Emergency Orthopedi Final
Emergency Orthopedi Final
PENDAHULUAN
1
menyebabkan nekrosis otot dan timbul cacat menetap volkmann ischemic
contracture.
Selain kasus open fraktur dan kompartemen sindrom, kejadian dislokasi dan
fractur dislokasi juga bisa ditemui di IGD. Pada keadaan normal cartilage mendapat
nutrisi dari cairan synovial yang berasal dari darah yang sudah tersaring eritrositnya,
terjadi diffusi masuk ke joint space bila terjadi mekanisme gerak sendi. Saat dislokasi
nutrisi terhenti. Cartilage yang mati sulit regenerasi. Penanganan dislokasi adalah
segera reposisi dan stabilisasi 2-3 minggu.
Selain kasus kasus di atas, lesi vasculer besar juga termasuk dalam emergency
orthopedics. Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri poplitea dan arteri
radialis, juga plexus vein sacral pada sacro iliac disruption atau unstable pelvis atau
fractur malgaigne. Kasus emergency ortopedic lain adalah septic arthritis. Pasien akan
mengalami panas badan , nyeri sendi sangat hebat bila digerakkan. Area yang sering
terkena septic artritis adalah sendi panggul (coxitis) dan lutut (gonitis). Pus yang ada
dalam sendi akan merusak sendi, bila tidak segera ditangani, maka arthrotomi pilihan
terapi septic artritis pada sendi yang rusak.
Dan, acute osteomyelitis merupakan kasus emergency ortopedics.
Osteomelitis akut menunjukkan gejala panas, nyeri bila extremitas yang mengalami
infeksi dipegang, tanda radang ( rubor, color , dolor , palor, functio laesa). Komplikasi
osteomelitis akut adalah sepsis. Lalu, fat emboli, unstable cervical spine, dan
traumatic amputasi juga merupakan kasus emergency ortopedics.
Fraktur pelvis dapat bersifat unstable apabila cincin pelvis mengalami
kerusakan pada 2 tempat atau lebih, biasanya terjadi karena high energy injury. Pada
daerah pelvis terdapat plexus plexus vena, jika ada trauma seringkali menyebabkan
pecahnya pembuluh darah ini, dan pendarahan baru berhenti jika cavum pelvis terisi
penuh dengan darah. Pada fraktur unstable, pendarahan tidak berhenti karena pelvis
tidak terfiksasi dengan sempurna.
Fat emboly sering terjadi 3-5 hari sesudah fraktur tulang panjang (femur &
tibia). Fat globule dari sumsum tulang masuk sirkulasi dan bila masuk ke otak akan
mengganggu kesadaran, serta bila masuk paru mengakibatkan sesak. Pertolongan fat
emboli adalah oxygenasi dengan PEEP (positive expirasi end pressure) respirator dan
heparin atau antikoagulan. Diharapkan dengan mengetahui penanganan awal kasus
emergency ortopedic dapat menyelamatkan nyawa (life threatening ) dan yang
menyelamatkan extremitas (save the limb).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. OPEN FRACTURE
Dikatakan fraktur terbuka jika terdapat hubungan antara daerah yang fraktur
dengan dunia luar, biasanya karena kulit di atasnya sudah tidak intak. Fraktur
merupakan terbuka emergensi bedah ortopedi, karena risiko untuk terjadinya infeksi
pada tulang yang fraktur tinggi. Komplikasi jangka panjang adalah terancamnya
fungsi tungkai, dan dalam kasus infeksi sistemik dapat mengancam jiwa (Budiman,
2010).
Manajemen fraktur awal adalah untuk mengontrol perdarahan, mengurangi nyeri,
mencegah iskemia-reperfusi cedera, dan mencegah kontaminasi serta infeksi misal benda
asing dan jaringan nonviable. Hal ini akan meminimalkan komplikasi yang mungkin dapat
terjadi (Buckley, 2012).
3
b. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka
Tantangan penatalaksanaan yang sulit pada fraktur terbuka telah dikenal
selama berabad-abad. Amputasi telah menjadi pengobatan menetap sampai
pertengahan abad ke 18, dimana teknik antiseptik mulai digunakan. Antiseptik,
bersama dengan debridement semua jaringan yang terkontaminasi dan
devitalisasi, membuktikan reduksi pertama pada mortalitas. Kemajuan serentak
pada profilaksis antibiotik, debridement agresif dan manajemen luka terbuka,
flap otot rotasional, transfer jaringan bebas, dan teknik cangkok tulang
memperlihatkan peningkatan yang dramatis pada kemampuan seorang dokter
untuk menangani fraktur terbuka berat sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan
bermotor dan luka tembak. Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat
yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi risiko infeksi.
Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan
restorasi fungsi anggota gerak (Rasjad, 2007).
4
terbuka grade I-II dapat diberikan internal fixasi, gips dengan window.
Sedangkan untuk grade III yaitu external fixasi, gips dengan window hingga
amputasi apabila organ tidak viable/beresiko menimbulkan mortalitas.
Kebanyakan cedera ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan
belat posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari busa
atau belat plastik kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan sebuah
selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera ekstremitas bawah
dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau bidai cetak posterior (Budiman,
2010).
5. Antibiotik dan analgetik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik
diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan sesudah tindakan
operasi.
6. Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan
tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan
pemberian toksoid tapi bagi yang belum,dapat diberikan 250 unit tetanus
imunoglobulin (manusia).
B. COMPARTMENT SYNDROME
Sindrom kompartemen akut terjadi ketika tekanan jaringan dalam
kompartemen otot tertutup melebihi tekanan perfusi dan menyebabkan otot dan
saraf iskemia. Ini biasanya terjadi setelah peristiwa traumatis, paling sering patah
tulang. Pilihan penanganan untuk sindrom kompartemen akut adalah dekompresi
dini (Rasul, 2012; Paula, 2011).
Berbagai sindroma kompartemen telah diuraikan untuk kedua ekstremitas
atas dan bawah. Uraian tersebut termasuk sindroma kompartemen pada bahu,
lengan atas, lengan bawah, tangan, bokong, paha, tungkai bawah, dan kaki.
Penyebab sindroma kompartemen beragam dan termasuk fraktur terbuka dan
fraktur tertutup, cedera arteri, luka tembak, gigitan ular, kompresi tungkai, dan
luka bakar (Paula, 2007).
Meningkatnya tekanan pada ruang fascia tertutup menyebabkan
menurunnya tekanan perfusi dan pada akhirnya cedera sel dan kematian neuron
5
dan jaringan otot. Mekanismenya sebagai berikut: hipoksia menyebabkan cedera
sel, melepaskan mediator, dan meningkatkan permeabilitas endotel yang
menyebabkan oedem, selanjutnya meningkatkan tekanan kompartemen, pH
jaringan menurun, lalu terjadi nekrosis, dan terlepasnya mioglobin. Tekanan
jaringan lebih besar dari tekanan kapiler; biasanya terlihat pada > 30 mmHg
tekanan intra-kompartemen. Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4 jam
beberapa mengatakan sampai 6 jam (Paula R. 2007).
Gambaran Klinis yang biasa ditimbulkan pada seseorang dengan
Sindroma Kompartemen yakni :
a. Nyeri yang melebihi kapasitas cedera
b. Pemeriksaan fisik: bukti ketegangan kompartemen, menurunnya perfusi
(pengisian kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi jaringan (mati rasa
dan lemah; nervus dan otot terlibat pada kompartemen yang terinfeksi)
c. Diagnosa pasti dengan mengukur tekanan kompartemen. (Paula R. 2007)
6
o Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun, pada tungkai
yang tekanannya meningkat atau terdapat penundaan pembedahan,
fasciotomi emergensi mungkin perlu dilakukan di departemen
emergensi.
o Pendekatan dua-insisi fasciotomi pada tungkai bawah merupakan
prosedur langsung dan dapat dipercaya, mengingat bahwa anatominya
mudah dipahami.
7
anterior penting harus dibarengi dengan disrupsi posterior yang bersesuaian.
Disrupsi cincin pelvis biasanya merupakan sebuah kombinasi fraktur dan cedera
ligament (Guthrie et al., 2010).
Biasanya penyebab perdarahan pada fraktur pelvis adalah dari pleksus
vena pelvis posterior dan perdarahan yang menghapus permukaan tulang. Sekitar
< 10% kasus perdarahan, disebabkan dari perdarahan arteri yang cukup dikenal.
Pengobatan awal harus berfokus pada kontrol perdarahan vena. Reduksi dan
stabilisasi pada dislokasi cincin pelvis membantu mencapai pengontrolan tersebut.
Reduksi akan mengurangi volume pelvis dan lakukan tampon pembuluh darah
yang mengalami perdarahan dengan cara kompresi viscera dan hematom pelvis.
Stabilisasi mempertahankan reduksi dan mencegah pergerakan hemipelvis,
mengurangi nyeri dan membatasi disrupsi gumpalan terorganisir. Reduksi dan
stabilisasi saja biasanya mengontrol perdarahan vena, maka pasien yang tidak
merespon manuver ini lebih mungkin mendapat perdarahan arteri (Guthrie et al.,
2010).
Penatalaksanaan disrupsi cincin pelvis dengan perdarahan:
a. Resusitasi cairan
b. Hentikan perdarahan, dengan
1) Direct pressure
2) Pemasangan stagen, pelvic sling, PASG
3) Terapi definitif:
c. Terapi definitif, pemasangan C-CLAMP.
d. Rujuk
D. DISLOKASI
8
Di IGD, perawatan biasanya melibatkan analgesia yang tepat, es, dan
elevasi. Dislokasi dari jari-jari kaki sering dapat dikurangi dengan anestesi lokal
(blok digital) di UGD dengan traksi longitudinal yang sederhana. Dislokasi dari
kaki pertama mungkin sulit untuk direduksi. Selain itu, metatarsophalangeal
pertama (MTP) dan dislokasi interphalangeal (IP) yang terbuka atau tidak dapat
direduksi memerlukan konsultasi ortopedi. Sebagian lainnya MTP dan IP
dislokasi mudah dikelola oleh dokter IGD.
E. TRAUMATIC AMPUTATION
Amputasi traumatik adalah hilangnya bagian tubuh biasanya jari, jari kaki,
lengan, atau kaki yang terjadi sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma. Sebuah
amputasi traumatik dapat melibatkan bagian tubuh, termasuk lengan, tangan, jari
tangan, kaki, jari kaki, telinga, hidung, kelopak mata dan alat kelamin. Anggota
tubuh bagian atas termasuk jari-jari (falang), tangan (metakarpal), pergelangan
tangan (carpals), lengan (radius/ulna), lengan atas (humerus), tulang belikat
(tulang belikat) dan tulang kerah (klavikula). Amputasi ekstremitas lebih dari 65%
dari traumatik amputasi, sementara orang yang dapat terlibat dalam amputasi
korban kebanyakan antara usia 15 dan sebagian besar korban 80% adalah laki-laki
utama (Pike, 2001).
Yang paling penting di sini adalah meminimalkan perdarahan, shock, dan
infeksi. Hasil jangka panjang untuk diamputasi telah meningkat karena
pemahaman yang lebih baik dari manajemen amputasi traumatik, darurat awal dan
manajemen perawatan kritis, teknik bedah baru, rehabilitasi awal, dan prostetik
baru. Teknik ekstremitas replantation baru telah cukup berhasil, tapi regenerasi
saraf tidak lengkap tetap menjadi faktor pembatas utama (Pike, 2001).
9
G. SEPTIC ARTHRITIS
Septic artritis adalah suatu proses inflamasi yang steril biasanya hasil dari
proses ekstra-artikular. Septic arthritis biasanya menyebabkan ketidaknyamanan
dan kesulitan menggerakkan sendi yang terkena (Yuliasih, 2009).
Tanda dan gejalanya antara lain:
a. Demam
b. Nyeri parah pada sendi yang terkena, terutama ketika menggerakkan sendi
c. Pembengkakan sendi yang terkena
d. Hangat di daerah sendi yang terkena
Penanganan awal yang dapat dilakukan pada pasien dengan arthrititis
septik yakni:
1. Drainase
Manajemen medis arthritis infektif berfokus pada drainase yang
memadai dan tepat waktu dari cairan sinovial yang terinfeksi, pemberian
terapi antimikroba yang tepat, dan imobilisasi sendi untuk mengontrol rasa
sakit (Brusch, 2011).
2. Antibiotik
Dokter harus mengidentifikasi bakteri yang menyebabkan infeksi
terlebih dahulu, baru kemudian memilih antibiotik yang paling efektif untuk
menargetkan bakteri. Antibiotik biasanya diberikan melalui pembuluh darah
vena di lengan pada awalnya. Pasien kemudian bisa beralih ke antibiotik oral.
Lama pengobatan antibiotik tergantung pada kesehatan, jenis bakteri yang
menginfeksi dan sejauh mana infeksinya. Biasanya, pengobatan berlangsung
sekitar dua sampai enam minggu (Brusch, 2011).
3. Mobilisasi sendi secara lembut
Setelah infeksi dapat dikontrol, dokter biasanya merekomendasikan
pasien melakukan gerakan lembut untuk menjaga fungsi sendi. Pergerakan
sendi dapat menjaga tubuh dari kekakuan sendi dan otot-otot. Gerakan juga
mendorong aliran darah dan sirkulasi yang membantu proses penyembuhan
tubuh (Yuliasih, 2009).
10
H. OSTEOMIELITIS AKUT
Osteomyelitis adalah proses inflamasi akut atau kronik pada tulang dan
struktur sekundernya karena infeksi oleh bakteri piogenik. Begitu diagnosis secara
klinis ditegakkan, ekstremitas yang terkena diistirahatkan dan segera berikan
antibiotik. Bila dengan terapi intensif selama 24 jam tidak didapati perbaikan,
dianjurkan untuk mengebor tulang yang terkena. Bila ada cairan yang keluar perlu
dibor dibeberapa tampat untuk mengurang tekanan intraostal. Cairan tersebut
perlu dibiakkan untuk menentuka jenis kuman dan resistensinya. Bila terdapat
perbaikan, antibiotik parenteral diteruskan sampai 2 minggu, kemudian diteruskan
secara oral paling sedikit empat minggu (Schwartz et al., 2000).
Penyulit berupa kekambuhan yang dapat mencapai 20%, cacat berupa
dekstruksi sendi, gangguan pertumbuhan karena kerusakan cakram epifisis, dan
osteomyelitis kronik (Schwartz et al., 2000).
Penanganan yang dilakukan di IGD antara lain:
1. Resusitasi cairan
2. Antibiotika.
5. Analgetik antipiretik
11
H. FAT EMBOLYSM SYNDROME
12
penting. FES merupakan self-limiting disease penatalaksanaan utamanya adalah
terapi suportif berupa:
1. Spontaneous ventilation
Penatalaksanaan awal hipoksia yang berkaitan dengan emboli lemak
adalah oksigenasi spontan. Oksigen diinhalasi menggunakan facemask dan
sistem aliran tingggi oksigen dapat digunakan untuk mendapatkan FIO2
(konsentrasi O2 yang diinpirasi) mencapai 50-80%.
13
I. UNSTABLE CERVICAL SPINE
Pengangkutan pasien cedera cervical dengan papan juga kerah semirigid,
dengan leher stabil pada sisi kepala dengan kantong pasir atau blok busa
diletakkan sisi kanan dan kiri leher. Jika malalignment tulang belakang
diidentifikasi, pasien di traksi skeletal sesegera mungkin (dengan sangat sedikit
pengecualian), bahkan jika tidak ada bukti defisit neurologis ada. Cedera tertentu
yang terlibat dan kemampuan manajemen konsultasi staf ahli lebih lanjut (Moira
Davenport,2008).
Penanganan pasien fraktur cervical di IGD:
1. Ambulasi, seperti 4 orang mengangkat balok.
o 1 orang memegang kepala dengan ekstensi dan traksi leher
o 1 orang mengangkat punggung
o 1 orang mengangkat pinggang dan paha
o 1 orang mengangkat tungkai bawah.
2. Di atas bed dengan alas datar dan keras
o Pasien diposisikan telentang.
o Pasang collar brace
o Letakkan kantong pasir bila perlu, untuk memfiksasi posisi pasien di bed.
o Ekstensi leher
3. Infus RL, beri analgetik, dan puasakan pasien
4. Lakukan prosedur diagnostik, misal rontgen.
5. Crutchfild, Glisson Traction 3-5 kg
6. Pindahkan ke bangsal.
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Emergensi ortopedi merupakan suatu keadaan yang dapat mengancam jiwa dan
hilangnya fungsi dari organ tertentu di bidang ortopedi, seperti ekstremitas dan
persendian. Emergensi ortopedi disampaikan sekitar 20% pasien yang datang ke rumah
sakit membutuhkan suatu penanganan atau tindakan awal yang cepat serta dibutuhkan
keterampilan seseorang dokter.
Pengetahuan dasar mengenai cedera ortopedi, pola fraktur, dislokasi, teknik
reduksi, dan teknik bidai, dibutuhkan untuk mengelola cedera serta pemahaman tentang
pembacaan radiologi, membuat dan menginterpretasikan suatu hasil radiologi yang
dibutuhkan dalam penanganan terhadap kasus emergensi ortopedi.
Beberapa emergensi ortopedi dalam lingkup dunia kedokteran yang menjadi
prioritas dan penanganan khusus, yaitu : open fracture, dislokasi, fraktur pelvic yang
tidak stabil, osteomyelitis akut, compartement syndrome, fraktur dengan cidera
vaskuler, traumatik amputasi, dan fat embolism syndrome
15
DAFTAR PUSTAKA
Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures. The
journal of bone and joint
surgery.http://www.jbjs.org.uk/media/29777/focuson_pelvic.pdf (29
Januari 2013)
Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone.
Makassar: 2007. pp. 352-489
16
Thomas M Schaller. 2012. Open fracture.
http://emedicine.medscape.com/article/1269242-overview#showall
Diakses tanggal 29 Januari 2013
Wofe WG, De Vries WC. 1975. Oxygen toxicity. Annu Rev Med 1975;26:203-
14.
17