Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Jakarta berkembang sangat pesat. Lebih dari 18,6 juta kendaraan pribadi di Jakarta.
Pengguna angkutan umum di Ibu Kota baru mencapai angka 24 persen. Ada sekitar 47,5
pergerakan orang di Jabodetabek. BPS DKI Jakarta pada 2015 mencatat setiap hari ada sekitar
1,4 juta pelaju dari daerah sekitar Ibu Kota. Kecenderungan perluasan di wilayah Jakarta-
Bodetabek yang pesat dan kurang terkendali secara signifikan meningkatkan biaya transportasi,
mengurangi tingkat mobilitas, dan menurunkan kualitas hidup. Perluasan yang pesat dan tidak
terkendali dari kota Jakarta dan Bodetabek tersebut sebagian besar berwujud permukiman
berlantai rendah (hampir 64 persen total wilayah Jakarta) dan gedung-gedung berlantai rendah
yang menyebabkan habisnya persediaan lahan di Jakarta. Sebagai dampak dari fenomena ini,
Jakarta saat ini tidak memiliki cukup ruang untuk pembangunan di masa depan. Membangun
kota Jakarta secara ekstensif horizontal dengan hanya mengandalkan jaringan jalan raya dan
kendaraan pribadi akan mengakibatkan kota berkembang semakin besar, tidak efisien, boros,
dan tidak terkendali. Akibat terburuk adalah kelas menengah produktif semakin terpinggirkan
ke luar kota sehingga menimbulkan ketimpangan sosial baik di dalam kota maupun di luar kota.
Selain itu, ruang terbuka semakin hilang dan infrastruktur kota tidak dapat mengejar kecepatan
perluasan kota sehingga mengakibatkan pelayanan publik merosot jauh di bawah standar.
Ironinya, para penghuni dan pelaju terpaksa mengeluarkan biaya hidup yang semakin lama
semakin tinggi tanpa disertai peningkatan layanan publik yang pantas.

Tiba saatnya Jakarta mengubah paradigma pembangunannya dengan tidak lagi


berorientasi pada kendaraan pribadi khususnya mobil melainkan lebih berorientasi pada pejalan
kaki dan kendaraan umum massal. Perubahan tersebut tidak hanya berhenti di penyediaan sistem
transportasi massal yang memadai namun juga konsep pembangunan kota yang memberikan
kemudahan dan kenyamanan bagi penghuninya, termasuk pentaan kawasan, arus penumpang,
dan integrasi antarmoda. Persoalan tersebut yang mendorong PT. MRT Jakarta untuk
mengembangkan konsep kawasan berorientasi transit atau transit oriented development (TOD)
di beberapa stasiun yang ada di fase 1 koridor selatan – utara. TOD merupakan area perkotaan
yang dirancang untuk memadukan fungsi transit dengan manusia, kegiatan, bangunan, dan ruang
publik yang bertujuan untuk mengoptimalkan akses terhadap transportasi publik sehingga dapat
menunjang daya angkut penumpang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu MRT ?
2. Apa Manfaat Kehadiran MRT di Jakarta ?
3. Apakah Perbedaan MRT, Monorel dan LRT ?
4. Berapa Biaya Pembangunan MRT ?
5. Rute yang dilalui MRT ?
6. Bagaimana Pembangunan Infrastruktur MRT ?
7. Bagaimana Sistem Persinyalan MRT ?

