Anda di halaman 1dari 26

Eksploitasi Kerja di Pabrik Es Krim Aice, Sponsor Asian

Games 2018

PT Alpen Food Industry menjadi salah satu jantung pagelaran olahraga antarcabang yang
mempertaruhkan kredibilitas Indonesia. Es krim Aice, nama produk PT AFI, terpampang
sebagai sponsor Asian Games 2018. Di sisi lain, PT AFI mengalirkan es krim Aice ke 106
daerah di Indonesia, salah satunya ke minimarket OK OCE daerah Cikajang, Jakarta Selatan.
Padahal PT AFI diduga melanggar hukum karena menghargai hak buruh dengan murah.

Agus, yang bekerja di bagian logistik, adalah salah satu dari 644 buruh PT AFI yang perlahan
memeriksa pelanggaran hukum perusahaan. Semula para buruh tak pernah menyadari hal ini
sejak mereka direkrut.

Awalnya Agus tergiur ditawari oleh rekannya untuk bekerja di PT AFI. Ia menyiapkan surat
lamaran dan surat keterangan catatan kepolisian. Tak sampai 24 jam, ia menerima panggilan
telepon dari PT AFI untuk wawancara. Usai wawancara selama hanya 5 menit, ia disuruh
datang ke pabrik PT AFI di kawasan industri MM2100, Cibitung, Bekasi.

Agus bekerja tanpa kontrak, dan langsung diminta ke bagian kualitas produk. Hari-hari
berikutnya tenaga Agus diperas oleh PT AFI. Ia hanya mendapatkan libur sehari setiap tiga
minggu. Gajinya di bawah upah minimum Kabupaten Bekasi tahun 2016, yakni Rp2,7 juta
dari seharusnya Rp3,3 juta.

Saat itu, ia mulai mengorganisir buruh untuk sekadar bertanya soal hak pekerja. Ia lantas
mampu membangun relasi senasib sepengalaman dengan 440 buruh lain. Tapi, perusahaan
memutus kontrak kerjanya pada awal Agustus 2017. Pola PHK terhadap Agus pun janggal: ia
tak diberitahu minimal tujuh hari sebelum masa kontrak berakhir.

Dalam aturan hukum perburuhan di Indonesia, Agus seharusnya jadi pegawai tetap karena ia
telah bekerja 25 hari dalam sebulan selama tiga bulan berturut-turut.

Cara instan Agus bekerja di PT AFI lewat rekomendasi teman hanyalah satu contoh kecil.
Pola umum: PT AFI memakai perusahaan jasa outsourcing yang berpusat di Tangerang
bernama PT Mandiri Putra Bangsa. Setelah bekerja beberapa bulan untuk menjalani masa
percobaan, para buruh ini diberi status kontrak sebagai pekerja tidak tetap atau dikenal dalam
istilah hukum di Indonesia sebagai 'perjanjian kerja waktu tertentu' selama setahun.

Seleksi buruh melalui tes tertulis dengan meminjam ruang kelas SMP atau SMK dan
semacamnya. Prosesnya pun bisa sehari kelar. Esoknya, mereka menerima pengumuman
untuk datang ke PT AFI dan berikutnya langsung bekerja.
Bagi yang masuk lewat PT Mandiri Putra Bangsa, seleksi digelar di Tangerang. Sepenuturan
beberapa buruh, tak ada tes kesehatan saat seleksi. Untuk beberapa kasus, perusahaan
outsourcing itu mensyaratkan buruh memberikan ijazah supaya mendapatkan kunci loker saat
di pabrik PT AFI.

Imam, salah satunya. Pria berusia 30 tahun di bagian mixing ini adalah salah satu buruh
terlama di PT AFI. Ia diterima sejak Juni 2014 melalui jalur PT Mandiri Putra Bangsa.
Masalahnya juga serupa dengan Agus: ia bekerja tanpa kontrak resmi sejak akhir 2016.

Sampai Oktober 2016, Imam bekerja dengan status buruh tak tetap. Pada Oktober 2017,
kontraknya diputus. Namun, ia masih bekerja seperti biasa, di bagian pengaduk campuran es
krim. Ia juga tetap menerima upah saban bulan, meski statusnya ambigu.

Apa yang dialami Imam bertentangan dengan aturan hukum ketenagakerjaan tahun 2003.
Salah satu pasal dalam regulasi ini menyebutkan bahwa "perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap." Pendeknya, sistem buruh
kontrak PT AFI lewat perusahaan outsourcing PT Mandiri Putra Bangsa telah menyalahi
regulasi; dan tidak sepatutnya mengombang-ambingkan status kerja buruh.

Dikontrak Berkali-kali

PT AFI juga menyalahi sistem kontrak ketika ada sekitar 16 buruh yang dikontrak lebih dari
3 kali ditambah 56 buruh yang diperpanjang pada kontrak ketiga tanpa 30 hari jeda. Masih
berdasarkan regulasi ketenagakerjaan di Indonesia, kontrak terhadap para buruh Aice ini
hanya bisa disepakati paling lama 2 tahun dan diperpanjang 1 kali dengan waktu
perpanjangan paling lama setahun. Perpanjangan ini harus diberitahukan paling lama 7 hari
secara tertulis, tapi perusahaan abai atas ketentuan ini.

Padahal, bila patuh terhadap regulasi perburuhan di Indonesia, perusahaan dengan model
investasi asing ini secara hukum terikat untuk mengangkat para buruh kontrak yang
melampaui tempo sebagai "karyawan tetap".

Kondisi kontrak buruh saat rekrutmen tahun 2017 lebih parah. Bukan hanya tanpa kontrak
karyawan, buruh yang diterima harus menandatangani surat pernyataan. Pernyataan ini
memuat perjanjian bahwa buruh bersedia dikontrak selama dua bulan dan tidak boleh keluar
sampai waktu kerjanya kelar. Ijazah asli juga harus diberikan sebagai jaminan—kata lain
"ditahan"—oleh PT AFI.

Hak buruh dalam surat pernyataan tahun 2017 itu pun digerus. Buruh tak diberikan hak-
haknya seperti BPJS Ketenagakerjaan ataupun BPJS Kesehatan. Mereka bahkan harus
menyatakan diri tidak akan meminta izin kerja dalam kondisi apa pun alasannya.
Poin pernyataan, “Bersedia untuk masuk terus tanpa izin apa pun alasannya” telah memapras
hak cuti haid ataupun cuti melahirkan. Kejadian ini menimpa Ida yang hamil 7 bulan.

Ida, yang mengandung anak pertama, takut buah hatinya terpapar gas amonia di bagian
produksi dan bisa merusak janin. Ia lantas memohon pindah dari bagian produksi. Bukannya
dipindah, atau diberi cuti hamil, perusahaan tetap mempertahankannya di bagian produksi.
Perusahaan berkata bahwa “di sini enggak ada pembedaan antara yang hamil dan yang
enggak hamil,” kisah Ida.

