Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
18 Januari 2009
conoth PTK
Abstrak:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang pengaruh upaya
peningkatan kualitas pembelajaran melalui implementasi model pembelajaran kooperatif
tipe Thing-Pair-Share(TPS) dalam pembelajaran IPA Fisika terhadap kualitas interaksi
siswa di kelas dan hasil belajar siswa. Untuk keperluan tersebut maka model penelitian
ini menggunakan penelitian tindakan kelas(PTK). Subjek penelitian adalah kelas VII F di
SMP Negeri I Kalasan ,yang terdiri dari 38 siswa. Adapun data penelitian diperoleh
dengan menggunakan lembar observasi dan tes tertulis. Data tersebut akan dianalisis
secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh
kesimpulan bahwa implementasi model
pembelajaran kooperatif tipe Thin-Pair-Share(TPS) dalam pembelajaran IPA Fisika
mampu meningkatkan kualitas interaksi siswa dalam kelas dan meningkatkan hasil
belajar siswa.
Kata Kunci : Model pembelajaran kooperatif tipe TPS
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah :
Berdasarkan pengalaman di lapangan, kualitas interaksi kelas masih relatif kurang
optimal, distribusi kemampuan pada siswa kurang merata, yaitu cenderung memusat pada
kelompok atas, siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran. Dari hasil refleksi dan
kajian yang dilakukan, maka untuk memperbaiki struktur interaksi kelas yg demikian
,model pembelajaran yang perlu diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif tipe
Thing-Pair-Share(TPS).Rumusan MasalahBerdasarkan uraian di atas maka dapat
dikemukakan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah hasil belajar IPA Fisika dan
kualitas interaksi siswa kelas VII F melalui implementasi model pembelajaran kooperatif
tipeThing-Pair-Share(TPS)?
Tujuan Penelitian:
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,
sedangakan secara khusus adalah untuk mendapatkan informasi hasil belajar IPA Fisika,
siswa kelas VII F melalui implementasi model pembelajaran kooperatif tipeThing-Pair-
Share(TPS).Manfaat Manfaat bagi siswa: meningkatkan motivasi belajar, berbagi
pengetahuan, dan meningkatkan hasil belajar.Manfaat bagi guru : meningkatkan motivasi
dan kinerja khususnya layanan pendidikan(pembelajaran), masukan dalam upaya
pemecahan masalah pembelajaran secara kreatif dan inovatif.
B. METODE PENELITIAN
Setting Penelitian:
Penelitian dilakukan di SMP N 1 Kalasan, Sleman, Yogyakarta tahun Pelajaran
2005/2006, dengan subjek penelitian siswa kela VII F yang berjumlah 38 siswa.Adapun
prosedur penelitian dilakukan dengan penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan dan
penilian. Secara umum pada langkah awal implementasi pembelajaran guru menjelaskan
tujuan pembelajaran, penjelasan singkat materi bahasan dan pertanyaan perangsang
motivasi. Langkah selanjutnya untuk menemukan jawaban, siswa dibagi dalam beberapa
kelompok untuk melakukan beberapa kegiatan eksperimen dengan panduan Lembar
Kerja Siswa (LKS). Pembagian kelompok memperhatikan hetrogenitas. Setelah kegiatan
eksperimen siswa secara berpasangan berbagi pengalaman-pengetahuan untuk menjawab
pertanyaan dalam LKS. Berikut mekanisme pembentukan kelompok dan
pasangannya.KELOMPOK EKSPERIMEN Kel. 1Siswa:ABCD Kel. 2Siswa:ABCD Kel.
3Siswa:ABCD Kel. 4 Siswa:ABCD Kel. 1Siswa:ABCD Kel. 2Siswa:ABCD Kel.
3Siswa:ABCD Kel. 4Siswa:ABCD PASANGAN
Setelah proses dalam kelompok dan pasangan selesai, guru meminta jawaban dari
masing-masing pasangan dan meminta tanggapan dari pasangan lain. Apabila jawaban
telah mengerucut/mendekati kebenaran konsep guru memberi penghargaan dan
memvalidasinya serta memberikan penekanan yang diperlukan. Namun apabila belum
tepat maka guru memberikan penjelasan dan penekanan jawaban seperlunya. Pada akhir
pembelajaran guru memberi perntanyaan kuis untuk mengevaluasi ketercapaian
kompetensi dan pengayaan pengetahuan siswa. Setelah pembelajaran selesai, guru
bersama kolaborator dan siswa yang dipilih secara acak melakukan refleksi terhadapad
proses pembelajaran yang telah berlangsung dan membuat rencana tindakan pada siklus
berikutnya.
Siklus I
Kondisi :
Siswa termotivasi oleh pertanyaan gurumeski sudah ditentukan anggota kelompoknya,
siswa cenderung memilih teman sejenis, teman yg pandai untuk menjadi anggota
kelompok.siswa yang kurang pandai cenderung ditolak.siswa masih gaduh, kuarng
kompak, sehingga banyak menyita waktu.jika dipasangkan dengan teman yang berlainan
jenis, siswa cenderung menolak, dan tidak akrab.sebagian kelompok tidak dapat
menyelesaikan percobaan dan menjawab pertanyaan LKS sesuai waktu yang telah
ditentukan.Rencana Tindakan hasil refleksi : menyiapkan media yang diperlukan.
Menyiapkan alat laboratorium sesuai dengan kbutuhan.menyusun kembali susunan
anggota kelompok eksperimen dan kelompok
pasangan.menata susunan meja belajar agar lebih interaktif.
Siklus II
Kondisi :
Kegaduhan berkurangbebrapa siswa masih gaduh, belum enjoy dengan kelompok dan
pasangannya.sebagian siswa sudah mulai aktif dan menyesuaikan diri dalam
kelompoknya.keaktifan siswa belum merata, cenderung hanya siswa yang terbiasa aktif
dan pandai yang aktif dalam kelompok.siswa masih cenderung malu, enggan untuk
bertanya maupun menjelaskan baik terhadap pasangannya maupun dengan kelompok
lain.siswa pandai masih cenderung masih menyimpan pngetahuannya(egois) dan siswa
kurang pandai tidak percaya diri untuk bertanya maupun menjelaskan pengetahuannya.
Siklus III
Kondisi:
kelas cukup interaktif, ditandai dengan banyaknya pertanyaan antar kelompok.kegaduhan
tidak tampak.siswa belajar bertanggung jawab terhadap materi yang diimbaskan pada
pasangannya.siswa bertanggung jawab pada kelompoknya jika ada pertanyaan dari
kelompok lain.sebagian besar siswa tampak lebih enjoy dalam pembelajaran.ada
beberapa siswa (7,89%) kurang senang dengan model pembelajaran
karena ingin belajar lebih cepat dan mandiri.
Hasil refleksi :
Guru senang dan puas dengan proses pembelajaran.Guru bangga atas keaktifan siswa,
karena selama ini siswa cenderung pasif dalam kelompok.siswa merasa senang dan enjoy
dalam pembelajaran.siswa mau berbagi pengetahuan dengan temannya/tidak
egois.pengelolaan waktu belum efisien, sehingga kedepan pengelolaan waktu agar lebih
disiplin.hasil belajar meningkat, dengan rata-rata ketuntasan diatas batas ketuntasan
minimal.distribusi kemampuan semakin merata. D. Simpulan dan
E. DAFTAR PUSTAKA
Bambang Subali,(2002). Pedoman khusus penyusunan silabus berbasis kemampuan dasar
siswa SMP. Yogyakarta: Program Pascasarjana UNY.
Bloom, B.S.(1976). Human characteristic and school learning. New York : Mc. Grow
Hill.Depdiknas.(2004). Materi Pelatihan Terintegrasi. Jakarta: Depdiknas.
Euwe Van den Berg.(1991). Miskonsepsi fisika dan remidiasi. Salatiga: UKSW.
Fernandes, H,J.X.(1984). Testing and Measurement. Jakarta: national Educational
Planning.
Ibrahim, dkk.(2000). Pembelajan Kooperatif. Surabaya: University Press.Imam Barnadib.
(1995). Beberapa aspek substansi ilmu pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.
Moh. Amien.(1987). Mengajarkan ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan menggunakan
metode discoverydan inquiri.Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.Maslow, A.H.(1971). The
farther reaches of human nature. New York: The Viking Press.
Mitchel, B.W.(1976). Planning for creative learning. Washington : Kendall/Hunt
Publishing Company.
Moh. Sidin Ali(1995). Kreativitas, kemampuan operasi logic dan kemampuan dasar
berhitung dengan prestasi belajar fisika pada siswa SMA di kota madya Ujung
Pandang.Tesis Yogyakarta.
Munandar, S.C.U.(1977). Creativity and education : Study relationship between measure
of creative thinking and a number of educational variables in Indonesian primary and
junior secondary schools. Jakarta : UI
Rowe, B.M.(1970). Wait-time and reward as instructional variable: Influence on inquiry
and sense and fate control. New York : Columbia University.
Saifudin Azwar.(1976). Tes Pestasi: Fungsi dan pengembangan pengukuran prestasi
belajar. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Slavin, R.E.(1995). Cooperative learning, theory, research, and practice. Second edition.
Boston : Allyn and Bacon.
Sukamto.(1997). Course material on applied educational research. Medan : PPGT.
Treffinger, D.J.(1992).Encouraging creative learning for gifted and talented. Ventura
Clif : Ventura Country Super Intendent of School Office.
Woolfolk,A.E.(1984). Educational phsycology for teachers. New Jersey: Printice-Hall.
Inc.
Diposkan oleh Fatah Syukur di 10:49 Link ke posting ini
contoh PTK
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk untuk menerapkan model pembelajaran interaktif pada pelajaran IPA
dengan kerja kelompok, sebagai suatu upaya perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran. Metode
penelitian menggunakan Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan dengan mengikuti prosedur
penelitian berdasarkan pada prinsip Kemmis S, MC Toggar R (1988) yang mencakup kegiatan
perencanaan (planning), tindakan (action), observasi (observation), refleksi (reflection) atau evaluasi.
Keempat kegiatan ini berlangsung secara berulang dalam bentuk siklus. Penelitian ini dilakukan dengan
cara berkolaborasi antara dosen LPTK (FKIP-UT) dengan guru SD N Jakarta Timur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa (1) Kinerja belajar siswa meningkat setelah pembelajaran IPA menggunakan model
pembelajaran interaktif. Siswa sangat antusias membahas topik dalam diskusi, dan berusaha menjawab
dan menemukan informasi tentang topik tersebut. Siswa saling berebut mengemukakan informasi (apa
yang mereka ketahui) tentang topik. Setelah dilakukan
pembagian tugas kelompok siswa bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing; (2) Prestasi belajar
siswa meningkat setelah mengalami pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok. Pada siklus pertama
nilai rata-rata siswa perorangan 5,859; nilaia rata-rata kelompok sebesar 6,102. Pada siklus kedua nilai
rata-rata siswa 6,512 dan nilai rata-rata kelompok 7,615; sedangkan pada siklus ketiga nilai rata-rata
siswa 7,948 dan nilai rata-rata kelompok 7,384. Berdasarkan nilai yang diperoleh siswa dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok dapat digunakan pada
penelitian tindakan kelas.
Kata Kunci: model pembelajaran interaktif, penelitian tindakan kelas, IPA, SD.
I. PENDAHULUAN
Meningkatkan mutu pendidikan adalah menjadi tanggungjawab semua pihak yang
terlibat dalam pendidikan terutama bagi guru SD, yang merupakan ujung tombak dalam
pendidikan dasar. Guru SD adalah orang yang paling berperan dalam menciptakan
sumber daya manusia yang berkualitas yang dapat bersaing di jaman pesatnya
perkembangan teknologi. Guru SD dalam setiap pembelajaran selalu menggunakan
pendekatan, strategi dan metode pembelajaran yang dapat memudahkan siswa memahami
materi yang diajarkannya, namun masih sering terdengar keluhan dari para guru di
lapangan tentang materi pelajaran yang terlalu banyak dan keluhan kekurangan waktu
untuk mengajarkannya semua.
Menurut pengamatan penulis, dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas penggunaan
model pembelajaran yang bervariatif masih sangat rendah dan guru cenderung
menggunakan model konvesional pada setiap pembelajaran yang dilakukannya. Hal ini
mungkin disebabkan kurangnya penguasaan guru terhadap model-model pembelajaran
yang ada, padahal penguasaan terhadap model-model pembelajaran sangat diperlukan
untuk meningkatkan kemampuan profesional guru, dan sangat sesuai dengan kurikulum
berbasis kompetensi.
Kurikulum berbasis kompetensi yang mulai diberlakukan di sekolah dasar bertujuan
untuk menghasilkan lulusan yang kompeten dan cerdas sehingga dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini hanya dapat tercapai apabila proses
pembelajaran yang berlangsung mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki
siswa, dan siswa terlibat langsung dalam pembelajaran IPA. Disamping itu kurikulum
berbasis kompetensi memberi kemudahan kepada guru dalam menyajikan pengalaman
belajar, sesuai dengan prinsip belajar sepanjang hidup yang mengacu pada empat pilar
pendidikan universal, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar dengan
melakukan (learning to do), belajar untuk hidup dalam kebersamaan (learning to live
together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
Untuk itu guru perlu meningkatkan mutu pembelajarannya, dimulai dengan rancangan
pembelajaran yang baik dengan memperhatikan tujuan, karakteristik siswa, materi yang
diajarkan, dan sumber belajar yang tersedia. Kenyataannya masih banyak ditemui proses
pembelajaran yang kurang berkualitas, tidak efisien dan kurang mempunyai daya tarik,
bahkan cenderung membosankan, sehingga hasil belajar yang dicapai tidak optimal. Hal
ini dapat dilihat dari hasil belajar IPA siswa kelas 5 di SDN Jakarta Timur yang
dipaparkan pada tabel berikut.