BAB II
ISI

2.1 Pengertian MRT


MRT (Mass Rapid Transit) adalah suatu sistem tranportasi perkotaan yang mempunyai
tiga kriteria utama, mass (daya angkut besar), rapid (waktu tempuh cepat dan frekuensi
tinggi), dan transit (berhenti di banyak stasiun di titik utama perkotaan). MRT (mass rapid
transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang mampu mengangkut
penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi dan kecepatan yang sangat
tinggi (rapid).
MRT Jakarta memiliki dimensi panjang 20 meter, lebar 2,9 meter, dan tinggi 3,9 meter.
Didominasi oleh warna biru dan abu-abu metalik, badan kereta terbuat dari bahan baja antikarat
(stainless steel) dengan berat kosong per satu kereta mencapai 31 hingga 35 ton. Kereta yang
dibuat oleh Nippon Sharyo, Jepang ini didesain agar memiliki kapasitas angkut maksimum 332
orang per kereta. Di fase 1, PT MRT Jakarta menyediakan 16 rangkaian kereta (satu rangkaian
terdiri dari enam kereta), sehingga kapasitas angkut satu rangkaian mencapai 1.950 orang per
rangkaian. Dalam operasionalisasinya, perusahaan memperkirakan akan mengangkut lebih dari
174 ribu orang setiap harinya dengan headway atau rentang waktu antarkereta lima menit pada
jam sibuk, dan sekitar sepuluh menit di luar jam sibuk.
Interior kereta dilengkapi dengan penyejuk ruangan, dua CCTV, hand straps, kursi
prioritas, dan area khusus kursi roda. Bahan material tempat duduk terbuat
dari fiber reinforced plastic (FRP) yang tahan api dengan ukuran lebar 43 cm dan kedalaman 42
cm. Passenger information display (PID) tersedia di setiap kereta sebagai panduan bagi
penumpang untuk mengetahui lokasi stasiun pemberangkatan dan tujuan. Dari aspek
keselamatan, setiap kereta juga dilengkapi dengan alat pemadam api ringan (APAR) dan
pembuka pintu dalam kondisi darurat. Di dalam kereta tersedia interkom darurat yang terhubung
dengan masinis di ruang kabin dan Operation Control Center (OCC).
Terdapat delapan buah pintu di setiap kereta dengan tinggi 1,8 meter dan lebar 1,3 meter
serta pintu penghubung antarkereta di ujung tiap kereta. Pintu darurat terletak di kabin masinis.
Jendela kereta terdiri dari dua jenis, yaitu fix window dan opening window yang dapat
diturunkan dalam kondisi darurat. Bahan jendela terbuat dari safetyglass yang mampu
menyerap panas. [NAS]

2.2 Manfaat Kehadiran MRT


Manfaat langsung dioperasikannya sistem MRT ini adalah mampu mengurangi
kepadatan kendaraan di jalan karena dengan adanya MRT diharapkan dapat mengalihkan
masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi ke transportasi missal.
Pembangunan MRT Jakarta juga diharapkan mampu memberi dampak positif lainnya
bagi Jakarta dan warganya antara lain:
- Mengurangi penggunaan kendaraan, kemacetan jalan, dan polusi udara

- Pembangunan yang mendukung berjalan kaki serta gaya hidup sehat dan aktif

- Meningkatkan akses terhadap kesempatan kerja dan ekonomi

- Berpotensi menciptakan nilai tambah melalui peningkatan nilai properti

- Meningkatkan jumlah penumpang transit dan keuntungan dari penjualan tiket

- Menambah pilihan moda pergerakan kawasan perkotaan

- Penurunan waktu tempuh & meningkatkan


Pengembangan MRT dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi persoalan
perangkutan di kota-kota besar tersebut. Keunggulan sistem ini ialah kemampuannya
mengangkut penumpang dalam jumlah besar, cepat, dan dapat diandalkan dalam berbagai
situasi. Dengan mempergunakan MRT, ruang jalan akan jauh lebih efisien karena penggunaan
kendaraan pribadi dapat diminimalisasi.
2.3 Perbedaan MRT, KRL dan LRT
MRT (Mass Rapid Transit) adalah suatu sistem tranportasi perkotaan yang mempunyai
tiga kriteria utama, mass (daya angkut besar), rapid (waktu tempuh cepat dan frekuensi
tinggi), dan transit (berhenti di banyak stasiun di titik utama perkotaan).
KRL (Kereta Rel Listrik) merupakan kereta yang sarana geraknya dari energi listrik
sebagai sumber daya penggeraknya, yang artinya dalam operasi normal KRL bersifat mandiri
tidak memerlukan lokomotif sebagai penarik geraknya.
LRT (Light Rail Transit) adalah salah satu sistem kereta penumpang yang beroperasi
dikawasan perkotaan yang konstruksinya ringan dan bisa berjalan bersama lalu lintas lainnya
dalam lintasan khusus.
Perlintasan :
- MRT : Rel MRT umumnya merupakan kombinasi rel layang dan rel bawah tanah
- KRL : Rel berada dibawah permukaan tanah
- LRT : Rel LRT Semua berupa rel layang
Jumlah Rangkaian Kereta :
- MRT : 6 rangkaian gerbong
- KRL : 8 – 10 rangkaian gerbong
- LRT : 4 rangkaian gerbong
Kapasitas Penumpang :
- MRT : 1950 orang
- KRL : 2000 orang
- LRT : 600 orang