Jangankan cuti hamil, izin sakit pun harus ditebus sendiri oleh buruh. Jika mereka izin sakit,
mereka harus mengambil jatah lembur untuk menggantikan jam kerja. Jika tidak, penghasilan
mereka per bulan dipotong sesuai jumlah absen hari kerja.

Kerja Tak Teratur demi Perusahaan yang Makmur

Apa pun dilakukan oleh manajemen PT Alpen Food Industry. Para buruh tak cuma
memproduksi 1,8 juta batang es krim per hari, tetapi tenaga mereka juga diperas untuk
melakukan kerja di luar tanggung jawabnya.

Selain dibayar dengan upah murah (meski perusahaan memakai dalih bahwa status buruh
dalam masa training), PT AFI harus menjawab sejumlah pelanggaran lain. Saat perusahaan
memperluas areal pabrik, pada Oktober 2014 hingga Mei 2015, para buruh diminta bekerja
tambahan sebagai kuli bangunan, dari angkat batu, mengaduk semen, hingga menjebol
tembok. Mereka dibayar Rp50 ribu per hari.

Jam kerja buruh pun menyalahi regulasi. Perusahaan menerapkan tiga shift pekerjaan. Jam 7
sampai jam 3 sore, jam 3 sore sampai 12 malam, dan jam 11 malam sampai jam 7 pagi.
Mesin produksi bekerja terus selama 24 jam, dan buruh yang mendapatkan jadwal kerja
hanya diberi 1 jam rehat setiap hari.

Jam kerja 7 jam sepintas wajar belaka, tapi yang menjadi masalah adalah penghitungan hari
kerja. Tak ada hari libur atau bahkan hitungan lembur di hari Sabtu dan Minggu. Dalam
sebulan, para buruh es krim Aice dipaksa masuk berturut-turut selama 25 hari. Sisanya baru
mendapatkan jatah lembur.

Jika dihitung, buruh Aice bekerja selama 49 jam per minggu. Ini diperparah dengan biaya
lembur yang mengabaikan kesepakatan. Tiap lembur, buruh dijanjikan Rp20 ribu per jam,
tapi mereka hanya menerima upah lembur Rp10 ribu per jam.

Bantahan dari Perusahaan Outsourcing dan Induk PT AFI

Direktur perusahaan outsourcing PT Mandiri Putra Bangsa, Maria Margaretha, mengklaim


ada 80-an buruh yang diterimanya saat PT Alpen Food Industry berdiri. Ia berdalih, saat itu,
PT AFI belum bisa membuat kontrak dengan buruh secara langsung karena baru saja
terbentuk. Untuk itulah PT MPB diperlukan.

Perusahaan berusaha keras menampik beberapa kontrak yang dianggap bermasalah.


Margaretha menerangkan pada awal buruh menyandang status kontrak, tunjangan belum
diberikan karena "wajar" sebab PT AFI adalah perusahaan baru sehingga "tidak ada sumber
dana yang cukup" untuk membiayainya. PT Mandiri Putra Bangsa tak lagi punya ikatan kerja
dengan PT AFI sejak September 2017 sebagai penyedia tenaga buruh kontrak.

Berdasarkan keterangan Margaretha, PT AFI dibentuk pada 2012. Sedangkan pada 2013 dan
2014, perusahaan "merumahkan" para pekerjanya.

Anehnya, ada slip gaji yang dibayarkan kepada buruh kontrak pada 2014, salah satunya
adalah Imam.

Satu kesamaan antara keterangan buruh dan Margaretha, pada 2015, PT Alpen kembali
beraktivitas. Ia mengklaim saat itu "kontrak dengan buruh sudah ditangani seutuhnya" oleh
PT Alpen Food Industry. Kenyataannya, ada kontrak pada 2015 yang mengatasnamakan
Margaretha sebagai direktur PT MPB untuk menyediakan buruh ke PT AFI.

Soal adanya perpanjangan kontrak yang lebih dari tiga atau empat kali, Margaretha
menyanggahnya. Alasannya, karena PT AFI kembali beroperasi pada 2015, kontrak saat itu
"sepenuhnya baru." Maka, menurutnya, dari 2015 hingga 2017, tak ada satu pun buruh yang
bekerja lebih dari tiga tahun karena kontrak terhitung baru dua tahun berselang. Kontrak
2014 dianggap tidak ada.

PT AFI tak menjawab dengan jelas soal status buruh kontrak dan kasus-kasus buruh yang
kerjanya diputus sepihak. Dalam surat elektronik dari bagian Aice Group Holdings Pte. Ltd.
—induk PT Alpen Food Industry—Sylvana Zhong Xin Yun hanya menjawab 6 poin dari 19
pertanyaan redaksi Tirto.

“Dapat kami sampaikan bahwa masalah-masalah kepegawaian yang tengah dihadapi PT AFI
masih berada di tahap mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi. Kami akan
memberikan pernyataan khusus terkait permasalahan kepegawaian yang dihadapi PT AFI
apabila proses mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi telah selesai,” tulisnya.

Serikat Buruh Terbentuk, Perusahaan (Sempat) Terketuk

Pelanggaran-pelanggaran ini membulatkan tekad buruh PT AFI membentuk serikat buruh


bernama Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia pada Agustus 2017. Kehadirannya sempat
menghadirkan beberapa perubahan.
Pada September 2017, jam kerja sudah mulai berubah. Buruh yang semula bekerja 49 jam
seminggu kini hanya 42 jam seminggu. Mereka masuk selama 6 hari seminggu dengan jam
kerja selama 7 jam setiap hari, dan mereka libur pada hari Minggu.

Perusahaan, tanpa ada tuntutan dari buruh, memberikan tunjangan berupa uang makan Rp15
ribu dan uang transportasi Rp5 ribu setiap hari. Tidak hanya itu, perusahaan memberikan
tunjangan shift sebesar Rp5 ribu untuk mereka yang kebagian jatah masuk siang atau malam.

Sedangkan untuk cuti hamil, perusahaan masih bergeming. Perusahaan tetap enggan
memberikan jatah cuti.

“Bukan dikasih cuti, tapi malah disuruh resign,” kata salah satu buruh di mixing PT AFI,
Dimas.

Agus, yang bekerja lewat jalur rekomendasi teman dan mulai mempertanyakan kondisi kerja,
mulai bersikap kritis. Mobilisasi buruh Aice mulai digagas setelah beberapa kawan Agus di
bagian kualitas kontrol produksi dipecat sepihak. Agus dan kelima teman kerjanya menuntut
hak upah lembur yang layak. Perusahaan setuju, tapi ia dan yang lain harus terus kerja tanpa
libur.

Perusahaan lantas menuduh 5 kawan kerjanya membolos, dan mengeluarkan surat peringatan
maksimal. “Kami mau nuntut, tapi enggak kuat,” ujar Agus.

