Anda di halaman 1dari 7

Perbandingan Efikasi Sediaan Topikal Permethrin, Crotamiton, dan Salep Sulfur Sebagai Terapi

Skabies

Abstrak

Latar Belakang : Skabies merupakan infeksi ektoparasit, yang terjadi berdasarkan kontak langsung
dari kulit ke kulit. Modalitas penanganan terbaiknya masih belum sepenuhnya diketahui dan masih
sangat diperlukan penelitian lanjutan mengenai permasalahan ini. Tujuan dari penelitian ini yaitu
untuk membandingkan efikasi dan keamanan dari obat topikal skabisida : permetrin, crotamiton,
dan salep sulfur.

Metode : Lima puluh empat pasien dengan diagnosa skabies dibagi secara acak menjadi tiga
kelompok terapi. Pada kelompok pertama mendapatkan terapi krim permetrin 5% sebanyak dua kali
dengan jeda satu minggu, pasien pada kelompok kedua diberikan losion crotamiton selama dua hari
sebanyak dua kali dengan jeda satu minggu, sedangkan kelompok ketiga diberikan pengobatan
dengan salep sulfur 10% selama dua hingga tiga minggu. Seluruh pasien diamati pada minggu
pertama, kedua, keempat

Hasil : Pada pemantauan satu minggu angka kesembuhan secara signifikan lebih tinggi pada
kelompok yang diberikan pengobatan degan permetrin dibandigkan dengan kelompok krotamitron
(P<0,001) dan kelompok sulfur (P<0,001). Pada akhir minggu kedua, angka kesembuhan dengan
permetrin sebesar 100%, kelompok crotamitron sebesar 66,7% dan pada kelompok sufur 38,9%
(P<0.001).

Kesimpulan : Aplikasi agen topiklal permethin, crotamiton, dan sulfur memiliki efikasi yang sama
pada pemantauan di minggu ke-empat, meskipun begitu krim permethrin menunjukkan perbaikan
yang lebih cepat pada pemantauan pertama dan kedua. Pemakaian permethrin merupakan pilihan
yang cukup mahal sehingga losion crotamiton dapat menjadi alternatif karena harganya yang relatif
lebih terjangkau
Pendahuluan

Skabies merupakan peradangan kulit yang disebabkan oleh penularan parasit antara
manusia dan hewan lainnya. Penyakit ini disebabkan oleh parasit yang berukuran kecil dan
biasanya tidak dapat terlihat dengan mata telanjang, yaitu tungau Sarcoptes scabiei
(Goldust et al. 2013a). Skabies muncul di seluruh dunia dan dianggap sebagai
permasalahan kesehatan masyarakat yang meresahkan di negara berkembang. Terdapat
lebih dari 300 juta kasus skabies dilaporkan setiap tahun di seluruh dunia (Arif Maan et Al.
2015, Thomas dkk. 2015).

Prevalensi skabies berkisar dari 2,2% di Eropa dan Negara-negara Timur Tengah hingga
71% di Papua Nugini dengan insiden tertinggi infeksi ini ditemukan di daerah Pasifik dan
Wilayah Amerika Latin serta di daerah asli komunitas di Australia utara (McLean 2013,
Romani dkk. 2015). Skabies dapat timbul tanpa memandang usia, jenis kelamin, ras dan
kelas sosial, Namun, faktor risikonya dapat berupa kemiskinan, status gizi rendah,
tunawisma, demensia dan kebersihan yang buruk (Shimose dan Munoz-Prize 2013). Cara
penularannya terjadi melalui kontak langsung dari kulit-ke-kulit dengan individu yang
terinfeksi dan biasanya membutuhkan 15 hingga 20 menit kontak dekat untuk tperpindahan
sempurna tungau ke orang lain (Chosidow 2006). Gejala skabies biasanya muncul hingga 4
minggu setelah kontak awal (Shimose dan Munoz-Prize 2013). Skabies pada manusia
ditandai secara klinis oleh gatal dengan eksaserbasi pada malam hari dan disertai nodul
scabietic, dan liang kulit yang terlihat dapat menjadi pathognomic lesi skabies (Hicks dan
Elston 2009). Lokasi klasik dari liang tersebut berada di antar jari tangan, lentur permukaan
pergelangan tangan, siku, alat kelamin, ketiak, pusar, garis ikat pinggang, puting, pantat,
dan batang penis. Di antara populasi anak-anak, skabies juga bisa mempengaruhi kepala,
leher, wajah, telapak tangan dan telapak kaki (Andrews et al. 2009).