Tabel 1 Nilai rapor untuk mata pelajaran IPA Tahun Ajaran 1998/1999 sampai dengan
2003/2004 SDN Pagi Jakarta Timur
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebgai berikut:
Bagaimana desain model pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok dalam
pembelajaran IPA di SD?
Bagaimana menerapkan model pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok dalam
pembelajaran IPA di SD?
Bagaimana kinerja belajar siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok?
Apakah dengan kerja kelompok dapat memperbaiki dan meningkatkan kinerja belajar
siswa dalam menggunakan model pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok?
Bagaimana kreaktivitas siswa dalam pembelajaran IPA yang menggunakan model
pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok?
Kendala yang dihadapi dalam pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok?
C. CARA PEMECAHAN MASALAH
Permasalahan rendahnya hasil belajar IPA di SDN Jakarta Timur perlu segera
ditanggulangi, dan guru perlu melakukan refleksi atas kinerjanya selama perolehan hasil
belajar IPA masih dapat ditingkatkan lebih tinggi lagi, apabila kreaktifitas siswa dalam
pembelajaran juga tinggi. Hasil penelitian mengungkapkan bahawa tingkat kreatifitas
siswa saat penelitian dilaksanakan masih rendah, kinerja siswa menunjukkan fenomena
sebagai berikut guru jarang membimbing siswa dalam diskusi tentang topik-topik IPA,
guru jarang memberikan pertanyaan kepada siswa baik secara individual maupun secara
klasikal. Siswa tidak berani bertanya kepada guru karena guru kurang memotivasi siswa
agar berani bertanya apabila ada masalah/materi yang tidak/kurang dimengerti.
Pembelajaran yang ada lebih terpusat pada guru, bukan kepada siswa. Hal ini tidak dapat
dibiarkan begitu saja, apalagi dengan diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi
yang mengisyaratkan pembelajaran harus dapat mengembangkan semua potensi yang
dimiliki siswa. Hal ini dapat tercapai apbila kinerja belajar siswa ditingkatkan, sehingga
guru hanya berperan sebagai fasiltator, motivator dan organisator.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dengan demikian untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitas pembelajaran IPA di SD, menerapkan model pembelajaran interaktif sebagai
alternatif untuk dapat meningkatkan perolehan hasil belajar IPA, dapat lebih optimal lagi
apabila dilakukan melalui kerja kelompok. Rencana penerapan model tersebut dapat
dilihat pada skema berikut.
PERSIAPAN
Guru dan Kelas memilih topik dan menemukan informasi
SEBELUM PANDANGAN
Kelas atau perorangan siswa mengemukakan
Yang diketahui tentang topik yang dibahas
KEGIATAN EKSPLORASI
Melibatkan siswa dalam topik
PEMBANDINGAN
PERTANYAAN ANAK
Kesempatan kelas mengundang siswa
Mengajukan Pertanyaan tentang topik
PENYELIDIKAN
Guru dan siswa memilih pertanyaan untuk
Untuk dieksplorasi selama 2-3 hari
PERTANYAAN TAMBAHAN
SETELAH PANDANGAN
Pernyataan perorangan atau kelompok dikompilasi
Dan dibandingkan dengan pernyataan sebelumnya
REFLEKSI
Saat memantapkan hal-hal yang telah diverifikasi
Dan hal-hal yang masih perlu dipilah
D. TUJUAN PENELITIAN
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menerapkan model pembelajaran
interaktif pada pelajaran IPA dengan kerja kelompok, sebagai suatu upaya perbaikan dan
peningkatan proses pembelajaran.
Secara khusus tujuan penelitian adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui kemampuan guru mendesain model pembelajaran interaktif pada pelajaran
IPA dengan kerja kelompok
2. Menerapkan model pembelajaran interaktif pada pelajaran IPA di SD dengan kerja
kelompok
3. Meningkatkan kinerja belajar siswa dalam pembelajaran denganmenggunakan model
pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok
4. Mengetahui apakah kerja kelompok dapat memperbaiki dan meningkatkan kinerja
belajar siswa dalam penerapan model pembelajaran interaktif
5. Meningkatkan kreativitas siswa dalam pembelajaran IPA yang menggunakan model
pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok.
6. Mengetahui kendala yang dihadapi dalam menerapkan model pembelajaran interaktif
dengan kerja kelompok
7. Solusi yang dilakukan guru dalam mengatasi kendala dalam menerapkan model
pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok
C. Kerja Kelompok
Suatu strategi pembelajaran untuk mencapai tujuan IPA yang berupaya untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam bekerja sama, berpikir kritis, dan pada saat yang
sama meningkatkan prestasi akademiknya. Disamping itu kerja kelompok dapat
membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit sambil pada saat yang bersamaan
sangat berguna untuk menumbuhkan kemauan kerja sama dan kemauan membantu
teman. Kerja kelompok memungkinkan siswa lebih terlibat secara aktif dalam belajar
karena ia mempunyai tanggung jawab belajar yang lebih besar dan memungkinkan
berkembangnya daya kreatif dan sifat kepemimpinan pada siswa. Sedangkan peran guru
lebih ditekankan sebagai organisator kegiatan belajar-mengajar, sumber informasi bagi
siswa, pendorong bagi siswa untuk belajar, serta penyedia materidan kesempatan belajar
bagi siswa. Guru harus dapat mendiagnosa kesulitan siswa dalam belajar dan dapat
memberikan bantuan kepadanya sesuai dengan kebutuhannya.
D. Pengertian Belajar
Belajar merupakan salah satu bentuk perilaku yang amat penting bagi kelangsungan
hidup manusia. Belajar membantu manusia menyesuaikan diri (adaptasi) dengan
lingkungannya. Dengan adanya proses belajar inilah manusia bertahan hidup (survived).
Belajar secara sederhana dikatakan sebagai proses perubahan dari belum mampu menjadi
sudah mampu, tejadi dalam jangka waktu waktu tertentu. Perubahan yang itu harus secara
relative bersifat menetap (permanent) dan tidak hanya terjadi pada perilaku yang saat ini
nampak (immediate behavior) tetapi juga pada perilaku yang mungkin terjadi di masa
mendatang (potential behavior). Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa perubahan-
perubahan tersebut terjadi karena pengalaman. Perubahan yang terjadi karena
pengalaman ini membedakan dengan perubahan-perubahan lain yang disebabkan oleh
kemasakan (kematangan).
E. Kreativitas
Dewasa ini istilah kreativitas atau daya cipta sering digunakan dalam kegiatan manusia
sehari-hari, sering pula ditekankan pentingnya pengembangan kreativitas baik pada anak
didik, pegawai negeri maupun pada mereka yang berwiraswasta. Kreativitas biasanya
diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru. Ciptaan itu tidak
perlu seluruh produknya harus baru, mungkin saja gabungannya, kombinasinya,
sedangkan unsur-unsurnya sudah ada sebelumnya, kombinasi baru, atau melihat
hubungan-hubungan baru antara unsur, data, atau hal-hal yang sudah ada sebelumnya.
Kreativitas terletak pada kemampuan untuk melihat asosiasi antara hal-hal atau obyek-
obyek yang sebelumnya tidak ada atau tidak tampak hubungannya. Seorang anak kecil
asyik bermain dengan balok-balok yang mempunyai bentuk dan warna yang bermacam-
macam, setiap kali dapat menyusun sesuatu yang baru, artinya baru bagi dirinya karena
sebelumnya ia belum pernah membuat hal yang semacam itu. Anak ini adalah anak yang
kreatif, berbeda dengan anak lain yang hanya membangun sesuatu jika ada contohnya.
Mengembangkan kreativitas dalam pembelajaran, Gordon dalam Joice and Weill (1996)
dalam E. Mulyana (2005 : 163) mengemukakan empat prinsip dasar sinektik tentang
kraetivitas. Pertama, kreativitas merupakan sesuatu yang penting dalam kegiatan sehari-
hari. Hampir semua manusia berhubungan dengan proses kreativitas, yang dikembangkan
melalui seni atau penemuan-penemuan baru. Lebih jauh Gordon Menekankan bahwa
kreativitas merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan berlangsung sepanjang
hayat. Kedua, proses kreatif bukanlah sesuatu yang misterius. Hal tersebut dapat
diekspresikan dan mungkin membantu orang secara langsung untuk meningkatkan
kreativitasnya. Secara tradisional, kreativitas didorong pleh kesadaran yang memberi
petunjuk untuk mendeskripsikan dan menciptakan prosedur latihan yang dapat diterapkan
di sekolah atau lingkungan lain. Ketiga, penemuan kreatif sama dalam semua bidang,
baik dalam bidang seni, ilmu, maupun dalam rekayasa. Selain itu, penemuan kreatif
ditandai oleh beberapa proses intelektual. Keempat, berpikir kraetif baik secara individu
maupun kelompok adalah sama. Individu dan kelompok menurunkan ide-ide dan produk
dalam berbagai hal.
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang
dilaksanakan dengan mengikuti prosedur penelitian berdasarkan pada prinsip Kemmis S,
MC Toggar R (1988) yang mencakup kegiatan perencanaan (planning), tindakan (action),
observasi (observation), refleksi (reflection) atau evaluasi. Keempat kegiatan ini
berlangsung secara berulang dalam bentuk siklus. Penelitian ini dilakukan dengan cara
berkolaborasi antara dosen LPTK (FKIP-UT) dengan guru SD N Jakarta Timur.
B. Prosedur Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas ini terdiri atas tiga siklus kegiatan sebagai berikut.
SIKLUS 1
Tahap Perencanaan (Planning) :
1. Mengidentifikasi masalah
2. Menganalisis dan merumuskan masalah
3. Merancang model Pembelajaran interaktif
4. Mendiskusikan penerapan model pembelajaran interaktif
5. Menyiapkan instrumen (angket, pedoman observasi, tes akhir)
6. Menyusun kelompok belajar siswa
7. Merencanakan tugas kelompok
SIKLUS II
Tahap Refleksi/Siklus II meliputi
Tahap Perencanaan (Planning)
1. Hasil refleksi dievaluasi, didiskusikan, dan mencari upaya perbaikan untuk diterapkan
pada pembelajaran berikutnya
2. Mendata masalah dan kendala yang dihadapi saat pembelajaran
3. Merancang perbaikan II berdasarkan refleksi siklus I
Rekomendasi
Dari tahap kegiatan pada siklus I dan II, hasil yang diharapkan adalah
1. Siswa memiliki kemampuan dan kreativitas serta selalu aktif terlibat dalam proses
pembelajaran IPA
2. Guru memiliki kemampuan guru merancang dan menerapkan model pembelajaran
interaktif dengan kerja kelompok khusus pada mata pelajaran IPA
3. Terjadi peningkatan prestasi siswa pada mata pelajaran IPA
C. Analisis Data
Untuk lebih menjamin keakuratan data penelitian dilakukan perekaman data dalam video.
Data yang diperoleh dianalisis dan dideskripsikan sesuai permasalahan yang ada dalam
bentuk laporan hasil penelitian. Rancangan pembelajaran interaktif dan pemberian tugas
kerja kelompok dilakukan validasi oleh teman sejawat dan kepala sekolah. Untuk
kreativitas siswa dalam pembelajaran digunakan observasi dan angket serta perolehan
hasil belajar siswa digunakan deskripsi kuantitatif.
SIKLUS 1
Tahap Perencanaan (Planning)
1. Guru mulai mengidentifikasi masalah yang mungkin muncul saat pelaksanaan
pembelajaran.
2. Guru mencoba menganilisis dan merumuskan masalah yang mungkin muncul saat
pembelajaran
3. Guru merancang model pembelajaran interaktif, dibantu peneliti
4. Guru dan peneliti melakukan diskusi mengenai penerapan model pembelajaran
interaktif, terutama langkah-langkah kegiatan diskusi kelompok siswa
5. Peneliti dan guru bersama-sama membuat angket untuk siswa dan pedoman observasi
6. Guru menyusun kelompok berdasarkan siswa yang pandai dibagi merata kesetiap
kelompok
7. Guru merencanakan tugas kelompok tentang topik/materi IPA/Sains
SIKLUS II
Tahap Refleksi/Siklus II meliputi
Tahap Perencanaan (Planning)
1. Hasil refleksi guru dievaluasi dan didiskusikan bersama dengan peneliti dan para
pengamat dan mencari upaya perbaikan untuk diterapkan pada pembelajaran IPA/Sains
berikutnya.
2. Guru mendata masalah-masalah dan kendala yang dihadapi saat pembelajaran
3. Guru merancang perbaikan pembelajaran berdasarkan refleksi siklus I
B. Saran
Penerapan model pembelajaran interaktif dengan kerja kelompok memerlukan kemauan
dan pengorbanan yang besar, baik waktu, tenaga dan pikiran untuk itu bagi guru sekolah
dasar mampu melaksanakan penelitian tindakan kelas menggunakan model pembelajaran
ini sebagai suatu tantangan.
Penelitian tindakan kelas sebaiknya dilakukan oleh guru dengan penuh kesadaran dan
tanggung jawabnya sebagai pendidik, peneliti hanya berusaha menjembatani dan
memfasilitasi agar para guru sekolah dasar mau melakukan penelitian tindakan kelas
sebagai langkah introspeksi diri sebagai tenaga profesional.
Sebaiknya penelitian tindakan kelas dilakukan oleh semua guru, baik guru SD, SMP,
maupun SMA, sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja sebagai guru. Guru harus dapat
menilai dirinya sendiri sebelum melakukan penilaian kepada siswanya. Guru harus
mengetahui kelemahan dan kekurangannya dalam pembelajarannya, berusaha untuk
mengatasinya dan menemukan solusi yang terbaik serta mengantisipasi apabila dalam
pembelajaran mengalami kendala dan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. (1994). Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Gagne, R.M (1985). The Conditions of Learning Theory of instruction (4 th Edition).
New York : Holt, Rinehart and Winston.
Hasibuan, J.J, Mudjiono (1988), Proses Belajar Mengajar. CV. Remaja Karya. Bandung.
Hendro Darmodjo, Kaligis, J R E. (1991/1992). Pendidikan IPA II, Hal 7-11 Depdikbud
Dirjen Dikti, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan
Hernawaty Damanik. (2004). Penerapan Model Pembelajaran Social Science Inquiry
Dalam Mata Pelajaran Sosiologi Dengan Kerja Kelompok. FKIP- Universitas Terbuka.
Irwanto, dkk (1991). Psikologi Umum Buku Panduan Mahasiswa. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Kemmis, S. dan MC. Toggart.R. (Ed.1988). The Action Resesarch Planner. Deakin.
Deakin University: Australia
Lemlit-UT, (2003). Jurnal Pendidikan Volume 4, nomor 2. Pusat Studi Lembaga
Penelitian Universitas Terbuka.
Mulyasa, E (2005). Menjadi Guru Profesional : Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Poedjiadi, A. (1990). Pendidikan Sains dan Teknologi di Masa yang akan datang.
Disampaikan pada Seminar Puskur Balitbang Dikbud, Jakarta.
Poedjiadi, A. (1993). Mewujudkan literasi Sains dan Teknologi Melalui Pendidikan, hal
4-6. Disampaikan pada seminar FPMIPA IKIP-Bandung.
Slavin, RE.(1994). Educational Psychology : Theory and Practice. Masschusetts: Allyn
and Bacon Publisher.
Sobry Sutikno, (2004). Model Pembelajaran Interaksi Sosial, Pembelajaran Efektif dan
Retorika. NTP Press. Mataram
Slavin, RE.(1994). Educational Psychology : Theory Research and Practice. Second
Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Sutarno, N. (2004). Materi Dan Pembelajaran IPA SD. Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka.
Diposkan oleh Fatah Syukur di 10:44 Link ke posting ini
16 Desember 2008
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut
culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Diposkan oleh Fatah Syukur di 06:07 Link ke posting ini
15 Desember 2008
Media Pembelajaran
MAKNA MEDIA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Media pendidikan merupakan suatu alat atau perantara yang berguna untuk memudahkan
proses belajar mengajar, dalam rangka mengefektifkan komunikasi antara guru dan
murid. Hal ini sangat membantu guru dalam mengajar dan memudahkan murid menerima
dan memahami pelajaran. Proses ini membutuhkan guru yang professional dan mampu
menyelaraskan antara media pendidikan dan metode pendidikan.
Kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan serta perubahan sikap masyarakat membawa
pengaruh yang besar dalam bidang pendidikan. Hal ini mendorong setiap lembaga
pendidikan untuk mengembangkan lembaganya lebih maju dengan memanfaatkan
teknologi modern dan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai media pembelajaran.
Dari pemikiran di atas sudah jelas media pendidikan itu berkaitan dengan kemajuan suatu
pendidikan yang meliputi sebagai berikut :
1. Arti, fungsi dan nilai media pendidikan.
2. Tujuan pendidikan.
3. Psikologi belajar.
4. Bentuk media pendidikan.
Pembahasan ini akan dimulai dari pengertian media pendidikan sebagai alat komunikasi.
Alat komunikasi selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan
majunya ilmu pengetahuan.[1] Kaitannya dengan media pendidikan mempunyai fungsi
yang besar di berbagai kehidupan, baik di kehidupan pendidikan maupun dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan seni kebudayaan.[2]
Dalam kehidupan pendidikan media komunikasi memberikan kontribusi yang besar
dalam kemajuan maupun peningkatan mutu di suatu lembaga pendidikan. Dengan
memakai media tersebut anak didik akan mudah mencerna dan memahami suatu
pelajaran. Dengan demikian melalui pendekatan ilmiah sistematis, dan rasional tujuan
pendidikan dapat dicapai secara efektif dan efisien.[3]
Untuk mencapai pendidikan tersebut guru memberikan peran yang penting untuk
menghantarkan keberhasilan anak didik, oleh karenanya dibutuhkan komunikasi yang
baik antara guru dan murid, untuk menciptakan komunikasi yang baik dibutuhkan guru
yang profesional yang mampu menyeimbangkan antara media pembelajaran dan metode
pengajaran sehingga informasi yang disampaikan guru dapat diterima siswa dengan baik.
[4]
Jadi tugas media bukan sebagai sekedar mengkomunikasikan hubungan antara pengajar
dan murid namun lebih dari itu media merupakan bagian integral yang saling berkaitan
antara komponen satu dengan komponen yang lain yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi.
2. Tujuan Pendidikan
Pendidikan ditujukan untuk menghantarkan para siswa menuju pada perubahan tingkah
laku. Perubahan itu tercermin baik dari segi intelek, moral maupun hubungannya dengan
sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut siswa dalam lingkungan sekolah akan dibimbing
dan diarahkan oleh guru dan siswa berperan aktif.[11]
Filsafat pendidikan memberikan kontribusi yang besar mengenai tujuan pendidikan,
karena di dalam filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau cita-cita yang mengatur
tingkah laku atau perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam Undang-Undang Sistem
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3, disebutkan,
bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak sertaperadaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Berdasarkan pada uraian di atas maka tujuan pendidikan adalah:
a. Memperbaiki mental, moral, budi pekerti memperkuat keyakinan agama.
b. Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.
c. Membina atau memperkembangkan fisik yang kuat dan sehat.
d. Membangun warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab
Sebagai seorang pendidik, perumusan tujuan pembelajaran merupakan suatu hal yang
pokok sebelum melakukan kegiatan pengajaran. Untuk meneruskan tujuan yang baik
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Berorientasi pada kepentingan siswa, dengan bertitik tolak pada perubahan tingkah
laku.
b. Dinyatakan pada kata kerja yang operasional artinya menunjukkan pada hasil
perbuatan yang dapat diamati atau hasilnya dapat diukur dengan alat ukur tertentu.[12]
3. Psikologi Belajar
Pada umumnya belajar dapat kita lihat dari jenis pandangan, yakni tradisional dan
pandangan modern. Pertama, pandangan tradisional, belajar adalah usaha memperoleh
sejumlah ilmu pengetahuan. “Pengetahuan” memegang peranan yang penting dalam
hidup manusia, pengetahuan adalah kekuasaan siapa saja yang memiliki banyak
pengetahuan maka ia akan mendapat kekuasaan. Kedua, pandangan modern, belajar
adalah proses perubahan tingkah laku perekat interaksi dengan lingkungannya. Seorang
dikatakan melakukan kegiatan belajar setelah ia memperoleh hasil yakni terjadinya
perubahan tingkah laku.[13]
Jadi dengan demikian, belajar merupakan suatu keharusan untuk manusia agar
memperoleh ilmu pengetahuan sebagai proses perubahan tingkah laku yakni
berintelektual tinggi serta berakhlakul karimah.
Untuk mencapai suatu tujuan pelajaran para ahli psikologi pendidikan telah merumuskan
beberapa teori yang digolongkan menjadi tiga bagian.
a. Teori Psikologi Daya atau formal disipline
Teori ini menekankan pada daya-daya yang dimiliki oleh anak yakni daya mengingat,
daya berfikir, daya mencipta, daya perasaan, dan daya kemauan. Untuk mengembangkan
daya tersebut maka perlu dilatih. Misalnya, membentuk daya mengingat, maka para siswa
perlu diberi latihan fakta-fakta, untuk melatih daya berfikir para siswa diberi hitungan
yang berat-berat dan lain-lain. Yang pening dari teori ini menekankan pada faktor
pembentukannya bukan pada faktor materi yang digunakan.
b. Teori Psikologi Asosiasi
Teori ini dikenal dengan sebutan S-R bond teory yakni teori ini stimulus response. Setiap
stimulus menimbulkan jawaban tertentu misalnya 5 x 4 = 20, 5 x 4 adalah stimulus
sedangkan 20 = response. Teori ini kemudian menjadi dasar tumbuhnya teori
connectionisme yang mempunyai doktrin pokok “hubungan antara stimulus dan respon”.
Asosiasi dibuat antara kesan-kesan penginderaan dan dorongan-dorongan untuk berbuat.
Thorndike dengan S-R bond teori itu menyusun hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1) Hukum latihan atau prinsip use dan disuse. Apanbila hubungan itu sering dilatih ia
akan lebih kuat.
2) Hukum pengaruh, hubungan itu akan diperkuat atau diperlemah tergantung pada
kepuasan atau ketidak senangan yang berkenaan pada penggunaannya.
3) Hukum kesediaan atau kesiapan, apabila suatu ikatan untuk berbuat, perbuatan itu
memberikan kepuasan, sebaliknya apabila tidak siap akan menimbulkan ketidak
senangan.
Implikasi dari teori itu dalam belajar adalah :
1) Kelakuan belajar, adalah berkat pengaruh atau perbuatan yang dilakukan terhadap
individu.
2) Menjelaskan kelakuan dan motivasi secara mekanis.
3) Kurang memperhatikan proses-proses mengenal dan berfikir.
4) Mengutamakan pengalaman-pengalaman masa lampau.
5) Menganggap bahwa situasi keseluruhan terdiri dari bagian-bagian.
c. Belajar menurut Psikologi Gestalt
Menurut aliran ini, jiwa manusia adalah suatu keseluruhan yang berstruktur, unsur-unsur
tersebut berada dalam keseluruhan menurut struktur tertentu dan saling berinteraksi satu
sama lain.
Implikasi teori tersebut terhadap belajar antara lain sebagai berikut:
1) Belajar dimulai dari keseluruhan.
2) Keseluruhan memberi makna pada bagian-bagian.
3) Individuasi bagian-bagian dari keseluruhan.
4) Anak belajar menggunakan pemahaman.
5) Belajar merupakan rangkaian reorganisasi pengalaman.
6) Hasil belajar meliputi semua aspek tingkah laku.
7) Anak yang belajar merupakan keseluruhan bukan belajar pada otaknya saja.[14]
05 Mei 2008
RPP
Catatan:
· RPP disusun untuk satu Kompetensi Dasar.
· Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator dikutip dari silabus yang disusun
oleh satuan pendidikan
· Alokasi waktu diperhitungkan untuk pencapaian satu kompetensi dasar yang
bersangkutan, yang dinyatakan dalam jam pelajaran dan banyaknya pertemuan. Oleh
karena itu, waktu untuk mencapai suatu kompetensi dasar dapat diperhitungkan dalam
satu atau beberapa kali pertemuan bergantung pada karakteristik kompetensi dasarnya.
7. Mencantumkan Penilaian
Penilaian dijabarkan atas teknik penilaian, bentuk instrumen, dan instrumen yang dipakai
untuk mengumpulkan data. Dalam sajiannya dapat ituangkan dalam bentuk matrik
horisontal atau vertikal. Apabila penilaian menggunakan teknik tes tertulis uraian, tes
unjuk kerja, dan tugas rumah yang berupa proyek harus disertai rubrik penilaian.
M.I. : ........................................................................
Mata Pelajaran : ........................................................................
Kelas/Semester : ........................................................................
Standar Kompetensi : ........................................................................
Kompetensi Dasar : ........................................................................
Indikator : ........................................................................
Alokasi Waktu : ......... x menit (….......... pertemuan)
I. Tujuan Pembelajaran :
.......................................................................................................................
II. Materi Pembelajaran :
.......................................................................................................................
III. Metode Pembelajaran :
.......................................................................................................................
IV. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran:
.......................................................................................................................
Pertemuan 1
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
Pertemuan 2
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
dst
V. Sumber Belajar :
.......................................................................................................................
VI. Penilaian :
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
a. Kegiatan Awal
Kegiatan ini dilakukan terutama untuk menciptakan suasana awal pembelajaran untuk
mendorong siswa memfokuskan dirinya agar mampu mengikuti proses pembelajaran
denagn baik. Sifat dari kegiatan awal adalah kegiatan untuk pemanasan. Pada tahap ini
dapat dilakukan penggalian pengalaman anak tentang tema yang akan disajikan.
Beberapa contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah bercerita, kegiatan fisik/jasmani
dan menyanyi.
b. Kegiatan Inti
Kegiatan ini difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk pengembangan
kemampuan baca, tulis dan hitung. Penyajian bahan pembelajaran dilakukan dengan
menggunakan berbagai strategi/metode yang bervariasi dan dapat dilakukan secara
klasikal, kelompok kecil, ataupun perseorangan.
c. Kegiatan Akhir
Fungsi kegiatan penutup adalah untuk menenangkan. Beberapa contoh kegiatan
akhir/penutup yang dapat dilakukan adalah menyimpulkan/mengungkapkan hasil
pembelajaran yang telah dilakukan, mendongeng, membacakan cerita dari buku,
pantonim, pesan-pesan moral, musik/apresiasi musik.
I. Standar Kompetensi
1. PKn
- Kemampuan membiasakan hidup bergotong royong.
2. B. Indonesia
Mendengarkan :
- Kemampuan memahami teks pendek dan puisi anak yang dilisankan.
Berbicara :
- Mengungkapkan pikiran, perasaan dan pengalaman secara lisan melalui kegiatan
bertanya, bercerita dan deklamasi.
Membaca :
- Kemampuan memahami teks pendek dengan membaca lancar dan membaca puisi.
Menulis :
- Kemampuan menulis permulaan melalui kegiatan melengkapi cerita dan dikte.
3. IPS
- Kemampuan memahami peristiwa penting dalam keluarga secara kronologi.
4. IPA
- Kemampuan mengenal bagian-bagian utama tubuh hewan dan tumbuhan, serta berbagai
tempat hidup makhluk hidup.
5. Matematika
- Kemampuan melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai 500.