Dari sanalah Agus membangun komunikasi dengan serikat buruh yang lain di Bekasi. Pelan
dan pasti sejumlah buruh dari departemen produksi, mixing, dan logistik bergabung untuk
menyuarakan solidaritas dan tuntutan yang sama: perusahaan pembuat es krim Aice harus
mematuhi regulasi, serta menjamin keselamatan dan kesehatan kerja. Buruh melakukan
mogok hingga demonstrasi di Kemenpora, kementerian yang mengurusi ajang Asian Games
2018, yang disponsori secara resmi oleh es krim Aice.

Namun, Agus harus menanggung risiko. Sesudah kontraknya habis pada 3 Agustus 2017,
manajemen PT AFI memanggilnya, dan memintanya hengkang hari itu juga. Agus menilai
perusahaan memutus kontrak kerjanya karena ia terlibat sebagai salah satu perintis serikat
buruh di PT AFI.

"Sampai foto saya dipajang di pagar sama tulisan 'karyawan ini sudah tidak bekerja di sini.'
Diadang sama satpam, mau ditabokin," cerita Agus.

Setelah melalui aksi unjuk rasa dan perundingan, akhirnya perusahaan PT Alpen Food
Industry produsen es krim Aice mengabulkan tuntutan pekerjanya.

(SPN News) Jakarta, setelah sebelumnya diawali dengan aksi unjuk rasa dan kemudian
dilanjutkan dengan perundingan, Direktur Utama PT Alpen Food Industry (AFI) produsen es
krim Aice Jia Jun, mengabulkan seluruh tuntutan pekerjanya. Hasil dari perundingan,
sebanyak 665 buruh diangkat menjadi pegawai tetap PT AFI. Jumlah tersebut termasuk
beberapa pekerja yang sebelumnya menjadi korban PHK sepihak.

Kesepakatan antara Jia Jun dengan buruh berlangsung pada Senin, 11 Desember kemarin.
Ada tujuh kesepakatan dalam perjanjian yang akan didaftarkan ke ketua Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI), Pengadilan Negeri Klas IA Bandung.

Beberapa poin yang disepakati, di antaranya, PT AFI memberikan Surat Keputusan


Pengangkatan (SKP) secara kolektif untuk 665 buruh. Selanjutnya akan disusul dengan SKP
pengangkatan perorangan.

Selain itu, PT AFI tidak akan memberikan sanksi apa pun kepada buruh yang melakukan dua
kali mogok kerja pada Oktober hingga November 2017. Upah dan tunjangan para buruh yang
mogok kerja pada rentang waktu tersebut juga tak akan dipangkas.

“Perusahaan dan karyawan akan berkomitmen untuk terus mematuhi peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta bersama-sama maju ke arah yang lebih baik,” tulis Sylvana.

PT AFI juga berkomitmen mendaftarkan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagaan buruh tepat
waktu. Kemudian, memberikan pengobatan bagi buruh yang sakit, pemeriksaan kesehatan
secara berkala, meningkatkan prosedur produksi, memperbanyak pelatihan bagi karyawan
untuk mencegah kecelakaan kerja, serta menciptakan lingkungan kerja yang memenuhi
standar pemerintah.

Para buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja bersedia mengurungkan mogok kerja
ketiga yang rencananya akan digelar sebulan, dari 12 Desember 2017 hingga 12 Januari
2018.

Ke depan, mengenai mutasi dan rotasi untuk menempatkan buruh sesuai kebutuhan
perusahaan, harus mengacu pada ketentuan Undang-Undang No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan, dan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.

Kedua pihak sepakat akan bekerja sama untuk melaksanakan hal-hal yang berdampak positif.
Selanjutnya jalinan komunikasi antarkeduanya akan terus dijaga demi meningkatkan
produktivitas, kualitas produksi, dan menghindari inefisiensi yang dapat merugikan
perusahaan.

Ancaman Perusahaan di tengah Mogok Buruh Es Krim


Aice
Para buruh Aice menyimpan bara protes di tengah aksi mogok sejak awal November
2017. Sebaliknya, mereka pun dihalangi instrumen hukum perusahaan yang melarang
mereka menggelar protes. Dalam salah satu kontrak kerja yang dibuat 25 September
2017, jika mereka tetap mogok, perusahaan akan memberi sanksi PHK tanpa syarat
apa pun.

Perusahaan tempat kerja Acil dimiliki oleh PT Alpen Food Industry, tentakel
dari Aice Group Holdings Pte. Ltd yang terdaftar di Singapura, dengan model
investasi asing. Dari dokumen profil perusahaan yang redaksi Tirto dapatkan, Aice
Group mengantongi mayoritas saham PT AFI sebanyak 23.073 lembar senilai Rp288
miliar dari modal dasar Rp289 miliar.

PT AFI baru absah beroperasi sejak 5 Juli 2017 dengan mencantumkan nama Jia Jun
sebagai direktur dan Zhang Li sebagai komisaris. Li, seorang warga Cina yang
berdomisili di Provinsi Guangdong, mengantongi 50 lembar saham senilai
Rp455.500.000.

Gaji Acil Rp3,4 juta per bulan. Ia bagian dari 644 buruh dari total 1.233 pekerja yang
melakukan mogok, dan bagian kecil dari tenaga para buruh yang menopang produksi
sekitar 1,8 juta batang es krim Aice per hari. Lantaran ia ikut mogok, perusahaan
memutuskan kontrak kerjanya.

Pada awal mogok, para buruh masih membubuhkan presensi. Namun, hari-hari
berikutnya, ratusan buruh cukup berhenti di pelataran pabrik. Mereka menyemut di
sana, menyuarakan tuntutan agar perusahaan menjamin keselamatan dan kesehatan
para pekerja. Meski terlihat santai, para buruh menyimpan rasa takut.

Kejadian yang menimpa Acil dijadikan dasar mereka untuk tetap berhati-hati.

Ceritanya, Acil mengantar seorang buruh perempuan yang mogok di hari itu menuju
kamar mandi di belakang pabrik. Pabrik Aice, yang seluas 1.100 meter persegi di
kawasan industri Cikarang Barat, memiliki 8 bilik kamar mandi yang bau pesing.
Keadaan sepi, dan situasi ini dimanfaatkan oleh pegawai bernama Hiu Jin untuk
meminta satpam "mengamankan" Acil. Tak lama, seorang karyawan di bagian
translator bernama Vicent, seorang satpam, dan seorang berseragam polisi
mendatanginya dengan mobil kijang hitam.

Mereka keluar dari mobil dan langsung berteriak kepada Acil: “Woi... Woi... Woi...”

Tanpa banyak bicara, seorang satpam melingkarkan lengan kanannya ke leher Acil.
Menyeret Acil ke dalam mobil. Acil sempat bertanya salahnya apa dan bakal dibawa
ke mana, tapi mereka tak peduli.

Kabar itu cepat menyebar ke buruh lain. Acil dianggap "diculik" atas perintah
manajemen PT AFI. Belasan buruh mengadang pintu gerbang pabrik. Mereka
membentuk lingkaran.

