Anda di halaman 1dari 24

AKHLAK TERHADAP ORANG TUA

Oleh :
Kelompok IX
Duan Yudha Prawira(15041000084)
Risqi Arif Hadiputra (15041000106)
Rucianto (15041000116)

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG


FAKULTAS TEKNIK
2015
AKHL;AK KEPADA ORANG TUA
Salah satu ajaran paling penting setelah ajaran Tauhid adalah berbakti kepada kedua orang tua.
Bahkan, menurut pendapat banyak ulama, ajaran berbakti kepada kedua orang tua ini menempati
urutan kedua setelah ajaran menyembah kepada Allah S.w.t. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

ٍّ ُ ‫سانا ً إِ َّما يَ ْبلُغ ََّن ِعندَكَ ا ْل ِك َب َر أ َ َح ُد ُه َما أ َ ْو ِكلَ ُه َما فَلَ تَقُل لَّ ُه َمآ أ‬
ً ‫ف َوالَ ت َ ْن َه ْر ُه َما َوقُل لَّ ُه َما قَ ْوال‬ َ ْ‫ضى َربُّكَ أَالَّ ت َ ْعبُدُواْ إِالَّ إِيَّاهُ َوبِ ْال َوا ِل َدي ِْن إِح‬ َ َ‫َوق‬
ً ‫ك َِريما‬

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan" ah "dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia (Q, s .al-Isra )17:23 / ’

“ : bapak-ibu ‫األب الذي ولدك‬Ada tiga kelompok yang disebut orang tua dalam ajaran Islam. Pertama, “
“ : bapak-ibu yang mengawinkan, yaitu ‫األب الذي زوجك‬yang melahirkan, yaitu bapak-ibu kandung. Kedua, “
“ : bapak-ibu yang mengajarkan, yaitu bapak-ibu guru. Ketiga ‫األب الذي علمك‬bapak-ibu mertua. Ketiga, “
kelompok inilah yang diwajibkan atas kita untuk menghormati dan berbuat baik kepadanya.

Menghormati mertua dan guru harus sama seperti menghormati kedua orang tua sendiri. Sebab
mertua adalah bapak-ibu kandung dari istri atau suami kita. Ketika seseorang menikah, maka ia telah
menikah dengan anak dari seorang ayah dan ibu, dan bukan –maaf-- anak hewan. Bagi seorang suami,
misalnya, keduanya bersifat mertua, tetapi bagi istrinya keduanya adalah orang tua kandung. Demikian
pula sebaliknya. Ketika seseorang menginjak dewasa, bapak-ibu gurulah yang mengajarkannya tentang
banyak hal hingga ia menjadi mengerti tentang banyak hal dalam kehidupan ini.

Maka, kewajiban menghormati orang tua dalam Islam merupakan salah satu ajaran yang sangat
penting dan prinsip. Ketika Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua, maka
perintah ini sebetulnya sangat bisa dipahami. Cobalah bayangkan, bagaimana repotnya ibu ketika
mengandung selama kurang lebih 9 bulan. Kerepotan ibu, juga bapak, semakin bertambah ketika kita
terlahir ke dunia, mulai dari merawat, memelihara, dan memberinya makan dan minum dengan penuh
kasih sayang. Bagi orang tua tidak ada yang lebih berarti daripada sang jabang bayi yang baru saja
dilahirkannya. Mereka sangat bahagia dengan tangisan dan kotorannya, akan tetapi mereka akan sedih
ketika harus melihatnya sakit.

Dalam konteks berbuat baik kepada kedua orang tua, Al-Qur’an menganjurkan agar kita
melakukannya dengan cara “ihsān”. Ihsan artinya kita melakukan sesuatu lebih dari sekedar kewajiban.
Shalat lima waktu merupakan kewajiban, tetapi jika kita menambahnya dengan shalat-shalat sunnah
lainnya, maka itulah ihsan. Puasa Ramadhan adalah kewajiban, dan jika kita mampu menambahnya
dengan puasa-puasa sunnah, puasa Senin-Kamis misalnya, maka itulah ihsan.
Berbuat baik kepada kedua orang tua harus diupayakan secara maksimal, secara ihsan, lebih dari
sekedar kewajiban kita terhadapnya. Jika sang anak ingin memberikan sesuatu kepada orang tua,
berikanlah yang maksimal. Karena yang maksimal saja belum tentu dapat sebanding dengan jerih payah
dan pengorbanan keduanya selama ini dalam mengasuh dan membesarkannya. Seseorang bisa menjadi
dokter, tentu berkat orang tua. Menjadi insinyur, juga berkat orang tua. Menjadi ulama juga berkat orang
tua. Bahkan menjadi presiden juga berkat orang tua. Setidaknya, karena do’a orang tua itulah seseorang
berhasil menggapai apa yang diusahakannya.

Itulah pengorbanan orang tua dalam memelihara, mengasuh dan membesarkan kita hingga seperti ini.
Oleh karenanya, Al-Qur’an lagi-lagi menegaskan:

‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ ‫ي ْال َم‬
َّ َ‫عا َمي ِْن أ َ ِن ا ْش ُك ْر لِي َول َِوا ِلدَ ْيكَ ِإل‬
َ ‫صالُهُ فِي‬ َ ً ‫سانَ ِب َوا ِلدَ ْي ِه َح َملَتْه ُ أ ُ ُّمهُ َو ْهنا‬
َ ِ‫علَى َو ْه ٍن َوف‬ َ ‫اإل ْن‬
ِ ‫ص ْينَا‬
َّ ‫َو َو‬

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (Q, s .
Luqman)31:14 /

Jadi menurut Al-Qur’an ibu mengandung, melahirkan dan menyusui adalah suatu pengorbanan yang
luhur, yang menuntut adanya balasan terimakasih dari anaknya. Ini berbeda dengan Genesis dalam
Perjanjian Lama yang mengatakan bahwa wanita mengandung, melahirkan dan menyusui adalah akibat
dosanya (melalui Hawa, istri Adam) yang telah melanggar larangan Tuhan di Surga.

Berbuat baik kepada orang tua dalam Islam bersifat mutlak. Artinya andaikata ada diantara kita yang
kedua orang tuanya kebetulan berbeda agama, Al-Qur’an tetap mengajarkan untuk berbuat baik kepada
keduanya. Artinya, berbuat baik kepada kedua orang tua itu tidak didasarkan atas kesamaan agama, tetapi
lebih karena jasa-jasa baik keduanya terhadap perkembangan dan jati diri kita.

‫ي َم ْر ِجعُ ُك ْم فَأُنَ ِِّبئ ُ ُك ْم‬


َّ َ‫ي ث ُ َّم إِل‬ َ ‫س ِبي َل َم ْن أَن‬
َّ َ‫َاب ِإل‬ َ ‫ْس لَكَ بِ ِه ع ِْل ٌم فَالَ تُطِ ْع ُه َما َو‬
َ ‫صاحِ ْب ُه َما فِي الدُّ ْن َيا َم ْع ُروفا ً َوات َّ ِب ْع‬ َ ‫علَى أَن ت ُ ْش ِركَ ِبي َما لَي‬َ َ‫َو ِإن َجا َهدَاك‬
َ‫بِ َما ُكنت ُ ْم ت َ ْع َملُون‬

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di
dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q, s .Luqman)31:15 /

Dalam rangka berbuat baik kepada kedua orang tua tersebut, Al-Qur’an mengajarkan agar kita
berdo’a:

ً ‫ص ِغيرا‬
َ ‫ار َح ْم ُه َما َك َما َربَّيَانِي‬
ْ ‫ب‬ َّ َ‫ِض لَ ُه َما َجنَا َح الذُّ ِِّل مِ ن‬
ِ ِّ ‫الرحْ َم ِة َوقُل َّر‬ ْ ‫َو‬
ْ ‫اخف‬
Ya Tuhanku, berilah rahmat kepada kedua orang tuaku, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku di
waktu kecil. (Q, s .al-Isra)17:24/’

Maka, barangsiapa yang durhaka kepada kedua orang tua, Allah akan melaknatnya, dan
mengharamkan surga baginya.

