevan untuk di konfirmasi apakah sejalan

ataupun justru bertentangan dengan temuan empiris di lapangan. Selain itu dalam tahapan ini

menganalisa data berupa pengungkapan dan penafsiran atas fakta-fakta yang terkumpul,
maupun berupa simbol-simbol yang ada baik data primer maupun sekunder. Penyusunan

laporan ditulis secara detail sesuai dengan koridor sistematika penulisan laporan penelitian

yang baku.

4. Tahap penarikan kesimpulan

Dalam menarik kesimpulan penelitian ini yang dilakukan tidak dimaksudkan sebagi

sebuah generalisasi, namun hanya untuk menjabarkan secara singkat dan tepat, apa adanya

sesuai dengan temuan fakta di lapangan baik itu meliputi peristiwa maupun pendapat

informan dari hasil lapangan atau pembahasan. Penarikan kesimpulan, dilakukan setelah

selesai proses analisa dengan mencari benang merah terhadap persamaan dan perbedaan

setiap hasil temuan serta pertautan dari awal bab hingga akhir

Anda mungkin juga menyukai