Terdapat berbagai metode untuk menegakkan diagnosis skabies yang cukup sensitif, hemat
biaya dan nyaman. "Baku emas" untuk diagnosis skabies pada manusia dengan 100%
spesifisitas adalah identifikasi tungau, telur, atau kotoran dari kerokan kulit yang terinfestasi
atau dengan ditemukannya liang tungau (Walter et al. 2011). Metode ini bergantung pada
lokasi fisik parasit pada pejamu, sehingga sensitivitasnya akan menurun seiring jumlah
tungau yang sedikit. Metode diagnosis alternatif untuk skabies seperti Polymerase Chain
Reaction (PCR), pemeriksaan mikroskopik KOH yang berasal dari kerokan kulit dan
dermoscopy, namun cara ini masih belum mudah diterapkan baik pada aparatur kesehatan
klinis maupun publik (Fukuyama et al. 2010, Park et al. 2012, Golant dan Levitt 2012).
Hingga saat ini tes immunodiagnostik untuk skabies belum tersedia, dan pemeriksaan pada
hewan yang ada tidak cukup sensitif (Rampton et al. 2013).

Penanganan skabies merupakan masalah yang relevan dalam bidang dermatologi infeksi
dan sama pentingnya dengan membuat diagnosis yang tepat. Skabies umumnya diobati
dengan berbagai obat-obatan yang disebut acaricides, namun penanganan terpilihnya
masih kontroversial dan penelitian untuk menemukan scabicide yang ideal masih
berlangsung. Obat yang ideal seharusnya efektif melawan stadium dewasa dan telur, mudah
diaplikasikan, tidak menyebabkan iritasi, tidak beracun dan ekonomis. Pengobatan andalan
untuk skabies adalah aplikasi topikal agen scabicidal, seperti krim permetrin 5%, losion
lindane 1% atau krim, benzyl benzoate 10% dan lotion 20% atau emulsi, krim crotamiton
10%, salep belerang endap 2–10%, ivermektin 0,8 % krim dan lainnya (Karthikeyan 2005).
Saat ini, pemberian ivermectin per oral semakin banyak digunakan (Mounsey dan McCarthy
2013). Meskipun terdapat ketersediaan terapi yang efektif, kegagalan pengobatan masih
banyak terjadi, terutama akibat dari cara pemakaian yang kurang tepat atau kegagalan
untuk dekontaminasi fomites (Golant dan Levitt 2012). Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk membandingkan efikasi dan keamanan permethrin 5% topikal cream vs crotamiton
lotion dan 10% sulfur salep dalam terapi pengobatan skabies.

Metode dan Bahan

Percobaan single bilnd dan acak ini dilakukan pada pasien yang baru didiagnosis skabies,
jenis kelamin apapun, berusia di atas 18 tahun dan secara sukarela setuju untuk
berpartisipasi dalam penelitian. Diagnosis penyakit didasarkan pada gejala klinis dan riwayat
klinis. Kriteria inklusi meliputi empat hal, seperti ditemukannya liang klasik, kehadiran khas
lesi scabietic di situs klasik (Gambar. 1), keluhan gatal pada malam hari dan riwayat
penyakit serupa dalam keluarga. Kriteria pengecualian termasuk usia di bawah 18 tahun,
sejarah alergi terhadap salah satu obat yang diteliti, sedang hamil maupun menyusui, wanita
berencana untuk konsepsi dalam waktu dekat karena adanya riwayat gangguan sistemik
berat, seperti gangguan jantung, gangguan sistem saraf, penyakit kejiwaan dan gangguan
imunosupresif. Responden dengan fungsi ginjal dan hati yang abnormal dan mengalami
penyakit menular kronis juga dikeluarkan dari kriteria percobaan.

Sebelum masuk ke penelitian, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik dan pendataan
mengenai riwayat penyakit para responden; serta pendataan mengenai riwayat pengobatan
antibiotik dan informasi lain. Responden dengan penyakit kulit kulit penyerta, yang dapat
mengganggu pemantauan skabies dan pasien dengan presentasi atipikal, dieksklusikan dari
percobaan. Tidak terdapat responden dalam percobaan yang telah menerima pengobatan
dengan pedikulicides, scabicides atau agen topikal lainnya pada bulan yang sama sebelum
percobaan.