2.4 Biaya Pembangunan MRT


Proyek Pembangunan MRT dibiayai oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta serta didukung oleh dana pinjaman Pemerintah Jepang melalui Japan International
Cooperation Agency (JICA) dengan total nilai investasi sebesar 17 trilliun rupiah. Dukungan
JICA diberikan dalam bentuk pinjaman penyediaan dana pembangunan. Komitmen yang telah
diberikan JICA adalah sebesar ¥ 125,237,000,000,-, sedangkan loan agreement yang telah
diberikan sebesar ¥50,019,000,000,- terdiri dari Loan Agreement No. IP-536 sebesar ¥
1,869,000,000,- dan Loan Agreement No. IP-554 sebesar ¥ 48,150,000,000,-, serta Loan
Agreement No. IP-571 sebesar ¥ 75,218,000,000,-. Dana pinjaman JICA yang telah diterima
Pemerintah Pusat diterushibahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dokumen anggaran
(APBN) yang berkaitan pinjaman berada pada Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan, Direktorat Pembiayaan dan Kapasitas Daerah, Sub Direktorat Hibah
Daerah, dengan nama program dan kegiatannya adalah Program Pengelolaan Hibah Negara
dengan Kegiatan Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah LN sebagai hibah kepada Pemerintah
Daerah. Executing agency adalah Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta sebagai implementing agency akan mencatat sebagai penerimaan dan pengeluaran dalam
APBD, menempatkan dokumen pelaksanaan anggaran kegiatan pembangunan MRT pada Badan
Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta dengan nama Program dan Kegiatan
Penyertaan Modal (Pembiayaan/Investasi) Pemerintah DKI Jakarta kepada PT MRT Jakarta.

2.5 Rute yang dilalui MRT


Sebagian dari konstruksi jalur MRT Jakarta merupakan struktur layang (Elevated) yang
membentang ± 10 km; dari wilayah Lebak Bulus hingga Sisingamangaraja. Dari rute tersebut,
terdapat 7 Stasiun Layang, yaitu Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok
M dan Sisingamangaraja. Sementara Depo kereta api dibangun di area Lebak Bulus, berdekatan
dengan stasiun awal/akhir Lebak Bulus. Seluruh stasiun penumpang dan lintasan dibangun
dengan struktur layang yang berada di atas permukaan tanah, sementara Depo kereta api
dibangun di permukaan tanah (on ground).
Konstruksi bawah tanah (Underground) MRT Jakarta membentang ± 6 km, yang terdiri dari
terowongan MRT bawah tanah dan enam stasiun MRT bawah tanah, yang terdiri dari Stasiun
Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, Bundaran Hotel Indonesia. Metode
pengerjaan konstruksi bawah tanah menggunakan TBM (Tunnel Boring Machine) tipe EPB
(Earth Pressure Balance Machine), dengan pembagian koridor paket pengerjaan terbagi menjadi
tiga: CP 104, CP 105 dan CP 106.

2.6 Pembangunan Infrastruktur MRT


Pembangunan konstruksi fase 1 proyek kereta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta
dimulai pada 10 Oktober 2013 ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden RI Joko
Widodo. Pada koridor 1 ini, telah dibangun jalur kereta sepanjang 16 kilometer yang meliputi
10 kilometer jalur layang dan enam kilometer jalur bawah tanah. Tujuh stasiun layang tersebut
adalah Lebak Bulus (lokasi depo), Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan
Sisingamangaraja. Depo akan berada di kawasan Stasiun Lebak Bulus. Sedangkan enam
stasiun bawah tanah dimulai dari Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas,
dan Bundaran Hotel Indonesia.
Pengerjaan konstruksi dibagi dalam enam paket kontrak yang dikerjakan oleh kontraktor
dalam bentuk konsorsium (joint operation), yaitu:
 CP101 – CP102 oleh Tokyu – Wijaya Karya Joint Operation (TWJO) untuk area Depot
dan Stasiun Lebak Bulus, Fatmawati, dan Cipete Raya.

 CP103 oleh Obayashi – Shimizu – Jaya Konstruksi (OSJ) untuk area Haji Nawi, Blok A,
Blok M, dan Sisingamangaraja.

 CP104 – CP105 oleh Shimizu – Obayashi – Wijaya Karya – Jaya Konstruksi Joint Venture
(SOWJ JV) untuk area transisi, Senayan, Istora, Bendungan Hilir, dan Setiabudi.

 CP106 oleh Sumitomo – Mitsui – Hutama Karya Join Operation (SMCC – HK JO) untuk
area Dukuh Atas dan Bundaran Hotel Indonesia.

Sedangkan untuk pengerjaan CP107 untuk sistem perkeretaapian (railway system) dan
pekerjaan rel (trackwork) oleh Metro One Consortium (MOC) yaitu Mitsui & Co. – Tokyo
Engineering Corporation – Kobe Steel, Ltd – Inti Karya Persada Tehnik) dan CP108 untuk
rolling stock oleh Sumitomo Corporation.
Konstruksi Layang (Elevated Section)
Sebagian dari konstruksi jalur MRT Jakarta merupakan struktur layang (Elevated) yang
membentang ±10 km; dari wilayah Lebak Bulus hingga Sisingamangaraja. Tujuh Stasiun
Layang konstruksi ini adalah Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok
M dan Sisingamangaraja. Depo kereta api dibangun di area Lebak Bulus, berdekatan dengan
stasiun awal/akhir Lebak Bulus. Seluruh stasiun penumpang dan lintasan dibangun dengan
struktur layang yang berada di atas permukaan tanah, sementara Depo kereta api dibangun di
permukaan tanah (on ground).
Tipe struktur layang yang akan digunakan adalah Tiang Tunggal (Single Pier) pada bagian
bawah serta Gelagar Persegi Beton Pracetak (Precast Concrete Box Girder) pada bagian atas.
Ketinggian gelagar dari permukaan jalan telah memperhitungkan persyaratan minimal jarak
bebas vertikal (vertical clearance) 5,0 meter sesuai peraturan yang berlaku untuk jalan
perkotaan. Pekerjaan Konstruksi Layang MRT Jakarta terdiri dari tiga paket, yaitu Contract
Package (CP) 101, CP 102 dan CP 103.
Konstruksi Bawah Tanah (Underground)
Konstruksi bawah tanah (Underground) MRT Jakarta membentang ± 6 km, yang terdiri
dari terowongan MRT bawah tanah dan enam stasiun MRT bawah tanah. Stasiun bawah tanah
ini adalah Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, dan Bundaran Hotel
Indonesia. Metode pengerjaan konstruksi bawah tanah menggunakan TBM (Tunnel Boring
Machine) tipe EPB (Earth Pressure Balance Machine), dengan pembagian koridor paket
pengerjaan terbagi menjadi tiga: CP 104, CP 105 dan CP 106.
2.7 Sistem Persinyalan MRT
Sistem persinyalan adalah salah satu faktor penting dalam operasionalisasi kereta.
Meskipun tidak terlihat oleh penumpang, sistem tersebut mempengaruhi tingkat kenyamanan
dan keamanan pengguna kereta. Oleh karena itu, PT MRT Jakarta akan menggunakan sistem
persinyalan Communication-Based Train Control (CBTC) dalam pengoperasian 16 set
keretanya.
Communication-Based Train Control (CBTC) atau Sistem Kendali Kereta Berbasis Komunikasi
merupakan sistem persinyalan kereta dengan frekuensi radio (RF) sebagai komunikasi data
antarberbagai subsistem yang terintegrasi, sesuai dengan standar IEEE 1474.1 hingga 1474.4.
Sistem ini menggunakan moving block dengan aspek sinyal yang berada pada kabin masinis
(cabin driver).
Pada kabin masinis, terdapat Driver Machine Interface (DMI) yang berfungsi untuk
memunculkan indikasi terkait sinyal yang ditampilkan oleh sistem CBTC. Dengan