Perwakilan dari manajemen PT AFI mendatangi mereka dan menuduh Acil telah
"memprovokasi buruh yang tak ikut mogok kerja." Saat itu Panji Novembri dari
Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI) meminta pihak PT AFI
mendatangkan siapa pun buruh yang merasa diintimidasi oleh Acil. Namun, PT AFI
tak bisa bisa membuktikannya.

Tak sekali itu aksi mogok para buruh Aice ditanggapi berlebihan oleh manajemen PT
AFI.

Rabu sore, 15 November, Panji Novembri dibawa secara paksa dengan mobil oleh
Aiptu Sardi ke kantor kawasan industri MM2100. Di sana sudah ada Ketua Asosiasi
Pengusaha Indonesia Kab. Bekasi Darwoto dan pimpinan kawasan MM2100. Mereka
meminta Serikat Buruh menyetop mogok kerja.

Menurut Serikat Buruh, PT AFI menolak semua jalur negosiasi, termasuk


enggan mempekerjakan kembali seluruh buruh yang di-PHK dan ingkar janji
mengangkat 644 buruh sebagai pekerja tetap. Biar pabrik terus beroperasi,
perusahaan pun merekrut pekerja borongan.

Sehari setelah peristiwa yang menimpa Panji, ratusan buruh melakukan mogok
kembali. Aksi mogok ini dibagi tiga gelombang. Bagi yang kebagian malam, dari
pukul 11 malam hingga 6 pagi, mereka membawa alas dan selimut untuk tidur di
pelataran pabrik.

Pada 18 November, beredar pesan pendek ke nyaris seluruh ponsel para buruh yang
mogok kerja. Isinya adalah pernyataan PT AFI yang bersedia "mengangkat 200
pekerja" sebagai buruh tetap.
Mogok Kerja Dianggap Tak Sah

Hari-hari kemudian berlalu datar saja. Keadaan kembali tegang pada 20 November.
Hari itu PT AFI mencetak surat selebar 2 x 3 meter persegi, yang dipampang di dekat
pintu masuk pabrik. Isinya, PT AFI siap mengangkat status kerja 644 anggota Serikat
PT Alpen Food Industry menjadi pekerja tetap.

Namun, PT AFI menegaskan mogok kerja itu "tanpa dasar." Alasannya, sebagian
tuntutan telah dikabulkan dan proses penyelesaian atas tuntutan lain dalam tahap
perundingan. PT AFI juga mengimbau seluruh karyawan untuk kembali masuk kerja,
terhitung pada 21 November.

Besoknya, para buruh membalas surat PT AFI dengan tiga lembar banner seukuran 2
x 3 meter persegi. Mereka menerangkan bahwa proses mediasi tetap bisa dilakukan
selama proses mogok kerja. Para buruh menolak ada pengangkatan 200 buruh sebagai
pekerja tetap, tetapi harus seluruh 644 buruh. Selain itu, mereka menuntut pekerja
yang jadi "korban sepihak" harus diangkat menjadi buruh tetap.

PT AFI kembali melayangkan surat pemanggilan agar para buruh kembali bekerja
pada 23 November. Surat resmi ini dikirimkan ke alamat masing-masing buruh.
Tujuannya, agar pihak keluarga mengetahuinya.

Geram atas gelagat perusahaan memecah-belah aksi mogok, 500-an buruh dari
pelbagai serikat buruh di Bekasi melakukan demonstrasi ke Kedutaan Besar Republik
Rakyat Cina dan Kementerian Pemuda dan Olahraga pada 27 November. Mereka
menuntut Kedutaan memastikan pengusaha Cina patuh terhadap hukum di Indonesia,
serta mendesak Kemenpora menolak Aice jadi sponsor Asian Games 2018 sebab
"akan mempermalukan nama Indonesia di mata dunia."

Sylvana Zhong Xin Yun, humas Aice Group Holdings Pte. Ltd, menyatakan kepada
redaksi Tirto via surat elektronik bahwa mogok kerja para buruh "tidak memiliki
alasan dan payung hukum."

“Karena perundingan antara PT AFI dan SGBBI sedang dalam tahap mediasi
sehingga perundingan tersebut belum gagal,” tulisnya.

Meski begitu, Sylvana enggan menjawab jumlah buruh PT AFI yang berstatus
karyawan tetap. Ia juga bilang tak akan mengangkat ke-644 buruh.

“Satu hal yang pasti, terdapat lebih dari 100 pegawai PT Alpen yang akan kami
angkat sebagai pegawai tetap pada tahun ini,” jelasnya.
Baca juga artikel terkait AICE atau tulisan menarik lainnya Dieqy Hasbi Widhana
(tirto.id - Hukum)

Es Krim Murah Aice: Menggandeng Para Seleb,


Mengabaikan Hak Buruh
Meski ratusan nasib buruh yang memproduksi es krim Aice menerima perlakuan
kerja buruk, bahkan dieksploitasi, kiprah bisnis "es krim murah" yang merambah ke
desa-desa seluruh Indonesia ini, dari Aceh hingga Flores, menolak surut. Langkah
bisnisnya berlipat-lipat maju ketimbang langkah perusahaan memenuhi hak-hak dasar
buruhnya.

Aice Group Holdings Ptd. Ltd., yang beralamat di Singapura dan induk PT Alpen
Food Industry, memang menyasar konsumen menengah ke bawah. Dalam kiprahnya
sejak lima tahun, merek dagang ini merebut perhatian, di antaranya sebagai '10
Makanan Paling Viral 2016', 'Excellent Brand Award 2017', dan terakhir 'Jawara
Halal Award 2017 kategori Produk Halal Pendatang Baru Terbaik'.

Semula perusahaan memproduksi es krim dengan merek dagang Baronet pada 2012.
Dari penuturan Maria Margaretha, direktur PT Mandiri Putra Bangsa—
perusahaan outsourcing berbasis di Tangerang yang memasok buruh kontrak kepada
PT AFI—perusahaan ini dibentuk oleh pengusaha Indonesia bernama Indra
Koesumadi, yang bekerjasama dengan rekanan kerja dari Cina bernama Mr. Guo.
Konsepnya masih sama dengan Aice sekarang: menjual es krim dengan harga
Rp2.000 hingga Rp10.000.

Indra, yang tak memperoleh izin, lantas menjual sahamnya kepada Aice Group
Holdings Pte. Ltd.

Dari keterangan resmi pihak perusahaan kepada reporter Tirto, PT AFI bisa
memproduksi es krim 1,8 juta batang per hari. Jumlah ini disalurkan ke seluruh
Indonesia, menjangkau dari Aceh hingga Flores. Nyaris produk es krim Aice
merambah ke sebagian besar toko kelontong, menutup produsen besar dan pemain
lama es krim macam Wall's maupun Campina.

Bahkan dari keterangan buruh pabrik Aice, dan diperkuat dengan foto, ada
pengiriman produk es krim dari Singapura, yang memperlihatkan 4 truk mengangkut
sekitar 7 ribu dus es krim untuk memenuhi permintaan tinggi dari berbagai pelosok di
Indonesia.
Dalam waktu dekat, Aice Groups bahkan bakal membangun pabrik baru di Surabaya
dengan luas sekitar 2 kali lipat dari pabrik sekarang di Bekasi, dengan 15 jalur
produksi (pabrik di Cibitung hanya punya 8 lane).
Distribusi Ke Toko Kelontong, Gandeng Para Seleb

Untuk mengirim es krim dalam satu kali ada sekitar 20 truk yang dipersiapkan. Setiap
dua truk bergiliran masuk-keluar pabrik.

“Kapasitasnya tergantung, soalnya ada yang kecil, ada yang gede. Kalau yang kecil
itu bisa sampai 4.000 dus, ya. Kalau untuk kontainer itu hampir 6.000 dus,” ujar salah
satu karyawan.

Keuntungan Aice sampai bisa menjadi sponsor Asian Games 2018 masih cukup
sumir. Dikonfirmasi ke salah satu distributor Aice di kawasan Sawah Besar, Jakarta
Pusat, Mr. Guo selaku manajemen di sana tidak mau menjawab seputar hal tersebut.

Mr. Guo adalah salah satu pimpinan kantor distributor Aice bernama PT Top Eskrim
Yummy. Kantornya menempati gedung 3 lantai seluas kurang lebih 15 x 10 meter
persegi. Lantai dasar sebagai gudang kulkas Aice, lantai 2 sebagai kantor
administrasi, dan lantai 3 sebagai gudang penyimpanan. Di bawah terlihat ada 2 truk
Colt T120 dengan boks penyimpan es krim untuk menjaga suhu tetap stabil saat
diantar ke pelbagai agen dan toko kelontong.

Setiap hari, ada saja es krim yang diantar menuju agen Aice dari PT Top Eskrim
Yummy. Kendati demikian, Mr. Guo enggan merinci total es krim yang mereka
distribusikan. Mr. Guo hanya bilang ada tiga agen yang menampung kiriman dari
mereka, dan ketiganya bebas menjual.

Tugas mereka adalah mencari toko-toko kelontong atau reseller yang mau
memperdagangkan es krim Aice melalui sales, menurut Mr. Guo.

Setidaknya ada 35 jenis es krim Aice yang dijual di Indonesia. Biasanya satu dus
dijual dengan harga terendah Rp40 ribu untuk varian rasa melon stick 50 gram isi 50
batang, dan yang termahal Rp200 ribu untuk varian rasa milk low sugar stick 50 gram
isi 40 batang.

Selisih harga dari pabrik ke distributor hingga agen dan toko kelontong bisa melonjak
antara Rp1.000 sampai Rp1.700.

Wiwit, pemilik toko kelontong di kawasan Pamulang, menjual es krim Aice sebanyak
40 dus dalam sebulan. Ada kontrak yang ditandatanganinya. Isinya, antara lain, ia
harus menjual es krim Aice sebanyak 120 dus dalam 3 bulan, dan menjual sesuai
harga yang dipatok oleh agen dan "tidak boleh menjual dengan harga lain." Toko
biasanya hanya mengambil untung Rp500 per batang es krim.
Pada awal kontrak, Wiwit harus mengeluarkan Rp1,6 juta untuk biaya kulkas dari
Aice. “Bila tidak mencapai target penjualan, kontraknya disetop,” ujar Wiwit, yang
selalu memenuhi target.

Pada Agustus 2016, Aice mulai memasarkan produknya ke Transmart Carrefour,


perusahaan ritel milik pengusaha Chairul Tanjung, di beberapa wilayah. Di ritel itu,
sebatang es krim Aice yang biasa dijual seharga Rp2 ribu naik 150 persen menjadi
Rp5 ribu.

Rekanan distribusi itu diposting oleh akun resmi Facebook Carrefour Indonesia:
“Yang manis di hari Kamis! Cobain kesegaran buah asli dari Aice Ice Cream di
Transmart & Carrefour harga mulai dari Rp5 ribu. Rasa buahnya terasaaaa banget.“

Selain itu, beberapa selebritas digandeng PT Alpen Food Industry sebagai buzzer es
krim Aice via akun Instagram. Para seleb ini termasuk Chelsea Islan, Melaney
Ricardo, Ria Ricis, Gisella Anastasia, Tyna Kanna Mirdad, Ririn Dwi Ariyanti,
hingga bintang belia Zara Leola.

Dalam satu pertemuan kami dengan para buruh Aice yang melakukan mogok kerja di
pelataran pabrik, seorang pekerja dari bagian logistik, dengan nada miris berkata soal
rasa es krim yang diproduksinya "katanya sih lebih enak" dari rasa produk es krim
lain.

Mendengar itu, seorang kolega kerjanya dari bagian mixing menimpali: “Iyalah.
Keringat gue.”

Baca juga artikel terkait BURUH AICE atau tulisan menarik lainnya Felix Nathaniel
(tirto.id - Bisnis)

Reporter: Felix Nathaniel & Dieqy Hasbi Widhana


Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Fahri Salam

Kondisi Kerja Buruh Aice Tak Semanis Iklan 'Have an Aice


Day'
Have an Aice Day. Buatlah harimu sehat dan indah dengan es krim Aice. Harganya dari Rp2
ribu hingga Rp10 ribu—tentu, sehat pula bagi kantong Anda. Namun, selagi Anda
menghabiskan pelan-pelan es krim Aice, Anda perlu mengingat kondisi kerja para buruh yang
memproduksinya.
Setiap lapis es krim Aice yang anda jilat adalah setiap detik mutu kesehatan para buruh yang
terus terkikis. Ada sekitar 644 buruh dari total 1.233 pekerja yang melakukan mogok sejak
awal November lalu lantaran kondisi lingkungan pabrik yang mengabaikan hak-hak mereka;
dan jumlah buruh yang protes terus bertambah.

Anda perlu mengingat kisah Heti Kustiawati. Ia tak pernah punya riwayat pingsan atau
penyakit paru-paru. Ia baru merasakan lemas, tubuhnya roboh, dan pingsan pada 14
November 2017.

Esoknya ia pergi ke Klinik Bunda Aulia di Cikarang Barat, Bekasi. Setelah ditunjukkan hasil
ronsen, perasaan Heti ciut.

“Kata dokter sih bronkitis. Itu kena amonia bocor yang sering terhirup,” ujarnya.

Perempuan berusia 22 tahun ini masih belum percaya daya tahan tubuhnya dirampas gas
amonia. Dengan keyakinan ia masih merasa sehat, keesokan harinya ia bekerja kembali di
bagian produksi. Seperti hari-hari sebelumnya, ia memakai sarung tangan, sepatu karet
semata kaki, dan masker kain tipis. Tapi Heti pingsan lagi di pabrik.