Kelompok yang diamati terdiri dari total 54 pasien (22 pria dan 32 wanita) mulai dari usia 19
hingga 83 tahun. Para responden diberikan salah satu dari tiga kelompok perlakuan dengan
pengacakan sederhana. Semua peserta menerima informasi yang mendalam mengenai
cara pemberian yang tepat terhadap obat yang digunakan. Responden yang termasuk ke
dalam kelompok pertama (8 pria dan 10 orang perempuan) menerima aplikasi tunggal 5%
krim permetrin pada Hari 1 dan mereka diminta untuk meletakkan lapisan tipis krim ke
semua area dari tubuh termasuk wajah dan kulit kepala. Krim dibersihkan setelah 8 jam dan
aplikasi tunggal diulang 1 minggu nanti jika tungau hidup masih terlihat selama satu minggu
pemantauan. Kelompok kedua (7 pria dan 11 perempuan) diberi lotion crotamiton topikal
dan mereka diminta untuk mengaplikasikan obat ke seluruh permukaan kulit, bilas setelah
24 jam lalu diaplikasikan kembali untuk 24 jam kemudian. Prosedur ini diulang pada semua
individu sebanyak dua kali, dengan interval satu minggu. Ketika tidak ada perbaikan dalam
dua minggu, pengobatan kedua diberikan dengan salep sulfur 10%. Kelompok ketiga (7 pria
dan 11 wanita) menerima sulfur 10% salep untuk jangka waktu dua atau tiga minggu (jika
tidak ada obat pada 2 minggu tindak lanjut). Digunakan belerang endap sepuluh persen
dalam pelarut petroleum dan sama seperti obat topikal lainnya, digosokkan ke seluruh tubuh
mulai dari leher hingga ujung kaki. Responden diminta untuk mencuci salep setelah 24 jam
dan aplikasikan kembali setiap 24 jam selama dua (atau tiga) minggu dengan diselingi
mandi di antara setiap pemakaian. Pengobatan tersebut diberikan baik kepada responden
maupun anggota keluarga terdekat mereka, bahkan yang tanpa gejala, pada waktu
bersamaan. Responden dari penelitian ini juga diminta untuk tidak menggunakan baik obat
anti gatal maupun obat topikal lainnya.

Pada saat memasukkan data penelitian, parameter klinis yang ada akan dibandingkan dan
jumlah pasien di setiap kelompok perlakuan yang dinilai yang memiliki infestasi ringan,
sedang atau berat tidak berbeda secara statistik. Evaluasi klinis setelah pemberian obat
dilakukan oleh penyelidik berpengalaman yang tidak mengetahui terapi yang diterima oleh
responden. Responden pada ketiga kelompok ditindaklanjuti dalam interval 1, 2 dan 4
minggu untuk menilai kepatuhan dan untuk dilakukan pemeriksaan secara klinis untuk
mengevaluasi keampuhan dan keamanan terapi yang diberikan. Pada setiap penilaian,
peneliti mencatat jumlah lesi dan derajat gatalnya baik secara subjektif maupun objektif
seperti yang dijelaskan pada kunjungan pertama. Setiap efek samping yang timbul juga
dicatat. Pasien dianggap "Sembuh" jika tidak timbul lesi baru, terdapat perbaikan klinis pada
lesi kulit dan perbaikan dari gatal yang dinilai dengan skala analog visual. "Re-infestasi"
diasumsikan bahwa terdapat perbaikan setelah 2 minggu, namun timbul kembali lesi baru
pada 1 bulan pemantauan. Perawatan akan dianggap gagal jika pada akhir minggu ke 4
tidak ada perbaikan pada lesi kulit dan juga gatalnya.

Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Bioetika yang terpercaya (nomor KB 135 / 2014)
dan telah mendapatkan informed consent tertulis dari semua pasien.

Persentase perbaikan dibandingkan antar kelompok menggunakan uji χ2 diikuti oleh uji
Tukey pasca-hoc dan P <0,05 dianggap signifikan. Perangkat lunak SPSS (IBM SPSS
Statistics 21) (Chicago, IL, USA) digunakan untuk semua analisis.