6. Seni Budaya dan Keterampilan
- Mengapresiasi karya seni rupa (S. Rupa).
- Mengapresiasi karya seni musik (S. Musik).
III. Indikator
1. PKn
- Memahami arti hidup rukun, saling berbagi dan tolong menolong dalam keluarga dan
lingkungan tetangga.
2. B. Indonesia
Mendengarkan :
- Menjawab pertanyaan sesuai isi cerita yang didengarkan.
Berbicara :
- Menggunakan kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu kepada orang yang belum
dikenal dengan pilihan kata yang tepat.
Membaca :
- Membaca teks pendek dengan lafal dan intonasi yang tepat.
Menulis :
- Melengkapi cerita tentang data diri dan keluarga dengan kata yang tepat.
3. IPS
- Menunjukkan dokumen diri dan keluarga.
4. IPA
- Membuat daftar bagian-bagian utama tubuh hewan di sekitar rumah dan sekolah serta
kegunaannya dari hasil pengamatan.
5. Matematika
- Membilang secara urut.
- Menyebutkan banyak benda.
6. Seni Budaya dan Keterampilan
Seni Rupa : Mengelompokkan berbagai jenis bidang tekstur dan bentuk ritme
keseimbang kesatuan.
Seni Musik : Menentukan sumber bunyi
Membedakan kuat dan lemahnya bunyi dengan gerakan dan tepukan.
Kegiatan Inti
- Siswa menyanyi lagu anak kambing saya dan naik-naik ke puncak gunung sambil
diiringi tepuk tangan.
- Siswa mempraktekkan kerjasama dan tolong menolong dalam satu kelas (lingkungan
kecil).
- Siswa menjawab pertanyaan dari guru sesuai isi cerita yang didengarkan.
- Siswa menggunakan kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu.
- Siswa membaca teks cerita dengan lafal dan intonasi yang tepat.
- Siswa menulis pengalaman pribadi ke depan kelas.
- Siswa menjelaskan pentingnya memelihara dokumen dan koleksi barang keluarga.
- Siswa menyebutkan bagian-bagian utama tubuh hewan di sekitar rumah dan sekolah
serta kegunaannya.
- Siswa menghitung secara urut sampai 500.
- Siswa menyebutkan banyak benda (lebih sedikit, lebih besar atau sama dengan
kumpulan lain).
- Siswa membuat gambar sesuai dengan illustrasinya dari berbagai jenis bidang dan
tekstur.
- Siswa menyanyikan sebuah lagu “Lihat kebunku” dengan diiringi sumber bunyi gelas
dan sendok.
Kegiatan Akhir
- Tanya jawab tentang materi yang telah diajarkan.
- Menyanyikan lagu “Naik-naik ke puncak gunung”.
- Pemberian PR.
IX. Penilaian
- Lembar kerja.
- Pengamatan.
- Tertulis.
26 Maret 2008
Pendidikan Tinggi
Tulisan ini diilhami oleh sebuah tulisan Prof. Dr. Achamd Ali, S.H., guru besar UNHAS
Makassar yang dimuat di Harian Kompas, 22 April 2002, tentang Moralitas Pendidikan di
Indonesia. Dalam artikel tersebut, Achmad Ali yang pernah menjadi dekan Fakultas
Hukum Unhas, mendapat keluhan dari seorang dosen senior, bahwa mahasiswa yang
diajarnya tidak mau mendengarkan, bahkan mereka bergurau – ramai sendiri. Sang dosen
senior ini sampai marah dan melapor pada dekan, supaya dekan menindak mahasiswa
tesebut. Namun setelah diusut, ternyata penyebab mahasiswa bergurau – ramai sendiri
itu, bukan semata-mata karena faktor mahasiswanya, tetapi setiap sang dosen itu masuk
di kelas, yang dilakukannya hanya langsung "mendiktekan" 10 halaman diktatnya.
Sehingga tersirat dalam pikiran sebagian mahasiswanya, "Daripada kami capek-capek
mencatat hasil diktean beliau, kan, mendingan dipinjamkan saja untuk kami copy, praktis
dan efisien".
Dalam sebuah kesempatan dialog mahasiswa dengan bidang akademik IAIN Walisongo,
mulai dari Pembantu Rektor I, Pembantu Dekan I, Ketua dan Sekretaris Jurusan serta
Kasubag Akademik dan Kemahasiswa, ada seorang mahasiswa yang mengkritik habis-
habisan keberadaan beberapa dosen yang menurutnya tidak bermutu. Dosen-dosen ketika
di kelas tidak siap dengan materi yang diajarkan, yang sering adalah ceramah dan ngalor-
ngidul tentang anak-anak dan tetangganya. Tetapi kalau ada mahasiswa yang bertanya
dengan kritis, maka diancam nilainya akan dipotong. Mahasiswa tersebut menuntut agar
para dosen tersebut ditingkatkan kualitasnya. Dalam mengajar hendaknya jangan hanya
ceramah, dan menganggap mahasiswa sebagai botol kosong yang hanya siap untuk diisi.
Ada juga seorang dosen senior ketika di kelas yang diceritakan selalu tentang
pengalaman-pengalamanya di luar negeri yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan mata kuliah.
Dua kasus tersebut merupakan fenomena yang menarik dalam dunia pendidikan kita,
dimana sudah terjadi peningkatan kesadaran di kalangan mahasiswa. Mahasiswa
bukanlah benda yang kosong, tetapi mereka sudah membawa potensi dan referensi dari
berbagai sumber, sehingga kehadirannya di ruang kuliah bukan tanpa bekal. Ingat di era
informasi, maka sumber informasi bisa didapatkan bukan semata-mata dari dosen. Dosen
hanya sebagian kecil dari sumber informasi. Justru di luar itu, banyak informasi yang bisa
didapatkan melalui buku-buku, jurnal, koran, internet, seminar-seminar dan sebagainya.
Oleh karena itu, kalau dosen masih beranggapan bahwa dialah satu-satu sumber
informasi, maka dia akan ketinggalan dari dunia informasi yang lain. Apalagi kalau stok
informasi yang dimilikinya tidak selalu di upgrade, maka jelas dia akan terlihat ‘kuper’.
Dia mengira sudah mencapai setinggi langit dan seluas bumi, padahal ia masih di dalam
tempurung.
Ada seorang dosen senior yang memperoleh kesempatan mengikuti program doktor
bebas terkendali terheran-heran setelah melihat proses perkuliahan yang dilaksanakan
oleh dosen-dosen muda baik yang alumni S-2 atau S-3. Ternyata proses perkuliahannya
sudah seperti di S-2 atau S-3, maksudnya banyak membuat makalah, seminar, dan
brainstorming. Tidak jarang mahasiswa mendebat dosen, kalau referensinya tidak atau
kurang akurat. Sebelum mendapat kesempatan mengikuti kuliah doktor dia mengira
bahwa model kuliahnyalah yang paling ideal. Ternyata dosen-dosen muda sudah
melaksanakan model sebagaimana di pasca sarjana, walau tidak sepenuhnya.
Betapa idealnya seandainya idealisme mahasiswa tersebut merupakan gambaran
mayoritas mahasiswa kita dan kemudian diimbangi dengan idealisme dari dosen untuk
meningkatkan semangat keilmuannya.
Berangkat dari pengalaman saya lebih kurang selama delapan tahun sebagai dosen yang
belum senior, menunjukkan bahwa prosentase mahasiswa yang mempunyai kesadaran
intelektual dan idealisme jumlahnya sangat kecil. Dalam satu kelas rata-rata kurang dari
dua puluh lima prosen, sedang yang lainnya biasa-biasa saja dan lebih banyak pasif.
Sebagaimana dilakukan oleh beberapa dosen yang lain, setiap awal kuliah seorang dosen
memaparkan prospectus perkuliahan yang akan diajarkan dalam satu semester ke depan,
yang meliputi, tujuan yang ingin dicapai, silabi perkuliahan, buku-buku rujukan,
pendekatan dan metode-metode perkuliahan dan sistem evaluasi. Memang tidak semua
dosen melakukan hal seperti itu, misalnya silabi tidak diberitahukan kepada mahasiswa,
buku-buku rujukan dan sistem evaluasi tidak diberitahukan kepada mahasiswa. Ada
beberapa kemungkinan, mungkin karena dosen tidak sempat membuat silabi yang siap
disampaikan kepada mahasiswa atau mungkin dosen sengaja menyembunyikan langkah-
langkah yang akan diajarkan supaya tidak diketahui oleh mahasiswa. Konon dulu ada
dosen yang setiap memberikan ujian, mahasiswa selalu tidak bisa menjawab. Bahkan
referensi yang ditunjukkan oleh dosen tidak ditemukan jawabannya. Akhirnya ada
mahasiswa ‘kreatif’ yang mencuri buku yang ada di tas sang dosen ketika dia keluar
kelas. Pada pertemuan selanjutnya sang dosen sempat marah karena bukunya hilang dan
dia tidak siap untuk mengajar. Rupanya dari buku “babon” yang disembunyikan dari
mahasiswa itulah segala soal ujian dibuat.
Dalam pemaparan prospectus tersebut, mahasiswa saya persilahkan untuk berpartisipasi
sebagai bagian dari pendidikan orang dewasa dalam sistem andragogi. Misalnya apakah
sillabi yang disampaikan oleh dosen ini perlu ditambah, dikurangi atau perlu direvisi.
Apakah ada sumber-sumber rujukan yang lain selain yang disampaikan oleh dosen.
Apakah sistem evaluasi dan metode yang diusulkan oleh dosen dapat disepakati,
termasuk kesepakatan-kesepakatan tentang sanksi-sanksi dalam kuliah. Setelah semua
disepakati, maka semua yang terlibat dalam mata kuliah tersebut akan terikat dengan
kesepakatan itu.
Dalam realitanya sangat sedikit mahasiswa yang memanfaatkan moment tersebut, kecuali
hanya satu – dua mahasiswa. Rata-rata mereka langsung menerima prospectus tersebut
sebagai informasi yang harus diterima. Bahkan anehnya ada beberapa mahasiswa yang
tidak peduli dengan prospectus tersebut, dan menganggapnya hanya sebagai angin lalu
saja, tanpa ada bekasnya dilembaran kertas yang ia miliki. Akibatnya sudah bisa ditebak,
ibarat orang mau berjalan, sudah disediakan denah atau peta yang jelas, lengkap dengan
petunjuk kompasnya, namun tidak mau memanfaatkannya, ya seperti berjalan tanpa arah,
tanpa persiapan dan tanpa bekal. Bagaimana bisa diharapkan tumbuh idealisme dari
mahasiswa yang demikian ?
Sebagai dosen yang menyadari bahwa informasi yang dimiliki oleh dosen itu sangat
terbatas, sehingga mengajak mahasiswa untuk membaca langsung dari buku-buku
rujukan, namun kenyataannya lain. Masih banyak mahasiswa yang hanya
menggantungkan pada dosen sebagai satu-satunya sumber informasi. Buku refrensi yang
sudah ditunjukkan tidak pernah dicari, dengan berbagai alasan, sulit dicari, harganya
mahal dan sebagainya. Bagi sebagian dosen mungkin ini menguntungkan, karena
memposisikan dirinya sebagai orang yang pintar dan ‘paling tahu segalanya’.
Bila ada dosen yang menugaskan membuat makalah dan presentasi, apalagi yang bersifat
individual, maka banyak mahasiswa yang mencap, “dosen banyak tugas”. Mengapa
makalah harus sekian halaman, harus dengan sekian referensi. Atau mereka berkata,
makalah kelompok saja pak, ada pula yang mengatakan cemarah saja pak.
Kuliah dengan sistem seminar (ada mata kuliah tertentu yang tidak cocok dengan sistem
ini), dimaksudkan agar partisipasi mahasiswa lebih banyak. Mereka dapat langsung
mencari dari sumber rujukan yang ditunjuk, sekaligus dapat menganalisis dan menyusun
pola pikir dengan baik dan sistematis melalui presentasi di kelasnya. Dari makalah itu,
dosen dapat memberikan masukan maupun menerima masukan ilmu. Demikian pula
mahasiswa yang lain, tanpa dia harus mendalami semua topik yang diajarkan. Dengan
demikian akan tercipta kondisi ‘saling belajar’ dan menambah ilmu.
Dengan prospectus yang telah disampaikan oleh dosen di awal perkuliahan mestinya
mahasiswa dapat menjadikannya sebagai pedoman, persiapan apa yang harus dibawa
untuk mengikuti setiap perkuliahan sesuai dengan topiknya, bukan hanya topik makalah
yang ditugaskan kepadanya. Mahasiswa juga dapat ‘mengatur strategi’ dalam
menghadapi ujian dari dosen sesuai dengan kesepakatan di kuliah awal tersebut.
Tentang kuliah awal ini memang masih ada budaya yang kurang baik, entah awalnya dari
mana, “ah masih kuliah awal belum terlalu penting”, sehingga di minggu pertama kuliah
biasanya kelas masih kosong. Sejak awal kepemimpinan Dr. H.A.Qodri A. Azizy
(Mantan Rektor IAIN Walisongo), sudah diinstruksikan agar dosen masuk kelas sesuai
dengan awal masa perkuliahan. Jangan sampai ada kelas kosong pada minggu-minggu
pertama kuliah.
Hasilnya cukup lumayan, untuk Fakultas Tarbiyah, lebih dari delapan puluh prosen dosen
sudah memulai perkuliahan sejak minggu pertama perkuliahan. Namun demikian di
pihak mahasiswa kesadaran tersebut baru tumbuh sekitar tiga puluh prosen. Laporan dari
beberapa dosen, bahwa pada minggu-minggu pertama perkuliahan, mahasiswa yang hadir
hanya sekitas sepertiga dari jumlah kelas. Alasannya macam-macam, ada yang masih di
kampung, ada yang masih batal tambah, ada yang mengatakan belum penting dan
sebagainya.
Itulah sebuah realitas dunia kampus kita, yang tentu terkait dengan realitas-realitas yang
lain. Realitas tersebut antara lain adalah rendahnya sikap keingin tahuan, curiosity, untuk
haus terhadap ilmu pengetahuan baik di pihak dosen maupun di pihak mahasiswa. Akibat
rendahnya sikap curiosity ini, maka orang akan mudah puas dengan apa yang
dimilikinya. Lebih dari itu mungkin juga ada sikap arogansi intelektual. Merasa sudah
pintar sehingga tidak perlu belajar lagi. Ini pernah saya alami ketika menyampaikan
sebuah undangan dari panitia pelatihan manajemen IAIN kepada seorang dosen yunior,
bagaimana responnya ? positifkah ? ternyata jauh dari yang saya bayangkan. Dengan
angkuhnya dia mengatakan ‘ah manajemen paling kayak gitu’. Betapa arogannya dia
sehingga merasa tidak perlu ada upgrade ilmu-ilmu yang pernah ia dapatkan. Ilmu yang
pernah ia dapat sewaktu kuliah puluhan tahun yang silam, masih dipertahankan dan
disampaikan sebagaimana adanya kepada mahasiswa pada era sekarang. Padahal ilmu
pengetahuan telah berkembang dengan cepat seiring dengan perkembangan masa. Lima
tahun yang lalu komputer dengan prosessor 486 Hz sudah dianggap canggih, namun
sekarang, pentium sudah mencapai generasi keempat, dan akan terus berkembang.
Rendahnya sikap curiosity telah menghambat orang untuk selalu terbuka terhadap
pengetahuan baru.
Dulu orang belajar sesuatu harus berhadapan langsung dengan guru, datang ke majlis
pengajian, datang ke perpustakaan, tetapi dengan kecanggihan teknologi dari ruang
kamar yang berukuran dua kali tiga meter, dengan internet orang bisa mengakses berjuta
juta informasi tanpa harus datang ke majlis, atau langsung ketemu dengan guru. Dulu
kalau kita ingin membaca tafsir, harus membeli kita-kitab yang tebal dan harganya mahal,
sekarang hanya dengan sebuah note book dan sekeping cd al-Qur’an sudah lengkap ayat-
ayat dan tafsirnya dari beberapa kitab. Demikian pula hadits kutubussittah yang memuat
sembilan kumpulan kitab-kitab hadits besar, dapat diakses hanya dengan sekeping cd.
Untuk belajar bahasa, mulai dari anak-anak sampai dewasa, tidak harus datang ke tempat
kursus, sekarang sudah banyak cd program belajar bahasa.
Namun demikian untuk menuju ke arah itu masih ada realitas lain yang harus diakui,
yakni faktor ekonomi. Masih ada dosen yang tidak memiliki perpustakaan pribadi dan
tidak mau datang ke perpustakaan. Buku-buku yang dipakai untuk mengajar di kelas
tidak pernah berubah sejak awal dia mengajar sampai pensiun. Masih ada dosen yang
belum memiliki komputer, apalagi mengakses internet. Barangkali alasan klassik yang
dikemukakan adalah gaji yang diterima dosen tidak cukup untuk membeli buku,
langganan koran, langganan internet dan sebagainya. Itu memang kenyataan bahwa gaji
dosen di negeri kita masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan gaji guru SLTP di
Malaysia. Tetapi itu bukan alasan utama untuk tidak mau berkembang dan
mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya.
Di kalangan mahasiswa, faktor ekonomi ini juga menjadi alasan. Katanya uang saku dari
rumah tidak cukup untuk membeli buku. Tetapi kenapa tidak ke perpustakaan ? Katanya,
perpustakaan bukunya terbatas. Ya memang benar, perpustakaan yang kita miliki, masih
jauh dari memadahi. Idealnya, satu orang dapat meminjam buku antara 20 sampai 25
buku dalam jangka waktu dua bulan. Sehingga untuk membuat makalah dapat leluasa
mencari referensi di perpustakaan. Akan tetapi kalau kita menunggu kondisi ideal, apakah
kita baru akan maju setelah kondisi ideal ? Sampai kapan ?
Ada pengalaman menarik sewaktu kuliah di S-1. Ada seorang teman yang uang saku dari
orang tuanya jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan teman-temannya satu kost.
Katakanlah waktu itu rata-sata uang saku mahasiswa per bulan antara Rp 45 ribu sampai
Rp 60 ribu. Sementara uang saku seorang teman tersebut maksimal hanya Rp 10 ribu plus
beras 10 kg. Tetapi teman yang satu ini dapat membeli buku paling tidak 2 sampai 3 buku
setiap bulan. Sementara yang uang sakunya banyak ternyata habis untuk makan, jalan-
jalan dan beri berbagai assessoris. Kuncinya adalah pada kemauan, Rp 10 ribu
merupakan modal awal yang dapat dikembangkan. Kebetulan dia hobi menulis, dengan
modal itu ia belikan buku, kemudian diresensi dan dikirim ke media massa. Dari tulisan
tersebut ia mendapatkan uang, dan dari klipping tulisan tersebut yang dikirimkan ke
penerbit, ia mendapatkan buku-buku baru. Sekali lagi dimana ada kemauan di situ ada
jalan. Tak ada rotan, akarpun jadi.***
Penulis adalah mantan aktivis pers mahasiswa akhir tahun delapan puluhan. Sekarang
sebagai dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, dan Vice Editor in Chief
Joenal Ihya Ulum al-Din.
Diposkan oleh Fatah Syukur di 15:38 Link ke posting ini
23 Februari 2008
Silabus Akta IV
I. STANDAR KOMPETENSI
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep dasar Perenanaan Pembelajaran
dan Mampu Menerapkannya dalam Proses Pembelajaran dengan baik
REFERENSI :
Armai Arief, Dr., M.A., Pengantar Ilmu dan Meodologi Pendidikan Islam, Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
Basyiruddin Usman, Drs.M., M.Pd., Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
Dasim Budimansyah, Dr., M.Si., Model Pembelajaran Portofolio, Bandung: PT
Genesindo, 2003.
Fatah Syukur, Drs., M.Ag., Teknologi Pendidikan, Semarang: Rasail, 2004.
Khaeruddin, Drs., H. M.A., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Semarang: PMDC-
Pilar Media, 2007.
Nurhadi, Dr., M.Pd., Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK, Malang:
Universitas Negeri Malang, 2003.
Tim Depag, Kegiatan Pembelajaran, Jakarta: Dirjen Binbaga Departemen Agama RI,
2003.
Tim Depag, Panduan Pembelajaran, Jakarta: MP3A Departemen Agama RI, 2005
Tim Depag, Panduan Perencanaan & Pengembangan Madrasah, Jakarta: MP3A
Departemen Agama RI, 2005
Tim Depag, Pedoman Integrasi Life Skills Dalam Pembelajaran, Jakarta: Dirjen Binbaga
Departemen Agama RI, 2005.
Tim Depag, Pedoman Kegiatan Pengembangan Diri untuk Madrasah, Jakarta: Dirjen
Binbaga Departemen Agama RI, 2005.
Vembrianto, ST, Pengantar Perencanaan Pendidikan, Jakarta: Gramedia, 1993.
Diposkan oleh Fatah Syukur di 10:11 Link ke posting ini
PERENCANAAN PENGAJARAN
Pengertian :
Perencanaan pengajaran berarti pemikiran tentang penetrapan prinsip- prinsip umum
mengajar di dalam pelaksanaan tugas mengajar dalam suatu interaksi pengajaran tertentu
yang khusus baik yang berlangsung di dalam kelas ataupun diluar kelas.
Rencana pembelajaran pada hakekatnya merupakan perencanaan jangka pendek yang
dilakukan oleh guru untuk dapat memperkirakan berbagai tindakan yang akan dilakukan
di kelas atau di luar kelas. Perencanaan pembelajaran tersebut perlu dilakukan agar guru
dapat mengkoordinasikan berbagai komponen pembelajaran yang berorientasi (berbasis)
pada pembentukan kompetensi siswa, yakni kompetensi dasar, materi standar, indicator
hasil belajar, dan penilaian berbasis kelas (PBK). Kompetensi dasar berfungsi untuk
memberikan makna terhadap kompetensi dasar. Indikator hasil belajar berfungsi sebagai
alat untuk mengukur ketercapaian kompetensi. Sedangkan PBK sebagai alat untuk
mengukur pembentkan kompetensi serta menentukan tindakan yang harus dilakukan jika
kompetensi standar belum tercapai.
Perencanaan pengajaran mempunyai beberapa faktor yang mendukung tujuan
pembelajaran tercapai misal :
a. Persiapan sebelum mengajar
b. Situasi ruangan dan letak sekolah dari jangkauan kendaraan umum
c. Tingkat intelegensi siswa
d. Materi pelajaran yang akan disampaikan
Faedah perencanaan :
a. Karena adanya perencanaan maka pelaksanaan pengajaran menjadi baik dan efektif.
Yang dimaksud adalah maka seorang guru bisa memberikan materi pelajaran dengan baik
karena ia harus dapat menghadapi situasi di dalam kelas secara mantap, tegas dan
fleksibel.
b. Karena perencanaan maka seseorang akan tumbuh menjadi seseorang guru yang baik.
Yang di maksud adalah guru membuat persiapan yang baik dan adanya pertumbuhan
berkat pengalaman dan akibat dari hasil belajar yang terus menerus.
Bagaimana cara untuk mencapai hasil hasil belajar yang efektif yang dijadikan pedoman
dalam setiap kali membuat perencanaan ?
Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran terbagi atas 2 bagian :
1. Tujuan pembelajaran umum
2. Tujuan pembelajaran khusus, Kriteria :
a. Harus menggunakan istilah- istilah yang operasional, Spt : menuliskan, menyebutkan,
menghitung, membedakan, dsg.
b. Harus dalam bentuk hasil belajar, adalah Menggambarkan hasil belajar yang
diharapkan pada diri siswa setelah ia menempuh segala KBM atau dengan kata lain hasil
apa yang sudah diperoleh setelah ia mempelajari suatu pokok bahasan.
c. Harus berbentuk tingkah laku dari para siswa, artinya Setelah siswa mempelajari pokok
bahasan tsb adanya perubahan pengetahuan tentang materi pelajaran.
d. Hanya meliputi satu jenis tingkah laku, adalah Kemampuan yang dimiliki oleh siswa
cukup hanya terbatas saja.
Mengembangkan Evaluasi
Yang harus dilakukan dalam mengembangkan evaluasi;
a. Perlu ditentukan jenis- jenis test yang harus di buat
b. Mengembangkan alat evaluasi
Metodologi Pengajaran
1. Metode mengajar
2. Media pengajaran
Ada beberapa jenis media pengajaran yang dilakukan seorang guru :
1. Media gratis
2. Media tiga dimensi
3. Media proyeksi
4. Lingkungan
Faktor- faktor yang harus diperhatikan seorang guru dalam media pengajaran :
a. Relevansi pengadaan media pendidikan
b. Kelayakan pengadaan media pendidikan
c. Kemudahan pengadaan media pendidikan
Beberapa hal yang harus diperhatikan seorang guru dalam menggunakan media
pendidikan :
a. Apakah guru tersebut memahami manfaat media pengajaran
b. Guru harus terampil dalam menyediakan media pendidikan.
Adalah : Penilaian terhadap pertumbuhan dan kemajuan peserta didik kearah tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan untuk mengetahui sampai dimana daya serap siswa setelah
mengikuti pelajaran tersebut.
Azas :
a. Azas Objektivitas
b. Azas menyeluruh
c. Berkesinambungan
Penjelasan :
Objektif adalah suatu penilaian di katakan objektif apabila keadaan tepat menggambar
keadaan yang sebenarnya.
Menyeluruh apabila penilaian yang digunakan mencakup proses maupun hasil belajar
serta menggambarkan perubahan tingkah laku tidak sengaja saja dalam ranah kognitif
tetapi termasuk pula ranah efektif dalam psikomotor.
Berkesinambungan adalah pelaksanaan penilaian dilakukan secara terus menerus
berencana dan bertahap.
Pelaksanaan penilaian
Harus berkesinambungan maksudnya adalah penialaian yang dilakukan secara berencana,
terus menerus dan bertahap untuk memperoleh gambaran tentang perubahan tingkah laku
siswa sebagai hasil KBM
Cara penilaian
Dilakukan dengan 2 cara yaitu :
Ø Dengan cara kuantitatif
Ø Dengan cara kualitatif
Standart penilaian
Sejalan dengan prinsip belajar tuntas penilaian di gunakan dengan standart mutlak atau
penilaian acuan criteria artinya tidak ada pilih kasih.
Lingkup materi
1. Materi untuk siswa
2. Materi untuk guru
09 Februari 2008
Jual Rumah
RUMAH DIJUAL CEPAT
25 Januari 2008
Penelitian,
Abstraksi
Dunia pesantren merupan fenomena yang sangat menarik untuk diteliti. Lembaga yang
dikatakan ‘Tradisional’ ini memiliki nilai-nilai pendidikan yang tinggi yang tidak banyak
disadari dan diperhatikan oleh dunia pendidikan formal pada umumnya. Keberhasilan
pendidikan bukan hanya ditentukan oleh komunikasi formal antara pendidikan dan anak
didik, akan tetapi komunikasi informal dan komunikasi non formal justru merupakan
faktor penting penentu keberhasilan pendidikan.
Dalam pesantren bangunan komunikasi terjadi secara formal, non formal dan informal.
Selama dua puluh empat jam komunikasi dan interaksi terbangun di antara warga
pesantren, baik antara kyai-santri, santri-santri, santri-keluarga kyai dan santri-
masyarakat pesantren. Dalam interaksi tersebut, nilai-nilai pendidikan yang dibentuk oleh
pesantren mempunyai andil besar dalam menentukan keberhasilan belajar santri.
Hubungan santri-kyai-keluarga kyai-sesama santri terbentuk secara sosialogis, ideologios
dan informal. Berbeda dengan komuniasi ‘modern’, pola komunikasi dan interaksi lebih
didasarkan kepada kepentingan dan formalitas. Kehampaan komunikasi ‘modern’ antara
lain karena hanya didasarkan pada bentuk komunikasi formal, sedangkan komunikasi
informal dan non formal yang lebih humanis kurang mendapatkan perhatian yang
memadai.
Penelitian ini bermaksud mengkaji karakteristik nilai pendidikan pesantren, ragam nilai
pendidikan pesantren dan sistem nilai pendidikan dalam budaya organisasi di pesantren.
Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan dapat diadopsi ke dalam dunia pendidikan pada
umumnya.
Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Sistem nilai dalam budaya organisasi di
pesantren yang meliputi Pesantren Raudlatuttolibin, dan Pesantren Luhur Kota Semarang.
Di dua pesantren tersebut sebagian besar para santri adalah mahasiswa. Sebagai santri,
mereka mengikuti system budaya yang ada di pesantren pada umumnya, misalnya budaya
paternalistic dan sami’na wa atho’na. Namun sebagai mahasiswa, mereka selalu
berinteraksi dengan nilai-nilai demokratisasi dan liberalisasi pemikiran. Bagaimana
karakteristik budaya organisasi pesantren, ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren
dan bagaimana sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren
Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.
Secara praktis diharapkan bermanfaat memberi gambaran tentang sistem nilai pada
pesantren sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren
khususnya dan pendidikan pada umumnya. Memberi masukan kepada Departemen
Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Pendidikan, dan Organisasi
Keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan dalam memajukan lembaga pendidikan
berdasarkan sistem nilai.
Secara Teoritis diharapkan bermanfaat memperkaya teori manajemen pendidikan
(pesantren) terutama yang berkaitan dengan sistem nilai dalam budaya organisasi
pesantren yang dibangun dari dua kasus dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini semoga
dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya / peneliti lain yang ingin mengkaji lebih
mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk memperoleh
perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian
Penelitian ini menggunakan kerangka studi kasus. Dalam penelitian ini berusaha untuk
memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi tertentu. Untuk dapat
memahami makna peristiwa dan interaksi orang, digunakan orientasi teoritik atau
perspektif teoritik dengan pendekatan fenomenologis (phenomenological approarch).
Adapun metode dalam pengumpulan data dipergunakan interviw mendalam, observasi
partisipan dan studi dokumentasi. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menelaah
data. Pelaksanaan pengecekan keabsahan data didasarkan pada empat kreteria yaitu
derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan
(dependability) dan kepastian (confirmability). Data tersebut kemudian ditata, dibagi
menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, disintesis, dicari pola, ditemukan apa yang
bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematik.
A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15). Kemudian dalam pasal 30 (ayat 4)
dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Dengan adanya ketentuan ini, maka
secara formal pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak
mendapatkan perhatian yang serius sebagaimana sub sistem pendidikan nasional yang
lain.
Kendatipun secara resmi pesanten di Indonesia baru masuk dalam sistem pendidikan
nasional tahun 2003, namun peranan pesantren dalam pendidikan dan pembentukan
karakter bangsa Indonesia sudah dimulai sejak berdirinya pesantren itu sendiri.
Peranan lembaga-lembaga pendidikan pesantren di Indonesia cukup besar dalam
membina masyarakat. Lebih signifikan lagi adalah kiprah dunia pesantren dalam
mempertahankan bangsa dan negara dari tangan penjajah selama berabad-abad yang
berpuncak pada fatwa resolusi jihad Oktober 1945. Namun perhatian yang diberikan
kepadanya, baik oleh pemerintah, para ahli pendidikan, dan kalangan masyarakat belum
memadahi. Penilaian masyarakat terhadap lembaga pesantren masih lekat sebagai tempat
mempelajari agama melulu. Begitu juga pada level internasional, studi mengenai dunia
pesantren masih sangat langka. Sampai saat ini, baru ada tiga disertasi berbahasa Inggris
yang membahas topik dunia pesantren. Pertama "The Pesantren Tradition" (Tradisi
Pesantren) yang ditulis pada tahun 1980 oleh Dr. Zamakhsyari Dhofier dari the
Department of Anthropology and Sociology, Australian National University, Camberra.
Disertasi ketiga muncul tujuh belas tahun kemudian, Maret 1997 dengan judul "The
Pesantren Architects and Their Sosio-Religious Teachings" (Para Pelopor Dunia
Pesantren dan Ajaran-ajaran Sosial Keagamaan Mereka) oleh Abdurrahman Mas'ud dari
University of California Los Angeles, USA. Kebetulan kedua disertasi tersebut ditulis
oleh sarjana dari lingkungan pesantren sendiri. Dan desertasi ketiga adalah ditulis sarjana
Amerika Serikat, Ronald Alan Lukens-Bull, dari North Florida University, AS, dengan
judul Peaceful Jihad, di bawah bimbingan antropolog ahli Islam Jawa, Prof. Mark
Woodward.
Komunitas pesantren juga telah memainkan peran penting dalam. perkembangan ilmu di
tanah air dari dulu hingga kini. Saffina Belanda di abad sembilan belas, Berg, melaporkan
bahwa aspek moral akhlaq, serta tasawuf adalah bagian terpenting yang diajarkan dalam
institusi ini. (Lihat LM.C. Van den Berg, "Het Godsdientonderwijs op Java an Madoera
en de Daarbij Gebmikte Arabische Boeken," in Tijdshrift voor Indische Twd, Land en
Volkenkimde 31, 1886, p. 519-555). Selain itu pada umumnya pesantren-pesantren yang
berpengaruh menawarkan ajaran dan praktek tariqat bagi murid-murid yang tidak
menetap di pondok. Kegiatan yang terakhir ini biasanya ditangani oleh seorang guru sufi
yang masyhur dan diikuti ratusan atau ribuan santri yang cukup usia.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam telah membuktikan
keberadaannya dan keberhasilannya dalam peningkatan sumber daya manusia atau
human resources development. Dalam abad terakhir ini telah terbukti bahwa dari
pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan pemimpin masyarakat. Pesantren juga
telah memberikan nuansa dan mewarnai corak dan pola kehidupan masyarakat di
sekitarnya. Dengan kata lain, pesantren juga merupakan benteng pertahanan yang kokoh
dalam menghadapi dahsyatnya gelombang budaya dan peradaban yang tidak sesuai
dengan nilal-nilai Ilahiyyah. Sejarah telah mencatat prestasi pesantren sebagai pembentuk
kultur unik Islami yang terkenal dengan sebutan "kultur santri Jawa".
Keunikan pesantren terletak pada kecerdikannya dalam mengkombinasikan budaya lokal
dengan substansi dan ruh kehidupan yang serba Islam. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan sangat potensial dan eksepsional. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
dunia pesantren memiliki akar historis, ideologis, kultur yang cukup solid. Kekuatan
pesantren terletak pada konsistensinya melawan penjajah dalam. bentuk apapun dengan
landasan keagamaan seperti "perang jihad mempertahankan bangsa dan negara melawan
kafir".
Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa Walisongo dan Nabi Muhammad merupakan
kiblat utama kaum santri, dan bahwa modeling mengikati tokoh pemimpin, uswatun
hasanah, merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Kekuatan modeling ditopang
dan sejalan dengan value sistem Jawa yang mementingkan paternalism dan patron-client
relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa. Pendekatan dan
kebijaksanaan (approach & wisdom) Walisongo kini terlembagakan dalam esensi budaya
pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Melalui konsep terakhir
inilah keagungan Muhammad saw. serta kharisma Walisongo yang dipersonifikasikan
oleh para auliya dan kyai, terjunjung tinggi dari masa ke masa.
Dari sejarah dapat diambil suatu pelajaran bahwa semakin besar tantangan dunia
pesantren yang dihadapi, semakin resistan dan piawai dunia pesantren dalam merespons
tantangan tersebut. Di saat Belanda semakin mempersempit kehidupan sosial religius-
kultural bangsa paruh ketiga abad 19, justru muncul ulama'-ulama' pesantren kaliber
internasional seperti Nawawi al Bantani (meninggal 1997) dan Mahfud Termaz (1868-
1919) yang ketiganya dikenal sebagai Imam al-Haramain, guru besar di Mekkah dan
Madinah dengan karya-karya tulis mereka semuanya dalam bahasa Arab. Tiga ulama'
produktif ini merupakan fenomena pesantren yang jarang disentuh sekaligus
menghapuskan kesan bahwa dunia pesantren adalah dunia pidato, lisan dan podium.
Dengan demikian kesan tersebut merupakan kesan yang tidak diimbangi dengan
pembacaan sejarah secara utuh, atau dalam istilah ilmiah disebut ovesimplification atau
bahkan stereotyping.
Di saat tantangan Belanda semakin membabi buta ini pulalah, mucul pesantren induk, the
mother of pesantrens, seperti Tebuireng di penghujuang abad 19. Jelas sekali bahwa
tumbuh dan berkembangnya pesantren-pesantren ini tidak lepas dari ikatan ideologis
kultural dan edukasional.
Besarnya peran yang dimainkan oleh pesantren tersebut bukan suatu kebetulan, tetapi ada
nilai-nilai yang mendasarinya. Owens (1995:81) menyodorkan dimensi soft yang
berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi, yaitu nilai-nilai (values), keyakinan
(biliefs), budaya (culture), dan norma perilaku. Nilai-nilai adalah pembentuk budaya, dan
merupakan dasar atau landasan bagi perubahan dalam hidup pribadi atau kelompok.
Dalam hubungannya dengan pesantren, pemahaman santri terhadap ajaran agamanya,
menuntut mereka untuk berperilaku sesuai dengan esensi ajaran agamanya, dalam kajian
budaya (organisasi), wujud kebudayaan tingkat pertama, yaitu kebudayaan ideal,
termasuk dalam hal ini ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya. Sedang lapisan yang paling tinggi tingkatannya disebut dengan sistem nilai
budaya yang biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan
dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Sistem
nilai budaya sebagai wujud kebudayaan ideal yang paling abstrak berada dalam pikiran
warga masyarakat (pesantren) di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Dalam
dimensi ini, sistem nilai budaya yang berkembang dalam alam pikiran umat beragama
itulah yang menuntun perilaku mereka, termasuk dalam pengelolaan pesantren dan
interaksinya dengan komunitas internal dan eksternal pesantren.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut banyak hal-hal menarik dan perlu dikaji
dari dunia pesantren terutama yang menyangkut sistem nilai dalam budaya organisasi di
pesantren yang mendasari pola fikir dan akitivitas dalam merespon perkembangan
budaya di pesantren dan di luar pesantren. Secara lebih spesifik, pola fikir dan aktivitas
yang terpancar dari sistem nilai tersebut antara lain tercermin dalam: (1) Pola
pembelajaran di pesantren, (2) Semangat pengabdian di pesantren, (3) Pola hubungan
santri dengan kyai, santri dengan keluarga kyai, santri dengan santri dan santri dengan
masyarakat, dan (4) Pola pemikiran dunia pesantren dalam merespon perubahan sosial,
ekonomi, dan politik.
B. Fokus Penelitian
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka fokus yang diteliti dalam
penelitian ini adalah : Sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang meliputi
Pesantren Raudlatuttolibin, dan Pesantren Luhur Kota Semarang.
Fokus tersebut kemudian dirinci menjadi tiga sub fokus, yaitu:
Karakteristik budaya organisasi pada dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan
Pesantren Luhur Semarang
Ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan
Pesantren Luhur Semarang
Sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan
Pesantren Luhur Semarang.
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian, secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui
penelitian ini adalah menemukan sekaligus mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya
organisasi pesantren, yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
Tujuan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tujuan khusus, yakni sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui karakteristik budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren
Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.
2. Ingin mengetahui ragam nilai dalam budya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren
Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
3. Ingin mengetahui sistem nilai dalam budaya organisasi di dua pesantren yaitu
Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
4. Ingin mengetahui perbedaan sistem nilai dalam budaya organisasi di Pesantren
Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis :
a. Memberi gambaran tentang sistem nilai pada pesantren dan yang dikembangkan
sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren khususnya
dan pendidikan pada umumnya.
b. Memberi masukan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional,
Yayasan Pendidikan, dan Organisasi Keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan
dalam memajukan lembaga pendidikan berdasarkan sistem nilai.
2. Manfaat Teoritis :
a. Secara konseptual dapat memperkaya teori manajemen pendidikan (pesantren)
terutama yang berkaitan dengan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang
dibangun dari dua kasus dalam penelitian ini.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya / peneliti lain yang
ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk
memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian.
E. Kerangka Konseptual
a. Budaya Organisasi
Istilah “budaya” mula-mula berkembang dalam disiplin antropologi sosial. Budaya
sebagaimana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun persepsi,
mengidentifikasikan apa yang dilihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta
menghindar dari orang lain.
Budaya diartikan sebagai “totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan,
dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu
masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama” (Kotter&Heskett, 1992:4).
Selain itu kebudayaan juga diartikan sebagai norma-norma perilaku yang disepakati olek
sekelompk orang uuntuk bertahan hidup dan berada bersama (Farid, E.&Philip, RH.
1997). Secara sederhana, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan
pengetahuan yang digunakan oleh manusia sebagai pedoman untuk memahami
lingkungannya dan sebagai pedoman untuk mewujudkan tindakan dalam menghadapi
lingkungannya.
Koentjaraningrat (1989) menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah
meliputi: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi
kemasyarakat, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata
pencaharian, (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa budaya
mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai: (1) suatu komplek ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) suatu kompleks aktivitas
kelakuan dari manusia dalam masyarakat; dan (3) sebagai benda-benda karya manusia.
Tiga macam wujud budaya di atas, dalam konteks organisasi disebut dengan budaya
organisasi (organizational culture). Dalam kontek perusahaan, diistilahkan dengan
budaya perusahaan (corporate culture), dalam lembaga pendidikan/sekolah disebut
dengan budaya sekolah (school culture) dan dalam pesantren dapat dikatakan sebagai
budaya pesantren (pesantren culture).
Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-
anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna
bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik
utama yang dihargai oleh organisasi itu.
Riset terbaru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang bersama-sama,
menangkap hakekat dari budaya suatu organisasi (J.A. Chatman dan K.A. John, 1994):
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauhmana para karyawan didorong untuk inovasi
dan mengambil resiko.
2. Perhatian ke rincian. Sejauhmana para karyawan diharapkan memperhatikan presisi
(kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian.
3. Orientasi hasil. Sejauhmana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik
dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.
4. Orientasi orang. Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil
pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan sekita tim-tim, bukannya
individu-individu.
6. Keagresifan. Sejauhmana orang-orang itu agresif dan kometitif dan bukannya santai-
santai.
7. Kemantapan. Sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status
quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Masing-masing ciri ini dalam sebuah kontinum dari rendah sampai tinggi. Oleh karena
itu dengan menilai organisasi tersebut dari ketujuh dimensi ini orang akan mendapatkan
gambaran mejemuk tentang budaya organisasi tersebut.
Pengaruh budaya terhadap kinerja organisasi dapat dilihat dari dimensi manajemen,
anggota secara kelompok, dan anggota secara individual. Budaya organisasi merupakan
determinan bagi perilaku manajemen, disamping struktur, kepemimpinan, dan lingkungan
eksternal.
Dari sudut anggota secara kelompok, budaya organisasi akan memberikan arah
(direction) dalam menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini
budaya organisasi dapat memberikan pengaruh positif atau negatif, tergantung kecocokan
(compatible) atau tidaknya budaya tersebut dengan perkembangan lingkungan internal
maupun eksternal. Selain itu, budaya organisasi yang tersebar merata pada semua anggota
organisasi, akan memberikan citra mengenai lembaga tersebut di mata customer.
Secara individual, budaya organisasi yang meresap dengan kita pada masing-masing
anggota, akan menumbuhkan komitmen, sebagaimana dicontohkan suatu sekte
keagamaan dapat mempengaruhi pengikutnya untuk melakukan bunuh diri secara
sukarela. Komitmen di sini diartikan sebagai suatu kondisi di mana anggota organisasi
memberikan kemampuan dan loyalitas tertingginya kepada organisasi, yang dengan itu
mereka mendapatkan kepuasan (Hodge & Anthony, 1988).
c. Budaya Pesantren
Asal usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di
Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga
pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana
Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik, Jawa Timur), "Spiritual father" Walisongo,
dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren
di tanah Jawa. Oral history yang berkembang memberi indikasi bahwa pondok-pondok
tua dan besar di luar Jawa juga memperoleh inspirasi dari ajaran Walisongo. Figur
Maulana Malik Ibrahim memang sangat populer di luar Jawa pula. Misalnya pesantren
Nahdlatul Wathan yang didirikan tahun 1934 di Pancor Lombok Timur NTB dan dewasa
ini santrinya tidak kurang dari sepuluh ribu dengan cabangnya di Jakarta, ternyata juga
memperoleh inspirasi dari ajaran da`wah Islamiyyah Maulana Malik Ibrahim. Tokoh ini
akrab bukan hanya bagi para pemimpin pendiri Nahdlatul Wathan, tapi juga bagi para
santri dan alumninya saat ini.
Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 15-16 yang telah berhasil
mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada
masyarakat. Mereka secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria,
dan Sunan Gunungjati. Wali dalam bahasa Inggeris pada umumnya diartikan “saint,”
sementara songo dalam bahasa Jawa berarti sembilan. Diduga Wali yang dimaksud lebih
dari sembilan, tapi agaknya bagi masyarakat Jawa angka sembilan memiliki makna
tersendiri yang cukup istimewa. Para santri Jawa berpandangan bahwa Walisongo adalah
pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual relijius mereka, bumi
jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang. Lebih dari
itu, sebagaimana yang dideskripsikan Prof. A.H. John (Australia National University),
mereka memiliki keampuhan spiritual healing atau penyembuhan berbagai macam
penyakit rakyat dengan dukungan ekonomi mereka yang cukup kuat sebagai merchant.
Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan relijius di Jawa demikian memikat
hingga bisa dikatakan bahwa Islam tidak akan pernah menjadi “the religion of Java” jika
sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan
ciri-ciri ini akan memungkinkan kita untuk memahami mengapa ajaran Islam yang
diperkenalkan Walisongo di tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, terkesan lamban
tapi meyakinkan. Fakta menunjukkan bahwa dengan cara mentolerir tradisi lokal serta
memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam,
agama baru ini dipeluk oleh bagsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di
pesisir utara.
Pendekatan Professor A.H. John perlu dikemukakan di sini untuk mengimbangi hasil
penelitian Clifford Geertz yang ensiklopedis tapi masih belum mampu menjawab
pertanyaan mengapa kemenangan Islam di Jawa demikian konklusif dan meyakinkan
sebagaimana yang kita lihat dewasa ini. Penelitian antropologis Geertz sangat
mengasosiakan Islam di Jawa dengan warisan-warisan Hindu-Buda. Bahwa Islam di
Jawa sinkretis dan superficial sebagimana asumsi Geertz, jelas tidak didasarkan pada
pengamatan proses Islamisasi dan transformasi sosial yang panjang serta memisahkan
Islam Jawa dari peta dunia Islam secara keseluruhan. Hal ini tentu tidak sah menurut
pendekatan sejarah dan dalam waktu yang sama telah mengecilkan peran besar
Walisongo yang telah disepakati oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim dan non-Muslim.
Menarik untuk diamati mengapa change dalam bentuk konversi Hindhu-Budha ke Islam
justru terjadi pertama di antara masyarakat nelayan bukan kerajaan di pedalaman. Dalam
Islam, egalitarianisme, kesamaan hak individu, yang merupakan salah satu ajaran utama
Islam agaknya sejalan dengan pandangan masyarakat pesisir yang lebih egalitarian.
Keterbukaan dan mobilitas adalah ciri lain masyarakat pesisir yang lebih kondusif
terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar maupun dalam. Letak geografis
"coastal area" sebagai tempat persinggahan dan pusat kontak masyarakat dunia serta ciri
dasar masyarakat pesisir agaknya juga telah membantu mempermudah masuknya Islam
di Jawa.
Dari uraian sejarah pesantren di atas, sesungguhnya bisa ditarik benang merah tentang
hakikat dan watak dasar pesantren baik sebagai lembaga pendidikan maupun sebagai
sosio-kultural politik. Tanpa bertujuan mereduksi peran-peran pesantren dalam segala
dimensinya, di bawah ini adalah refleksi pesantren sebagai sebuah budaya yang unik.
Karakteristik utama budaya pesantren di antaranya adalah:
a. Modeling
Modeling dalam ajaran Islam bisa diidentikkan dengan uswatun hasanah atau sunnah
hasanah yakni contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam
komunitas ini. Tidak menyimpang dari ajaran dasar Islam, modeling dalam dunia
pesantren agaknya lebih diartikan sebagai tasyabbuh:
Jika dalam dunia Islam, Rasulullah adalah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu
diragukan lagi, dalam masyarakat santri Jawa kepemimpinan Rasulullah diterjemahkan
dan diteruskan oleh para Walisongo yang dikemudian hari sampai kini menjadikan
mereka sebagai kiblat kedua setelah Nabi. Telah dimaklumi bersama bahwa Masjid
Demak yang diresmikan oleh Sunan Kalijaga pada tanggal l Dzul Qa`dah 1428, pada
umumnya disepakati sebagai masjid pertama di tanah Jawa dan dibangun sebelum
Kerajaan Demak berdiri. Upaya mendahulukan pendirian Masjid sebelum negara Demak
pada hakikatnya sama dengan upaya Nabi mendirikan Masjid Quba di Madinah sebelum
kota suci ini dijadikan negara bagi seluruh penduduknya yang plural. Bagi umat Islam,
Masjid adalah lambang dan perwujudan akhirat yang statusnya tentu lebih mulia dari
gemerlapan duniawi dalam berbagai macam daya pikatnya. Dengan analogi ini, bisa
difahami bila sebagian besar `ulama Jawa menjustifikasi apa yang dilakukan oleh Sunan
Kalijaga dengan pendirian masjidnya sebagai bagian dari pelaksanaan Sunnah Nabi:
yakni sebuah modeling par excellence.
Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin
merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Walisongo yang menjadi kiblat kaum
santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin Muslimin, Nabi Muhammad saw.
Kekuatan modeling didukung dan sejalan dengan value sistem Jawa yang mementingkan
paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat
Jawa
Para Walisongo selalu loyal pada missinya sebagai penerus Nabi yang terlibat secara fisik
dalam rekayasa sosial. Misi utama mereka adalah menerangkan, memperjelas, dan
memecahkan persoalan-persoalan masyarakat, dan memberi model ideal bagi kehidupan
sosial agama masyarakat. Model Walisongo yang diikuti para `ulama dikemudian hari
telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa
mereka pada kepemimpinan protektif dan efektif. Approach dan wisdom Walisongo kini
terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan
kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan
antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep terakhir inilah
keagungan Muhammad saw serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para
auliya dan kiyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Bahwa pendidikan Islam
Walisongo ditujukan pada massa ini bisa dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian
pesantren. Pendidikan yang merakyat ini tidak diragukan lagi adalah induk pendidikan
Islam di Indonesia atau the mother of Muslim educational institution. Pendekatan
pendidikan Walisongo dewasa ini telah tersosialisasi secara luas dalam komunitas ini
seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, serta pemahaman dan pengarifan
terhadap budaya lokal.
Meskipun demikian pendidikan Islam Walisongo juga ditujukan pada penguasa.
Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam
istilah populer “Sabdo Pandito Ratu” yang berarti menyatunya pemimpin agama dan
pemimpin negera. Dengan kata lain dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak
mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisongo. Hal ini sesuai dengan watak dasar
agama tauhid ini yang tidak memberi ruang pada sekularisme. Ajaran ini adalah warisan
Sunan Kalijaga, sebagai grand designer yang telah mewariskan sistem Kabupaten di Jawa
tipikal dengan komponen-komponen kabupaten, alun-alun, dan masjid agung. Ajaran ini
dikemudian hari dipopulerkan oleh Sultan Agung. Menarik untuk dijadikan renungan
sejarah bahwa barangkali masjid-masjid "agung" di Jawa saat ini, adalah bentuk
modeling yang tidak disadari atas historisitas peninggalan Sultan Agung. Hubungannya
bukan sekedar terdapat pada nama "agung" yang telah menyejarah dan melegenda,
melainkan juga pada substansi dan format al-madinah al-fadilah ini.
Seperti yang telah disinggung di atas, pendidikan Walisongo mudah ditangkap dan
dilaksanakan. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi wa khatibinnas `ala qodri `uqulihim.
Pola pendidikan ini terlihat dalam rumusan naskah Islam Jawa klasik “arep atatakena
elmu, sakadare den lampahaken”(Carilah ilmu yang bisa engkau praktekan, terapkan).
Pendekatan ini pula yang mengantarkan pendidikan Islam melalui media wayang yang
begitu merakyat. Ajaran rukun Islam dengan demikian bisa ditemukan dalam cerita
perwayangan, seperti syahadatain sering dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa,
tokoh tertua di antara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa (syahadatain)
digambarkan sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyat, yakni
pemimpin yang konsisten kata dan perbuatannya. Tingkah laku yang tidak munafik ini
adalah refleksi tindakan dan ucapan kaum beriman atau “lips of faith.” Ajaran Islam yang
diperagakan melalui media wayang merupakan model yang mudah dicontoh. Modeling
dalam dunia pesantren memang tidak terbatas pada satu dimensi kehidupan. Hal ini
sekaligus memberi indikasi bahwa masyarakat ini senantiasa membutuhkan model
kepemimpinan yang ideal dalam segala bentuk dan zaman.
b. Cultural resistance
Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya
pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan
konsekuensi logis dari modeling. Disayangkan bahwa hampir belum ada ilmuwan yang
memusatkan perhatian pada tiga aspek ini secara proporsional. Konsepsi ini bahkan
sering disalahfahami oleh sarjana-sarjana Barat seperti penghampiran mereka yang lebih
memusatkan perhatian pada sinkretisme Islam atau juga studi yang lebih menekankan
wajah Hindhu-Budha sebagai induk budaya Jawa sementara Islam dipandang sebagai
anak budaya. Dengan kata lain meskipun Islamisasi telah terjadi di sini sejak abad 14,
Islam masih dipandang sebagai baju atau kulit luar budaya Jawa. Kesalahan ini sering
disebabkan oleh ketidak mampuan mereka dalam memahami teks-teks standar Sunni
Islam, misalnya konsep tentang inovasi al muh}a>faz}at ala> qadi>m al s}a>leh wa al
akhz}u bi al jadi>d al as}lah (menjaga suatu tradisi yang baik dan mengambil tradisi
yang lebih baik). Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar mereka yang mempelajari
Islam Jawa hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu sosial khususnya antropologi. Dengan
kata lain mereka tidak memiliki disiplin ilmu Islamic Studies. Mereka yang banyak
belajar kajian ke-Islaman seperti Prof. A.H. John dan Markwood Ward akan
menghasilkan kesimpulan lebih simpatik terhadap dinamika budaya Islam Jawa.
Walisongo dan para kiyai Jawa adalah agent of social change melalui pendekatan
kultural, bukan politik struktural apalagi kekerasan. Istilah Islam kultural yang selama ini
ditujukan pada pendekatan Abbdurrahman Wahid dan Nur Cholis Majid, sesungguhnya
secara substansial tidak berbeda dengan pendekatan Walisongo dan `ulama-`ulama
terdahulu. Apa yang terjadi bukanlah intervensi melainkan akulturasi dan peaceful
coexistence.
Ide cultural resistence juga mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren. Subjek yang
diajarkan di lembaga ini melalui hidayah dan berkah seorang kiyai sebagai guru utama
atau irsya>du usta>zin. Adalah kitab klasik atau kitab kuning, diolah dan ditransmisikan
dari satu generasi ke genarasi berikut, yang sekaligus menunjukkan keampuhan
kepemimpinan kiyai. Isi pengajaran kitab kuning menawarkan kesinambungan tradisi
yang benar, al-qadim al-salih, yang mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode
klasik dan pertengahan. Memenuhi fungsi edukatif, materi yang diajarkan di pesantren
bukan hanya memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban
Islam masa lalu, tapi juga menunjukkan peran masa depan secara konkrit, yakni to live a
Javanese Muslim life: cara hidup yang mendambakan damai, harmoni dengan
masyarakat, lingkungan, dan Tuhan.
Karena konsepsi cultural resistance pula, dunia pesantren selalu tegar menghadapi
hegemoni dari luar. Sejarah menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas, saat
itu pula perlawanan kaum santri semakin keras. Penolakan Sultan Agung dan Diponegoro
terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran kiyai-kiyai di masa penjajahan, serta kehati-
hatian para pemimpin Islam berlatarbelakang pesantren dalam menyikapi kebijaksanaan
penguasa yang dirasakan tidak bijaksana atau sistem yang established sehingga
menempatkan mereka sebagai kelompok "oposan" adalah bentuk-bentuk cultural
resistance dari dulu hingga sekarang. Dalam konteks ini bisa difahami jika pesantren-
pesantren tua dan besar selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka yang berupa
kesinambungan ideologis dan historis, serta mepertahankan budaya lokal: a historical and
ideological continuum with its cultural resistance. Denominasi keagamaan dunia
pesantren yang Syafi`i-Asy`ari-Ghazalian-Oriented terbukti sangat mendukung terhadap
pengembangan dan pelaksaan konsep cultural resistance ini. Menarik diamati bahwa
kaum santri tidak pernah menyebut Syafi`i dan Ghazali terlepas dari kata “Imam” di
depan tiga nama itu. Bukankah ini tradisi unik dunia pesantren yang tidak dijumpai di
negara-negara Islam lain. Modeling terhadap tiga tokoh ini dan cultural resistence dalam
bentuk kesinambungan kesejarahan adalah tiga konsep yang telah menyatu dalam
illustrasi terakhir ini.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian
Pendekatan merupakan kerangka berfikir/kerangka kerja, term of work, term of thinking
yang mendasari dari penelitian ini. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran
mendalam tentang sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren dengan pendekatan
kualitatif. Data dikumpulkan dari latar yang alami (natural setting) sebagai sumber data
langsung. Pemaknaan terhadap data dihasilkan dari kedalaman atas fakta yang diperoleh.
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan sekaligus mendeskripsikan data secara
menyuluh dan utuh mengenai sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren.
Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat membangun teori secara induktif dari
abstraksi-abstraksi data yang dikumpulkan tentang sistem nilai budaya organisasi
pesantren berdasarkan temuan makna dalam latar yang alami.
Pesantren yang menjadi obyek penelitian ini adalah Pesantren Raudlatuttolibin dan
Pesantren Luhur Semarang.. Kedua pesantren tersebut memiliki kekhasan masing-masing
dalam mengekspresikan sistem nilai dalam pendidikannya.
Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus. Sebagaimana ditegaskan oleh Bodgan
dan Biklen (1998:62) bahwa:
When research study two or more subjects, setting or depositories of data they are usually
doing what we call multi-case studies. Multi-case studies take a variety of forms. Some
start as a single case only to have the original work serve as the first in series of studies or
as the pilot for a multi-case study. Other studies are primarily single-case studies but
include less intense, less extensive observations at other sites for the purpose of
addressing the question of generalizability. Other researchers do comparative case
studies. Two or more case studies are done and then compared and contrasted.
Karakteristik utama studi kasus adalah apabila peneliti meneliti dua atau lebih subjek,
latar atau tempat penyimpanan data. Kasus yang diteliti adalah sistem nilai dalam budaya
organisasi pesantren yang memiliki latar berbeda. Pesantren Raudlatuttolibin Semarang
hampir sebagian besar santrinya adalah mahasiswa. Keberadaan santri sebagai mahasiswa
ini menjadikan pola pembelajaran di pondok dan sistem penentuan kurikulum pondok
lebih akomodatif. Sebagian besar program pembelajaran di pondok dirancang bersama
antara kyai dan santri. Kemudian Pesantren Luhur Mangkang Semarang merupakan
pesantren salafiyah. Ada dua bagian dalam pondok ini, yakni santri mahasiswa yang
berada di ‘komplek’ dan santri yang hanya mondok. Dalam penelitian ini yang menjadi
fokus kajian adalah santri yang hanya mondok. Pola pembelajaran di sini mengikuti
model salaf murni, dimana para santri hanya diberi materi pembelajaran kitab-kitab
kuning tanpa sekolah. Mereka tinggal di pondok secara full time.
Rancangan studi kasus dilakukan sebagai upaya pertanggungjawaban ilmiah berkenaan
dengan logis antara penelitian, pengumpulan data yang relevan, dan analisis data
penelitian.
Memperhatikan keberadaan masing-masing pesantren tersebut di atas, kasus dan
karakteristik keduanya berbeda-beda, terutama dari segi nilai-nilai yang dianut, maka
penelitian ini cocok untuk menggunakan rancangan studi kasus. Penerapan rancangan
studi multi kasus dimulai dari kasus tunggal (sebagai kasus pertama) terlebih dahulu,
kemudian dilanjutkan pada kasus kedua.
Sebagai penelitian studi kasus, maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) melakukan pengumpulan data pada kasus
pertama, yaitu Pesantren Raudlattolibin Semarang. Penelitian ini dilakukan sampai pada
tingkat kejenuhan data, dan selama itupula dilakukan kategorisasi dalam tema-tema untuk
menemukan konsepsi tematik menganai sistem nilai dalam budaya orgnisasi di pesantren
tersebut; (2) melakukan pengamatan pada kasus kedua, yaitu Pesantren Luhur Mangkang
Semarang. Tujuannya adalah untuk memperoleh temuan konseptual mengenai sistem
nilai dalam budaya organisasi di pesantren tersebut.
Berdasarkan temuan konseptual dari kedua pesantren tersebut, selanjutnya dilakukan
analisis komparasi dan pengembangan konseptual untuk mendapatkan abstraksi tentang
karakteristik budaya organisasi, ragam nilai, dan sistem nilai dari kedua pesantren
tersebut. Dalam hal ini dilakukan analisis termodifikasi sebagai suatu cara
mengembangkan teori dan mengujinya .
Dalam penelitian ini berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi orang
dalam situasi tertentu. Untuk dapat memahami makna peristiwa dan interaksi orang,
digunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik dengan pendekatan fenomenologis
(phenomenological approarch).
Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengamati fenomena-fenomena dunia konseptual
subjek yang diamati melalui tindakan dan pemikirannya guna memahami makna yang
disusun oleh subjek sekitar kejadian sehari-hari. Peneliti berusaha memahami subjek dari
sudut pandang subjek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan penafsiran, dengan membuat
skema konseptual. Menurut Weber, pendekatan fenomenologi disebut verstehen apabila
mengemukakan hubungan antara gejala-gejala sosial yang dapat diuji, bukan pemahaman
empirik semata. Dengan menggunakan metode Verstehen ini, peneliti dapat memahami
secara emik konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai, ide-ide, gagasan-gagasan,
dan norma-norma yang berlaku di tiga pesantren tersebut, sehingga tidak terjadi
kekeliruan penafsiran atas makna objek yang diteliti.
Kecuali pendekatan fenomenologis, mengingat penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, maka untuk memahami
perbedaan budaya yang muncul pada masing-masing pesantren digunakan pula orientasi
teoritik dengan pendekatan budaya untuk memahami hakekat sudut pandangnya,
keterkaitan dengan kehidupan, dan untuk mengungkap visinya mengenai dunianya.
F. Jadual Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, dengan perincian waktu sebagai
berikut :
1. 1 – 15 Juli 2006 Penyusunan Proposal
2. 16 – 31 Juli 2007 Studi kelayakan lapangan
3. 1 – 15 Agustus 2007 Pendalaman Pustaka
4. 15 Agustus 2007 Penelitian Lapangan
5. 1 – 15 September 2007 Penulisan Draft laporan
6. 15 – 31 Seeptember 2007 Perbaikan laporan
7. 1 – 15 Oktober 2007 Penggandaan laporan
G. Rancangan Biaya
Semua anggaran yang berkaitan dengan penelitian ini diambilkan dari PUSLIT IAIN
Walisongo yang berjumlah Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).
Dengan perincian sebagai berikut :
1. Pembelian buku-buku / foto copi Rp 2.750.000,00
2. Pembelian ATK Rp 2.000.000,00
3. Transportasi dan Akomodasi Rp 750.000,00
4. Komputerisasi & Penulisan Rp 1.000.000,00
6. Penjilidan/penggandaan laporan Rp 1.000.000,00
Jumlah Rp 7.500.000,00
Brannen, Julia, 2002, Memadu Metode Penelitian – Kualitatif & Kuantitatif. Terjemahan
H. Nuktah Arfawie Kurde, dkk. Samarinda dan Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN
Antasari dan Pustaka Pelajar.
Bull, Ronald Alan Lukens. 2004. Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika.
Yogyakarta: Gama Media.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung:CV. Pustaka Setia.
Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Ummat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di
Jawa. Yogyakarta: LKIS.
Faisal Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif – Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang YA3
Malang.
Frances Hesselbein etc. 1996. The Leader of the Future. San Fransico: Jossey-Bass
Publisher.
Fuad Riyadi, Muhammad. 2001. Kampung Santri, Yogyakarta: Ittaqa Press.
Ismail SM. Dkk. editor. 1999. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Semarang-Yogyakarta.
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo kerjasama dengan Pustaka Pelajar.
John W. Best. 1981. Research in Education. Canada: Prentice-Hall of Canada, Ltd.
Marzuki Wahid dkk. Editor. 1999. Pesantren Masa Depan. Bandung. Pustaka Hidayah.
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Masyhud, Sulthon, Muh. Khusnurridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta:
Diva Pustaka.
Mc.Millan, James H. and Sally Schumacher. 2001 Research in Education – A Conceptual
Introduction. New York: Longman.
Moleong, Lexy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT Remaja
Rosdakarya.
Mulyono, Rohmat.2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: CV Alfabeta.
Nurkhalik Ridwan. 2004. Santri Baru, Yogyakarta: Gerigi Pustaka.
Razik, Taher A. 1995. Fundamental Concepts of Educational Leadership and
Management. Ohio: Englewed Cliffs, New Jersey.
Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior. U.S.A: Prentice Hall International,
Inc.
Steenbrink, Karel A. 1985. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Sugiono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sujuthi, Mahmud. 2001. Politik Tarekat, Yogyakarta: Galang Press.
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press.
Zulkifli. 2002. Sufism in Java, The Role of the Pesantren in the Maintenance of Sufism in
Java. Jakarta:INIS.
Diposkan oleh Fatah Syukur di 07:38 Link ke posting ini
Label: Penelitian
Posting Lama
Langgan: Entri (Atom)
amazon
amazon
CARI BUKU
Abiq-Michael
Serius Amat Sich. Lihat Apa Tuh
Selamat Datang
Selamat Datang dan Terima Kasih Atas Kunjungan Anda, semoga mendapat manfaat dari
blog kami
Mampir Juga
http://ringinsemar.net
Arsip Blog
▼ 2009 (2)
o ▼ Januari (2)
conoth PTK
contoh PTK
► 2008 (16)
o ► Desember (2)
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansek...
Media Pembelajaran
o ► Mei (1)
RPP
o ► Maret (1)
Pendidikan Tinggi
o ► Februari (3)
Silabus Akta IV
Bahan Ajar Akta IV
Jual Rumah
o ► Januari (9)
Penelitian,
Peradaban Islam
Pengajaran Sejarah
Bulletin
HIJRAH NABI
Media Pendidikan
media pendidikan
ESQ
Madrasah dan Peran Masyarakat
► 2007 (3)
o ► Desember (3)
Aswaja
Sistem Nilai Budaya Pesantren
Implementasi TQM di Madrasah
Anda Tahu
Fatah Syukur
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Drs. H. Fatah Syukur NC, M.A., adalah Dosen Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo dan
UNWAHAS Semarang, Vice Editor in Chief Journal IHYA ULUM al-DIN,
Sekretaris Ekskutif Pesantren and Madrasah Development Centre, sebuah
organisasi non-government yang bergerak dalam penelitian, pendidikan,pelatihan
dan penerbitan tentang pesantren dan madrasah. Sekarang sedang menyelesaikan
disertasi Doktor dalam bidang Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri
Semarang. Perhatian dia terhadap pesantren, telah mengundang Profesor
NISHINO Setsuo, Ph.D., dari Nagoya University untuk menjadi counterpart
dalam penelitiannya tentang perkembangan pesantren di Indonesia selama satu
tahun, 2005-2006. Pada tahun 2007 penulis dipercaya untuk menjadi Konsultan
Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Perluasan Akses SMP di Kantor
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, pada seksi Pendidikan
SMP. ***
Lihat profil lengkapku