َ َ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ
)‫الو ِالد ْي ِن( متفق عليه‬ ‫هللا ِيف ُسخ ِط‬
ِ ‫ِرض هللا يف ِرض الو ِالدي ِن وسخط‬

Keridhaan Allah tergantung pada keridhaan kedua orang tua, dan kemurkaan Allah tergantung pula pada
kemurkaan kedua orang tua (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Cantumkan Sumber: http://www.tongkronganislami.net/2012/07/akhlak-terhadap-orang-


tua.html#ixzz46qEfoFJX

Orang Tua memang sosok yang paling sempurna yang ada dalam kehidupan kita. berkat beliau
kita ada di dunia ini, terutama untuk ibu yang terlah berkorban bahkan mempertaruhkan
nyawanya demi kita dan sang ayah yang harus bekerja keras demi menghidupi kebutuhkan
keluarga. kedua orang tua kita tentunya sangat menyayangi kita, mencintai kita dengan ikhlas
dan sepenuh hati. mereka tak akan pernah meminta balasan dari apa yang telah mereka berikan
kepada kita, yang menjadi tugas kita sekarang adalah memberikan hal yang terbaik untuk Ayah
dan Ibu, bahagiakan beliau selagi mereka masih hidup. jangan sampai kita menyesal karena
selama hidup kita malah mengecewakan orang tua, menyusahkan orang tua dan membuat
mereka sedih.

Doa Anak untuk Orang Tua Tercinta - Kalian tentu pernah berbuat kesalahan kan dengan orang tua? itu
sangat wajar, tetapi apakah kalian berani meminta maaf langsung kepada beliau? tentu sangat jarang
sekali anak yang meminta maaf kepada orang tuanya. mereka yang pernah melakukan kesalahan hanya
bisa terdiam dan menyesali apa yang telah ia perbuat, tetapi disini kalian harus berani mengakui
kesalahan kalian, kalian semua harus bertanggung jawab atas kesalahan yang telah kalian perbuat, dan
kalian harus meminta maaf sekiranya ada kesalahan kepada ayah dan ibu.

Doa untuk Orang Tua Kita - tak hanya berani meminta maaf, kita harus dituntut menjadi anak yang baik
dan nurut dengan orang tua. pernah nggak sih kalian malah melawan, membantah, atau bahkan marah-
marah sama orang tua? pasti pernah kan? apa kalian tega memarahi orang tua kalian sedangkan apa
yang beliau lakukan itu demi kebaikan anaknya, beliau tak ingin anaknya terjerumus atau anaknya
menjadi nakal dan berandal. maka dari itu kalian semua harus sadar, dan suatu saat kalian juga bakal
merasakan menjadi orang tua bagi anak-anakmu kelak.

Sumber : aimct08.blogspot.com

Nah, buat kalian semua yang sedang rindu kepada orang tua ? berikut akan admin berikan Kata Kata
Doa Anak kepada Orang Tua :
Saudara yang budiman, karena keutamaan agung yang dimiliki kedua orang tua inilah, berulang
kali dalam al-Quran dan sunnah nabi–Nya disebutkan perintah agar berbakti dan berbuat baik
kepada kedua orang tua, dan peringatan agar tidak mendurhakai dan melukai mereka dengan
bentuk apapun. Allah SWT berfirman dalam al-Quran yang artinya:
“Dan (ingatlah) ketika kami mengambil janji dari bani israil (yaitu): ‘ janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia;
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.’ Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebagian kecil dari kamu dan kamu selalu berpaling.” (QS. Al-baqarah : 83)

Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan agar berbuat baik kepada kedua orang tua setelah
memerintahkan agar beribadah hanya kepada-Nya. Hal ini menunjukkan pada keutamaan mereka dan
kesakralan hak mereka atas anak-anak mereka.

Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya:


“(Dalam ayat ini) Allah SWT mengingatkan bani israil akan sesuatu yang telah Allah SWT perintahkan
kepada mereka dan janji mereka untuk melaksanakan semua perintah itu. Alih-alih melaksanakan
perintah dan janji tersebut, mereka justru berpaling dan ingkar, padahal mereka mengetahui dan ingat
akan semua perintah itu. Allah SWT memerintahkan mereka agar menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan sesuatupun dengan-Nya. Perintah untuk beribadah hanya kepada-Nya ini pun ditujukan
kepada seluruh makhluk-Nya. Karena tujuan itulah, Allah SWT pun menciptakan mereka. Ibadah kepada
Allah SWT merupakan hak Allah yang paling tinggi dan paling agung. Itulah hak Allah SWT. Allah SWT
berhak disembah hanya seorang diri, yang tiada sekutu bagi-Nya. Setelah hak Allah SWT, barulah hak
makhluk, dan makhluk yang paling utama adalah hak kedua orang tua. Oleh karena itulah, Allah SWT
pun mangaitkan antara hak-Nya dan hak kedua orang tua.” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, hal. 316)

Al-Baghawi menyebutkan dalam tafsirnya tentang firman Allah SWT: “wa bil waalidaini ihsaanan” (dan
berbuat baiklah kepada ibu bapak) sebagai berikut: “maksudnya, kami memerintahkan mereka agar
berbuat baik, berbakti, bersikap lembut, dan mengikuti perintah kedua orang tua dalam hal yang tidak
menentang Allah SWT.” (Tafsir al-baghawi, juz 1, hal. 117)
Diantara ayat-ayat tentang berbakti dan melindungi kedua orang tua serta yang menjelaskan tentang
keutamaan mereka dalam firman Allah SWT yang artinya:

1)>>>> “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.


Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri.” (QS. An-Nissa’ : 36)
Dalam ayat ini pun Allah SWT mengaitkan antara perintah agar berbuat baik kepada kedua orang tua
dan beribadah hanya kepada-Nya.

Ath-Thabari menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut:


“Allah SWT memerintahkan kalian agar berbuat baik kepada kedua orang tua (kalian), yakni berbakti
kepada mereka. Oleh karenan itulah kata ihsaan di nasbahkan, sebab ihsaan adalah perintah dari Allah
SWT, yaitu perintah agar berbuat baik kepada kedua orang tua. Namun sebagian mufassir menyebutkan:
‘makna ayat tersebut adalah ‘aku mewasiatkan agar berbuat baik kepada kedua orang tua.’ Pendapat ini
hampir sama dengan pendapat yang kami kemukakan.” (Tafsir ath-Thabari, juz 8, hal. 334)

2)>>>> “Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu :
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami
akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-
perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar’. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).” (QS. Al-An’am : 151)

Dalam ayat inipun Allah SWT memerintahkan agar berbuat baik kepada kedua orang tua. Perintah ini
Allah SWT sebutkan setelah larangan untuk menyekutukan-Nya. Hal ini menjelaskan tentang
kehormatan hak mereka dan keagungannya.

Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya: “Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah berbakti kepada
mereka, memelihara mereka, menjaga mereka, melaksanakan perintah mereka, menghilangkan
perbudakan dari mereka dan tidak menguasai mereka.” (Tafsir al-Qurthubi, juz 7, hal. 132)

3)>>>> “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.”
(QS. Al-Israa’ : 23-24)
Dalam ayat in pun Allah SWT memerintahkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tua.
Perintah ini disampaikan setelah Allah SWT memerintahkan agar beribadah hanya kepada-Nya semata,
yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah SWT juga menerangkan tentang pentingnya mempergauli kedua orang
tua dengan pergaulan yang baik serta tidak menyakiti mereka walau dengan perkataan terkecil yang
menunjukkan perasaan sesak dan galau, yaitu kata “ah”.

Allah SWT berfirman : "Tuhanmu memerintahkan, mengharuskan, mewajibkan -wahai manusia- agar
beribadah hanya kepada-Nya, dan Dia juga memerintahkan agar engkau berbuat baik kepada ayah dan
ibumu, terlebih ketika mereka sudah tua. Janganlah engkau merasa bosan dan berat dengan sesuatu
yang muncul dari salah seorang dari mereka atau dari kedua-duanya. Janganlah engkau
memperdengarkan kepada mereka perkataan buruk, walaupun perkataan buruk yang paling rendah.
Janganlah engkau melakukan perbuatan yang buruk kepada mereka. Akan tetapi bersikap lembutlah
kepada mereka (senantiasa) dengan mengatakan perkataan yang lembut lagi santun. Tunduk dan
tawadhu’lah kepada ayah dan ibumu dengan penuh rasa sayang terhadap mereka. Mintalah kepada
Tuhanmu agar Dia merahmati mereka dengan rahmat-Nya yang luas, baik ketika mereka masih hidup
maupun setelah mereka meninggal dunia, sebagaimana mereka telah bersabar dalam mendidikmu
semasa kecil, ketika engkau masih dalam keadaan lemah dan tidak berdaya.” (Tafsir Al-Muyassar, juz 5.
Hal. 17-19)

4)>>>> “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah
kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. Al-Ankabuut : 8)
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya dan
menaati mereka pada hal-hal yang bukan maksiat kepada Allah SWT.

Ibnu katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:


“Allah berfirman seraya memerintahkan hama-hambaNya agar berbuat baik kepada kedua orang
tuanya, setelah Dia menganjurkan agar manusia konsisten dalam mengesakanNya. Pasalnya, kedua
orang tua merupakan sebab bagi keberadaan manusia dan mereka telah berbuat sangat baik
kepadanya. Ayah sangat baik dengan nafkah yang diberikannya, sementara ibu sangat baik dengan kasih
sayang yang dicurahkannya. Disamping agar memerintahkan agar manusia bersikap lembut, sayang, dan
baik kepada kedua orang tuanya, sebagai balasan atas perbuatan baik mereka pada masa lalu, Allah SWT
juga berfirman : “wa’in jaahadaaka litusyrika bii maa laisa laka bihii ilmun falaa tuhthi’humaa” (dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya), yakni jika mereka berambisi agar kamu
mengikuti mereka dan memeluk agama mereka, jika mereka orang-orang musyrik , maka janganlah
engkau menaati mereka dalam hal itu sebab kepada-Ku-lah kamu semua akan kembali pada hari kiamat
kelak, dan Aku akan memberikan balasan kepadamu atas kebaikan dan kesabaranmu terhadap kedua
orang tuamu dan agamamu. Lalu Aku akan mengumpulkan bersama orang-orang shalih, bukan dalam
kelompok kedua orang tuamu meskipun kamu adalah orang yang paling dekat dengan mereka di dunia,
sebab seseorang itu akan dikumpulkan di hari kiamat bersama orang yang dicintainya, yakni dicintai
karena agamanya. Oleh karena itulah, Allah SWT berfirman yang artinya :
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh benar-benar akan Kami masukkan
mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Ankabuut : 9) (Tafsir Ibnu Katsir, juz 6, hal.
264-265)

5)>>>> “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang
yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Lukmaan : 14-15)
Pada kedua ayat ini Allah SWT memerintahkan kita agar berbakti kepada kedua orang tua,
memperlakukan mereka dengan perlakuan yang terpuji, dan berbuat baik kepada mereka. Demikianlah,
sebab mereka telah bersusah-payah mendidik kita, terlebih ibu, yang sudah menanggung banyak rasa
letih dan sakit, mereguk kelemahan demi kelemahan akibat hamil, melahirkan, dan menyusui yang
berlangsung dalam waktu dua tahun. Mereka sering begadang dalam waktu yang lama. Mereka selalu
memberikan pengawasan dan perlindungan dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya.
Tujuannya adalah agar anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, menjadi orang yang
bermanfaat.
Oleh karena itulah, manusia harus bersyukur kepada Allah SWT yang telah menciptakannya, dan
bersyukur kepada kedua orang tuanya, sebagai imbalan atas kelelahan mereka dalam membesarkannya.
Manusia harus mengetahui bahwa balasan untuk semua itu ada di sisi Allah SWT pada hari kiamat kelak.
Oleh karena itulah, dia tidak boleh menyalahi perintah Allah SWT.

Di lain pihak, Allah SWT pun memerintahkan agar kita menaati kedua orang tua, kecuali jika mereka
berusaha mendorong kita untuk menyekutukan Allah SWT. Namun, meskipun mereka mendorong kita
untuk menyekutukan Allah SWT, kita tidak boleh memboikot mereka. Akan tetapi kita harus menolak
seruan mereka itu dengan penuh dengan kelembutan dan kita pun harus terus memperlakukan mereka
dengan baik di dunia ini. Kita harus bersikap lembut kepada mereka dan juga merawat mereka. Kita
harus tetap memberikan apa yang mereka perlukan, yaitu pemeliharaan. Kita harus mengikuti jalur
orang-orang yang shalih, sebab kita akan kembali kepada Allah SWT pada hari kiamat kelak, lalu Allah
SWT akan menghisab amal perbuatan kita.

Ibnu katsir menjelaskan dalam tafsirnya sebagai berikut:


“Selanjutnya , Allah menyandingkan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan perintah
untuk beribadah hanya kepadaNYa semata. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah : ‘Dan tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.’ (QS. Al-Isra’ : 23)
Dalam al-Quran, Allah SWT sering menyandingkan perintah berbakti kepada kedua orang tua pada
perintah beribadah hanya kepadaNya. Di sini Allah SWT berfirman yang artinya : “ Dan kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah.” (QS. Al-luqmann : 14) mujahid berkata : ‘ dalam keadaan
susah yang semakin bertambah.’ Atha al-Khurrasani berkata : ‘dalam keadaan yang semakin lemah.’
Adapun firman Allah SWT : ‘dan menyapihnya dalam dua tahun’ maksudnya adalah mendidik dan
menyusuinya dalam dua tahun setelah melahirkannya. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan firman
Allah SWT : ‘para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuannya.’ (QS. Al-Baqarah : 233)
Dari sinilah ibnu ‘abbas dan para imam lainnya menyimpulkan bahwa masa kehamilan yang paling
minimal adalah enam bulan , sebab Allah SWT berfirman dalam ayat yang lain: ‘mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan.’ (QS. Al-Ahqaaf : 15)
Allah SWT menyebutkan pendidikan yang diberikan ibu, keletihan, dan kesusahan yang dirasakannya
karena harus terjaga siang dan malam, tujuannya adalah untuk mengingatkan anak akan perbuatan baik
yang diberikan ibunya kepada dirinya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT :
“Dan ucapkanlah : ‘wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil’. (QS. Al-israa’ : 24) oleh karena itulah, Allah SWT berfirman : ‘Bersyukurlah
kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu; hanya kepadaKulah kembalimu.’ (QS. Luqman : 14)

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdoa: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang
Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang
berserah diri’. “ (QS. Al-Ahqaaf : 15)

Dalam tafsir al-Muyassar dijelaskan sebagai berikut:


“Dan kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik dalam menggauli kedua orang tuanya,
sebagai baktinya terhadap mereka, ketika mereka masih hidup dan setelah mereka meninggal dunia.
Ibunya mengandungnya yang masih janin dalam perutnya dalam keadaan sengsara dan lemah, dan
ibunya pun melahirkannya dalam keadaan sengsara dan lemah pula. Masa hamilnya sampai masa
menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Dalam ayat ini disebutkannya kesusahan yang ditanggung
seorang ibu (sementara kesusahan yang dirasakan seorang ayah tidak disebutkan) merupakan dalil
bahwa hak seorang ibu (untuk mendapatkan bakti) anaknya lebih besar daripada hak seorang ayah.
Ketika sang anak mencapai kekuatan fisik dan mentalnya, ketika usianya mencapai empat puluh tahun,
maka dia berdoa kepada Tuhannya dengan mengatakan : ‘Tuhanku, berikanlah petunjuk kepadaku agar
aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang Engkau karuniakan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.
Jadikanlah aku dapat melakukan amal shalih yang Engkau ridhai. Berikanlah kebaikan kepadaku dengan
memberikan kebaikan kepada anak-cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dari dosa-dosaku,
dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang tunduk kepada-Mu dengan melakukan ketaatan,
termasuk orang-orang yang menerima perintah dan larangan-Mu, dan termasuk orang-orang yang
mengikuti ketentuan-Mu. (Tafsir al-Muyassar, juz 9, hal. 142)

Saudaraku sesama muslim, ayat-ayat diatas semuanya menjelaskan tentang adanya keindahan agung
dan keutamaan besar yang harus dipersembahkan kepada kedua orang tua oleh anak-anaknya,
khususnya kepada ibu yang telah merasakan kesulitan, hal-hal yang tidak disukai, kesengsaraan, dan
kepayahan, sejak dia mengidam, mual-mual, merasa berat, dan merasa susah, sampai hal-hal lainnya
yang dirasakan wanita hamil, yaitu berupa kepayahan dan kesengsaraan. Terlebih lagi saat melahirkan,
yang mana itu adalah fase mendekati kematian yang kepedihannya hanya diketahui oleh kaum ibu yang
pernah melahirkan.

3.3 Hubungan Antara Orang Tua Dan Anak3.3.1 Islam Memelihara Nasab

Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak
sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian.

Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi
maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan potongan dari hatinya.

Justru itu Allah mengharamkan zina dan mewajibkan kawin, demi melindungi nasab, sehingga air tidak
tercampur, anak bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah pun dapat dikenal siapa anaknya.

Dengan perkawinan, seorang isteri menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang berkhianat kepada
suami, atau menyiram tanamannya dengan air orang lain. Oleh karena itu setiap anak yang dilahirkan dari
tempat tidur suami, mutlak menjadi anak suami itu, tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari
seorang ayah; atau pengakuan dari seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang seranjang. Begitulah
menurut apa yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w.26

3.3.2 Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya


Dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya yang seranjang dengan
dia dalam perkawinan yang sah. Pengingkaran seorang suami terhadap nasab anaknya akan membawa
bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik terhadap isteri maupun terhadap anaknya itu
sendiri. Justru itu seorang suami tidak boleh mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau dugaan
atau karena ada berita tidak baik yang mendatang.

Adapun apabila seorang isteri mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat dikumpulkan dan
beberapa tanda (qarinah) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak membiarkan seorang ayah
harus memelihara seorang anak yang menurut keyakinannya bukan anaknya sendiri; dan memberikan
waris kepada anak yang menurut keyakinannya tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang
selalu diragukan identitasnya sepanjang hidup.

Untuk memecahkan problem ini, Islam membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama
li'an. Maka barangsiapa yakin atau menuduh, bahwa isterinya telah membasahi ranjangnya dengan air
orang lain kemudian si isteri itu melahirkan seorang anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka waktu
itu suami boleh mengajukan ke pengadilan, kemudian pengadilan mengadakan mula'anah (sumpah dengan
melaknat) antara kedua belah pihak, yang penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam al-Quran:

"Para suami yang menuduh isterinya padahal mereka tidak mempunyai saksi melainkan dirinya
sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka ialah empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa
ia termasuk orang-orang yang benar. Sedang yang kelimanya ialah, bahwa laknat Allah akan
menimpa kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Dan dihilangkan dari perempuan
itu siksaan (dera) lantaran dia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa dia (laki-laki)
termasuk orang-orang yang berdusta. Sedang yang kelimanya: bahwa murka Allah akan menimpa
kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang benar."(an-Nur: 6-9)

Sesudah itu keduanya diceraikan untuk selama-lamanya, dan anaknya ikut kepada ibunya.

3.3.3 Mengambil Anak Angkat Hukumnya Haram dalam Islam


Kalau seorang ayah sudah tidak dibolehkan memungkiri nasab anak yang dilahirkan di tempat tidurnya,
maka begitu juga dia tidak dibenarkan mengambil anak yang bukan berasal dari keturunannya sendiri.

Orang-orang Arab di masa jahiliah dan begitu juga bangsa-bangsa lainnya, banyak yang menisbatkan orang
lain dengan nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil anak angkat.

Seorang laki-laki boleh memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si
anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang dan sama-
sama susah dan mempunyai hak yang sama.

Mengangkat seorang anak seperti ini sedikitpun tidak dilarang, kendati si anak yang diangkat itu jelas jelas
mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.

Islam datang, sedang masalah pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab, sehingga Nabi
Muhammad sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliah. Zaid waktu itu
seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli
oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh
Khadijah kepada Nabi Muhammad s.a.w. sesudah beliau kawin dengan dia.

Setelah ayah dan pamannya mengetahui tempatnya, kemudian mereka minta kepada Nabi, tetapi oleh
Nabi disuruh memilih. Namun Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada ayah dan pamannya
sendiri. Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan diangkatnya sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang
banyak.
Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan dia termasuk pertama kali bekas hamba yang
memeluk Islam.

3.3.3.1 Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Peraturan Jahiliah Ini?


Islam berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan terhadap realita,
suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya. Dia dapat bergaul
bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahram padahal hakikatnya mereka itu
samasekali orang asing. Isteri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak
perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya
itu.

Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak
menerima. Oleh karena itu tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang
bukan dari kalangan mereka ini yang merampas hak milik mereka dan menghalang pusaka yang telah
menjadi harapannya.

Kedengkian ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yang tidak baik, dapat menyalakan api fitnah dan
memutus famili dan kekeluargaan.

Justru itu al-Quran menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-lamanya serta dihapusnya
seluruh pengaruh-pengaruhnya.

Firman Allah:

"Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu
adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan
Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa
mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka
mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu."(al-Ahzab: 4-5)

Baiklah kita renungkan ungkapan al-Quran yang bersih ini, yaitu kalimat: "Allah tidak menjadikan anak-anak
angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-
mulutmu."

Kalimat ini memberi pengertian, bahwa pengakuan anak angkat itu hanya omongan kosong, di belakangnya
tidak ada realita sedikitpun.

Perkataan lidah tidak dapat mengganti kenyataan dan tidak dapat mengubah realita, tidak dapat
menjadikan orang luar sebagai kerabat, dan orang asing sebagai pokok nasab, dan tidak pula anak angkat
sebagai anak betul-betul.

Perkataan mulut tidak dapat mengalirkan darah ke dalam urat dan tidak dapat membentuk perasaan
kebapaan ke dalam hati seseorang, dan tidak pula mengalir dalam kalbu anak angkat jiwa kehalusan
sebagai anak betul; dia tidak dapat mewarisi keistimewaan-keistimewaan khusus dari ayah angkatnya dan
ciri-ciri keluarga, baik jasmaniah, intelek maupun kejiwaannya.

Islam telah menghapuskan seluruh pengaruh yang ditimbulkan oleh aturan ini, misalnya tentang warisan
dan dilarangnya kawin dengan bekas isteri anak angkat.

Dalam masalah warisan, karena tidak ada hubungan darah, perkawinan dan kerabat yang sebenarnya,
maka oleh al-Quran hal itu samasekali tidak bernilai dan tidak menjadi penyebab mendapat warisan.
Bahkan al-Quran mengatakan:

"Keluarga sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian, menurut kitabullah."(al-Anfal: 75)

Dan dalam hal perkawinan, al-Quran telah mengumandangkan, bahwa di antara perempuan-perempuan
yang haram dikawin ialah bekas isteri anak betul-betul, bukan bekas isteri anak angkat.

Firman Allah:

"Dan bekas isteri-isteri anakmu yang berasal dari tulang rusukmu sendiri."(an-Nisa': 24)

Oleh karena itu seseorang dibenarkan kawin dengan bekas isteri anak angkatnya, karena perempuan
tersebut pada hakikatnya adalah bekas isteri orang lain. Justru itu tidak salah kalau dia mengawininya
apabila telah dicerai oleh suaminya.

3.3.3.2 Lembaga Anak Angkat Dihapus dengan praktek, Setelah Dihapusnya dengan
Perkataan
Persoalan ini tidak begitu mudah, sebab masalah anak angkat sudah menjadi aturan masyarakat dan
berakar dalam kehidupan bangsa Arab. Oleh karena itu dalam kebijaksanaan Allah untuk menghapus dan
memusnahkan pengaruh-pengaruh perlembagaan ini tidak cukup dengan omongan saja, bahkan
dihapusnya dengan omongan dan sekaligus dengan praktek.

Hikmah kebijaksanaan Allah dalam persoalan ini telah memilih Rasulullah s.a.w. sebagai pelakunya, untuk
menghilangkan setiap keragu-raguan dan demi menolak setiap keberatan orang mu'min tentang
dibolehkannya mengawini bekas isteri anak-anak angkatnya; dan supaya mereka yakin, bahwa apa yang
disebut halal, yaitu semua yang dihalalkan Allah; dan apa yang disebut haram, yaitu semua yang
diharamkan Allah.