HASIL

Pada satu minggu pemantauan dalam kelompok terapi permetrin, pengobatan tersebut
dinilai efektif pada 11 dari 18 pasien (61,1%) dan tidak tidak demikian pada kelompok
crotamiton dan sulfur (Gbr. 2). Selanjutnya, pada awal pemantauan terdapat tingkat
kesembuhan yang lebih tinggi secara signifikan setelah pengaplikasian tunggal Krim
permethrin 5% jika dibandingkan dengan penggunaan lotion crotamiton (P <0,001) dan 10%
salep sulfur (P <0,001). Di akhir interval minggu kedua, tingkat kesembuhan pada kelompok
permethrin meningkat menjadi 100% (setelah aplikasi berulang pada 7 pasien sisa yang
mengalami infestasi pada satu minggu pemantauan) dan setelah dua minggu pengobatan
tidak terdapat lagi pasien pada kelompok ini yang masih merasakan gatal dan lesi kulit.
Pada kelompok crotamiton, pada pengamatan kedua, tingkat kesembuhan mencapai 66,7%
(12 dari 18 pasien) dibandingkan dengan tingkat kesembuhan yang mencapai 38,9% (7 dari
18 pasien) pada kelompok yang diberikan salep sulfur (P <0,001). Setelah dua minggu
perawatan pada 17 pasien yang tersisa (6 dari kelompok crotamiton dan 11 dari kelompok
sulfur), yang masih memiliki lesi skabietik diobati dengan salep sulfur 10% untuk satu
minggu kemudian dan mereka telah sembuh seutuhnya setelah tiga minggu perawatan
(Gbr. 2). Sehingga, pada pengamatan minggu ke-empat pegobatan yang diterapkan efektif
pada semua individu yang diteliti.

Semua modalitas pengobatan yang digunakan dalam penelitian ini telah disetujui secara
kosmetik dan memiliki toleransi yang baik pada semua pasien. Tidak ada responden yang
mengalami reaksi alergi dan tidak terdapat reaksi efek samping utama yang ditemukan pada
kelompok manapun. Efek samping utama tersebut seperti kulit kering, didapatkan dari
responden yang diberikan salep sulfur selama dua minggu, tetapi hal tersebut tidak terlalu
serius dan tidak mempengaruhi kepatuhan. Tidak ada responden yang mengalami
perburukan gejala selama penelitian, namun terdapat re-infestasi pada dua pasien yang
diobati dengan salep sulfur dalam satu bulan pemantauan.

DISKUSI

Penelitian kami membandingkan pemakaian krim permetrin 5% dengan lotion crotamiton


