Anda di halaman 1dari 16

PEMBERIAN EPINEFRIN DOSIS RENDAH DAN

KEJADIAN HENTI JANTUNG YANG TERJADI


DI LUAR RUMAH SAKIT

Oleh :
Nama : Mega Reliska, S. Ked
NIM :71 2017 019

Pembimbing :
dr. Adi Chandra, M.Biomed., Sp.An.

DEPARTEMEN ANESTESI
RSUD PALEMBANG BARI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2018
RESUSITASI

Pemberian Epinefrin Dosis Rendah dan Kejadian Henti Jantung yang


Terjadi di Luar Rumah Sakit
Cameron A. Fiska, Michele Olsufkab, Lihua Yinc, Andrew M. McCoyc, Andrew J.
Latimerc, Charles Maynardd, Graham Nichole, Jonathan Larsenf, Leonard A. Cobbb,
Michael R. Sayrec,,f,*

a. Sekolah Kedokteran Universitas Washington, Amerika Serikat


b. Divisi Kardiologi, Universitas Washington, Amerika Serikat
c. Departemen Kedokteran Darurat, Universitas Washington, Amerika Serikat
d. Departemen Layanan Kesehatan, Universitas Washington, Amerika Serikat
e. Departemen Kedokteran, Universitas Washington, Amerika Serikat
f. Seattle Fire Department, Amerika Serikat

ABSTRAK

Latar Belakang: Pedoman internasional merekomendasikan pemberian epinefrin 1 mg


intravena setiap 3-5 menit selama cardiac arrest (henti jantung). Dosis optimal dari
epinefrin tidak diketahui. Mengevaluasi hubungan berkurangnya frekuensi dan dosis
epinefrin dengan kelangsungan hidup setelah henti jantung di luar rumah sakit (OHCA).

Metode: Termasuk pasien dengan OHCA non-traumatik yang diterapi oleh pemberi
bantuan hidup lanjut (ALS) dari 1 Januari 2008 hingga 30 Juni 2016. Selama periode
sebelumnya, pemberi diinstruksikan untuk memberikan epinefrin 1 mg intravena pada 4
menit diikuti dengan tambahan 1 mg dosis setiap delapan menit kepada pasien OHCA
dengan irama shockable dan dosis 1 mg setiap dua menit untuk pasien dengan irama non-
shockable (dosis tinggi). Pada 1 Oktober 2012, pemberi diinstruksikan untuk mengurangi
dosis pengobatan epinefrin selama henti jantung di luar rumah sakit (OHCA): 0,5 mg
pada 4 dan 8 menit diikuti oleh dosis tambahan 0,5 mg setiap 8 menit untuk irama
shockable dan 0,5 mg setiap 2 menit untuk irama non-shockable (dosis rendah). Pasien
dengan irama awal shockable dianalisis secara terpisah dari mereka yang dengan irama
awal non-shockable. Hasil utama adalah kelangsungan hidup untuk keluar rumah sakit
dengan hasil sekunder dari status neurologis yang menguntungkan (Kategori Kinerja
Cerebral [CPC] 1 atau 2) di rumah sakit. Pemodelan regresi logistik ganda digunakan
untuk menyesuaikan usia, jenis kelamin, status pengalaman, adanya peninjau CPR, dan
interval respons.
Hasil: 2.255 pasien dengan OHCA memenuhi syarat untuk analisis. Dari jumlah tersebut,
24,6% memiliki irama shockable. Total dosis epinefrin per pasien menurun dari rata-rata
± standar deviasi 3,4 ± 2,3 mg – 2,6 ± 1,9 mg (p <0,001) pada kelompok yang dapat
shockable dan 3,5 ± 1,9 mg – 2,8 ± 1,7 mg (p <0,001) pada kelompok yang non-
shockable. Di antara mereka dengan irama shockable, kelangsungan hidup untuk keluar
rumah sakit adalah 35,0% pada kelompok dosis tinggi vs 34,2% pada kelompok dosis
yang lebih rendah. Di antara mereka dengan irama non-shockable, kelangsungan hidup
adalah 4,2% pada kelompok dosis tinggi vs 5,1% pada kelompok dosis yang lebih rendah.
Dosis rendah vs dosis tinggi secara signifikan tidak berhubungan dengan kelangsungan
hidup: odds rasio yang disesuaikan, aOR 0,91 (95% CI 0,62–1,32, p = 0,61) jika
shockable dan aOR 1,26 (95% CI 0,79-2,01, p = 0,33) jika non-shockable. Dosis rendah
vs dosis yang lebih tinggi, tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan status
neurologis yang menguntungkan saat keluar: aOR 0,84 (95% CI 0,57–1,24, p = 0,377)
jika shockable dan aOR 1,17 (95% CI 0,68-2,02, p = 0,577) jika non-shockable.

Kesimpulan: Mengurangi dosis epinefrin yang diberikan selama henti jantung di luar
rumah sakit tidak berhubungan dengan perubahan kelangsungan hidup ke luar rumah
sakit atau hasil neurologis yang menguntungkan setelah OHCA.

Pengantar
Epinefrin telah digunakan untuk mengobati pasien dengan serangan
jantung di luar rumah sakit (OHCA) selama lebih dari satu abad, namun
keberhasilannya diperdebatkan.1 Saat ini American Heart Association dan
pedoman European Resuscitation Council untuk henti jantung pada orang dewasa
merekomendasikan pemberian 1 mg epinefrin intravena setiap 3-5 menit hingga
return of spontaneous circulation (ROSC) dicapai, tanpa memperhatikan irama
henti jantung.2,3
Epinefrin dipercaya membantu tercapainya ROSC melalui aktivitas
vasopresor alfa-adrenergiknya dan telah menunjukkan meningkatkan tekanan
perfusi koroner dan serebral selama cardiopulmonary resuscitation (CPR).4
Sebaliknya, bukti dari penelitian model babi menyebutkan bahwa penggunaan
epinefrin berhubungan dengan depresi miokardium post ROSC,5 memiliki efek
samping merugikan pada aliran mikrovaskuler serebral, dan dapat meningkatkan
iskemik serebral selama CPR.1
Penelitian observasional menunjukkan bahwa penggunaan epinefrin
prehospital untuk OHCA berhubungan dengan penurunan signifikan angka
harapan hidup untuk keluar dari rumah sakit dan perburukan kondisi neurologi.6,7
Meta-analisis dari penelitian acak terkontrol menggunakan epinefrin prehospital
untuk OHCA menemukan bahwa meskipun epinefrin dosis lebih tinggi
berhubungan dengan peningkatan angka ROSC dan angka harapan hidup hingga
admisi rumah sakit dibandingkan dengan epinefrin dosis rendah atau plasebo,
tidak ada perbedaan signifikan dalam angka harapan hidup untuk keluar dari
rumah sakit atau pada kondisi neurologi saat pulang dari rumah sakit.8 Pemberian
epinefrin di awal selama resusitasi dapat memperbaiki hasil.9 Tidak ada penelitian
acak yang menunjukkan manfaat atau bahaya signifikan pada angka harapan
hidup untuk pemulangan pasien atau kondisi neurologi dengan penggunaan
epinefrin pada OHCA.3
Kami mengevaluasi hubungan pemberian epinefrin dengan dosis yang
rendah dengan angka harapan hidup dan hasil neurologi yang baik setelah out-of-
hospital cardiac arrest (OHCA).

Metode
Tempat Penelitian
Struktur Seattle Fire Departement dalam merespon OHCA telah dijelaskan
sebelumnya.10 Singkatnya, Basic Life Support (BLS) dari Seattle Fire
Departement awalnya merespon setiap panggilan. Ambulans advanced life
support (ALS) Seattle Fire Departement berespon terhadap panggilan atau
akuisitas yang lebih tinggi seperti pada suspek henti jantung.
Sejak didirikan program Seattle Medic One pada tahun 1970, dokter
memimpin program agar berintegrasi pada hasil penelitian terakhir, jika sesuai,
kepada panduan pelayanan klinis untuk organisasi. Negara Bagian Washington
mendelegasikan keputusan tentang pengobatan apa saja yang dilakukan di
ambulans ALS dan dosis obat-obatan tersebut kepada direktur medis untuk setiap
emergency medical service (EMS). Biasanya, panduan Seattle berbeda dari
panduan internasional mengenai terapi henti jantung. Sejak 5 April 2006 sampai
30 September 2012, Paramedis perawatan intensif mobile dari Seattle Fire
Department memberikan epinefrin 1 mg pada 4 menit resusitasi diikuti dengan
penambahan dosis 1 mg setiap 8 menit (menit 12, 20, dan seterusnya) untuk
pasien dengan irama yang shockable. Epinefrin 1 mg diberikan setiap 2 menit
pada pasien dengan irama non-shockable.
Setelah publikasi dari penelitian acak bulan September 2011 yang
membandingkan epinefrin terhadap plasebo tidak menunjukkan perbedaan pada
angka harapan hidup hingga pemulangan dari rumah sakit, dan publikasi Maret
2012 dari penelitian observasional besar pada pasien OHCA di Jepang yang
menyimpulkan bahwa epinefrin prehospital berhubungan dengan penurunan
angka harapan hidup hingga 1 bulan, protokol dosis epinefrin di Seattle
dikurangi.7,11 Pada 1 Oktober 2012, paramedis perawatan intensif mobile dari
Seattle Fire Department memberi protokol epinefrin dengan dosis yang lebih
rendah untuk pasien OHCA pada dewasa. Paramedis diinstruksikan memberi 0.5
mg pada menit 4 dan 8 resusitasi diikuti dengan penambahan dosis 0.5 mg setiap
8 menit (menit 16, 24, dan seterusnya) jika irama shockable muncul dan 0.5 mg
setiap 2 menit jika irama non-shockable muncul. Irama shockable termasuk
ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi tanpa nadi. Irama non-shockable
termasuk asistol, pulseless eletrical activity, dan irama yang tidak dapat
ditentukan.
Sepanjang periode penelitian, teknisi medis kedaruratan pertama kali
melatih kinerja pemadam kebakaran dalam 2 menit resusitasi jantung paru
sebelum analisis pertama dari irama jantung menggunakan automated external
defibrillator (AED). Jika paramedis sudah tiba, irama EKG dinilai setiap 2 menit.
Sehingga, sesuai protokol, ada tidaknya irama shockable pada setiap 2 menit
irama EKG menentukan perencanaan terapi.
Pengumpulan Data
Staf perbaikan kualitas Seattle Fire Department Medic One secara
prospektif mengumpulkan informasi untuk menggambarkan pasien dengan
OHCA non-traumatik. Data diambil dari catatan pusat pengiriman data, laporan
lapangan EMS, rekaman suara selama resusitasi, dan bentuk data tertulis
tambahan. Rekaman suara resusitasi diambil melalui Physio-Control LIFEPAK
500 AED dan defibrilasi manual Physio-Control LIFEPAK 12 dan 15. Catatan
defibrilator disinkronkan dengan waktu atomik sepanjang garis waktu yang
dihasilkan oleh pusat pengiriman. Penyedia layanan dilatih secara verbal
mengidentifikasi terapi karena mereka yang akan memberikan. Hasil diambil dari
catatan rumah sakit dan surat kematian.

Pengukuran Hasil
Hasil utama adalah angka harapan hidup untuk pulang dari rumah sakit
dengan hasil sekunder yaitu fungsi neurologi saat perawatan akut waktu keluar
dari rumah sakit. Fungsi neurologi dihitung menggunakan sistem skoring
Cerebral Performance Category (CPC) melalui evaluasi catatan rumah sakit yang
tersedia. Skor CPC 1 atau 2 (sedikit/tidak ada disabilitas serebral atau disabilitas
moderate berturut-turut) dipertimbangkan memiliki hasil neurologi yang baik,
sedangkan skor CPC 3,4, atau 5 (disabilitas berat, koma/status vegetatif, atau
kematian otak, secara berturut-turut) dipertimbangkan memiliki hasil neurologi
yang kurang baik.

Analisis Data
Interval waktu panggilan-hingga ke pasien dihitung sebagai perbedaan
antara saat panggilan 9-1-1 diterima oleh pusat pengirim EMS dan waktu saat
defibrilator EMS pertama dinyalakan, dimana penyedia layanan diinstruksikan
untuk segera bertindak saat tiba di sebelah pasien. Jika penyedia layanan
mendapati pasien mengalami henti jantung tanpa panggilan 9-1-1, interval
panggilan-hingga pasien dipertimbangkan menjadi nol.
Kami mempertimbangkan seluruh pasien OHCA non-traumatik ditangani
oleh paramedis pelayanan intensive mobile Seattle dari 1 Januari 2008 hingga 20
Juni 2016. Protokol penurunan dosis terapi OHCA dari Seattle Fire Department
efektif sejak 1 Oktober 2012, sehingga pasien yang ditangani sebelum tanggal ini
mendapat dosis kohort yang lebih tinggi, dan pasien selanjutnya mendapat dosis
kohort yang lebih rendah. Kami mengeksklusi pasien yang berusia kurang dari 18
tahun, tidak terdapat pelayanan ALS, agensi ALS selain Seattle Fire Department
(SFD) menyediakan pengobatan, ada permintaan tidak dilakukan resusitasi saat
tiba, henti jantung terjadi setelah tiba di EMS, ROSC dicapai tanpa intervensi
ALS atau tanpa epinefrin, epinefrin pertama kali diberikan setelah ROSC dicapai,
contoh untuk hipotensi, atau data pasien yang bertahan hilang.
Karena protokol terapi berbeda, kami mengelompokkan pasien berdasarkan
irama henti jantung yang direkam pertama kali, baik itu shockable maupun non-
shockable. Pasien dengan irama awal ventrikel fibrilasi atau ventrikel takikardi
dianggap shockable. Semua pasien lain dianggap non-shockable. Pasien tetap
dalam kelompok yang awalnya ditugaskan meskipun banyak yang beralih di
antara protokol pengobatan, mis. seorang pasien dengan fibrilasi ventrikular awal
ini ditemukan memiliki aktivitas listrik pulseless dua menit kemudian.
Karena protokol pengobatan yang berbeda, kelompok shockable dan non-
shockable dianalisis secara terpisah. Perbandingan langsung dari hasil dosis yang
lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah dilakukan dengan
menggunakan T-test untuk variabel kontinu, Pearson chi-square untuk variabel
kategori, dan Mann-Whitney U Test untuk perbandingan median (interval waktu
saja). Semua tes dilakukan dua sisi. Pemodelan regresi logistik digunakan untuk
usia, jenis kelamin, status pengalaman, adanya peninjau CPR, dan interval
panggilan ke pasien. Alpha ≤ 0.05 dianggap signifikan. Analisis statistik
dilakukan dengan IBM SPSS v. 21. Penelitian ini ditinjau dan disetujui oleh
Universitas Washington Institutional Review Board.

Hasil
Selama masa penelitian, paramedis mengobati 3570 pasien dengan OHCA
non-traumatik. Dari jumlah tersebut, 2.255 pasien (63,1%) memenuhi syarat
untuk analisis (Gambar. 1), dimana 24,6% awalnya shockable (Tabel 1). 1315
pasien (36,9%) dikeluarkan sebelumnya karena tidak memenuhi syarat.
Semua kasus OHCA non-trauma yang ditangani
oleh paramedis SFD 1 Januari 2008, hingga 30
Juni 2016. n=3570

Kasus yang tidak termasuk n= 1315


(36,9)
454 - arrest terjadi setelah EMS tiba
65 – Usia < 18
168 – intervensi terbatas karena DNR
182- tidak menerima perawatan ALS
55 – menerima obat-obat resusitasi dari
agency lain
284 – ROSC sebelum menerima
perawatan ALS
83 – ROSC setelah perawatan ALS
sebelum menerima epinephrine
23 – tidak menerima epinephrine
1 – hilang kelangsungan hidup

Irama shockable awal Irama non-shockable awal


n = 554 (24,6) n = 1707 (74,5)

Gambar 1. Alur kerja dan inklusi pasien

Tabel 1.Karakteristik dasar dengan irama awal dan protokol dosis.


Shockable Non-Shockable
Dosis Dosis Nilai P Dosis Dosis Nilai P
tinggi Rendah tinggi rendah
(314) (240) (881) (820)
Usia, rata-rata 61.9 (15.7) 62.3 (13.7) 0.758 65.6 62.7 (18.4) 0.002
(std.dev) (18.4)
Jenis kelamin, 248 (79.0) 190 (79.2) 0.958 535 514 (62.8) 0.389
n (%) (60.7)
Umum, n (%) 164 (52.2) 124 (51.9) 0.936 151 188 (22.9) 0.003
(17.1)
Saksi, n (%) 209 (66.8) 162 (68.1) 0.748 246 209 (25.5) 0.245
(28.0)
Bystander CPR, 178 (56.9) 142 (59.2) 0.588 417 451 (55.1) 0.001
n (%) (47.3)
Delapan pasien ditemukan oleh EMS menjadi henti jantung tanpa panggilan
9-1-1 sehingga ditugaskan panggilan ke pasien interval dari nol. Pasien-pasien ini
tidak termasuk dalam analisis regresi tetapi dimasukkan di tempat lain. Satu
pasien henti jantung di rumah sakit dirawat di rumah di mana ia berhasil
diresusitasi dan memilih untuk tetap tinggal. Pasien ini termasuk dalam data
karena selamat sampai keluar rumah sakit dan memiliki Kategori Kinerja Cerebral
1, berdasarkan catatan dari penyedia ALS.
Pasien dengan irama shockable mempunyai usia yang sama di kedua
kelompok, rata-rata berusia sekitar 62 tahun, sedangkan usia pasien dengan irama
non-shockable menurun selama durasi penelitian sekitar 3 tahun, dari 66 menjadi
63 (p <0,001). Proporsi bystander yang menyaksikan penangkapan tetap stabil
selama periode penelitian. Insiden bystander CPR meningkat lembur di antara
mereka dengan irama non-shockable: 47,3% dosis tinggi dibandingkan 55,1%
dosis rendah (p = 0,001). Waktu dari panggilan 9-1-1 untuk dosis epinefrin
pertama adalah sama antara lengan dalam kelompok shockable dan kelompok
non-shockable (Tabel 2) untuk tahun 2011-2015 ketika data ini dikumpulkan.

Tabel 2. Interval dan Intervensi


Shockable Non-Shockable
Dosis Dosis Nilai P Dosis Dosis Nilai P
tinggi Rendah tinggi rendah
(314) (240) (881) (820)
Call-to-patient, 6.65 6.32 0.128 6.88 6.67 0.004
menit median
Dosis kumulatif 3.4 (2.3) 2.6 (1.9) <0.001 3.5 (1.9) 2.8 (1.7) <0.001
epinefrin dalam
mg, rata-rata
(std.dev)
Tempat IO 6 (1.9) 55 (22.9) <0.001 60 (6.8) 296 (36.1) <0.001
TTM 178 (72.4) 106 (57.9) 0.004 218 198 (54.2) 0.617
(57.2)
Angiografi 117 (47.6) 99 (64.7) 0.001 12 (3.1) 18 (5.8) 0.090
Epi = Epinephrine. IO = intraosseous. TTM = targeted temperature management. Std dev = standard deviation. mg =
milligrams.
Gambar 2. Kelangsungan hidup untuk keluar, fungsi neurologis saat keluar, dan
dosis epinefrin kumulatif sebagai fungsi waktu.

Tabel 3. Hasil Pasien


Unadjusted (tidak disesuaikan)
Shockable Non-shockable
Dosis tinggi Dosis Nilai P Dosis Dosis Nilai P
(314) rendah tinggi rendab
(240) (881) (820)
Setiap ROSC 225 170 (70.8) 0.832 397 (45.1) 366 (44.7) 0.877
(71.7)
Didukung 177 (56.4) 130 (54.2) 0.605 306 (34.7) 293 (35.8) 0.653
ROSC
Bertahan hidup 110 (35.0) 82 (34.2) 0.832 37 (4.2) 42 (5.1) 0.366
untuk keluar
Hasil 103 (32.9) 73 (30.5) 0.555 27 (3.1) 29 (3.5) 0.589
neurologis yang
menguntungkan

Analisis yang disesuaikan


Shockable Non-shockable
aOR 95% CI Nilai P aOR 95% CI Nilai P
Didukung 0.85 0.60-1.21 0.364 1.07 0.87-1.31 0.527
ROSC
Bertahan hidup 0.91 0.62-1.32 0.606 1.26 0.79-2.01 0.33
untuk keluar
Hasil 0.84 0.57-1.24 0.377 1.17 0.68-2.02 0.577
neurologis yang
menguntungkan

Membandingkan dosis yang lebih tinggi dengan dosis yang lebih rendah,
berarti dosis epinefrin kumulatif menurun dengan rata-rata 0,8 mg (3,4 ± 2,3 mg
hingga 2,6 ± 1,9 mg, p <0,001) pada kelompok shockable dan 0,7 mg (3,5 ± 1,9
mg hingga 2,8 ± 1,7 mg, p <0,001) pada kelompok non-shockable (Tabel 2).
Gambar 2 mengilustrasikan bahwa penerapan protokol dosis rendah menghasilkan
penurunan dosis total epinefrin secara dini dan berkelanjutan.
Baik kelangsungan hidup untuk keluar rumah sakit maupun fungsi
neurologis pada saat keluar secara signifikan berbeda pada kelompok dosis tinggi
vs kelompok dosis yang lebih rendah di antara pasien yang awalnya shockable
dan non-shockable (Tabel 3). Selain itu, dosis yang lebih tinggi dibandingkan
dengan dosis rendah tampaknya tidak berhubungan dengan pencapaian ROSC
yang menyeluruh atau ROSC berkelanjutan.
Model regresi logistik ganda dilakukan untuk hasil ROSC berkelanjutan,
kelangsungan hidup untuk keluar, dan fungsi neurologis pada saat keluar
disesuaikan dengan menggunakan variabel usia, jenis kelamin, status saksi,
bystander CPR, dan interval panggilan ke pasien. Usia, status saksi, bystander
CPR , dan interval panggilan ke pasien merupakan prediktor signifikan dari hasil.
Epinefrin dosis protokol ini tidak terkait dengan perubahan signifikan dalam
tingkat kelangsungan hidup atau fungsi neurologis (Tabel 3 dan Gambar 3) di
model ini. Kelangsungan hidup menunjukkan odds rasio (aOR) dari 0.91 (95% CI
0.62 – 1,32) jika shockable dan aOR 1.26 (95% CI 0.79 – 2,01) jika non-
shockable ketika menurunkan dosis. Dosis yang lebih rendah vs dosis yang lebih
tinggi adalah tidak bermakna secara signifikan dengan status neurologis yang
menguntungkan pada saat keluar: aOR 0,84 (95% CI 0,57 – 1,24) jika shockable
dan aOR 1,17 (95% CI0,68-2,02) jika non-shockable. Demikian juga, ROSC
berkelanjutan tidak diperkirakan oleh dosis yang lebih tinggi vs rendah dosis
status setelah penyesuaian (p = 0.364 shockable, p = 0.527 non-shockable).
Gambar 3. Regresi logistik disesuaikan dengan odds ratio untuk hasil pilihan

Waktu untuk pemberian epinefrin pertama dicatat dari April 2011 hingga
Desember 2015. Di antara kelompok pasien ini (n = 1249), waktu yang lebih
singkat dari kedatangan ALS pada pasien pemberian epinefrin tidak berhubungan
dengan angka harapan hidup hingga keluar dari rumah sakit pada kedua
kelompok, shockable dan non-shockable, setelah penyesuaian protokol dosis
(aOR 1.06, 95% CI 0.98–1.14 jika shockable; aOR 1.03, 95% CI 0.94–1.12 jika
non-shockable).
Selama delapan setengah tahun lebih data ini dikumpulkan, Seattle Fire
Department membuat protokol berubah di luar dosis epinefrin. Pada tahun 2011,
paramedis mulai memasang jalur intraosseus (IO) tibial jika akses IV tidak siap.
Seperti yang ditampilkan apda Tabel 2, makin tinggi dosis kohort, maka insidensi
penempatan IO lebih rendah dibandingkan dengan dosis kohort yang lebih sedikit:
6 (1.9%) dosis lebih tinggi vs. 55 (22.9%) dosis lebih rendah (p < 0.001)
jikashockabledan 60 (6.8%) dosis lebih tinggi vs. 296 (36.1%) dosis lebih rendah
(p < 0.001) jika non-shockable. Sejak 2013, anggota pusat pengiriman
memperbarui metode pemrosesan panggilan, menghasilkan sekitar penurunan
setengah menit dalam interval panggilan-hingga pengiriman. Antara dosis kohort
yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, median interval panggilan-ke pasien
berkurang menjadi 0.33 menit (p = 0.128) untuk pasien shockable dan 0.21 menit
(p=0.004) untuk pasien non-shockable.
Antara dosis kohort yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, penggunaan
targeted temperature management (TTM) pre maupun intra-hospital menurun
14.5% (72.4% dosis tinggi vs. 57.9% dosis rendah, P = 0.004) dari pasien yang
bertahan hingga admisi ke rumah sakit (Tabel 2), berkaitan dengan kesimpulan
dari perekrutan pada penelitian acak hipotermia ringan prehospital.12 Sebaliknya,
penggunaan angiografi kororner meningkat dengan nilai absolut 17.1% (47.6%
dosis tinggi hingga 64.7% dosis rendah, p = 0.001) dari pasien yang bertahan
hingga admisi. Tidak terdapat perubahan signifikan dalam penggunaan TTM atau
angiografi pada pasien dengan irama non-shockable.

Pembahasan
Meskipun berhasil dalam memberikan epinefrin dengan dosis lebih sedikit
pada pasien henti jantung, kami tidak menemukan hubungan antara penggunaan
dosis epinefrin yang lebih rendah dengan hasil pada OHCA. Angka bertahan
hidup hingga keluar dari rumah sakit dan fungsi neurologi saat pulang dari rumah
sakit tidak berbeda signifikan antar protokol dosis baik pada pasien yang irama
awalnya shockable maupun non-shockable. Hasil penggunaan dosis tinggi vs
dosis rendah masih tidak signifikan meskipun setelah penyesuaian untuk
prediktor luaran henti jantung yang telah diketahui seperti usia, jenis kelamin,
status pengalaman, adanya peninjau CPR, dan interval panggilan ke pasien. Kami
yakin penelitian ini adalah evaluasi pertama dari protokol OHCA mengenai
epinefrin yang menggunakan dosis di atas nol dan di bawah 1 mg.
Peran epinefrin dalam resusitasi OHCA telah dipertanyakan. Penelitian
sebelumnya telah menunjukkan hasil positif dan negatif dengan penggunaannya,
yang mendorong untuk mencari rasio risiko-manfaat yang lebih optimal dengan
regimen dosis non-standar.7
Hasil ini tidak sesuai harapan. Penelitian acak membandingkan pemberian
epinefrin atau plasebo pada 534 pasien OHCA menemukan bahwa penggunaan
epinefrin dapat menyebabkan peningkatan angka ROSC namun tidak mengubah
angka bertahan hingga pemulangan dari rumah sakit.11 Sebaliknya, kami tidak
menemukan perbedaan pada tingkat ROSC antar berbagai strategi dosis epinefrin.
Peneliti lain menemukan bahwa interval waktu dari pengiriman ALS hingga
dosis epinefrin pertama berhubungan dengan perbaikan angka harapan hidup.13
Dengan menggunakan rekaman suara defibrilator selain rekaman tertulis, kami
dapat dengan tepat mengukur interval kedatangan ALS hingga epinefrin. Kami
menemukan bahwa interval ini tidak berhubungan dengan perubahan apapun pada
angka harapan hidup atau kondisi neurologi pada pasien shockable dan non-
shockable.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan penting. Akses vaskuler
intraoseus tibia dilakukan oleh paramedis di tahun 2011. Banyak pasien dengan
akses IO tibia awal selanjutnya mendapat dosis tambahan epinefrin melalui rute
intravena. Satu penelitian observasional menemukan bahwa rute intraoseus dari
pemberian obat pada manusia dengan henti hantung berhubungan dengan
rendahnya angka harapan hidup.14 Penggunaan IO tibia tidak dapat dikontrol
untuk model regresi logistik karena mutikolinearitasnya dengan transisi dosis
yang lebih tinggi pada dosis yang lebih rendah. Akhirnya, terdapat perubahan
pada frekuensi TTM dan angiografi koroner yang digunakan sepanjang waktu.
Meski menyertakan 2255 pasien yang layak, pengukuran efek signifikan
secara klinis merupakan tantangan. Penelitian yang lebih besar dengan jumlah
pasien yang bertahan lebih banyak akan memperbaiki presisi.
Terdapat penyilangan antara irama shockable dan non-shockable pada
seluruh kohort. Seluruh analisis yang dilakukan pada penelitian ini memisahkan
pasien dengan irama yang tercatat pertama, shockable atau non-shockable,
mengingat perbedaah hasil yang luas berdasarkan variabel ini saja e (angka
harapan hidup sebesar 34.2% jika shockable vs. 5.1% jika non-shockable). Mau
tidak mau, beberapa pasien dapat mengalami perubahan antara irama shockable
dan non-shockable kemudian saat resusitasi. Jika pasien shockable menjadi non-
shockable, frekuensi pemberian epinefrin akan ditingkatkan, sehingga pasien
menerima dosis yang lebih rendah dibandingkan jika irama masih shockable.
Penambahan dosis ini akan mengurangi besar efek dari hasil yang terukur.
Meskipun protokol mengubah penurunan dosis epinefrin 50%, ada sekitar 20%
penurunan epinefrin yang diberikan, mungkin mengurangi perbedaan antara
kohort.
Terlepas dari keterbatasan, penelitian ini memiliki beberapa kekuatan yang
penting. Salah satu kekuatannya adalah pengambilan data yang tepat. Pencatatan
henti jantung digunakan untuk analisis ini serta disusun setiap hari secara
aprospektif. Pemanfaatan banyak sumber data (catatan klinis, rekaman audio, dan
bentuk data khusus) meningkatkan kepercayaan pada setiap poin data ketika
abstraksi dilakukan. Selain itu, semua data diabstraksikan oleh tim kecil dengan
peran yang jelas. Ini membantu untuk meminimalkan perbedaan antar anggota dan
berkontribusi pada validitas internal yang tinggi. Yang penting, hanya satu orang
yang secara otomatis menentukan skor CPC.

Kesimpulan
Mengurangi dosis epinefrin yang diberikan selama henti jantung di luar
rumah sakit tidak berhubungan dengan perubahan dalam bertahan hidup hingga
keluar rumah sakit atau hasil neurologis yang menguntungkan setelah OHCA.

Dukungan
Cameron Fisk menerima dukungan dari Program Pelatihan Penelitian
Mahasiswa Kedokteran Universitas Washington School of Medicine.

Konflik kepentingan
Tidak ada.

Pengakuan
Para penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada baik pria maupun
wanita dari Departemen Seattle Fire untuk perawatan yang sangat baik yang
mereka berikan kepada setiap pasien serangan jantung.

Referensi
[1]. Ristagno G, Tang W, Huang L, Fymat A, Chang Y-T, Sun S, et al. Epinephrine
reduces cerebral perfusion during cardiopulmonary resuscitation. Crit Care
Med2009;37:1408–15.

[2]. Soar J, Nolan JP, Böttiger BW, Perkins GD, Lott C, Carli P, et al. European resusci-
tation council guidelines for resuscitation 2015: section 3. Adult advanced life support.
Resuscitation 2015;95:100–47.
[3]. Link MS, Berkow LC, Kudenchuk PJ, Halperin HR, Hess EP, Moitra VK, et al.
Part7: adult advanced cardiovascular life support: 2015 American Heart Association
guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovas-cular care.
Circulation 2015;132(18 (Suppl. 2)):S444–64.

[4]. Michael JR, Guerci AD, Koehler RC, Shi AY, Tsitlik J, Chandra N, et al.
Mechanismsby which epinephrine augments cerebral and myocardial perfusion during
car-diopulmonary resuscitation in dogs. Circulation 1984;69:822–35.

[5]. Angelos M, Butke R, Panchal A, Torres C, Blumberg A, Schneider J, et al. Car-


diovascular response to epinephrine varies with increasing duration of cardiac arrest.
Resuscitation 2008;77:101–10.

[6]. Dumas F, Bougouin W, Geri G, Lamhaut L, Bougle A, Daviaud F, et al.


Isepinephrine during cardiac arrest associated with worse outcomes in resus-citated
patients? J Am Coll Cardiol 2014;64:2360–7.

[7]. Hagihara A, Hasegawa M, Abe T, Nagata T, Wakata Y, Miyazaki S. Prehospital


epinephrine use and survival among patients with out-of-hospital cardiac arrest.JAMA
2012;307:1161–8.

[8]. Lin S, Callaway C, Shah P, Wagner J, Beyene J, Ziegler C, et al. Adrenaline for out-
of-hospital cardiac arrest resuscitation: a systematic review and meta-analysisof
randomized controlled trials. Resuscitation 2014;85:732–40.

[9]. Hayashi Y, Iwami T, Kitamura T, Nishiuchi T, Kajino K, Sakai T, et al. Impact


ofearly intravenous epinephrine administration on outcomes following out-of-hospital
cardiac arrest. Circ J 2012;76:1639–45.

[10]. Conway AB, McDavid A, Emert JM, Kudenchuk PJ, Stubbs BA, Rea TD, et al.
Impact of building height and volume on cardiac arrest response time. Prehosp
EmergCare 2015;20:1–8.

[11]. Jacobs I, Finn J, Jelinek G, Oxer H, Thompson P. Effect of adrenaline on survivalin


out-of-hospital cardiac arrest: a randomised double-blind placebo-controlled trial.
Resuscitation 2011;82:1138–43.

[12]. Kim F, Nichol G, Maynard C, Hallstrom A, Kudenchuk PJ, Rea T, et al. Effectof
prehospital induction of mild hypothermia on survival and neurologicalstatus among
adults with cardiac arrest: a randomized clinical trial. JAMA2014;311:45–52.

[13]. Ewy GA, Bobrow BJ, Chikani V, Sanders AB, Otto CW, Spaite DW, et al. The time
dependent association of adrenaline administration and survival from out-of-hospital
cardiac arrest. Resuscitation 2015;96:180–5.

[14]. Feinstein B, Stubbs B, Rea T, Kudenchuk P. Intraosseous compared to intra-venous


drug resuscitation in out-of-hospital cardiac arrest. Resuscitation2017;117:91–6.

Anda mungkin juga menyukai