Zaid bin Haritsah yang kita kenal sebagai Zaid bin Muhammad, telah dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy
sepupu Nabi sendiri. Tetapi karena kehidupan mereka berdua selalu goncang dan Zaid sendiri sudah banyak
mengadu kepada Nabi tentang keadaan isterinya, sedang Nabi sendiri juga mengetahui keinginan Zaid
untuk mencerainya, dan dengan wahyu Allah, Zainab akan dikawin oleh Nabi, tetapi kelemahan manusia
tempoh-tempoh sangat mempengaruhi, maka Nabi takut bertemu dengn orang banyak. Oleh karena itu dia
katakan kepada Zaid: "Tahanlah isterimu itu dan takutlah kepada Allah!"

Di sinilah ayat al-Quran kemudian turun untuk menegur sikap Nabi. Dan seketika itu beliau menyingsingkan
lengan bajunya untuk tampil ke tengah-tengah masyarakat, guna menghapus sisa-sisa aturan kuno dan
tradisi yang sudah usang yang mengharamkan seseorang mengawini bekas isteri anak angkatnya yang pada
hakikatnya dia adalah orang asing itu. Maka berfirmanlah Allah:

"Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau
juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah): 'tahanlah untukmu isterimu dan
takutlah kepada Allah', dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan
engkau takut manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engkau takutinya. Maka tatkala Zaid
memutuskan untuk mencerai Zainab, kami (Allah) kawinkan engkau dengan dia, supaya tidak
menjadi beban bagi orang-orang mu'min tentang bolehnya mengawini bekas isteri anak-anak
angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan mencerainya, dan keputusan Allah pasti
terlaksana."(al-Ahzab: 37)

Kemudian al-Quran meneruskan untuk melindungi pribadi Nabi Muhammad s.a.w. dalam perbuatan ini dan
memperkuat perkenannya serta menghilangkan anggapan dosa karena perbuatannya itu. Maka berkatalah
al-Quran:

"Tidak boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal yang telah diwajibkan oleh Allah kepadanya
menurut sunnatullah pada orang-orang yang telah lalu sebelumnya, sebab perintah Allah itu suatu
ketentuan yang telah ditentukan, (yaitu) orang-orang yang menyampaikan suruhan Allah dan mereka
takut kepadaNya, dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah; dan kiranya cukuplah Allah
sebagai pengira. Tidaklah Muhammad itu ayah bagi seseorang dari laki-laki kamu, tetapi dia adalah
utusan Allah dan penutup bagi sekalian Nabi, dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu."(al-
Ahzab: 38-40)

3.3.3.3 Mengangkat Anak dengan Arti Mendidik dan Memelihara


Begitulah pengangkatan anak yang dihapus oleh Islam; yaitu seorang menisbatkan anak kepada dirinya
padahal dia tahu, bahwa dia itu anak orang lain. Anak tersebut dinisbatkan kepada dirinya dan keluarganya,
dan baginya berlaku seluruh hukum misalnya: bebas bergaul, menjadi mahram, haram dikawin dan berhak
mendapat waris.

Di sini ada semacam pengangkatan anak yang diakui oleh beberapa orang, tetapi pada hakikatnya bukan
pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu seorang ayah memungut seorang anak kecil yatim
atau mendapat di jalan, kemudian dijadikan sebagai anaknya sendiri baik tentang kasihnya,
pemeliharaannya maupun pendidikannya; diasuh dia, diberinya makan, diberinya pakaian, diajar dan diajak
bergaul seperti anaknya sendiri. Tetapi bedanya, dia tidak menasabkan pada dirinya dan tidak diperlakukan
padanya hukum-hukum anak seperti tersebut di atas.

Ini suatu cara yang terpuji dalam pandangan agama Allah, siapa yang mengerjakannya akan beroleh pahala
kelak di sorga. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Rasululfah s.a.w. dalam hadisnya:

"Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk
dan jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya. (Riwayat Bukhari, Abu Daud dan Tarmizi)
Laqith (anak yangdipungut di jalan) sama dengan anak yatim. Tetapi untuk anak seperti ini lebih patut
dinamakan Ibnu Sabil (anak jalan) yang oleh Islam kita dianjurkan untuk memeliharanya.

Apabila seseorang yang memungutnya itu tidak mempunyai keluarga, kemudian dia bermaksud akan
memberikan hartanya itu kepada anak pungutnya tersebut, maka dia dapat menyalurkan melalui cara
hibah sewaktu dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka, sebelum
meninggal dunia.

B. KEWAJIBAN ANAK
Kewajiban-kewajiban anak untuk berbakti, berbuat baik dan menghormat sebagai tanda syukur ini
anatara lain dapat berupa :

 Taat kepada orang tua dalam batas-batas selagi orang tua itu tidak mengajak atau
memerintahkan berbuat musyrik atau maksiat kepada Allah atau menentang syare’at Islam. Tapi
apabila ajakan dan perintah itu untuk berbuat musyrik, maksiat, atau menentang syari’at Islam,
maka anak-anak tidak wajib taat kepadanya.
Firman Allah : Wain jaahadaahu ‘ala antusyrika bil maalaisalaka bihi Ilmun falaa tuthl ‘humaa,
washaahibhumaa fiddunya ma’rufan (S, Luqman : ayat 15). Artinya : Dan jika kedua orang tua
memaksamu mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang lain yang tidak kamu ketahui, maka janganlah
kamu taati perkataan (perbuatan) kedua orang tuamu, dan pergauilah kedua orang tuamu baik-baik
didunia (menurut sepatutnya)”.
Nabi saw. Bersabda : “Innamaththaatu filma’rifli” artinya : “Sesungguhnya taat itu adalah hal yang baik”.
Dalam sabda yang lain : “Laa thaa’ata Ilmachluqin fiima’siatil kholiq”. Artinya : Tidak ada taat kepada
machluq dalam keadaan maksiat kepada Tuhan.
Dari ayat dan hadits –hadits tersebut jelas bahwa anak itu diwajibkan taat kepada orang tua asalkan
orang tua itu tidak memerintahkan kepada maksiat tanpa alasan ilmu-ilmu yang dibenarkan oleh Tuhan.
Apabila demikian (maksiat) maka kewajiban anak hanyalah berbuat baik dikala orang tua hidup didunia
ini yaitu :

 Memberi makan dan pakaian apabila dia memerlukannya, bersilaturahim, berkata-kata yang
tidak menyakitkan hati orang tua, atau tingkahlaku yang menyakitinya.
Sehubungan dengan ketaatan anak yang terbatas kepada hal-hal yang tidak musyrik dan tidak maksiat
ini ada beberapa riwayat hadits untuk memperkuat keterangan tersebut, yaitu antara lain :
 Dari Al-Khafidz Ibnu Katair dari Sa’id bin Abi Waqas ra, berkata Sa’id : Saya seorang lelaki yang
berbuat kepada ibu saya. Pada waktu saya masuk agama Islam, ibu berkata : Hai Sa’id, apakah
yang menyebabkan kamu itu masuk agama baru itu ? tinggalkanlah agamamu itu ataukah saya
tidak makan atau minum sampai mati, lalu namamu cemar dan kemudian hal ini dikatakan orang
: Hai lelaki pembunuh Ibu. Maka jawab saya kepada Ibu : Hai Ibu, janganlah bersikap demikian,
sungguh saya tidak akan meninggalkan agamaku ini selama-lamanya. Maka Ibu dalam waktu
sehari semalam berdiam diri tidak makan dan tidak minum sampai pagi hari. Dia nampak dalam
keadaan payah. Dihari-hari malam-malam berikutnya (sampai tiga hari tiga malam) dia secara
terus menerus tidak mau makan dan tidak mau minum. Dalam hari –hari terakhir dia nampak
semakin payah. Ketika saya mengetahui keadaan Ibu saya demikian itu, berkatalah saya : Hai
Ibu, taukah kamu, demi Allah seandainya kamu mempunyai seratus nyawa dan nyawa-nyawa itu
keluar satu persatu (sampai habis) saya tidak akan meninggalkan agamaku ini selama-lamanya.
Maka apabila kamu mau makan makanlah, apabila tidak mau, tinggalkanlah.
Ketika Ibu Sa’id itu melihat kekerasan hati yang ada pada anaknya yaitu karena tidak bersedia
meninggalkan agamanya itu, maka makanlah dia.
Dari ceritera kasus Said ini maka justru Alloh swt. Berkenan menurunkan ayat 15 surat Luqman
sebagaiman tsb. Diatas
Dan dari kasus inilah, dapatlahkita ambil pengertian bahwa Islam itu mewajibkan bertaat anak kepada
orang tua (Ibu) tetapi dalam keadaan batas-batas tidak maksiat dan musyrik.
Hal ini bukan saja berlaku dan terbatas pada orang tua saja, tetapi juga terhadap para pemimpin atau
penguasa. Apabila mereka mengajak yang baik-baik tidak maksiat dan musyrik kepada yang dipimpinnya
maka harus ditaati sebagai Ulil Amri, tetapi sebaliknya apabila mereka mengajak berbuat maksiat dan
musyrik, atau hal/hal yang dilarang oleh agama, maka tidak perlu ditaati.
Untuk memperkuat keterangan tsb. Yakni tidak wajib taat kepada para pemimpin atau penguasa yang
bermaksiat, ada suatu hadits juga sebagai berikut :

 Konon dikala Nabi saw. masih hidup beliau memerintahkan seorang lelaki (Abdullah Bin
Khudzaifah), untuk memimpin sepasukan tentara.
Dan dikala pasukan tsb keluar bersamanya, maka ada sesuatu yang menyulitkan pasukan itu yaitu
karena lelaki tadi berkata kepada mereka : Bukankah Rasulullah memerintahkan kepada kamu sekalian
agar taat kepadaku ? jawab mereka : Ya demikian. Berkata lelaki tadi, kumpulkan kayu-kayu kepadaku.
Kemudian lelaki tadi meminta api dan terus menyalakan kayu-kayu tsb. Sambil berkata ; Saya
bermaksud agar kamu sekalian masuk kedalam unggun api ini. Lalu seorang pemuda di kalangan mereka
menjawab/berkata kepada temannya ; Seharusnya kamu sekalian lari (mengadu) kepada Rasulullah saw
tentang perintah masuk api ini, jangan tergesa-gesa sampai menghadap Rasulullah saw. Apabila beliau
memerintahkan untuk masuk ke dalam api maka masuklah kamu sekalian. Maka mereka mengadukan
masalah itu kepada Rasulullah saw. dan berceritalah mereka kepada beliau. Jawab Rasulullah saw.
“Apabila kamu sekalian masuk kedalam api, maka kamu sekalian tidak akan keluar selama-lamanya
(mati), sesungguhnya pendengaran dan taat itu dalam hal yang ma’ruf” (H.R Buhari dan Muslim dari
‘Amasy).
Dari kedua riwayat Hadits tersebut, mengandung hukum didalamnya tentang wajib taat dan tidak wajib
taat atas ajakan-ajakan :
 Orang tua, bila tidak mengajak maksiat dan musyrik wajib ditaati, tetapi bila tidak demikian
maka tidak wajib ditaati.
 Pemimpin bila tidak menyuruh berbuat maksiat atau yang bertetangan dengan Nabi maka wajib
kita taati. Tetapi sebaliknya apabila tidak demikian halnya, maka tidak wajib kita taati.
Yang menjadi problim dalam pendidikan/pengajaran adalah : jika seandainya pihak orang tua atau
pendidik itu mengajak atau memerintahkan anak didiknya kepada hal-hal yang menjurus perbuatan
maksiat dan musyriq. Anak-anak biasanya ikut-ikutan dan menuruti apa saja yang diperintahkan oleh
orang tuanya. Mungkin karena takut, mungkin pula karena akan kehilangan kasih sayang dari keduanya,
dan mungkin pula karena tindakan-tindakan kekerasan lainnya, sehingga anak-anak ikut berbuat maksiat
dan musyrik karenanya.
Padahal setiap anak lahir itu dalam keadaan fitrah, yakni membawa benih benih Tauhid dan yang baik
baik dari Tuhan. Ini merupakan sifat-sifat bawaan yang asli bagi setiap anak dilahirkan didunia. Tetapi
sifat-sifat yang demikian ini, dapat terpengaruh kearah yang negatif atau bertentangan dengan fitrahnya
akibat perintah dan tindakan orang tua sebagai pendidik yang mempengaruhinya. Akibatnya anak didik
menjadi korban.
Nabi saw. bersabda : “Maamin Mauluudin Illa Yuuladu ‘alal fitroti, fabawahu yuhawwidani au
yumajjisaanihi” (Hadits Mutafaqqun ‘alailhi).
Artinya ; “Tidak ada manusia lahir didunia ini, kecuali dalam keadaan fitrah maka kedua orang tuanyalah
menjadikan dia kafir yahudi atau kafir nasrani atau kafir majusi.
Didalam ilmu pendidikan sifat fitrah anak-anak, sebagai sifat bawaan asli dari Tuhan, ini seharusnya
dikembangkan, dibimbing, dan dididik kearah tujuan tertentu. Dan tujuan mutakhir daripada
pendidikan/pengajaran Islam sebagaimana diternagkan diatas, adalah untuk membentuk manusia
berpribadi Muslim. (lihat tujuan pendidikan dimuka).
Padahal perkembangan sifat-sifat bawaan ini masih dapat dipengaruhi oleh lingkungan atau faktor-
faktor yang berisfat exstern. Dalam hal ini orang tua atau pendidik pada umumnya adalah merupakan
faktor exstern yang fdapat mempengaruhi perkembangan anak didik. Akibatnya, fitrah anak yang
mestinya harus dikembangkan menuju ketujuan tertentu mengalami kesulitan dan tidak bisa
berkembang sebagaimana mestinya. Akhirnya anak-anak kurang atau tidak mencerminkan sifat
fitrahnya dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya akibat pengaruh-pengaruh exstern tsb.
Didalam mengahadapi kemungkinan-kemungknan seperti diterangkan itu, lalu bagaimana cara
menghindarkan diri agar supaya kemungkinan itu tidak terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kembali kepada rumus dan hukum pendidikan yaitu bahwa
kepribadian manusia pada umumnya dan kepribadian Muslim pada khususnya itu merupakan hasil
perpaduan antara dasar dan ajar antara bakat/bawaan dan pengalaman dari luar. Dengan perpaduan
antara dua faktor tsb. Yakni faktor bawaan dan pengalaman, maka terbentuklah suatu kepribadian
manusia.
Meskipun bawaan setiap anak itu baik tetapi apabila keadaan faktor dari luar itu tidak baik atau
bertentangan dengannya, maka yang terjadi adalh kepribadian anak yang kurang dan tidak baik.
Dengan berlandasan dalil-dalil pendidikan ini maka agar sifat fitrah manusia dapat berkembang baik
sebagaimana diharapkan oleh maksud dan tujuan pendidikan Islam, diperlukan usaha-usaha antara lain
sbb. :
 Milieu atau alam sekitar yang baik :
 Pengaruh orang tua yang baik-baik dalam lingkungan rumah tangga sehari-hari.
 Pengalaman diluar rumah tangga harus baik.
 Pengawasan orang tua/pendidik mutlak diperlukan.
 Lingkungan alam sekolah tidak bertentangan dengan alam keluarganya.
 Organisasi pemuda, dimana anak kita menjadi anggotanya harus mencerminkan unsur-unsur
pendidikan dan pengajaran Islam.
 Anak-anak harus banyak dibawa-bawa ketempat ibadah Islam, seperti masjid-masjid, langgar,
dlsb.
 Adanya kerja sama yang baik antara orang tua dan guru-guru sekolah dan pemimpin organisasi
pemuda.
 Mengikuti kegiatan-kegiatan lain yang mencerminkan Da’wah dan tarbiyah Islamiyah.
 Kesadaran anak didik tentang berbuat baik kepada orang tua menurut tuntunan agama Islam.
 Nasehat-nasehat agama kepada anak didik.

Dalam pergaulan kita sebagai anak dengan orang tua yang hampir seriap saat bercakapan
keluarga, seringkali orang tua memaggil atau menyuruh kita sebagai anak untuk membantu
mereka. Anak yang di suruh sering merasa tidak berkenan di hati, lalu menampakkanya dalam
bentuk suara atau sikap yang tidak layak. Bagaimanakah ketentuan dalam memberikan pedoman
kepada kita sebai anak mereka untuk berbicara, mennjawab panggilan dan mengeluarkan
pernyataan di hadapkan orang tuan kita?
Apalagi orang yang beragama, pasti dalam agamanya di jelaskan cara berbicara yang benar terhadap
orang tua. dalam islam agama saya di jelaskan bahwa dalam berdoalog atau berbicara dengan otang tua
kita, kita sebagai anak tidak saja harus menundukan diri, tapi juga harus merendahkan suara dan
memilih kata-kata yang sopan serta halus. kita sebagai anak harus dapat mengukur tiggi rendahnya
suara yang akan di ucapkan di hadapan orang tua kita. kita tidak di perkenankan bersuara lebih lantang
daripada suara orang tua kita, apalagi meneriakan dari jauh. sebenarnya kita tidak di perkenankan
menjawab panggilan orang tua kita dari jauh dengan suara yang kerasdan lantang. jika kita berada di
tempat yang jauh ketika mendengar panggilan orang tua kita maka hendaknya ia datang mendekat dan
menjawab panggilan tersebut dengan suara merendah. Inilah yang di sebut sebagai ucapan yang lemah
lembut terhadap orang tua kita.
bagai mana jika kita sebai anak mengutarakan isi hati kita melalui surat? Dalam menulis surat kepada
orang tua kita tetap berkewajiban mengutarakan isi hati kita dengan cara merendah yaitu dengan
memili kata yang halus dan merendah. jadi, dalam keadaan apapun kita harus tetap dengan adab dan
kesopanan dalam berkomunikasi dalam bersikap dengan orang tua kita.

20 Perilaku durhaka anak terhadap orang tua


01 Jan
Sebagai anak seorang muslim, apakah yang kita lakukan / katakan terhadap orang tua kita sudah sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Berikut ini rangkuman dari buku karangan Drs. M. Thalib
yang berjudul ” 20 Perilaku durhaka anak terhadap orang tua” . semoga infomasi ini dapat menambah
wawasan dan memperbaiki perilaku kita terhadap setiap orang tua yang kita temui. #Amin
1. Berbicara dengan kata – kata kasar.

Tanda seseorang beradab adalah bertutur kata dengan kata – kata yang halus karena hal itu
menunjukkan bahwa orangnya berbudi dan tahu kesopanan dan berjiwa halus. Terhadap orang yang
lebih tua, seorang anak harus menunjukkan
Dari Ibnu ‘Amr, dari Nabi SAW bersabda : “Keridlaan ALLAH ada dalam keridlaan ayah bunda dan
kemurkaan-Nya ada dalam kemurkaan mereka ” (HR. Thabarani)

Kata – kata kasar dan ucapan yang merendahkan terkadang berupa :


 Bersuara tinggi atau keras ketika kita berbicara terhadap orang yang lebih tua
 Menyuruh seseorang yang lebih tua dengan kata – kata yang kasar. Ex : meminta tolong tanpa
mengatakan tolong “Bu, bukakan pintu”
 Menyindir
 Mengumpat
 Mengata – ngatai seseorang yang lebih tua layaknya mengatai seorang pembantu
 Membentak
2. Membuang muka

Membuang muka ketika berbicara dengan orang lain merupakan perilaku yang merendahakan lawan
bicara dan cerminan dari sifat tinggi hati sang pendengar / pembicara yang memalingkan muka.
3. Duduk mendahului orang tua

Mendahulukan orang tua mengambil tempat duduk adalah hak orang tua yang harus dijunjung tinggi
oleh anak dimana pun orang tua dan anak berada.
4. Menghardik

Menghardik berarti membentak atau melontarkan kata – kata dengan nada suara yang keras.
Menghardik dimaksudkan untuk menakut – nakuti atau meluruskan sebuah kesalahan bila yang bersalah
lebih muda dalam umur dan statusnya.
5. Berkacak pinggang di depan orang tua

Orang beradab tinggi selalu bersikap rendah hati terhadap orang lain. Salah satu tanda dari sikap tinggi
hati adalah berkacak pinggang di hadapan orang lain karena merasa dirinya lebih hebat daripada orang
lain. Berperasaan orang lain lebih rendah derajatnya atau hina daripada dirinya adalah suatu perbuatan
yg sangat tercela dan dimurkai oleh ALLAH. Contoh merendahakan derajat orang lain adalah ” Saudara
ini lulusan SD, apakah mungkin saudara mengerti benar dan salah dari perkara yang ada” .
6. Membelakangi
Penjelasan sama dengan perilaku “membuaang muka”
7. Merendahkan

Merendahkan dalam artian memandang orang lain lebih rendah derajatnya / kurang di mata kita.
Merendahkan bisa berupa ucapan maupun perbuatan. Contoh kasus anak yang merendahkan orang tua
:
“Kalau tidak saya bantu setiap bulan, tentu ibu bapak tidak bisa hidup”

Ucapan tersebut jelas – jelas merendahkan martabat orang tua karena memang sudah menjadi
tanggung jawab serorang anak untuk membantu kehidupan ibu bapaknya.
8. Memaki

9. Mengingkari Nasab (garis keturunan)

Dari Sa’id bin Abu Waqqash, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa menisbatkan
dirinya kepada orang lain yang bukan bapaknya, padahal ia tahu bahwa orang itu bukan
bapaknya, maka ia diharamkan untuk memasuki surga” (HR Bukhari dan Muslim)” .

Nasab adalah Garis keturunan orang tua , anak, dan keturunan yang lainnya. sedangkan yang dimaksud
dengan mengingkari Nasab adalah seseorang yang menolak dirinya sebagai keturunan dari orang
tuanya atau sebaliknya orang tua yang mengingkari anaknya sebagi keturunannya. Seburuk apapun
orang tua , sejahat apapun orang tua berprilaku terhadap anak , kita sebagi garis keturunannya tidak
boleh sedikitpun mengingkari Nasab.
10. Mengubah wasiat orang tua

QS. Al – Baqarah (2) Ayat 181 :

‫علِي ٌم‬
َ ‫َّللاَ سَمِ ي ٌع‬ َ ُ‫فَ َم ْن بَ َّد َلهُ بَ ْع َد َما سَمِ عَهُ فَ ِإ َّن َما إِثْ ُمه‬
َّ َّ‫ع َلى ا َّل ِذينَ يُبَ ِ ِّدلُو َنهُ إِن‬
Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya
dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.(QS. 2:181)

Wasiat adalah pesan yang diberikan oleh orang tua atau seseorang semasa hidupnya untuk dilaksanakan
oleh yang diberi pesan kelas sepeninggal pemberi wasiat. Orang tua sering kali meninggalkan pesan –
pesan tertentu kepada anak dan keluarganya untuk kelak dilaksanakan oleh mereka sepeninggalnya.
11. Mengenyampingkan kepentingan orang tua.

12. Mengambil Harta orang tua tanpa hak

13. Menghina agama orang tua


14. Tidak mau mengurus orang tua yang telah lanjut usia

15. Melawan perintahnya

16. Pergi berjihad tanpa izin orang tua

17. Mendendam

18. Memasuki kamar pribadi orang tua pada 3 waktu terlarang tanpa izin
Firman Allah dalam QS. An-Nur : 58 dan 59:
(58): “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu
miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali
(dalam satu hari), yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-
mu di tengah hari, dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu[1]. Tidak ada
dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu[2]. Mereka melayani kamu,
sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan
ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

19. Membiarkan orang tua menjadi budak

Budak adalah sesorang yang dimiliki oleh orang lain laksana barang atau hewan yang kehilangan
kebebasan atas dirinya dan tidak mempunyai kemauan bebas, sehingga dia hanya menjadi alat bagi
kepentingan tuannya.
20. Membunuh

QS An – Nisaa’ 93 :

“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, mengutukinya, dan menyediakan adzab
yang besar baginya.”

Semoga informasi yang telah dibaca ini dapat menambah keimanan kita dan menambah wawasan dan
kecintaan kita terhadap orang tua kita. #amin
Setiap manusia mendambakan kebahagiaan dan kesuksesan, terhindar dari kesengsaraan dan
kegagalan di dunia dan akhirat. Di sinilah pentingnya kita mengenal secara baik akibat-akibat
durhaka kepada orang tua, selain mempersiapkan bekal dan perangkat yang profesional untuk
menggapai cita-cita.
Tidak jarang kita saksikan anak yang durhaka pada orang tuanya, ia harus menghadapi kendala-kendala
yang berat, sulit meraih kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidupnya. Belum lagi ia harus dan pasti
menghadapi penderitaan yang berat saat sakratul maut, dan ini pernah terjadi di zaman Rasulullah saw.
Beliau sendiri tak sanggup membimbingnya untuk mempertahankan keimanannya kecuali setelah
ibunya memaafkan.
Tidak sedikit juga anak yang durhaka, ia sangat sulit menemukan dan merasakan kebahagiaan dan
kedamaian dalam hidupnya sekalipun ia memiliki kemampuan profesional dan berkecukupan dalam
materi. Bahkan tidak jarang di antara mereka hampir-hampir putus asa dalam hidupnya akibat
kedurhakaannya terhadap kedua orang tuanya.
Fakta dan kenyataan yang kita jumpai dalam kehidupan keseharian bahwa dalam kehidupan ini penuh
dengan energi, yang positif dan negatif, yang dapat menolong kita atau sebaliknya menghantam
kekuatan kita. Sehingga kita kehilangan kendali, gelap dan tak mampu melihat rambu-rambu kebahagian
dan kesuksesan yang sejati.
Kenyataan inilah yang rambu-rambunya sering diungkapkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta Ahlul baitnya
(sa). Kita mesti menyadari bahwa mata lahir kita, bahkan pikiran kita, punya keterbatan untuk menyoroti
rambu-rambu itu. Karena rambu-rambu itu jauh berada di atas kemampuan sorot mata lahir dan analisa
pikiran. Yang mengetahui semua itu secara sempurna hanya Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang suci
dari Ahlul bait Nabi saw.
Tolok Ukur durhaka kepada orang tua
Allah swt berfirman: “Jika salah seorang di antara mereka telah berusia lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali jangan kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu
membentak mereka, ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al-Isra’: 23).
Salah seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw: Apakah ukuran durhaka kepada kedua
orang tua?
Rasulullah saw menjawab: “Ketika mereka menyuruh ia tidak mematuhi mereka, ketika mereka
meminta ia tidak memberi mereka, jika memandang mereka ia tidak hormat kepada mereka
sebagaimana hak yang telah diwajibkan bagi mereka.” (Mustadrak Al-Wasâil 15: 195)
Rasulullah saw pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib (sa): “Wahai Ali, barangsiapa yang membuat
sedih kedua orang tuanya, maka ia telah durhaka kepada mereka.” (Al-Wasail 21: 389; Al-Faqîh 4: 371)
Tingkatan Dosa durhaka pada orang tua
Rasulullah saw bersabda: “Dosa besar yang paling besar adalah syirik kepada Allah dan durhaka kepada
kedua orang tua…” (Al-Mustadrak 17: 416)
Rasulullah saw bersabda: “Ada tiga macam dosa yang akibatnya disegerakan, tidak ditunda pada hari
kiamat: durhaka kepada orang tua, menzalimi manusia, dan ingkar terhadap kebajikan.” (Al-Mustadrak
12: 360)
Rasulullah saw bersabda: “…Di atas setiap durhaka ada durhaka yang lain kecuali durhaka kepada orang
tua. Jika seorang anak membunuh di antara kedua orang tuanya, maka tidak ada lagi kedurhakaan yang
lain di atasnya.” (At-Tahdzib 6: 122)
Akibat-akibat durhaka kepada orang tua
Durhaka kepada orang tua memiliki dampak dan akibat yang luar bisa dalam kehidupan di dunia, saat
sakratul maut, di alam Barzakh, dan di akhirat. Akibat itu antara lain:
Dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla
Dalam hadis Qudsi Allah swt berfirman: “Sesungguhnya yang pertama kali dicatat oleh Allah di Lawhil
mahfuzh adalah kalimat: ‘Aku adalah Allah, tiada Tuhan kecuali Aku, barangsiapa yang diridhai oleh
kedua orang tuanya, maka Aku meri¬dhainya; dan barangsiapa yang dimurkai oleh keduanya, maka Aku
murka kepadanya.” (Jâmi’us Sa’adât, penghimpun kebahagiaan, 2: 263).
Menghalangi doa dan Menggelapi kehidupan
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “…Dosa yang mempercepat kematian adalah memutuskan
silaturrahmi, dosa yang menghalangi doa dan menggelapi kehidupan adalah durhaka kepada kedua
orang tua.” (Al-Kafi 2: 447)
Celaka di dunia dan akhirat
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar karena
Allah Azza wa Jalla menjadikan dalam firman-Nya sebagai anak yang durhaka sebagai orang yang
sombong dan celaka: “Berbakti kepada ibuku serta Dia tidak menjadikanku orang yang sombong dan
celaka, (Surat Maryam: 32)” (Man lâ yahdhurul Faqîh 3: 563)
Dilaknat oleh Allah swt
Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib (sa): “Wahai Ali, Allah melaknat kedua orang tua yang
melahirkan anak yang durhaka kepada mereka. Wahai Ali, Allah menetapkan akibat pada kedua orang
tuanya karena kedurhakaan anaknya sebagaimana akibat yang pasti menimpa pada anaknya karena
kedurhakaannya…” (Al-Faqîh 4: 371)
Ya Allah, jangan jadikan daku orang yang menyebabkan kedua orang tuaku dilaknat oleh-Mu karena
kedurhakanku pada mereka. Ya Allah, jadikan daku anak yang berbakti kepada kedua orang tuaku
sehingga Engkau sayangi mereka karena kebarbaktianku pada mereka.”
Duhai saudaraku, di sinilah letak hubungan erat yang tak terpisahkan antara kita dan kedua orang tua
kita. Betapa pentingnya menanamkan pendidikan akhlak yang mulia pada anak-anak kita, sehingga kita
meninggalkan warisan yang paling berharga yaitu anak-anak yang saleh, yang dapat mengalirkan
kebahagiaan dan kedamaian pada kita bukan hanya di dunia tetapi juga di alam Barzakh dan akhirat.
Dikeluarkan dari keagungan Allah swt
Imam Ali Ar-Ridha (sa) berkata: “Allah mengharamkan durhaka kepada kedua orang tua karena durhaka
pada mereka telah keluar dari pengagungan terhadap Allah swt dan penghormatan terhadap kedua
orang tua.” (Al-Faqih 3: 565)
Amal kebajikannya tidak diterima oleh Allah swt
Dalam hadis Qudsi Allah swt berfirman: “Demi Ketinggian-Ku, keagungan-Ku dan kemuliaan kedudukan-
Ku, sekiranya anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya mengamalkan amalan semua para Nabi,
niscaya Aku tidak akan menerimanya.” (Jâmi’us Sa’adât 2: 263).
Shalatnya tidak diterima oleh Allah swt
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang memandang kedua orang tuanya dengan
pandangan benci ketika keduanya berbuat zalim kepadanya, maka shalatnya tidak diterima.” (Al-Kafi 2:
349).
Tidak melihat Rasulullah saw pada hari kiamat
Rasulullah saw bersabda: “Semua muslimin akan melihatku pada hari kiamat kecuali orang yang durhaka
kepada kedua orang tuanya, peminum khamer, dan orang yang disebutkan nama¬ku lalu ia tidak
bershalawat kepadaku.” (Jâmi’us Sa’adât 2: 263).
Na’udzubillâh, semoga kita tidak tergolong kepada mereka yang tidak diizinkan untuk berjumpa dengan
Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa), karena hal ini harapan dan idaman bagi setiap muslimin dan
mukminin. Sudah tidak berjumpa di dunia, tidak berjumpa pula di akhirat. Na’udzubillâh, semoga kita
semua dijauhkan dari akibat ini.
Diancam dimasukkan ke dalam dua pintu neraka
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membuat kedua orang tuanya murka, maka baginya akan
dibukakan dua pintu neraka.” (Jâmi’us Sa’adât 2: 262).
Tidak akan mencium aroma surga
Rasulullah saw bersabda: “Takutlah kamu berbuat durhaka kepada kedua orang tuamu, karena bau
harum surga yang tercium dalam jarak perjalanan seribu tahun, tidak akan tercium oleh orang yang
durhaka kepada kedua orang tuanya, memutuskan silaturahmi, dan orang lanjut usia yang berzina…”
(Al-Wasâil 21: 501)
Menderita saat Saktatul maut
Penderitaan anak yang durhaka kepada orang tuanya saat sakratul mautnya pernah menimpa pada
salah seorang sahabat Nabi saw. Berikut ini kisahnya:

PT INDOLAKTO PANDAAN
Jl. Raya Lebaksari PO.BOX 37 Pandaan – Pasuruan 67156

Anda mungkin juga menyukai