Di PT Alpen Food Industry yang memproduksi es krim Aice, ketika para buruh bekerja, pipa
mesin pendingin es krim kerap bocor. Amonia tertiup mengisi penuh ruang produksi. Gas
alkali tak berwarna itu menguarkan bau tajam dan khas. Zat kimia yang biasa dipakai untuk
bahan pupuk ini sangat berbahaya, bisa bertahan lebih dari seminggu dalam ruangan. Ia bikin
iritasi kulit, mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru

“Bau amonia nyengat banget dan perih ke mata. Mata berair dan suka memerah,” kata Heti,
yang sengaja mencari tempat berobat murah karena khawatir biaya mahal tak bisa di-
reimburse oleh perusahaan.

Heti sudah setahun lebih bekerja, tetapi ia belum mendapatkan BPJS Kesehatan. Ia tekun
mengumpulkan bukti pembayaran dari klinik kesehatan. Di sisi lain, ia juga cemas biaya
berobat tak diganti PT AFI seperti hari-hari sebelumnya.

Zaenal senasib dengan Heti. Ia mengidap bronkitis. Ia juga bekerja di bagian produksi.

“Kami hirup gas berbahaya di dalam. Dokter bilang, 'Suruh pindah saja, jangan dekat-dekat
gas kayak gitu, berbahaya',” ungkap pria 25 tahun ini.
Sementara Acil, mata kanannya pernah meradang dan bengkak karena tepercik cairan soda
api. PT AFI tak memberikan pertolongan apa pun meski ia hanya bisa melihat dengan mata
kiri saja saat itu.

“Izin pulang enggak boleh. Disuruh tidur di musala. Besoknya masuk kerja,” keluh Acil, 29
tahun.

Acil bekerja di bagian tangki penyiapan cokelat. Sebelum dan ketika produksi berhenti, ia
harus mencuci tangki itu. Tanpa sarung tangan, ia menuangkan berember-ember soda api dan
air panas.

“Sarung tangan karet kalau ada tamu kunjungan ke pabrik baru dikasih. Setelah itu diminta
lagi,” ucapnya.

Sebagai pengganti sarung tangan, setiap 15 menit, ia dan rekan kerjanya diwajibkan mencuci
tangan dengan cairan kimia. Kulit di bagian punggung tangan kanannya justru rusak karena
obat pencuci itu.

“Ini gatal, rusak, perih. Sudah empat bulan belum sembuh,” ungkapnya.

Seperti Heti dan Zaenal, Acil juga sudah bekerja setahun lebih. Namun, ia tak mendapatkan
kartu BPJS Kesehatan. “Pakai biaya sendiri dan enggak diganti,” katanya.

Para buruh bekerja tanpa panduan rencana tanggap darurat. “SOP enggak
ada. Briefing keamanan enggak ada. Saya kerja tanpa tahu bahayanya,” tegasnya.

Tidak ada pula pemeriksaan kesehatan secara rutin. Bahkan kontrak kerja tidak menyebutkan
apa pun tentang kompensasi jika para buruh terjangkiti penyakit atau cedera akibat kerja.

Dalam satu peristiwa, seorang buruh bernama Ahmad Supriyanto meninggal dalam peristiwa
kecelakaan di jalan saat menuju pabrik dengan mengendarai sepeda motor. Nyawanya tak
tertolong karena ia tak memiliki BPJS kesehatan.

Bagaimana rasanya melihat tulang dan daging yang menganga dari jari tengah tangan kirimu
sendiri?

Gugun Gumilar, 24 tahun, tak sanggup melihat potongan jarinya sendiri yang dikembalikan
dokter untuknya.

Gugun bekerja di bagian produksi. Setiap hari ia mengurus pemotongan plastik pembungkus
es krim Aice. Dalam sehari, ia harus memotong 12 gulungan plastik. Setiap gulungan
sepanjang 1.200 meter. Jika dikalkulasi dalam sehari, Gugun memotong 14,4 kilometer
plastik es krim Aice.

Selasa, 16 Mei 2017, mesin pemotong bermasalah. Ia bergegas memanggil pekerja bagian
mekanik. Saat diminta petugas mekanik untuk menarik plastik yang tersangkut mesin, tanpa
berpikir panjang Gugun melakukannya.

Jarinya terpotong. Darah mengucur deras. Peristiwa itu berlangsung cepat. Gugun dibawa ke
rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Aprilia Medika di Setu, Cikarang.

Kini jarinya yang terpotong sering ngilu. Ia kehilangan kekuatan untuk menggenggam.
Aturan Hukum dan Bantahan Perusahaan
Dalam kontrak kerja dengan PT AFI, setiap buruh berhak mendapatkan lima jenis asuransi
kesehatan maupun jaminan hari tua. Peraturan ini tercantum dalam Pasal 2 soal jaminan
sosial buruh. Isinya, perusahaan menegaskan akan memberikan fasilitas BPJS kecelakaan
kerja, kematian dan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.

Tapi tak semua buruh mendapatkan haknya. Mereka yang izin sakit justru dipotong upahnya
sejumlah hari mereka absen kerja.

Padahal, sesuai Pasal 14 UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, setiap
orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, wajib
menjadi peserta program jaminan sosial. Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan
dirinya dan pekerjanya sebagai peserta BPJS sesuai program jaminan sosial.

PP 84/2013, yang merevisi program jaminan sosial tenaga kerja, menyebutkan bahwa
pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 orang atau lebih, atau membayar
upah paling sedikit Rp1 juta per bulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam
program jaminan sosial tenaga kerja. Jika tidak, pemberi kerja bisa dikenai sanksi
administratif. Isinya teguran tertulis, denda, dan tak mendapatkan pelayanan publik tertentu
dari pemerintah.

Jaminan sosial terdiri lima hal. Ia mengatur soal jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari
tua, pensiun, dan kematian. Ini tercantum dalam pasal 18 Undang-Undang 40/2004 tentang
sistem jaminan sosial nasional.

Perusahaan juga wajib memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan bagi para pekerja. Sejak
semula pekerja diterima, cek kesehatan berkala, hingga "gangguan kesehatan" atau sakit
"kambuhan tanpa diduga". Seluruh biaya ini ditanggung oleh perusahaan.

Namun, bila Anda bekerja di PT Alpen Food Industry, kecelakaan kerja ditanggung buruh
sendiri. Hal ini tegas tertulis dalam pasal 10 poin 2 kontrak kerja. Isinya, bila buruh
mengalami kecelakaan kerja di kemudian hari dan "mengakibatkan cacat", peristiwa ini
merupakan "kelalaian" si buruh semata alias "human error" dan tak bisa menuntut
perusahaan.

Saat ditanya perkara kontrak kerja dan testimoni para buruh Aice yang kami kumpulkan,
Sylvana Zhong Xin Yun, humas Aice Group Holdings Pte. Ltd, membantahnya.
Sylvana mengatakan bahwa PT AFI "selalu mengutamakan standar keselamatan"
sebagaimana diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia. Sylvana bekerja di
Aice Group Holdings Pte. Ltd. sekaligus PT AFI sebagai anak perusahaan dari grup itu.

Sylvana maupun pimpinan PT AFI enggan bertemu langsung dengan reporter Tirto. Mereka
minta kami mengajukan pertanyaan melalui surel. Mereka hanya menjawab 6 dari 19
pertanyaan yang kami ajukan.

“Selama jam kerja berlangsung, para karyawan diberikan alat pelindung berupa pakaian
pelindung kimia serta perlengkapan pelindung lain seperti sepatu bot dan masker pelindung
pernapasan,” tulis Sylvana.

Setiap karyawan yang mengalami kecelakaan kerja akan dibantu dengan cepat menuju rumah
sakit, menurut Sylvana. Namun ia tak menjelaskan soal ganti rugi kecelakaan dan siapa yang
menanggung biaya kesehatan karyawan bersangkutan.

“Kami selalu melakukan evaluasi terhadap setiap kejadian agar kejadian tersebut tidak
terulang kembali serta berusaha untuk meminimalisir kecelakaan kerja di lingkungan pabrik
PT Alpen,” tulisnya.

Sylvana mengajak kami untuk melihat langsung ke dalam pabrik untuk mengecek standar
keamanan kerja agar "ada keterbukaan." Kami menyetujuinya, tetapi belakangan ia
menggagalkan rencana tersebut. Alasannya, "karena suasana belum kondusif."

Saat kami mengonfirmasi penjelasan Sylvana, ramai-ramai buruh PT AFI membantahnya.

Agus, yang bekerja di bagian logistik, mengatakan PT AFI berbohong. “Kalau bagian logistik
memang pakai sepatu bot. Tapi kalau di produksi, memang enggak ada sepatu bot atau
pelindung kimia, hanya ada masker,” tegas pria berusia 25 tahun ini.

Agus berkata bahwa "keadaan yang paling parah" di ruang mesin. Para buruh harus menjaga
mesin agar suhu tetap stabil dan tak ada kerusakan. Saat jam makan, mereka tetap harus di
ruangan itu. "Mereka makan dengan mengisap amonia," ujar Agus.

Heti Kustiawati juga membantah pernyataan humas PT AFI. Ia bilang jawaban-jawaban


tertulis Sylvana Zhong Xin Yun "berlebihan banget" dari kenyataan. "Pakaian
pengaman warepack, sepatunya juga bukan bot, maskernya tipis," katanya.

Heti masih merasakan dadanya nyeri akibat kondisi tempat kerja. "Lambung perih, sesak
napas, terkadang batuk-batuk, dan lemas," ia menambahkan.

Reporter: Dieqy Hasbi Widhana & Felix Nathaniel

Penulis: Dieqy Hasbi Widhana

Editor: Fahri Salam

Jari Buruh Terpotong, Pabrik Aice Didesak Perbaiki


Keamanan
Kecelakaan kerja kembali menimpa buruh PT Alpen Food Indonesia (AFI) yang
memproduksi es krim Aice. Insiden serupa pernah terjadi sebelumnya, tapi PT AFI belum
serius melindungi buruh dari ancaman kecelakaan kerja.

Kejadian ini menimpa Nunu Anugrah, 27 tahun, buruh bagian produksi PT Alpen Food
Indonesia (AFI) yang sudah bekerja satu tahun empat bulan, pada Rabu 6 Desember 2017,
pukul 22.30 WIB.

Saat kejadian, Nunu sedang membersihkan mesin pemotong yang tajam di penghujung jam
kerjanya. Tiba-tiba Nunu berlari keluar pabrik dengan darah berceceran di setiap bekas
langkahnya.

Menurut kakak sepupu Nunu, 27 tahun, kala itu Nunu bergegas mencari pertolongan awal.
Sang kakak yang juga buruh PT AFI ini menerangkan satu ruas jari tengah tangan kiri Nunu
terpotong mesin produksi. Beberapa buruh kemudian membawanya dengan sepeda motor ke
Rumah Sakit Medika Narom yang berjarak sekitar 3,2 kilometer.

“Rumah sakit kecil itu tidak bisa menangani, [Nunu] dibawa pulang lagi ke pabrik,” ungkap
kakak sepupu Nunu yang enggan nama terangnya dipublikasikan. Dia yang membawa
potongan jari Nunu hingga saat ini.

Nunu lalu duduk bersandar tembok di pos satpam PT AFI. Dia lemas dan wajahnya pucat.
Jarinya yang buntung dibalut perban. PT AFI tak menyediakan kotak Pertolongan Pertama
Pada Kecelakaan (P3K). Para buruh biasanya patungan Rp5 ribu per orang tiap bulan untuk
menyediakan isi kotak P3K.

Saat itu, Nunu masih menunggu pihak PT AFI meminjami mobil untuk membawanya ke
rumah sakit. Setelah melalui proses perizinan yang rumit, Nunu dibawa ke RSUD Cibitung.
Rumah sakit itu tak mau menerima Nunu dengan alasan pasien sudah penuh. Dia juga ditolak
RSUD Tambun dengan alasan yang sama.

Nunu akhirnya dibawa ke RS Karya Medika II sekitar jam 1.15 dinihari, Kamis (7/12/2017).
Di rumah sakit itu tak ada dokter yang berjaga hingga larut malam, akan tetapi ia mendapat
pertolongan pertama, diperban ulang, dan ditempatkan di salah satu ruang inap. Kamis sore
sekitar pukul 15.00 WIB, Nunu dioperasi.

Saat kecelakaan kerja terjadi, Nunu hanya mengenakan masker, seragam, dan sepatu
sepanjang mata kaki yang terbuat dari karet. Perlengkapan semacam itu dikenakan setiap
buruh saban harinya, padahal para buruh bekerja di lingkungan yang berair, licin, terkadang
gas amonia bocor, dan berada di antara mesin yang memiliki pisau tajam.

“Harusnya jangan sampai ada kejadian fatal kayak gini, kehilangan organ tubuh,” lanjut
kakak sepupu Nunu. “Ini kerugian seumur hidup. Harusnya lebih pentingkan keamanan diri
bagi karyawannya.”

Insiden Berulang tapi Perusahaan Enggan Disalahkan


Kecelakaan kerja di PT AFI terjadi secara berulang. Sebelum Nunu, nasib serupa pernah
menimpa Gugun Gumilar, 24 tahun. Di tulisan kami sebelumnya mengisahkan, bagaimana
Gugun tak sanggup melihat potongan jarinya sendiri yang dikembalikan dokter untuknya.

Gugun bekerja di bagian produksi. Setiap hari ia mengurus pemotongan plastik pembungkus
es krim Aice. Dalam sehari, ia harus memotong 12 gulungan plastik. Setiap gulungan
sepanjang 1.200 meter. Jika dikalkulasi dalam sehari, Gugun memotong 14,4 kilometer
plastik es krim Aice.

Selasa, 16 Mei 2017, mesin pemotong bermasalah. Ia bergegas memanggil pekerja bagian
mekanik. Saat diminta petugas mekanik untuk menarik plastik yang tersangkut mesin, tanpa
berpikir panjang Gugun melakukannya.

Jarinya terpotong. Darah mengucur deras. Peristiwa itu berlangsung cepat. Gugun dibawa ke
rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Aprilia Medika di Setu, Cikarang. Kini jarinya yang
terpotong sering ngilu. Ia kehilangan kekuatan untuk menggenggam.

Oleh karena itu, Ketua Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI), Panji Novembri
mendesak PT AFI mengevaluasi internal perusahaan terkait upaya menghindari buruh dari
ancaman kecelakaan kerja. “Jangan sampai ada korban-korban lagi,” ungkapnya.

Kecelakaan kerja berupa putusnya bagian tubuh tertentu ini hanya sebagian kecil dari
lalainya PT AFI dalam melindungi buruhnya. Permasalahan lain yang kami dapati ialah para
buruh yang menderita sering pingsan, lambung perih, dan bronkitis karena sering menghisap
gas beracun amoniak di tempat kerja.

Humas Aice Group Holdings Pte. Ltd, Sylvana Zhong Xin Yun, menganggap Nunu telah
melakukan pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP) dan standar keselamatan kerja
PT AFI.

“Terdapat standar keamanan penggunaan mesin dan perlengkapan kerja karyawan yang telah
disosialisasikan namun tidak ditaati,” ucapnya. Dia juga enggan menjawab ketika ditanya,
apa perusahaan akan melakukan evaluasi internal karena telah mencelakakan buruh secara
berulang.

Peraturan yang disebut Sylvana menyangkut baju seragam, sepatu kerja, masker, penutup
kepala, dan sarung tangan. Selain itu juga terkait standar keamanan penggunaan mesin.
Menurutnya semua aturan itu disosialisasikan setiap hari.

Dia juga mengklaim pihak PT AFI telah membantu pertolongan pertama Nunu untuk
membawa ke rumah sakit. Selain itu menurutnya, PT AFI telah membantu pertolongan
pertama berupa membalut bagian jari Nunu yang terpotong dengan perban. Padahal perban
tersebut hasil patungan para buruh, bukan disediakan oleh pihak perusahaan.

“Hingga saat ini, perusahaan masih terus mendampingi karyawan di Rumah Sakit untuk
memastikan karyawan mendapat perawatan yang terbaik dan akan memberikan santunan
kecelakaan sesuai dengan peraturan yang berlaku,” ujarnya.

Berdasarkan Pasal 31 Ayat (1) UU SJSN, buruh yang menjadi korban kecelakaan kerja
berhak mendapat layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya. Selain itu korban
juga berhak mendapat uang tunai apabila mengalami kerugian berupa cacat permanen.

Sedangkan Pasal 9 UU Jamsostek dan Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja,
sebagaimana diubah PP 84/2013, korban berhak mendapat biaya transportasi hingga ke
rumah sakit atau rumahnya, seluruh biaya ketika dirawat di rumah sakit termasuk rawat jalan,
dan biaya rehabilitasi berupa alat bantu atau alat ganti bagi tenaga kerja yang anggota
badannya hilang atau tidak berfungsi akibat kecelakaan kerja. Selain itu, korban kecelakaan
kerja berhak mendapat santunan sementara karena tak mampu bekerja dan santunan cacat
permanen.
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Mufti Sholih

Tanggapan Aice atas Tuntutan Pengangkatan Buruh


Jadi Karyawan Tetap
Produsen es krim Aice, PT Alpen Food Industry (AFI) angkat bicara terkait tuntutan
yang menjadi aspirasi pemogokan buruh berupa kenaikan status kerja dari pegawai
kontrak menjadi tetap.

Karyawan PT AFI yang tergabung dalam Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia
(SGBBI) sebelumnya menuntut untuk mempekerjakan kembali tujuh karyawan yang
sudah habis masa kontraknya dan mengangkat menjadi pegawai tetap.

“Tuntutan serikat terhadap karyawan yang ingin kembali bekerja akan diberikan
kesempatan pekerjaan yang sesuai,” tulis Sylvana Zhong Xin Yun, humas Aice Group
Holdings Pte. Ltd, perusahaan induk PT AFI, melalui siaran pers yang diterima Tirto,
Rabu (6/12/2017).

Selain tuntutan di atas, para buruh juga meminta pengangkatan status kerja 644 buruh
PT AFI menjadi pekerja tetap. Menanggapi itu, PT AFI menyatakan karyawan yang
telah memenuhi standar akan diangkat menjadi karyawan tetap.

“Karyawan kontrak lainnya akan diangkat menjadi pegawai tetap paling lambat
setelah masa perjanjian kontrak berakhir,” lanjutnya.

Agus, salah satu pekerja di Aice, mengakui sudah menerima jawaban dari pihak
perusahaan. Namun, belum semua direalisasikan terlebih terkait pengangkatan
sebagai karyawan tetap.

"Siap sudah saya baca, belum ada direalisasikan. Mungkin nanti kami baru berunding
kembali setelah semuanya gaji pokok yang dipotong sudah ditransfer semua. Karena
baru sebagian anggota yang gajinya dipotong dan sudah dikembalikan," papar Agus.

Kepada Tirto sebelumnya, Selasa (5/12/2017), Sylviana juga menyatakan bahwa


tuntutan buruh akan dipenuhi melalui peraturan yang akan dituangkan dalam
perjanjian bersama.

"Perusahaan setuju untuk mengangkat semua jadi karyawan tetap, dengan mengikuti
segala peraturan yang berlaku," kata dia.
Namun, Agus yang juga aktif mengorganisir pemogokan, mengatakan bahwa
perusahaan tidak pernah berjanji mengangkat seluruh pekerja yang mogok.
Perusahaan hanya akan mengangkat buruh yang dianggap berprestasi dan telah
dilanggar haknya.

"Disortir, padahal semua anggota serikat telah dilanggar haknya," kata Agus.

Untuk menyeleksi mana karyawan yang dianggap layak, menurut Agus pihak
perusahaan malah meminta berkas dari serikat pekerja. "Memang perusahaan tidak
punya berkas karyawan sendiri?" tanya Agus.

Karenanya, ia bersama serikat pekerja yang turut dalam pemogokan seperti Serikat
Buruh Demokratik Kerakyatan (Sedar) dan SGBBI menolak pengajuan pengangkatan
hanya sebagian buruh pabrik es krim Aice. "Ini diskriminasi, Bung," ucapnya.

Baca juga artikel terkait AICE atau tulisan menarik lainnya Yuliana Ratnasari
(tirto.id - Hukum)

Reporter: Yuliana Ratnasari


Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari

Anda mungkin juga menyukai