Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KETIDAKEFEKTIFAN KOPING


DI RUANG ARJUNA RSUD BANYUMAS
BANYUMAS

Tugas Mandiri
Stase Keperawatan Jiwa Tahap Profesi
Program Studi Ilmu Keperawatan

Disusun oleh :
Ivo Fridina
16/406334/KU/19340

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. KONSEP SKIZOFRENIA
1. Pengertian Skizofrenia
Menurut Stuart (2013), skizofrenia adalah suatu penyakit otak yang persisten
dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan
dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah.
Menurut Elin et. al skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai
dengan pola pikir tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak
tepat serta adanya gangguan fungsi psikososial.
Melinda Hermann (2008) dalam Yosep & Sutini (2014) mendefinisikan
skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara
berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya (Neurological disease that affects a
person’s perception, thinking, language, emotion, and social behavior).
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi
fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, emosional dan tingkah
laku. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri
hilangnya perasaan afektif atau respon emosional dan menarik diri dari hubungan
antar pribadi normal. Seringkali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan
halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra) (Depkes, 2015).
2. Prevalensi Skizofrenia
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association
(APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita
skizofrenia. Tujuh puluh lima persen penderita skizofrenia mulai mengidapnya
pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi
karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat
disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap
penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial
sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh
semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang
mengalami gejala skizofrenia sekalipun berusia sangat muda (bayi/balita)
sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog (Depkes, 2015).
3. Proses Terjadinya Skizofrenia
Di dalam otak terdapat milyaran sambungan sel. Setiap sambungan sel
menjadi tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel
yang lain. Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut
neurotransmitters yang membawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke
ujung sambungan sel yang lain. Di dalam otak yang terserang skizofrenia, terdapat
kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut (Yosep & Sutini, 2014).
Ada beberapa teori tentang pengaruh neurobiologis yang menyebabkan
Skizorenia. Salah satunya adalah ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah
satu sel kimia dalam otak. Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizofrenia:
a. Pada pasien skizofrenia terjadi hiperaktivitas sistem dopaminergik
b. Hiperdopaminegia pada sistem meso limbikàberkaitan dengan gejala posistif
c. Hipodopaminergia pada sistem meso kortis dan
nigrostriatala bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala
ekstrapiramidal.
Jalur dopaminergik saraf, meliputi:
a. Jalur nigrostriatal: dari substansia nigra ke basal ganglia fungsi gerakan
b. Jalur mesolimbik: dari tegmental area menuju ke sistem limbik memori, sikap,
kesadaran, proses stimulus.
c. Jalur mesokortikal: dari tegmental area menuju ke frontal cortex kognisi,
fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress.
d. Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary lalu pelepasan
prolaktin.
Selain itu, pada pasien penderita skizofrenia ditemukan penurunan kadar
transtiretin atau pre-albumin yang merupakan pengusung hormon tiroksin, yang
menyebabkan permasalahan pada aliran serebrospinal (Maramis, 2000).
Bagi keluarga dengan penderita skizofrenia di dalamnya, akan mengerti
dengan jelas apa yang dialami penderita skizofrenia dengan membandingkan otak
dengan telepon. Pada orang yang normal, sistem switch pada otak bekerja dengan
normal. Signal-signal persepsi yang datang dikirim kembali dengan sempurna
tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan akhirnya
melakukan tindakan sesuai kebutuhan saat itu. Pada otak klien skizofrenia, signal-
signal yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil mencapai
sambungan sel yang dituju (Yosep & Sutini, 2014).
Skizofrenia terbentuk secara bertahap dimana keluarga maupun klien tidak
menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam otaknya dalam kurun waktu yang
lama. Kerusakan yang perlahan-lahan ini yang akhirnya menjadi skizofrenia yang
tersembunyi dan berbahaya. Gejala yang timbul secara perlahan-lahan ini bisa saja
menjadi skizofrenia akut. Periode skizofrenia akut adalah gangguan singkat dan
kuat, yang meliputi halusinasi, penyesatan pikiran (delusi), dan kegagalan berpikir
(Yosep & Sutini, 2014).
Kadang kala skizofrenia menyerang secara tiba-tiba. Perilaku perilaku yang