dan salep sulfur 10%. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa krim permetrin 5%
merupakan yang paling efektif dalam 1 minggu pemantauan untuk mengobati skabies, hal
tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang telah melaporkan tingkat penyembuhan
yang sangat baik dengan permethrin. Dalam penelitian kami, aplikasi tunggal permethrin
menghasilkan perbaikan pada 61,1% pasien, sementara pada penelitian yang dilakukan
oleh Usha dan Gopalakrishnan (2000) memiliki keberhasilan jumlah pasien yang lebih tinggi
(97,8%) pada pada satu minggu pemantauan. Bachewar et al. (2009) menemukan bahwa
pada satu minggu pemantauan, permethrin secara signifikan memiliki tingkat kesembuhan
yang lebih baik daripada ivermectin, tetapi pada akhir pengobatan dua minggu hasil temuan
ini terbalik. Taplin et al. (1990) dalam double-blinded, penelitian acak membandingkan krim
crotamiton 10% dan krim permetrin 5% untuk pengobatan skabies pada anak dengan usia 2
bulan ke 5 tahun. Dua minggu setelah pengobatan dalam satu malam, 30% anak-anak
sembuh dengan permethrin, hasil tersebut berbanding terbalik pada 13% dari subyek yang
diobati dengan crotamiton. Empat minggu setelah pengobatan, kemanjuran permethrin
masih signifikan secara statistik dan agen ini juga menunjukkan efektivitas yang lebih besar
dalam mengurangi gatal dan infeksi bakteri sekunder. Satu kali pemakaian krim permetrin
5% dalam semalam lebih unggul daripada dosis tunggal ivermectin oral (Usha dan
Gopalakrishnan 2000). Permethrin memiliki sifat baik mitisidal dan juga ovisidal yang
membuatnya lebih efektif dari crotamiton, yang meskipun efektif untuk tahap dewasa
tungau, tidak diketahui efektivitasnya dapat membasmi stadium telur dan larva. Dengan
demikian, aplikasi tunggal crotamiton mungkin tidak akurat untuk membasmi parasit dan
dosis kedua diperlukan dalam 1 hingga 2 minggu untuk menyembuhkan 100%.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Pourhasan et al. (2013) menunjukkan bahwa
pengobatan skabies dengan krim permetrin 5% akan sama efektifnya dengan 10% krim
crotamiton pada dua minggu pemantauan. Dalam penelitian kami, pada pemantauan kedua
tingkat penyembuhan untuk kelompok permetrin yaitu sebesar 100% dan dalam kelompok
crotamiton sebesar 66,7%, sementara setelah 4 minggu, dianggap sebagai titik definitif
untuk mengevaluasi keberhasilan pengobatan yang diterapkan, krim permethrin 5%
dianggap setara dengan lotion crotamiton dan salep sulfur 10% dalam mengobati skabies.
Hal ini sesuai dengan beberapa laporan mengenai khasiat pengobatan yang sebanding
dengan krim permethrin dan scabisida lainnya, seperti topikal 1% ivermectin (Goldust et al.
2013b), Tenutex topikal emulsi (mengandung antara lain disulfiram dan benzyl benzoate)
(Goldust et al. 2013c) serta ivermectin oral (Ranjkesh et Al. 2013). Sharma dan Singal
(Sharma dan Singal 2011) dalam penelitian acak double-blind control mengevaluasi
keampuhan dan keamanan dari permethrin 5% topikal dan ivermectin oral dalam rejimen
tunggal dan dua dosis dalam pengobatan skabies. Berdasarkan penelitian mereka
terungkap bahwa semua modalitas tiga pengobatan memiliki khasiat yang sama pada akhir
4 minggu pengobatan. Lebih lanjut, Chhaiya dkk. (2012) mengungkapkan bahwa lotion
ivermectin 1% topikal memiliki efektifitas yang setara dengan permethrin 5%, tetapi secara
signifikan lebih efektif daripada ivermectin oral. Di lain pihak, Abedin et al. (2007)
menemukan pengobatan masal skabies dengan 2 dosis ivermectin oral pada populasi
pediatrik endemik lebih berkhasiat daripada penggunaan tunggal permethrin 5% topikal.
Ivermectin oral juga menyembuhkan secara signifikan dengan tingkat yang lebih baik dari
lindane 1% lotion pada pemantauan minggu ke-empat (Mohhebipour et al. 2013). Para
penulis menganjurkan bahwa ivermectin oral dapat menjadi pengobatan alternatif pada
pasien dengan skabies, sebagai alternatif karena pengobatan topikal dapat menyebabkan
masalah kulit yang serius dan gangguan sistemik pada individu tertentu. Ivermectin
umumnya dianggap seefektif permetrin dan lebih efektif daripada obat lain, seperti lindane,
benzyl benzoate, crotamiton and malathion (Panahi et. 2015). Lebih lanjut, Miyajima dkk.
(2015) menjelaskan metode baru untuk pengobatan skabies yang disebut "Metode mandi
seluruh tubuh". Dalam metode ini, pasien akan memandikan diri mereka di dalam cairan
yang mengandung ivermectin pada konsentrasi yang efektif.

Pemilihan obat sering didasarkan pada preferensi pribadi dokter, ketersediaan obat, dan
biaya yang harus dibayarkan pasien, daripada bukti medis yang ada (Wolf dan Davidovici
2010). Dalam penelitian ini, 100% Angka kesembuhan didapatkan pada ketiga kelompok
studi yang diteliti setelah satu bulan pengobatan yang menunjukkan bahwa semua
modalitas yang diterapkan memiliki keberhasilan yang sama. Namun, krim permethrin
memiliki onset aksi yang lebih cepat seperti pada pemantauan pertama, pasien dari
kelompok permethrin dilaporkan memiliki perbaikan yang lebih baik daripada pasien yang
menerima pengobatan dengan crotamiton dan salep sulfur. Permetrin merupakan akarisida
lini pertama di banyak negara karena efektivitasnya yang tinggi melawan tungau dan
toksisitas mamalia yang rendah. Satu perawatan dengan krim permethrin biasanya efektif
dalam memberantas skabies, tetapi beberapa ahli merekomendasikan pemberian ulang
dalam satu minggu kemudian (Strong and Johnstone 2007). Keterbatasan yang signifikan
dalam penggunaan permethrin sebagai pengobatan skabies adalah biayanya, karena
permetrin merupakan obat yang paling mahal dari semua scabisida topikal (Roos et al.
2001). Crotamiton (crotonyl- N-etil-o-toluidin) sebagai losion 10% atau krim disetujui untuk
digunakan pada orang dewasa dengan skabies (Pourhasan et al. 2011). Hasil terbaik
tampaknya diperoleh saat obat diterapkan dua kali sehari selama lima hari berturut-turut
setelah mandi dan berganti pakaian. Goldust dkk. (2014) menunjukkan bahwa penerapan
crotamiton sama efektifnya dengan dosis tunggal invermectin pada pemantauan setelah dua
minggu. Namun, beberapa penulis tidak merekomendasikan crotamiton karena kurangnya
keampuhan dan adanya data mengenai toksisitasnya (Meinking 1999). Sulfur, digunakan
sebagai salep (2% -10%), merupakan scabicide tertua yang telah digunakan (Karthikeyan
2005). Salep sulfur topikal terlihat berantakan, berbau tidak sedap, membuat noda pada
pakaian, dan dalam cuaca yang panas dan lembab dapat menyebabkan dermatitis iritan.
(Taplin dan Meinking 1988). Namun memiliki keuntungan dari harganya yang murah dan
menjadi satu-satunya pada pasien yang memiliki kesulitan biaya. Selain itu, sulfur
merupakan agen yang aman digunakan dalam perawatan bayi, anak-anak, dan ibu hamil
(Chosidow 2006) Sharquie dkk. (2012) mengevaluasi regimen terapi topikal tunggal sulfur
endap dalam petroleum 8% dan 10% selama satu hari, tiga malam berturut-turut atau tiga
hari berturut-turut pada total 97 pasien dengan skabies dan mereka mengungkapkan bahwa
pada pemberian satu hari jauh lebih efektif daripada perawatan tiga hari. Dalam kelompok
peserta yang diberikan pengobatan selama satu hari, hanya 42,4% peserta yang
memberikan jawaban kepada manajemen, sedangkan dalam kelompok yang diberikan salep
sulfur selama tiga malam berturut-turut didapati respon sebesar 90,6% dan pada mereka
yang menerima perawatan untuk tiga hari berturut-turut adalah 96,9% pasien. Namun, pada
pasien yang mendapat pengobatan hanya satu dosis belerang salep memiliki efek samping
lebih sedikit. Dalam penelitian kami, 10% salep sulfur efektif pada 6 dari 18 pasien setelah
dua minggu perawatan dan terdapat sisa 11 pasien setelah tiga minggu pemberian harian.
Meskipun obat ini memiliki toleransi yang baik pada sebagian besar pasien utama masalah
scabicides topikal, belerang hidup salep, adalah persyaratan untuk aplikasi berulang karena
keampuhannya yang relatif rendah. Di sisi lain, biayanya masih terendah.

Penelitian kami juga mengevaluasi keamanan dari pemakaian berbagai agen topikal dalam
pengobatan skabies. Oberoi et al. (2007) menemukan bahwa efek aplikasi topikal losion
lindane 1% dan krim permetrin 5% pada keseimbangan oksidan-antioksidan dalam darah
pasien dengan skabies dan mereka menemukan bahwa permethrin, bertolak belakang
dengan lindane, tidak menunjukkan perubahan signifikan dalam penanda stres oksidatif.
Obat yang digunakan pada responden yang diteliti dari ketiga kelompok tersebut dapat
ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dan tidak terdapat efek samping serius
yang terjadi dalam perjalanan pengobatan, hal ini menunjukkan bahwa semua agen yang
diteliti aman dan tidak beracun.

KESIMPULAN

Pemakaian topikal krim permetrin 5%, losion crotamiton, dan salep sulfur 10% memiliki
efikasi yang sama pada pemantauan selama satu bulan. Namun, pembersihan sempurna
dari lesi skabies berlangsung lebih awal dengan pemberian kelompok permetrin
dibandingkan dengan pemberian crotamiton dan sulfur. Tidak terdapat efek samping dan
infeksi berulang berdasarkan pengamatan baik setelah pemberian permetrin maupaun
crotamiton. Meskipun nampaknya permetrin menjadi obat paling efektif dalam terapi
skabies, biayanya lebih mahal untuk pasien dibandingkan dengan krim lain yang biasa
beredar. Sehingga, kami menyimpulkan bahwa crotamiton merupakan alternatif yang lebih
hemat biaya disamping permetrin dengan tingkat keberhasilan yang dapat diterma dalam
penanganan infeksi Sarcoptes scabiei.

Anda mungkin juga menyukai