menggunakan moving block dimungkinkan blok kereta yang fleksibel, berubah-ubah, dan
bergerak sesuai dengan pergerakan kereta dan parameternya sehingga operator dapat mengetahui
lokasi kereta dengan lebih akurat dan mengatur jumlah kereta yang beroperasi.
Hasilnya, headway atau jarak antarkereta dapat diatur lebih dekat namun tetap dalam jarak aman.
Dengan kata lain, CBTC memungkinkan untuk memendekkan ruang antarsatu set kereta tanpa
menimbulkan risiko tabrakan. Bagi pengguna, jarak singkat antarkereta, ketepatan jadwal kereta,
dan kapasitas angkut yang besar adalah hal utama dalam menggunakan transportasi massal.
Sistem ini berbeda dengan sistem Fixed Block (konvensional) yang digunakan oleh
kereta di Indonesia saat ini di mana track dibagi per section/block yang tidak memberikan
informasi akurat tentang posisi atau lokasi kereta yang sedang bergerak. Dalam satu blok hanya
boleh terdapat satu kereta, jarak antarblok umumnya adalah satu kilometer, sehingga kapasitas
lintas menjadi terbatas.
Sistem persinyalan CBTC dibagi menjadi empat bagian penting, yaitu peralatan Automatic Train
Supervisory (ATS)yang berada di Operation Control Center (OCC), peralatan Wayside di
sepanjang jalur kereta, peralatan On-board yang berada di dalam kereta, dan jaringan data
komunikasi yang menghubungkan antara peralatan Waysidedan On-board. CBTC menggunakan
tiga fungsi filter (TDMA, FDMA, CDMA) untuk menjamin keandalan dan keamanan
komunikasi CBTC dari komunikasi luar yang dapat mengganggu persinyalan kereta. Di sistem
persinyalan MRT Jakarta, Wayside Signal hanya akan digunakan di area workshop di dalam
Depo kereta berupa sinyal langsir. Pada Main Line, Wayside Radio Set (WRS) berada di
sepanjang jalur kereta untuk menjaga agar komunikasi antara Operation Control Center (OCC)
dan kereta selalu terhubung.
Peralatan CBTC yang ada di rel juga tahan air dan mudah untuk dipindahkan bila sedang
dalam perawatan/maintenance atau dalam kondisi darurat. CBTC juga menyediakan
informasi real time posisi kereta bagi penumpang. Sistem persinyalan ini juga akan menghemat
biaya pemeliharaan karena perlengkapan sistem yang ada di sepanjang jalur tidak sebanyak fixed
block. Berdasarkan komunikasi data nirkabel, CBTC cocok untuk sistem persinyalan kereta di
area urban yang membutuhkan sistem angkutan massal yang cepat dan tepat waktu. Dilansir dari
“UITP Report: Statistic Brief – World Report on Metro Automation” pada Juli 2016 lalu, 68
persen jalur kereta metro dioperasikan dengan sistem CBTC.
Penggunaan sistem persinyalan CBTC akan mendukung upaya perusahaan untuk memberikan
pelayanan yang aman, nyaman, dan dapat diandalkan kepada masyarakat pengguna kereta MRT
Jakarta.
BAB III
KESIMPULAN

MRT merupakan suatu harapan baru bagi Ibu Kota Jakarta yang membutuhkan sistem
transportasi massal dan juga menjadi gaya baru dalam bertranportasi, dimana warganya
mendapatkan fasilitasi yang aman, nyaman, effisien waktu dan bebas polusi. Yang kemudian
mendorong warganya berbondong – bondong beralih ke MRT ini. Dengan kebijakan pemprov
DKI yang membutuhkan moda transportasi untuk menanggulangi kemacetan yang menjadi
momok persoalan pemprov DKI, MRT hadir sebagai solusi persoalan kemacetan ditengah
masyaratkan DKI Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai