Anda di halaman 1dari 12

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Peran pertanian dalam pembangunan dapat dikelompokan menjadi 3 kegiatan pokok,antara


lain :
1. Menyumbang produk domestic bruto nasional
2. Memberikan kesempatan kerja
3. Sebagai sumber penerimaan devisa hasil ekspor komoditi

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki daratan yang sangat luas sehingga
mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah pada sektor pertanian. Pertanian dapat dilihat
sebagai suatu yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi nasional yaitu sebagai berikut:
- ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di
bidang pertanian, baik dari sisi permintaan maupun penawaran sebagai sumber bahan
baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur dan
perdagangan.
- Pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi
produk-produk dari sektor-sektor lainnya.
- Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya.
- Sebagai sumber penting bagi surplus perdagangan (sumber devisa).
Kontibusi terhadap kesempatan kerja
Di suatu Negara besar seperti Indonesia, di mana ekonomi dalam negerinya masih di
dominasi oleh ekonomi pedesaan sebagian besar dari jumlah penduduknya atau jumlah tenaga
kerjanya bekerja di pertanian. Di Indonesia daya serap sektor tersebut pada tahun 2000 mencapai
40,7 juta lebih. Jauh lebih besar dari sector manufaktur. Ini berarti sektor pertanian merupakan
sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.
Kalau dilihat pola perubahan kesempatan kerja di pertanian dan industri manufaktur,
pangsa kesempatan kerja dari sektor pertama menunjukkan suatu pertumbuhan tren yang
menurun, sedangkan di sektor kedua meningkat. Perubahan struktur kesempatan kerja ini sesuai
dengan yang di prediksi oleh teori mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi dari suatu
proses pembangunan ekonomi jangka panjang, yaitu bahwa semakin tinggi pendapatan per
kapita, semakin kecil peran dari sektor primer, yakni pertambangan dan pertanian, dan semakin
besar peran dari sektor sekunder, seperti manufaktur dan sektor-sektor tersier di bidang ekonomi.
Namun semakin besar peran tidak langsung dari sektor pertanian, yakni sebagai pemasok bahan
baku bagi sektor industri manufaktur dan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Kontribusi devisa
Pertanian juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap peningkatan devisa, yaitu
lewat peningkatan ekspor dan atau pengurangan tingkat ketergantungan Negara tersebut terhadap
impor atas komoditi pertanian. Komoditas ekspor pertanian Indonesia cukup bervariasi mulai
dari getah karet, kopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga berbagai macam sayur dan buah.
Peran pertanian dalam peningkatan devisa bisa kontradiksi dengan perannya dalam
bentuk kontribusi produk. Kontribusi produk dari sector pertanian terhadap pasar dan industri
domestic bisa tidak besar karena sebagian besar produk pertanian di ekspor atau sebagian besar
kebutuhan pasar dan industri domestic disuplai oleh produk-produk impor. Artinya peningkatan
ekspor pertanian bisa berakibat negative terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau sebaliknya
usaha memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu factor penghambat bagi
pertumbuhan ekspor pertanian. Untuk mengatasinya ada dua hal yang perlu dilakukan yaitu
menambah kapasitas produksi dan meningkatkan daya saing produknya. Namun bagi banyak
Negara agraris, termasuk Indonesia melaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah terutama
karena keterbatasan teknologi, SDM, dan modal.
Kontribusi terhadap produktivitas
Banyak orang memperkirakan bahwa dengan laju pertumbuhan penduduk di dunia yang
tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan-lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian
semakin sempit, maka pada suatu saat dunia akan mengalami krisis pangan (kekurangan stok),
seperti juga diprediksi oleh teori Malthus. Namun keterbatasan stok pangan bisa diakibatkan oleh
dua hal: karena volume produksi yang rendah ( yang disebabkan oleh faktor cuaca atau lainnya),
sementara permintaan besar karena jumlah penduduk dunia bertambah terus atau akibat
distribusi yang tidak merata ke sluruh dunia.
Mungkin sudah merupakan evolusi alamiah seiring dnegan proses industrialisasi dimana
pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relatif menurun, sedangkan dari industri manufaktur
dan sektor-sektor skunder lainnya, dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomi
seperti ini juga terjadi di Indonesia. Penurunan kontribusi output dari pertanian terhadap
pembentukan PDB bukan berarti bahwa volume produksi berkurang (pertumbuhan negatif).
Tetapi laju pertumbuhan outputnya lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan output di
sektor-sektor lain.
Bukan hanya dialami oleh Indinesia tetapi secara umum ketergantungan negara agraris
terhadap impor pangan semakin besar, jika dibandingkan dengan 10 atau 20 tahun yang lalu,
misalnya dalam hal beras. Setiap tahun Indonesia harus mengimpor beras lebih dari 2 juta ton.
Argumen yang sering digunakan pemerintah untuk membenarkan kebijakan M-nya adalah
bahwa M beras merupakan suatu kewajiban pemerintah yang tak bisa dihindari, karena ini bukan
semata-mata hanya menyangkut pemberian makanan bagi penduduk, tapi juga menyangkut
stabilitas nasional (ekonomi, politik, dan sosial).
Kemampuan Indonesia meningkatkan produksi pertanian untuk swasembada dalam
penyediaan pangan sangat ditentukan oleh banyak faktor eksternal maupun internal. Satu-
satunya faktor eksternal yang tidak bisa dipengaruhi oleh manusia adalah iklim, walaupun
dengan kemajuan teknologi saat ini pengaruh negatif dari cuaca buruk terhadap produksi
pertanian bisa diminimalisir. Dalam penelitian empiris, factor iklim biasanya dilihat dalam
bentuk banyaknya curah hujan (millimeter). Curah hujan mempengaruhi pola produksi, pola
panen, dan proses pertumbuhan tanaman. Sedangkan factor-faktor internal, dalam arti bisa
dipengaruhi oleh manusia, di antaranya yang penting adalah lusa lahan, bibit, berbagai macam
pupuk (seperti urea, TSP, dan KCL), pestisida, ketersediaan dan kualitas infrastruktur, termasuk
irigasi, jumlah dan kualitas tenaga kerja (SDM), K, dan T. kombinasi dari faktor-faktor tersebut
dalam tingkat keterkaitan yang optimal akan menentukan tingkat produktivitas lahan (jumlah
produksi per hektar) maupun manusia (jumlah produk per L/petani). Saat ini Indonesia, terutama
pada sektor pertanian (beras) belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Ini berarti Indonesia
harus meningkatkan daya saing dan kapasitas produksi untuk menigkatkan produktivitas
pertanian.
Sejak menurunya peranan minyak bumi dan gas, perhatian dan harapan banyak diarahkan
kepada agribisnis untuk melanjutkan kegiatan pembangunan nasional. Harapan yang diberikan
kepada agribisnin ditentukan oleh kondisi yang ada itu sendiri (intern) dan kondisi luar
(ekstern).Salah satu factor intern yang mempengaruhi perkembangan pertanian di Indonesia
adalah kurangnya tenaga kerja yang mempunyai tingkat keahlian yang selanjutnya akan
mempengaruhi produktivitas dan kualitas komoditas yang dihasilkan.
Faktor ekstern agribisnis yang sangat penting adalah kemampuan pasar untuk
menampung hasil-hasil agribisins lewat sisi permintaan dan kebijaksanaan pemerintah yang
dapat menunjang pengembangan agribisnis itu sendiri. Misalnya,penyederhanaan izin
ekspor.penghapusan pungutan-pungutan ,kemudahan kredit,peningkatan ketrampilan ,dan
kelancaran pengangkutan barang.

Sejauh mana kebijakan tersebut dapat benar-benar efektif,masih sangat tergantung pada
pelaksanaanya di lapangan .Oleh karenai itu,diperlukan adanya penguasaan,dan penghayatan
terhadap kebijaksanaan yang dirumuskan ,khusus untuk bidang pengawasan perlu mendapat
perhatian.
Proses industrialisasi dilaksanakan dengan perbedaan yang amat prinsip, yaitu bahwa
sektor industri manufaktur (modern) dijalankan dengan prinsip maksimisasi keuntungan biasa;
sedangkan sektor pertanian (tradisional) dijalankan dengan norma-norma konvensional, bukan
prinsip-prinsip produksi marjinal. Jadi, apabila konsep kelebihan tenaga kerja memang diartikan
sebagai tingkat produktivitas marjinal yang mendekati nol, maka tingkat alokasi produksi dalam
sektor perrtanian hampir tidak mungkin untuk mengikuti prinsip-prinsip persaingan pasar
sempurna.
Artinya, tingkat upah buruh di sektor pertanian terlalu kecil untuk sekadar bertahan hidup,
sehingga suatu norma tertentu terkadang dijadikan basis pengambilan keputusan alokasi
produksi. Proses industria1isasi yang dicirikan oleh karakter dualistik tersebut umumnya
menghadapi kondisi asimetri produksi dan asimetri organisasi. Asimetri produksi maksudnya
adalah bahwa penggunaan faktor produksi modal tidak digunakan sepenuhnya dalam sektor
pertanian dan lahan tidak digunakan sepenuhnya dalam sektor industri. Sedang asimetri
organisasi maksudnya tingkat penerimaan upah di kedua sektor tersebut tidak akan mencapai
keseimbangan karena perbedaan produktivitas marjinal tenaga kerja.
Prinsip yang diperjuangkan para ekonom pertanian ini cukup sederhana, namun
menyentuh sendi-sendi kehidupan perekonomian, misalnya bahwa laju penyediaan bahan pangan
minimal harus sama atau lebih besar dari laju permintaan pangan, yang sangat ditentukan oleh
tingkat pertumbuhan penduduk, pendapatan serta elastisitas atau persentase pendapatan untuk
konsumsi pangan. John Mellor terus konsisten memperjuangkan fungsi strategis sektor pertanian
sebagai pengganda pendapatan dan pengganda lapangan kerja, yang sekaligus sangat
menentukan proses perubahan teknologi dan industrialisasi baik di negara berkembang, maupun
di negara maju.
Ketika ekonomi pertanian semakin memperoleh tempat di tengah masyarakat, maka
perubahan teknologi berikut ini menandai kehidupan dunia pertanian dan peradaban manusia
umumnya. Di antaranya adalah penemuan varietas unggul baru dalam komoditas pangan biji-
bijian, penambahan zat hara tanah dalam bentuk pupuk buatan, penanggulangan hama dan
penyakit tumbuhan dengan bahan kimia, pengaturan populasi tanaman, serta manajemen
pengaturan air irigasi dan drainase, dan sebagainya. Era perubahan teknologi yang sangat pesat
itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau, karena memang ditujukan untuk
meningkatkan produksi pertanian terutama bahan pangan, sebagai jawaban para ilmuwan lain
terhadap ancaman kekurangan pangan dan kelaparan yang begitu mudah dijumpai di banyak
tempat.
Revolusi Hijau telah mampu menyelamatkan manusia dan jenis peradabannya dari
kepunahan atau kematian karena kelaparan, yang sekaligus memupus keraguan aliran pemikiran
pesimisme ala Thomas Malthus dan pengikutnya. Lonjakan produksi pangan dan biji-bijian yang
dihasilkan oleh teknologi baru dalam hal benih dan varietas unggul baru serta bahan kimia yang
menjadi pupuk dan pestisida tercatat sampai pangan 4-5 kali lipat dari sebelumnya, sesuatu yang
tidak pemah terbayangkan sebelumnya.
Para ekonom pertanian sering menyebutnya dengan teknologi biologis-kimiawi, yang
sangat diandalkan pada lahan sempit dengan penduduk yang padat, sekaligus untuk
membedakannya dengan teknologi mekanis yang mengandalkan mesin dan alat pertanian yang
sangat memadai untuk areal luas dengan tenaga kerja yang terbatas.
Dalam hal teknologi mekanis, ekonomi pertanian melihatnya sebagai suatu respons
rasional karena kecilnya rasio lahan terhadap tenaga kerja, sebagaimana yang diadopsi di negara-
negara dengan areal lahan sangat luas, seperti di Amerika Serikat, Eropa Barat, Rusia dan lain-
lain. Aplikasi teknologi mekanis sering juga dianggap sebagai varian dari Revolusi Industri, yang
telah berlangsung sejak abad 19, walaupun para ekonom pertanian belum terlalu sepakat tentang
keterkaitannya dengan Revolusi Hijau atau revolusi di dunia pertanian tersebut
Maksudnya, revolusi pertanian bukan sekadar penerapan atau adopsi metode-medote
industrialisasi kepada proses produksi pertanian. Jika di industri proses mekanisasi merangsang
terspesialisasinya tenaga kerja, di pertanian proses mekanisasi mengandung dimensi ruang dan
waktu yang amat rumit. Keterpautan waktu antara pengolahan lahan, tanam, penanggulangan
gulma, hama dan penyakit, panen dan sebagainya itu memang memerlukan mesin pertanian
spesialis khusus. Pada sistem pertanian yang sangat mekanis, mobilitas dan spesialisasi
seringkali mengakibatkan biaya investasi per tenaga kerja yang lebih tinggi dari pada di sektor
industri. Hal itu berarti bahwa teradopsinya mekanisasi dalam bidang pertanian adalah untuk
meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian itu sendiri. Singkatnya, perkembangan
proses mekanisasi pertanian memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi per tenaga kerja atau
dalam hal ini untuk memperluas lahan produktif melalui proses ekstensifikasi pertanian.
Persoalan menjadi sedikit lebih rumit ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah proses
perubahan teknologi itu merupakan faktor eksogen dalam suatu sistem ekonomi --di sini berarti
pengembangan kedua jenis teknologi merupakan produk atau hasil kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi-- ataukah proses perubahan teknologi itu merupakan faktor endogen suatu sistem
ekonomi. Dalam suatu sistem perekonomian yang dinamis, perubahan harga permintaan produk
dan harga penawaran faktor produksi tidaklah dapat dipisahkan. Misalnya, ketika permintaan
terhadap bahan makanan naik karena naiknya jumlah penduduk atau meningkatnya pendapatan
per kapita, permintaan terhadap faktor produksi tersebut ikut naik secara proporsional.
Artinya, kenaikan permintaan tersebut mengakibatkan berubahnya harga relatif faktor-
faktor produksi. Akibat berikutnya adalah bahwa tingkat pendapatan --termasuk distribusinya di
kalangan para pemilik faktor produksi-- berubah sehingga hal tersebut kembali mempengaruhi
permintaan secara keseluruhan.
Prinsip-prinsip inilah yang menjadi cikal-bakal konsep keseimbangan umum dalam
ekonomi, yang kelak berkembang sangat pesat sebagai salah satu analisis lebih komprehensif
terhadap berbagai fenomena kehidupan manusia.
Sektor pertanian merupakan sektor yang tetap memiliki peranan yang penting dalam
struktur perekonomian nasional. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya pertanian di
Indonesia:
(1) potensi sumberdayanya yang besar dan beragam,
(2) pangsa terhadap pendapatan nasional cukup besar,
(3) besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, yaitu 50%
jumlah penduduk (Nainggolan, 2005), dan
(4) menjadi basis pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Selain itu, pertanian tropika yang
merupakan sektor yang menjanjikan, melihat pontensi sumberdaya alam Indonesia yang
begitu besar.

TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN


Sejalan dengan perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarahpada era
domokratisasi serta perubahan tatanan dunia yang mengarah padaglobalisasi, maka
pembangunan sektor pertanian dimasa datang dihadapkanpada dua tantangan pokok sekaligus.
Tantangan pertama adalah tantanganinternal yang berasal dari domestik, dimana pembangunan
pertanian tidak sajadituntut untuk mengatasi masalah-masalah yang sudah ada, namun
dihadapkanpula pada tuntutan demokratisasi yang terjadi di Indonesia.
Sedangkan tantangan kedua adalah tantangan eksternal, dimana pembangunan
sektorpertanian diharapkan mampu untuk mengatasi era globalisasi dunia. Kedua tantangan
internal dan eksternal tersebut sulit dihindari dikarenakanmerupakan kesepakatan nasional yang
telah dirumuskan sebagai arahkebijakan pembangunan nasional di Indonesia.
Tantangan Pembangunan Pertanian
1) Memperbaiki produktivitas dan nilai tambah produk pertanian dibeberapa sentra
produksi dengan menciptakan sistem pertanianyang ramah lingkungan.
2) Penggunaan pupuk kimiawi dan organik secara berimbang untukmemperbaiki dan
meningkatkan kesuburan tanah.
3) Memperbaiki dan membangun infrastruktur lahan dan air sertaperbenihan dan
perbibitan.
4) Membuka akses pembiayaan pertanian dengan suku bunga rendahbagi petani/peternak
kecil
5) Pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s) yang mencakupangka
kemiskinan, pengangguran, dan rawan pangan
6) Penciptaanpricing policies yang proporsional untuk produk-produkpertanian khusus.
7) Persaingan global serta pelemahan pertumbuhan ekonomi akibatkrisis global.
8) Memperbaiki citra petani dan pertanian agar kembali diminatigenerasi penerus.
9) Memperkokoh kelembagaan usaha ekonomi produktif di perdesaan.
10) Menciptakan sistem penyuluhan pertanian yang efektif.
11) Pemenuhan kebutuhan pangan, disamping pengembangankomoditas unggulan
hortikultura dan peternakan, serta peningkatankomoditas ekspor perkebunan

TEORI DAN PARADIGMA YANG MEMPENGARUHI PEMBANGUNAN DUNIA


Praktek-praktek perencanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara pandang, mazhab atau
paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit dari masing-masing negara. Teori atau
paradigmatersebut dapat diklasifikasikan dan dirangkum sebagai berikut:
1. Teori Pembangunan Klasik.
Teori Pembangunan Klasik memiliki tiga aliran, yaitu aliran-aliran Emile Durkheim, Max Weber,
dan Karl Marx.
a. Aliran Durkheim.
Menurut Durkheim pembangunan adalah proses perubahan masyarakat dalam dimensi kuantitatif
dan kualitatif, yaitu adanya perubahan orientasi masyarakat dari berfikir tradisional menjadi
modern. Karena itu akan terjadi perubahan tata nilai masyarakat dari yang berbasiskan solidaritas
mekanik menjadi solidaritas organik.Indikator yang bisa dilihat adalah tumbuh dan
berkembangnya organisasi-organisasi sosial ekonomi modern. Implikasi dari konsep
pembangunan ini, masyarakat berkembang secara bertahap sebagai berikut:

 Tahap Pra Industri: pada tahap ini hubungan sosial yang berkembang pada umumnya
hanya terjadi dalam kelompok masyarakat (isolasi fungsional);
 Tahap Industrialisasi: sebagai akibat dari proses industrialisasi maka terjadi perembesan
(spill over) struktur budaya modern dari pusat yang berada di kota ke daerah pinggiran
yang berada di pedesaan;

 Tahap Perkembangan: pusat secara terus menerus menyebarkan modernisasi sehingga


tercapai keseimbangan hubungan fungsional antara pusat dan pinggiran.

a. Aliran Weber.
Weber berpendapat bahwa pembangunan adalah perubahan orientasi masyarakat dari
tradisional-irasional menuju modern-rasional. Indikatornya adalah munculnya birokratisasi
dalam setiap unsur kehidupan yang dicapai melalui distribusi kekuasaan serta munculnya budaya
oposisi di wilayah pinggiran sebagai respon terhadap dominasi pusat yang berkepanjangan.
b. Aliran Marx.
Sedangkan menurut Karl Marx, pembangunan adalah perubahan sosial yang terjadi
sebagai akibat konflik sosial antar kelas, yang secara bertahap akan merubah kehidupan
masyarakat.Esensi dari teori ini adalah pembangunan akan mewujudkan masyarakat tanpa kelas
(classless society) dan materialisme sebagai hirarkinya. Berdasarkan teori Marx, masyarakat
terbagi atas: (1) masyarakat primitif, (2) masyarakat feodal, (3) masyarakat kapitalis, (4)
masyarakat sosialis, dan (5) masyarakat komunis.
2. Teori Tahapan Linear (Tahapan Pertumbuhan Ekonomi Rostow).
Menurut Rostow, perubahan dari terbelakang (underdeveloped) menjadi maju
(developed) dapat dijelas dalam seri tahapan yang harus dilalui oleh semua negara. Sebelum
suatu negara berkembang menjadi negara maju, harus dilalui suatu tahap yang disebut tahap
tinggal landas (take off). Teori ini menyarankan agar negara-negara sedang berkembang
(developing country) tinggal mengikuti saja seperangkat aturan pembangunan tertentu untuk
tinggal landas, sehingga pada gilirannya akan berkembang menjadi negara maju. Prasyarat
penting untuk dapat tinggal landas, suatu negara harus mampu membangun pertanian, industri,
dan perdaganganya sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan. Prasyarat penting lainnya adalah harus ada mobilisasi tabungan dengan
maksud untuk menciptakan investasi yang cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Harrod-Domar mengemukakan bahwa Pertumbuhan Pendapatan Nasional Kotor (Gross National
Product/GNP) secara langsung bertalian erat dengan rasio tabungan, yaitu lebih banyak
bagian GNPyang ditabung dan diinvestasikan maka akan lebih besar lagi
pertumbuhan GNP tersebut. Dari model yang dikemukakan oleh Harrod-Domar tersebut Rostow
menyimpulkan bahwa negara-negara yang dapat menabung 10-20% dari GNP-nya dapat tumbuh
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara-negara yang
tabungannya kurang dari kisaran tersebut. Di negara-negara berkembang pembentukan modal
relatif rendah sehingga untuk memperoleh pertumbuhan yang diinginkan dibutuhkan pinjaman
luar negeri.
3. Teori Perubahan Struktural.
Teori Perubahan Struktural ini mempunyai dua model, yaitu Model Pembangunan Lewis
dan Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan.
a. Model Pembangunan Lewis.
Dalam Model Pembangunan Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua sektor: (1)
Sektor Tradisional, dengan ciri-ciri di pedesaan, subsisten, kelebihan tenaga kerja dan
produktivitas marjinalnya sama dengan nol; (2) Sektor Modern, dengan ciri-ciri di perkotaan,
industri, produktivitasnya tinggi, sebagai tempat penampungan tenaga kerja yang ditranfer
sedikit demi sedikit dari Sektor Tradisional. Model ini memfokuskan pada terjadinya proses
pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kesempatan kerja di Sektor Modern,
yang dimungkinkan dengan adanya perluasan lapangan kerja di Sektor Modern.
b. Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan Hollis Chenery .
Model ini dikembangkan oleh Hollis Chenery yang menyarankan adanya perubahan
struktur produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi barang industri
pada saat pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan
dan investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary but not sufficient condition) untuk
memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pola ini juga menyaratkan bahwa selain
akumulasi modal fisik dan manusia, diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan
dalam struktur perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem
ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh
fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi permintaan
konsumen, perdagangan internasional serta perubahan-perubahan sosial-ekonomi seperti
urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk.
4. Teori Revolusi Ketergantungan Internasional.
Pada dasawarsa 1970-an, teori dan model-model ketergantungan internasional kian
mendapat dukungan di Dunia Ketiga. Teori ini memadang bahwa negara-negara Dunia Ketiga
telah menjadi korban dari berbagai kelakuan kelembagaan politik dan ekonomi internasional
maupun domestik. Negara-negara Dunia Ketiga telah terjebak dalam hubungan ketergantungan
dan dominasi oleh negara-negara kaya. Teori ini mempunyai dua aliran, yaitu Model
Ketergantungan Kolonial dan Model Paradigma Palsu.
a. Model Ketergantungan Kolonial.
Teori Ketergantungan ini muncul sebagai antitesi terhadap Teori Modernisasi dan
merupakan variasi dari teori yang dikembangkan oleh Karl Marx (Marxian). Ketergantungan itu
sendiri berarti berarti situasi di mana ekonomi suatu negara dikondisikan oleh perkembangan dan
ekspansi ekonomi negara lain dan ekonomi negara tersebut tunduk padanya.
Secara sengaja negara-negara kaya mengeksploitasi dan menelantarkan ko-eksistensi
negara-negara miskin negara miskin dalam sistem internasional yang didominasi oleh hubungan
kekuasaan yang sangat tidak seimbang antara pusat atau centre (negara-negara maju) dan
pinggiran atau periphery (negara-negara berkembang). Praktek dan kondisi tersebut menggoda
negara-negara miskin untuk mandiri dan bebas dalam upaya-upaya pembangunan mereka yang
sulit dan bahkan kadang-kadang serba tidak mungkin.
Kelompok-kelompok tertentu di negara-negara sedang berkembang (tuan tanah,
pengusaha, pejabat, militer) yang menikmati penghasilan tinggi, status sosial, dan kekuasaan
politik merupakan kaum elit dalam masyarakat. Kepentingannya, sengaja atau tidak sengaja
melestarikan ketidakmerataan dan eksploitasi ekonomi oleh negara-negara maju terhadap
negara-negara miskin karena secara langsung atau tidak langsung mereka mengabdi kepada
kekuasaan kapitalis internasional.
b. Model Paradigma Palsu.
Keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga disebabkan oleh kesalahan atau
ketidaktepatan nasihat/saran yang diberikan oleh para penasihat dan para pakar internasional dari
lembaga-lembaga bantuan negara maju dan donor-donor multinasional. Nasihat atau saran
tersebut mungkin bermaksud baik tapi sering tidak mempunyai informasi yang cukup tentang
negara yang akan dibantu terutama negara-negara sedang berkembang.
5. Tesis Pembangunan Dualistik.
Tesis ini berlandaskan fenomena eksistensi ganda, yaitu adanya masyarakat yang kaya (superior)
dan adanya masyarakat yang miskin (inferior). Tesis ini memeiliki empat syarat:

1. Dualisme merupakan prasyarat yang memungkinkan pihak


yangsuperior dan inferior hidup berdampingan pada suatu tempat dan waktu yang sama.
2. Ko-eksistensi superior dan inferior bukan sesuatu yang bersifat transisional tetapi sesuatu
yang bersifar kronis.
3. Superioritas dan inferioritas tidak menunjukan tanda-tanda melemah, bahkan keduanya
cendrung menguat untuk menjadi kekal.

4. Saling keterkaitan antara unsur superioritas dan unsur inferioritas sehingga keberadaan
unsur superioritas sedikit atau sama sekali tidak meningkatkan unsur inferioritas.

6. Teori Kontra-Revolusi Neoklasik.


Teori ini muncul pada dasawarsa 1980-an yang berhaluan konservatif yaitu politik yang
dianut Amerika, Kanada, Inggeris, dan Jerman Barat. Teori ini menyerukan agar diadakan
swastanisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah di negara-negara maju serta munculnya
himbauan untuk meninggalkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian serta deregulasi
di negara-negara berkembang. Teori ini menegaskan bahwa keterbelakangan negara-negara
berkembang bersumber dari buruknya alokasi sumberdaya yang bertumpu pada kebijakan-
kebijakan harga yang tidak tepat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan.
7. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).
Proses kristalisai paradigma pembangunan berkelanjutan dimulai dari tahap perdebatan
antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan pada tahun 1960-an hingga tahun 1970-
an.Kemudian pada tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an mulai dikenal konsep dan argumen
pentingnya pembangunan berkelanjutan.
World Commision for Environmental and Development(WECD) mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang”. Esensi pembangunan
berkelanjutan adalah “perbaikan mutu kehidupan manusia dengan tetap berusaha tidak
melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya. Sedangkan ekonomi
berkelanjutan merupakan buah dari pembangunan berkelanjutan, yaitu “sistem ekonomi yang
tetap memelihara basis sumberdaya alam yang digunakan dengan terus mengadakan
penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan-penyempurnaan pengetahuan, organisasi, efisiensi
teknis dan kebijaksanaan (IUCN, UNEP, WWF, 1993).
Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi,
ekologi, dan sosial. Pendekatan ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasis
pada penggunaan sumberdaya yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya
perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan
ekosistem dunia. Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem
sosial budaya meliputi penghindaran konflik keadilan baik dalam satu generasi maupun antar
generasi (Munasinghe, 1993).

Anda mungkin juga menyukai