sangat dramatis terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Serangan yang mendadak
selalu memicu terjadinya periode akut secara cepat. Beberapa penderita mengalami
gangguan seumur hidup, tapi banyak juga yang bisa kembali hidup secara normal
dalam periode akut tersebut. Kebanyakan didapati bahwa mereka dikucilkan,
menderita depresi yang hebat, dan tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya
orang normal dalam lingkungannya. Dalam beberapa kasus, serangan dapat
meningkat menjadi apa yang disebut skizofrenia kronis. Klien menadi buas,
kehilangan karakter sebagai manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki
motivasi samasekali, depresi, dan tidak memiliki kepekaan tentang perasaannya
sendiri (Yosep & Sutini, 2014).
Skizofrenia terdiri dari 3 fase, antara lain:
a. Premorbid: semua fungsi masih normal
b. Prodomal: simptom psikotik mulai nyata (isolasi sosial, ansietas, gangguan
tidur, curiga). Pada fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi-
fungsi mendasar (pekerjaan dan rekreasi) dan muncul symptom nonspesifik
seperti gangguan tidur, ansietas, konsentrasi berkurang, dan defisit perilaku.
Simptom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan
berarti sudah mendekati menjadi fase psikosis.
c. Psikosis: Fase Akut dijumapi gambaran psikotik yang jelas, misalnya waham,
halusinasi, gangguan proses piker, pikiran kacau. Simptom negatif menjadi
lebih parah sampai tak bisa mengurus diri. Berlangsung 4–8
minggu. Stabilisasi: 6 – 18 bulan (Nurarif & Kusuma, 2015).
4. Tanda Gejala Skizofrenia
Menurut Bleuler, ciri khas skizofrenia dapat diidentifikasi dari 4 gejala khas
(bleuler’s 4 A’s), yaitu:
a. Affect: terjadi kedangkalan afek-emosi, paramimi dan paratimi (incongruity of
affect), emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai satu kesatuan,
emosi berlebihan, hilangnya kemampuan mengadakan hubungan emosi yang
baik.
b. Associative Looseness: gangguan proses pikir (bentuk, langkah, dan isi
pikiran), terjadi gangguan asosiasi dan inkoherensi.
c. Autism:gangguan psikomotor, stupor atau hiperkinesia, logore, neologisme,
stereotipe, katalepsi (mempertahankan posisi tubuh dalam jangka waktu lama),
echolalia dan echopraxi autisme.
d. Ambivalence: terjadi kelemahan kemauan, perilaku negativisme atas
permintaan,otomatisme (merasa pikiran/ perbuatannya dipengaruhi oleh orang
lain.
Dalam Depkes (2005) juga dipaparkan bahwa gejala-gejala skizofrenia pada
umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
a. Gejala-gejala Positif
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala
ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh
orang lain.
b. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan
kehilangan dari ciri khas atau fungsinormal seseorang. Termasuk kurang atau
tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku,
kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-
kegiatan yang disenangi dan kurangnyakemampuan bicara (alogia) (Depkes,
2015).
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan
faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau
kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan
kepribadian skizoidyaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan
ramah pada orang lain serta selalu menyendiri (Depkes, 2015).
Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh
dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh
pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak
terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet
atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan
inkoheren (Depkes, 2015).
Tidak semua orang yang memiliki indikator pra-sakit pasti berkembang
menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala
skizofrenia, misalnya stressor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya,
mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stressor psikososial
terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan
terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat
menimbulkan gejala-gejala psikosis (Depkes, 2015).
5. Faktor-faktor Pencetus/Etiologi Skizofrenia
Dalam Kaplan & Sadock (2010), dijelaskan bahwa faktor pencetus terjadinya
skizofrenia diantaranya adalah:
a. Biologis
Abnormalitas otak yang menyebabkan respon neurobiologis yang maladaptif
yang baru mulai dipahami:
1) Adanya lesi pada area frontal, temporal, dan limbik, berhubungan dengan
perilaku psikotik
2) Beberapa kimia otak dikatikan dengan skizofrenia:
 Dopamin neurotransmitter yang berlebihan
 Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain
 Masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin
b. Psikologis
Teori psikodinamika untuk terjadinya respon neurologik yang maladaptif
belum didukung oleh penelitian.
c. Sosial Budaya
Stres yang menumpuk dapat menunjang awitan skizofrenia dan gangguan
psikotik lain.
6. Tipe Skizofrenia
Kraepelin dalam Nurarif & Kusuma (2015) membagi skizofrenia dalam
beberapa jenis berdasarkan gejala utama antara lain:
a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir sulit
ditemukan, waham dan halusinasi jarang didapat, timbul secara perlahan.
b. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaan perlahan atau subakut, sering timbul pada masa remaja atau antara
usia 15-25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses pikir,
gangguan kemauan, dan adanya depersonalisasi/ double personality.
Gangguan psikomotor seperti manerism, neologisme atau perilaku kekanak-
kanakan sering muncul, waham dan halusinasi banyak dijumpai.
c. Skizofrenia Katatonia
Timbul pertama kali usia 15-30 tahun dan bersifat akut, sering didahului
dengan stress emosional. Mungkin terjadi gelisah, gaduh, katatonia.
d. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang menyolok adalah waham primer, disertai dengan waham sekunder
dan halusinasi. Ditemukan pula gangguan proses berpikir, gangguan afek
emosi, dan kemauan.
e. Episode Skizofrenia Akut
Timbul mendadak dan penderita seperti berada dalam mimpi. Kesadaran
mungkin berkabut, timbul perasaan seakan dunia luar dan dirinya berubah,
semua seakan mempunyai arti khusus baginya.
f. Skizofrenia Residual
Muncul gejala primer Bleuler tanpa disertai gejala sekunder (waham,
halusinasi). Timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia.
g. Skizofrenia Skizoafektif
Timbul gejala skizofrenia yang disertai gejala depresi (skizodepresif) atau
gejala mania (psikomanik). Jenis ini cenderung menjadi sembuh tanpa defek,
tetapi memungkinkan timbul serangan lagi.
7. Prinsip Implementasi Keperawatan
Secara umum, klien skizofrenia akan mengalami beberapa masalah
keperawatan, seperti: halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, perilaku
kekerasan, waham, depresi, dan sebagainya. Diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul diantaranya: gangguan komunikasi verbal, gangguan interaksi sosial,
perubahan proses pikir, koping individu tidak efektif, kerusakan interaksi sosial,
kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi. Prinsip
perencanaan keperawatan yang perlu dipertimbangkan (Yosep & Sutini, 2014),
adalah:
a. Pentingnya perawatan di rumah sakit dan menumbuhkan kemandirian
(Hospitalization, independency).
b. Perawat melakukan identifikasi dan pemenuhan kebutuhan dasar selama di
rumah sakut (Identify long-term care basic needs).
c. Terapi medis yang tuntas (Adequate edical therapy).
d. Merencanakan tindak lanjut dan proses rujukan klien dan peran serta keluarga
(Identify dan provide proper referrals for patient and family).
e. Merencanakan keterampilan dan perangkat kehidupan setelah kembali ke
masyarakat seperti sumber penghasilan dan ekonomi, dukungan sosial,
hubungan kekeluargaan, dan ketahanan apabila mendapatkan stress (Follow up
living arrangements, economic resources, social supports, family
relationships, vulnerability to stress).
f. Memberikan terapi modalitas (modality therapy) dan melatih terapi kerja
(occupational therapy).
g. Pendidikan masyarakat dalam mencegah stigma (prevention to stigma).
8. Penatalaksanaan Skizofrenia
Ada tiga fase pengobatan dan pemulihan skizofrenia (Ikawati, 2011) :
a. Terapi Fase Akut
Pada fase ini pasien menunjukkan gejala psikotik yang intensif. Biasanya
pada fase ini ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif.
Pengobatan pada fase ini bertujuan untuk mengendalikan gejala psikotik
sehingga tidak membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terapi
utamanya adalah dengan menggunakan obat dan biasanya dibutuhkan rawat
inap. Pemilihan antipsikotik yang benar dan dosis yang tepat dapat
mengurangi gejala psikotik dalam waktu enam minggu.
b. Terapi Fase Stabilisasi
Pada fase ini pasien masih mengalami gejala psikotik dengan intensitas
yang lebih ringan. Pada fase ini pasien masih memiliki kemungkinan yang
besar untuk kambuh sehingga butuhkan pengobatan yang rutin untuk menuju
ke tahap pemulihan yang lebih stabil.
c. Terapi Fase Pemeliharaan
Pada fase ini dilakukan terapi jangka panjang dengan harapan dapat
mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi risiko
kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan keterampilan
untuk hidup mandiri. Terapinya meliputi obat-obatan, terapi suportif,
pendidikan keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.
Terapi farmakologi dan non farmakologi yang dapat dilakukan padapenderita
skizofrenia, antara lain:
a. Terapi Farmakologi
Benzodiazepin biasanya digunakan dalam terapi akut. Penggunaan
benzodiazepin akan mengurangi dosis penggunaan obat antipsikotik. Terapi
stabilisasi dimulai pada minggu kedua atau ketiga. Terapi stabilisasi bertujuan
untuk meningkatkan sosialisasi serta perbaikan kebiasaaan dan perasaan.
Pengobatan pada tahap ini dilakukan dengan obat-obat antipsikotik. Terapi
pemeliharaan bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Dosis pada terapi
pemeliharaan dapat diberikan setengah dosis akut. Klozapin merupakan
antipsikotik yang hanya digunakan apabila pasien mengalami resistensi
terhadap antipsikotik yang lain (Elin, et al., 2009).

b. Terapi Non Farmakologi


Ada beberapa pendekatan psikososial yang dapat digunakan untuk
pengobatan skizofrenia. Intervensi psikososial merupakan bagian dari
perawatan yang komprehensif dan dapat meningkatkan kesembuhan jika
diintegrasikan dengan terapi farmakologis. Intervensi psikososial ditujukan
untuk memberikan dukungan emosional pada pasien. Pilihan pendekatan dan
intervensi psikososial didasarkan kebutuhan khusus pasien sesuai dengan
keparahan penyakitnya.
1) Program for Assertive Community Treatment (PACT)
PACT merupakan program rehabilitasi yang terdiri dari manajemen
kasus dan Intervensi aktif oleh satu tim menggunakan pendekatan yang
sangat terintegrasi. Program ini dirancang khusus untuk pasien yang
fungsi sosialnya buruk dan bertujuan untuk mencegah kekambuhan dan
memaksimalkan fungsi sosial dan pekerjaan. Unsur-unsur kunci dalam
PACT adalah menekankan kekuatan pasien dalam beradaptasi dengan
kehidupan masyarakat, penyediaan dukungan dan layanan konsultasi
untuk pasien, memastikan bahwa pasien tetap dalam program perawatan.
Laporan dari bebarapa penelitian menunjukan bahwa PACT efektif untuk
memperbaiki gejala, mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan
memperbaiki kondisi kehidupan secara umum.
2) Intervensi Keluarga
Prinsipnya adalah bahwa keluarga pasien harus dilibatkan dan terlibat
dalam penyembuhan pasien. Anggota keluarga diharapkan berkontribusi
untuk perawatan pasien dan memerlukan pendidikan, bimbingan dan
dukungan serta pelatihan membantu mereka mengoptimalkan peran
mereka.
3) Terapi Perilaku Kognitif
Dalam terapi ini dilakukan koreksi atau modifikasi terhadap
keyakinan (delusi), fokus terhadap halusinasi pendengaran dan
menormalkan pengalaman psikotik pasien sehingga mereka bisa tampil
secara normal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi perilaku
efektif dalam mengurangi frekuensi dan keparahan gejala positif. Namun
ada risiko penolakan yang mungkin disebabkan oleh pertemuan mingguan
yang mungkin terlalu membebani pasien-pasien dengan gejala negatif
yang berat.
4) Terapi Pelatihan Keterampilan Sosial
Terapi ini didefinisikan sebagai penggunaan teknik perilaku atau
kegiatan pembelajaran yang memungkinkan pasien untuk memenuhi
tuntutan interpersonal, perawatan diri dan menghadapi tuntutan
masyarakat. Tujuannya adalah memperbaiki kekurangan tertentu dalam
fungsi sosial pasien. Terapi ini tidak efektif untuk mencegah kekambuhan
atau mengurangi gejala.
5) Terapi Elektrokonvulsif (ECT)
Dalam sebuah kajian sistematik menyatakan bahwa penggunaan ECT
dan kombinasi dengan obat-obat antipsikotik dapat dipertimbangkan
sebagai pilihan bagi penderita skizofrenia terutama jika menginginkan
perbaikan umum dan pengurangan gejala yang cepat (American
Psychiatric Assosiated, 2013).

II.KONSEP KETIDAKEFEKTIFAN KOPING


1. Pengertian Ketidakefektifan Koping
Mekanisme koping adalah suatu usaha yang digunakan seseorang untuk
mengurangi stressor dari permasalahan yang dihadapi, usaha ini melibatkan
mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk mempertahankan ego diri (Stuart
& Sundeen, 2007). Mekanisme koping merupakan usaha yang digunakan
seseorang untuk mempertahankan rasa kendali terhadap situasi yang mengurangi
rasa nyaman, dan menghadapi situasi yang menimbulkan stres (Videbeck, 2008).
Koping strategi seharusnya dapat dikendalikan secara personal, akan tetapi
lingkungan sosial dapat pula mempengaruhi koping secara individu (Stuart &
Sundeen, 2007). Ketidakefektifan koping terjadi ketika individu memiliki
ketidakmampuan untuk membentuk penilaian valid tentang stresor,
ketidakadekuatan pilihan, respon yang dilakukan, dan/ atau ketidakmampuan untuk
menggunakan sumber daya yang tersedia (Herdman & Kamitsuru, 2015). Koping
yang tidak efektif berakhir dengan perilaku maladaptif yaitu perilaku yang
menyimpang dari keinginan normative dan dapat merugikan diri sendiri maupun
orang lain atau lingkungan (Maramis, 2000).
2. Jenis Mekanisme Koping
Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan dua jenis koping, yaitu
emotionfocused coping dan problem-focused coping.
a. Emotion-Focused Coping
Bentuk koping ini bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang muncul
dalam menghadapi stresor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini
berdasarkan keyakinannya untuk mengubah keadaan. Beberapa strategi yang
berhubungan dengan bentuk koping ini antara lain kontrol diri, mengambil
jarak dengan stresor, berusaha untuk melihat dari sudut pandang lain,
menerima atau melarikan diri dari keadaan (Lazarus dan Folkman 1984).
b. Problem-Focused Coping
Bentuk koping ini bertujuan untuk mengurangi stresor atau meningkatkan
sumber daya dalam menghadapi stres. Individu cenderung menggunakan
bentuk ini berdasarkan keyakinannya bahwa tuntutan stresor atau sumber daya
masih dapat diubah. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk
koping ini antara lain melakukan konfrontasi dengan menolak perubahan,
berusaha mengubah keyakinan orang lain, bergantung pada dukungan sosial,
dan melakukan strategi pemecahan masalah yang terencana (Lazarus dan
Folkman 1984).
Sedangkan mekanisme koping menurut Stuart & Sundeen (2002), mekanisme
koping digolongkan menjadi mekanisme koping adaptif dan maladaptif.
a. Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme koping adaptif mampu menghasilkan kebiasaan baru dan
perbaikan dari situasi serta masalah yang dihadapi (Maramis, 2000).
Mekanisme koping adaptif yang digunakan oleh responden dapat mendukung
fungsi integrasi, pertumbuhan belajar untuk mencapai tujuan dimana dapat di
tandai dengan mampu berbicara dengan orang lain, dapat memecahkan
masalah dengan efektif, dan dapat melakukan aktifitas konstruktif dalam
menghadapi stressor (Stuart & Sundeen, 2002). Individu yang melakukan
koping ini lebih mengarahkan usahanya untuk mengendalikan emosi yang
tidak menyenangkan. Pada koping ini, individu mengambil sisi positif dari
suatu keadaan. Dengan cara demikian secara emosional individu dapat lebih
tenang dan berfikir jernih sehingga dapat meneruskan atau memulai kembali
tindakan koping yang terarah pada masalah secara aktif (Mesuri, et al., 2014).
b. Mekanisme Koping Maladaptif
Koping maladaptif adalah koping yang menghambat fungsi integrasi,
memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi, cenderung menguasai
lingkungan dan perilakunya cendrung merusak (Stuart & Sundeen, 2002).
Salah satu indikator yang menunjukkan adanya koping maladaptif, yaitu focus
and venting of emotion. Indikator ini berupa kecenderungan untuk
memusatkan diri pada pengalaman yang menekan. Respon ini dapat
menyebabkan individu terfiksasi dan berlarut-larut dalam kondisi stres itu
sendiri. Selain itu akan menggangu perhatian individu dari usaha koping yang
aktif. Perilaku koping maladaptif seperti terjadinya respon panik dapat
disebabkan oleh salah satu faktor yaitu penilaian individu terhadap masalah.
Jika individu meyakini bahwa situasi atau masalah yang dialami masih dapat
diubah secara konstruktif maka dapat terbentuk koping adaptif. Namun jika
masalah diyakini sebagai suatu yang mengancam maka akan terbentuk koping
maladaptive (Rasmus, 2004).
3. Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme Koping
Koping merupakan proses berfikir, merasakan atau melakukan sesuatu
sebagai pemenuhan kepuasan psikologi. Faktor dari keterampilan koping
yaitu: (1) fokus masalah; (2) pengaturan lingkungan; (3) fokus emosi; dan (4)
pengaturan diri (Synder, 2001). Berdasarkan proses koping, individu dapat: (1)
memperkirakan ancaman atau peluang pada lingkungannya; (2) mengevaluasi
tuntutan dan sumberdaya atau daya dukung lingkungan, serta kemampuan
untuk mengorganisasikan elemen-elemen tersebut; dan (3) menggunakan
strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif yang kemungkinan timbul
dalam situasi penuh tekanan. Ketika menghadapi faktor penyebab stres,
seseorang menggunakan strategi koping untuk mengurangi tekanan yang
timbul (Lazarus & Folkman, 1984).
4. Karakteristik Ketidakefektifan Koping
Karakteristik ketidakefektifan koping, antara lain:
a. Menyatakan tidak mampu.
b. Tidak mampu menyelesaikan masalah secara efektif.
c. Perasaan cemas, takut, marah, tegang, gangguan psikologis, dan adanya
stres dalam kehidupan.
d. Tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dan perilaku merusak,
5. Penanganan Ketidakefektifan Koping
Untuk menghindari perilaku maladaptif, maka faktor yang dapat
mendukung adalah mengidentifikasi sumber koping yang dapat membantu
individu beradaptasi dengan stresor yang ada dengan menggunakan sumber
koping yang ada (Mesuri, et al., 2014). Salah satu sumber koping yang dapat
membantu individu dalam menghindari perilaku maladaptif yaitu
meningkatkan dukungan sosial. Menurut Sadock & Virginia (2007) dukungan
sosial merupakan pendukung paling utama dalam membentuk mekanisme
koping yang efektif atau adaptif. Selain itu dukungan sosial mempengaruhi
kesehatan dengan cara melindungi individu dari efek negatif stres. Sehingga
dengan meningkatkan dukungan sosial maka akan dapat menurunkan perilaku
maladaptif.

III. PENGKAJIAN KEPERAWATAN


Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam
mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah
mekanisme pertahanan ego seperti displacement (dapat mengungkapkan kemarahan
pada obyek yang salah), misalnya: pada saat marah kepada dosen, mahasiswa
mengungkapkan kemarahan dengan memukul tembok. Proyeksi, yaitu: kemarahan
dimana secara verbal mengalihkan kesalahn diri sendiri pada orang lain yang dianggap
berkaitan, misalnya: pada saat mendapatkan nilai buruk, seorang mahasiswa
menyalahkan dosennya atau menyalahkan sarana kampus atau menyalahkan
administrasi yang tidak becus mengurus nilai. Mekanisme koping yang lainnya adalah
represi, dimana individu merasa seolah-olah tidak marah dan tidak kesal, ia tidak
mencoba menyampaikannya kepada orang terdekat atau express feeling, sehingga rasa
marahnya tidak terungkap dan ditekan sampai ia melupakannya (Yosep & Sutini,
2014).
Ketidakefektifan koping biasanya diawali dengan situasi duka yang
berkepanjanagn dari seseorang karena ditinggal oleh seseorang yang dianggap sangat
berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak berakhir dapat menyebabkan
perasaan harga diri rendah sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan timbul halusinasi
yang menyuruh atau melakukan tindakan kekerasan dan ini dapat berdampak pada
risiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan (Yosep & Sutini, 2014).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang
kurang baik untuk menghadapi keadaan klien mempengaruhi perkembangan klien
(koping keluarga tidak efektif), hal ini tentunya menyebabkan klien akan sering keluar
masuk rumah sakit/ timbulnya kekambuhan karena dukungan keluarga yang tidak
optimal (Yosep & Sutini, 2014).
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien skizofrenia, antara lain:
1. Faktor predisposisi: faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber
yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
a. Faktor biologis, contoh : abnormalitas menyebabkan respon maladaptif (lesi
pada area limbik)
b. Faktor psikologis: teori psikodinamika menggambarkan bahwa halusinasi
terjadi karena isi alam tidak sadar yang masuk alam sadar sebagai suara respon
terhadap konflik psikologis dan kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga
halusinasi merupakan gambaran dan rangsanagn keinginan dan ketakutan
gangguan dialami klien.
c. Faktor sosial budaya: stress yang bertumpuk
2. Faktor presipitasi, bisa berasal dari diri sendiri, lingkungan/interaksi dengan orang
lain.
a. Biologis, stresor biologi yang berhubungan dengan respon neurobiologi yang
maladaptif.
b. Stresor lingkungan: gangguan perilaku.
3. Data demografi: nama, usia, jenis kelamin, alamat rumah, pekerjaan, status
pernikahan
4. Riwayat penyakit sekarang: keluhan utama, alasan masuk RS.
5. Riwayat penyakit masa lalu: kejang, trauma kepala, infeksi.
6. Riwayat keluarga: anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Konfusi akut
2. Risiko perilaku kekerasaan terhadap diri sendiri dan orang lain
3. Harga Diri Rendah Situasional
4. Ketidakefektifan Koping
5. Hambatan Interaksi Sosial
6. Isolasi Sosial
DAFTAR PUSTAKA

APA Clinical Guidelines. American Psychiatric Association. Practice Guidelines for The
Treatment of Patients With Schizophrenia. 2013.

Depkes. 2015. Diakses melalui


http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258333-
schizophrenia.pdf pada tanggal 27 Maret 2017

Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2013. Nursing


Interventions Classification (NIC) 6th Edition. USA: Elsevier Mosby.

Elin, Y., et. al. 2009. ISO Farmakoterapi. ISFI: Jakarta.

Herdman, T. H., Kamitsuru, S. 2015. NANDA International Nursing Diagnoses: Definition &
Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blakwell.

Kaplan & Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinik.
Binarupa Aksara: Jakarta.

Lazarus, R.S. & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York : McGraw-Hill,
Inc.

Maramis, W.F. 2000. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga Universitay Press: Surabaya.

Mesuri, R.P., Huriani, E. & Sumarsih, G. 2014. Hubungan Mekanisme Koping dengan
Tingkat Stres Pada Pasien Fraktur. Ners Jurnal Keperawatan,10 (1); 66-74.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) 5th Edition. SA: Elsevier Mosby.

Nurarif, A. H. & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Media & NANDA, NIC, NOC. Yogyakarta: Mediaction.

Nurjannah, I. 2014. ISDA : Intan’s Screening Diagnoses Assesment. Versi Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Moco Media.

Rasmus. 2004. Stres, Koping Dan Adaptasi Teori dDan Pohon Masalah Keperawatan Edisi
1. Jakarta: Sagung Seto,

Snyder, C.R. 2001. Coping With Stress: Effective People and Processes. New York: Oxford
University Press.

Stuart, G.W. & Sundeen, S.J. 2002. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. Sixth
Edition. St. Louis: Mosby Year Book,

Stuart, G.W. & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC.
Stuart, G.W. 2013. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. EGC: Jakarta.

Stuart, Yudofsky dkk.2013. Text Book of Psychiatry Sixth Editon.Wasington DC :The


American Psychiatric Publishing.

Videbeck, S. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Wilkinson, J.M. & Ahern, N.R. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta:
EGC.

Yosep, H.I., Sutini, T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa and Advance Mental Health
Nursing. Cetakan ke-6. Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai