Anda di halaman 1dari 182

J U R N A L

HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA


Volume 03 Issue 01/Juli 2016

ISSN: 2355-1305
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

J urnal H ukum
L ingkungan I ndonesia
Volume 3 Issue 1, Juli 2016
ISSN: 2355-1305

Indonesian Center for Environmental Law


Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

i
J urnal H ukum L ingkungan I ndonesia
Vol. 3 Issue 1 / Juli / 2016
ISSN: 2355-1305
Website: www.icel.or.id/jurnal
E-mail: jurnal@icel.or.id

Diterbitkan oleh:
I ndonesian C enter for E nvironmental L aw (ICEL)
Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Telp. (62-21) 7262740, 7233390
Fax. (62-21) 7269331

Desain Sampul : Suparlan, S.Sos.


Tata Letak : Gajah Hidup

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka


yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan
dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau
e-mail sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. ix)

DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.

ii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Redak s i d a n Mitra Bebestari

Dewan Penasehat
Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.
Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi
Margaretha Quina, S.H., LL.M.

Redaktur Pelaksana
Budi Afandi, S.H.

Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Raynaldo G. Sembiring, SH.
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Astrid Debora, S.H.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Rika Fajrini, S.H.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Ohiongyi Marino, S.H.
Rino Subagyo, S.H. Isna Faitmah, S.H.
Windu Kisworo, S.H., LL.M. Rayhan Dudayev, S.H.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Wenni Adzkia, S.H.
Feby Ivalerina, S.H., LL.M. Fajri Fadhillah, S.H.
Dyah Paramitha, S.H., LL.M. Budi Afandi, S.H.
Citra Hartati, S.H., M.H.

Mitra Bebestari
Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam
penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

iii
iv
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

P e n g a n t a r R e d a k s i

“Kembali Mengawal Pencemaran:


Menjaga Tanah, Air dan Udara Bumi Pertiwi”

S
tatus Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2012 menyajikan gambaran
yang mengkhawatirkan mengenai kualitas air, udara dan laut
Indonesia. Dalam hal pencemaran air, dari 411 titik pantau di 52
sungai strategis nasional, 75,2% titik pantau menunjukkan status tercemar berat,
22,52% tercemar sedang dan 1,73% tercemar ringan.1 Dalam hal pencemaran
udara, sekalipun polutan kriteria CO, NO2, TSP, SO2, HC, dan O3 tidak tercemar
secara signifikan, terlihat 40% sampel PM2,5 melebihi baku mutu, sementara
100% PM10 melampaui baku mutu ambien udara.2 Pencemaran laut pun tidak
terkontrol dengan baik, dengan 36 kasus tumpahan minyak sepanjang kurun
1997-2012 (15 tahun) dan sebagian besar parameter kecerahan, amonia, TSS, dan
DO di atas baku mutu.3 Lebih mengkhawatirkan, Indonesia tidak memiliki data
nasional yang komprehensif dan terintegrasi mengenai semua kualitas air, udara,
dan tanah yang mencakup semua kabupaten/kota. Hal ini misalnya tercermin
dari ketimpangan data peredaran merkuri di Indonesia pada 2012, di mana
UNCOMTRADE merekam 368 ton merkuri diekspor ke Indonesia, sementara data
impor Kementerian Perindustrian hanya merekam kurang dari 1 ton.4 Selain itu,
SLHI 2013 dan 2014 masih belum terbit juga hingga kini.
Lahirnya hukum lingkungan di Indonesia berasal dari isu pencemaran.
Sekalipun mencakup substansi yang luas, perlindungan dan pengendalian
terhadap pencemaran di Indonesia bertujuan sama: mempertahankan kualitas
lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi manusia. Dalam perkembangannya,
pendekatan kontrol pencemaran dilakukan berdasarkan media lingkungan, yaitu

1 Kementerian Lingkungan Hidup, Status Lingkungan Hidup Indonesia (Jakarta: KLH,


2012), hlm. 35-38.
2 Id., hlm. 23-29.
3 Id., hlm. 75-76.
4 Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Study on Regulations of Mercury Manage-
ment in Indonesia, (Jakarta: ICEL, 2012), hlm. 11.

v
pencemaran air, udara, dan laut. Pencemaran bahan beracun dan berbahaya yang
kerap lintas media kemudian berkembang menjadi satu cabang tersendiri dalam
ilmu hukum lingkungan. Selain itu, dimensi lain yang menarik ditelusuri adalah
keadilan dalam distribusi beban lingkungan, di mana golongan ekonomi lemah
beresiko lebih tinggi menanggung beban pencemaran lingkungan. Perkembangan
terkini landasan hukum mengenai pencemaran ini dirangkum UU No. 32 Tahun
2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup baik dalam
aspek hukum administrasi, perdata maupun pidana.

Hal-hal ini mendasari pemilihan tema “Kembali Mengawal Pencemaran:


Menjaga Tanah, Air dan Udara Bumi Pertiwi” untuk edisi Jurnal Hukum
Lingkungan Indonesia Volume 3 Issue 1 (Juli 2016). Berbagai analisis yang terdapat
di dalam tulisan-tulisan yang dimuat di dalam jurnal ini diharapkan mampu
memantik diskursus lintas sektor yang lebih dalam tentang: (1) evaluasi norma dan
implementasi hukum dan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dalam konteks pencemaran; (2) persoalan-persoalan hukum dan kebijakan
yang dihadapi dalam permasalahan pengendalian pencemaran di Indonesia; dan
(3) gagasan-gagasan perbaikan dan pengembangan berdasarkan permasalahan-
permasalahan dimaksud.

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah


mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan artikel ini
dan melakukan revisi berdasarkan masukan substantif dari penelaahan sejawat
dan Sidang Redaksi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap anggota
Sidang Redaksi yang telah menelaah dengan cermat dan memberikan masukan
substantif bagi tiap artikel. Tidak lupa kepada Mitra Bebestari edisi ini, Andri G.
Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D. yang telah melakukan double-blind peer review terhadap
artikel dalam jurnal edisi ini.

Akhir kata, JHLI Vol. 3 Issue 1 (Juli 2016) ini tidak lepas dari kekurangan.
Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk
memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat
dalam jurnal ini.

Jakarta, Juli 2016,


Redaksi

vi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

D a f t a r I s i

Redaksi & Mitra Bebestari ................................................................... iii


Pengantar Redaksi ................................................................................ v
Daftar Isi ................................................................................................. vii

Artikel Ilmiah
1. Perkembangan Pengaturan Kualitas Udara di Indonesia:
Dari Pendekatan Tradisional Atur dan Awasi ke arah
Bauran Kebijakan
Cecep Aminudin, S.H., M.Si. ...................................................... 1

2. Perlindungan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil Bidang


Perikanan sebagai Upaya Pengendalian Pencemaran Wilayah
Pesisir dan Laut
Dr. Nur Sulistyo Budi Ambarini, S.H., M.Hum. ...................... 31

3. Tanggung Renteng dalam Perkara Perdata Pencemaran Udara


dari Kebakaran Hutan dan Lahan
Fajri Fadhillah, S.H. ....................................................................... 51

4. Mengatasi Kabut Asap melalui Mekanisme Citizen Lawsuit


Mulyani Zulaeha, S.H., M.H. ........................................................ 87

5. Fungsi Izin dalam Pengendalian Pencemaran Lingkungan


(Studi Kasus: Gugatan Penerbitan Izin Pembuangan Limbah
Cair di Sungai Cikijing)
Nadia Astriani, S.H., M.Si. dan Yulida Adharani, S.H., M.H. ... 107

6. Kontribusi Industri Tekstil dalam Penggunaan Bahan Berbahaya


dan Beracun terhadap Rusaknya Sungai Citarum
Desriko Malayu Putra, S.H. .......................................................... 133

Anotasi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta


antara Kuat, cs. melawan Gubernur DKI Jakarta (Perkara
No. 193/G/LH/2015/PTUN-JKT) tentang Pembatalan Izin
Pelaksanaan Reklamasi Pulau G
Rayhan Dudayev, S.H. ............................................................................. 153

Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia .............. ix

vii
viii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

P erkembangan P engaturan K ualitas U dara di I ndonesia :


dari P endekatan T radisional A tur dan A wasi ke arah

B auran K ebajikan

Cecep Aminudin1

Abstrak

Masalah pencemaran udara membutuhkan respon pengaturan hukum


seiring dengan meningkatnya tantangan yang dihadapi. Artikel ini bertujuan
untuk menggambarkan perkembangan pengaturan kualitas udara sejak Indonesia
merdeka tahun 1945. Uraian dilakukan berdasarkan hasil analisis yuridis normatif
terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berhasil diinventarisasi.
Perkembangan pengaturan dibagi dalam 5 kurun waktu. Pada periode pertama
(1945-1972), ordonansi gangguan merupakan instrumen pengaturan utama.
Periode kedua (1972-1982) merupakan tahap perkembangan pertama yang
ditandai dengan inisiatif provinsi seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat yang
menerbitkan peraturan tentang baku mutu udara ambien dan baku mutu emisi.
Periode ketiga (1982-1997) merupakan tahap perkembangan kedua yang ditandai
dengan pengaturan mengenai baku mutu udara ambien, emisi dan gangguan
nasional, serta pengaturan mengenai pedoman teknis. Periode keempat (1997-
2009) ditandai dengan upaya pertama sistematisasi pengaturan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999. Periode kelima (2009-sekarang) merupakan
momentum untuk mengembangkan pengaturan kualitas udara yang lebih
komprehensif. Selama lima periode itu, instrumen kebijakan yang diterapkan

1 Pengamat, pengajar dan konsultan hukum lingkungan, mengampu mata kuliah kebijakan
dan hukum lingkungan pada Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil
dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung sejak 2009, S1 Ilmu Hukum dan S2 Ilmu
Lingkungan keduanya dari Universitas Indonesia.

1
CECEP AMINUDIN

telah bergeser dari pendekatan tradisional atur dan awasi kearah bauran kebijakan
dengan menerapkan berbagai instrumen lainnya.

Kata Kunci: pencemaran udara, kualitas udara, perkembangan pengaturan,


instrumen kebijakan.

Abstract

Air pollution problems require a response of legal rules along with the increasing
challenges faced. This article aims at describing the development of air quality regulation
since Indonesia’s independence in 1945. The description is based on the results of
juridical normative analysis of the primary and secondary legal materials which can be
inventoried. The development is divided into 5 periods. In the first period (1945-1972),
the disturbance ordinance is the main instrument. The second period (1972-1982) is
the first stage of development characterized by local initiatives such as the provinces of
Jakarta and West Java which issued a regulation on the ambient air and emission quality
standards. The third period (1982-1997) is the second stage of development characterized by
regulations regarding national ambient air, emissions and disturbance quality standards,
and regulations for technical guidance. The fourth period (1997-2009) marked the first
attempt to systematize the regulations in Government Regulation No. 41 Year 1999. The
fifth period (2009-present) is a momentum to develop more comprehensive air quality
regulations. During those five periods, the application of policy instruments has shifted
from a traditional command and control approach to policy mixes by applying a variety of
other instruments.

Keywords: air pollution, air quality, regulations development, policy instrument.

I. Pendahuluan

Masalah pencemaran udara membutuhkan respon pengaturan hukum seiring


dengan meningkatnya tantangan yang hadapi. Tantangan yang dihadapi utamanya
terkait dengan meningkatnya emisi dari sumber pencemar udara yaitu transportasi,
kegiatan industri, pembuangan dan pembakaran sampah dan kegiatan domestik
rumah tangga.2 Selain itu, kebakaran hutan dan lahan juga menjadi sumber

2 Moestikahadi Soedomo, Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara (Bandung:


Penerbit ITB, 1999). Hal 4-5.

2
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

pencemaran udara yang utama di Indonesia. Grafik berikut ini menggambarkan


tantangan pencemaran udara dari sektor transportasi dengan meningkatnya jumlah
kendaraan bermotor di Indonesia. Kendaraan bermotor menghasilkan pencemar
udara berupa CO, NOx, hidrokarbon, SO2 dan timbal (lead).3

Gambar 1 Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor di Indonesia (1987-2013)4

Pada grafik terlihat peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang sangat


signifikan, khususnya pada jenis sepeda motor yang meningkat lebih dari 13 kali
lipat atau berjumlah sekitar 5 juta pada tahun 1987 menjadi lebih dari 76 juta pada
tahun 2012. Sementara itu kendaraan angkutan umum seperti bis peningkatannya
lebih rendah yaitu 7 kali lipat dari sekitar 300.000 pada tahun 1987 menjadi sekitar
2.200.000 pada tahun 2012.5

Melalui artikel ini penulis mencoba menggambarkan perkembangan


pengaturan kualitas udara sejak Indonesia merdeka tahun 1945 hingga saat ini.
Uraian dilakukan berdasarkan hasil analisis juridis normatif terhadap bahan
hukum primer dan sekunder yang berhasil diinventarisasi serta sumber pustaka
lainnya yang berhasil ditelusuri. Perkembangan pengaturan dibagi dalam 5 kurun
waktu yang pada masing-masing kurun waktu ditandai dengan momen penting
(milestone).

Istilah “pengaturan” sebenarnya mengacu pada pengertian yang lebih


komprehensif yang meliputi mata rantai peraturan perundang-undangan,

3 Ibid.
4 Kantor Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana dikutip “Badan Pusat Statistik,”
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1413. Diakses pada 3 Mei 2016. *) sejak
1999 tidak termasuk Timor-Timur.
5 Kantor Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana dikutip Ibid.

3
CECEP AMINUDIN

penentuan standar, pemberian izin, penerapan dan penegakan hukum.6 Namun


tulisan ini hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan, sebagai sumber
hukum formil yang berfungsi untuk mengatur atau mempengaruhi perilaku
subyek hukum. Materi muatan suatu peraturan lingkungan dapat diidentifikasi
berdasarkan instrumen kebijakan lingkungan yang digunakannya. Dalam
literatur, terdapat berbagai usaha untuk mengklasifikasikan instrumen kebijakan
lingkungan.7 Untuk kepentingan penulisan ini digunakan klasifikasi yang
dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)8 yang
membagi instrumen kebijakan lingkungan menjadi 6 jenis yaitu: atur dan awasi
(command and control-CAC), instrumen ekonomi (economic instrument), tanggung
gugat dan kompensasi (liability and damage compensation-LDC), pendidikan dan
informasi (education and information-E&I), pendekatan sukarela (voluntary approach-
VA), dan manajemen serta perencanaan (management and planning-M&P). Selain itu,
kebijakan untuk merespon permasalahan pencemaran udara yang komprehensif
dapat berupa respon kebijakan terhadap faktor pemicu (driving forces), kebijakan
untuk mengatasi tekanan (pressure), kebijakan untuk mengatasi kondisi kualitas
udara (state), atau kebijakan untuk mengatasi dampak (impact) yang sudah terjadi.
Pendekatan ini dikenal dengan nama pendekatan DPSIR (driving force – pressure-
state-impact-response).9

Pokok permasalahan yang dicoba diulas dalam tulisan ini adalah: (a)
faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan pengaturan kualitas udara
di Indonesia? (b) bagaimana kecenderungan pergeseran instrumen kebijakan
dalam peraturan pengelolaan kualitas udara yang digunakan dari satu periode
ke periode berikutnya? (c) sejauh mana kebijakan yang dimuat dalam peraturan
bersifat komprehensif (merespon faktor pemicu, tekanan, kondisi dan dampak
pencemaran udara)?

6 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan (Jakarta: Sapta Arta Jaya, 1997). Hal 82.
7 Mengenai hal ini lihat Åsa Maria Persson, “Choosing Environmental Policy Instruments:
Case Studies Of Municipal Waste Policy In Sweden And England” (A thesis submitted to the
Department of Geography and Environment of the London School of Economics and
Political Science for the degree of Doctor of Philosophy, 2007). Hal 36 – 55.
8 OECD, Sustainable Development Critical Issues: Critical Issues (OECD Publishing, 2001).Hal
132.
9 S.G. Vaz, T. Ribeiro, and EEA, Reporting on Environmental Measures: Are We Being Effective?,
Environmental Issue Report (European Environment Agency, 2001), http://www.eea.
europa.eu/publications/rem/issue25.pdf.hal 21.

4
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

II. Periode 1945 – 1972: Periode Permulaan

Pada periode ini dapat dicatat masih berlakunya Ordonansi Gangguan


(Hinderordonnantie) warisan pemerintah kolonial Belanda. Jenis pencemar yang
tercakup dalam peraturan tersebut adalah asap dan kebauan dengan instrumen
utama berupa izin. Izin diwajibkan untuk pendirian bangunan-bangunan tempat
bekerja tertentu yang berpotensi menimbulkan gangguan dan dikeluarkan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Jadi yang diatur lebih kepada jenis usaha/
kegiatannya.10 Pada periode ini dapat dikatakan ordonansi ini merupakan
instrumen pengaturan utama untuk masalah pencemaran lingkungan termasuk
pencemaran udara, khususnya dari sumber tidak bergerak. Namun karena
cakupan pengaturannya yang terlalu umum dan kurang jelas jenis pencemaran
yang diaturnya, peraturan ini kurang memadai untuk mengendalikan pencemaran.
Meskipun demikian, rezim Ordonansi Gangguan warisan kolonial Belanda ini
masih berlaku hingga sekarang dan belum pernah dicabut. Sebuah ordonansi dapat
dicabut dengan Undang-Undang, meskipun ordonnantie tidak dapat diterjemahkan
sebagai Undang-Undang.11

Pada periode ini juga dapat dicatat inisiatif Pemerintah DKI Jakarta yang
mengeluarkan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 1971 tentang Larangan Pengotoran
Udara, Air, dan Lepas Pantai dalam Wilayah DKI Jakarta, yang masih berlaku
berlaku hingga sekarang.12 Namun demikian, tidak banyak yang bisa dicatat pada
periode permulaan ini selain pemberlakukan peraturan lama warisan kolonial dan
eksperimentasi pengaturan oleh daerah dengan pendekatan CAC (melalui izin
gangguan dan larangan). Kebijakan juga tampaknya masih diarahkan hanya pada
sebagian tekanan (pressures) yaitu dari sumber tidak bergerak.

10 Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) Hinder Ordonnantie Staatsblad Tahun 1926


Nomor 226, 1926. Yang diubah/ditambah terakhir dengan stbl. 1940 No. 450) Pasal 1.
11 Alasannya karena ordonantie merupakan produk penjajahan Belanda sedangkan Undang-
Undang merupakan produk negara merdeka. Lihat Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata
Lingkungan, 8th ed. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009). Hal 66.
12 Lihat Surat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 670/2000 Tanggal 28 Maret 2000
Tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Di Propinsi DKI Jakarta, 2000.
yang menyebutkan peraturan ini dalam konsideransnya. Namun penulis belum berhasil
mendapatkan teks peraturan ini hingga artikel ini ditulis.

5
CECEP AMINUDIN

III. Periode 1972 – 1982: Tahap Perkembangan Awal dengan Inisiatif Daerah

Periode ini ditandai dengan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa


(PBB) tentang Lingkungan Hidup Manusia yang diselenggarakan pada bulan
Juni 1972 di Stockholm, Swedia dimana Indonesia ikut hadir sebagai peserta
konferensi. Konferensi tersebut menghasilkan di antaranya Deklarasi Stockholm
dengan 26 butir prinsip pengelolaan lingkungan hidup global.13 Tindak lanjut
dari keikutsertaan Indonesia dalam Konferensi tersebut adalah dikeluarkannya
Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1972 tentang Pembentukan Panitia Perumus
dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup.

Pada periode ini dapat dicatat terbitnya Keputusan Menteri Perindustrian


No.12/M/SK/1/78 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran
Lingkungan Sebagai Akibat Dari Usaha Industri. Pertimbangan penerbitan
Keputusan Menteri Perindustrian tersebut adalah “bahwa usaha-usaha industri
selain mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat dapat mengakibatkan
gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup, baik gangguan keseimbangan
tanah, gangguan keseimbangan air, gangguan bau-bauan dan kebisingan,
maupun pencemaran permukaan tanah, pencemaran air dan udara” dan
“peraturan perundangan yang telah ada belum cukup mengatur pencegahan dan
penanggulangan masalah pencemaran lingkungan sesuai dengan perkembangan
teknologi.”14 Keputusan Menteri yang berisi 10 Pasal pengaturan tersebut
mendefinisikan pencemaran sebagai, “keadaan yang terjadi karena masuknya zat-
zat ke dalam tanah, air dan udara, sehingga mengganggu susunan tanah, air dan
udara yang mengakibatkan kerusakan kehidupan.” Instrumen kebijakan yang
digunakan adalah pemberdayaan izin usaha, pengawasan dan sanksi administrasi.

Pada tahun 1980, Tjokropanolo, Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI)


Jakarta waktu itu menerbitkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 587 Tahun
1980 tentang Penetapan Kriteria Ambient Kualitas Udara dan Kriteria Ambient

13 United Nations, “Report of the United Nations Conference on the Human Environment”
(United Nations, 1972), http://www.un-documents.net/aconf48-14r1.pdf.
14 Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian No. 12/M/SK/1/78 Tentang Pencegahan
Dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Sebagai Akibat Dari Usaha Industri, 1978. Lihat
bagian konsiderans Keputusan Menteri tersebut.

6
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Bising dalam Wilayah DKI Jakarta (KepGub DKI 587/1980). Keputusan gubernur
tersebut diterbitkan setelah sebelumnya dibentuk Tim Peneliti dan Penyusunan
Kriteria Kualitas Udara dan Bising dalam wilayah DKI Jakarta berdasarkan
Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 542 Tahun 1978 tanggal 16 September 1978.
KepGub DKI 587/1980 tersebut mengatur nilai ambang batas untuk jenis pencemar
Carbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Oksida (NO), Amonia
(NH3), Timah Hitam (Pb), Hidrogen Sulfida (HS), Oxidant, Debu dan Hidrokarbon.
Sedangkan derajat kebisingan yang diatur adalah untuk perumahan, industri/
perkantoran, pusat perdagangan, rekreasi dan campuran perumahan/industri.15
Sebagai gambaran, pada tahun 1980, jumlah kendaraan di Jakarta mencapai
754.546 unit yang artinya bertambah lebih dari 3 kali lipat dibanding tahun 1970
yang mencapai 222.082 unit.16

Pada periode ini juga dapat dicatat terbitnya Surat Keputusan Gubernur
Jawa Barat Nomor 660.31/Sk/694/BKPMD/82 tentang Tata Cara Pengendalian
dan Kriteria Pencemaran Lingkungan Akibat Industri (Kep Gub Jawa Barat
660.31/Sk/694/BKPMD/82). Keputusan yang ditandatangani oleh H.A. Kunaefi,
Gubernur Jawa Barat waktu itu, didalamnya mengatur tentang definisi emisi,
kebisingan, kriteria kualitas udara (ambien) dan kriteria kualitas emisi. Apabila
KepGub DKI 587/1980 bersifat umum, artinya mencakup sumber pencemar
transportasi dan industri, maka KepGub Jawa Barat 660.31/Sk/694/BKPMD/82
hanya mengatur sumber pencemar industri.

Pada periode tahap perkembangan awal ini dapat dikatakan inisiatif regulasi
pengaturan kualitas udara yang lebih bersifat teknis lahir dari daerah provinsi.
KepGub DKI 587/1980 merupakan peraturan pertama di Indonesia yang mengatur
Baku Mutu Udara Ambien. Bahkan penelitian mengenai kualitas udara di kota-kota
besar lainnya yang dilakukan Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan
dan Lingkungan Hidup (PPLH), berbagai Departemen dan Lembaga penelitian

15 Lihat Bagian Lampiran Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 587 Tahun 1980 Tentang
Penetapan Kriteria Ambient Kualitas Udara Dan Kriteria Ambient Bising Dalam Wilayah DKI
Jakarta, 1980.
16 Kantor Statistik Propinsi DKI Jakarta, Statistik Kendaraan Bermotor dan Panjang Jalan
tahun 1970- 1989, Jakarta dalam Bambang Sukana and Syahrudji Naseh, “Pencemaran
Udara Di DKI Jakarta (Review),” Media Litbangkes III, no. 4 (1993): 6–12.

7
CECEP AMINUDIN

waktu itu menggunakan peraturan tersebut sebagai acuan.17 Hal ini dapat
dipahami karena Kementerian Negara PPLH yang baru dibentuk pada tahun
1978 dengan tugas pokok mengkoordinasikan pengelolaan lingkungan hidup
di berbagai instansi pusat maupun daerah masih mempersiapkan perumusan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.18 Dengan demikian, dapat
dikatakan instrumen kebijakan yang diterapkan pada periode ini masih berupa
instrumen CAC namun mulai menerapkan baku mutu emisi, baku mutu udara
ambien, izin usaha, pengawasan dan sanksi administrasi. Dengan adanya baku
mutu udara ambien, kebijakan juga mulai merespon kondisi (state) kualitas udara.

IV. Periode 1982 – 1997: Tahap Perkembangan Awal Regulasi Nasional

Periode ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982


tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 4/1982) yang mengatur
tentang pengelolaan lingkungan hidup secara umum termasuk pengendalian
pencemaran. Meskipun tidak secara spesifik mengatur tentang pencemaran udara,
UU 4/1982 mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai, “masuknya atau
dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam
lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia
atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan menjadi kurang atau tidak
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.” UU 4/1982 juga mendefinisikan
baku mutu lingkungan sebagai “batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada dan atau unsur pencemaran yang ditenggang adanya
dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Selanjutnya
diatur bahwa perlindungan lingkungan hidup dilakukan berdasarkan baku mutu
lingkunganyang diatur dengan peraturan perundang-undangan.19 UU 4/1982 juga
mengatur mengenai ganti kerugian dan sanksi pidana bagi pencemar lingkungan.20

17 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan. Hal 239.


18 Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1978 Tentang Perubahan, Keputusan
Presiden Nomor 28 Tahun 1978 Tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Dan Tatakerja Menteri
Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan Dan Lingkungan
Hidup, Menteri Negara Riset Dan Teknologi Serta Susunan Organisasi Stafnya, 1978.
19 Lihat Pasal 15, Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Pokok -
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, 1982.
20 Ibid. Lihat Pasal 20-22.

8
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Pada tahun 1985, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri


Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengendalian Pencemaran
bagi Perusahaan-Perusahaan Yang Mengadakan Penanaman Modal Menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1968 (Permendagri 1/1985). Permendagri 1/1985 tersebut mendefinisikan limbah
sebagai “hasil sampingan dari proses produksi yang tidak digunakan yang dapat
berbentuk benda padat, cair, gas, debu, suara, getaran, perusakan dan lain-lain
yang dapat menimbulkan pencemaran bilamana tidak dikelola dengan benar.”21

Pada tahun 1988, Menteri Lingkungan Hidup menerbitkan Keputusan Menteri


Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor: Kep-02/Menklh/I/1988
Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan (KepmenLH 02/1988). Yang
menarik dari KepmenLH 02/1988 adalah pertimbangan diterbitkannya peraturan
tersebut adalah “sambil menunggu diundangkannya peraturan pemerintah yang
mengatur tentang pengendalian pencemaran lingkungan, dipandang perlu untuk
menetapkan baku mutu lingkungan sebagai pedoman untuk menetapkan baku
mutu lingkungan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan hidup
di daerah.” Tampak disadari betul oleh penyusun peraturan tersebut bahwa
pengaturan yang ideal untuk pengendalian pencemaran adalah dalam bentuk
Peraturan Pemerintah.22 KepmenLH 02/1988 mengatur definisi pencemaran
udara, baku mutu udara ambien dan baku mutu emisi. Baku mutu udara (ambien
dan emisi sumber bergerak maupun tidak bergerak) kemudian diatur dalam
Bab III, Pasal 7 sampai Pasal 10. Dengan demikian dapat dikatakan KepmenLH
02/1988 merupakan peraturan nasional pertama yang mengatur mengenai Baku
Mutu Udara Ambien dan Emisi.

Berdasarkan KepmenLH 02/1988, Gubernur menetapkan baku mutu udara


ambien untuk provinsi dengan berpedoman pada baku mutu udara ambien
nasional dalam Lampiran III Surat Keputusan tersebut.23 Setelah ditetapkan baku

21 Lihat Pasal 1 butir 9, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1985 Tentang Tata Cara
Pengendalian Pencemaran Bagi Perusahaan-Perusahaan Yang Mengadakan Penanaman Modal
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 196 Dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968.,
1985.
22 Lihat bagian konsiderans Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup
Nomor: Kep-02/Menklh/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, 1988.
23 Ibid. Pasal 7 (1).

9
CECEP AMINUDIN

mutu udara ambien, Gubernur menetapkan baku mutu udara emisi dengan
berpedoman pada baku mutu udara emisi dalam Lampiran IV Surat Keputusan
tersebut.24Apabila terdapat hal yang bersifat khusus dalam menetapkan baku
mutu udara ambien dan baku mutu udara emisi, Gubernur berkonsultasi dengan
Menteri.25 Disini terlihat bahwa KepmenLH 02/1988 menegaskan pentingnya baku
mutu emisi sebagai usaha untuk mencapai baku mutu udara ambien. Penegasan
ini juga terlihat dalam definisi baku mutu emisi pada peraturan tersebut sebagai
berikut:

“Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi
zat atau bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran
ke udara, sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien.”26

KepmenLH 02/1988 juga mengatur sekilas tentang cara penetapan baku mutu
udara ambien provinsi yang ditetapkan dengan memperhitungkan kondisi udara
setempat. Untuk mengetahui kondisi udara setempat, Gubernur berkonsultasi
dengan Badan Meteorologi dan Geofisika yang pada saat itu berada di bawah
Departemen Perhubungan.27

Pasal 9 KepmenLH 02/1988 mencoba melahirkan instrumen pengendalian


yang baru, meskipun masih memperkuat pendekatan CAC, berupa izin
pembuangan limbah gas.Untuk setiap kegiatan yang membuang limbah gas ke
udara ditetapkan mutu emisi, dengan pengertian : a) mutu emisi dari limbah gas
yang dibuang ke udara tidak melampaui baku mutu udara emisiyang ditetapkan,
dan b) tidak mengakibatkan turunnya kualitas udara.28 Mutu emisi dari limbah gas
yang dibuang ke udara harus dicantumkan secara jelas dalam izin pembuangan
limbah gas.29

Pada tahun 1995-1996, dibawah kepemimpinan Sarwono Kusumaatmadja,


Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Pembangunan VI (1993-19980)

24 Ibid. Pasal 8.
25 Ibid. Pasal 10.
26 Ibid. Pasal 1 butir 8.
27 Ibid. Pasal 7 (2).
28 Ibid. Pasal 9 (1).
29 Ibid. Pasal 9 (2).

10
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

diterbitkan beberapa Keputusan Menteri/Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan (Bapedal) yang terkait dengan pengendalian pencemaran udara,
yaitu pengaturan emisi sumber tidak bergerak, pengaturan emisi sumber bergerak,
pengaturan baku tingkat gangguan, dan program langit biru.

Pengaturan Emisi Sumber Tidak Bergerak. Keputusan Menteri/Kepala Bappedal


yang terkait dengan emisi sumber tidak bergerak pada periode ini adalah: (1)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep.13/MENLH/3/1995
tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak (besi dan baja, pulp dan kertas,
pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara, industri semen dan
usaha/kegiatan lainnya)30; (2) Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor Kep-03 /Bapedal/09/1995 Tentang Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya Beracun (di dalamnya mengatur Baku Mutu
Emisi Insinerator); (3) sebagai pelaksanaan Kep-13/MENLH/3/1995 kemudian
diterbitkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor
205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber
Tidak Bergerak (di dalamnya mengatur mekanisme pemantauan kualitas udara,
pengambilan contoh uji dan analisis, persyaratan cerobong dan unit pengendalian
pencemaran udara).

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Meskipun tidak khusus


mengatur pencemaran udara, Amdal adalah salah satu instrumen penting
pengendalian pencemaran udara dari sumber tidak bergerak yang bersifat CAC.
Sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 16 UU 4/1982, untuk pertama kali pengaturan
mengenai teknis pelaksanaan Amdal dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 1986 Tanggal 5 Juni 1986 (PP 29/1986). PP 29/1986 kemudian
disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 Tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (PP 51/1993). Sebagai pelaksanaan PP
51/1993 kemudian diterbitkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: Kep-11/Menlh/3/1994 Tentang Jenis Usaha Atau Kegiatan Yang Wajib
Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang kemudian
direvisi dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor: KEP-39/MENLH/8/1996.

30 Peraturan ini mencabut ketentuan mengenai baku mutu emisi sumber tidak bergerak
dalam Kep-02/MENKLH/I/1988.

11
CECEP AMINUDIN

Pengaturan Emisi Sumber Bergerak. Baku mutu emisi sumber bergerak (kendaraan
bermotor) dalam Kep-02/Menklh/I/1988 kemudian direvisi dengan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-35/MENLH/10/1993 tentang
Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor (Tipe Baru dan Lama) (KEP-
35/MENLH/10/1993).Yang menarik dari KEP-35/MENLH/10/1993 adalah dasar
pembentukan Kepmen tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi yang telah mengatur ketentuan mengenai
persyaratan laik jalan kendaraan bermotor yang meliputi antara lain ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor.31

Pengaturan Baku Tingkat Gangguan. Pada periode ini juga diterbitkan peraturan
menteri tentang baku tingkat gangguan (kebisingan, getaran dan kebauan) yaitu: (a)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-48/MENLH/11/1996
tentang Baku Tingkat Kebisingan; (b) Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor KEP-49/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran; (c)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-50/MENLH/11/1996
tentang Baku Tingkat Kebauan. Ketiga peraturan tersebut masih berlaku hingga
sekarang.

Program Langit Biru. Sebagai salah satu upaya pengendalian pencemaran udara
dari kegiatan sumber bergerak dan sumber tidak bergerak, pada periode ini
Kementerian LH melaksanakan program langit biru yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (MENLH) Nomor 15 Tahun 1996
tentang Program Langit Biru. Pelaksanaan program ini di daerah melibatkan
Bupati/Walikota, Gubernur, Bapedal Wilayah dan Menteri dalam Negeri.
Semenjak dileburnya Bapedal ke dalam KLH pada 2002, maka Program Langit
Biru menjadi bagian kegiatan dari masing-masing Asisten Deputi MENLH yang
menangani urusan pengendalian pencemaran sumber bergerak dan sumber
tidak bergerak. Dalam perjalanannya, Program Langit Biru untuk sumber tidak
bergerak diintegrasikan dalam kegiatan Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan
dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER).32 Berdasarkan KEP-16/

31 Pasal 7 huruf c dan Pasal 127 ayat (1) a, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 Tentang
Kendaraan Dan Pengemudi, 1993.
32 M. Didin Khaerudin et al., Kota Di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan Strategi
Pengendalian Emisi Dari Sektor Transportasi Jalan Di Kawasan Perkotaan (Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup, 2009). Hal 111.

12
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

MENLH/4/1996 ditetapkan Provinsi yang menjadi prioritas program langit biru


yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Perlindungan fungsi atmosfer. Pada periode ini Pemerintah mengesahkan United


Nations Framework Convention on Climate Change dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1994. Selain itu, pada periode ini Pemerintah juga mengesahkan Vienna
Convention for the Protection of the Ozone Layer dan Montreal Protocol on Substances
that Deplete the Ozone Layer as Adjusted and Amended by the Second Meeting of the
Parties London, 27 – 29 June 1990 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1992. Dengan diratifikasinya perjanjian-perjanjian internasional
tersebut maka otomatis menjadi bagian dari hukum nasional.33

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan, periode ini merupakan tahap


perkembangan awal regulasi nasional mengenai pengendalian pencemaran
udara yang ditandai dengan lahirnya UU 4/1982 dan berbagai peraturan
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal yang terkait dengan pengendalian
pencemaran udara. Instrumen kebijakan yang diterapkan masih berupa instrumen
CAC dengan memperkuat pengaturan baku mutu emisi, baku mutu gangguan,
baku mutu udara ambien, izin usaha, pengawasan, sanksi administrasi, dan sanksi
pidana. Penambahan instrumen baru dalam kategori CAC adalah penerapan
Amdal dan pengaturan mengenai izin pembuangan limbah gas. Pendekatan
LDC juga mulai diterapkan dengan aturan ganti rugi dalam UU 4/1982. Dari sisi
cakupan, respon kebijakan tampaknya masih pada aspek tekanan (pressure) dan
kondisi (state) kualitas udara, namun jenis pencemar gangguan sudah mulai diatur
secara khusus.

V. Periode 1997 – 2009: Upaya Pertama Sistematisasi Regulasi Nasional

Periode ini ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun


1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 23/1997) yang menggantikan
UU 4/1982. UU 23/1997 memberikan landasan hukum bagi pengaturan mengenai
baku mutu lingkungan, Amdal sebagai prasyarat izin usaha/kegiatan, izin

33 Karya tulis yang membahas masalah ini secara komprehensif lihat La Ode Muhammad
Syarif, The Implementation of International Responsibilities for Atmospheric Pollution: A
Comparison Between Indonesia and Australia (Jakarta: ICEL, 2001).

13
CECEP AMINUDIN

pembuangan limbah, audit lingkungan (wajib dan sukarela), pengawasan, sanksi


administrasi, perdata (ganti rugi dan strict liability) dan sanksi pidana.

Perkembangan penting pada periode ini adalah terbitnya Peraturan


Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara (PP
41/1999) sebagai peraturan pelaksanaan dari UU 23/1997. PP 41/1999 terdiri dari
IX Bab dan 59 Pasal. Peraturan Pemerintah yang ditandatangani oleh Presiden
B.J. Habibie tersebut mengatur mengenai perlindungan mutu udara (baku
mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi dan ambang
batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan dan ambang batas kebisingan,
ISPU), pengendalian pencemaran udara (pencegahan dan persyaratan penaatan
lingkungan hidup, penanggulangan dan pemulihan (keadaan darurat, sumber
tidak bergerak, sumber bergerak, sumber gangguan), pengawasan, pembiayaan,
ganti rugi dan sanksi. PP 41/1999 memang menyebutkan sumber emisi terdiri
dari sumber bergerak (kendaraan bermotor), sumber bergerak spesifik (kereta api,
pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya), sumber tidak bergerak
(utamanya industri), maupun sumber tidak bergerak spesifik (kebakaran hutan
dan pembakaran sampah). Namun demikian, PP 41/1999 juga menegaskan bahwa
pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak spesifik dan sumber tidak
bergerak spesifik belum diatur lebih lanjut dalam PP 41/1999 karena keterbatasan
teknis dalam penyusunan dan pelaksanaannya di lapangan pada saat itu.34

Kebakaran Hutan dan Lahan. Untuk merespon masalah pencemaran dan


kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan yang dampaknya bersifat
nasional bahkan lintas batas negara, pemerintah pada masa Presiden Abdurahman
Wahid menerbitkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 04 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Kebakaran hutan dan atau lahan di
Indonesia, terjadi setiap tahun walaupun frekuensi, intensitas, dan luas arealnya
berbeda. Kebakaran paling besar terjadipada tahun 1997/1998 di 25 (dua puluh
lima) provinsi, yang untuk pertama kali dinyatakan sebagai bencana nasional.35

34 Lihat Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.
35 Lihat Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah RI Nomor 04 Tahun 2001 Tentang Pengendalian
Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan
Dan Atau Lahan, 2001.

14
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Meskipun ada PP tersendiri mengenai pengendalian kerusakan/pencemaran


lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan lahan, namun pengendalian
terhadap terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup diatur
dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, seperti dalam Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Peraturan Pemerintah
tentang Pengendalian Pencemaran Air.36 Baku mutu udara ambien misalnya, tetap
mengacu pada PP 41/1999.37

Pengaturan Emisi Sumber Tidak Bergerak. Upaya untuk mengatur baku mutu
emisi dari sumber tidak bergerak terus dilakukan pada periode ini. Peraturan/
Keputusan Menteri mengenai hal ini yang terbit pada periode ini adalah: (1)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 133 Tahun 2004 tentang
Baku Mutu Emisi Bagi Kegiatan Industri Pupuk; (2) Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 07 Tahun 2007 Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak
Bergerak Bagi Ketel Uap; (3) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17
Tahun 2008 Tentang baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/
atau Kegiatan Industri Keramik; (4) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 18 Tahun 2008 Tentang baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha
dan/atau Kegiatan Industri Carbon Black; dan (5) Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 21 Tahun 2008 Tentang baku Mutu Emisi Sumber Tidak
Bergerak Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal.

Program penilaian peringkat kinerja perusahaan (PROPER) yang pada awalnya


diutamakan pada pengendalian pencemaran air38, kemudian juga mencakup
pengendalian pencemaran udara dengan diterbitkannya Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 127 Tahun 2002 tentang Program Penilaian Peringkat
Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini menandai
digunakannya instrumen kebijakan informasi dalam pengendalian pencemaran
udara dari sumber tidak bergerak.

36 Ibid.
37 Ibid. Pasal 9 dan 10.
38 Lihat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35 A/MENLH/7/1995
tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian
Pencemaran dalam Lingkup Kegiatan PROKASIH (PROPER PROKASIH).

15
CECEP AMINUDIN

Amdal. Dengan diundangkannya UU 23/1997, Peraturan Pemerintah Nomor 51


Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kemudian disesuaikan
dan diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan. Demikian pula Kep-39/MENLH/11/1996 tentang
Jenis Usaha Atau Kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan diganti dengan Keputusan Menteri LH Nomor 3 Tahun 2000
yang kemudian direvisi lagi dengan KepmenLH 17/2001. KepmenLH 17/2001
kemudian direvisi dengan PermenLH 11/2006.

Pengaturan Emisi Sumber Bergerak. Pengaturan baku mutu emisi sumber bergerak
terus ditingkatkan pada periode ini. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor untuk uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
yang sedang diproduksi (current production) dalam KEP-35/MENLH/10/1993
digantikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 141 Tahun
2003. Sedangkan Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama
dalam KEP-35/MENLH/10/1993 digantikan dengan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2006. Selain itu untuk meningkatkan penaatan
terhadap emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana telah
diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun
2003, Menteri Lingkungan Hidup menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 252 tahun 2004 tentang Program Penilaian Peringkat
Hasil Uji Tipe Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru. Hal ini menandai
digunakannya instrumen kebijakan informasi dalam pengendalian pencemaran
udara dari sumber tidak bergerak tipe baru.

Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Pada periode ini juga mulai diterapkan
ISPU dengan pertimbangan “untuk memberikan kemudahan dan keseragaman
informasi kualitas udara ambien kepada masyarakat di lokasi dan waktu tertentu”
serta “sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya-upaya pengendalian
pencemaran udara”.39 Mengenai ISPU ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara
yang kemudian dijabarkan dalam Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor KEP-107/KABAPEDAL/11/1997 tentang Pedoman Teknis

39 Lihat Bagian konsiderans Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997
Tentang Indeks Standar Pencemar Udara, 1997.

16
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.

Pengembangan Kapasitas Daerah. Upaya pengembangan kapasitas daerah pada


periode ini dilakukan berdasarkan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, yang menyatakan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
bersifat wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal yang dilaksanakan
secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Untuk menindaklanjuti ketentuan
tersebut, Menteri Lingkungan Hidup menerbitkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten / Kota dan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten / Kota yang di dalamnya mengatur mengenai
pelayanan informasi status mutu udara ambien dan pelayanan pencegahan
pencemaran udara dari sumber tidak bergerak.

Pemanfaatan ruang dan pengendalian pencemaran udara. Meskipun pengendalian


pencemaran udara baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak
disadari sangat terkait dengan kegiatan pemanfaatan ruang namun PP 41/1999
belum mengatur atau menyinggung mengenai hal ini. Adalah Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang kemudian menyatakan secara
eksplisit bahwa pemanfaatan ruang dilaksanakan sesuai dengan standar kualitas
lingkungan serta daya dukung dan daya tampung lingkungan.40 Keterkaitan

40 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, 2007.
Pasal 34 ayat (4) huruf b dan c. Penjelasan Pasal 34 ayat (4) huruf b UU 26/2007 menyatakan
sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan standar kualitas lingkungan, antara lain, adalah baku
mutu lingkungan dan ketentuan pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan
ambang batas pencemaran udara, ambang batas pencemaran air, dan ambang
batas tingkat kebisingan.
…..
Penerapan kualitas lingkungan disesuaikan dengan jenis pemanfaatan ruang
sehingga standar kualitas lingkungan di kawasan perumahan akan berbeda
dengan standar kualitas lingkungan di kawasan industri.”

17
CECEP AMINUDIN

antara penataan ruang dengan upaya pengendalian pencemaran udara apabila


dielaborasi lebih lanjut menandakan digunakannya instrumen kebijakan yang
bersifat perencanaan dan manajemen (management and planning).

Perlindungan fungsi atmosfer. Pada tahun 2004 dengan Undang-Undang


Nomor 17 Tahun 2004 Indonesia mengesahkanProtokol Kyoto atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim.
Mengenai perlindungan lapisan ozon, pada periode ini pemerintah juga
mengesahkan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer,
Copenhagen, 1992 (Protokol Montreal tentang Zat-zat yang Merusak Lapisan
Ozon, Copenhagen, 1992) melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 92 Tahun 1998. Selain itu, Kementerian Perdagangan dan Perindustrian
juga menerbitkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/
PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Ozon dan Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 33/M-IND/PER/4/2007 tentang Larangan
Memproduksi Bahan Perusak Lapisan Ozon serta Memproduksi Barang yang
Menggunakan Bahan Perusak Lapisan Ozon.

Selanjutnya perlu pula dicatat bahwa pada periode ini (sekitar tahun
2006-2007) terdapat inisiatif penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pengelolaan Udara Bersih yang akan merupakan Undang-Undang yang bersifat lex
specialis terhadap Undang Undang No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Salah satu pertimbangan perlunya disusun peraturan payung mengenai
udara adalah karena udara bersifat global.41 Namun proses penyusunan RUU
ini kemudian terhenti dan yang kemudian lahir adalah Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
menggantikan UU 23/1997.

Berdasarkan uraian tersebut PP 41/1999 dapat dikatakan sebagai upaya


pertama sistematisasi regulasi nasional mengenai pengendalian pencemaran
udara dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Namun demikian, patut dicatat
beberapa kelemahan dari peraturan pemerintah ini yaitu42: (a) belum mengatur
secara rinci peran sektor terkait ataupun pemerintah daerah, (b) masih berorientasi

41 “Kesimpulan Kelompok Substansi Udara Bersih,” accessed May 3, 2016, http://langitbiru.


menlh.go.id/upload/program/pdf/kes-rakor.pdf.
42 Dede Nurdin Sadat et al., Udara Bersih Hak Kita Bersama (Jakarta: Pelangi, 2003).

18
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

pada penanggulangan dan pemulihan ketika baku mutu udara ambien terlampaui
namun belum mengatur pencegahan/pemeliharaan ketika baku mutu udara
ambien sudah terpenuhi, (c) belum mencantumkan norma dasar dalam penetapan
baku mutu udara ambien nasional, (d) belum mengatur pengembangan model
dispersi pencemaran udara, (e) masih mengandalkan pada pendekatan command
and control, (f) belum mengatur parameter pencemar udara yang bersifat toksik, (g)
yang wajib membuat baku mutu udara ambien daerah seharusnya daerah dengan
kriteria tertentu.

Instrumen kebijakan yang diterapkan pada periode ini masih berupa


instrumen CAC dengan memperkuat pengaturan baku mutu emisi, baku mutu
udara ambien, Amdal sebagai prasyarat izin usaha, pengawasan dan sanksi
administrasi, serta sanksi pidana. Pendekatan LDC juga diperkuat dengan aturan
ganti rugi dan strict liability dalam UU 23/1997. Pendekatan E&I mulai diterapkan
dengan dimasukannya aspek pencemaran udara dalam program PROPER dan
program Peringkat Hasil Uji Tipe Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru.
Dengan demikian, pendekatan kebijakan bauran (policy mixes) mulai diterapkan
pada periode ini. Dari sisi cakupan kebijakan, respon terhadap tekanan (pressures)
ditambahkan dengan respon terhadap sumber pencemar udara dari kebakaran
hutan, respon terhadap kondisi (state) kualitas udara diperjelas dengan adanya
ISPU dan respon terhadap dampak (impacts) mulai terlihat dengan pengaturan
mengenai penanggulangan dan keadaan darurat.

VI. 2009 – Sekarang: Menuju Pengaturan Pengelolaan Kualitas Udara


yang Lebih Komprehensif?

Periode ini ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009


tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009) yang
menggantikan UU 23/1997. Beberapa Pasal yang terkait dengan Pengelolaan
Kualitas Udara dalam UU 32/2009 adalah Pasal 11 mengenai inventarisasi
lingkungan hidup, penetapan ekoregion dan Rencana Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Pasal 12 ayat (4) mengenai tata
cara penetapan daya dukung dan daya tampung, Pasal 20 ayat (4) mengenai
baku mutu udara ambien, Pasal 56 mengenai pengendalian pencemaran, Pasal

19
CECEP AMINUDIN

57 ayat (5) mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam dan
pelestarian fungsi atmosfer, Pasal 75 mengenai tata cara pengangkatan pejabat
pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan, serta Pasal
83 mengenai sanksi administratif, yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.

Pengendalian Emisi Sumber Tidak Bergerak. Pengendalian emisi sumber tidak


bergerak pada periode ini dilakukan dengan melanjutkan pengaturan baku mutu
emisi, standar kompetensi penanggungjawab pengendalian pencemaran udara,
penilaian peringkat kinerja perusahaan, serta Amdal dan Izin Lingkungan.

Baku Mutu dan Beban Emisi. Pada periode ini dihasilkan 3 peraturan menteri
yaitu: (a) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 04 Tahun 2014
Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan / atau Kegiatan
Pertambangan yang mencakup kegiatan pertambangan bijih nikel, bijih bauksit,
bijih timah, bijih besi, bijih mineral lainnya dan batubara, (b) Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2009 Tentang Baku Mutu Emisi Sumber
Tidak Bergerak Bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak Bumi dan Gas yang
kemudian disusul dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
12 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penghitungan Beban Emisi Kegiatan Industri
Minyak dan Gas Bumi; dan (c) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
07 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan
/ atau Kegiatan Industri Rayon.

Standar Kompetensi Penanggungjawab Pengendalian Pencemaran Udara. Pada


periode ini juga perkenalkan instrumen pengendalian pencemaran udara yang
baru berupa standar kompetensi sumber daya manusia di bidang pengendalian
pencemaran udara dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 04 Tahun 2011 Tentang Standar Kompetensi Penanggungjawab
Pengendalian Pencemaran Udara.

Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan. Program penilaian peringkat kinerja


perusahaan terus dilanjutkan pada periode ini yang antara laian ditandai dengan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 03 Tahun 2014 tentang Program
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penaataan perusahaan terhadap baku mutu emisi tiap parameter pencemar udara

20
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

menjadi salah satu aspek penilaian.

Amdal dan Izin Lingkungan. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kemudian dicabut dan digantikan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Sementara itu, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012
Tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menggantikan dan mencabut Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 tahun 2006. Beberapa jenis
kegiatan diwajibkan memiliki Amdal dengan pertimbangan dampaknya terhadap
pencemaran udara seperti pembangunan gedung, pembangunan terminal,
pembangunan bandar udara, eksploitasi minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan,
panas bumi dan pengelolaan limbah B3.

Pengaturan Emisi Sumber Bergerak. Pengaturan emisi sumber bergerak pada


periode ini dilakukan dengan menyempurnakan pengaturan emisi gas buang
kendaraan bermotor dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.

Emisi Gas Buang. Pada periode ini diterbitkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 04 Tahun 2009 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe Baru. Selain itu juga diterbitkan Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2012 tentang Baku Mutu Emisi Gas
Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori L3 (roda 2) yang kemudian diubah
dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 2012.43

Kebisingan. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 07 Tahun 2009


Tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru. PermenLH
ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 10 ayat(1), Pasal 41 ayat (3),
dan Pasal 42 ayat (3) PeraturanPemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.

Pencemar Udara Organik yang Persisten. Pada tahun 2009 Indonesia juga
mengesahkan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang
Persisten dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan
Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants. Ratifikasi ini merupakan

43 Peraturan ini merubah sebagian PermenLH 04/2009.

21
CECEP AMINUDIN

tindaklanjut dari penandatanganan Stockholm Convention on Persistent Organic


Pollutants oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 23 Mei 2001. Konvensi ini
terkait dengan pencemaran udara dari emisi pencemar organik yang persisten
seperti dioxin dan furan.44

Penanggulangan dan Pemulihan. PP 41/1999 memberikan mandat perlunya


pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara,45 namun
pedoman teknis tersebut belum pernah diterbitkan. Pada tahun 2011, Kementerian
Lingkungan Hidup kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau
Kerusakan Lingkungan Hidup yang kemudian direvisi dengan Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan
Hidup Akibat Pencemaran dan / atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Sebagian
materi muatan peraturan ini berkaitan dengan penanggulangan dan pemulihan.

Pelestarian Fungsi Atmosfer. Berdasarkan UU 32/2009, pelestarian fungsi atmosfer


meliputiupaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, upaya perlindungan
lapisan ozon, dan upaya perlindungan terhadap hujan asam.46 Pada tahun 2009
juga disahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika yang didalamnya juga mengatur mengenai mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim.47 Dalam rangka mitigasi perubahan iklim, pada
tahun 2011 diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun
2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.Upaya
perlindungan lapisan ozon pada periode ini dilakukan dengan penerbitan Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 35 Tahun 2009 tentang Pengelolaan
Halon.

Pengembangan Kapasitas Daerah. Upaya pengembangan kapasitas daerah di


bidang pengendalian pencemaran udara ditandai dengan terbitnya Peraturan

44 Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009 Tentang


Pengesahan Stockholm Convention On Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm
Tentang Bahan Pencemar Organik Yang Persisten), 2009.
45 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, n.d.
Pasal 25 (2).
46 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009. Pasal 57 (4).
47 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Meteorologi, Klimatologi Dan Geofisika,
2009. Pasal 65-67.

22
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan


Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah. Peraturan Menteri yang bertujuan
untuk memberikan pedoman bagi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/
kota dalam melaksanakan pengendalian pencemaran udara tersebut mengatur
pedoman mengenai: (a) penetapan baku mutu udara ambien; (b) penetapan status
mutu udara ambien daerah; (c) penetapan baku mutu emisi, baku mutu emisi
gas buang, dan baku mutu gangguan; (d) pelaksanaan koordinasi operasional
pengendalian pencemaran udara; dan (e) koordinasi dan pelaksanaan pemantauan
kualitas udara. Peraturan Menteri tersebut merupakan norma, standar, prosedur,
dan kriteria (NSPK) yang merupakan penjabaran Pasal 9 Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Pada saat artikel ini ditulis, pemerintah sedang mempersiapkan Rancangan


Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Udara sebagai pelaksanaan
dari UU 32/2009. Draft tersebut berisi ketentuan umum, perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengelolaan informasi, pengawasan dan sanksi
administrasi serta pembiayaan.48

Dari uraian tersebut terlihat bahwa perkembangan yang ada pada periode ini
menegaskan diterapkannya pendekatan bauran (policy mixes) dalam pengendalian
pencemaran termasuk pencemaran udara. Penguatan instrumen CAC melalui
pengaturan baku mutu emisi, baku mutu udara ambien, Amdal, izin lingkungan
sebagai prasyarat izin usaha, pengawasan, sanksi administrasi serta sanksi pidana.
Demikian juga dengan pendekatan LDC melalui pengaturan sanksi perdata (ganti
rugi dan strict liability) dalam UU 32/2009.Untuk sumber tidak bergerak instrumen
CAC dan LDC ini dibaurkan dengan instrumen E&I berupa program PROPER
dan standar kompetensi penanggung jawab pengendalian pencemaran udara.UU
32/2009 sebenarnya memungkinkan dikembangkannya instrumen ekonomi dan
instrumen manajemen serta perencanaan (M&P) melalui keterkaitan dengan tata
ruang dan konsep ekoregion. Dengan demikian respon terhadap faktor pemicu
(driving forces), khususnya pada aspek kesesuaian antara penataan ruang dengan
upaya pengelolaan kualitas udara dapat lebih dielaborasi. Respon terhadap dampak

48 “DRAFT RPP UDARA,” accessed May 5, 2016, http://proper.menlh.go.id/portal/


filebox/130423095940DRAFT%20RPP%20UDARA.pdf.

23
CECEP AMINUDIN

(impacts),juga dapat dielaborasi dengan memberikan perhatian yang memadai


pada pemantauan dampak pencemaran udara terhadap kesehatan masyarakat
serta keterkaitan antara pencemaran udara dengan terjadinya hujan asam.49 Hal
ini akan mendukung dan terkait dengan instrumen LDC yang berkaitan dengan
mekanisme ganti rugi akibat pencemaran udara.

VII. Simpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, dikaitkan dengan


pokok permasalahan yang dicoba diulas dalam tulisan ini, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:

a. Evolusi pengaturan kualitas udara di Indonesia berkembang seiring dengan


meningkatnya kesadaran dan perhatian pemerintah serta masyarakat
terhadap masalah lingkungan hidup termasuk kualitas udara. Dalam tulisan
ini diindikasikan dengan bertambahnya jumlah peraturan serta perjanjian
lingkungan internasional yang diratifikasi. Perkembangan yang cukup
signifikan terjadi setelah diundangkannya UU 4/1982 dan dibentuknya
kementerian khusus yang menangani lingkungan hidup pada tahun 1978.
Hal ini menunjukan adanya pengaruh faktor keberadaan lembaga pelaksana
(implementing agency) terhadap perkembangan regulasi pengelolaan kualitas
udara. Meskipun demikian, upaya pertama untuk mensistematisasikan
pengaturan mengenai pengendalian pencemaran udara baru dapat dilakukan
pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya PP 41/1999. Seperti ditunjukan
pada periode-periode awal, peranan pemerintah daerah juga cukup penting,
dan perlu terus mendapat perhatian dalam konteks otonomi daerah.

b. Instrumen kebijakan yang diterapkan juga semakin berkembang seiring


dengan bertambahnya jumlah peraturan. Instrumen kebijakan yang diatur
telah bergeser dari hanya menggunakan pendekatan tradisional command and
control ke arah bauran kebijakan (policy mixes) dengan menerapkan intrumen
liability and damage compensation, dan instrumen edukasi dan informasi.
Namun, instrumen ekonomi dan instrumen perencanaan dan manajemen

49 Eko Cahyono, “Pengaruh Hujan Asam Pada Biotik Dan Abiotik,” Berita Dirgantara
LAPAN Vol 8 (September 3, 2007): 48–51.

24
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

belum banyak terelaborasi dalam konteks pengelolaan kualitas udara.

c. Respon kebijakan yang termuat dalam peraturan berkembang dari hanya


mengatasi tekanan, kepada upaya mengatasi kondisi kualitas udara dan
pada sebagian dampak. Sementara itu, respon terhadap faktor pemicu dan
keseluruhan dampak belum banyak terelaborasi.

Dari kesimpulan tersebut dapat diajukan beberapa rekomendasi sebagai


berikut:

a. Penguatan lembaga pelaksana (implementing agency) pada tingkat pusat


dan daerah perlu terus dilakukan. Kompleksitas pengelolaan kualitas
udara (multi sumber-multi pencemar-multi dampak) juga mengisyaratakan
dengan jelas perlunya koordinasi antar lembaga secara vertikal maupun
horizontal.Terkait hal ini, artikel ini masih dapat dikembangkan lebih lanjut
dengan meneliti perkembangan regulasi pengelolaan kualitas udara di
daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) serta sektor-sektor terkait seperti
Perhubungan, Perindustrian, Energi dan Sumber Daya Mineral, Kesehatan
serta sektor lainnya yang belum sepenuhnya tercakup dalam tulisan ini.
Analisis lebih lanjut dapat dilakukan dengan melihat perkembangan tingkat
sinkronisasi peraturan perundang-undangan tersebut baik secara horizontal
(dalam tingkat peraturan yang sama) maupun secara vertikal (antara
peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan
demikian dapat dilihat tingkat koherensi kebijakan yang diterapkan, karena
kualitas pengaturan tidak hanya bisa dilihat dari segi jumlah.

b. Seiring dengan meningkatnya tantangan dalam pengelolaan kualitas udara,


diperlukan kerangka pengaturan yang lebih komprehensif yang dapat
merespon faktor pemicu (driving forces), tekanan (pressures), kondisi kualitas
udara (state) dan dampak (impacts) yang terjadi. Peraturan Pemerintah
yang baru sebagai pelaksanaan UU 32/2009 diharapkan dapat memberikan
landasan hukum yang lebih komprehensif tersebut. Kompleksitas pengelolaan
kualitas udara mungkin akan membuat peraturan pelaksanaan UU 32/2009
tidak bisa mewadahi semuanya. Oleh karena itu, rekomendasi pada bagian
(a) di atas perlu diperhatikan.

25
CECEP AMINUDIN

c. Instrumen kebijakan lainnya seperti instrumen ekonomi, pendekatan


sukarela (voluntary approach) dan pendekatan perencanaan dan manajemen
(management and planning) perlu dielaborasi lebih lanjut. Penerapan berbagai
instrumen kebijakan tersebut perlu dilakukan dalam pendekatan kebijakan
campuran (policy mixes) yang koheren (saling terkait dan berhubungan dalam
suatu sistem yang logis).Penelitian mengenai efektivitas pengaturan dan
instrumen kebijakan yang dimuatnya juga perlu dilakukan untuk melihat
sejauh mana pengaturan tersebut dapat mengatasi perkembangan tantangan
yang dihadapi sebagai respon terhadap faktor pemicu (driving forces), tekanan
(pressures), kondisi kualitas udara (state) dan dampak (impacts) yang terjadi.
Penelitian semacam ini idealnya dilakukan dengan pendekatan multidisiplin
yang tidak hanya menggunakan disiplin ilmu hukum namun juga disiplin
ilmu lainnya yang relevan.

26
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 1997. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sapta Arta Jaya.

Maria Persson , Åsa. 2007. “Choosing Environmental Policy Instruments: Case


Studies Of Municipal Waste Policy In Sweden And England.” A thesis
submitted to the Department of Geography and Environment of the London
School of Economics and Political Science for the degree of Doctor of
Philosophy.

“Badan Pusat Statistik.” Accessed May 3, 2016. http://www.bps.go.id/


linkTabelStatis/view/id/1413.

Sukana, Bambang and Naseh , Syahrudji. 1993. “Pencemaran Udara Di DKI Jakarta
(Review).”Media Litbangkes III, Nomor 4: 6–12.

Dede Nurdin Sadat, Fathi Hanif, Lucentezza Napitupulu, Moekti H. Soejachmoen,


Prayekti Murhajanti, Shanty M.F. Syahril, and Sukanda Husin. 2003. Udara
Bersih Hak Kita Bersama. Jakarta: Pelangi.

“DRAFT RPP UDARA.”Accessed May 5, 2016. http://proper.menlh.go.id/portal/


filebox/130423095940DRAFT%20RPP%20UDARA.pdf.

Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 587 Tahun 1980 Tentang Penetapan Kriteria
Ambient Kualitas Udara Dan Kriteria Ambient Bising Dalam Wilayah DKI Jakarta,
1980.

Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup Nomor: Kep-02/


Menklh/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, 1988.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997 Tentang Indeks
Standar Pencemar Udara, 1997.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1978 Tentang Perubahan,


Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1978 Tentang Kedudukan, Tugas Pokok,
Fungsi, Dan Tatakerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri
Negara Pengawasan Pembangunan Dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset
Dan Teknologi Serta Susunan Organisasi Stafnya, 1978.

27
CECEP AMINUDIN

“Kesimpulan Kelompok Substansi Udara Bersih.” Accessed May 3, 2016. http://


langitbiru.menlh.go.id/upload/program/pdf/kes-rakor.pdf.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 2009. Hukum Tata Lingkungan. 8th ed. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Syarif, La Ode Muhammad. 2001. The Implementation of International Responsibilities


for Atmospheric Pollution: A Comparison Between Indonesia and Australia. Jakarta:
ICEL.

M. Didin Khaerudin, Fitri Harwati, John H.P. Tambun Mulia, and Dian Sugiarti.
2009. Kota Di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan Strategi Pengendalian
Emisi Dari Sektor Transportasi Jalan Di Kawasan Perkotaan. Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup.

OECD. 2001. Sustainable Development Critical Issues: Critical Issues. OECD Publishing.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1985 Tentang Tata Cara Pengendalian
Pencemaran Bagi Perusahaan-Perusahaan Yang Mengadakan Penanaman Modal
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 196 Dan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1968., 1985.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara,


n.d.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 Tentang Kendaraan Dan Pengemudi, 1993.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 04 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan Dan


Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan
Dan Atau Lahan, 2001.

Republik Indonesia.Keputusan Menteri Perindustrian No. 12/M/SK/1/78 Tentang


Pencegahan Dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Sebagai Akibat Dari
Usaha Industri, 1978.

———. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Pokok - Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup, 1982.

———. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, 2007.

———. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan

28
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Lingkungan Hidup, 2009.

———. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009 Tentang Pengesahan


Stockholm Convention On Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm
Tentang Bahan Pencemar Organik Yang Persisten), 2009.

Soedomo, Moestikahadi. 1999. Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara.


Bandung: Penerbit ITB.

Surat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 670/2000 Tanggal 28 Maret 2000
Tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Di Propinsi DKI
Jakarta, 2000.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Meteorologi, Klimatologi Dan


Geofisika, 2009.

Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) Hinder Ordonnantie Staatsblad Tahun


1926 Nomor 226, 1926.

United Nations. 1972. “Report of the United Nations Conference on the Human
Environment.” United Nations. http://www.un-documents.net/aconf48-
14r1.pdf.

Vaz, S.G., T. Ribeiro, and EEA. 2001. Reporting on Environmental Measures: Are We
Being Effective? Environmental Issue Report. European Environment Agency.
http://www.eea.europa.eu/publications/rem/issue25.pdf.

29
30
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

P erlindungan dan P engembangan U saha M ikro K ecil


B idang P erikanan sebagai U paya P engendalian P encemaran
W ilayah P esisir dan L aut

Nur Sulistyo Budi Ambarini1

Abstrak

Usaha Mikro dan Kecil jumlahnya cukup besar di Indonesia. Khususnya dalam
sistem bisnis perikanan sub sektor pengolahan hasil perikanan merupakan usaha
yang menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu juga berpotensi dikembangkan
untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan dalam dan luar negeri. Di sisi lain
juga memiliki banyak kelemahan dan berpotensi menghasilkan limbah yang
dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut. Tulisan ini merupakan hasil
penelitian yang bertujuan mengkaji perlindungan usaha mikro kecil sebagai entitas
ekonomi yang dapat dikembangkan agar mampu berperan dalam pengendalian
pencemaran wilayah pesisir dan laut. Menggunakan metode penelitian hukum
non doktrinal dengan pendekatan socio-legal research. Untuk melindungi dan
pengembangan usaha mikro kecil dalam bidang perikanan harus dilakukan
secara komprehensif. Pengembangan SDM, manajemen, kelembagaan serta aspek
legalitas baik institusional maupun operasional harus menjadi perhatian penting.
Untuk memberikan perlindungan hukum perlu dilakukan penguatan kelembagaan
terhadap Usaha mikro dan kecil di bidang perikanan dalam wadah badan hukum
koperasi. Dalam wadah koperasi, pelaku usaha mikro dan kecil selain dapat
mengaktualisasi kepentingan-kepentingan ekonomi, juga memperoleh pendidikan

1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, mengajar matakuliah Hukum
Ekonomi, Hukum Lingkungan, Sosiologi Hukum; telah menyelesaikan pendidikan S3 di
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro-Semarang.

31
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI

dan pembelajaran berkaitan dengan ekonomi, lingkungan hidup. Berkaitan dengan


pengelolaan lingkungan melalui proses pendidikan dapat ditransformasikan
konsep ADS, agar dapat diterapkan dalam aktivitas UMKM perikanan sehari-
hari. Dengan demikian pada akhirnya UMKM perikanan dapat berperan dalam
mengendalikan pencemaran lingkungan di wilayah pesisir dan laut.

Kata Kunci: Perlindungan , Pengembangan, Usaha Mikro dan Kecil, Pengendalian,


Pencemaran.

Abstract

Micro, Small and large enough in Indonesia. Particularly in the fisheries sub-sector
business system processing of fishery products is a business that employs many workers.
It also has the potential to be developed to meet the needs of food at home and abroad. On
the other side also has many weaknesses and the potential to produce waste that can cause
pollution of the marine environment. This is the result of research that aims to study the
protection of small micro enterprises as an economic entity which can be developed to be
able to participate in pollution control coastal and marine areas. Using the methods of
legal research non-doctrinal approach to socio-legal research. To protect small and micro
enterprise development in the field of fisheries must be done comprehensively. Human
resources development, management, institutional and legal aspects of both institutional
and operational levels should be the paramount concern. To provide legal protection
necessary to strengthen institutions to micro and small businesses in the field of fisheries
in the container cooperative legal entities. In the container of cooperatives, micro and small
businesses in addition to actualize economic interests, as well as education and learning
related to economic, environmental. Relating to environmental management through
education can be transformed ADS concept, to be applied in everyday activities of SMEs
fisheries. Thus at the end of MSMEs fisheries can play a role in controlling environmental
pollution in coastal and marine areas.

Keywords: Protection, Development, Micro and Small Enterprises, Control, Pollution.

32
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

I. Pendahuluan

UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) merupakan entitas ekonomi


yang tidak dapat diabaikan keberadaanya dalam proses pembangunan ekonomi
di Indonesia. Pada tahun 2013 telah mencapai 55,2 juta unit yang sebagian besar
(54,6 juta) usaha mikro, 602.195 unit usaha kecil dan 44.280 unit usaha menengah.2
Pada umumnya merupakan usaha perorangan dan/ atau kelompok yang tidak
memiliki legalitas baik secara institusional maupun operasional. Secara struktural
menempati posisi dan peranan penting serta merupakan potensi yang perlu
digali dan dikembangkan dalam perekonomian nasional di era global.3 Selain
memiliki daya lentur terhadap kondisi krisis, juga berpotensi sebagai penggerak
ekonomi riil dalam pembangunan perekonomian berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan. UMKM umumnya bergerak pada bidang usaha informal dan formal,
serta dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan padat karya seperti
pertanian, perikanan, perkebunan, tanaman pangan, peternakan, perdagangan,
kehutanan, home industry, pariwisata dan lain-lain. Secara sektoral, sekitar 60%
dari total usaha kecil-mikro adalah usaha yang bergerak di bidang pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan.4

Perikanan merupakan kegiatan ekonomi yang umumnya dilakukan oleh


UMKM. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
menyebutkan bahwa perikanan adalah kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra
produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan. Definisi tersebut menggambarkan bahwa sistem bisnis
perikanan merupakan rangkaian beberapa aktivitas ekonomi. Menurut Ahmand
Fauzi, sebagai suatu sistem bisnis, sektor perikanan memiliki struktur komponen
yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu: basis sumber daya (resources base),
industri perikanan primer dan industri pengolahan dan perdagangan.5 Demikian

2 Ade Komarudin, Politik Hukum Integratif UMKM, Cetakan ke-1 (Jakarta: Penerbit
RMBOOKS, 2015), hlm. 3
3 Ahmad Erani Yustika, Pembangunan dan Krisis (Memetakan Perekonomian Indonseia),Cetakan
1 (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), 2002), hlm. 63-65.
4 Prihatin Lumbanraja, “Bersama UKM Membangun Ekonomi Rakyat Dan Lingkungan
Hidup”, Jurnal Ekonomi, Vol 14, No 2, April 2011.
5 Ahmad Fauzi, Ekonomi Perikanan, Teori, Kebijakan dan Pengeloaan, Cetakan.1 (Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 25.

33
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI

pula Rohmin Dahuri,6 sistem bisnis perikanan terdiri dari subsistem produksi,
pengolahan, pasca panen dan pemasaran yang didukung oleh subsistem sarana
produksi yang mencakup sarana dan prasarana, finansial, SDM dan IPTEK serta
hukum dan kelembagaan. Secara teknis kegiatan tersebut dibagi dalam tiga (3)
sektor yaitu sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier.

Dari aspek kelembagaan dan hukum, aktivitas ketiga sektor tersebut


merupakan aktivitas suatu perusahaan. Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan menyebutkan Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang
melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh
keuntungan, baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan
usaha berbadan hukum maupun yang tidak beradan hukum. Umumnya usaha
sektor perikanan tersebut merupakan usaha perorangan atau kelompok yang tidak
berbadan hukum skala mikro dan kecil. Secara yuridis tidak memiliki legalitas
institusional maupun operasional.

UMKM perikanan di Indonesia jumlahnya cukup besar dan sebagian besar


berada di wilayah pesisir. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan
tahun 2013, unit pengolahan ikan (UPI) sebanyak 63.887 unit yang terdiri dari 917
unit skala menengah besar dan 62.272 unit atau 99 persen adalah skala mikro kecil.7
Dilihat dari besarnya potensi sumberdaya perikanan dan penyerapan tenaga kerja,
industri perikanan skala UMKM sangat potensial untuk dikembangkan. UMKM
Pengolahan ikan merupakan industri pangan yang sifat produknya menjadi
sumber bahan pangan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan pangan
dalam negeri maupun luar negeri sebagai sumber devisa negara. Di sisi lain juga
berpotensi menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan hidup disekitarnya
terutama di wilayah pesisir dan laut. Limbah yang dihasilkan oleh industri skala
UMKM biasanya tidak dilakukan penanganan khusus tetapi langsung dibuang
ke selokan/ sungai di sekitar tempat usaha, yang secara komulatif berpotensi
mencemari/merusak lingkungan yang dapat mempunyai dampak lingkungan
cukup besar. Sebagai contoh, limbah yang dihasilkan dari proses pengasapan

6 Rohmin Dahuri, “Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis kelautan”, Orasi


Ilmiah Guru Besar tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, 2003, hlm. 13.
7 http://unitpengolahanikan.com/tentang/ , diaksestanggal 12 April 2016.

34
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

ikan di Sentra Pengasapan Ikan Desa Wonosari meliputi limbah cair, padat dan
asap. Limbah cair yang keruh, berbau amis dan berlemak dihasilkan dari proses
pencucian ikan. Dalam pembuangan limbah cair tersebut langsung dialirkan ke
badan sungai tanpa mengalami pengolahan lebih dahulu.8 Walaupun demikian
menurut Otto Soemarwoto, UMKM juga merupakan komponen esensial dalam
pembangunan ramah lingkungan hidup. Dengan berlandaskan konsep ADS (Atur
Diri Sendiri) proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dapat dilakukan
melalui pengembangan UMKM.9 Untuk itu perlu dukungan dan bantuan pihak
lain, baik Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Oleh karena itu yang menjadi
persoalan, bagaimana kebijakan Pemerintah dalam mengembangkan UMKM
Perikanan, agar dapat berperan mengendalikan pencemaran dan kerusakan
di wilayah pesisir dan laut? Dengan penelitian hukum non doktrinal yang
menggunakan pendekatan socio-legal studies, dan memanfaatkan data primer yang
diperoleh melalui pengamatan dan wawancara di lapangan serta data sekunder
yang berupa bahan-bahan hukum primer dan sekunder, tulisan ini berupaya
menguraikan perlindungan dan pengembangan UMKM perikanan agar dapat
mendukung pengendalian pencemaran di wilayah pesisir dan laut.

II. Pembahasan

1. UMKM Perikanan

UMKM merupakan salah satu pilar dalam perekonomian nasional. UMKM


sebagai suatu perusahaan yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia. Menurut

8 Hidayatus Shoimah; Hartuti Purnaweni; Bambang Yulianto, “Pengelolaan Lingkungan di


Sentra Pengasapan Ikan Desa Wonosari Kecamatan Bonang Kabupaten Demak”, Prosiding
Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013, ISBN 978-602-
17001-1-2, hlm. 567.
9 Otto Soemarwoto. .Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup,Cetakan
ke-2 (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), 2001, hlm.152-153; Makna ADS adalah
tanggungjawab menjaga kepatuhan dan penegakan hukum lebih banyak ditanggung
oleh masyarakat, yang dipelopori oleh dunia usaha. Konsep ADS merupakan pendekatan
alternatif dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat memberi insentif dan
disinsentif.Instrumen insentif-disinsentif (IID) diciptakan masyarakat sendiri, Masyarakat
mengatur sikap dan kelakuannya sendiri, sehingga lebih mudah untuk diinternalkan sebagai
nilai sosial masyarakat dan menjadi sarana kontrol sosial yang efektif. Dengan konsep ADS
dikembangkan strategi bisnis-lingkungan hidup yang terintegrasi.Internalisasi lingkungan
hidup bukan lagi suatu yang merugikan bisnis tetapi sebaliknya justru menguntungkan
karena bisnis menjadi ‘ramah lingkungan hidup’.

35
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI

Molengraaft,10 perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara


terus menerus, bertindak ke luar untuk memperoleh penghasilan, dengan cara
memperdagangkan atau menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian.
UMKM umumnya bergerak di berbagai bidang termasuk bidang sumberdaya
alam perikanan. Secara yuridis perikanan diatur dalam Undang-Undang No. 31
tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut
mendefinisikan Perikanan adalah “semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan
dengan suatu sistem bisnis perikanan”. Kegiatan memproduksi, mengolah dan
memasarkan sumberdaya ikan merupakan suatu usaha atau pekerjaan yang
secara konstitusional dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara RI 1945.

Aktivitas bisnis perikanan mulai kegiatan pra produksi hingga pemasaran


secara umum masih dilakukan dilakukan secara tradisional. Pada sektor primer
(pra produksi dan produksi) proses penangkapan ikan dilakukan oleh nelayan
tangkap yang jumlahnya di Indonesia mencapai 2,2 juta jiwa (Kementerian
Kelautan dan Perikanan, 2012). Dari jumlah tersebut, lebih dari 95 persen adalah
nelayan kecil dan nelayan tradisional. Lazimnya pelaku ekonomi tradisional, alat
tangkap, dan modal produksi yang dipergunakan masih sederhana dan terbatas.11
Nelayan tersebut dalam Pasal 1 angka (11) UU No. 31 Tahun 2004 disebut dengan
nelayan kecil yaitu orang yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun
2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya ikan dan
Petambak Garam, Pasal 1 angka (4) Nelayan kecil adalah orang yang melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang
tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal
penangkap ikan berukuran paling besar 10 gros ton (GT). Pasal 1 angka (5) Nelayan
Tradisional adalah Nelayan yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang

10 Tuti Rastuti, Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan, Cetakan.1 (Bandung: Refika
Aditama, 2015), hlm. 7
11 Kiara,”Menghadirkan Negara untuk Melindungi dan Menyejahterakan Nelayan”, http://
www.kiara.or.id/temu-akbar-nelayan-indonesia-2015/, diakses tanggal 12 April 2016

36
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

menjadi hak perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun temurun
sesuai budaya dan kearifan lokal. Hal tersebut menunjukan bahwa perikanan
bukan hanya aktivitas ekonomi tetapi juga merupakan kegiatan sosial budaya
yang penting dalam suatu daerah atau negara.

Dalam konteks kegiatan ekonomi, penangkapan ikan yang dilakukan


nelayan kecil maupun tradisional tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain. Sebagaimana dikatakan Mikhael Dua
yang mengacu pemikiran Plato, bahwa kegiatan produksi dan distribusi dalam
masyarakat tidak semata-mata memenuhi kebutuhan tiap orang. Dalam perspektif
yang lebih luas bisnis dibangun oleh motif bagaimana setiap anggota masyarakat
memiliki kesempatan untuk menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk
kesejahteraan bersama.12 Artinya dalam pengertian tersebut meskipun nelayan
kecil maupun tradisional menangkap ikan untuk kebutuhan hidup sehari-
hari, hasil tangkapan dijual untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat
disekitarnya. Berdasarkan data BPS Propinsi Bengkulu terdapat 12.939 rumah
tangga nelayan di Bengkulu, yang menurut Rinaldi (Kepala Dinas Kelautan
dan Perikan Provinsi Bengkulu) sekitar 5000 nelayan tergolong miskin yang
menangkap ikan di pinggir pantai dengan kapal berbobot 10 GT dan peralatan
sederhana.13 Setiap hari nelayan ini menangkap ikan secara berkelompok dari alam
sebagai basis sumberdaya (resources base). Selanjutnya hasil tangkapan dijual di
TPI baik melalui pedagang perantara atau pengumpul yang disebut Cingkau, yang
kemudian mendistribusikan kepada pengolah ikan maupun kepada pedagang
pengecer yang langsung ke konsumen akhir.

Pada sektor sekunder, proses pengolahan hasil perikanan dilakukan di unit


pengolahan ikan (UPI). Pasal 20 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 menyebutkan
pengolahan hasil perikanan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan
dari bahan baku ikan sampai produk akhir untuk dikonsumsi manusia. Hasil
perikanan adalah bahan pangan yang sifatnya mudah rusak, sehingga pengolahan

12 Mikhael Dua, Filsafat Eknomi, Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama, Cetakan 1 (Jogyakarta:
Kanisius, 2008), hlm. 17.
13 Boyke LW, “5.000 nelayan di Bengkulu dikategorikan miskin”, http://www.
antarabengkulu.com/berita/24162/5000-nelayan-di-bengkulu-dikategorikan-miskin, 7
Mei 2014; diakses tanggal 25 April 2016.

37
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI

merupakan upaya mempertahankan kualitas agar tahan lama dan mempertinggi


nilai ekonomisnya. Pengolahan dapat dilakukan dengan cara modern dan
tradisional. Berdasarkan data statistik Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
(P2HP) tahun 2014, jumlah UPI sebanyak 60.163 unit dengan sebaran UPI skala
mikro-kecil berjumlah 58.256 unit yang umumnya merupakan UKM skala rumah
tangga dengan kemampuan SDM dan finansial terbatas, serta menggunakan cara-
cara sederhana dan tradisional. Jenis olahan umumnya ikan pindang, ikan asin
dan ikan asap sebanyak 67,0%, kerupuk ikan dan abon ikan sebanyak 17,9% terasi
ikan dan tepung ikan 6,0% dan sisanya 4,9% olahan ikan segar dan ikan beku, serta
4,1% olahan bakso ikan, empek-empek ikan, otak-otak ikan dan olahan produk
value-added lainnya. Dari aspek kelembagaan sebanyak 55.909 unit tidak berbadan
hukum, 188 unit berbentuk CV, selebihnya berbadan hukum dalam bentuk PT (469
unit), PT. Tbk (202 unit), Koperasi (99 unit) dan badan hukum lainnya 3.438 unit.
Dapat diasumsikan UPI yang tidak berbadan hukum secara yuridis tidak memiliki
legalitas instiusional maupun operasional. Sementara itu UPI yang bersertifikat
kelayakan pengolahan (SKP) tahun 2010-2014 sebanyak 1.340 unit. Di Bengkulu
terdapat 361 UPI hanya 1 (satu) unit memiliki SKP, selebihnya adalah UPI skala
mikro dan kecil yang mengolah ikan secara tradisional terutama dengan produk
ikan kering/asin.

Pada sektor tersier, ikan hasil tangkapan atau hasil olahan didistribusikan
melalui kegiatan pemasaran. Menurut Kotler dan Amstrong(2001), pemasaran
adalah suatu proses sosial dan managerial yang membuat individu dan kelompok
memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan
pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain.14 Hasil penelitian
Rini Oktary, Aris Baso, Andi Adri Arief (2014), terdapat dua saluran pemasaran
yang terbentuk, yaitu saluran pemasaran 1 (satu) dipasarkan secara langsung ke
pedagang pengumpul kemudian dipasarkan kembali ke pedagang pengecer dan
didistribusikan ke konsumen akhir. Saluran pemasaran 2 (dua) dipasarkan secara
langsung ke pedagang pengecer dan didistribusikan ke konsumen akhir.15Pola

14 Armstrong, Gery dan Philip Kotler,Prinsip-Prinsip Pemasaran, Jilid 1. Edisi Kedelapan,


Jakarta: Erlangga, 2001).
15 Rini Oktary; Aris Baso; Andi Adri Arief,” Produksi Dan Pemasaran Perikanan Tangkap Unit
Penangkapan Purse Seine Di Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar”, http://
pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/e1f1268d5d32180a9c8f8ebec10fb544.pdf , diakses tanggal 15
April 2016

38
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

pemasaran tersebut juga dilakukan di banyak tempat seperti di Banyuwangi dan


Pengambengan16 serta di Bengkulu17 termasuk di lokasi penelitian baik dalam
bentuk ikan segar maupun olahan.

Menangkap ikan, mengolah dan memasarkan hasil perikanan merupakan


pekerjaan atau usaha produktif yang dilakukan secara terus menerus, selain
untuk keperluan sendiri hasilnya didistribusikan untuk memasok kebutuhan
bahan pangan (sumber protein) bagi masyarakat. Dengan demikian nelayan
kecil maupun tradisional dapat juga disebut sebagai pelaku ekonomi18 atau
pelaku usaha dalam kriteria usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur Pasal 6
Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Berdasarkan Pasal 1 butir
(b) UU No. 3 Tahun1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Pasal 1 butir (1)
UU No. 8 Tahun 1987 tentang Dokumen Perusahaan, menjalankan kegiatan
secara terus menerus, terang-terangan dalam upaya mendapatkan keuntungan
merupakan suatu perusahaaan.Meskipun secara administrasi tidak ada kewajiban
pendaftaran ataupun memiliki perizinan, menurut H.Polak: suatu usaha untuk
dapat dimasukan dalam pengertian perusahaan harus mengadakan pembukuan
dalam segala sesuatunya untuk keperluan penghitungan laba rugi.19Ketentuan ini
pada dasarnya telah diatur dalam KUHDagang Bab. 2 Buku I Pasal 6,7,8,9 dan
12. Demikian pula pada Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1997.
Ketentuan tersebut dalam praktik di lapangan belum menjadi perhatian bagi
UMKM terutama usaha mikro (UMI) dan usaha kecil (UK) termasuk di bidang
perikanan.20 Alasan selain usaha yang dilakukan umumnya adalah usaha turun
temurun yang sudah lama dilakukan, melakukan pembukuan terlalu rumit karena

16 Nur Sulistyo B Ambarini, Perlindungan Hukum UMKM di Bidang Perikanan Dalam


Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan, (Semarang: PDIH Universitas Diponegoro,
2012), Disertasi (tidak dipublikasikan)
17 Nur Sulistyo B Ambarini, dkk, Pengembangan Model Perlindungan Hukum Bagi
Perempuan Pelaku Usaha Perikanan Skala Mikro dan Kecil Dalam Upaya Meningkatkan
Daya Saing Produk, (Bengkulu: Universitas Bengkulu, 2015), Laporan Penelitian Hibah
Strategi Nasional (STRANAS)- tidak dipublikasikan.
18 Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, Cet.2 (Malang: Bayumedia Publishing,
2007), hlm. 95; Pelaku ekonomi/pelaku usaha/pelaku bisnis adalah organ masyarakat yang
mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai pemasok semua kebutuhan masyarakat
(primer, sekunder dan tersier); dan sebagai penyerap tenaga kerja masyarakat.
19 Chaidir Ali, Badan Usaha,Edisi I, Cetakan ke-3 (Bandung: Penerbit Alumni, 2005), hlm. 105
20 Nur Sulistyo B Ambarini, dkk, 2015, Op.Cit.

39
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI

tidak terbiasa. Faktor pendidikan yang rata-rata masih rendah bahkan ada yang
masih tidak bisa baca tulis, sangat mempengaruhi hal tersebut.

2. Pencemaran Wilayah Pesisir dan Laut

Pasal 1 angka (2) dan (7) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil menyebutkan Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Sedangkan Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa
payau, dan laguna. Penangkapan ikan oleh nelayan kecil umumnya dilakukan
di perairan pesisir seperti halnya di lokasi penelitian. Demikian pula pengolahan
dan pemasaran dilaksanakan di wilayah daratan pesisir. Kegiatan perikanan
melibatkan banyak pihak (stakeholders) baik di wilayah laut maupun pesisir. Secara
ekonomi memberikan kontribusi cukup besar bagi perekonomian daerah maupun
nasional. Tetapi di sisi lain juga dapat berpotensi menimbulkan pencemaran
terhadap lingkungan laut maupun pesisir.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup Pasal 1 angka (14), menjelaskan bahwa pencemaran adalah
masuk atau dimasukkannya makhluk hidup hidup, zat, energi, dan/atau komponen
lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu lingkungan hidup yang ditetapkan. Pencemaran laut sebagaimana diatur
Pasal 1 angka (2) PP No. 9 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/
atau Perusakan Laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan
manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya; demikian
pula pencemaran pesisir pada Pasal 1 angka (28) UU No. 1 Tahun 2014 adalah adalah
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen
lain ke dalam lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga
kualitas Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
Pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

40
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Berdasarkan definisi tersebut pada intinya pencemaran laut dan pesisir


disebabkan oleh aktivitas manusia. Sumber pencemaran pesisir dan laut berasal
dari laut sendiri (marine base pollution) dan daratan (land base pollution).21 Baik
dari laut maupun darat dapat terjadi karena dampak aktivitas perikanan yaitu
penangkapan ikan di laut yang menggunakan cara-cara dan bahan-bahan
yang merusak lingkungan. Demikian pula pengolahan hasil perikanan yang
merupakan kegiatan industri yang mengolah masukan (input) menjadi keluaran
(output).22 Dalam hal ini input atau bahan baku berupa ikan hasil tangkapan yang
mengalami proses pengolahan menjadi produk hasil perikanan yang bernilai
tambah. Suatu proses pengolahan dari kegiatan industri selain menghasilkan
produk bernilai tambah juga menghasilkan limbah.23 Limbah industri hasil
perikanan terdiri dari limbah padat (basah dan kering); limbah cair dan limbah
hasil samping, dan dapat diklasifikasikan mempunyai nilai ekonomis dan non
ekonomis.24 Limbah padat basah dari usaha perikanan berupa potongan-potongan
ikan yang tidak dimanfaatkan. Limbah tersebut berasal dari proses pembersihan
ikan sekaligus mengeluarkan isi perut berupa jerohan dan gumpalan-gumpalan
darah; dan dari proses cleaning berupa kepala, ekor, kulit, sisik, insang. Limbah
padat kering berupa sisa/potongan kemasan plastik, kertas, kaleng, tali pengemas
dan sebagainya. Komposisi limbah padat tersebut terdiri dari daging merah
(25%), bone (kepala, duri, ekor) sebanyak 55%, isi perut/jerohan dan darah (15%),
karton, plastik dan lain-lain (5%). Limbah cair merupakan limbah yang dominan
dari usaha pengolahan hasil perikanan. Limbah tersebut mengandung cairan
darah, lendir ikan, potongan daging, kulit, sisik, isi perut (Sugiharto, 1987; Jenie
dan Rahayu, 1993); sejumlah karbohidrat, protein, lemak, garam mineral, sisa-
sisa bahan kimia, kertas, plastik, sisa bahan kemasan dan lain-lain (Sulistijorini,
2003; Dewantoro, 2003; dan berbagai studi). Limbah hasil samping merupakan sisa
produksi yang masih dapat dipergunakan untuk keperluan produksi yang lain,
seperti potongan daging dalam merapikan filet (trimming) dan termasuk jenis-jenis

21 Mukhtasor, Pencemaran Pesisir dan Laut, Cetakan Pertama (Jakarta: PT. Pratnya Paramita,
2007), hlm. 8
22 Philip Kristanto, Ekologi Industri, Cet.2, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004), hlm. 166.
23 I b i d, hlm. 169; Limbah adalah buangan yang kehadirannya suatu saat dan tempat tertentu
tidak dikehendaki karena tidak mempunyai nilai ekonomis dan dapat menimbulkan
pencemaran.
24 Mukhtasor, Op.Cit, hlm. 155-157.

41
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI

ikan yang tertangkap tetapi tidak/kurang ekonomis untuk diolah lebih lanjut yang
kemudian dibuang. Limbah Limbah yang mengandung bahan cemaran berupa
limbah padat dan cair yang membusuk, sehingga menghasilkan bau busuk/amis.
Limbah tersebut tidak hanya berasal dari pabrik modern tetapi juga dari UPI
tradisional.

Berdasarkan hasil observasi, pengolahan hasil perikanan di lokasi penelitian


dilakukan secara tradisional mengolah menjadi ikan kering/asin. Pengolahan
dimulai dari pembersihan, pencucian dan penjemuran/pengeringan dilakukan
di sekitar pemukiman warga yang tidak jauh dari tempat pendaratan ikan.
Meskipun belum dapat dikatakan telah terjadi pencemaran, pembuangan limbah
padat, cair maupun hasil samping telah menimbulkan tingkat kebauan yang dapat
mengganggu kenyamanan lingkungan dan kesehatan manusia, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 angka (2) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.
Kep-50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan. Terdapat dua aspek
dampak lingkungan dari kegiatan pengolahan ikan kering yaitu aspek sanitasi
dan hiygenis. Limbah padat yang berupa potongan-potongan ikan (kepala, sisik,
jerohan, insang), genangan limbah cair yang mengandung darah dan minyak ikan,
serta hasil samping yang tidak dimanfaatkan dan dibuang seperti ikan kecil, teri,
udang dan sebagainya, menimbulkan bau busuk yang menyengat, sehingga dapat
berpotensi mencemari lingkungan. Selain itu mengganggu estetika, genangan air,
tumpukan karton, plastik, kayu dan sebagainya terkesan kumuh, dapat menjadi
sumber penyakit (sarang nyamuk, tikus dan lain-lain) yang dapat mengganggu
kesehatan manusia. Hal tersebut apabila tidak diantisipasi dan dikendalikan, pada
akhirnya dapat menimbulkan pencemaran lingkungan baik di darat atau pesisir
maupun laut.

3. Perlindungan dan Pengembangan UMKM Sebagai Upaya Pengendalian


Pencemaran wilayah Pesisir dan Laut

Menurut Daud Silalahi, keberadaan hukum lingkungan yang merupakan


kumpulan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip hukum yang diberlakukan
untuk tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.25 Demikian

25 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan (Dalam Penegakan hukum Lingkungan), (Bandung: Alumni,
1996), hlm. 9

42
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

pula Moestadji, bahwa peran hukum lingkungan secara garis besar adalah
mengendalikan perilaku manusia untuk tidak melakukan tindakan yang
menimbulkan kerusakan lingkungan dan berkurangnya sumber daya alam.26
Dalam konteks pengendalian pencemaran limbah UPI, pengusaha UPI baik usaha
besar maupun UMKM mempunyai kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1)UUPPLH, usaha yang tidak termasuk


dalam kriteria berdampak penting berkewajiban memiliki UKL-UPL. Sedangkan
usaha yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL wajib membuat surat pernyataan
kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (Pasal 35 ayat 1).
Kedua hal tersebut dikecualikan untuk kegiatan usaha mikro dan kecil sebagaimana
diatur Pasal 35 ayat (2) huruf (b). Meskipun usaha mikro dan kecil tidak wajib
memiliki UKL-UPL dan membuat surat pernyataan, tidak terlepas dari kewajiban
untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Kewajiban tersebut tertera
pada Pasal 67, Pasal 68 huruf (b) dan (c); Pasal 69 ayat (1) huruf (a).

Kewajiban-kewajiban tersebut pada dasarnya sebagai konsekuensi dan


penghormatan terhadap adanya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
yang menjadi bagian dari hak asasi manusia. Hak tersebut adalah hak subyektif
dan hak konstitusional setiap orang sebagaimana diatur Pasal 28H UUD NRI 1945.
Walaupun demikian tidak hanya ditujukan terhadap hak asasi manusia tetapi juga
hak asasi alam dan seluruh kehidupan. Menurut Aldo Leopold dan penganut teori
etika lingkungan biosentrisme dan ekosentrisme, hak asasi tidak hanya dimiliki
oleh manusia sebagai spesies khusus, melainkan oleh semua makhluk hidup di
dalam komunitas biotis atau ekologis.27 Oleh karena itu melaksanakan kewajiban-
kewajiban hukum lingkungan tidak hanya untuk kepentingan manusia, tetapi
juga kepentingan lingkungan dan sumber daya alam yang mendukung seluruh
kehidupan.

26 Moestadji, “Peranan Hukum Dalam Mewujudkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan”,


Jakarta: ICEL, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I Nomor 1 Tahun 1994, hlm. 26.
27 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Cetakan 1. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), Hlm.
105.

43
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI

Bagi UMKM UPI melaksanakan kewajiban menjaga dan memelihara


kelestarian dan daya dukung lingkungan, pada dasarnya akan berpulang pada
keberlanjutan usahanya. Tetapi hal tersebut belum disadari dan dipahami
oleh pelaku UMKM karena berbagai faktor terutama kelemahan-kelemahan
yang melekat pada UMKM baik secara internal maupun faktor eksternal.
Ketidakmampuan UMKM untuk berkembang dan keluar dari kemiskinan,
menjadi salah satu penyebab UMKM UPI belum dapat berperan dalam
pengendalian pencemaran lingkungan baik yang disebabkan oleh usahanya
maupun yang ada disekitarnya. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk
memberikan perlindungan dan mengembangkan UMKM di bidang perikanan.
Hal tersebut dapat dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah, dunia usaha
dan masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 7 Undang-Undang No. 20 Tahun
2008 tentang UMKM.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa UMKM perikanan tidak memiliki


legalitas usaha baik secara institusional maupun operasional. Oleh sebab itu
untuk memberikan perlindungan dan mengembangkan UMKM perlu dilakukan
penguatan kelembagaan. Upaya tersebut telah dilakukan terhadap pelaku usaha
pengolah ikan di lokasi penelitian melalui kegiatan pengabdian masyarakat.
Pengolah ikan yang tergabung dalam kelompok Usaha Bersama ‘Ceria’ di
Kelurahan Sumber Jaya – Kecamatan Kampung Melayu Kota Bengkulu, secara
kelembagaan telah ditingkatkan statusnya menjadi badan hukum Koperasi
“ASINTA”.28 Dalam wadah Koperasi selain memiliki legalitas usaha, sebagai
anggota koperasi akan dapat mengembangkan diri sebagai pelaku usaha maupun
usahanya. Hal tersebut dimungkinkan karena koperasi pada dasarnya merupakan
lembaga ekonomi sekaligus lembaga pendidikan. Menurut Mohammad Hatta,
berbagai didikan Koperasi di dalam praktik, untuk membentuk moril yang kuat
dan moral yang tinggi di dalam dada manusia. Koperasi mendidik manusia sosial
dengan mempunyaitanggungjawab sosial terhadap masyarakat. Sebab itu pula
koperasi yang mengemukakan kesejahteraan bersama, menjadi pendorong kearah
pelaksanaan keadilan sosial.29 Demikian pula Emil Salim (1998) mengatakan,

28 Nur Sulistyo B Ambarini, “Penguatan Kelembagaan Usaha Mikro Kecil Bidang Perikanan
Pada Masyarakat Pesisir di Kota Bengkulu”, (Bengkulu: Univeritas Bengkulu, 2014), Laporan
Akhir Program IPTEK Bagi Masyarakat (IbM), 2014, hlm. 27.
29 Mohammad Hatta, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, Gagasan & Pemikiran,

44
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

bahwa koperasi mempunyai makna sebagai lima pokok wahana yaitu ekonomi,
pengembangan manusia (pendidikan), pendemokrasian rakyat, penyeimbang
BUMN dan Swasta, serta penghayatan ideologi Pancasila. Koperasi dapat berusaha
secara efektif sebagai ‘agent’ perubahan ekonomi dan sosial secara evolusioner.
Perubahan sosial mencakup perubahan mentalitas manusia yang terlibat dalam
proses yang bersangkutan.30

Secara ekonomi dalam wadah koperasi, pelaku UMKM perikanan dapat


mengaktualisasikan kepentingan-kepentingan ekonomi, menjalin kerjasama
antar anggota koperasi maupun pihak lain secara seimbang. Selain itu dapat
melakukan pembelajaran bersama berdasarkan prinsip-prinsip koperasi terkait
dengan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam wadah koperasi melalui
proses pendidikan dapat ditransformasikan konsep ADS (Atur Diri Sendiri)
kepada pelaku UMKM sebagai anggota koperasi. Konsep ADS merupakan
pendekatan alternatif dalam sistem pengelolaan lingkungan, yang mempunyai
makna bahwa tanggungjawab menjaga kepatuhan dan penegakan hukum lebih
banyak ditanggung oleh masyarakat. Pendekatan ini dipelopori dunia usaha, yang
memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri dengan mengembangkan
praktik pengelolaan lingkungan yang bersifat sukarela.31

Dengan menerapkan konsep ADS pelaku UMKM dapat mengubah pandangan


tentang lingkungan hidup sebagai faktor eksternal menjadi faktor internal dalam
kegiatan bisnis. Dengan mengatur diri sendiri dapat mengembangkan strategi
bisnis yang terintegrasi dengan lingkungan hidup. Sebagaimana dikemukakan Otto
Sumarwoto, dengan berlandaskan konsep ADS, UMKM yang faktanya memiliki
modal terbatas dapat dikembangkan dan dimotivasi untuk dapat berperan
mendukung pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan.32 Demikian
halnya UMKM perikanan yang menjadi anggota koperasi yang berbadan hukum,
dengan menerapkan konsep ADS dalam kegiatan usahanya selain secara ekonomi
dapat mengembangkan usahanya juga dapat berperan dalam mengendalikan

Cetakan. 1 (Jakarta:Pusat Koperasi Pegawai negeri, 1971; diterbitkan kembali Penerbit Buku
Kompas, 2015), hlm. 217
30 Titik Kartika Pratomo; Abdul Rahman Soejono, Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi,
Cetakan 1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 123.
31 Otto Sumarwoto, Op.Cit, hlm. 108
32 I b i d, hlm. 166

45
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI

pencemaran di wilayah pesisir dan laut disekitarnya. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan menerapkan konsep reuse, recovery, dan recycle. Misalnya mengolahlimbah
padat maupun cair menjadi produk samping yang mempunyai nilai ekonomi
seperti tepung ikan, petis, pupuk dan sebagainya ke lingkungan di sekitarnya.

Penerapan konsep ADS tersebut dapat dilakukan dengan berlandaskan pada


aturan-aturan lokal yang berlaku bagi masyarakat pesisir di lokasi penelitian.
Aturan lokal tersebut antara lain tidak diperbolehkan menangkap ikan yang
masih kecil dan menggunakan racun/potas di perairan sungai, pantai maupun
laut.33 Namun kepatuhan terhadap aturan lokal tersebut telah berkurang karena
penggunaan alat tangkap seperti jaring trawl, pukat harimau, pukat udang
(shrimp net), bahan peledak dan lain-lain. Oleh karena itu dengan konsep ADS
melalui usaha bersama (UB) pengolah ikan tidak membuang limbah padat atau
cair sembarangan, melainkan mengolah kembali menjadi produk samping yang
memiliki nilai ekonomis.

Di wilayah pesisir Propinsi Bengkulu ditemukan sebagian besar ditemukan


produk pangan olahan yang terbuat dari bahan baku utama perikanan (62,86%) baik
laut maupun air tawar.34 Hasil perikanan tangkap dan ikan bandeng merupakan
komoditi unggulan sumberdaya pesisir kota Bengkulu yang berdaya saing baik.
Oleh karena itu perlu dikembangkan untuk memunculkan keunggulan kompetitif,
efisien, dan berwawasan lingkungan serta bertumpu pada sumberdaya lokal agar
terwujud sistem yang berkelanjutan.35 Tetapi hal ini perlu mendapat dukungan
pemerintah daerah berupa regulasi untuk memberdayakandan mengembangkan
aturan-aturan lokal yang relevan. Selain itu juga pembinaan, pendampingan secara
berkelanjutan dari berbagai pihak, baik pemerintah, dunia usaha, masyarakat
termasuk perguruan tinggi.

33 Nur Sulistyo B Ambarini, Pemberdayaan Hukum Lokal Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Laut di Daerah”, Supremasi Hukum Vol. 12, No. 2, ISSN: 1693-766X, Agustus 2007, hlm.
81-91.
34 Wuri Marsigit, “Pengembangan Diversifikasi Produk Pangan Olahan Lokal Bengkulu
Untuk Menunjang Ketahanan Pangan berkelanjutan”, AGRITECH, Vol.30, No. 4 Nopember
2010, hlm 256-264.
35 Bonodikun; Putri Suci Astriani; Ellys Yuliarti “ kajian Agoridustri Unggulan Wilayah Pesisir
Kota Bengkulu”, AGRISEP Vol. 14 No. 1. ISSN: 1412-8837, Maret 2015, hlm. 79-84

46
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

III. Simpulan dan Rekomendasi

Seperti halnya UMKM pada umumnya, UMKM perikanan memiliki berbagai


keterbatasan dalam menjalankan usahanya. Jumlahnya yang banyak mempunyai
peranan penting dalam perekomian nasional sebagai sumber pangan terutama
sumber protein. Di sisi lain aktivitasnya juga memiliki potensi menimbulkan
pencemaran di wilayah pesisir dan laut. Walaupun demikian dapat juga berperan
mengendalikan pencemaran di wilayah pesisir dan laut. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan memberikan perlindungan hukum dan mengembangkan
UMKM di bidang perikanan. Perlindungan hukum dapat diberikan melalui
penguatan kelembagaan UMKM untuk memperoleh legalitas usaha. Hal tersebut
dapat diupayakan dengan meningkatkan status hukum UMKM yaitu dengan
menghimpun dalam wadah badan hukum koperasi. Dalam wadah Koperasi,
UMKM perikanan dapat mengaktualisasikan kepentingan-kepentingan ekonomi,
sekaligus mendapatkan pendidikan dan pembelajaran hal-hal terkait ekonomi,
sosial dan lingkungan hidup. Dalam hal ini dengan mentranformasikan konsep
ADS agar UMKM dapat mengintegrasikan strategi bisnis dan lingkungan.
Dengan demikian UMKM perikanan akan dapat berperan dalam mengendalikan
pencemaran di wilayah pesisir dan laut.

Rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan paparan sebelumnya antara


lain adalah:

1. Perlu ada kebijakan Pemerintah Daerah yang dapat memberikan perlindungan


hukum dalam pembinaan dan pengembangan UMKM khususnya di bidang
perikanan.

2. Perlu adanya program pemerintah untuk melakukan penguatan kelembagaan


UMKM dan revitalisasi fungsi Koperasi Perikanan yang ada.

3. Perlu adanya pembinaan dan pendampingan dari berbagai pihak baik


Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat termasuk Perguruan Tinggi secara
berkelanjutan.

47
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Chaidir. 2005. Badan Usaha. Edisi 1, Cetakan 3. Bandung: Penerbit Alumni.

Ambarini, Nur Sulistyo B. 2007. “Pemberdayaan Hukum Lokal Dalam Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Laut di Daerah”. Supremasi Hukum Vol. 12, No. 2, ISSN:
1693-766X, Agustus.

Ambarini, Nur Sulistyo B. 2012. “Perlindungan Hukum UMKM di Bidang


Perikanan Dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan”, Semarang:
PDIH Universitas Diponegoro, 2012). Disertasi (tidak dipublikasikan).

Ambarini, Nur Sulistyo B. 2014. “Penguatan Kelembagaan Usaha Mikro Kecil


Bidang Perikanan Pada Masyarakat Pesisir di Kota Bengkulu”, (Bengkulu:
Univeritas Bengkulu, 2014). Laporan Akhir Program IPTEK Bagi Masyarakat
(IbM).

Ambarini, Nur Sulistyo B, dkk. 2015. “ Pengembangan Model Perlindungan


Hukum Bagi Perempuan Pelaku Usaha Perikanan Skala Mikro dan Kecil
Dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing Produk”, Bengkulu: Universitas
Bengkulu, 2015,Laporan Penelitian Hibah Strategi Nasional (STRANAS)- tidak
dipublikasikan.

Bonodikun; Putri Suci Astriani; Ellys Yuliarti. 2015. “Kajian Agoridustri Unggulan
Wilayah Pesisir Kota Bengkulu”, AGRISEP Vol. 14 No. 1. ISSN: 1412-8837.
2015.

Boyke LW, 2014. “5.000 nelayan di Bengkulu dikategorikan miskin”, http://


www.antarabengkulu.com/berita/24162/5000-nelayan-di-bengkulu-
dikategorikan-miskin, 7 Mei 2014

Dahuri, Rohmin. 2003. “Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis


kelautan”. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Dua, Mikhael. 2008. Filsafat Eknomi, Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama, Cetakan
1. Jogyakarta: Kanisius.

48
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Erani Yustika, Ahmad. 2002. Pembangunan dan Krisis (Memetakan Perekonomian


Indonseia). Cetakan 1. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)

Fauzi, Ahmad. 2010. Ekonomi Perikanan, Teori, Kebijakan dan Pengeloaan. Cetakan 1.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Hartono, Sri Redjeki. 2007. Hukum Ekonomi Indonesia. Cetakan 2. Malang :


Bayumedia Publishing.

Hatta, Mohammad. 2015. Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, Gagasan &
Pemikiran. Jakarta: Pusat Koperasi Pegawai negeri, 1971; diterbitkan kembali
Penerbit Buku Kompas, Cetakan. 1.

http://unitpengolahanikan.com/tentang/ , tanggal 12 April 2016.

Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan
Menengah.

Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tenatng Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup.

Indonesia, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.

Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No.


27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.U

Indonesia, Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kiara. 2016. “Menghadirkan Negara untuk Melindungi dan Menyejahterakan


Nelayan”, diunduh tanggal 12 April 2016 dari http://www.kiara.or.id/temu-
akbar-nelayan-indonesia-2015/

Komarudin, Ade. 2014. Politik Hukum Integratif UMKM. Cetaka 1. Jakarta: Penerbit
RMBOOKS

Kotler, Philip; Armstrong, Gery. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jilid 1. Edisi


Kedelapan. Jakarta: Erlangga.

Kristanto, Philip. 2004., Ekologi Industri. Cetakan 2. Yogyakarta: Penerbit Andi.

49
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI

Lumbanraja, Prihatin. 2011. “Bersama UKM Membangun Ekonomi Rakyat Dan


Lingkungan Hidup”, Jurnal Ekonomi, Volume 14, No 2, April 2011.

Marsigit, Wuri. 2010. “Pengembangan Diversifikasi Produk Pangan Olahan Lokal


Bengkulu Untuk Menunjang Ketahanan Pangan berkelanjutan”, AGRITECH,
Vol.30, No. 4 Nopember 2010.

Moestadji. 1994. “Peranan Hukum Dalam Mewujudkan Konsep Pembangunan


Berkelanjutan”. Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I Nomor 1 Tahun 1994.
Jakarta: ICEL

Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Cetakan 1. Jakarta: PT. Pratnya
Paramita.

Oktary, Rini; Aris Baso; Andi Adri Arief. 2016.” Produksi Dan Pemasaran Perikanan
Tangkap Unit Penangkapan Purse Seine Di Kecamatan Galesong Utara,
KabupatenTakalar”, diakses tanggal 15 April 2016 melalui http://pasca.
unhas.ac.id/jurnal/files/e1f1268d5d32180a9c8f8ebec10fb544.pdf

Pratomo, Titik Kartika ; Abdul Rahman Soejono. 2002. Ekonomi Skala Kecil/Menengah
dan Koperasi. Cetakan 1. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rastuti, Tuti. 2015. Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan. Cetakan 1.
Bandung: Refika Aditama.

Shoimah, Hidayatus; Hartuti Purnaweni; Bambang Yulianto. 2013. “Pengelolaan


Lingkungan di Sentra Pengasapan Ikan Desa Wonosari Kecamatan Bonang
Kabupaten Demak”, Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan 2013, ISBN 978-602-17001-1-2, hlm. 567.

Silalahi, Daud. 1996. Hukum Lingkungan (Dalam Penegakan hukum Lingkungan),


Bandung: Alumni.

Soemarwoto, Otto. 2001. .Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Hidusp. Cetakan 2. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

50
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

T anggung R enteng dalam P erkara P erdata


P encemaran U dara dari K ebakaran H utan dan L ahan

Fajri Fadhillah1

Abstrak

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Indonesia selain


menimbulkan kerusakan lingkungan hidup juga menimbulkan pencemaran udara.
Kerugian atas terjadinya pencemaran udara dari karhutla sangat besar, meliputi
berbagai bidang seperti kesehatan dan pendidikan. Namun belum pernah ada
gugatan ke pengadilan terhadap pelaku pencemaran udara dari karhutla tersebut.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan korban pencemaran udara
dari karhutla menuntut ganti rugi secara perdata terhadap beberapa pelaku
pencemaran udara dari karhutla. Tulisan ini menggunakan metode penulisan
yuridis normatif berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia sebagai bahan hukum primer. Tulisan ini juga bersumber pada teori
dari literatur-literatur hukum dan informasi dari internet yang menjadi bahan
hukum sekunder. Tulisan ini menunjukan bahwa gugatan perdata terhadap
beberapa pelaku pencemaran udara dari karhutla dapat dilakukan. Gugatan
tersebut dapat dilakukan dalam bentuk gugatan tanggung renteng (joint and several
liability). Selain itu, pertanggungjawaban mutlak dan asas kehati-hatian dapat
menjawab tantangan pembuktian kausalitas dalam gugatan ini.

1 Penulis kini bekerja sebagai asisten peneliti di Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL). ICEL beralamat di Jalan Dempo II No. 21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120.
Penulis memiliki perhatian khusus pada bidang studi hukum pencemaran lingkungan.
Penulis memperoleh gelar sarjana hukum dari Universitas Indonesia pada Februari 2015.

51
FAJRI FADHILLAH

Kata kunci: pencemaran udara, kebakaran hutan dan lahan, tanggung


renteng, kausalitas

Abstract

Forest and land fires phenomena in Indonesia inflicted to air pollution besides the
environmental harm. Injuries stemmed from the forest fires air pollution was somewhat
huge, comprise to various sectors such as health and education. Unfortunately, there is no
legal action alleging the air pollution tortfeasors from forest and land fires to the court until
now. This article aims to see any possibilities that air pollution from land and forest fires
victims could file a lawsuit against multiple tortfeasors. This article employed a normative
study based on the enacted law in Indonesia as a primary source. This article also based
on theories from kinds of law literature and information from the internet as a secondary
source. This article shows that there is a possibility to file a civil lawsuit against multiple
tortfeasors who causing an air pollution from land and forest fires. The civil lawsuit could
be conducted in a joint and several liability formulation. Furthermore, strict liability and
precautionary principle could answer the challenge arising from causation aspect in this
particular case.

Keywords: air pollution, forest and land fires, joint and several liability, causation

I. Pendahuluan

Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan/atau lahan (karhutla) di


Indonesia pada tahun 2015 menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Kerugian
ekonomi akibat karhutla pada tahun tersebut mencapai angka 221 triliun rupiah.2
Bahkan kerugian sebesar 221 triliun rupiah tersebut belum termasuk hitungan
kerugian dari dampak terhadap kesehatan dan pendidikan.3 Angka 221 triliun
rupiah tersebut lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan kerugian ekonomi
akibat bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 silam.4

Lebih mengerucut lagi, dampak karhutla terhadap kesehatan publik juga


2 “Longsor Paling Mematikan”, Kompas, 19 Desember 2015.
3 Ibid.
4 Ibid.

52
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

tak kalah mencengangkan. Sebanyak 24 orang meninggal dan lebih dari 600.000
jiwa menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat terjadinya karhutla.5
Angka mengenai jumlah korban tersebut menjadi hal yang tidak mengherankan
jika melihat fakta berikut ini: pada periode bulan September sampai Oktober 2015,
masyarakat di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Barat menjalani kehidupan sehari-hari dengan kualitas udara yang
sangat berbahaya.6

Dampak pencemaran udara dari karhutla yang dirasakan oleh sekian banyak
orang tersebut terjadi tentu bukan tanpa sebab. Berdasarkan catatan Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), terdapat sekitar 423 perusahaan diduga
terlibat langsung dalam karhutla di tahun 2015.7 Hasil investigasi yang dilakukan
Eyes on the Forest di Provinsi Riau dalam kurun waktu Oktober sampai November
2015, menunjukan bahwa terdapat 38 perusahaan yang konsesinya terbakar.8

Kerugian di bidang kesehatan yang timbul karena pencemaran udara dari


karhutla sudah terlihat nyata dan juga cukup meyakinkan: menderita sakit
ISPA bahkan hingga kematian.9 Indikator yang menentukan bahwa telah terjadi

5 Ibid.
6 Pada periode waktu September sampai Oktober 2015, Indeks Standar Pencemar Udara
(ISPU) di kelima Provinsi tersebut berada di atas angka 400. ISPU Provinsi Kalimantan
Tengah bahkan mencapai angka 1.987 pada bulan September dan 2.230 pada bulan Oktober.
Lihat dalam: Pusdatin Kementerian Kesehatan RI, “Masalah Kesehatan Akibat Kabut
Asap Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2015”, http://www.depkes.go.id/resources/
download/pusdatin/infodatin/infodatin-asap.pdf, diakses tanggal 16 Maret 2016.
7 “Ratusan Perusahaan Diduga Terlibat Pembakaran Hutan”, http://nasional.republika.
co.id/berita/nasional/umum/16/01/22/o1cgje361-ratusan-perusahaan-diduga-terlibat-
pembakaran-hutan, diakses tanggal 21 Maret 2016.
8 Eyes on the Forest, “Terlibat Kejahatan Kemanusiaan, Para Pelaku Layak Diseret ke
Pengadilan”, http://eyesontheforest.or.id/attach/Laporan%20Ringkas%20EoF%20
(Dec2015)%20Pembakaran%20hutan%20lahan%20di%2037%20lokasi%20Riau%20
FINAL2.pdf, diakses tanggal 21 Maret 2016.
9 Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, memberikan keterangan bahwa ada 10 korban tewas
akibat kabut asap di Sumatera dan Kalimantan, baik lewat dampak langsung maupun
tidak langsung. Menurut Sutopo Purwo Nugroho, korban tewas akibat dampak langsung
kebakaran hutan dan lahan contohnya adalah korban yang meninggal saat memadamkan
api lalu ikut terbakar. Sedangkan korban yang tewas akibat dampak tidak langsung adalah
korban yang sakit akibat asap, atau yang sudah punya riwayat sakit lalu adanya asap
memperparah sakitnya. Lihat dalam: bbc.com, “Asap Kebakaran Hutan Sampai Jakarta,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151024_indonesia_jakarta_
kabutasap, diakses pada tanggal 21 Juni 2016.

53
FAJRI FADHILLAH

pencemaran udara akibat asap dari karhutla pun tersedia. Selain itu, informasi
mengenai para pihak yang diduga sebagai penyebab terjadinya pencemaran udara
dari karhutla pun sudah cukup diketahui. Dengan fakta dan informasi tersebut,
ternyata tidak pernah ada gugatan atas dasar pencemaran udara dari karhutla
untuk memperoleh kompensasi atas kerugian yang dialami.

Penegakan hukum terhadap peristiwa karhutla dapat dilakukan melalui tiga


jalur, yakni melalui jalur pidana, perdata, dan administrasi. Di antara ketiga jalur
tersebut, jalur pidana menjadi jalur yang sering digunakan oleh pemerintah dalam
penegakan hukum karhutla.10 Sementara untuk penegakan hukum perdata dalam
kasus karhutla, terdapat beberapa putusan pengadilan yang sudah dihasilkan.11
Putusan pengadilan dalam perkara perdata karhutla yang dianggap berhasil adalah
putusan Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO12 antara
Menteri LHK (Penggugat) melawan PT. Kallista Alam (Tergugat). Gugatan perdata
dalam kasus karhutla tersebut merupakan hal yang patut diapresiasi namun
sayangnya gugatan ini hanya menyentuh kerusakan lahan yang ditimbulkan

10 Andri G. Wibisana, “Menggugat Kebakaran Hutan”, Kompas, Rabu 07 Oktober 2015. Dalam
opini tersebut, Andri menyatakan bahwa Polri telah menetapkan 140 tersangka dalam
kasus karhutla di tahun 2015.
11 Putusan pengadilan yang sudah dihasilkan dalam perkara perdata karhutla, yakni:
• Putusan PN Meulaboh No. 12.PDT.G/2012/PN.MBO antara Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) vs PT. Kallista Alam;
• Putusan PN Jakarta Selatan No. 700/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel. antara Menteri LHK vs
PT. Surya Panen Subur. Dalam perkara ini Majelis Hakim menolak seluruh gugatan
Penggugat;
• Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg. antara Menteri LHK vs PT. Bumi
Mekar Hijau. Dalam perkara ini Majelis Hakim menolak seluruh gugatan Penggugat;
dan
• Putusan PN Jakarta Utara No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr, antara Menteri LHK vs PT.
Jatim Jaya Perkasa. Dalam perkara ini, Majelis Hakim mengabulkan sebagian gugatan
Penggugat.
• Putusan PN Jakarta Selatan No. 591/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, antara Menteri LHK vs
PT. National Sago Prima. Dalam perkara ini, Majelis Hakim mengabulkan sebagian
gugatan Penggugat.
12 Sengketa ini sudah sampai pada tahap kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan juga telah
diputuskan. MA menolak kasasi yang diajukan oleh PT. Kallista Alam. Lihat: “Kasasi
Ditolak, Kalista Alam Harus Bayar Rp 366 Miliar, Menteri Siti: Penuhi Rasa Keadilan”,
http://www.mongabay.co.id/2015/09/13/kasasi-ditolak-kalista-alam-harus-bayar-
rp366-miliar-menteri-siti-penuhi-rasa-keadilan/, diakses tanggal 24 Maret 2016.

54
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

dari karhutla.13 Pencemaran udara dari karhutla yang menimbulkan kerugian


kesehatan pada masyarakat belum pernah dijadikan salah satu bentuk kerugian
yang dijadikan tuntutan di dalam gugatan keperdataan.

Jika ditelisik lebih lanjut, gugatan perdata terhadap pencemaran udara


yang ditimbulkan dari karhutla memang memiliki tantangan yang lebih
berat dibandingkan dengan gugatan perdata terhadap kerusakan lahan yang
ditimbulkan dari karhutla. Menurut penulis, terdapat beberapa alasan yang
melatarbelakangi argumen ini: Pertama, pencemaran udara berkaitan dengan
material yang intangible – tidak dapat diraba – sehingga membutuhkan usaha
yang lebih besar dalam membuktikan bahwa asap dari lahan suatu perusahaan
yang mencemari sekelompok orang atau masyarakat; Kedua, terdapat banyak
pihak yang berkontribusi terhadap terjadinya pencemaran udara dari karhutla,
seperti perusahaan hutan tanaman industri dan perusahaan perkebunan sawit.14
Keadaan tersebut menyulitkan korban untuk menentukan pihak mana yang
berkontribusi terhadap pencemaran udara dan seberapa besar kontribusinya
terhadap pencemaran udara. Ketiga, mobilitas dari material pencemar udara dari
karhutla yang cukup luas. Material-material pencemar ini dapat menempuh jarak
hingga ratusan kilometer dari sumbernya sehingga sulit bagi para korban untuk
meyakinkan Majelis Hakim dalam pengadilan bahwa kerugian yang mereka derita
berasal dari pihak-pihak tertentu.

13 Penggugat dalam Menteri LHK vs PT. Kallista Alam mendalilkan beberapa hal yang
berkaitan dengan kerugian akibat perbuatan Tergugat. Kerugian tersebut di antaranya
meliputi kerugian ekologis (pembuatan dan pemeliharaan reservoir, pengaturan tata air,
pembentuk tanah, dll), kerugian hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber daya
genetika, kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara, dan kerugian ekonomis. Keempat
jenis kerugian tersebut mayoritas merupakan kerugian atas kerusakan lahan. Memang
terdapat kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara yang merupakan bentuk pencemaran
udara dari karhutla. Namun kerugian ini tidak menyangkut kerugian pencemaran udara
yang diderita oleh masyarakat yang terdampak asap dari karhutla. Lihat dalam Menteri
LHK vs PT. Kallista Alam, Putusan PN Meulaboh No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO, bagian
Gugatan, hal. 36 – 47.
14 Mas Achmad Santosa mengemukakan pendapat yang serupa perihal sifat-sifat khas dalam
kasus pencemaran lingkungan, antara lain: 1). Penyebabnya tidak selalu dari sumber
tunggal, akan tetapi berasal dari berbagai sumber (multi sources); 2). Melibatkan disiplin-
disiplin ilmu lainnya serta menuntut keterlibatan pakar-pakar di luar hukum sebagai
saksi ahli; dan 3). Seringkali akibat yang diderita tidak timbul seketika, akan tetapi selang
beberapa lama kemudian (long period of latency). Lihat dalam Mas Achmad Santosa, “Teori
Pertanggungjawaban Pencemaran (Liability Theories)” dalam Sulaiman N. Sembiring (ed.),
Hukum dan Advokasi Lingkungan, (ICEL, 1998), hal. 89.

55
FAJRI FADHILLAH

Menurut penulis, tantangan tersebut berujung pada tidak adanya gugatan


yang dilakukan terhadap pencemaran udara dari karhutla yang diduga terjadi
akibat perbuatan, usaha, dan/atau kegiatan dari perusahaan perkebunan dan/
atau kehutanan. Di sisi lain, sebenarnya tantangan tersebut dapat ditelisik lebih
lanjut untuk melihat peluang-peluang dilakukannya gugatan pencemaran udara
dari karhutla yang merugikan masyarakat terdampak. Tulisan ini akan menelisik
peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan dalam gugatan pencemaran udara
dari karhutla tersebut.

Tulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif berdasarkan


pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai bahan
hukum primer. Tulisan ini juga bersumber pada teori dari literatur-literatur hukum
dan informasi dari internet yang menjadi bahan hukum sekunder. Tulisan ini akan
dibagi ke dalam beberapa bagian.

Setelah bagian Pendahuluan ini, bagian kedua akan membahas mengenai


bentuk gugatan tanggung renteng yang dapat diterapkan terhadap peristiwa
yang merugikan yang diduga disebabkan oleh perbuatan sekelompok subjek
hukum. Lalu pada bagian ketiga akan dibahas perihal joint and several liability yang
merupakan bentuk tanggung renteng di dalam sistem hukum common law. Bagian
keempat akan membahas peluang dan tantangan gugatan tanggung renteng
terhadap peristiwa pencemaran udara dari karhutla. Bagian kelima akan menjadi
penutup yang menyimpulkan beberapa hal dari tulisan ini.

II. Gugatan Tanggung Renteng

2.1 Tanggung Renteng dalam Hubungan Perikatan

Gugatan tanggung renteng merupakan salah satu bentuk gugatan yang


dapat digunakan dalam sengketa keperdataan. Dalam hukum perdata Indonesia,
gugatan tanggung renteng sebenarnya dilakukan dalam sengketa wanprestasi
dalam hubungan hukum perikatan antara lebih dari dua pihak. Hal ini terlihat
dalam rumusan Pasal 1278 dan 1280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) yang menjelaskan pengertian dari tanggung renteng dalam hubungan

56
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

perikatan.15 Pasal 1278 KUHper mengatur:

“Suatu perikatan tanggung-menanggung atau perikatan tanggung renteng


terjadi antara beberapa kreditur, jika dalam bukti persetujuan secara tegas kepada
masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang,
sedangkan pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang di antara mereka,
membebaskan debitur, meskipun perikatan itu menurut sifatnya dapat dipecah
dan dibagi antara para kreditur tadi.”16

Lalu, Pasal 1280 KUHPer mengatur juga perihal tanggung renteng dengan
rumusan: “Di pihak para debitur terjadi suatu perikatan tanggung-menanggung,
manakala mereka semua wajib melaksanakan satu hal yang sama, sedemikian
rupa sehingga salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pelunasan oleh
salah satu dapat membebaskan debitur lainnya terhadap kreditur.”17

Berdasarkan pada Pasal 1278 dan 1280 KUHPer, dapat ditarik beberapa
kesimpulan mengenai pengertian perikatan tanggung renteng, seperti:18 1) Suatu
perikatan dengan lebih dari satu kreditur di satu sisi dengan satu debitur, di sisi
lain; atau 2) Suatu perikatan dengan lebih dari satu debitur pada satu sisi dengan
satu kreditur pada sisi lain; atau 3) Suatu perikatan dengan lebih dari satu kreditur
di satu sisi dan juga dengan lebih dari satu debitur di sisi lain. Pilihan terhadap
dua perikatan yang awal memiliki beberapa konsekuensi hukum, di antaranya:19

• Dalam hal terdapat lebih dari satu kreditur, masing-masing kreditur berhak
untuk menuntut pemenuhan perikatannya dari debitur;

• Dalam hal terdapat lebih dari satu debitur, masing-masing debitur dapat
dituntut untuk memenuhi seluruh isi perikatannya oleh kreditur.

• Dalam hal terdapat lebih dari satu kreditur, pemenuhan perikatan kepada
salah satu kreditur adalah pemenuhan perikatan kepada semua kreditur; dan

15 Giska Matahari Gegana, Penerapan Prinsip Tanggung Renteng Dalam Hal Kreditur Melakukan
Wanprestasi Terhadap Perjanjian Kredit Sindikasi, (Skripsi FHUI, Depok: Juni 2011), hal. 25.
16 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1278, diakses melalui jejaring: http://
hukum.unsrat.ac.id/uu/kolonial_kuh_perdata.pdf.
17 Ibid., Pasal 1280.
�� Giska Matahari Gegana, loc. cit.
19 Ibid., hal. 26.

57
FAJRI FADHILLAH

• Dalam hal terdapat lebih dari satu debitur, pemenuhan perikatan oleh salah
satu debitur adalah pemenuhan perikatan oleh semua debitur.

Dengan pengertian dan konsekuensi hukum dari perikatan tanggung renteng


tersebut, maka terdapat dua jenis perikatan tanggung renteng, yaitu:20

• Perikatan tanggung renteng yang bersifat aktif, yaitu perikatan dengan lebih
dari satu kreditur, di mana masing-masing kreditur berhak untuk menuntut
pemenuhan perikatannya dari debitur, dan pemenuhan perikatan kepada
salah satu kreditur adalah pemenuhan perikatan kepada semua kreditur; dan

• Perikatan tanggung renteng yang bersifat pasif, yaitu perikatan dengan lebih
dari satu debitur, di mana masing-masing debitur dapat dituntut untuk
memenuhi seluruh isi perikatannya oleh kreditur, dan pemenuhan perikatan
oleh salah satu debitur adalah pemenuhan perikatan oleh semua debitur.

Gugatan tanggung renteng bisa dilakukan ketika terjadi wanprestasi dalam


dua jenis perikatan di atas. Sengketa wanprestasi yang menggunakan gugatan
tanggung renteng misalnya bisa dilihat dalam sengketa wanprestasi antara
PT. Mandira Pelita Utama (Penggugat) melawan PT Hastin International, dkk.
(Tergugat).21 Dalam kasus tersebut, PT. Mandira Pelita Utama sebagai debitur
menggugat secara tanggung renteng tujuh PT yang bertindak sebagai kreditur
atas wanprestasi yang dilakukan tujuh PT tersebut terhadap isi perjanjian kredit
sindikasi yang telah disepakati bersama.22 Majelis Hakim pada tiga tingkat
peradilan yang mengadili sengketa tersebut memutuskan bahwa ketujuh Tergugat
telah melakukan wanprestasi, lalu membatalkan isi perjanjian kredit sindikasi di
antara para pihak dan menghukum para Tergugat untuk membayar kerugian yang
diderita oleh Penggugat.23

20 Ibid.
21 PT. Mandira Pelita Utama vs PT. Hastin International, et. al., Putusan PN Jakarta Pusat No.
219/Pdt.G/1999/PN.JKT.PST.
22 Giska Matahari Gegana, op. cit., hal. 90
23 Ibid., hal. 92 – 93. Berkaitan dengan gugatan tanggung renteng yang disampaikan oleh
Penggugat dalam kasus a quo, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, melalui Putusan No.
219/Pdt.G/1999/PN.JKT.PST, memutuskan bahwa gugatan tanggung renteng terhadap
ketujuh Tergugat tidak dapat dikabulkan. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim
berpendapat bahwa ganti kerugian harus dibebankan kepada Tergugat sesudai dengan
porsi keikutsertaan Para Tergugat dalam perjanjian kredit sindikasi. Lihat dalam: Ibid.,
hal. 97. Penulis berpendapat bahwa gugatan secara tanggung renteng dilakukan oleh

58
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

2.2 Tanggung Renteng dalam PMH

Meskipun dasar hukumnya hanya mengatur gugatan terhadap tindakan


wanprestasi, gugatan tanggung renteng dipraktikan juga dalam gugatan perbuatan
melawan hukum. Dua contoh sengketa perdata yang menggunakan gugatan
tanggung renteng di antaranya:

• Dedi, dkk. vs PT. Perhutani, dkk., yang diperiksa di PN Bandung,24 mengenai


longsornya Hutan Mandalawangi akibat kegiatan kehutanan dari PT.
Perhutani (kasus ini dikenal dengan istilah “Mandalawangi”); dan

• Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya Bintan Abadi, dkk., yang diperiksa di PN


Tanjung Pinang,25 tentang pencemaran lingkungan laut akibat pertambangan
dan penimbunan tanah merah untuk pembangunan dermaga.

Jika kita menelisik dalil-dalil mengenai gugatan tanggung renteng di dalam


dua putusan di atas, kita dapat melihat bahwa baik Penggugat maupun Majelis
Hakim tidak mendasarkan pada dasar hukum tertulis dalam mendalilkan atau
mempertimbangkan gugatan tanggung renteng. Dalam sengketa antara Aswardi,
dkk. vs PT. Cahaya Bintan Abadi, dkk. misalnya, para Penggugat dalam gugatannya
mendalilkan perihal tanggung renteng dalam posita mengenai jumlah kerugian
materiil dan immateriil yang diderita akibat perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III.26 Para Penggugat kembali
mendalilkan perihal tanggung renteng dalam bagian petitum gugatannya, yakni
memohon Majelis Hakim untuk menghukum dan memerintahkan Tergugat I,
Tergugat II, dan Tergugat III secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada
para Penggugat sebesar Rp 100.057.600.000.27 Penggugat tidak mendasarkan pada

Penggugat dengan tujuan memperoleh jaminan bahwa keseluruhan kerugian yang diderita
oleh Penggugat dapat dibayar oleh salah satu Tergugat atau lebih. Selain itu, gugatan
dilakukan secara tanggung renteng juga agar gugatan bisa lebih efisien dibandingkan
dengan menggugat masing-masing Tergugat secara terpisah.
24 Dedi, dkk. vs PT. Perhutani, dkk. Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG.
25 Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya Bintan Abadi, dkk. Putusan PN Tanjung Pinang No. 26/
PDT.G/2009/PN.TPI,
26 Ibid., Bagian posita gugatan, hal. 15.
27 Ibid., hal. 23. Majelis Hakim dalam putusannya mengabulkan sebagian gugatan dari para

59
FAJRI FADHILLAH

dasar hukum tertulis dalam merumuskan dalil gugatan tanggung renteng, baik itu
dalam posita atau pun petitum-nya.

Terdapat sedikit perbedaan di dalam perkara “Mandalawangi” perihal


perumusan gugatan tanggung renteng. Di dalam perkara “Mandalawangi”, para
Penggugat tidak mendalilkan secara eksplisit bentuk tanggung renteng di dalam
surat gugatannya.28 Namun Majelis Hakim perkara “Mandalawangi” di dalam
pertimbangannya terhadap petitum Penggugat, menyatakan bahwa biaya pemulihan
kerusakan hutan di Gunung Mandalawangi harus ditanggung oleh Tergugat I (PT.
Perhutani) dan Tergugat III (Menteri Kehutanan) secara tanggung renteng.29 Majelis
Hakim perkara “Mandalawangi” juga memutuskan bahwa Tergugat I, Tergugat III,
Tergugat IV (Gubernur Jawa Barat), dan Tergugat V (Bupati Garut) secara tanggung
renteng membayar ganti kerugian kepada korban longsor Gunung Mandalawangi
sebesar Rp 10.000.000.000,-.30 Majelis Hakim perkara “Mandalawangi” tidak
mendasarkan pada dasar hukum tertulis dalam pertimbangan tersebut, melainkan
mendasarkan pada rasa keadilan dan kepatutan.31

Dari kedua sengketa tersebut dapat dilihat bahwa gugatan tanggung renteng
atas perbuatan melawan hukum dilakukan tidak berdasarkan pada suatu dasar
hukum tertentu. Dalam perkara antara Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya Bintan Abadi,
dkk., pihak Penggugat merumuskan dalil tanggung renteng dalam posita dan
petitum-nya tanpa didasarkan pada suatu dasar hukum tertentu. Dalam perkara
“Mandalawangi”, Majelis Hakim PN Bandung mendasarkan pada rasa keadilan
dan kepatutan dalam mempertimbangkan pemulihan dan ganti rugi secara
tanggung renteng oleh beberapa Tergugat. Dengan kata lain, perihal tanggung
renteng dalam PMH didasarkan pada kebiasaan serta rasa keadilan dan kepatutan.

Penggugat, salah satunya dalam hal ganti rugi, yakni menghukum Tergugat I, II, dan
III secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada para Penggugat sebesar Rp
10.760.000.000. Lihat: Ibid., hal, 128 – 129.
28 Perumusan dalil tanggung renteng di dalam petitum seperti yang terlihat dalam perkara
Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya Bintan Abadi, dkk. tidak terlihat di dalam gugatan Dedi, dkk.
dalam perkaranya melawan PT. Perhutani, dkk. Lihat dalam: Dedi, dkk. vs PT Perhutani,
dkk.. Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG., Bagian Petitum, hal. 10 – 12.
29 Ibid., hal. 104 dan 108..
30 Ibid.
31 Ibid., hal. 104.

60
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

2.3 Para Pihak dalam Gugatan Tanggung Renteng

Hal yang perlu dicermati dalam gugatan tanggung renteng adalah pihak-
pihak yang dapat dijadikan Tergugat di dalam sengketa. Terdapat perbedaan antara
pihak-pihak yang dapat dijadikan Tergugat dalam gugatan tanggung renteng pada
sengketa wanprestasi dan PMH. Dalam gugatan tanggung renteng pada sengketa
wanprestasi, pihak-pihak yang dapat dijadikan Tergugat berkaitan erat dengan
para pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain, pihak yang merasa
dirugikan atas wanprestasi dalam perjanjian tanggung renteng harus menyertakan
seluruh pihak yang terikat kepada perjanjian tanggung renteng tersebut.32

Disertakannya seluruh pihak dalam gugatan tanggung renteng pada sengketa


wanprestasi merupakan hal yang krusial karena adanya kemungkinan gugatan
dinyatakan niet ontvankelijke verklaard (NO) atau tidak dapat diterima oleh Majelis
Hakim apabila gugatan dinilai kurang pihak. Hal ini berdasarkan pada logika
bahwa pihak Penggugat, dalam sengketa wanprestasi, mengetahui pihak mana saja
yang merupakan penyebab terjadinya kerugian yang ia derita. Selain itu, gugatan
tanggung renteng dalam sengketa wanprestasi memang harus didasarkan pada
perikatan yang sah di antara para pihak, di mana pilihan dilakukannya gugatan
tanggung renteng juga harus dinyatakan dengan tegas di dalam perikatan tersebut.

Berbeda dengan sengketa wanprestasi, dalam gugatan tanggung renteng


pada PMH Penggugat tidak dibatasi dengan keharusan melakukan gugatan
dengan jumlah Tergugat yang sudah pasti atau lengkap. Hal ini dikarenakan
gugatan PMH tidak didasari pada perikatan di antara para pihak, melainkan pada
ketentuan-ketentuan hukum yang hidup di dalam masyarakat.33 Selain itu, pihak
yang merasa dirugikan dalam sengketa PMH biasanya berada dalam keadaan
minim informasi mengenai pihak mana yang telah menyebabkan kerugian yang
ia derita, terlebih lagi dalam sengketa dengan multipihak di dalamnya. Maka dari

32 Misalnya dalam sengketa wanprestasi atas perjanjian kredit sindkasi antara PT. Mandira
Pelita Utama vs PT. Hastin International Bank, dkk., pihak PT. Mandira Pelita Utama yang
merasa dirugikan atas wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Hastin International Bank, dkk.
harus menyertakan seluruh pihak yang terikat pada perjanjian kredit sindikasi tersebut.
33 Dasar gugatan PMH, selain berdasarkan pada ketentuan hukum tertulis, dapat juga di
antaranya dilakukan berdasarkan pada nilai-nilai kepatutan, kehati-hatian, dan ketelitian
yang hidup di dalam masyarakat. Lihat dalam: Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum,
(Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003), hal. 4-8.

61
FAJRI FADHILLAH

itu, gugatan tanggung renteng pada sengketa PMH tidak mengharuskan seorang
Penggugat untuk tahu dengan pasti pihak mana saja yang telah menyebabkan
kerugian yang ia derita.

III. Perbandingan Tanggung Renteng dengan Joint and Several Liability

Gugatan tanggung renteng di dalam sistem hukum common law dikenal dengan
istilah joint and several liability. Applegate dan Laitos berpendapat, sebagaimana
dikutip oleh Wibisana, bahwa makna dari joint and several liability adalah, “the entire
burden can be shifted to any contributor to the harm, even one that has only a tiny role,
leaving to that party the task of seeking contribution from other defendants, if possible”.34
Berdasarkan makna tersebut, Wibisana berpendapat bahwa dalam joint and several
liability, Penggugat pada pokoknya meminta para Tergugat secara bersama-sama
membayar ganti rugi atas kerugian yang ia derita.35 Tergugat mana di antara para
Tergugat yang akan membayar kerugian yang diderita oleh Penggugat sepenuhnya
diserahkan kepada kesepakatan para Tergugat. Apakah ganti rugi tersebut akan
seluruhnya ditanggung oleh seorang Tergugat, atau akan dibagi rata berdasarkan
proporsi tertentu menjadi urusan para Tergugat.36 Dengan kata lain, Penggugat
tidak perlu membuktikan proporsi/kontribusi dari tiap Tergugat atas kerugian
yang diderita Penggugat.37

Perihal penerapan dari joint and several liability, ulasan dari The Law Commission
of New Zealand dapat dijadikan sebagai acuan. Menurut ulasan tersebut, aturan joint
and several liability berkaitan dengan dua isu utama, yakni:38 Pertama, karakteristik
dari kerugian. Apakah tindakan atau kelalaian dari para Tergugat menimbulkan
suatu kerugian yang tak dapat dipisahkan atau kerugian tersebut terpisah atau
dapat dipisahkan. Kedua karakteristik kerugian tersebut menentukan apakah joint

34 Andri Gunawan Wibisana, Pertanggungjawaban Perdata dan Pembuktian Dalam Hukum


Lingkungan Indonesia, (Makalah disampaikan dalam lokakarya kebakaran hutan dan lahan
Walhi, Oktober 2015), hal. 35.
35 Ibid.
36 Ibid.
37 Ibid.
38 Law Commission of New Zealand, “Review of Joint and Several Liability”, November 2012,
Wellington, New Zealand, Issues Paper 32, hal. 10.

62
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

and several liability dapat diterapkan atau tidak; kedua, perihal pembagian beban
pertanggungjawaban di antara para Tergugat.

Pada isu mengenai karakteristik kerugian, hanya ketika seluruh kerugian


yang diderita Penggugat memiliki karakter yang sama, atau tindakan dari masing-
masing Tergugat seluruhnya berkontribusi pada keseluruhan kerugian, maka joint
and several liability dapat diterapkan.39 Ketika kondisi tersebut terpenuhi dan salah
satu Tergugat tidak mampu melakukan ganti rugi, Tergugat lainnya akan secara
bersama-sama membayar keseluruhan ganti rugi.40

Lalu pada isu yang kedua, yakni perihal pembagian beban pertanggung-
jawaban, menurut hukum yang berlaku di New Zealand,41 pembagian beban
pertanggungjawaban bukanlah beban dari Penggugat.42 Jika seorang Penggugat
hanya menggugat terhadap satu Tergugat saja dan Tergugat tersebut berpendapat
bahwa terdapat pihak-pihak lainnya yang seharusnya bertanggung jawab juga,
Tergugat tersebut dapat mengikutsertakan para pihak-pihak yang dianggap ikut
bertanggung jawab ke dalam proses persidangan atau membuat klaim kontribusi
dari pihak-pihak lain secara terpisah setelah adanya putusan terhadap gugatan yang
disampaikan oleh Penggugat.43 Penggugat harus membuktikan bahwa Tergugat
yang dipilih untuk digugat merupakan penyebab terjadinya kerugian yang ia
derita, akan tetapi Penggugat tidak diwajibkan untuk menelusuri kontribusi atau
kesalahan masing-masing Tergugat dibandingkan dengan pihak-pihak lain yang
berpotensi menjadi Tergugat. Dengan kata lain, Penggugat dapat memilih untuk
menggugat hanya satu Tergugat saja dan menyerahkan pada Tergugat tersebut
untuk memutuskan apakah Tergugat akan mencari pihak lain yang berkontribusi
juga pada kerugian Penggugat.44

Aturan joint and several liability melindungi Penggugat dengan mengatur bahwa
masing-masing pihak yang telah menyebabkan terjadinya kerugian bertanggung

39 Ibid. hal. 11.


40 Ibid.
41 Perlu dicatat bahwa aturan perihal pembagian beban pertanggungjawaban yang dimaksud
dalam kalimat ini berlaku pada tahun 2012, ketika ulasan ini dilakukan oleh The Law
Commission of New Zealand.
42 Ibid.
43 Ibid.
44 Ibid.

63
FAJRI FADHILLAH

jawab untuk membayar secara penuh kerugian Penggugat.45 Jika Penggugat tidak
dapat mendapatkan ganti rugi dari satu Tergugat, Penggugat dapat memperoleh
ganti rugi secara penuh dari Tergugat lainnya. Prinsip dasar dari aturan ini adalah
pendekatan common law terhadap kausalitas, yakni: masing-masing Tergugat telah
menyebabkan terjadinya kerugian yang tak dapat dipisahkan yang diderita oleh
Penggugat, maka masing-masing Tergugat harus bertanggung jawab terhadap
kerugian tersebut. Dalam sistem hukum common law, pihak yang menderita
kerugian tidak seharusnya menanggung risiko tidak adanya Tergugat atau
ketidaksanggupan Tergugat untuk membayar ganti rugi. Sebaliknya, pengadilan
dalam sistem hukum common law mengalokasikan risiko tersebut kepada para
pihak yang dinilai telah menyebabkan kerugian pada Penggugat.46

3.1 Joint and Several Liability dalam Putusan Pengadilan di Amerika Serikat

Terdapat dua putusan pengadilan yang cukup terkenal di Amerika Serikat


yang menerapkan joint and several liability dalam perkara PMH. Dua perkara
tersebut adalah: 1). United States v. Chem-Dyne Corp; dan 2). O’Neil v. Picillo. Penulis
akan mengulas hal-hal penting berkaitan dengan joint and several liability di dalam
dua perkara tersebut.

a. United States v. Chem-Dyne Corp.

Perkara United States v. Chem-Dyne Corp merupakan perkara antara


Pemerintah Federal Amerika Serikat melawan sekelompok perusahaan yang
membuang limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) ke dalam fasilitas yang
dimiliki oleh Chem-Dyne Corp.47 Di dalam perkara tersebut, pemerintah federal
Amerika Serikat menggugat sekelompok perusahaan tersebut secara tanggung
renteng untuk membayar biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan pencemaran limbah B3.
Di sisi lain, para Tergugat di dalam perkara tersebut memohon kepada Majelis
Hakim untuk memutus bahwa para Tergugat tidak bertanggung jawab secara

45 Ibid.
46 Ibid.
47 Perkara ini diadili di United States District Court, Southern District of Ohio pada tahun 1983.
Lihat: Jeffrey G. Miller dan Craig N. Johnson, 2nd Edition, The Law of Hazardous Waste Disposal
and Remediation: Cases-Legislation-Regulation-Policies, (St. Paul: Thomson West, 2005), hal.
584.

64
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

tanggung renteng terhadap biaya pemulihan Chem-Dyne.48

Dalam perkara tersebut, Pemerintah Federal Amerika Serikat menegaskan


bahwa perumusan mengenai joint and several liability sudah cukup jelas
tergambar di dalam bahasa pengaturan Comprehensive Environmental Response,
Compensation, and Liability Act (CERCLA). Akan tetapi, Majelis Hakim Southern
District of Ohio menilai bahwa rumusan pasal mengenai ruang lingkup
pertanggungjawaban di dalam CERCLA bersifat ambigu.49 Dengan keadaan
tersebut, Majelis Hakim mencoba melihat maksud dari pembentuk CERCLA
dengan mengkaji ulang proses legislasi dari CERCLA.50

Berdasarkan hasil kaji ulang terhadap proses legislasi dari CERCLA,


Majelis Hakim mengidentifikasi alasan dihapuskannya terminologi strict liability
dan joint and several liability dalam CERCLA pada tanggal 24 November 1980.
Alasan penghapusan kedua terminologi tersebut di dalam CERCLA didalilkan
juga oleh Chem-Dyne Corp. melalui pernyataan Senator Helms, yakni:51

“Retention of joint and several liability in S. 1480 received intense


and well-deserved criticism from a number of sources, since it could
impose financial responsibility for massive costs and damages
awards on person who contributed only minimally (if at all) to
a release or injury. Joint and several liability for costs and damages
was especially pernicious in S. 1480, not only because of the exceedingly
broad categories of persons subject to liability and the wide array of
damages available, but also because it was coupled with an industry-
based fund. Those contributing to the fund will frequently be paying for
conditions they had no responsibility in creating or even contributing to.
To adopt a joint and several liability scheme on top of this would
have been grossly unfair.

The drafters of the Stafford Randolph substitute have recognized


this unfairness, and the lack of wisdom in eliminating any meaningful

48 Ibid.
49 Ibid.
50 Ibid.
51 Ibid., hal. 584 – 585.

65
FAJRI FADHILLAH

link between culpable conduct and financial responsibility. Consequently,


all references to joint and several liability in the bill have been
deleted...

It is very clear from the language of the Stafford Randolph substitute


itself, from the legislative history, and from the liability provisions of
section 311 of Federal Water Pollution Control Act, that now the Stafford
Randolph bill does not in and of itself create joint and several liability.”52
(penebalan berasal dari penulis)

Di sisi lain Majelis Hakim dalam perkara United States v. Chem-Dyne


Corp. juga mengutip pernyataan Senator Stafford Randolph yang menjelaskan
alasan di balik penghapusan terminologi joint and several liability. Pernyataan
Senator Stafford Randolph ini akan menunjukan bagaimana seharusnya joint
and several liability diterapkan dalam perkara-perkara dengan pihak Tergugat
yang jumlahnya lebih dari satu. Berikut ini pernyataan Senator Stafford
Randolph:53

“We have kept strict liability in the compromise, specifying the


standard of liability under section of 311 of the Clean Water Act, but we
have deleted any reference to joint and several liability, relying
on common law principles to determine when parties should be
severally liable… the changes were made in recognition of the
difficulty in prescribing in statutory terms liability standards
which will be applicable in individual cases. The changes do not
reflect a rejection of the standards in the earlier bill. It is intended
that issues of liability not resolved by this act, if any, shall be
governed by traditional and evolving principles of common
law. An example is joint and several liability. Any reference to
these terms has been deleted, and the liability of joint tortfeasors will be

52 Pandangan Senator Helms mengenai perumusan terminologi joint and several liability dalam
CERCLA bertentangan dengan panduan yang dibuat oleh Mahkamah Agung Amerika
Serikat. Senator Helms merupakan pihak yang menentang disusunnya CERCLA. Maka
dari itu, pernyataan Senator Helms ditujukan untuk memperkecil ruang penafsiran dari
CERCLA. Lihat: Ibid., hal. 585.
53 Ibid.

66
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

determined under common or previous statutory law.” 54 (penebalan


berasal dari penulis).

Berdasarkan paparan dari Senator Stafford Randolph tersebut, kita


dapat melihat bahwa dihapuskannya perihal scope of liability dan joint and
several liability dalam CERCLA dilakukan untuk menghindari adanya suatu
standar yang dapat diterapkan dalam semua situasi, yang mana dapat
menghasilkan putusan yang tidak adil dalam beberapa kasus tertentu.55 Akan
tetapi penghapusan tersebut tidak dimaksudkan sebagai penolakan terhadap
joint and several liability. Sebetulnya, terminologi joint and several liability
dihapuskan agar scope of liability dapat ditentukan dengan mengacu pada
prinsip-prinsip common law, di mana pengadilan akan menilai kelayakan
penerapan joint and several liability berdasarkan pada basis individual dari
sekian jumlah Tergugat.56

Pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa joint and several


liability diterapkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip common law juga
memunculkan dua isu lainnya. Isu yang pertama adalah menentukan state
common law atau federal common law yang seharusnya diterapkan dalam
perkara a quo. Isu yang kedua adalah menentukan apakah interpretasi lingkup
pertanggungjawaban dilakukan berdasarkan pada gabungan state law dari
beberapa Negara bagian atau berdasarkan pada “a federally created uniform law”.

Dalam menjawab isu pertama, Majelis Hakim mempertimbangkan


adanya Erie Doctrine. Erie Doctrine menyatakan bahwa federal court harus
menerapkan state substantive law dalam perkara-perkara yang melintasi
lebih dari satu jurisdiksi.57 Akan tetapi, Majelis Hakim berpendapat bahwa
state law tidak wajib diterapkan di dalam perkara United States v. Chem-Dyne
Corp. karena karakteristik perkara tersebut termasuk ke dalam makna dari

54 Senator Stafford Randolph merupakan pihak yang mendukung penyusunan CERCLA.


Majelis Hakim juga mengutip pernyataan dari Representatives Florio and Waxman yang
isinya serupa dengan pernyataan dari Senator Stafford Randolph. Lihat: Ibid.
55 Ibid., hal. 586.
56 Ibid.
57 Penjelasan lebih lanjut mengenai Erie Doctrine dapat dilihat di dalam: http://civilprocedure.
uslegal.com/choice-of-law/erie-doctrine/ (diakses pada 31 Juli 2016).

67
FAJRI FADHILLAH

“uniquely federal interest.58 Sebaliknya, karena adanya uniquely federal interest


dalam perkara a quo, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa perihal hak
dan pertanggungjawaban dari United States di dalam Pasal 107 CERCLA
ditentukan berdasarkan pada “federal rule of decision”.59

Isu yang kedua adalah menentukan apakah interpretasi lingkup


pertanggungjawaban dilakukan berdasarkan pada gabungan state law
dari beberapa Negara bagian atau berdasarkan pada “a federally created
uniform law”. Menurut Majelis Hakim, penentuan interpretasi lingkup
pertanggungjawaban merupakan kebijakan yudisial yang bergantung pada
bermacam-macam pertimbangan.60 Pertimbangan tersebut berkaitan dengan
esensi dari kepentingan-kepentingan spesifik suatu pemerintahan dan
bagaimana efeknya terhadap mereka yang menerapkan state law.61 Program-
program Pemerintah Federal Amerika Serikat yang pada esensinya harus
seragam dalam karakternya di seluruh Negara bagian di Amerika Serikat,
mengharuskan adanya perumusan “federal rules of decision”. CERCLA
merupakan contoh dari program Pemerintah Federal Amerika Serikat.
Standar pertanggungjawaban yang bervariasi di setiap forum Negara bagian
akan melemahkan kebijakan-kebijakan dalam CERCLA dengan mendorong

58 Erie Doctrine telah mengeliminasi kekuasaan federal courts untuk menciptakan federal general
common law. Akan tetapi kekuasaan untuk membuat federal specialized common law tetap
tidak tersentuh ketika kekuasaan tersebut diperlukan untuk melindungi “uniquely federal
interest”. Lihat dalam Jeffrey G. Miller dan Craig N. Johnson, op. cit., hal. 586.
59 Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi diterapkannya “federal rule of decision” dalam
perkara United States v. Chem-Dyne Corp. Pertama, pembuangan bahan-bahan beracun dan
berbahaya (B3) merupakan permasalahan nasional yang besar dan kompleks. Biasanya,
tempat buangan limbah yang tidak diperhatikan akan terdiri dari limbah yang dihasilkan
oleh bermacam-macam perusahaan dari Negara-negara bagian yang berbeda dalam suatu
area atau region. Terjadinya pencemaran pada tanah, air tanah, dan air permukaan sebagai
konsekuensi dari pembuangan limbah tersebut menghasilkan permasalahan lintas Negara
bagian. Kedua, alasan yang melatarbelakangi penyusunan CERCLA adalah pengakuan
bahwa respon terhadap permasalahan yang dapat meluas ini pada tingkatan Negara Bagian
dirasa masih tidak memadai. Terlebih lagi, dana Superfund yang digunakan untuk melakukan
pemulihan berasal dari “general revenues” dan “excise taxes”. Maka dari itu, tingkatan bagi
pemerintah federal Amerika Serikat untuk dapat melindungi kepentingan finansialnya
di dalam “trust fund” berhubungan secara langsung pada lingkup pertanggungjawaban
berdasarkan CERCLA dan tidak mungkin bergantung pada aturan hukum dari Negara
bagian. (penebalan berasal dari penulis). Lihat penjelasan ini dalam: Ibid.
60 Ibid., hal. 587.
61 Ibid

68
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

dilakukannya pembuangan limbah yang illegal di Negara bagian dengan


aturan hukum pertanggungjawaban yang lebih longgar. Maka dari itu,
interpretasi lingkup pertanggungjawaban ditentukan dengan didasarkan
pada “a federally created uniform law”.62

Setelah melihat pertimbangan Majelis Hakim bahwa federal common


law yang digunakan dalam memeriksa perkara United States v. Chem-Dyne
Corp., maka langkah terakhir yang diperlukan adalah melihat bagaimana
federal common law menginterpretasikan joint and several liability. Penelusuran
terhadap common law menunjukan bahwa ketika dua pihak atau lebih
melakukan perbuatan secara independen yang menyebabkan suatu kerugian
tunggal atau kerugian yang dapat dibedakan, yang mana terdapat dasar yang
wajar untuk melakukan pembagian berdasarkan kontribusi dari masing-
masing pihak, maka masing-masing pihak tersebut bertanggung jawab hanya
terhadap sebagian dari total kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya.63
Tetapi, ketika dua pihak atau lebih menyebabkan terjadinya kerugian tunggal
dan kerugian tersebut tidak dapat dibagi-bagi, masing-masing pihak tersebut
bertanggung jawab untuk keseluruhan kerugian.64 Lebih jauh lagi, ketika
perbuatan dua atau lebih pihak telah melanggar ketentuan di dalam Pasal 107
CERCLA, dan salah satu Tergugat atau lebih meminta adanya pembatasan
pertanggungjawaban dengan alasan bahwa keseluruhan kerugian dapat
dilakukan pembagian, beban pembuktian terhadap pembagian kerugian
tersebut ada pada masing-masing Tergugat.65

Pada akhirnya, upaya menentukan apakah para Tergugat dalam


perkara United States v. Chem-Dyne Corp. bertanggung jawab secara bersama-
sama (jointly) atau secara terpisah (severally) atas biaya pemulihan menjadi

62 CERCLA mengatur hak bagi Pemerintah Federal Amerika Serikat untuk melakukan
reimbursement atas biaya yang dikeluarkan untuk pemulihan suatu area yang tercemar.
Hak tersebut dibutuhkan untuk penanganan permasalahan pencemaran secara nasional
yang seragam. Maka dari itu, hak untuk memeroleh reimbursement tersebut sebaiknya tidak
dihadapkan dengan ketidakpastian aturan-aturan lokal dari Negara-negara bagian yang
variatif. Lihat dalam: Ibid.
63 Ibid.
64 Ibid.
65 Ibid.

69
FAJRI FADHILLAH

pembuktian faktual yang cukup kompleks.66 Chem-Dyne menampung


bermacam-macam limbah B3 yang berasal dari 289 penghasil atau pengangkut
limbah yang berat totalnya mencapai sekitar 608.000 pon. Beberapa limbah
B3 tersebut telah bercampur tetapi sumbernya masih tidak dapat dipastikan.
Fakta bahwa limbah B3 tersebut bercampur telah menaikkan isu mengenai
dapat atau tidaknya kerugian dipisah-pisahkan berdasarkan pihak yang
menyebabkan terjadinya kerugian tersebut.67 Lebih jauh lagi, perdebatan
juga terjadi mengenai limbah B3 mana yang telah mencemari air tanah, juga
mengenai tingkat migrasi limbah B3, serta bahaya pada kesehatan yang dapat
ditimbulkan dari limbah B3 tersebut.68 Selain itu, upaya memperkirakan resiko
yang terkandung dalam suatu limbah dengan mendasarkan pada volume
limbah yang dibuang oleh penghasil limbah bukanlah langkah yang tepat.
Hal ini dikarenakan potensi racun dan migrasi dari suatu limbah B3 tertentu
secara umum bervariasi dan tidak tergantung pada volume dari limbahnya.69

Karena adanya isu-isu fakta material mengenai dapat atau tidaknya


kerugian dipisahkan berdasarkan pihak yang menyebabkan kerugian
serta mengenai dapat atau tidaknya dilakukan pembagian beban
pertanggungjawaban, permohonan Tergugat (Che-Dyne Corp.) kepada Majelis
Hakim untuk diputuskannya “judgment as a matter of law”70 ditolak.71

b. O’Neil v. Picillo

O’Neill v Picillo merupakan perkara pencemaran limbah B3 yang terjadi di


Coventry, Rhode Island, Amerika Serikat. Pencemaran limbah B3 ini bermula
ketika Picillo sepakat untuk memperbolehkan sebagian dari peternakan babi

66 Ibid.
67 Ibid., hal. 588.
68 Ibid.
69 Ibid.
70 Judgment as a matter of law adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak dalam
perkara di pengadilan sebelum kasus diserahkan kepada Juri. Salah satu pihak tersebut
mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan yang
menguntungkan pihak tersebut dengan alasan tidak cukupnya bukti awal yang ditunjukan
oleh pihak lain kepada juri. Judgment as a matter of law dikenal juga dengan istilah directed
verdict. Lihat dalam: “Motion for Judgment as a Matter of Law”, https://www.law.cornell.
edu/wex/motion_for_judgment_as_a_matter_of_law, diakses pada 31 Juli 2016.
71 Jeffrey G. Miller dan Craig N. Johnson, loc. cit.

70
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

miliknya digunakan sebagai tempat pembuangan limbah B3 dalam jumlah


yang besar.72 Ribuan barel limbah B3 yang dibuang di dekat peternakan
Picillo pada akhirnya menimbulkan terjadinya kebakaran dikarenakan
penyimpanan limbah B3 yang ceroboh. Pada tahun 1979, The State of Rhode
Island dan Environmental Protection Agency (EPA) melaksanakan pemulihan
pencemaran limbah B3 di lokasi tersebut.73

The State of Rhode Island menggugat 35 perusahaan untuk membayar


biaya pemulihan yang sudah dikeluarkan di antara tahun 1979 sampai 1982
dan juga meminta 35 perusahaan tersebut bertanggung jawab untuk seluruh
biaya di masa depan yang dikeluarkan berkaitan dengan tempat tercemar
limbah B3 tersebut.74 30 perusahaan dari total 35 perusahaan tersebut
pada awal persidangan di pengadilan tingkat pertama bersepakat untuk
melakukan pembayaran sebesar $ 5.800.000 yang akan dibagikan kepada The
State of Rhode Island dan EPA.75 Pengadilan tingkat pertama pada akhirnya
memutuskan bahwa tiga dari lima perusahaan lainnya bertanggung jawab
secara tanggung renteng (joint and several liability) atas seluruh biaya pemulihan
terdahulu yang tidak tercakup di dalam kesepakatan pembayaran (oleh 30
perusahaan) serta turut bertanggung jawab juga untuk biaya pemulihan di
masa depan.76 Dua dari tiga perusahaan yang diputuskan bertanggung jawab
di pengadilan tingkat pertama, American Cyanamid dan Rohm and Haas,
melakukan banding terhadap putusan tersebut.77

American Cyanamid dan Rohm and Haas (para Pembanding)


mengajukan banding berdasarkan dua alasan. Pada alasan yang pertama, para
Pembanding menyatakan bahwa kontribusi keduanya terhadap pencemaran
tidak signifikan sehingga tidaklah adil untuk memutuskan kedua perusahaan

72 Ibid.
73 Berdasarkan keterangan di District Court (pengadilan tingkat pertama), The State of Rhode
Island dan EPA pada saat melakukan pemulihan pencemaran menemukan banyak parit dan
lubang berukuran besar. Parit dan lubang besar tersebut dipenuhi oleh “free-flowing, multi-
colored, pungent liquid wastes” dan ribuan “dented and corroded drums containing a veritable
potpourri of toxic fluids”. Lihat dalam: Ibid.
74 Ibid.
75 Ibid.
76 Ibid.
77 Ibid.

71
FAJRI FADHILLAH

tersebut bertanggung jawab secara tanggung renteng atas pengeluaran State


of Rhode Island yang tidak tercakup di dalam kesepakatan pembayaran oleh
30 perusahaan lainnya.78 Para Pembanding mendalilkan bahwa sebelum joint
and several liability dapat dijatuhkan, pihak Pemerintah memiliki beban untuk
membuktikan bahwa para pembanding merupakan penyebab “substansial”
terjadinya kerugian.79 Jika pemerintah tidak dapat membuktikan bahwa
para Pembanding merupakan kontributor “substansial”, maka joint and
several liability tidak dapat dijatuhkan dan beban para Pembanding untuk
membuktikan bahwa kerugian dapat dipisahkan menjadi hilang.80

Majelis Hakim di pengadilan tingkat banding menolak dalil para


Pembanding tersebut. Majelis Hakim menolak untuk menempatkan beban
kepada Pemerintah untuk membuktikan bahwa para Pembanding merupakan
kontributor “substansial” dalam gugatan joint and several liability.81 Majelis
Hakim mencermati bahwa beberapa putusan pengadilan juga telah menolak
menempatkan beban kepada pemerintah untuk membuktikan bahwa
para Tergugat merupakan kontributor “substansial” terjadinya kerugian.82
Beberapa putusan pengadilan tersebut menyadari pertimbangan Congress
yang menyatakan bahwa upaya pemulihan jangan sampai tersandera oleh
kewajiban yang memakan waktu lama dan juga hampir mustahil dilakukan,
yakni: menelusuri sumber seluruh limbah yang ditemukan di tempat
pembuangan limbah.83

Majelis Hakim pengadilan tingkat banding lalu kembali mendasarkan


pada aturan yang ada di dalam Restatement (Second) of Torts, yakni: kerugian
harus dibagi hanya jika para Tergugat dapat membuktikan bahwa kerugian
dapat dipisahkan.84 Aturan ini pun menjadi dasar bagi alasan banding para
Pembanding yang kedua, yakni: para Pembanding telah berhasil membuktikan

78 Ibid.
79 Para Tergugat mengacu pada Restatement (Second) of Torts 433B. Ibid., hal. 589.
80 Ibid.
81 Ibid.
82 Ibid., hal. 590.
83 Ibid.
84 Ibid., hal. 589.

72
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

bahwa kerugian dalam perkara ini dapat dipisahkan.85

Para Pembanding berpendapat, karena merupakan hal yang mungkin


untuk menentukan jumlah barel limbah yang mereka buang ke tempat
pembuangan, maka dimungkinkan pula untuk menentukan berapa proporsi
dari biaya pemulihan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dapat
dibebankan kepada para Pembanding.86 Penentuan proporsi tersebut bisa
dilakukan dengan cara memperkirakan besaran biaya pengangkatan satu
barel.87 Berdasarkan pada pemikiran tersebut, para Pembanding menjelaskan
bagaimana proporsi mereka terhadap terjadinya pencemaran.

Para Pembanding menyatakan bahwa upaya pemindahan barel yang


dilakukan pemerintah terdiri dari empat tahap, di mana masing-masing
tahap saling berkaitan dengan pemulihan pada parit-parit dengan lokasi yang
berbeda. Parit-parit tersebut terletak di area-area yang berbeda dengan tempat
pembuangan limbah, namun para Pembanding tidak menjelaskan jarak
antara parit-parit tersebut. Berdasarkan gambaran tersebut, para Pembanding
menegaskan bahwa biaya pemulihan yang dilakukan pemerintah dapat
dibagi karena adanya bukti yang menjelaskan:88 1). Total jumlah barel yang
diangkat di setiap tahapan; 2). Jumlah barel dalam masing-masing tahap
yang dapat dikaitkan dengan para Pembanding; dan 3). Total pengeluaran
biaya yang berkaitan dengan masing-masing tahapan. Lebih spesifik lagi,
masing-masing Pembanding memberikan penekanan pada pernyataan
Majelis Hakim di pengadilan tingkat pertama, yaitu:89 1). Majelis Hakim
menemukan bahwa American Cyanamid bertanggung jawab atas 10 barel
B3 yang ditemukan di tempat pembuangan; dan 2). Untuk Rohm and Haas,
Majelis Hakim setuju dengan estimasi pemerintah, yakni Rohm and Haas
berkontribusi sebanyak 49 barel dan 303 ember limbah. Para Pembanding
kemudian menambahkan bahwa 10 barel limbah milik American Cyanamid
tersebut ditemukan pada tahap ke-2 dan 49 barel dan 303 ember limbah milik

85 Ibid.
86 Ibid., hal. 590.
87 Ibid.
88 Ibid.
89 Ibid.

73
FAJRI FADHILLAH

Rohm and Haas ditemukan di tahap ke-3. Pada akhirnya, para Pembanding
menyimpulkan bahwa American Cyanamid seharusnya hanya bertanggung
jawab terhadap sebagian kecil $ 995.697,30 yang dikeluarkan pemerintah
untuk mengangkat sekitar 4.500 barel pada tahap ke-2.90 Sedangkan untuk
Rohm and Haas, para Pembanding menyimpulkan bahwa Rohm and Haas
seharusnya hanya bertanggung jawab untuk sebagian kecil $ 58.237 yang
dikeluarkan pemerintah dalam pengangkatan sekitar 3.300 barel pada tahap
ke-3.91

Majelis Hakim di pengadilan tingkat banding menolak pernyataan dari


para Pembanding tersebut. Majelis hakim di pengadilan tingkat banding
telah mencermati pernyataan Majelis Hakim di pengadilan tingkat pertama
mengenai jumlah limbah B3 yang dapat dikaitkan dengan masing-masing
Pembanding.92 Menurut Majelis Hakim pengadilan tingkat banding, Majelis
Hakim di pengadilan tingkat pertama tidak bermaksud untuk menyatakan
bahwa para Pembanding hanya berkontribusi sebanyak 49 barel (Rohm and
Haas) dan 10 barel (American Cyanamid).93 Akan tetapi hanyalah sejumlah
49 dan 10 barel limbah yang dapat secara meyakinkan dikaitkan kepada
para Pembanding.94 (penebalan berasal dari penulis)

John Leo memberikan kesaksian bahwa dari sekitar 10.000 barel yang
diangkat selama empat tahapan, hanya tiga ratus sampai empat ratus
barel yang memiliki tanda yang dapat ditelusuri asalnya.95 John Leo juga
memberikan kesaksian bahwa bukan hanya tidak adanya tanda yang dapat
dibaca yang menghalangi pemerintah untuk mengidentifikasi sumber

90 Ibid.
91 Ibid.
92 Pernyataan Majelis Hakim di pengadilan tingkat pertama mengenai jumlah limbah B3
yang dapat dikaitkan dengan para pembanding didasarkan pada kesaksian dari John
Leo, insinyur yang dipekerjakan oleh pemerintah untuk meninjau proses pelaksanaan
pemulihan. Lihat dalam Ibid.
93 Ibid.
94 Ibid.
95 Hal ini tidak mengejutkan mengingat di tempat pembuangan limbah B3 tersebut terjadi
kebakaran besar. Kebakaran tersebut menyebabkan barel berisi limbah cair tersebut bocor
sehingga limbah-limbah cair dari barel-barel yang berbeda bercampur dan musnah di luar
barelnya. Lihat: Ibid., hal. 591.

74
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

mayoritas besar barel tersebut, tetapi juga dikarenakan tingkat bahaya dalam
menangani barel-barel tersebut. Berdasarkan fakta bahwa sebagian besar
limbah tidak dapat diidentifikasi sumbernya, dan bahwa para Pembanding
yang memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan ketidakpastian
tersebut, Majelis Hakim pengadilan tingkat banding berpendapat bahwa
Majelis Hakim pengadilan tingkat pertama tidak melakukan kesalahan

dalam memutuskan bahwa para pembanding bertanggung jawab secara


tanggung renteng (joint and several liability).96 (penebalan berasal dari
penulis)

IV. Gugatan Tanggung Renteng Dalam Pencemaran Udara dari Karhutla

Setelah melalui pembahasan gugatan tanggung renteng baik di dalam sistem


hukum Indonesia dan perbandingannya dengan sistem hukum common law, pada
bagian ini penulis akan membahas perihal relevansi gugatan tanggung renteng
terhadap peristiwa pencemaran udara dari karhutla. Pembahasan pada bagian
ini akan meliputi para pihak yang bersengketa, kerugian, hubungan kausalitas,
dan aturan-aturan hukum yang dapat memudahkan gugatan tanggung renteng
terhadap pencemaran udara dari karhutla.

4.1 Para Pihak Dalam Sengketa Pencemaran Udara dari Karhutla

Seperti yang sudah dijelaskan di dalam bagian nomor 2 dan 3 dalam tulisan
ini, gugatan tanggung renteng dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan
akibat perbuatan sekelompok orang. Dalam kasus pencemaran udara dari karhutla,
masyarakat yang menderita kerugian karena pencemaran udara yang timbul dari
karhutla dapat menggugat sekelompok orang, dalam hal ini badan hukum, yang
dinilai telah menyebabkan terjadinya pencemaran udara tersebut. Misalnya di
Provinsi Sumatera Selatan, masyarakat Kota Palembang yang menderita kerugian
akibat pencemaran udara dari karhutla dapat menggugat secara tanggung renteng
perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri dan perkebunan sawit yang
konsesinya terbakar dan mengeluarkan asap pencemar udara.

96 Ibid.

75
FAJRI FADHILLAH

Penggugat tidak diharuskan mengetahui dengan pasti jumlah dan pihak atau
perusahaan mana saja yang telah menyebabkan terjadinya pencemaran udara
dari karhutla. Misalnya, Penggugat dapat menggugat secara tanggung renteng
hanya tiga perusahaan penyebab terjadinya pencemaran udara dari karhutla yang
merugikan penggugat. Tiga perusahaan tersebut dapat diminta untuk membayar
100% kerugian yang diderita oleh Penggugat. Perihal kemungkinan adanya pihak-
pihak lain yang sebenarnya berkontribusi juga terhadap kerugian Penggugat, hal

ini menjadi beban Tergugat untuk menarik pihak-pihak tersebut ke dalam proses
persidangan untuk ikut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Penggugat.

Gugatan tanggung renteng meringankan beban Penggugat untuk melakukan


upaya memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya dengan
memindahkan urusan pembagian pertanggungjawaban kepada para Tergugat. Hal
ini relevan dengan kasus pencemaran udara dari karhutla mengingat informasi
perihal pihak-pihak yang dianggap sebagai penyebab terjadinya pencemaran
udara dari karhutla seringkali sulit diperoleh terutama oleh korban yang menderita
kerugian.97

Selain itu, karakteristik kerugian akibat pencemaran udara dari karhutla yang
tidak dapat dibagi-bagi (indivisible) menjadi relevan untuk dilakukannya gugatan
tanggung renteng. Kerugian dari pencemaran udara pada kesehatan misalnya
tidak dapat dipisah-pisah atau dibagi-bagi kepada sekian pihak yang dinilai
sebagai penyebabnya. Mayoritas jenis kerugian kesehatan yang diderita akibat
pencemaran udara dari karhutla juga memiliki kesamaan, misalnya penyakit-
penyakit pada saluran pernafasan seperti ISPA. Oleh karena itu, gugatan secara
tanggung renteng oleh masyarakat98 yang menderita akibat pencemaran udara dari

97 Misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK) tidak


mempublikasikan informasi yang lengkap perihal nama-nama perusahaan yang lahannya
terbakar pada saat periode musim kemarau di Tahun 2015. Lihat dalam: “Pemerintah
Tak Akan Buka Nama Perusahaan yang Bakar Hutan”, http://nasional.kompas.com/
read/2015/10/26/13254171/Pemerintah.Tak.Akan.Buka.Nama.Perusahaan.yang.Bakar.
Hutan?utm_source=RD&utm_medium=inart&utm_campaign=khiprd, diakses tanggal
12 April 2016. Selain nama-nama perusahaan, untuk melakukan gugatan masyarakat
membutuhkan pula informasi-informasi lainnya seperti luas lahan perusahaan yang
terbakar, jenis lahan yang terbakar, dan tingkat pencemaran udara yang terjadi pada saat
asap timbul dari karhutla.
98 Adanya kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara
masyarakat yang menderita kerugian akibat pencemaran udara dari karhutla, maka

76
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

karhutla kepada sekelompok perusahaan yang dianggap sebagai penyebabnya


sangat mungkin untuk dilakukan.

4.2 Kerugian Akibat Pencemaran Udara dari Karhutla

Perihal kerugian akibat pencemaran udara dari karhutla, penulis berpendapat


bahwa terdapat beberapa jenis kerugian yang relevan untuk dimintakan ganti rugi
kepada para pihak yang dianggap sebagai penyebabnya. Beberapa jenis kerugian
tersebut misalnya:

• Kerugian biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pengobatan


terhadap penyakit-penyakit yang diderita akibat pencemaran udara dari
karhutla (contohnya ISPA);99 dan

• Kerugian tidak dapat dilaksanakannya kegiatan belajar mengajar karena


indeks pencemaran udara yang sudah mencapai tingkat bahaya.100

Kedua jenis kerugian ini dapat dibatasi ke dalam suatu rentang waktu,
misalnya dimulai pada saat indeks standar pencemar udara berada pada tingkat
bahaya sampai indeks standar pencemar udara kembali pada keadaan aman.
Selain itu, penghitungan kerugiannya juga bisa dibatasi pada kerugian akibat
pencemaran udara yang terjadi pada tahun 2015 saja. Menurut penulis, kedua jenis
kerugian ini dapat dijadikan sebagai bagian dari posita dan petitum dalam gugatan
tanggung renteng atas pencemaran udara dari karhutla.

4.3 Kausalitas

Kausalitas dalam gugatan tanggung renteng terhadap pencemaran udara dari


karhutla akan menjadi tantangan tersendiri bagi Penggugat. Menurut Smith dan
Shearman, sebagaimana dikutip oleh Elena, kausalitas telah dinilai sebagai ‘the

gugatan tanggung renteng ini bisa dilakukan melalui gugatan perwakilan kelompok (class
action). Hal ini serupa dengan kasus Mandalawangi atau kasus Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya
Bintan Abadi, dkk. dalam bagian nomor 2 tulisan ini.
�� ISPA merupakan salah satu contoh penyakit yang dominan diderita oleh masyarakat yang
terpapar asap dari karhutla. Lihat misalnya dalam: Pusdatin Kementerian Kesehatan RI, op.
cit., hal. 3 – 4.
100 Keputusan agar para siswa melakukan kegiatan belajar untuk sementara di rumah
terjadi juga karena pencemaran udara dari karhutla. Lihat misalnya dalam: “Sekolah
di Sumsel Masih Diliburkan Akibat Asap”, http://www.bbc.com/indonesia/berita_
indonesia/2015/09/150918_indonesia_asap, diakses tanggal 12 April 2016.

77
FAJRI FADHILLAH

greatest obstacle to the majority of plaintiffs’.101

Berkaitan dengan kausalitas, pandangan Smith dan Shearman terhadap


kausalitas dalam gugatan atas perubahan iklim menarik untuk ditelisik. Menurut
mereka, sebagaimana dikutip oleh Elena, terdapat dua isu utama berkaitan
dengan kausalitas. Pertama, pertanyaan perihal apakah persyaratan-persyaratan
hukum dan probabilitas dari kausalitas sudah layak atau cukup fleksibel untuk
mengakomodasi kompleksitas yang inheren di dalam ilmu pengetahuan mengenai
pemanasan global. Kedua, pertanyaan mengenai apakah bukti ilmiah yang ada
sudah cukup untuk membuktikan adanya kausalitas.102

Berkaitan dengan isu yang pertama, pandangan Wibisana mengenai kausalitas


dalam pertanggungjawaban mutlak (strict liability) bisa menjadi jawaban terhadap
isu tersebut. Menurut Wibisana, yang mengutip pendapat dari Vernon Palmer,
strict liability memiliki ciri khas yang berbeda dengan pertanggungjawaban
dengan kesalahan (negligence)103 dalam hal pembuktian kausalitas.104 Ciri khas yang
pertama adalah pembuktian kausalitas dari sisi penyebab faktual (cause in fact)
dalam strict liability dilakukan secara sederhana. Maksudnya adalah pengadilan
tidak perlu membuktikan kausalitas dengan pengujian yang bersifat hipotetis
(hypothetical atau counterfactual).105 Dengan kata lain, pembuktian penyebab faktual
dalam strict liability terfokus pada pertanyaan apakah kerugian Penggugat secara
faktual disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat.106

101 Elena Kosolapova, “Liability for Climate Change-Related Damage in Domestic Courts:
Claims for Compensation in the USA”, dalam Michael Faure and Marjan Peeters (eds),
Climate Change Liability, (Edward Elgar, Cheltenham UK: 2011), hal. 197.
102 Ibid., hal. 198.
103 Sebenarnya pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (fault-based liability) tidak hanya
dalam bentuk negligence, namun juga ada dalam bentuk intentional tort. Fault atau kesalahan
dalam intentional tort ditunjukan dengan kesengajaan pihak Tergugat untuk menghasilkan
kerugian pada Penggugat sedangkan fault pada negligence ditunjukan dengan pelanggaran
terhadap aturan kehati-hatian yang layak (reasonable care) yang hidup di dalam masyarakat.
Lihat dalam: Andri G. Wibisana, op. cit., hal. 9.
104 Ibid., hal. 31.
105 Pembuktian penyebab faktual dalam negligence biasanya dilakukan melalui pengujian
“but for”. Pengujian tersebut dilakukan dengan mengajukan pertanyaan hipotetis seperti:
apakah kerugian akan tetap terjadi seandainya Tergugat melakukan perbuatan yang
berbeda dengan perbuatan yang ia lakukan? Pengujian seperti ini dianggap counterfactual
karena pada kenyataannya Tergugat tidak melakukan perbuatan yang berbeda seperti yang
ada dalam pertanyaan hipotetis tersebut. Lihat: Ibid., hal. 32.
106 Ibid.

78
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Ciri khas yang kedua adalah perihal kausalitas dari sisi legal atau yang
biasa dikenal dengan istilah proximate cause.107 Dalam strict liability, pembuktian
proximate cause tidak berada pada ranah pembuktian kausalitas lagi akan tetapi
berpindah pada pembuktian dalam konteks abnormally dangerous test. Jadi
pembuktian proximate cause dilakukan untuk menentukan apakah strict liability
dapat diterapkan atau tidak berdasarkan karakteristik abnormally dangerous dari
usaha dan/atau kegiatan Tergugat.108

Proximate cause juga biasanya berkaitan dengan pengujian ada atau tidaknya
intervening cause (penyebab lain yang mengintervensi) atau superseding cause
(penyebab eksternal yang dianggap lebih mempengaruhi terjadinya kerugian
dibandingkan dengan kegiatan Tergugat). Dalam strict liability, intervening cause
atau superseding cause dikanalisasi menjadi persoalan pembelaan (defense) bagi
Tergugat dan bukan lagi menjadi beban pembuktian kausalitas oleh Penggugat.109
Satu hal lagi yang berkaitan dengan proximate cause adalah perihal foreseeability dari
resiko usaha dan/atau kegiatan dari Tergugat.110 Menurut MacAyeal, sebagaimana
dikutip oleh Wibisana, dalam strict liability unsur foreseeability dari resiko usaha
dan/atau kegiatan Tergugat bersifat objektif.111 Dengan kata lain, ukuran untuk

107 Proximate cause merupakan bentuk kausalitas yang melengkapi kausalitas dalam bentuk
cause in fact atau penyebab faktual. Dikatakan melengkapi karena pembuktian adanya
kausalitas dalam bentuk penyebab faktual saja masih belum cukup untuk membuat
seseorang dinyatakan bertanggung jawab atas suatu kerugian tertentu. Setelah membuktikan
adanya penyebab faktual, Penggugat masih harus membuktikan adanya proximate cause
atau disebut juga legal cause. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai proximate cause jika
perbuatan tersebut merupakan sebab yang cukup “dekat” dengan kerugian Penggugat.
Lihat: Ibid., hal. 29. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan dalam membuktikan adanya
proximate cause, yakni dari sisi ada atau tidaknya intervening dan superseding causes serta
dari sisi foreseeability terjadinya kerugian. Dua pendekatan proximate cause ini akan dibahas
dalam paragraf berikutnya.
108 Ibid. Biasanya ruang lingkup pertanggungjawaban dalam strict liability yang merupakan
bagian dari proximate cause sudah ditentukan oleh undang-undang. UU PPLH misalnya
menentukan bahwa ruang lingkup pertanggungjawaban dalam strict liability meliputi
tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup. Lihat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 88.
109 Ibid., hal. 33.
110 Syarat foreseeability dalam proximate cause merupakan sebuah syarat bahwa kerugian yang
terjadi merupakan hal yang sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Lihat: Ibid.
��� Ibid.

79
FAJRI FADHILLAH

menentukan foreseeability dalam strict liability adalah pandangan secara umum/


luas terhadap risiko dari sebuah kegiatan tertentu.112

Maksud dari pemaparan di atas adalah untuk menunjukan bahwa tantangan


pembuktian kausalitas dalam gugatan tanggung renteng terhadap pencemaran
udara dari karhutla dapat dijawab dengan menggunakan dasar gugatan strict
liability. Penulis memperkirakan bahwa tantangan dalam gugatan tanggung
renteng terhadap pencemaran udara dari karhutla terletak salah satunya dari sisi
pembuktian intervening cause atau superseding cause. Salah satu karakteristik dalam
gugatan pencemaran lingkungan adalah adanya pencemar-pencemar lain di luar
kontribusi pencemaran yang dilakukan oleh Tergugat. Zat-zat pencemar dari pihak
di luar Tergugat bercampur di udara dengan zat-zat pencemar yang dikeluarkan
oleh Tergugat.113 Karakteristik ini lah yang bisa menjadi intervening cause dalam hal
pencemaran udara dari karhutla.

Akan tetapi, dengan dasar gugatan strict liability, pembuktikan ada atau
tidaknya pihak lain yang lebih berperan terhadap kerugian akibat pencemaran
udara yang diderita Penggugat kini tidak lagi menjadi beban pembuktian bagi
Penggugat. Dalam strict liability, perihal intervening cause tersebut menjadi bagian
pembelaan Tergugat. Tergugat lah yang harus membuktikan bahwa terdapat
sebab atau pihak lain yang lebih berperan terhadap terjadinya kerugian akibat
pencemaran udara yang diderita oleh Penggugat.

Selain itu, Penggugat mungkin akan dihadapkan dengan minimnya


kepastian ilmiah dalam membuktikan hubungan kausalitas antara pencemaran
udara dari karhutla dengan kerugian yang diderita oleh Penggugat. Minimnya
kepastian ilmiah ini misalnya dalam membuktikan bahwa dampak pencemaran
udara yang diderita Penggugat memang disebabkan oleh asap yang timbul dari
karhutla dalam konsesi sekelompok Tergugat. Selain itu, Penggugat juga mungkin
mengalami kesulitan dalam menunjukan bukti-bukti bahwa asap yang dihasilkan
akibat dari karhutla di dalam konsesi Tergugat merupakan kontributor terbesar
terhadap kerugian yang dialami Penggugat dibandingkan dengan pencemaran
udara dari sumber-sumber lainnya.

112 Ibid., hal. 34.


113 Kontribusi zat-zat pencemar udara di luar karhutla misalnya berasal dari alat transportasi
atau berasal dari kegiatan yang mengeluarkan emisi sejenis dengan karhutla.

80
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Penerapan asas kehati-hatian dapat menjadi jawaban bagi persoalan ini.


Menurut Elena, apabila pengadilan berkehendak untuk menerapkan asas kehati-
hatian dalam sengketa perubahan iklim, maka minimnya kepastian ilmiah
seharusnya tidak memutuskan hubungan kausalitas di dalam sengketa tersebut.114
Maka dalil penerapan asas kehati-hatian dalam gugatan tanggung renteng terhadap
pencemaran udara dari karhutla bisa membantu Penggugat dalam pembuktian
kausalitas.

V. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dalam tulisan ini, dapat dilihat bahwa masyarakat


dapat melakukan gugatan untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian yang diderita
akibat pencemaran udara dari karhutla. Gugatan tanggung renteng menjadi bentuk
gugatan yang relevan mengingat kerugian yang terjadi diakibatkan oleh lebih dari
satu pihak. Gugatan tanggung renteng memberikan jalan bagi penggugat untuk
menggugat beberapa perusahaan saja untuk membayar keseluruhan kerugian
yang diderita. Pembelaan kurangnya pihak dalam gugatan tanggung renteng
menjadi tidak relevan mengingat kemungkinan minimnya informasi yang dimiliki
Penggugat mengenai pihak mana saja yang menyebabkan terjadinya kerugian.
Penarikan pihak-pihak lain yang dinilai ikut berkontribusi terhadap kerugian
yang diderita oleh Penggugat menjadi beban dari Tergugat.

Tulisan ini juga memperlihatkan bahwa sudah ada praktik-praktik gugatan


tanggung renteng terhadap perbuatan melawan hukum di bidang lingkungan
hidup seperti kasus Mandalawangi dan Aswardi, dkk. melawan PT. Cahaya
Bintan Abadi, dkk. Gugatan tanggung renteng juga berlaku di dalam sistem
hukum common law dengan istilah joint and several liability. Putusan pengadilan
dalam erkara United States v. Chem Dyne Corp. dan O’Neil v. Picillo menjadi contoh
putusan di mana dalil joint and several liability diterima di dalam sistem hukum
common law.

114 Elana Kosolapova, op. cit., hal. 199. Elena memberikan beberapa contoh penerapan asas
kehati-hatian seperti dalam kasus Gray v Minister for Planning and Ors (2006) NSWELC
720; Walker v Minister for Planning (2007) NSWLEC 741; dan Gippsland Coastal board v South
Gippsland SC & Ors (2008) VCAT 1545.

81
FAJRI FADHILLAH

Adanya peluang gugatan tanggung renteng terhadap pencemaran udara dari


karhutla diiringi juga dengan adanya tantangan dalam hal pembuktian kausalitas.
Tantangan tersebut misalnya ketika zat-zat pencemar dari sumber di luar karhutla
bercampur dengan zat-zat pencemar yang bersumber dari karhutla. Keadaan
tersebut bisa menjadi intervening cause yang pada akhirnya melemahkan pembuktian
kausalitas oleh Penggugat. Namun kombinasi gugatan tanggung renteng dengan
strict liability dapat membantu Penggugat dalam pembuktian kausalitas karena
beban adanya intervening cause tersebut berpindah kepada Tergugat dalam bentuk
pembelaan (defense). Di sisi lain, penerapan asas kehati-hatian dalam gugatan
ini juga dapat membantu ketika Penggugat diliputi minimnya kepastian ilmiah
dalam membuktikan hubungan kausalitas antara kerugian yang diderita dengan
pencemaran udara yang berasal dari kegiatan Tergugat.

Pada akhirnya peluang-peluang yang disampaikan dalam tulisan ini menjadi


strategis untuk dilakukan agar terjadi perubahan keadaan bagi masyarakat yang
menderita kerugian akibat pencemaran udara dari karhutla. Perubahan keadaan
tersebut adalah perubahan dari keadaan tidak adanya pertanggungjawaban dari
para pencemar (no liability) menuju dilaksanakannya pertanggungjawaban dari
pencemar atas kerugian yang diderita oleh masyarakat.

82
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Rosa. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Pascasarjana FHUI. Jakarta.


bbc.com, “Asap Kebakaran Hutan Sampai Jakarta”, http://www.bbc.com/
indonesia/berita_indonesia/2015/10/151024_indonesia_jakarta_kabutasap,
diakses pada tanggal 21 Juni 2016.

bbc.com. “Sekolah di Sumsel Masih Diliburkan Akibat Asap”, http://www.bbc.


com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150918_indonesia_asap, diakses
tanggal 12 April 2016.Kompas. “Longsor Paling Mematikan”. 19 Desember
2015.

Eyes on the Forest. 2015. “Terlibat Kejahatan Kemanusiaan, Para Pelaku Layak
Diseret ke Pengadilan”, http://eyesontheforest.or.id/attach/Laporan%20
Ringkas%20EoF%20(Dec2015)%20Pembakaran%20hutan%20lahan%20
di%2037%20lokasi%20Riau%20FINAL2.pdf, diakses tanggal 21 Maret 2016.

Gegana, Giska Matahari. 2011. “Penerapan Prinsip Tanggung Renteng Dalam Hal
Kreditur Melakukan Wanprestasi Terhadap Perjanjian Kredit Sindikasi”.
Skripsi FHUI. Depok.

Indonesia. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).

kompas.com. “Pemerintah Tak Akan Buka Nama Perusahaan yang Bakar Hutan”,
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/26/13254171/Pemerintah.Tak.
Akan.Buka.Nama.Perusahaan.yang.Bakar.Hutan?utm_source=RD&utm_
medium=inart&utm_campaign=khiprd, diakses tanggal 12 April 2016.

Kosolapova, Elena. 2011. “Liability for Climate Change-Related Damage in


Domestic Courts: Claims for Compensation in the USA”, dalam Michael
Faure and Marjan Peeters. (eds). Climate Change Liability. Cheltenham UK:
Edward Elgar.

Law Commission of New Zealand. 2012. “Review of Joint and Several Liability”.
Wellington: Issues Paper 32.

83
FAJRI FADHILLAH

Legal Information Institute. “Motion For Judgment As A Matter Of Law”. https://


www.law.cornell.edu/wex/motion_for_judgment_as_a_matter_of_law.
Cornell University Law School. (diakses pada 31 Juli 2016).

Miller, Jeffrey G. dan Craig N. Johnson. 2005. (2nd Edition). The Law of Hazardous
Waste Disposal and Remediation: Cases-Legislation-Regulation-Policies. St. Paul:
Thomson West.

mongabay.co.id. “Kasasi Ditolak, Kalista Alam Harus Bayar Rp 366 Miliar, Menteri
Siti: Penuhi Rasa Keadilan”, http://www.mongabay.co.id/2015/09/13/
kasasi-ditolak-kalista-alam-harus-bayar-rp366-miliar-menteri-siti-penuhi-
rasa-keadilan/, diakses tanggal 24 Maret 2016.

Pengadilan Negeri Bandung. Dedi, dkk. vs PT. Perhutani, dkk. Putusan PN


Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG.

Pengadilan Negeri Meulaboh. Menteri LHK vs PT. Kallista Alam. Putusan PN


Meulaboh No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO.

Pengadilan Negeri Tanjung Pinang. Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya Bintan Abadi,
dkk. Putusan PN Tanjung Pinang No. 26/PDT.G/2009/PN.TPI.

Pusdatin Kementerian Kesehatan RI. 2015. “Masalah Kesehatan Akibat Kabut


Asap Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2015”, http://www.depkes.go.id/
resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-asap.pdf, diakses
tanggal 16 Maret 2016.

republika.co.id. “Ratusan Perusahaan Diduga Terlibat Pembakaran Hutan”, http://


nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/22/o1cgje361-
ratusan-perusahaan-diduga-terlibat-pembakaran-hutan, diakses tanggal 21
Maret 2016.

Santosa, Mas Achmad. 1998. “Teori Pertanggungjawaban Pencemaran (Liability


Theories)” dalam Sulaiman N. Sembiring. (ed.). Hukum dan Advokasi
Lingkungan. ICEL.

Uslegal.com. “Erie Doctrine”. http://civilprocedure.uslegal.com/choice-of-law/


erie-doctrine/ (diakses pada 31 Juli 2016).

84
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Wibisana, Andri Gunawan. “Menggugat Kebakaran Hutan”. Kompas. Rabu 7


Oktober 2015.

Wibisana, Andri Gunawan. “Pertanggungjawaban Perdata dan Pembuktian Dalam


Hukum Lingkungan Indonesia”. Makalah disampaikan dalam lokakarya
kebakaran hutan dan lahan oleh Walhi. Jakarta, Indonesia: Eksekutif Nasional
Walhi, Oktober 2015.

85
86
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

M engatasi K abut A sap M elalui M ekanisme


C itizen L awsuit

Oleh: Mulyani Zulaeha1

Abstrak

Permasalahan kabut asap akibat terbakarnya hutan dan lahan di Indonesia


merupakan kejadian berulang setiap tahun. Dampak kabut asap tidak saja dialami
oleh masyarakat sekitar, namun juga berdampak ke wilayah lain di Indonesia
bahkan menjadi kado tahunan bagi beberapa negara tetangga Indonesia. Kerugian
yang diderita tidak saja bersifat materiil bahkan sampai merenggut nyawa.
Dengan metode yuridis normatif, dapat dijelaskan persoalan kabut asap yang
mengakibatkan warga negara tidak mendapatkan haknya atas lingkungan udara
yang baik dan sehat dapat di jadikan sebagai dasar mengajukan gugatan citizen
lawsuit. Gugatan dilakukan agar penyelenggara negara mengeluarkan suatu
kebijakan yang bersifat umum agar kelalaian atau kegagalan dalam pemenuhan
hak warga negara tersebut di masa mendatang tidak terjadi lagi. Potensi mengatasi
kabut asap melalui mekanisme citizen lawsuit yaitu pemerintah akan mengeluarkan
suatu aturan yang lebih tegas agar kejadian kabut asap tidak lagi terulang.

Kata Kunci : Kabut asap, Citizen Lawsuit, kebakaran hutan dan lahan

Abstract

Problem of smoke fog effect of burnt of farm in Indonesia represent recurring occurance
every year. Fog smoke impact is not even experienced of by society about, but also effect to

1 ��������������������������������������������������������������������������������
Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarma-
sin, Bidang Kekhususan Hukum Acara.

87
MULYANI ZULAEHA

other region in Indonesia even become annual souvenir to some Indonesia neighbouring
state. Suffered loss not even the character of material even snatch soul. With method can
be explained by problem of smoke fog resulting citizen do not get its rightsof healthy and
good air environment earm in making as suing base of citizen lawsuit. Suing conducted
government body to release an policy arranging failure to or negligence in accomplishment
of the citizen rights in period to come do not happened again. Potency overcome smoke fog
through mechanism of citizen law suit that is government will release an more coherent
order so that occurance of smoke fog shall no logger recurred.

Keywords : forest haze, Citizen Lawsuit, forest and land fires

I. Pendahuluan

Udara sebagai media lingkungan merupakan kebutuhan dasar manusia,


tanpa udara tidak akan dapat hidup. Lingkungan udara memiliki fungsi yang
sangat vital bagi kehidupan manusia, menjaga keberlangsungan fungsinya adalah
mutlak menjadi tanggung jawab bersama. Udara yang bersih akan menciptakan
kondisi lingkungan yang sehat dan bersih, ditandai dengan kualitas udara yang
bebas dari pencemaran udara.2 Pencemaran udara menurut Pasal 1 angka 1
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke
dalam udara ambient oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai
ketingkat tertentu yang menyebabkan udara ambient tidak dapat memenuhi
fungsinya. Menurut Pasal 1 angka 14, pencemaran lingkungan hidup adalah
masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain
ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Kabut asap merupakan salah satu bentuk pencemaran udara yang terjadi
sebagai imbas dari adanya kebakaran hutan atau lahan, baik yang dilakukan atas
dasar kesengajaan atau terjadi karena faktor alam. Faktor kesengajaan melakukan

2 Pencemaran udara diartikan sebagai keadaan atmosfir, dimana satu atau lebih bahan-bahan
polusi yang jumlah dan konsentrasinya dapat membahayakan kesehatan makhluk hidup,
merusak properti, mengurangi kenyamanan di udara. Lihat Hadin Muhjad. 2015. Hukum
Lingkungan : Sebuah Pengantar Untuk Konteks Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing. hlm
127.

88
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

pembakaran hutan /lahan lebih dominan menjadi pemicu terjadinya kabut


asap. Udara yang kita hirup tidak dapat disekat-sekat. Terjadinya pencemaran
udara di suatu wilayah akan dirasakan pula dampaknya di wilayah lain, bahkan
dalam radius puluhan dan ratusan kilometer. Hal ini terjadi karena persoalan
lingkungan merupakan satu kesatuan ekosistem yang memiliki keterkaitan satu
sama lain tanpa mengenal batas wilayah. Kebakaran hutan dan lahan tahun 2015
di Sumatera dan Kalimantan, dampak kabut asapnya dihirup oleh masyarakat di
beberapa provinsi lain bahkan sampai ke luar Indonesia.Menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2015 sebaran kabut asap yang berasal
dari Sumatera dan Kalimantan menyebabkan puluhan ribu jiwa terpapar asap
mengakibatkan meningkatnya jumlah penderita Inveksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA),3 serta berdampak pula pada kualitas udara di beberapa negara tetangga
seperti Malaysia, Singapura, dan yang terburuk terjadi di Thailand.4

Luas area kebakaran hutandan lahan tahun 2015 setara dengan 32 kali wilayah
provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali atau seluas 2.089.911 hektare5, Total
kerugian negara akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 diperkirakan lebih
dari Rp. 20 triliun,6 angka ini jauh melebihi kerugian negara dalam kasus korupsi

3 Jumlah korban ISPA akibat asap yang terdata di Rumah Sakit dan Puskesmas adalah 503.874
jiwa di 6 provinsi sejak 1 juli-23 oktober 2015, dengan perincian 80.263 di Riau, 129.229 di
Jambi, 101.333 di Sumatera Selatan, 43.477 di Kalimantan Barat, 52 142 di Kalimantan Ten-
gah dan 97.430 di Kalimantan Selatan. Lihat 10 Tewas, 503 Ribu Jiwa ISPA, dan 43 Juta Jiwa
Terpapar Asap, BNPB.go.id, tanggal 24 Oktober 2015, diakses tanggal 24 Maret 2016.
4 Asap Kebakaran Hutan Sampai Jakarta, www.bbc.com>Indonesia>2015. tanggal 24 Oktober
2015. Diakses tanggal 10 Pebruari 2016.
5 Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), Lihat BNPB : Kebakaran Hutan 2015 Seluas 32 Wilayah DKI, CNN Indonesia.
com, tanggal 31 Oktober 2015, diakses tanggal 24 Maret 2016. Menurut Lembaga Pener-
bangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dengan menggunakan data terra modis didukung
densitas hotspot satelit Terra&Aqua dan Satelit SNPP dengan sensor modis, merilis luas
lahan terbakar 1 Juli-20 Oktober 2015,luas area terbakar terdiri dari Sumatera 832.99 hektare
(267.974 hektar gambut, 565.025 non gambut), Kalimantan 806.817 hektare (319.386 hektare
gambut, 478.431 non gambut), Papua 353.191 hektare (31.214 hektare gambut, 321.977 hek-
tare non gambut), lahan terbakar non gambut di Sulawesi 30.162 hektare, Jawa 18.768 hek-
tare dan Maluku 17.063 hektare. Lihat Tiga Bulan, Hutan dan Lahan Terbakar Setara 4 kali Luas
Bali.Mongabay.com Situs Berita Informasi Lingkungan, tanggal 31 Oktober 2015, di akses
tanggal 24 Maret 2016.
6 BNPB :Kebakaran Hutan…..Ibid.

89
MULYANI ZULAEHA

dan suap.7 Besarnya total kerugian negara akibat kebakaran hutan dan lahan perlu
mendapatkan perhatian serius.

Lingkungan (udara) yang baik dan sehat adalah hak asasi warga negara,
negara bertanggung jawab atas pemenuhan hak asasi warga negara ini. Negara
harus dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia, terutama hak untuk
mendapatkan udara yang baik dan sehat. Bentuk pemenuhan atas perlindungan
hak warga negara untuk mendapatkan lingkungan udara yang baik dan sehat dapat
berupa perlindungan yang bersifat preventif yaitu pencegahan agar tidak terjadi,
maupun berupa perlindungan yang bersifat refresif. Meskipun berbagai peraturan
dan upaya telah dilakukan oleh pemerintah terkait kebakaran hutan dan lahan
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananyang telah
diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, namun belum
cukup efektif mengatasi tidak terulangnya kejadian kabut asap akibat kebakaran
hutandanlahan. Sehingga setiap tahun masyarakat Indonesia selalu menerima
menu tahunan berupa kabut asap.

Penyelesaian sengketa atas lingkungan hidup yang buruk sebagai akibat


pencemaran atau kerusakan lingkungan telah diatur dalam undang-undang
yang dapat dilakukan dengan jalur pengadilan maupun di luar pengadilan. Jalur
pengadilan yang dapat ditempuh baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat.
Upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan pemenuhan
hak atas udara yang baik dan sehat secara perdata adalah dengan mengajukan
gugatan. Gugatan dapat diajukan dalam bentuk gugatan perwakilan kelompok
(class action), hak gugat organisasi (legal standing), dan gugatan warga negara
(citizen lawsuit/action popularis).

7 Data Indonesia Corruption Watch (ICW) Komisi Pemberantasan Korupsi rata-rata menyidik
15 kasus korupsi selama periode 2010-2014, kerugian Negara kurun waktu itu Rp 1,1 triliun,
dan selama semester 1 tahun 2015 KPK menyidik kasus korupsi dengan kerugian Negara
Rp. 106,4 miliar. Ibid.

90
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Diantara ketiga gugatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat maka gugatan
warga negara (citizen lawsuit/action popularis) merupakan mekanisme yang relatif
baru dikenal di Indonesia. Gugatan citizen lawsuit bukan gugatan yang berujung
pada tuntutan ganti kerugian, melainkan tuntutan berupa dikeluarkannya kebijakan
bersifat umum oleh pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, maka menarik untuk
dilakukan suatu pembahasan tentang upaya warga negara untuk mendapatkan
hak atas lingkungan udara yang baik dan sehat melalui mekanisme citizen lawsuit
dan bagaimana potensi mekanisme citizen lawsuit dalam menyelesaikan kabut asap
agar tidak terulang. Analisis untuk membahas persoalan ini dilakukan dengan
metode yuridis normatif melalui pendekatan undang-undang8 dan pendekatan
konsep.9

II. Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Lingkungan (Udara)


yang Baik dan Sehat

Keberadaan hak asasi manusia membawa pengaruh positif dalam berbagai


bidang kehidupan, Pemerintah berupaya melaksanakan pembangunan dengan
berorientasi pada pendekatan hak asasi manusia, agar segala perubahan yang
ada tidak merugikan hak-hak yang dimiliki oleh warga negaranya. Dengan kata
lain, pendekatan berbasis hak asasi diyakini akan membawa proses pembangunan
kearah perubahan yang lebih efektif, lebih berkelanjutan, lebih rasional dan
lebih sungguh-sungguh karena akan meningkatkan partisipasi, kontribusi dan
akuntabilitas, dengan mengidentifikasi secara spesifik tugas dan tanggung jawab
negara sebagai pemangku kewajiban hak asasi atas pembangunan.10

Penyelenggara Negara Republik Indonesia adalah pengemban amanat


Pembukaan UUD 1945, yakni untuk melindungi, memajukan, menegakkan
dan menjamin pemenuhan hak asasi setiap warga Negara Republik Indonesia.

8 Pendekatan undang-undang yaitu dilakukan dengan menelah semua undang-undang dan


regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani
9 Pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum yang bersumber
dari pendapat para ahli maupun teori.
10 Muhammad Syafari Firdaus (et.all).2007. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah
Panduan. Jakarta : Komisi Nasional HAM Bekerjasama dengan Australian Government
(AusAID). hlm. 3.

91
MULYANI ZULAEHA

Sebagaimana dipertegas dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu Pasal 28 I ayat
(4) UUD 1945, “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah”. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 8, “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi
tanggung jawab Pemerintah”.

Lingkungan terdapat dua komponen penting yaitu komponen biotik dan


abiotik. Udara merupakan salah satu komponen abiotik yang bermanfaat bagi
kelangsungan hidup makhluk hidup.Manusia dan lingkungan hidup memang
tidak dapat dipisahkan, diperlukan keselarasan hubungan antara manusia dan
lingkungan hidup, baik lingkungan hidup fisik maupun lingkungan sosial
budaya.11 Keselarasan antara pemanfaatan lingkungan hidup oleh manusia dengan
pengelolaan lingkungan hidup merupakan keniscayaan karena lingkungan hidup
yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap
warga negara Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (1), menyebutkan “setiap
orang orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan”. Selanjutnya ketentuan tersebut diimplementasikan dalam
Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan “setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”,
demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal
3 menyebutkan “ masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang lebih baik dan
sehat”. Makna dari ketentuan ini adalah negara memberikan jaminan terhadap
hak atas lingkungan hidup yang baik sehat sebagai hak konstitusional bagi setiap
warga negara Indonesia agar setiap orang terhindar dari pencemaran yang dapat
membahayakan kesehatan masyarakat. Termasuk hak untuk mendapatkan udara
yang baik dan sehat.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi juga
dimuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang

11 Koesnadi Hardjasoemantri. 1983. Hukum Tata Lingkungan. Cetakan ke-1, Yogyakarta : Gad-
jah Mada University Press. hlm 42.

92
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu “Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup
yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga
Negara Indonesia. Oleh karena itu, Negara, pemerintah dan seluruh pemangku
kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar
lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup
bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain”.

Indonesia sebagai negara hukum modern yang demokratis, menjamin setiap


warga negaranya memiliki hak yang sama di hadapan hukum, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Rasionalisasi dari jaminan ini
menurut Jean Jacques Rousseau adalah bahwa warga negara merupakan pihak
yang tidak terpisahkan dengan negara, karena negara disusun berdasarkan kontrak
sosial antara warga negara/yang diperintah dengan penyelenggara negara/
yang memerintah.12 Sebagai aplikasinya rakyat berhak mengingatkan pemimpin
negaranya apabila melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian terhadap
kepentingan umum.

III. Landasan Yuridis Citizen Lawsuit di Indonesia

Hak gugat warga negara atas kepentingan umum berangkat dari kesadaran
untuk mengawal perlindungan hak asasi manusia.13Citizen lawsuit adalah
mekanisme gugatan sebagai perwujudan akses individual/orang perorangan
warga negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan
umum menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam
memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan
melawan hukum dalam memenuhi hak warga negara, sehingga citizen lawsuit
diajukan dalam lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara perdata.

12 Jean Jacques Rousseau dalam Isrok dan Rizki Emil Birham. 2010. Citizen Lawsuit : Pen-
egakan Hukum Alternatif Bagi Warga Negara. Malang : UB Press. hlm 2.
13 Ibid, hlm 4.

93
MULYANI ZULAEHA

Secara umum citizen lawsuit adalah akses orang perorangan warga negara
untuk kepentingan publik mengajukan gugatan di pengadilan yang dimaksudkan
untuk melindungi warga negara sebagai akibat dari tindakan pembiaran (omisi)
yang dilakukan negara terhadap hak-hak warga negara,14 agar pemerintah
atau negara melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya untuk
memulihkan kerugian publik yang terjadi.15

Bentuk gugatan oleh warga negara yang mengatasnamakan kepentingan


umum sampai saat ini belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Gugatan warga negara untuk menggugat penyelenggara
negara merupakan mekanisme gugatan yang dikenal dalam sistem hukum common
law. Citizen lawsuit di Amerika Serikat, Australia dan India lahir dan berkembang
pesat khususnya dalam hukum lingkungan.16 Contoh kasus citizen lawsuit di
Amerika Serikat adalah, Robert Cohen warga Negara Amerika Serikat menggugat
FDA dan Department of Health and Human Services karena kedua lembaga tersebut
telah melanggar Freedom of Act dengan tidak mempublikasikan pengetahuan kedua
lembaga tersebut bahwa RBST (Recombinant Bovine Somatotropin) hormon yang
disuntikkan pada sapi-sapi penghasil susu dapat memicu kanker pada manusia,
padahal masyarakat Amerika Serikat banyak yang mengkonsumsi susu tersebut
tanpa tahu bahayanya. Di India, seorang warga Negara India mengajukan citizen
lawsuit mengatasnamakan kepentingan umum menggugat pemerintah India yang
melalaikan pengelolaan sungai gangga sehingga tercemar, sedangkan sungai
gangga bagi masyarakat Hindu di India merupakan tempat yang suci.

Pengakuan terhadap gugatan citizen lawsuit di Indonesia pertama kali


dilakukan pada tahun 2003 berdasarkan pada ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu Hakim tidak
boleh menolak perkara yang diajukan dengan alasan belum ada hukumnya. Pasal
27 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,

14 Susanti Adi Nugroho. 2010. Class Action dan Perbandingannya Dengan Negara Lain. Cetakan
1, Jakarta : Prenadia Media Group. hlm 385.
15 Dhabi K. Gumayra (Kontributor). 2006. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta : Aus-
said YLBHI, PSHK dan IALDF. hlm 382.
16 Indro Sugiantoro. 2004. Kasus Nunukan : Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit) Terhadap
Negara. Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum, Edisi 2. hlm 34.

94
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

yaitu Hakim wajib menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Pasal 28 UUD 1945, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bahwa Hakim menggali hukumnya dalam
masyarakat.

Beberapa gugatan citizen lawsuit yang telah diterima di pengadilan adalah


putusan Nomor 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst mengenai penelantaran buruh migran
di Nunukan, putusan Nomor 228/Pdt.G/2006/PN. Jkt.Pst mengenai gugatan
korban penyelenggaraan ujian nasional, putusan Nomor 55/PDT.G/2013/
PN.SMDA mengenai penerbitan izin pertambangan batubara di Samarinda sebagai
pemicu pemanasan global yang memperparah dampak terjadinya perubahan iklim
di wilayah Kota Samarinda Kalimantan Timur.

Penerimaan model gugatan warga negara di Indonesia merupakan adaptasi


guna menjawab berbagai peristiwa yang berkembang dalam masyarakat tidak
hanya terbatas dalam konteks hukum materiil saja, namun hukum acara sebagai
hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum materiil pun dilakukan.
Penegakan hukum dalam perjalanannya harus dinamis mengikuti perkembangan
lingkungannya. Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sebagaimana
dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja mengisyaratkan bahwa pembangunan
hukum tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat dan diikuti
pula dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat. Untuk
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang berubah seiring dengan pesatnnya
perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, sistem hukum Indonesia
yang menganut sistem civil law banyak mengadopsi mekanisme hukum yang berasal
dari sistem hukum common law yang dianut oleh negara-negara anglo saxon.17

Beberapa mekanisme dalam upaya penegakan hukum di Indonesia yang


mengadaptasi hukum asing yang bersumber pada sistem hukum common law,
seperti legal standing, class action, decenting opinion, dan citizen lawsuit. Mekanisme
class action secara formal telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1
Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Class Action. Sedangkan untuk mekanisme
citizen lawsuit belum diatur secara formal, namun Mahkamah Agung telah

17 Efa Laela Fakhriah. 2008. Actio Popularis (Citizen Lawsuit) Dalam Perspektif Hukum Acara
Perdata. Makalah. hlm 1.

95
MULYANI ZULAEHA

menyatakan bahwa citizen lawsuit sebagai salah satu cara yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan perkara perdata lingkungan, yang tertuang dalam Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013
tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, yang
ditetapkan pada tanggal 22 Pebruari 2013.

IV. Mekanisme Gugatan Citizen LawsuitSebagai Upaya Untuk Mendapatkan


Hak Dasar Berupa Lingkungan Udara yang Baik dan Sehat

Gugatan warga negara adalah suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap
orang terhadap suatu perbuatan melawan hukum, dengan mengatasnamakan
kepentingan umum. Kepentingan umum merupakan hakikat dari citizen lawsuit.
Kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan yang harus didahulukan
dari kepentingan pribadi atau individu atau kepentingan lainnya, yang meliputi
kepentingan bangsa dan negara, pelayanan umum dalam masyarakat luas, rakyat
banyak dan atau pembangunan di berbagai bidang. Menurut Theo Huijber,
kepentingan umum ialah kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang
memiliki ciri-ciri tertentu antara lain menyangkut perlindungan hak-hak individu
sebagai warga negara dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana
publik dan pelayanan publik.18 Kepentingan umum dalam konteks penyelesaian
lingkungan menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan
Perkara Lingkungan Hidup adalah kepentingan lingkungan dan kepentingan
makhluk hidup yang potensial atau sudah terkena dampak pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan.

Syarat formil gugatan citizen lawsuit yang bersifat khusus adalah adanya
pemberitahuan atau notifikasi yang dilakukan oleh penggugat kepada
tergugat. Indonesia belum memiliki peraturan formal secara khusus berkaitan
notifikasi dalam gugatan citizen lawsuit, sehingga beberapa hakim pengadilan
memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda berkaitan dengan prosedur

18 Theo Huijber. 2000. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta : UI Press. hlm 23.

96
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

notifikasi.19Hal ini mengakibatkan beberapa gugatan citizen lawsuit dinyatakan


tidak dapat diterima.20Mekanisme notifikasi yang berlaku di Amerika Serikat, yaitu
pemberitahuan harus dikirimkan kepada tergugat paling lambat 60 hari sebelum
gugatan diajukan.Maksud pemberitahuan ini adalah proses khusus semacam
somasi, dalam bentuk statement dari penggugat kepada tergugat yang berisi dasar
pelanggaran dan tuntutan spesifik yang dimintakan. Notifikasi merupakan tahap
pendahuluan dari gugatan citizen lawsuit yang sekurang-kurangnya memuat
informasi tentang informasi pelaku pelanggaran dan lembaga yang relevan
dengan pelanggaran, jenis pelanggaran, peraturan perundang-undangan yang
telah dilanggar, dan kepentingan umum yang dimaksud.

Notifikasi untuk perkara perdata lingkungan secara khusus terdapat dalam


Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/
SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan
Hidup,21yaitu Notifikasi/somasi wajib diajukan dalam jangka waktu 60 hari kerja

19 Perbedaan pandangan atau penafsiran terkait prosedur notifikasi meliputi jangka waktu
pengajuan, pengajuan sebelum atau setelah gugatan, bentuk notifikasi (pemberitahuan ter-
tulis atau somasiterbuka).
20
a). G ugatan citizen lawsuit oleh para penggugat yang mengatasnamakan Masyarakat
Pengguna Jalan Tol pada Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR), dalam putusan Nomor
40/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel tanggal 19 mei 2008 dinyatakan bahwa gugatan para
penggugat tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya syarat formil berupa
notifikasi

b). Gugatan citizen lawsuit oleh para penggugat yang mengatasnamakan warga Negara
pemegang hak untuk memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, dalam putusan
Nomor 145/Pdt.G/2009/PN. Jkt. Pst tanggal 3 juni 2009, dinyatakan bahwa gugatan
para penggugat tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya syarat formil yaitu
tidak dapat memenuhi syarat jangka waktu notifikasi.
c). Gugatan citizen lawsuit oleh Tim Advokasi Warga Negara Menggugat (Tawan Gugat)
23 warga negara yang menggugat kemaikan harga Bahan Bakar Minyak Bersubsidi,
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Gugatan Tidak Dapat
Diterima karena tidak memenuhi syarat formil berupa Notifikasi.
d). Gugatan citizen lawsuit yang diajukan Masyarakat Sipil untuk Kesejahteraan Rakyat
(MSKR) Nusa Tenggara Barat terhadap Newmont Nusa Tenggara, dalam putusan
Nomor 241/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst, dinyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat
diterima karena notifikasi diajukan terlalu singkat dalam waktu 7 hari sehingga tidak
memenuhi syarat notifikasi.
21 Keputusan Ketua Mahkamah Agung bukan merupakan peraturan yang berisi ketentuan
yang bersifat hukum acara, tetapi merupakan surat keputusan yang dikeluarkan Ketua
Mahkamah Agung mengenai suatu hal tertentu, sehingga ketentuan mengenai Notifikasi
yang dinyatakan dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan

97
MULYANI ZULAEHA

sebelum adanya gugatan dan sifatnya wajib. Apabila tidak ada notifikasi/somasi
gugatan wajib dinyatakan tidak dapat diterima; Notifikasi/somasi dari calon
penggugat kepada calon tergugat dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat; Jangka waktu 60 hari kerja bertujuan untuk memberikan
kesempatan kepada Pemerintah melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana
diminta atau dituntut oleh calon penggugat.22

Secara umum pemberitahuan ini bertujuan untuk; a) memberikan dorongan/


insentif bagi pelanggar agar melakukan penataan, b) memberikan kesempatan
secara adil kepada tergugat untuk mengajukan bantahan dalam kesempatan
paling awal dari proses penanganan perkara, c) kegagalan dalam menyediakan
pemberitahuan yang memenuhi syarat dapat dipergunakan sebagai alasan menolak
gugatan, d) memberikan pendidikan kepada penggugat untuk menyajikan gugatan
dengan dilengkapi bukti dan fakta yang akurat.23

Standing penggugat dalam gugatan citizen lawsuit tidak didasarkan atas


hubungan kepentingan secara langsung. Gugatan citizen lawsuit dilakukan atas
dasar kepentingan umum sedangkan asas utama hukum acara perdata Indonesia
adalah asas point d’interet point d’action artinya barang siapa yang mempunyai
kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak/gugatan ke pengadilan dan asas
actori incumbit probation yang artinya barang siapa yang mempunyai sesuatu
hak atau mengemukakan suatu peristiwa harus membuktikan adanya hak atau
peristiwa itu.24 Menurut Elly Kristiani telah terjadi pergeseran asas point d’interset
Hidup tidak mengikat bagi hakim yang memeriksa gugatan citizen lawsuit di luar perkara
lingkungan hidup.
22 Catatan Khusus terkait Notifikasi yang dinyatakan dalamKeputusan Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedo-
man Penanganan Perkara Lingkungan Hidupadalah Notifikasi/Somasi dalam Citizen Law-
suit (CLS) berbeda dengan notifikasi dalam gugatan Class Action (CA). Dalam gugatan CLS
notifikasi/somasi oleh pihak penggugat kepada pemerintah dan ditembuskan ke Pengadi-
lan Negeri setempat dan notifikasi/somasi disampaikan sebelum gugatan diajukan di pen-
gadilan karena isi notifikasi tersebut dipakai sebagai dasar gugatan. Dalam surat gugatan
wajib dilampirkan notifikasi/somasi dengan bukti tanda terima pengadilan atau resi surat
tercatat, dan notifikasi dalam gugatan CA diajukan atas perintah hakim dengan putusan
sela setelah gugatan CA dinyatakan telah memenuhi syarat formalitas untuk sahnya gu-
gatan CA.
23 Abdul Fatah. 2013. Gugatan Warga Negara Sebagai Mekanisme Pemenuhan Hak Asasi Manusia
Dan Hak Konstitusional Warga Negara. Jurnal Yuridika Volume 28 No 3, September-Desem-
ber. hlm 298.
24 Kekuatan hukum standing penggugat dalam gugatan citizen lawsuit terdapat dua sudut

98
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

point d’action hal ini didasarkan pada hakim memiliki tugas dan fungsi untuk
memberikan sisi kemanfaatan dan keadilan hukum bagi pencari keadilan dalam
perkara yang diajukan kepadanya, sebagai konsekuensi kewajiban memberikan
sisi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfataan bagi para pihak hakim dapat
menggali hukum yang hidup dalam masyarakat termasuk adopsi dari sistem
hukum lain. Sehingga dalam adopsi mekanisme gugatan citizen lawsuit tidak
memerlukan asas dasar kepentingan hukum yang cukup bagi penggugat (point
d’interset point d’action).25

Isi petitum yang dapat diajukan dalam gugatan citizen lawsuit mempunyai
karakteristik yaitu :26

1. Petitum dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti rugi materiil,
karena warga negara yang menggugat bukan kelompok yang dirugikan
secara materiil dan memiliki kesamaan fakta hukum sebagaimana gugatan
class action

2. Petitum gugatan citizen lawsuit harus beirisi permohonan agar Negara


mengeluarkan suatu kebijakan peraturan umum agar perbuatan melawan
hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak warga Negara tersebut di
masa yang akan datang tidak terjadi lagi

3. Petitum citizen lawsuit tidak boleh berupa pembatalan atas Keputusan


Penyelenggara Negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat konkrit
dan final karena hal tersebut merupakan kewenangan dari peradilan TUN

4. Petitum citizen lawsuit juga tidak boleh berupa pembatalan atas suatu Undang-
Undang (UU) karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi
(MK). Selain itu, citizen lawsuit juga tidak boleh meminta pembatalan atas

pandang yang berbeda, pertama, dalam sudut pandang citizen lawsuit maka asas point
d’interset point d’action dalam hukum acara perdata di Indonesia tidak berlaku, sedangkan
pandangan kedua, adalah jika posisi penggugat dilihat dalam sudut hukum acara perdata
maka asas point d’interset point d’action mutlak harus dipenuhi karena sifat dari hukum aca-
ra perdata adalah bersifat memaksa dan tidak bisa disimpangi.
25 Elly Kristiani Purwendah. Pergeseran Asas point d’interset point d’action Dalam Gugatan Citizen
Lawsuit Dan Actio Popularis Sebagai Pemenuhan Asas Manfaat Dalam Peradilan Perdata, Maka-
lah, hlm 10.
26 Mahkamah Agung. 2009. Laporan Penelitian Class Action & Citizen Lawsuit, Bogor : Badan
Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Mahkamah
Agung RI. hlm 65.

99
MULYANI ZULAEHA

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang karena hal


tersebut merupakan kewenangan mahkamah Agung (MA) di bawah judicial
review.

Karakteristik citizen lawsuit, sebagai berikut; 1) Tergugat dalam citizen lawsuit


adalah penyelenggara negara mulai dari presiden dan wakil presiden sebagai
pimpinan teratas, menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang
dianggap telah melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya.
2) Perbuatan melawan hukum yang didalilkan dalam gugatan adalah kelalaian
penyelenggara negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara, dalam hal ini
harus diuraikan bentuk kelalaian apa yang telah dilakukan oleh negara dan hak
warga negara apa yang gagal dipenuhi oleh Negara. 3) Penggugat adalah warga
Negara, yang bertindak mengatasnamakan warga Negara, penggugat dalam
hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah Warga Negara Indonesia.
4) Memberikan notifikasi kepada penyelenggara negara. 5) Petitum tidak boleh
meminta ganti rugi, petitum citizen lawsuit berupa permohonan agar Negara
mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (Regeling) agar perbuatan
melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak warga Negara tersebut
di masa yang akan datang tidak terulang kembali.27

Unsur-unsur dalam gugatan citizen lawsuit sebagai upaya mengatasi kabut


asap untuk mendapatkan lingkungan udara yang baik dan sehat , antara lain :

a. Setiap orang atau setiap warga Negara


Setiap orang pada hakikatnya tidak mendapat halangan untuk dapat
mengajukan gugatan citizen lawsuit, karena setiap orang memiliki standing
untuk mengajukan gugatan tanpa mensyaratkan adanya kerugian yang
bersifat nyata dan langsung pada dirinya, dengan membuktikan bahwa ia
adalah Warga Negara Indonesia.

b. Kepentingan Umum
Unsur kepentingan umum merupakan dasar utama dalam gugatan citizen
lawsuit. Persoalan kabut asap merupakan pencemaran udara yang telah
banyak membawa akibat baik berupa kesehatan bahkan kematian,28 serta

27 Abdul Fatah. Op.Cit. hlm 297.


28 �������������������������������������������������������������������������������������
Berdasarkan data yang disampaikan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, jumlah ko-

100
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

dampak sosial ekonomi lainnya. Sehingga aspek kepentingan umum


terpenuhi.

c. Perbuatan Melawan Hukum


Unsur perbuatan melawan hukum adalah berupa kelalaian penyelenggara
negara dalam mengatasi kabut asap, sehingga dampaknya sampai meluas
dan terjadi dalam hitungan bulan, sehingga masyarakat tidak mendapatkan
udara yang sehat.

d. Petitum
Petitum dalam citizen lawsuit harus berisi tuntutan agar pemerintah
mengeluarkan suatu kebijakan peraturan umum untuk mengatasi persoalan
kabut asap.

Potensi Mengatasi Kabut Asap Melalui Mekanisme Citizen Lawsuit

Gugatan citizen lawsuit telah diterima dalam sistem peradilandi Indonesia,


meskipun belum diatur secara khusus dalam peraturan. Gugatan citizen lawsuit
telah mendorong terbentuknya beberapa peraturan perundang-undangan dan
kebijakan yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam gugatan.Contoh
pengaruh gugatan citizen lawsuit terhadap lahirnya undang-undang adalah
putusan Nomor 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST mengenai kasus penelataran
buruh migran di Nunukan yang diputus tanggal 8 Desember 2003 mendorong
terbentuknya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang disahkan dan diundangkan pada
tanggal 18 Oktober 2004. Undang-undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia juga mengamanatkan dibentuknya Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Selanjutnya gugatan citizen lawsuit dalam kasus Ujian Nasional putusan


Nomor 2596 K/PDT/2008 jo putusan Nomor 377/PDT/2007/PT.DKI jo putusan
Nomor 228/PDT/G/2006 memberikan suatu kabar gembira bagi siswa peserta
Ujian Nasional dengan dikeluarkannya kebijakan bahwa penentuan kelulusan

rban meninggal dunia akibat kabut asap tahun 2015 sebanyak 19 orang, 5 orang di Kali-
mantan Tengah, 5 orang di Sumatera Selatan, 5 orang di Riau, 1 orang di Jambi dan 3 orang
di Kalimantan Selatan. Lihat Ini Jumlah Korban Meninggal Korban Kabut Asapversi Mensos,
JPNN.com. 28 Oktober 2015, diakses tanggal 24 Maret 2016.

101
MULYANI ZULAEHA

siswa tidak lagi semata-mata didasarkan pada hasil nilai Ujian Nasional, namun
dengan melakukan penggabungan nilai-nilai selama proses belajar mengajar di
satuan pendidikan dengan nilai hasil Ujian Nasional.

Citizen lawsuit terkait penyelenggaraan jaminan sosial dengan nomor perkara


278/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst yang diputus pada tanggal 13 Juli 2011 merupakan
salah satu faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rancangan Undang-Undang
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU tentang BPJS) sebagai usul
inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. RUU tentang BPJS selanjutnya disahkan dan
diundangkan pada tanggal 25 November 2011.

Perkara perlindungan hukum kepada pekerja rumah tangga yang diajukan


oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) yang diputus
dengan putusan Nomor 146/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst pada tanggal 7 Pebruari 2012
mendorong DPR untuk segera melakukan pembahasan RUU tentang Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga.29

Khusus berkaitan dengan persoalan mengatasi kabut asap, maka melalui


gugatan citizen lawsuit juga mempunyai potensi untuk mendorong terbentuknya
peraturan perundang-undangan dan kebijakan. Riau merupakan salah satu wilayah
yang paling parah terdampak asap akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun
2015, masyarakat Riau melalui Gerakan Riau Melawan Asap30 yang terdiri dari
empat organisasi kemasyarakatan di Provinsi Riau (Lembaga Adat Melayu Riau,
Wahana Lingkungan Hidup Riau, Rumah Budaya Sikukeluang dan Jaringan Kerja
Penyelamat Hutan Riau) telah mengajukan gugatan citizen lawsuitdi Pengadilan
Negeri Pekanbaru. Pihak yang digugat adalah Presiden Indonesia, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Kepala Badan Pertahanan
Nasional dan Gubernur Riau pada Maret 2016.31Sesuai dengan isi ketentuan dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/
II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup

29 Febry Liany. 2014. Peranan Gugatan Warga Negara Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,
Jurnal Prodigy Vol 2 No 2 – Desember. hlm 265.
30 Hal yang sama juga dilakukan oleh Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalimantan Tengah yang
telah menyampaikan notifikasicitizen lawsuit. Lihat Rakyat Kalteng Resmi Gugat 7 Lembaga
Negara, www.menara.com, tanggal 10 Maret 2016. Diakses tanggal 24 Maret 2016.
31 Kebakaran Hutan : Gugat Presiden dan 4 Menteri, 4 Organiasai di Riau Ajukan Citizen Law Suit,
bisnis.com. tanggal 10 Maret 2016, diakses tanggal 24 Maret 2016.

102
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

maka gugatan citizen lawsuit ini telah diawali dengan menyampaikan notifikasi
kepada calon tergugat. Namun karena setelah 60 hari sejak notifikasi disampaikan
pihak tergugat tidak memberikan respon atas notifikasi, maka pihak penggugat
menindaklanjuti dengan mengajukan gugatan citizen lawsuit.32 Persidangan
dilakukan menurut ketentuan hukum acara perdata yang diawali dengan mediasi.
Mediasi yang dilakukan berhasil membuat kesepakatan damai antara para pihak.33
Konsep perdamaian yang dihasilkan dalam gugatan citizen lawsuit terhadap
persoalan kabut asap di Riau menunjukan bahwa mengatasi kabut asap sebagai
implikasi dari kebakaran hutan lahan tidak saja menuntut peran pemerintah
semata, namun diperlukan juga peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
penanganan kebakaran hutan dan lahan. Poin yang dapat digaris bawahi dari
hasil gugatan citizen lawsuit terkait kabut asap di Riau adalah telah menghasilkan
adanya komitmen pihak pemerintah untuk menerbitkan suatu kebijakan yang pro
terhadap kepentingan lingkungan untuk menyelesaikan persoalan asap khususnya
di Provinsi Riau dan tentunya juga wilayah lain di Indonesia.

Hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang telah dijamin oleh konstitusi
yang bermakna melakukan perlindungan. Apabila dalam implementasinya
terdapat tindakan pembiaran oleh penyelenggara negara yang merugikan warga
negara untuk memperoleh udara yang sehat, maka melalui mekanisme gugatan
citizen lawsuit terhadap kabut asap dapat menjadi dasar agar pemerintah segera
membuat peraturan untuk mengatasi kabut asap yang lebih komprehensif, tidak
saja dalam bentuk undang-undang, peraturan pelaksana undang-undang maupun
berupa kebijakan.

32 Masyarakat Riau Gugat Negara Terkait Kasus Asap, geotimes.co.id. tanggal 11 Maret 2016,
diakses tanggal 24 Maret 2016.
33 ���������������������������������������������������������������������������������������
Kesepakatan damai yang tertuang dalam Akta Perdamaian yaitu 1). Para tergugat berkomit-
men bersama-sama menanggulangi kebakaran hutan dan lahan melalui tindakan-tindakan
dan penerbitan kebijakan guna menyelesaikan persoalan asap yang terjadi di Provinsi Riau,
2). Para penggugat berkomitmen untuk berperan serta aktif dalam pencegahan dan penan-
ganan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, 3). Tergugat I dan Tergugat II segera
menyelesaikan Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 4). Tergugat bersedia untuk menga-
lokasikan dana penanggulangan bencana dalam APBN dan APBD dengan memperhati-
kan kemampuan keuangan Negara, dan 5). Tergugat setuju untuk memperkuat fasilitas
pelayanan korban kebakaran hutan dan lahan serta mengembangkan sistem informasi ke-
bakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Riau. Lihat CLS : Gugatan Kabut
Asap Di Riau Pengadilan Negeri Pekanbaru,Metropekanbaru.com. tanggal 24 Mei 2016, diak-
ses tanggal 30 Mei 2016.

103
MULYANI ZULAEHA

V. Simpulan dan Rekomendasi

Citizen lawsuit telah diterima sebagai bagian dari penyelesaian persoalan


lingkungan khususnya dalam lingkup perdata. Citizen lawsuitmerupakan hak gugat
warga negara atas kepentingan umum, sebagai perwujudan akses individual/
orang perorangan warga negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara
atau kepentingan umum menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas
kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Persoalan kabut asap yang
mengakibatkan warga negara tidak mendapatkan haknya atas lingkungan udara
yang baik dan sehat dapat di jadikan sebagai dasar gugatan citizen lawsuit, apabila
unsur-unsur terkait adanya kelalaian penyelenggara negara dan demi kepentingan
umum dapat terpenuhi.

Potensi menggunakan mekanisme citizen lawsuit sebagai upaya mengatasi


kabut asap, merupakan suatu keniscyaan karena tuntutan yang diminta oleh warga
negara dalam gugatannya adalah agar pemerintah mengeluarkan peraturan baik
dalam bentuk undang-undang, peraturan pelaksana, atau melakukan tindakan-
tindakan tertentu lainnya merupakan upaya preventif maupun refresif untuk
mengatasi persoalan kabut asap agar tidak lagi terulang di masa yang akan datang.

Pemerintah seyogyanya memformulasikan mekanisme citizen lawsuit


sebagai hukum formil Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai upaya
penegakan hukum yang legimate. Mengingat ketika penyelenggara negara
melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negara, melalui mekanisme
citizen lawsuit hak-hak yang terabaikan dapat dipulihkan dan tidak terulang
kembali.

104
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

DAFTAR PUSTAKA

Fakhriah, Efa Laela. 2008.Actio Popularis (Citizen Lawsuit) Dalam Perspektif Hukum
Acara Perdata. Makalah.

Fatah, Abdul. 2013.Gugatan Warga Negara Sebagai Mekanisme Pemenuhan Hak Asasi
Manusia Dan Hak Konstitusional Warga Negara. Jurnal Yuridika Volume 28 No
3, September-Desember.

Firdaus, Muhammad Syafari (et.all).2007. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia:


Sebuah Panduan. Jakarta : Komisi Nasional HAM Bekerjasama dengan
Australian Government (AusAID).

Gumayra, Dhabi K(Kontributor). 2006. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia.


Jakarta : Aussaid YLBHI, PSHK dan IALDF.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 1983.Hukum Tata Lingkungan. Cetakan ke-1, Yogyakarta


: Gadjah Mada University Press.

Huijber, Theo, 2000. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta : UI Press.

Isrok dan Rizki Emil Birham. 2010.Citizen Lawsuit : Penegakan Hukum Alternatif bagi
Warga Negara. Malang : UB Press.

Liany, Febry. 2014. Peranan Gugatan Warga Negara Dalam Pembentukan Hukum Di
Indonesia. Jurnal Prodigy Vol 2 No 2 – Desember.

Mahkamah Agung. 2009. Laporan Penelitian Class Action & Citizen Lawsuit. Bogor :
/Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum
dan Mahkamah Agung RI.

Muhjad, Hadin. 2015.Hukum Lingkungan : Sebuah Pengantar Untuk Konteks Indone-


sia. Yogyakarta : Genta Publishing.

Nugroho, Susanti Adi. 2010. Class Action dan Perbandingannya Dengan Negara Lain.
Cetakan 1, Jakarta : Prenadia Media Group.

Purwendah, Elly Kristiani. Pergeseran Asas point d’interset point d’action Dalam
Gugatan Citizen Lawsuit Dan Actio Popularis Sebagai Pemenuhan Asas Manfaat
Dalam Peradilan Perdata. Makalah.

105
MULYANI ZULAEHA

Sugiantoro, Indro. 2004. Kasus Nunukan : Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit)
Terhadap Negara. Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum, Edisi 2.

Artikel Internet :

Asap Kebakaran Hutan Sampai Jakarta, www.bbc.com>Indonesia>2015. tanggal 24


Oktober 2015. Diakses tanggal 10 Pebruari 2016.

BNPB : Kebakaran Hutan 2015 Seluas 32 Wilayah DKI, CNN Indonesia.com, tanggal
31 Oktober 2015, diakses tanggal 24 Maret 2016.

CLS : Gugatan Kabut Asap Di Riau Pengadilan Negeri Pekanbaru,Metropekanbaru.


com. tanggal 24 Mei 2016, diakses tanggal 30 Mei 2016.

Ini Jumlah Korban Meninggal Korban Kabut Asap versi Mensos, JPNN.com. 28 Oktober
2015, diakses tanggal 24 Maret 2016.

Kebakaran Hutan : Gugat Presiden dan 4 Menteri, 4 Organiasai di Riau Ajukan Citizen
Law Suit, bisnis.com. tanggal 10 Maret 2016, diakses tanggal 24 Maret 2016.

Masyarakat Riau Gugat Negara Terkait Kasus Asap, geotimes.co.id. tanggal 11 Maret
2016, diakses tanggal 24 Maret 2016

Rakyat Kalteng Resmi Gugat 7 Lembaga Negara, www.menara.com, tanggal 10 Maret


2016. Diakses tanggal 24 Maret 2016.

Tiga Bulan, Hutan dan Lahan Terbakar Setara 4 kali Luas Bali.Mongabay.com Situs
Berita Informasi Lingkungan, tanggal 31 Oktober 2015, di akses tanggal 24
Maret 2016.

10 Tewas, 503 Ribu Jiwa ISPA, dan 43 Juta Jiwa Terpapar Asap, BNPB.go.id, tanggal 24
Oktober 2015, diakses tanggal 24 Maret 2016.

106
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

F ungsi I zin D alam P engendalian P encemaran L ingkungan


(S tudi K asus : G ugatan P enerbitan I zin P embuangan L imbah
C air D i S ungai C ikijing )

Nadia Astriani1

Yulinda Adharani2

Abstraksi

Permasalahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan di Kecamatan


Rancaekek, Kabupaten Bandung, sudah berlangsung lebih dari 20 tahun.
Pencemaran Sungai Cikijing berdampak pada menurunnya produksi pertanian
dan/atau perikanan. Pencemaran ini seharusnya tidak terjadi jika perusahaan
mengolah limbah sebagaimana mestinya. Oleh karena itu Koalisi Melawan
Limbah yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (WALHI Jabar),
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, dan Paguyuban Warga Peduli
Lingkungan (PAWAPELING) menggugat penerbitan Izin Pembuangan Limbah
Cair (IPLC) ke Sungai Cikijing yang dikeluarkan oleh Bupati Sumedang. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, penelitian ini akan
memaparkan fungsi izin dalam pengendalian lingkungan dengan menganalisa
teori-teori hukum perizinan dan teori-teori hukum lingkungan serta penerapan
teori-teori ini dalam praktek. Kasus ini menunjukkan bahwa fungsi izin sebagai

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, merupakan sekretaris Departemen


Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan Agraria, bidang kekhususan hukum lingkungan.
Menyelesaikan S1 Ilmu Hukum, dan S2 Ilmu Lingkungan di Universitas Padjadjaran
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, merupakan anggota Departemen
Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan Agraria, bidang kekhususan hukum lingkungan.
Menyelesaikan S1 dan S2 Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran

107
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

pengendali kegiatan di Indonesia pada kenyataannya masih jauh dari yang


diharapkan. Dalam kasus ini Sungai Cikijing yang telah tercemar menjadi korban
dari pemberian izin pembuangan limbah cair oleh Bupati Sumedang kepada PT.
Kahatex, PT. Five Star Textil dan PT. Insan Sandang Internusa. Seharusnya dalam
menerbitkan izin, pemerintah juga harus memperhatikan asas-asas yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Selain itu, pemerintah harus melakukan pengawasan kepada
perusahaan-perusahaan yang telah diberikan izinnya, karena itu merupakan
kewajiban pemerintah dalam rangka melindungi dan mengelola lingkungan
hidup.

Kata Kunci : izin, pencemaran lingkungan, Sungai Cikijing, izin pembuangan


limbah cair

Abstract

The problems of pollution and / or damage to the environment in the district Rancaekek,
Bandung regency, has lasted more than 20 years. As a result of the pollution is the
contamination of the river Cikijing thus impacting the decline in agricultural production
and / or fisheries. This contamination should not occur if the companies treat waste
properly. Therefore, Koalisi Melawan Limbah consisting of the Wahana Lingkungan Hidup
of West Java (WALHI Jabar), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, and Paguyuban
Warga Peduli Lingkungan (PAWAPELING) sued the publishing permit Waste Disposal
Liquid to River Cikijing issued by Sumedang Regent. This research will be presented in the
Environmental Control consent function by analyzing theories licensing laws and theories
of environmental law as well as the application of these theories in practice. This case shows
that the consent function as a control activity in Indonesia in reality is still far from the
expected. In this case Cikijing River is polluted because of granting discharge of effluent
by Regent Sumedang against PT. Kahatex, PT.Five Star Textil and PT. Insan Clothing
Internusa. Supposedly in issuing permit, the government must also consider the principles
contained in Law No. 32 of 2009 on the Protection and Environmental Management.
Other than that, the government should conduct surveillance to companies that have been
granted permission, because it is the government’s obligation to protect and manage the
environment.

108
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Keywords : Permit, environmental pollution, Cikijing River, wastewater discharge


permit.

I. Pendahuluan

Prinsip otonomi daerah yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya disebut UU
23/2014, memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengambil
kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Salah satu bentuk kewenangan yang menjadi perhatian adalah
kewenangan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin, yang lahir berdasarkan
wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah daerah.3 Selain
dalam UU 23/2014, kewenangan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut UU 32/2009.4

Dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan, pemerintah/


kelembagaan yang berwenang melakukan upaya akan pencegahan dan
penanggulangan dampak negatif serta pemulihan kualitas lingkungan memiliki
peran yang sangat penting.5 Salah satu bentuk pengendalian pencemaran
lingkungan adalah izin lingkungan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Izin
lingkungan dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang berwenang dalam bentuk
Keputusan Tata Usaha Negara selajutnya disebut KTUN.6 KTUN adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan

3 Lihat pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
Lihat huruf K (tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup)
Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.
4 Lihat Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140.
5 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, (Surabaya:
Airlangga University Press, 1996), hlm. 4
6 Lihat Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 mengenai Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5079.

109
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,


yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau juga badan hukum perdata.7

Dalam prakteknya, penerbitan suatu KTUN dapat juga menimbulkan kerugian


terhadap masyarakat karena adanya suatu unsur kesalahan atau kekeliruan.
Diterbitkannya KTUN oleh badan atau pejabat berwenang yang mengandung
unsur kesalahan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan akan menimbulan
kerugian bagi lingkungan dan masyarakat secara umum. Apabila hal ini terjadi,
pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan di peradilan tata usaha negara,
dan meminta agar KTUN tersebut dibatalkan atau dinyatakan tidak sah. Gugatan
seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
ke peradilan tata usaha negara berisi tuntutan agar izin itu dinyatakan batal atau
tidak sah oleh hakim.8

Izin Lingkungan mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup. Dalam hal pengendalian pencemaran lingkungan,
salah satu jenis izin yang harus dimiliki oleh pemrakarsa adalah izin pembuangan
limbah cair selanjutnya disebut IPLC.9 IPLC adalah izin yang membolehkan
pembuangan limbah oleh perusahaan ke sumber air yang disediakan oleh
pemerintah daerah atau sumber air yang berada di bawah pengawasan pemerintah
daerah. Untuk memperolah IPLC, perusahaan diharuskan untuk mengolah
limbah cair yang dihasilkan sampai kepada suatu kadar yang tidak berbahaya
sebelum dibuang ke dalam air.10 Namun dalam prakteknya, beberapa perusahaan
belum melakukan pengolahan sebagaimana mestinya sehingga limbah cair yang
dibuang ke badan air menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan
menimbulkan pencemaran air pada sungai, sebagaimana yang terjadi pada Kasus
Pencemaran di Sungai Cikijing.

Dalam berkas perkara Nomor 178/G/2015/PTUN Bandung yang diajukan


oleh Koalisi Melawan Limbah ke PTUN Bandung, Koalisi Melawan Limbah

7 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
8 Bandingkan dengan pendapat Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., hlm. 121.
9 Lihat Penjelasan Pasal 48 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan.
10 Bandingkan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

110
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

menggugat Surat Keputusan Bupati Sumedang Nomor 660.31/Kep.509-IPLC/2014


tentang Izin Pembuangan Limbah Cair ke Sungai Cikijing bagi PT Kahatex
tertanggal 7 Juli 2014; Surat Keputusan Bupati Sumedang Nomor 660.31/Kep.784-
IPLC/2014 tentang IPLC bagi PT Five Star Texile Indonesia tertanggal 30 Januari
2014; dan Surat Keputusan Bupati Sumedang Nomor 660.31/Kep.198-IPLC/2013
tentang IPLC ke Sungai Cikijing kepada PT. Insan Sandang Internusa. Koalisi
yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (Walhi Jabar), Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Bandung, dan Paguyuban Warga Peduli Lingkungan
(Pawapeling) menggugat izin yang diberikan oleh Bupati Sumedang kepada tiga
perusahaan tekstil di Sumedang. Penggugat mendalilkan pembuangan limbah
cair yang dilakukan oleh tiga perusahaan tersebut memperparah pencemaran di
Sungai Cikijing.

Pencemaran berawal dari pembangunan industri di Kecamatan Cikeruh,


Kabupaten Sumedang. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah ini
membentuk cluster industri yang sebagian besar menghasilkan limbah cair dan
membuangnya ke badan air Sungai Cikijing. Dari puluhan perusahaan di sekitar
Jalan Raya Rancaekek, yang berada di Kecamatan Cikeruh, terdapat 3 Perusahaan
yaitu: PT. Kahatex, PT. Insan Sandang dan PT Five Star, yang proses produksinya
maupun debit limbah cairnya diduga memberikan konstribusi signifikan terhadap
peningkatan beban pencemaran Sungai Cikijing. Pencemaran Sungai Cikijing
dibuktikan dengan sudah terlampauinya Baku Mutu Air Permukaan sungai
tersebut. Karena tidak ada sumber air lainnya, air yang sudah tercemar berbagai
bahan kimia (termasuk logam berat)11 tetap dipergunakan untuk mengairi sawah
dan kolam ikan, bahkan dipakai juga untuk mandi, cuci dan memasak. Luas areal
pertanian dan perikanan yang terkena dampak pencemaran di 4 (empat) desa ±
415 hektar. Jumlah penduduk di keempat desa tersebut lebih dari 50.000 orang.

11 Dalam kompilasi hasil riset AMDAL, parameter kimia yang telah melampaui baku mutu
berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air kelas II yaitu : Amonium bebas dan Nitrit (NO2-N), sedangkan parameter
lainnya yang konsentrasinya cukup tinggi adalah Seng (Zn), Kamium (Cd), Krom
hexavalen, tembaga (Cu), Timabl (Pb), fenol.Tingginya parameter tersebut memungkinkan
bersumber dari aktifitas industri pada bagian hulunya. Konsentrasi BOD berkisar antara
48,522 – 110,725 mg/l sedangkan baku mutu menetapkan 6 mg/l, cukup tingginya BOD
dimungkinkan pengaruh buangan limbah cair dari aktivitas domestik/pemukiman serta
niaga. Adapun COD nilainya berkisar antara 82,191 – 1205,377 mg/l dan baku mutu
menetapkan konsentrasi maksimum adalah 50 mg/l, sehingga tidak memenuhi baku mutu.

111
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

Terjadinya pencemaran lingkungan diindikasikan dengan menurunnya kualitas


lahan pertanian dan menyebabkan menurunnya produksi, bahkan menyebabkan
kematian tanaman padi atau bulir padinya hampa dan ikan yang mati. Selain itu,
terdapat indikasi kuat bahwa pencemaran di kawasan tersebut telah menyebabkan
meningkatnya berbagai penyakit, termasuk penyakit dalam. Persoalan pencemaran
lingkungan, yang semula hanya berdimensi teknis, telah berkembang ke dimensi
sosial, hukum, ekonomi, kesehatan, keamanan, bahkan politik dan budaya.12

Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang akan dibahas


dalam artikel ini, apakah fungsi izin sebagai pengendali kegiatan dapat berperan
secara optimal dalam pelestarian fungsi lingkungan? Dan bagaimana peran
pengambil kebijakan dalam menilai permohonan izin yang diajukan, baik dari
sisi mandat maupun implementasinya? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui peran pengambil kebijakan, khususnya pemberi izin, dalam menilai
permohonan izin yang diajukan, sehingga fungsi izin sebagai pengendali kegiatan
dapat diterapkan secara optimal dengan melihat kasus gugatan penerbitan izin
pembuangan limbah cair PT. Kahatex, PT. Five Star Textil Dan PT. Insan Sandang
Internusa.

Kajian hukum atas Fungsi Izin Dalam Pengendalian Pencemaran Lingkungan


(Studi Kasus: Gugatan Penerbitan Izin Pembuangan Limbah Cair di Sungai
Cikijing) ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif
dalam arti menggunakan data kepustakaan/ sekunder (baik berupa bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier) sebagai bahan
utama penelitian. Dalam hal ini digunakan metode penelitian yang bersifat
deskriptif analitis dengan pendekatan sistemik.

Analisis yuridis kualitatif digunakan dengan mengandalkan pada kemampuan


abstraksi-teoritis atas bahan-bahan hukum di atas, dengan menggunakan metode
penafsiran hukum dan konstruksi hukum atas peraturan perundang-undangan
terkait materi kajian. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan.
Data kepustakaan diperoleh dari perpustakaan perguruan tinggi yang diperkirakan
memiliki kompetensi di bidang yang terkait dengan materi penelitian termasuk

12 Lihat Bagian D. dalam Pokok Sengketa Gugatan dalam berkas perkara Nomor 178/G/2015/PTUN
Bandung

112
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

pada instansi atau lembaga-lembaga penelitian dan lembaga negara yang terkait
dengan materi penelitian. Selain studi pustaka, pengumpulan informasi dilakukan
dengan menggunakan metode wawancara dengan nara sumber yang ditentukan
secara purposif (judgemental). Wawancara dilakukan secara terarah dengan
menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun sebagai arahannya.

II. Kerangka Hukum Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air

2.1. Perizinan Sebagai Instrumen Pengendali Pencemaran Lingkungan

Izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-


undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang
dari ketentuan larangan perundang-undangan.13 Menurut Sjachran Basah, izin
adalah “perbuatan hukum administrasi egara bersegi satu yang mengaplikasikan
peraturan dalam hal concreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana
ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.”14 Izin dapat dikatakan
sebagai landasan hukum, dapat dipahami bahwa kegiatan tertentu memang tidak
dapat dilakukan oleh warga masyarakat tanpa adanya izin dari organ pemerintah
yang berwenang. Kenyataan tersebut dapat dimengerti karena berbagai hal sering
kali terkait dengan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemohon izin. Oleh karena
itu, izin menjadi dasar hukum bagi pelaku kegiatan untuk dapat memulai kegiatan
tersebut. Hak dan kewajiban pemohon izin berkaitan dengan dilakukannya
kegiatan, lahir setelah adanya izin. Tanpa izin, suatu pihak tidak dapat melakukan
kegiatan yang dimuat dalam izin itu.15

Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota wajib melakukan pengawasan terhadap


ketaatan penanggung jawab usaha. Kewenangan ini dapat didelegasikan kepada
pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab. Selain itu, pemerintah dapat
menetapkan pejabat pengawas lingkungan yang merupakan pejabat fungsional.
Izin Lingkungan yang telah diperoleh oleh penanggung jawab usaha/kegiatan
harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang seharusnya. Menteri, Gubernur,

13 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, (Yuridika, Surabaya, 1993), hlm. 2-3.
14 Sjachran Basah, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi. Makalah pada
Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan di Fakultas Hukum Unair Surabaya, hlm. 3.
15 Y. Sri. Pudyatmoko, Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, (Grasindo, Jakarta, 2009), hlm. 22.

113
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

Bupati/Walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab


usaha/kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin
lingkungan.

Sistem perizinan lingkungan sebagai instrumen pencegahan kerusakan dan/


atau pencemaran lingkungan hidup hakikatnya merupakan pengendalian aktivitas
pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan
perizinan lingkungan harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam
UU 32/2009. Secara teoritis, perizinan memiliki beberapa fungsi, yaitu16:

1. Izin sebagai instrumen rekayasa pembangunan


Pemerintah dapat membuat regulasi dan keputusan yang memberikan
insentif bagi pertumbuhan sosial ekonomi. Demikian juga sebaliknya, regulasi
dan keputusan tersebut dapat pula menjadi penghambat (sekaligus sumber
korupsi) bagi pembangunan.

2. Izin sebagai fungsi keuangan (budgetering)


Yaitu izin menjadi sumber pendapatan bagi negara. Pemberian izin dilakukan
dengan kontraprestasi berupa retribusi perizinan. Negara mendapatkan
kedaulatan dari rakyat, maka retribusi perizinan hanya bisa dilakukan melalui
peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dianut prinsip no taxation
without the law.

3. Izin sebagai fungsi pengaturan (reguleren)


Yaitu menjadi instrumen pengaturan tindakan dan perilaku masyarakat.
Sebagaimana prinsip pemungutan pajak, perizinan dapat mengatur pilihan-
pilihan tindakan dan perilaku masyarakat. Jika perizinan terkait dengan
pengaturan untuk pengelolaan sumber daya alam, lingkungan, tata ruang, dan
aspek strategis lain, prosedur dan syarat yang harus ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan harus pula dengan pertimbangan-pertimbangan
strategis. Harus ada keterkaitan antara tujuan pemberian perizinan dengan
syarat-syarat yang ditetapkan dalam izin.

4. Izin sebagai fungsi pengendalian


Pemerintah melakukan pengendalian terhadap kegiatan masyarakat dengan

16 Adrian Sutedi, dalam Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, (Jakarta Sinar Grafika
2012), hlm. 81-87.

114
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

menggunakan instrumen perizinan. Izin dimaksudkan untuk mencapai


berbagai tujuan tertentu.

Izin sebagai suatu bentuk keputusan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang,
atau sebagai ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.17

Efektifitas dan efisiensi pengendalian pencemaran air dipengaruhi oleh salah


satu instrumen pencegahan pencemaran lingkungan yaitu perizinan. Dalam
Pasal 14 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
disebutkan bahwa izin merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan. Perusahaan yang kegiatannya berdampak pada
lingkungan harus memiliki izin lingkungan. Izin Lingkungan terdiri dari izin
perlindungan dan pengelolaan lingkungan, salah satu jenis dari izin perlindungan
dan pengelolaan lingkungan adalah izin pembuangan limbah cair (IPLC).18
Izin pembuangan limbah cair adalah pembuangan limbah ke sumber air yang
disediakan Pemerintah Daerah atau sumber air yang berada di bawah pengawasan
Pemerintah Daerah. Izin ini sesungguhnya mutlak adanya bagi setiap usaha atau
perusahaan yang aktivitasnya menimbulkan limbah cair. Dengan tiadanya izin ini,
maka membuang limbah langsung ke sungai adalah perbuatan melanggar hukum
dan dapat dikenai sanksi.19

Penggunaan izin sebagai instrumen pengawasan ditunjukkan dengan


pemberian izin-izin tertentu bagi aktivitas masyarakat. Berbagai persyaratan-
persyaratan dalam pengurusan izin merupakan pengendali dalam memfungsikan
izin itu sebagai alat untuk mengawasi aktivitas masyarakat, dan perbuatan
yang dimintakan izin adalah perbuatan yang memerlukan pengawasan khusus.
Pengawasan dibutuhkan sebagai perlindungan hukum bagi warga negara
terhadap dampak dari penerbitan keputusan tata usaha negara. Pemerintah

17 Lihat Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
18 Bandingkan Penjelasan Pasal 48 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan
19 Muhammad Subhi, Perizinan Pembuangan Limbah Cair Kegiatan Industri Dalam
Hubungannya Dengan Pengendalian Pencemaran Air (Studi Di Kabupaten Ketapang),
Jurnal Universitas Tanjungpura, Vol. 2 No. 2 Tahun 2012, hlm. 10.

115
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

menjalankan pemerintahan melalui pengambilan keputusan pemerintahan yang


bersifat strategis, policy atau ketentuan-ketentauan umum melalui tindakan-
tindakan pemerintahan yang bersifat menegakkan ketertiban umum, hukum,
wibawa negara, dan kekuasaan negara.

Dalam UU 32/2009 terdapat asas-asas yang berkaitan dengan kasus yang


akan dibahas, antara lain ialah asas tanggungjawab negara; asas kelestarian dan
keberlanjutan; asas kehati-hatian; asas partisipatif; serta asas tata kelola pemerintah
yang baik. Asas-asas ini seharusnya diperhatikan oleh pemberi izin sebelum
mengeluarkan izin (dalam hal ini Bupati Sumedang). Selain asas ini, terdapat pula
pengaturan mengenai apa yang harus dilakukan oleh pemberi izin apabila hasil
analisis daya tampung beban pencemaran air melewati batas.

“Bupati/walikota wajib menolak permohonan izin yang diajukan


penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan apabila berdasarkan hasil
analisis penetapan daya tampung beban pencemaran air menunjukkan
bahwa rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan yang diajukan merupakan
faktor penyebab terlewatinya daya tampung beban pencemaran air.”20

2.2. Pengendalian Pencemaran Lingkungan Melalui Baku Mutu Lingkungan

Masalah lingkungan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia,


berbeda dengan masalah lingkungan di negara maju atau negara industri. Masalah
lingkungan di negara maju disebabkan oleh pencemaran sebagai akibat sampingan
yang menggunakan banyak energi, teknologi maju yang boros energi pada
industri, kegiatan transportasi dan komunikasi serta kegiatan-kegiatan ekonomi
lainnya. Masalah lingkungan di Indonesia terutama berakar pada keterbelakangan
pembangunan. Karena itu, apabila negara industri mempunyai pandangan
yang kuat untuk mengatasi masalah lingkungan dengan tidak meningkatkan
pembangunan, lazim dikenal dengan pertumbuhan nol (zero growth), bagi
Indonesia justru untuk mengatasi masalah lingkungan diperlukan pertumbuhan
ekonomi dengan meningkatkan pembangunan nasional.21

20 Pasal 12 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Laksana
Pengendalian Pencemaran Air
21 M Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
(Alumni, Bandung, 2001), hlm. 18

116
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak


merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang
semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya
dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada
akhirnya menjadi beban sosial.

Dalam hukum lingkungan terdapat instrumen penaatan, instrumen penaatan


ini penting karena dapat mencegah pencemaran dan dapat membuat perusahaan
taat terhadap hukum lingkungan. Tujuan penaatan hukum lingkungan adalah
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan dengan menerapkan
persyaratan lingkungan terhadap kegiatan usaha dan/atau perorangan.22 Dalam
UU 32/2009 dijelaskan mengenai instrumen penaatan hukum lingkungan, salah
satunya adalah baku mutu lingkungan.23

Berkaitan dengan kasus yang akan dibahas, instrumen penaatan yang


digunakan ialah baku mutu lingkungan karena dalam mengeluarkan IPLC,
pemberi izin harus melihat kelas air24, daya tampung beban pencemaran air25,
baku mutu ambien, serta baku mutu effluent dari sungai yang akan menampung
beban limbah tersebut agar kualitas airnya tetap terjaga. Penentuan terjadinya
pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.
Baku mutu lingkungan hidup adalah “ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup.”26 Sedangkan baku mutu air adalah “ukuran batas atau kadar

22 Nadia Astriani, Instrumen Ekonomi dalam Perspektif Penaatan Hukum Lingkungan, dalam
Prosiding Perkembangan Hukum Lingkungan Kini dan Masa Depan, (LoGoz Publishing:
Bandung 2013), hlm. 511.
23 Lihat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
24 Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan
bagi peruntukan tertentu(Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air)
25 Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk
menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar
(Pasal 1 angka13 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air)
26 Lihat Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup

117
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.”27

Baku mutu lingkungan merupakan instrumen teknis untuk menentukan


terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat pelaksanaan suatu izin usaha dan/
atau kegiatan. Agar lingkungan hidup mampu mendukung kegiatan pembangunan
yang berkesinambungan, usaha untuk memelihara dan mengembangkan mutu
lingkungan hidup Indonesia penting.28

Baku mutu air bukan hanya merupakan salah satu instrumen penaatan
lingkungan, tetapi baku mutu air juga dapat menjadi instrumen pengelolaan
lingkungan. Hal ini dikarenakan dengan ditetapkannya baku mutu air pada
sumber air dan memperhatikan kondisi airnya, akan dapat dihitung berapa beban
zat pencemar yang dapat ditenggang adanya oleh air penerima sehingga air dapat
tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemaran ini merupakan
daya tampung beban pencemaran bagi air penerima yang telah ditetapkan
peruntukannya.29

Terdapat syarat administrasi dan syarat teknis dalam pengajuan permohonan


IPLC, syarat administrasi yang dimaksud adalah formulir izin; izin yang berkaitan
dengan usaha/kegiatan; serta dokumen AMDAL/UKL-UPL/dokumen lain yang
dipersamakan.30 Sedangkan yang dimaksud syarat teknis ialah upaya pencegahan
pencemaran, minimisasi air limbah, serta efisiensi energi dan sumberdaya yang
harus dilakukan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan air limbah; dan kajian dampak pembuangan air limbah
terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman, kualitas tanah dan air tanah,
serta kesehatan masyarakat.31

27 Penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup
28 M Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
(Alumni Bandung 2001), hlm. 116
29 Lihat Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
30 Bandingkan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2010
tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air
31 Lihat Pasal 23 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air

118
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

III. Pembahasan

Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup


serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup. Untuk dapat melakukan kegiatan yang kemungkinan berpengaruh
terhadap lingkungan hidup tersebut, maka seseorang atau suatu badan hukum
harus memiliki izin. Izin tersebut akan diawasi oleh pemberi izin dalam upaya
menjaga kelestarian fungsi lingkungan.32

Melalui instrumen izin, maka pemerintah (dalam kasus ini Pemerintah


Kabupaten Sumedang) dapat membatasi aktivitas yang berpengaruh pada
lingkugan hidup agar tidak terjadi kerusakan atau menimbulkan bahaya pada
lingkungan atau masyarakat sekitar. Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi
sebagai pengarah, untuk mengarahkan tingkah laku warga. Perizinan juga
memiliki fungsi pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan. Izin
dikeluarkan oleh penguasa sebagai instrumen untuk mempengaruhi hubungan
dengan para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai
tujuan yang konkret.33

Dalam UU 32/2009, asas yang dianut adalah asas otonomi daerah. Asas ini
memberikan dasar bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.34

Kasus yang diangkat oleh penulis dalam tulisan ini adalah kasus pembuangan
limbah cair ke Sungai Cikijing. Sungai Cikijing merupakan sungai yang melintasi 2
kabupaten yaitu, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung, Sungai Cikijing
pada awalnya merupakan sungai alami yang berfungsi sebagai irigasi sawah di dua

32 Bandingkan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan


Pengelolaan Lingkungan Hidup
33 Santi H D Adikancana, Tinjauan Yuridis Kewenangan Pemerintah dalam Hal Penegakan Hukum
Lingkungan dan Penerapan Sanksi Administratif, dalam Prosiding Perkembangan Hukum
Lingkungan Kini dan Masa Depan, (LoGoz Publishing: Bandung 2013), hlm. 490.
34 Lihat Pasal 1 huruf n Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

119
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

kabupaten tersebut serta perairan bagi perikanan, peternakan dan perkebunan.35


Sungai Cikijing yang berada di Kabupaten Bandung, melewati 4 desa, yaitu Desa
Jelegong, Desa Linggar, Desa Sukamulya dan Desa Bojong Loa, di mana keempat
Desa tersebut adalah Kawasan Pertanian Lahan Basah dan Kawasan Pemukiman.36
Sungai Cikijing juga sering dipakai oleh para petani dan peternak di keempat desa
tersebut untuk mengairi sawahnya dan menghidupi hewan ternaknya, namun dari
tahun 1994–2000 para petani dan peternak mengalami kerugian, hingga di tahun
2000 hingga sekarang banyak petani yang gulung tikar, dan tidak sedikit petani
yang enggan menyewa lahan atau memakai lahannya untuk bertani kembali,
begitu pula para peternak. Menurut data yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Bandung, Hingga tahun 2009 lahan sawah yang tercemar
limbah industri di Desa Linggar, Sukamulya, Jelegong, dan Bojongloa seluas 415 Ha
atau 42,2% dari total baku lahan sawah (983 Ha) di keempat desa tersebut dengan
hasil sekitar 0,50 – 0,60 ton GK/H, sehingga penurunan produktivitas lahan sawah
dari 1993 hingga 2009 pada 4 desa tersebut merosot hingga 91,17 %.37

35 Lihat Bagian D. dalam Pokok Sengketa Gugatan dalam berkas perkara Nomor 178/G/2015/PTUN
Bandung
36 Lihat Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No 3 Tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten
Bandung 2007 – 2027,
37 BPLHD Jabar, Pengantar Diskusi (FGD) Bedah Kasus Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung: “Meretas Jalan Panjang Menggapai Kebenaran dan
Keadilan”, http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/layanan/k2-categories-2/item/41-
pengantar-diskusi-fgd-bedah-kasus-pencemaran-dan-atau-kerusakan-lingkungan, diakses
pada tanggal 28 Maret 2016 Pk. 14.00 WIB

120
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

K AWASAN
PT . DWIPAPURI
K AHAT EX

PT . INSAN
SANDANG
PT .
FIV EST AR

Aliran Sungai Cikijing

Gambar 1. Peta Sungai Cikijing (Sumber: Google Earth, 2016)

Masing-masing surat Keputusan Bupati Sumedang38 menimbulkan akibat


hukum bagi PT. Kahatex, PT Five Star Textile Indonesia dan PT Insan Sandang
Internusa sehingga dapat membuang limbah cair ke Sungai Cikijing di Desa
Cisempur dan Desa Cintamulya, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.
Atas dasar Surat Keputusan itulah Koalisi Melawan Limbah yang terdiri dari
Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (WALHI Jabar), Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Bandung, dan Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (PAWAPELING)
menggugat penerbitan Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) ke Sungai Cikijing
ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dengan berkas perkara bernomor
178/G/2015/PTUN Bandung. Koalisi Melawan Limbah beranggapan bahwa
Sungai Cikijing telah tercemar dan seharusnya Bupati Sumedang tidak menerbitkan

38 Surat Keputusan Bupati Sumedang Nomor 660.31/Kep.509-IPLC/2014 tentang IPLC ke


Sungai Cikijing bagi PT Kahatex tertanggal 7 Juli 2014, Surat Keputusan Bupati Sumedang
Nomor 660.31/Kep.784-IPLC/2014 tentang IPLC bagi PT Five Star Texile Indonesia
tertanggal 30 Januari 2014, dan Surat Keputusan Bupati Sumedang Nomor 660.31/Kep.198-
IPLC/2013 tentang IPLC ke Sungai Cikijing kepada PT. Insan Sandang Internusa.

121
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

Izin Pembuangan Limbah Cair ke Sungai Cikijing. Hal ini dapat dilihat dari hasil
uji baku mutu air permukaan sungai Cikijing di bawah ini.

Hasil Uji Baku Mutu Air Permukaan Sungai Cikijing Tahun 2013

Bulan Bulan Bulan BAKU METODE/


NO PARAMETER SAT
Februari Agustus Desember MUTU STANDAR
Parameter Fisika

1 Temperatur C
0
30,2 27,4 34,2 deviasi 3 SNI 06 6989.23-2005
TDS (Residu
2 mg/L 1187 2093 2707 1000 SNI 06-6989.27-2005
Terlarut)
TSS (Residu
3 mg/L 229 280 56 50 SNI 06-6989.3-2004
Tersuspensi)

4 DHL µS/cm 1,760 3,050 4,15 - Metoda TOA DKK

Parameter
           
Kimia
1 Ph - 7,50 7,63 7,72 6-9 SNI 06 6989.11-2004
2 BOD5 mg/L 26 171 109 3 SNI 06-2503-1991
3 COD mg/L 78 268 270 25 HACH Method 8000
4 DO*) mg/L 3,5 5,7 1,9 >4 Metoda TOA DKK
Phosphat
5 mg/L 0,08 0,63 0,49 0,2 APPA AWWA 4500
(PO43--P)
Nitrat
6 mg/L < 0,2 8,4 35 10 HACH Method 8171
(NO3-N)
7 Kadmium (Cd) mg/L < 0,01 < 0,01 < 0,01 0,01 SNI 06-6989.16-2004

Krom
8 Heksavalen mg/L < 0,016 < 0,016 0,03 0,05 APPA AWWA
(Cr+6)
Tembaga
9 mg/L < 0,07 < 0,07 < 0,07 0,02 SNI 06-6989.6-2004
(Cu)
10 Timbal (Pb) mg/L < 0,35 <0,35 <0,35 0,03 SNI 06-6989.8-2004
11 Seng (Zn) mg/L 0,1155 0,1059 0,0864 0,05 SNI 06-6989.7-2004
12 Sianida (CN-) mg/L 0,011 0,012 < 0,008 0,02 HACH Method 8027
13 Fluorida (F-) mg/L 0,3 0,58 0,76 1,5 HACH Method 8029
14 Nitrit (NO2-N) mg/L 0,02 0,2 0,150 0,06 HACH Method 8507
Klorin Bebas
15 mg/L 0,11 0,17 < 0,02 0,03 HACH Method 8021
(Cl2)

Parameter Mikrobiologi 

1 Total Coliform Jml/0,1L 395 380 53000 5000 SNI 06-6858-2002

122
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

  Kimia Organik          
1 Detergen mg/L 0,082 0,039 0,058 0,2 HACH Method 8028
2 Fenol mg/L 0,0270 0,0961 0,0530 0,001 JIS K 0102 : 1998, 28

NO PARAMETER SAT Bulan Mei Bulan September

Parameter Fisika
1 Temperatur 0
C 31,2 29,8
TDS (Residu
2 mg/L 540 2910
Terlarut)
TSS (Residu
3 mg/L 58 48
Tersuspensi)
Parameter
       
Kimia
1 pH - 7,17 8,23
2 BOD5 mg/L 6 152

3 COD mg/L 32 335

4 DO*) mg/L 1,0 0,0

Phosphat
5 mg/L 0,14 1,36
(PO43--P)
6 Nitrat (NO3-N) mg/L 2,1 3,5
7 Kadmium (Cd) mg/L < 0,01 < 0,004
Krom
8 Heksavalen mg/L 0,03 0,03
(Cr+6)
9 Tembaga (Cu) mg/L < 0,07 0,0710
10 Timbal (Pb) mg/L <0,35 < 0,09
11 Seng (Zn) mg/L 0,0833 < 0,06
12 Sianida (CN ) -
mg/L 0,16 0,05
13 Fluorida (F-) mg/L 0,37 0,28
14 Nitrit (NO2-N) mg/L 0,173 3,4
Klorin Bebas
15 mg/L 0,10 0,33
(Cl2)
Parameter Mikrobiologi 
1 Fecal Coliform Jml/0,1L 50000 1240000
2 Total Coliform Jml/0,1L 290000 2600000
  Kimia Organik      

1 Detergen mg/L 0,039 0,28

2 Fenol mg/L 0,0527 0,1357

123
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

Hasil Uji Baku Mutu Air Permukaan Sungai Cikijing Tahun 2014
Keterangan :
• Baku Mutu yang digunakan adalah Baku Mutu Air Kelas II PP 82
tahun 2001
• tt : Tidak Tertentu
• tanda Parameter melebihi Baku Mutu

Gambar 2. Hasil Uji Baku Mutu Air Permukaan Sungai Cikijing Tahun 2013 dan 2014
(Sumber: BPLHD Jawa Barat, 2016)

Berdasarkan hasil uji baku mutu air permukaan Sungai Cikijing tahun 2013
dan 2014 di atas, kriteria pencemar seperti (TSS) (TDS) (BOD) dan (COD) melebihi
baku mutu, selain itu fisik dari airnya pun keruh, berwarna cokelat hingga hitam
dan berbau. Menurut Hasil/Laporan Valuasi Ekonomi Dampak Pencemaran
di Kawasan Industri Rancaekek dari Tim Peneliti UNPAD tahun 2015, dengan
menggunakan pendekatan Total Economic Valuation (tanpa mengikutsertakan
biaya abai baku mutu) maka nilai ekonomi total dari pencemaran di wilayah 4
Desa tersebut adalah sebesar Rp. 11.385.116.564.664,- (Sebelas triliun tiga ratus
delapan puluh lima milyar seratus enam belas juta lima ratus enam puluh empat
ribu enam ratus enam puluh empat rupiah).39

Walaupun Sungai Cikijing telah tercemar, tetapi Bupati Sumedang masih


menerbitkan izin kepada PT Kahatex, PT Insan Sandang Internusa dan PT Five Star
Textile Indonesia untuk membuang limbahnya ke Sungai Cikijing. Jangka waktu
Izin Pembuangan Limbah Cair tersebut, Izin Pembuangan Limbah berjangka
waktu 5 tahun dan pemegang izin harus melakukan daftar ulang per 1 tahun
sekali.40 Selama beroperasi, ketiga perusahaan ini telah mendapatkan teguran,
sanksi administrasi, pelaporan dari masyarakat, sanksi membayar ganti rugi
terhadap masyarakat bahkan salah satu dari ketiga perusahaan tersebut pernah
diberikan sanksi pidana karena tidak dioperasikannya IPAL, pembuangan limbah
secara langsung dan pembuangan limbah yang melebihi baku mutu air limbah.41

39 BPLHD Jabar, Loc. Cit


40 LihatPasal 11 Keputusan Bupati Sumedang No. 26 Tahun 2013 tentang Izin Pembuangan
Limbah Cair
41 Hasil Wawancara dengan Dhanur Santiko, Tim Kuasa Hukum Koalisi Melawan Limbah,
LBH Bandung, 13 April 2016

124
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, maka dalam penerbitan izin


lingkungan Pejabat (dalam kasus ini Bupati Sumedang) harus mempertimbangkan
berbagai asas yang termuat dalam pasal 2 UU 32/2009, yaitu di antaranya42 :

1. Asas tanggung jawab negara:


a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup
rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan;
b. negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat;
c. negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam
yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

Apabila dikaitkan dengan kasus ini, asas tanggung jawab negara menjelaskan
tentang kewajiban-kewajiban pemerintah daerah (dalam kasus ini Bupati
Sumedang) termasuk di dalamnya pengawasan dan penegakkan hukum yang
dilakukan demi pelestarian fungsi lingkungan. Dalam kasus ini, pemerintah
telah lalai dalam melakukan pengawasan terhadap pembuangan limbah cair
yang dilakukan oleh 3 perusahaan tersebut (dalam izin sebelumnya) sehingga
IPLC dianggap layak untuk dikeluarkan.43

2. Asas kelestarian dan keberlanjutan, yaitu bahwa setiap orang memikul


kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap
sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya
dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup;

Berkaitan dengan kasus, asas kelestarian dan keberlanjutan menjelaskan


bahwa dalam menerbitkan kebijakan, pemerintah (dalam kasus ini Bupati
Sumedang) harus memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan dari
lingkungan sekitarnya. Dengan dikeluarkannya IPLC oleh Bupati Sumedang,
secara langsung yang bersangkutan tidak memperhatikan kelestarian dan
keberlanjutan dari Sungai Cikijing dan lingkungan di sekitarnya.

42 Lihat Pasal 2 Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
43 Bandingkan Bagian D. dalam Pokok Sengketa Gugatan dalam berkas perkara Nomor 178/G/2015/
PTUN Bandung

125
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

3. Asas kehati-hatian, yaitu bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu


usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah
meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup;

Pemerintah harus mengedepankan asas ini untuk menghindari ancaman


terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dalam kasus
yang dibahas, Bupati Sumedang tidak mengedepankan asas ini karena telah
mengeluarkan IPLC. Hal ini juga diperkuat oleh Pertimbangan Hakim dalam
Putusan Perkara Nomor 178/G/2015/PTUN Bandung yang menyatakan
bahwa Bupati Sumedang tidak memperhatikan Asas Kehati-Hatian karena
telah memberikan IPLC yang limbahnya dibuang ke sungai yang bukan
hanya akan tercemar akan tetapi sudah tercemar.

4. Asas partisipatif, yaitu bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk


berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung
maupun tidak langsung;

Asas partisipatif ini menjadi penting, khususnya dalam kasus Sungai


Cikijing, adalah salah satu contoh nyata dimana pengambilan keputusan
tidak melibatkan masyarakat terdampak maupun masyarakat berpotensi
terdampak, maka dari itu masyarakat menggugat IPLC tersebut.

5. Asas tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan;

Dalam hal ini, kebijakan tidak boleh meniadakan aspek kehidupan sosial,
ekonomi masyarakat dan lingkungan. Kebijakan harus lahir dari sebuah
usulan dan kepentingan sosial ekonomi dan lingkungan. Bupati Sumedang
tidak memperhatikan asas ini dalam mengeluarkan IPLC, hal ini terlihat dari
cacatnya IPLC karena tidak disertai salah satu kajian dalam syarat teknis.

Kasus gugatan tata usaha negara ini memberikan gambaran bahwa


pengembangan ekonomi (investasi) tidak sejalan dengan perlindungan

126
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

lingkungan. Ketiga perusahaan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap


pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Sehingga pengawasan terhadap
ketiga perusahaan tersebut cenderung longgar. Kontribusi ekonomi yang besar
dari kehadiran ketiga perusahaan tersebut juga menyebabkan ketiga perusahaan
mendapatkan prioritas dan kemudahan dalam mengurus perizinan. Akibatnya
dampak negatif terhadap lingkungan cenderung terabaikan.

Pemerintah memiliki tanggung jawab mengelola lingkungan dan mencegah


pencemaran terhadap lingkungan. Tindakan Pemerintah Kabupaten Sumedang
memberikan izin pembuangan limbah cair ke dalam sungai yang telah tercemar,
menunjukkan Pemerintah Kabupaten Sumedang tidak memegang fungsi izin
sebagai pengendalian pencemaran, sebaliknya hanya melihat fungsi budgeter dari
izin tersebut. Dalam memberikan izin, Pemerintah Kabupaten Sumedang hanya
memperhatikan syarat-syarat admnistrasi dari pengajuan izin tanpa memperhatikan
syarat teknis dari izin tersebut.44 Sehingga fungsi izin sebagai pengendalian tidak
dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang. Lebih lanjut, pemberian izin ini
menunjukkan Pemerintah Kabupaten Sumedang melupakan tanggung jawabnya
terhadap perlindungan lingkungan, dengan membiarkan pencemaran lingkungan
terus-menerus dilakukan. Artinya Pemerintah Kabupaten Sumedang telah lalai
dalam menjalankan tanggung jawabnya mengelola lingkungan dan menyediakan
lingkungan yang sehat bagi masyarakat.

Dalam putusan kasus, Majelis Hakim PTUN Bandung bukan hanya memutus
pokok perkara membatalkan sekaligus memerintahkan Bupati Sumedang untuk
mencabut Surat Keputusan Bupati Sumedang Nomor 660.31/Kep.509-IPLC/2014
tentang Izin Pembuangan Limbah Cair Ke Sungai Cikijing di Desa Sempur
Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang Kepada PT. Kahatex tertanggal 7
Juli 2014, Surat Keputusan Bupati Sumedang Nomor 660.31/Kep.784-IPLC/2014
tentang Izin tentang Izin Pembuangan Limbah Cair Ke Sungai Cikijing di Desa
Cintamulya Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang Kepada PT. Five Star
Texile Indonesia tertanggal 30 Januari 2014, Surat Keputusan Bupati Sumedang

44 Hal ini diperkuat oleh pertimbangan hakim dalam Putusan Berkas Perkara Nomor
178/G/2015/PTUN Bandung yang menyatakan bahwa IPLC tidak memenuhi syarat
penerbitan karena tidak disertainya salah satu kajian dalam syarat teknis, serta Bupati
Sumedang tidak memperhatikan Asas Kehati-Hatian karena telah memberikan IPLC yang
limbahnya dibuang ke sungai yang bukan hanya akan tercemar akan tetapi sudah tercemar.

127
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

Nomor 660.31/Kep.198-IPLC/2013 tentang Izin tentang Izin Pembuangan Limbah


Cair Ke Sungai Cikijing di Desa Cintamulya Kecamatan Jatinangor Kabupaten
Sumedang Kepada PT. Insan Sandang Internusa. Lebih dari itu Pengadilan Tata
Usaha Negara Bandung melalui Penetapan Majelis Hakim Nomor 178/G/2015/
PTUN-BDG tanggal 24 Mei 2016 meyatakan penundaan pelaksaan Keputusan
Bupati Sumedang terkait Izin Pembuangan Limbah Cair PT Kahatex, PT Five Star
Texile dan PT Insan Sandang Internusa.45 Salah satu pertimbangan Majelis Hakim
menganggap bahwa SK yang dikeluarkan oleh Bupati Sumedang tentang IPLC
menyalahi aturan hukum dan tidak memperhatikan aspek kehati-hatian sebagai
pejabat publik. Walaupun izin yang dikeluarkan oleh Bupati Sumedang disertai
dengan dokumen lingkungan hidup, tetapi dalam dokumen lingkungan hidup
tersebut tidak disertai dengan kajian tersendiri tentang dampak pembuangan
limbah cair terhadap ikan, hewan, tanah dan kesehatan masyarakat.46 Oleh karena
tidak ada kajian seperti disebutkan di atas, maka tidak dapat dievaluasi beban
pembuangan air limbah ke Sungai Cikijing. Hakim memeriksa ex-tum fakta-fakta
yang terungkap di persidangan termasuk bukti tertulis, dan juga melakukan
pemeriksaan setempat di Sungai Cikijing diperoleh fakta bahwa kandungan bahan
pencemar Sungai Cikijing telah melampaui baku mutu pencemaran air.

IV. Simpulan dan Rekomendasi

Kasus ini menunjukkan bahwa fungsi izin sebagai pengendali kegiatan


di Indonesia pada kenyataannya masih jauh dari yang diharapkan. Langkah
besar yang harus ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam mewujudkannya
adalah membangun kesadaran dari seluruh aparat pengambil keputusan untuk
menyadari akibat jangka panjang dari pemberian izin terhadap lingkungan, dalam
kasus ini Sungai Cikijing yang telah tercemar menjadi korban dari pemberian Izin
Pembuangan Limbah Cair oleh Bupati Sumedang terhadap PT. Kahatex, PT.Five
Star Textil dan PT. Insan Sandang Internusa. Tidak hanya itu, Pemerintah juga harus
melakukan pengawasan kepada perusahaan-perusahaan yang telah diberikan

45 Muhnur Satyahaprabu, Press ReleasePTUN Bandung Cabut 3 Izin Pembuangan Limbah Cair,
Bandung 24 Mei 2016.
46 Lihat Syarat Teknis Izin dalam Pasal 23 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air

128
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

izinnya, karena itu merupakan kewajiban pemerintah dalam rangka melindungi


dan mengelola lingkungan hidup.

Dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakan, pemerintah harus


mengedepankan asas kehati-hatian untuk menghindari ancaman terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pada kasus ini, Bupati
Sumedang sebelum mengeluarkan IPLC seharusnya menerapkan asas kehati-
hatian. Selain itu, perlu dilakukan pengawasan ketat atas terbitnya izin
pembuangan limbah cair, apalagi limbah cair yang berasal dari wilayah-wilayah
hulu suatu kawasan. Pengawasan yang lemah mengakibatkan pencemaran
lingkungan sehingga instrumen izin tidak berfungsi sebagai pengendali kegiatan
yang berpotensi mencemari lingkungan. Tulisan ini diharapkan menjadi masukan
bagi pengambil kebijakan khususnya pemberi izin dalam menilai permohonan izin
yang diajukan, sehingga fungsi izin sebagai pengendali pencemaran lingkungan
dapat diterapkan secara optimal.

129
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI

DAFTAR PUSTAKA

Adikancana, Santi H D. Tinjauan Yuridis Kewenangan Pemerintah dalam Hal


Penegakan Hukum Lingkungan dan Penerapan Sanksi Administratif, dalam
Prosiding Perkembangan Hukum Lingkungan Kini dan Masa Depan, LoGoz
Publishing: Bandung 2013.

Astriani, Nadia. Instrumen Ekonomi dalam Perspektif Penaatan Hukum Lingkungan,


dalam Prosiding Perkembangan Hukum Lingkungan Kini dan Masa Depan,
LoGoz Publishing: Bandung 2013

BPLHD Jabar, Pengantar Diskusi (FGD) Bedah Kasus Pencemaran dan/atau Kerusakan
Lingkungan di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung: “Meretas Jalan Panjang
Menggapai Kebenaran dan Keadilan”, http://www.bplhdjabar.go.id/index.
php/layanan/k2-categories-2/item/41-pengantar-diskusi-fgd-bedah-kasus-
pencemaran-dan-atau-kerusakan-lingkungan, diakses pada tanggal 28 Maret
2016.

Danusaputro, Munadjat. 1980. “Hukum Lingkungan, Buku 1 : Umum”. Bandung:


Binacipta.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 1998. “Hukum Tata Lingkungan”. Edisi kedelapan


Cetakan kesembilan belas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Helmi, 2012, “Hukum Perizinan Lingkungan Hidup”, Jakarta: Sinar Grafika.

Indonesia. Keputusan Bupati Sumedang No 26 tahun 2013 tentang Izin Pembuangan


Limbah Cair.

Indonesia. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No 3 Tahun 2008 tentang RTRW


Kabupaten Bandung 2007 – 2027

Indonesia. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata
Laksana Pengendalian Pencemaran Air

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas


Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

130
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Indonesia. Putusan Hakim dalam Berkas Perkara 178/G/2015/PTUN Bandung

Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

M. Hadjon, Philipus. 1993. “Pengantar Hukum Perizinan”. Surabaya: Yuridika

Pudyatmoko, Y. Sri. 2009. “Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan’. Jakarta:


Grasindo.

Rangkuti, Siti Sundari. 1996. “Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan


Nasional”. Surabaya: Airlangga University Press.

Satyahaprabu, Muhnur. Press Release PTUN Bandung Cabut 3 Izin Pembuangan


Limbah Cair. Bandung 24 Mei 2016.

Silalahi, M Daud. 2001. “Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum


Lingkungan Indonesia. Bandung: Alumni.

131
132
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

K ontribusi I ndustri T ekstil dalam P enggunaan


B ahan B erbahaya dan B eracun T erhadap
R usaknya S ungai C itarum

Oleh : Desriko Malayu Putra1

Abstrak

Indonesia merupakan Negara yang masuk dalam jajaran 10 besar pengekspor


pakaian terbesar dunia dan pada tahun 2011 Indonesia merupakan negara
pengekspor terbesar ke-11 di dunia. Indonesia adalah negara dengan ekonomi
yang paling besar di Asia Tenggara, dan sektor tekstil menyumbang 8,9 persen
total ekspor Indonesia pada 2010. Tulisan ini akan melihat bagaimana kontribusi
sektor industri tekstil terhadap rusaknya Sungai Citarum. Metodologi penulisan
ini munggunakan pendekatan yuridis normatif yang diperkuat oleh kasus kegiatan
industri yang letaknya bersebelahan dengan Sungai Citarum. Sungai Citarum
memiliki reputasi buruk sebagai sungai terkotor di dunia. Masalah kasat mata
berupa sampah dan limbah domestik memang terlihat parah. Tetapi limbah dari
bahan berbahaya dan beracun yang digunakan dalam industri tekstil merupakan
sumber besar dari pencemaran dengan konsekuensi jangka panjang yang lebih
serius, terutama di bagian hulu Sungai Citarum di mana terdapat 68 persen pabrik
tekstil.

Kata kunci : sungai citarum, pencemaran, industri tekstil

1 Penulis adalah aktivis lingkungan, pernah berafiliasi sebagai pengkampanye di Greenpeace


Indonesia dan Deputi Direktur WALHI Sumatera Barat.

133
DESRIKO MALAYU PUTRA

Abstract

Indonesia is a country that is included in the top 10 of the world’s largest apparel
exporter and in 2011 Indonesia was the 11th biggest exporter in the world. Indonesia is
the country with the biggest economy in Southeast Asia, and the textile sector accounted
for 8.9 percent of Indonesia’s total exports in 2010. This article will look at how the textile
industry contributes to the destruction of the Citarum River. This paper will usenormative
juridical approach is reinforced by theindustry case located near Citarum River. The
Citarum River has bad reputation as the dirtiest river in the world. Visible problem of
garbage and domestic waste can be dismal. But hazardous waste and toxic use in the textile
industry is also a major source of pollution, especially in the upper Citarum where 68
percent of the industry establishment are textile factories.

Keywords : citarum river, polluting, textile industries

I. Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara yang masuk dalam jajaran 10 besar pengekspor


pakaian terbesar dunia yang pada tahun 2011 merupakan negara pengekspor
garmen terbesar ke-11 di dunia. Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang
paling besar di Asia Tenggara, dan sektor tekstil menyumbang 8,9 persen dari
total ekspor negara ini pada 2010.2 Tak bisa dipungkiri, perkembangan industri
tekstil di Indonesia sedang “naik daun” seiring dengan kemajuan gaya berpakaian
(fashion style) masyarakat. Lihat saja bagaimana desain baru pakaian berganti
cepat, baik dalam bentuk motif yang sangat beragam maupun gaya yang disajikan
yang menarik dan mencolok dan menjadi daya tarik tersendiri bagi kebutuhan
gaya generasi muda saat ini.

Di Indonesia, khususnya di provinsi Jawa Barat yang merupakan pusat tekstil


modern dan industri busana, banyak pabrik manufaktur beroperasi, misalnya di
kawasan Bandung. Keberadaan industri tekstil di daerah ini telah berkontribusi
pada pencemaran Sungai Citarum. Meski persoalan air limbah domestik yang
tidak dikelola dan sampah secara kasatmata terlihat parah, namun limbah industri

2 Business Vibes; Industry Insight (2013). Tekstile Industry in Indonesia, http://www.


busiinessvibes.com/blog/industry-insight-textile-industry-indonesia, export in term of
monetary value.

134
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

juga merupakan penyebab penting terhadap pencemaran sungai. Secara kuantitas


limbah industri diklaim lebih sedikit dibandingkan limbah domestik, tetapi
berdasarkan kajian air limbah industri lebih terkonsentrasi dan mengandung
banyak materi-materi berbahaya. Sebagai contoh, kajian pada tahun 2005
mengenai sumber-sumber pencemaran air di hulu Sungai Citarum3 menemukan
bahwa pencemaran sebagian besar disebabkan oleh aktivitas industri di bagian-
bagian hulu sungai. Pada saat itu lebih dari 800 pabrik tekstil beroperasi di
kawasan Majalaya dan sekitarnya, sebelah selatan Bandung4. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa pencemaran Sungai Citarum sudah berawal di bagian atas, di
dekat hulunya, sektor pertanian juga berkontribusi terutama dalam penggunaan
pestisida-pestisida yang persisten dan berbahaya seperti DDT (dichloro-diphenyl-
trichloroethane) yang di Indonesia telah dilarang penggunaannya beberapa tahun
yang lalu5 dan lindane6. Bukti pencemaran bahan kimia berbahaya mungkin tidak
terlalu kasat mata, tetapi dapat menimbulkan ancaman serius jangka panjang baik
bagi lingkungan maupun kesehatan manusia.

Sungai Citarum memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi,


tidak hanya bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya tetapi juga bagi mereka
yang tinggal ratusan kilometer nan jauhnya. Sungai Citarum merupakan sumber
pasokan air minum bagi penduduk Jawa Barat dan ibukota Jakarta. Daerah aliran
Sungai Citarum didominasi oleh sektor industri manufaktur seperti tekstil, kimia,
kertas, kulit, logam/elektroplating, farmasi, produk makanan dan minuman,
dan lainnya. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat (BPLHD
Jabar) telah mengkonfirmasi bahwa limbah industri jauh lebih intens dalam hal
konsentrasi dan mengandung bahan-bahan berbahaya. Sebanyak 48% industri
yang diamati, rata-rata pembuangan limbahnya 10 kali melampaui baku mutu
yang telah ditetapkan.7

3 Parikesit, Salim H, Triharyanto E, Gunawan B, Sunardi, Abdoellah OS & Ohtsuka R (2005).


Multi-Source Water Pollution in the Upper Citarum Watershed, Indonesia, with Special
Reference to its Spatiotemporal Variation. Environmental Sciences 12 3 (2005), 121-131, MYU
Tokyo. http://122.249.91.209/myukk/free_journal/Download.php?fn=ES587_full.pdf
4 Ibid.
5 Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan
Bahan Berbahaya Dan Beracun
6 Parikesit et al (2005) op cit.
7 BPLHD Provinsi Jawa Barat. Status Lingkungan Hidup Daerah 2010.

135
DESRIKO MALAYU PUTRA

Kontaminasi bahan-bahan kimia berbahaya dan beracun industri dibuktikan


oleh sejumlah penelitian. Perhatian utama diberikan pada bahan kimia beracun
yang ditemukan di sungai, yaitu logam berat. Logam berat merupakan elemen
yang tidak dapat terurai (persisten) dan dapat terakumulasi melalui rantai
makanan (bioakumulasi), dengan efek jangka panjang yang merugikan pada
makhluk hidup8. Sebuah investigasi mengenai bioakumulasi mengungkapkan
bahwa logam berat seperti Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Nikel (Ni), dan Timbal (Pb)
ditemukan dalam kadar yang tinggi pada dua spesies ikan yang biasa dimakan,
Oreochromis nilotica dan Hampala macrolepidota9.

II. Berbagai produk : Dibuat di Indonesia untuk Dunia

Beberapa waktu belakangan terjadi peningkatan jumlah ekspor barang yang


mempunyai nilai tambah seperti jaket, celana panjang, gaun, dan busana resmi,
baik untuk pria maupun wanita dibanding dengan bahan-bahan dasar.10 Banyak
merk busana terkemuka dunia menggunakan Indonesia sebagai lokasi manufaktur
untuk menopang ekspor global mereka dan sekitar 61 persen garmen diekspor ke
pasar international.

Di Indonesia, tidak kurang dari 80 persen dari total industri manufaktur


terkonsentrasi di Pulau Jawa, seperti Bandung yang merupakan kawasan
dengan keberadaan pabrik manufaktur terbanyak (37 persen) dari total industri
manufaktur di Jawa Barat pada tahun 200711 , disamping itu Propinsi Jawa Barat juga
merupakan pusat tekstil modern dan industri busana di Indonesia. Kebanyakan

8 Terangna. 1991. Water Polution. The Course of The Environmental Impact Assessment.
Instituteof Ecology. Padjajaran University
9 Greenpeace Asia Tenggara, Walhi Jawa Barat (2012), Bahan Beracun Lepas Kendali, Sebuah
Potret Pencemaran Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun di Badan Sungai Serta Beberapa
Titik Pembuangan Industri Tak Bertuan, Studi Kasus Sungai Citarum.http://www.
greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/469211/Full%20report%20_Bahan%20Beracun%20
Lepas%20Kendali.pdf
10 Global Business Guide Indonesia (2013). Manufacturing Indonesia’s Garment and Apparel
Sectorhttp://www.gbgindonesia.com/en/manufacturing/article/2012/indonesia_s_
garment_and_apparel_sector.php
11 Wahyudi ST & Mohd Dan Jantan MD (2010). Regional Patterns of Manufacturing Industries:
a Study of Manufacturing Industries in Java Region, Indonesia, Philippine Journal of
Development Number 68, First Semester 2010, Volume XXXVII, No. 1, p.96 http://www3.
pids.gov.ph/ris/pjd/pidspjd10-1indonesia.pdf

136
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

industri beroperasi di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Banyaknya


berdiri pabrik-pabrik manufaktur di daerah ini tidak terlepas dari ketersediaan
lahan yang cukup, infrastruktur yang memadai, sumberdaya alam, dan kedekatan
jarak dengan Jakarta atau pusat bisnis.

Sekitar 60 persen dari total produsen atau perusahaan tekstil nasional


berada di Jawa Barat atau di sepanjang DAS Citarum.12 Pabrik tekstil di Sungai
Citarum juga paling mendominasi dibanding sektor lainnya, mewakili 46 persen
dari keseluruhan industri13. Penggunaan bahan kimia berbahaya dalam industri
tekstil khususnya dalam kegiatan pewarnaan tidak dapat “terhindari”. Industri
lebih memilih menggunakan pewarna berbahan kimia karena mudah didapatkan
dalam jumlah banyak di pasaran. Sementara pewarna alami dari tumbuhan
membutuhkan proses panjang dan rumit dalam mengekstraknya. Pewarna kimia
sintetis secara besar-besaran yang dikombinasikan dengan penggunaan bahan
kimia lainnya digunakan untuk mengantikan pewarna alami, dimana di antara
bahan-bahan yang digunakan tersebut mengandung bahan berbahaya beracun(B3)
di antaranya nonylphenol (NP) dan tributyl phosphate (TBP). Penggunaan bahan-
bahan kimia secara besar-besaran dalam proses produksi berbanding lurus dalam
terhadap limbah yang dihasilkan. Industri akan melakukan pengelolaan terhadap
limbah buangan tersebut namun dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh
banyak pihak di Sungai Citarum menemukan berbagai kandungan bahan kimia
yang digunakan oleh industri tekstil di Sungai Citarum turut berkontribusi pada
rusaknya Sungai Citarum14.

Sektor pewarnaan tekstil memiliki sejarah panjang di sepanjang aliran Sungai


Citarum. Nama Citarum berasal dari nama Tarum, tanaman ini dulunya tumbuh di
sepanjang Sungai Citarum. Dahulunya, tumbuhan ini digunakan sebagai pewarna
alami yang digunakan oleh para pembuat batik. Tanaman ini tidak serta merta
dapat langsung dijadikan sebagai pewarna, namun harus diekstrak terlebih dahulu

12 Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (2011). Citarum River Basin Status Map. http://
www.citarum.org/upload/knowledge/document/Citarum_Basin_Status_Map_2011.pdf,
diakses pada tanggal 25/2/2013
13 Greenpeace Asia Tenggara, Walhi Jawa Barat (2012)op cit.
14 Pencemaran Sungai Citarum Akibat Industri Manufaktur, Uploaded by Muhammad
Habibi.https://www.academia.edu/7606825/PENCEMARAN_SUNGAI_CITARUM_
AKIBAT_INDUSTRI_MANUFAKTUR

137
DESRIKO MALAYU PUTRA

dan memang membutuhkan waktu yang panjang dan sedikit sulit. Penggunaan
pewarna dari tanaman ini merupakan bagian dari budaya masyarakat di sekitar
Citarum. Namun, seiring dengan berjalannya waktu upaya penyelamatan atau
pengembangbiakan tanaman tidak dilakukan, dan kini tanaman Tarum tidak lagi
dapat ditemukan atau tumbuh di sepanjang aliran Sungai Citarum. Kondisi ini yang
kemudian menjadi salah satu pemicu bagi pembuat batik beralih menggunakan
pewarna sintetis.15

Greenpeace International pernah melakukan investigasi dan mengungkap


hubungan bisnis atau setidak-tidaknya berhubungan dengan bagian dari PT.Gistex
Group perusahan yang terasosiasi dengan pabrik yang melakukan pencemaran
(Divisi Tekstil PT. Gistex) di Indonesia dengan beberapa merk-merk fashion global.
Di antaranya adalah GAP Inc (yang memiliki merk Gap, Old Navy dan Banana
Republic), Marubeni Corporation, Brook Brother, Adidas Group dan H&M. Namun
Adidas Group dan H&M sedikit lebih maju dibanding yang lainnya dimana kedua
perusahaan ini telah membuka informasi kepada publik terkait dengan rantai
produksi global mereka,16 dan termasuk membuat data pencemaran yang mudah
diakses (melalui pemasok mereka) oleh publik secara online, seperti skema IPE17.

Keterbukaan informasi memiliki peranan penting dalam mengatasi


pencemaran bahan-bahan kimia berbahaya dari industri tekstil. Keterbukaan
informasi ini juga akan menjembatani kepentingan industri dengan berbagai
merk dalam komitmen perlindungan terhadap lingkungan. Hubungan yang erat
dan kuat antara pemasok dan merk-merk (Supply Chain) tentu akan membantu
terwujudnya sumber air yang aman dan bersih, termasuk dengan merk-merk yang
terhubung dengan industri tekstil yang beroperasi di sepanjang Sungai Citarum.
Selanjutnya konsumen juga berhak tahu mengenai praktik-praktik produksi yang
dilakukan oleh produsen, jenis dan bahan kimia yang digunakan dalam kegiatan
produksi termasuk sistem pengelolaan limbah serta pembuangan limbah ke badan
air setelah melalui tahapan pengelolaan.

15 Wahyudi ST & Mohd Dan Jantan MD (2010), op cit.


16 Greenpeace International, Toxit Threads: Meracuni Surga, dipublis pada bulan April 2013
17 IPE, or the Institute of Public& Environmental Affairs, is anenvironmental NGO in
China:http://www.ipe.org.cn/en/pollution/index.aspx

138
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Keindahan motif, warna dan model dari pakaian adalah pemikat bagi konsumen
untuk membeli dan memiliki dari berbagai model yang ditawarkan tersebut. Jika
tidak selektif dalam memilih dan mencari tahu mengenai proses produksinya
dapat dipastikan bahwa konsumen juga berkontribusi terhadap pencemaran
yang dilakukan oleh produsen dengan asumsi bahwa belum seluruhnya industri-
industri tekstil “ramah” terhadap lingkungan atau berkomitmen terhadap nol
buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dalam produksinya.

Indahnya fashion tidak mesti harus mengorbankan lingkungan. Konsumen


bisa menggunakan pengaruh atau memainkan peran dalam mewujudkan masa
depan bebas limbah. Terutama terhadap merk-merk yang menjadi idola di pasaran.
Partisipasi publik dalam mendorong produsen untuk membersihkan rantai produk
mereka dari bahan berbahaya dan beracun sekaligus memastikan tidak ada lagi
bahan kimia berbahaya dalam pakaian yang kita gunakan. Dorongan itu bisa
saja datang lebih luas dari kalangan aktifis, perancang busana, pengamat, blogger
dan para pecinta busana. Konsumen adalah raja, pepatah ini diakui oleh kalangan
produsen dimana tidak dapat dipungkiri konsumen dapat memberikan pengaruh
dalam memainkan perananannya masing-masing.

III. Membuang Limbah di Sungai Citarum

Sungai Citarum merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Airnya bersumber


dari puncak gunung vulkanik di kawasan pesisir selatan jawa dan mengalir ke arah
barat laut sejauh 270 kilometer. Pada 200 kilometer pertama sungai mengalir melalui
dataran bergunung-gunung dan berbukit, kemudian melalui tiga bendungan dan
pada 70 kilometer berikutnya mengairi tanah dataran yang luas sebelum berakhir
di Laut Jawa di sebelah timur Jakarta.18 Karakter iklimnya dibagi dalam dua garis
besar musim: musim hujan pada November hingga April, dan selebihnya adalah
musim kering. Banjir adalah bagian yang biasa, terutama di musim penghujan.

Sungai Citarum memiliki peran penting di kawasan ini sebagai sumber air
bagi pertanian, rumah tangga, industri, dan sebagai asimilasi pencemaran. Sungai
Citarum juga menyediakan energi bagi tiga bendungan listrik tenaga air, dan

18 Fullazaky MA (2010). Water quality evaluation system to assess the status and the suitability.
Environ Monit Assess (2010) 168:669-684. Also see Chapter 3.

139
DESRIKO MALAYU PUTRA

menurut laporan menyumbang hingga 20 persen pendapatan domestik kotor (gross


domestic product) Indonesia dari sektor manufaktur serta 80 persen permukaan
airnya, melalui kanal Tarum Barat, menyuplai sumber air minum Jakarta. Air dari
Sungai Citarum juga digunakan untuk irigasi ratusan ribu hektar lahan persawahan
dan lahan pertanian, serta menyuplai kebutuhan air minum bagi kota-kota besar
termasuk Bandung dan Jakarta. Hampir 40 juta orang bergantung pada Sungai
Citarum19,pada tahun 1984, Pemerintah mengidentifikasi Sungai Citarum sebagai
“sungai superprioritas”20.

Sebuah penelitian terhadap kualitas air sungai pada tahun 2010 menyimpulkan
bahwa Sungai Citarum secara umum berada dalam kualitas yang sangat
buruk menurut parameter polusi,21 kecuali di bagian sungai yang telah melalui
Bendungan Jatiluhur (karena telah mendapat efek pemurnian alami dari tiga
danau-danau buatan). Penelitian ini juga memperingatkan akan meningkatnya
degradasi kualitas air dari tahun ke tahun, akibat meningkatnya pasokan polusi
dari limbah industri serta limbah domestik yang tidak dikelola, terutama yang
terjadi di kawasan Bandung.

Pertumbuhan industri dan penduduk yang bermukim di tepi sungai


menjadikan Sungai Citarum sebagai tempat umum untuk membuang limbah
domestik dan limbah-limbah industri, dimana dalam beberapa kasus pembuangan
limbah akibat kegiatan industri tanpa melalui proses pengelolan sama sekali bahkan
untuk penanganan tingkat dasar sekalipun.22 Pada bulan Mei 2012, Greenpeace
Indonesia melakukan sampling air limbah yang dibuang oleh PT.Gistex di tiga
titik pembuangan (Outfall). Dari sampel itu terindentifikasi beragam bahan kimia
banyak di antaranya yang mengandung unsur berbahaya, ada yang merupakan
toksik bagi kehidupan akuatik dan bersifat persisten yaitu akan bertahan dalam
waktu lama pada saat dilepaskan ke lingkungan.23 Walau demikian, masalah air
19 Press Release, Melwan Lupa Citarum. http://www.sorgemagz.com/press-release-
melawan-lupa-citarum/#.V1fxCJF97IU
20 Indonesia, Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri No.19/1984; Menteri Kehutanan
No.059/1984 dan Menteri Pekerjaan Umum No.124/1984, Citarum adalah sungai prioritas super
untuk Indonesia.
21 Fullazaky MA (2010) opcit.
22 Greenpeace International, Toxit Threads: Meracuni Surga (2013), op. cit
23 Brigden K, Labunska I, Santillo D &Wang M (2013). Organic chemicaland heavy metal
contaminants in wastewaters discharged from two textilemanufacturing facilities in

140
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

limbah domestik yang tidak dikelola dan secara kasatmata memang keberadaan
sampah terlihat parah.Pembedanya bahwa limbah industri lebih terkonsentrasi
dan mengandung banyak materi-materi berbahaya. Bukti pencemaran bahan
kimia berbahaya mungkin tidak terlalu kasat mata, tetapi dapat menimbulkan
ancaman serius jangka panjang baik bagi lingkungan maupun kesehatan manusia.

Kajian pada tahun 2005 mengenai sumber-sumber pencemaran air dibagian


hulu Sungai Citarum24 menemukan bahwa level pencemaran sebagian besar
disebabkan oleh aktivitas industri di bawah hulu sungai. Secara jumlah, limbah
industri memang lebih sedikit jika dibandingkan dengan limbah domestik yang
beragam jenis dan bentuknya, tetapi berdasarkan kajian pemerintah air limbah
industri lebih terkonsentrasidan bersifat persisten dan dapat berada dalam sungai
dalam periode waktu lama setelah dibuang serta beberapa diantaranya mampu
berakumulasi di dalam tubuh makhluk hidup.25 Sementara pada penelitian pada
tahun 2009 menemukan konsentrasi logam berat tembaga, timah dan nikel di dalam
ikan secara umum meningkat di Sungai Citarum dari hulu ke hilir.26 Pencemaran
logam berat merupakan masalah serius yang juga harus segera ditangani, salah
satunya dengan melakukan identifikasi sumber pencemarannya. Dan tidak
tertutup kemungkinan logam berat tersebut berasal dari fasilitas-fasilitas dalam
industri tekstil dan berbagai industri lainnya di sepanjang Sungai Citarum. Kajian
di atas menunjukkan bahwa persoalan limbah bahan kimia dari sektor industri
belum ditangani dengan serius baik dalam bentuk penegakan hukum seperti
aspek penaatan melalui standar baku mutu yang ditetapkan oleh regulasi maupun
dalam bentuk kegiatan pemantauan berkala atau monitoring ilmiah.

Indonesia.http://www.greenpeace.org/international/en/publications/Campaign-
reports/Toxics-reports/Polluting-Paradise
24 Parikesit et al (2005) op cit.
25 BPLHD Provinsi Jawa Barat. Status Lingkungan Hidup Daerah 2010, op.cit
26 Roosmini D, Hadisantosa F, Salami IRS, Rachmawati S, (2009), Heavymetals level in
Hypocarcus Pargalis as biomarker in upstream Citarum River,West Java, Indonesia, p31-36,
in South East Asian Water Environment,2009 IWA Publishing. http://books.google.co.uk/
books/about/Southeast_Asian_Water_Environment_3.html?id=6pahUcse7TcC

141
DESRIKO MALAYU PUTRA

IV. Mengungkap Bahan Kimia di Citarum

Pada tahun 2012, sebuah investigasi dilakukan oleh Greenpeace Asia


Tenggara bersama WALHI Jawa Barat, dibantu oleh Institute of Ecology, Universitas
Padjadjaran dan Lab. Afiliasi Kimia, Univesitas Indonesia, menelusuri dampak
polusi industri terhadap Sungai Citarum. Riset ini mengukur buangan limbah dan
kualitas air sungai di 10 lokasi, mulai dari sumber mata air yang asri, hingga hilir
sungai.27 Beberapa titik pembuangan limbah tak bertuan atau yang lazim dikenal
dengan sebutan “pipa siluman” bersama dengan air sungai dan sedimennya
dijadikan sampel. Sampel yang diuji adalah kandungan logam berat seperti Timbal
(Pb), Merkuri (Hg), Mangan (Mn), Ferrum (Fe), Krom (Cr), Seng (Zn), Cadmium (Cd)
dan lain-lain serta berbagai parameter polusi air pada umumnyadiantaranya
Biochemical oxygen demand (BOD), Chemical oxygen demand (COD), Total suspended
solids (TSS), Amonia Total (NH3-N), Sulfida dan Keasaman (pH) dan bahan kimia
organik berbahaya. Hasilnya menunjukkan keberadaan bahan kimia dalam sampel
limbah cair, termasuk logam berat seperti Merkuri, Kromium Heksavalen, Timbal dan
Cadmium. Sedimen sungai juga dianalisis dan hasilnya menunjukkan kandungan
Kromium, Tembaga dan Timbal yang cukup tinggi pada titik-titik sampling
tertentu.28 Berbagai bahan kimia organik berbahaya juga terdeteksi di sampel-
sampel limbah cair, di antaranya: Phthalates, termasuk DEHP, DiBP, DBP dan DEP,29
yang terdeteksi pada lima dari tujuh sampel limbah cair, serta BHT.30 Penelitian
ini mengingatkan kita betapa seriusnya masalah yang dihadapi Sungai Citarum.
Harus segera dilakukan evaluasi apakah regulasi saat ini cukup memadai dalam
mengatur persoalan limbah kimia yang jenisnya setiap waktu terus bertambah.
Begitu pula dengan dorongan dalam melakukan melakukan tindakan penegakan
hukum atas pencemaran yang terjadi.

Kandungan logam berat akan memberikan dampak signifikan terhadap


lingkungan dan kesehatan manusia. Misalkan saja Timbal (Pb) dapat menghambat
pembentukan homoglobin (sebabkan anemia), kerusakan sistem syaraf dan

27 Greenpeace Asia Tenggara, Walhi Jawa Barat (2012)op cit.


28 Ibid.
29 Bis(2-ethylhexyl) phthalate (DEHP), Di-isobutyl phthalate (DiBP), Dibutyl phthalate (DBP),
Diethyl phthalate (DEP)
30 2,6-bis (dimethyl ethyl-4 methyl) phenol, also known as butylated hydroxyltoluene (BHT)

142
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

bersifat karsinogenik. Paparan Mangan (Mn) melalui jalur kulit mengakibatkan


tremor, gangguan koordinasi dan tumor. Merkuri (Hg) bersifat racun dan akan
terakumulasi dalam ginjal, otak, hati dan janin. DiBP (Di-isobutyl phthalate)
menganggu kerja kelenjar endoktrin dan bersifat racun bagi kehidupan akuatik.31
Dan banyak kandungan lainnya yang memberikan dampak serius bagi kesehatan.

V. Investigasi Terhadap Perusahaan Tekstil

Tekstil dan pakaian merupakan bagian penting dari ekonomi Bandung.


Industri tekstil telah memberikan sumbangan terhadap bagi pendapatan daerah
serta banyak menyerap tenaga kerja dan juga memberikan multiplier effect/ bagi
usaha lainnya.

PT. Gistex adalah salah satu perusahaan manufaktur tekstil polyester yang
terletak di dekat Desa Lagadar Margaasih atau di sebelah barat Kota Bandung.
Lokasi berada tepat di pinggir Sungai Citarum. Perusahaan ini didirikan pada
tahun 1975 hingga sampai tahun 2007, perusahaan ini telah memiliki delapan
pabrik dengan jumlah karyawan sekitar 3.000 orang dan memproduksi 12 juta
potong pakaian per tahun dan 6 juta yard (5,5 juta meter) bahan pakaian per bulan32.
PT. Gistex merupakan salah satu perusahaan manufaktur (pembuatan) terbesar di
Bandung, dengan fokus pada tekstil dan busana. Produk-produknya juga diekspor
ke berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, PT. Gistex memiliki enam lokasi fasilitas
dengan kantor pusat Divisi Tekstil dan Garmen berlokasi di Bandung.

Fasilitas Pabrik PT. Gistex berbatasan dengan perumahan penduduk dan


peternakan, Sungai Citarum ada di selatan pabrik. Limbah dari proses tekstil
dilaporkan telah ditangani dengan instalasi pengolahan air limbah (IPAL),
sebelum akhirnya dialirkan ke sungai melalui pipa pembuangan (outfall) utama
(khususnya pada jam-jam operasi). Terdapat dua titik pembuangan (outfall) selain
pipa pembuangan utama yang sesekali digunakan untuk membuang air limbah
meski secara kasat mata tidak jelas dari titik mana dari dalam pabrik air limbah

31 Widowati, Dr. Ir., Msi, Astiana Sastiono, Dr. Ir. MSc & Raymond Jusuf R, Dr. Msi. 2008. Efek
Toksik Logam: pencegahan dan penanggulangan pencemaran. Penerbit Andi Yograkarta. h.
409
32 Gistex, Indonesia Integrated Textile Industry, 32 Years Anniversary,1975 - 2007

143
DESRIKO MALAYU PUTRA

itu keluar. Beragam bahan kimia teridentifikasi dalam sampel limbah cair yang
dilakukan oleh Greenpeace di salah satu perusahaan yang limbahnya berujung
pada Sungai Citarum. Empat sampel air limbah dikumpulkan pada dua hari yang
berbeda dari outfall fasilitas PT.Gistex. Semua sampel dianalisa di laboratorium
riset Greenpeace(Universitas Exeter, Inggris) dan hasilnya menyimpulkan banyak
bahan kimia yang dikenal memiliki sifat berbahaya, termasuk bersifat toksik
terhadap akuatik, persisten (sulit terurai) dan dapat terakumulasi pada tubuh
makhluk hidup.33

Bahan kimia yang ditemukan di outfall utama, di antaranya; nonylphenol


(NP), kontaminan lingkungan yang sudah terkenal bersifat persisten dengan sifat
menganggu kerja hormon, serta ditemukan nonylphenol ethoxylates (NPEs), yang
digunakan sebagai deterjen dan surfaktan pada produksi dan pencucian tekstil,
dimana NPEs kemudian akan terurai menjadi NP.Tributyl phosphate (TBP), sebuah
materi kimia berbahaya yang digunakan pada industri tekstil sebagai carrier untuk
cat tertentu, sebagai plasticiser dan antifoaming agent, dimana materi ini bersifat
beracun bagi kehidupan akuatik dan persiten taraf sedang. Terdapat antimony
terlarut dalam konsentrasi yang tinggi, sebuah metaloid toksik yang digunakan
dalam produksi polyster. Sementara di outfall lainnya ditemukan bahwa air
limbah yang dikeluarkan dari salah satu outfall lainnya yang lebih kecil bersifat
sangat basa (pH14), membahayakan perairan dan organisme yang berkontak
dengannya. Limbah tersebut juga mengandung asam p-terephthalic (bahan baku
yang digunakan dalam produksi PET Polyester), hal ini menunjukkan bahwa
limbah cair tersebut bahkan belum menerima pengolahan yang paling mendasar
sekalipun sebelum dibuang ke badan air.34 Secara umum dapat disampaikan
bahwa PT. Gistex merupakan contoh nyata akan penggunaan dan pembuangan
bahan kimia berbahaya dari produsen tekstil Indonesia. Praktik ini dapat menjadi
ilustrasi terhadap persoalan pembuangan limbah kimia ke sungai di sektor industri
tekstil dan garmen.

Nonylphenol (NP) dan Nonylphenolethoxylates (NPEs)

Salah satu kegunaan Nonylphenol (NP) adalah untuk produksi berbagai


Nonylphenolethoxylates (NPEs). Setelah digunakan NPEs akan terurai kembali

33 Greenpeace International, Toxit Threads: Meracuni Surga (2013), op cit.


34 Ibid.

144
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

menjadi NP. NP dikenal dengan sifatnya yang persisten, bioakumulatif dan toksik,
termasuk risikonya menganggu kerja hormon. NPEs adalah kelompok bahan
kimia buatan manusia. Bahan ini digunakan sebagai deterjen dan surfaktan dan
termasuk dalam berbagai formulasi bahan yang digunakan produsen tekstil.
Penggunaan NP dan NPEs dalam industri tekstil dan pembuangan limbahnya
belum diatur dalam regulasi di Indonesia, namun di Negara lain jenis bahan ini
sudah lama diatur dan dibatasi penggunaannya.35

VI. Meningkatkan Kontrol Dalam Upaya Pencegahan

Saat ini regulasi yang tersedia dalam mengatasi pencemaran air di Indonesia
masih mengandalkan model pendekatan atur dan awasi (command and control).
Dalam hal ini Pemerintah bertugas menetapkan baku mutu dan persyaratan yang
harus dipatuhi oleh pelaku usaha. Di antaranya menetapkan kelas air seperti kelas
I, II, III dan IV yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan
tertentu termasuk penetapan baku mutu air guna mengatur level maksimum
polutan dengan parameter tertentu. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa; a) Kelas satu, air yang peruntukannya
dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; b) Kelas dua,
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut; c) Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut; d) Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut36.

35 Ibid.
36 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air

145
DESRIKO MALAYU PUTRA

Sementara ketentuan mengenai baku mutu limbah diatur dalam Peraturan


Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah.
Terdapat 42 jenis tipe industri yang diatur mengenai baku mutu air limbahnya.37
Di luar parameter umum seperti Biochemical oxygen demand (BOD), Chemical
oxygen demand (COD), Total suspended solids (TSS), standard yang ditetapkan untuk
industri tekstil hanya berupa Kromium, Fenol, Ammoniadan Sulfida, untuk berbagai
tipe proses tekstil. Pengaturan ini dipandang terdapat kelemahan-kelemahan,
yaitu tetap mengizinkan kandungan bahan berbahaya beracun walau sampai
batas tertentu tanpa memperhatikan perkembangan dalam penggunaan bahan
kimia tersebut di industri tekstil

Guna memenuhi aturan baku mutu, pelaku usaha mengandalkan instalasi


pengolahan akhir limbah (IPAL) atau lebih populer disebut dengan istilah end-
of-pipe dalam mengelola buangan limbahnya. Terlepas dari masalah kurangnya
kemampuan Pemerintah dalam mendeteksi dan menindak pelanggaran yang kerap
terjadi terutama dalam hal buangan limbah secara ilegal, namun terdapat masalah
mendasar yang tidak dapat ditangani oleh sistem IPAL. Sistem pengelohan limbah
akhir yang kita kenal saat ini dengan prinsip kerja menguraikan, memisahkan dan
mengencerkan kontaminan sebelum limbah dilepaskan ke lingkungan. Artinya
sistem ini diasumsikan bahwa semua polutan dapat terurai, pada kenyataannya
tidak semua polutan dapat diuraikan.

Pengaturan seperti ini sepertinya menyimpulkan semua persoalan polutan


tersebut akan selesai dengan cara diuraikan, dipisahkan dan diencerkan. Di atas
telah dijelaskan bahwa tidak semua polutan dapat diatasi dengan sistem seperti
itu. Efektifitas penggunaan model ini sebagai langkah dalam upaya kontrol dan
pencegahan masih diragukan. Maka perlu pengetatandalam pemberian izin serta
pembatasan pengunaan kandungan bahan berbahaya dan beracun dalam produksi
tekstil terutama terhadap jenis-jenis dari bahan tersebut dengan memperhatikan
perkembangan dari sifat bahan kimianya, bisa diuraikan atau tidak, disinilah
kuncinya. Singkatnya yang diatur adalah bahannya karena tidak semua polutan
dapat diuraikan dalam sistem end-of-pipe.

37 Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu
Limbah

146
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Bersandar pada sistem pengolahan limbah akhir merupakan pemecahan


masalah yang bersifat reaktif karena limbah terlanjur tercipta. Kegiatan pengolahan
limbah hanya mengubah bentuk limbah, memindahkan dari satu media ke media
lain, terutama terhadap materi limbah yang persisten atau tidak dapat diurai.
Untuk itu sebaiknya adalah memastikan tidak ada materi persisten khususnya
dari bahan berbahaya beracun yang digunakan sejak awal produksi sampai
proses akhir. Serta menekankan prinsip kehati-hatian atas sebuah tindakan yang
memungkinkan terjadinya kerusakan pada lingkungan. Mencegah adalah pilihan
yang lebih baik dan aman, untuk itu rancangan produk juga harus mulai beralih
dari ketergantungan dalam penggunaan bahan kimia berbahaya.

Bagian berikutnya peranan kontrol juga bisa maksimal dilakukan jika terdapat
ketersediaan informasi yang cukup dari sebuah kegiatan industri. Indonesia
sendiri telah memberikan jaminan hukum bagi setiap orang atau individu guna
memperoleh akses informasi terutama dalam pemenuhan hak masyarakat
atas lingkungan. Artinya, sudah barang tentu bahwa semua perusahaan wajib
memberikan informasi yang benar mengenai pelaksanaan-pelaksanaan kewajiban-
kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian polutan guna menegakkan
ketaatan hukum. Namun memang informasi mengenai pelaksanaan kewajiban
pelaku usaha atau industri jarang ditemukan, kalaupun ada kebanyakan informasi
yang berkaitan tidak dipublikasi. Keterlibatan publik sebagai bagian dari
pengawasan publik sulit melakukan peranannya dalam memberikan masukan,
pendapat dan saran ataupun menyampaikan keberatan atas kegiatan industri
yang tidak melakukan kewajiban dalam mewujudkan kelestarian lingkungan atau
diduga melanggar aturan yang berlaku.

Tidak heran bahwa tingkat kesadaran, partisipasi dan ketaatan pada hukum
oleh industri masih kecil. Beberapa waktu belakangan, Badan Lingkungan
Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi Jawa Tengah memberikan sanksi terhadap 29
perusahaan garmen dan tekstil karena melanggar peraturan terkait kelestarian
lingkungan dan pembuangan limbah industri yang berujung pada pencemaran
lingkungan.38 Sementara di Jawa Barat, 14 perusahaan dari berbagai sektor industri,
termasuk pembuatan garmen menerima sanksi administratif dan kriminal karena

38 http://www.suntexasia.com/details/newsid/2950/ttl/29_industry_garment_and_
textile_in_central_java_pollute_the_environment.html

147
DESRIKO MALAYU PUTRA

mencemari Sungai Citarum dengan limbah berbahaya. Hanya saja pemerintah


mencatat bahwa masih ada kasus-kasus serupa di Sungai Citarum.39 Kondisi
ini menggambarkan bahwa kurangnya pengawasan terhadap praktik-praktik
pembuangan limbah industri ke media lingkungan salah satunya sungai, maka jika
keadaan ini dibiarkan tanpa pengetatan pengawasan, perbaikan dan penggunaan
bahan berbahaya beracun di berbagai sektor, maka pencemaran akan terus terjadi.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup pada bagian pencegahan40 telah mengatur tentang instrumen
kebijakan dalam rangka mencegah pencemaran sejak dari awal pelaksanaan usaha
atau kegiatan diataranya melalui kajian analisis mengenai dampak lingkungan
(Amdal) yang akan mengidentifikasi seluruh persoalan yang akan berdampak
di kemudian hari dan upaya pemantauan serta pengelolaannya. Amdal menjadi
salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan dan bagian dari
upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan sebagai rujukan
dalam melakukan pengawasan.Tapi tentunya tindakan represif juga harus segera
dilakukan dalam hal kerusakan sudah terjadi maka harus ada penegakan hukum
yang efektif terhadap pelaku pengrusakan atau pencemaran tersebut. Intinya
penekanan pertanggungjawaban mutlak terhadap usaha atau kegiatan yang
berdampak pada lingkungan.

Menyadari berbagai dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari sebuah


usaha atau kegiatan mengharuskan mengedepankan pendekatan pencegahan
secara dini. Disamping menggunakan semua instrumen lingkungan yang harus
dipenuhi, keterlibatan publik sebagai wujud dari partisipasi sosial juga harus
ditekankansalah satunya dengan cara menyediakan informasi yang cukup atas
sebuah usaha atau kegiatan termasuk informasi input dan output pada setiap
tahapan produksi. Tegasnya mencegah dari sumber bahan produksi.

39 http://kabar24.bisnis.com/read/20121218/78/110498/pencemaran-lingkungan-14-
perusahaan-pencemar-citarum-jabar-kena-sanksi
40 Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

148
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

VII. Penutup

Sungai Citarum memiliki reputasi buruk sebagai sungai terkotor di dunia.


Beragam aktivitas industri yang berada disepanjang aliran Sungai Citarum patut
diduga menjadi penyumbang atas kerusakan yang terjadi, dan tak bisa dipungkiri
juga bahwa aktifitas domestik turut serta memberikan kontribusinya. Di atas telah
diuraikan bagaimana kontribusi industri tekstil terhadap kerusakan yang ada,
terlebih pada penggunaan bahan berbahaya dan beracun dan bahan kimia lainnya,
dimana diantara bahan-bahan kimia yang digunakan dalam industri tekstil belum
diatur secara khusus dalam regulasi yang ada. Sehingga sulit untuk mengeliminiasi
penggunaan bahan tersebut serta pembuangannya. Pendekatan pencegahan
dalam penggunaan bahan kimia berbahaya dibutuhkan atau sekurang-kurangnya
mengedepankan prinsip kehati-hatian sebagai upaya yang harus dipertimbangkan
sejak awal.

Penghentian pembuangan bahan kimia berbahaya oleh pabrik tekstil termasuk


di seluruh sektor industri membutuhkan komitmen dari produsen dan kemauan
politik dalam menuju nol pembuangan semua bahan berbahaya dan beracun. Apa
yang terjadi atas pencemaran Sungai Citarum saat ini menjadi bahan evaluasi
yang mendalam atas berporasinya ratusan industri terkstil dan industri lainnya
di sepanjang sungai. Mendesak untuk dilakukan penyusunan sebuah daftar
bahan berbahaya dan beracun agar memudahkan dalam melakukan penataan
dalam penggunaan maupun pengawasan yang kemudian didukung oleh sistem
registrasi data penggunaan dan pembuangan limbah berbahaya dan beracun dan
harus menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti segera.Tentu juga harus dibuatkan
daftar-daftar bahan kimia yang dibatasi, dikurangi atau tidak boleh sama sekali
atau dieliminasi dari penggunaannya. Terakhir adalah melakukan pengawasan
yang ketat atas keberadaan bahan kimia berbahaya yang terdapat di pasaran atau
yang diperdagangkan secara bebas.

Walaupun saat ini telah tersedia kebijakan perizinan mengenai pembuangan


limbah bahan berbahaya dan beracun, namun tetap harus dibatasi khususnya
mengenai jenis limbah dari bahan berbahaya dan beracun itu sendiri.Keterbukaan
informasi mengenai daftar pengunaan dan pembuangan atau transfer limbah
menjadi penting, agar publik sebagai wujud partisipasi sosial dapat melakukan

149
DESRIKO MALAYU PUTRA

pengawasan di lapangan. Pemerintah juga dapat lebih aktif terutama dalam


mengontrol peredaran bahan kimia berbahaya yang dijual bebas di pasaran.
Terakhir, aspek penegakan hukum memiliki peranan penting dalam memastikan
sebuah kebijakan dijalankan melalui peningkatan kontrol dan penindakan.

Konsumen juga harus berperan aktif terutama dalam menggunakan


pengaruhnya dalam mendesakindustri-industri dalam mewujudkan masa depan
nol pembuangan limbah semua berbahaya dan beracun. Perilaku konsumen
juga harus di tata, bahwa semakin tinggi pembelian terhadap produk baru dapat
memberikan pengaruh pada pencemaran dalam sistem produksi dibagian hulu.
Maka setidak-tidaknya harus mengurangi pembelian produk baru secara berkala.
Konsumen juga dapat mendorong komitmen produsen terhadap tanggungjawab
terhadap kelestarian lingkungan dan , khususnya pada perusahaan pemilik merk-
merk pakaian yang saat ini digemari oleh publik atau menguasai pasar. Tentunya
dengan beraksi bersama kita akan mampu mendorong pemerintah untuk lebih
mempertahatikan kinerja industri di sektor tekstil.

150
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (2011). Citarum River Basin Status Map.
http://www.citarum.org/upload/knowledge/document/Citarum_Basin_
Status_Map_2011.pdf, diakses pada tanggal 25/2/2013

Brigden K, Labunska I, Santillo D &Wang M (2013). Organic chemicaland heavy


metal contaminants in wastewaters discharged from two textilemanufacturing
facilities in Indonesia.

Business Vibes; Industry Insight (2013). Tekstile Industry in Indonesia, http://


www.busiinessvibes.com/blog/industry-insight-textile-industry-indonesia,
export in term of monetary value.

Environment_3.html?id=6pahUcse7TcC

Fullazaky MA (2010). Water quality evaluation system to assess the status and the
suitability. Environ Monit Assess (2010) 168:669-684. Also see Chapter 3.

Greenpeace Asia Tenggara, Walhi Jawa Barat (2012), Bahan Beracun Lepas Kendali,
Sebuah Potret Pencemaran Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun di Badan
Sungai Serta Beberapa Titik Pembuangan Industri Tak Bertuan, Studi Kasus
Sungai Citarum. http://www.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/469211/
Full%20report%20_Bahan%20Beracun%20Lepas%20Kendali.pdf

Greenpeace International, Toxit Threads: Meracuni Surga, dipublis pada bulan


April 2013.

http://www.greenpeace.org/international/en/publications/Campaign-reports/
Toxics-reports/Polluting-Paradise

Indonesia, Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri No.19/1984; Menteri Kehutanan


No.059/1984 dan Menteri Pekerjaan Umum No.124/1984, Citarum adalah sungai
prioritas super untuk Indonesia

Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku
Mutu Limbah

151
DESRIKO MALAYU PUTRA

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas


Air dan Pengendalian Pencemaran Air

Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup

Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 Tentang


Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun

IPE, or the Institute of Public& Environmental Affairs, is anenvironmental NGO in


China:http://www.ipe.org.cn/en/pollution/index.aspx

Parikesit, Salim H, Triharyanto E, Gunawan B, Sunardi, Abdoellah OS & Ohtsuka


R (2005). Multi-Source Water Pollution in the Upper Citarum Watershed,
Indonesia, with Special Reference to its Spatiotemporal Variation. Environmental
Sciences 12 3 (2005), 121-131, MYU Tokyo. http://122.249.91.209/myukk/
free_journal/Download.php?fn=ES587_full.pdf

Pencemaran Sungai Citarum Akibat Industri Manufaktur, Uploaded by Muhammad


Habibi. https://www.academia.edu/7606825/PENCEMARAN_SUNGAI_
CITARUM_AKIBAT_INDUSTRI_MANUFAKTUR

Press Release, Melwan Lupa Citarum. http://www.sorgemagz.com/press-release-


melawan-lupa-citarum/#.V1fxCJF97IU

Roosmini D, Hadisantosa F, Salami IRS, Rachmawati S, (2009), Heavymetals


level in Hypocarcus Pargalis as biomarker in upstream Citarum River,West
Java, Indonesia, p31-36, in South East Asian Water Environment,2009 IWA
Publishing.http://books.google.co.uk/books/about/Southeast_Asian_
Water_

Wahyudi ST & Mohd Dan Jantan MD. (2010). Regional Patterns of Manufacturing
Industries: a Study of Manufacturing Industries in Java Region, Indonesia,
Philippine Journal of Development Number 68, First Semester 2010, Volume
XXXVII, No. 1, p.96

152
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

A notasi P utusan P erkara T ata U saha N egara


antara K uat , cs . melawan P emerintah DKI J akarta
tentang P embatalan I zin P elaksanaan R eklamasi P ulau G
(No. 193/G/LH/2015/PTUN-JKT)

Oleh: Rayhan Dudayev1

I. Pendahuluan

Selasa, 31 Mei 2016 merupakan hari yang menandai kemenangan Nelayan


Muara Angke terhadap gugatan yang mereka lakukan terhadap Izin Pelaksanaan
Reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Lima orang nelayan bersama dua organisasi
lingkungan hidup, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengajukan gugatan terhadap SK
Gubernur DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014 di Pengadilan Tata Usaha Negara
(TUN) Jakarta. Pasca tujuh bulan berselang, ketua majelis hakim, Adhi Budhi
Sulistyo yang merupakan hakim lingkungan, mengabulkan gugatan nelayan dan
menyatakan batal atau tidak sah SK yang dikeluarkan gubernur tersebut.

Putusan ini jelas memberikan angin segar bagi para nelayan dan masyarakat
lainnya yang telah berjuang dalam mempertahankan tempat tinggal dan lingkungan
hidup mereka terhadap pembangunan di kawasan pesisir bernama reklamasi. Di
lain sisi, ada beberapa pihak, putusan ini dinilai politis dan dapat menghambat

1 Rayhan Dudayev adalah peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam
Divisi Maritim. Penulis lulus S1 dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia program
kekhususan Hukum dan Masyarakat pada tahun 2014.

153
RAYHAN DUDAYEV

kepastian investasi di negara ini2. Namun, sebelum masuk ke dalam asumsi-


asumsi tersebut, masyarakat luas perlu mengetahui pertimbangan-pertimbangan
yang digunakan hakim untuk mengabulkan gugatan para nelayan. Ada beberapa
poin mengapa hakim mengabulkan tuntutan penggugat, yaitu:

1. Mengabaikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007.

2. Tidak adanya rencana zonasi kawasan sebagaimana diamanatkan Pasal 7 ayat


1 UU Nomor 27 Tahun 2007.

3. Proses penyusunan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) tidak


partisipatif dan tidak melibatkan nelayan.

4. Menimbulkan kerusakan lingkungan dan berdampak kerugian bagi para


penggugat (nelayan).

Penting untuk mengelaborasi poin-poin tersebut. Terutama, pertimbangan


hakim bersertifikat lingkungan ini banyak mempertimbangkan aspek-aspek
hukum lingkungan yang dapat menjadi preseden yang baik bagi hakim lain dalam
menangani kasus lingkungan hidup. Secara keseluruhan, hakim mengabulkan
gugatan penggugat karena pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 unsurnya terpenuhi, bahwa objek gugatan yang dikeluarkan gubernur DKI
Jakarta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

II. Kasus Posisi

Sebelum memulai pengelaborasian pertimbangan putusan hakim, perlu


diketahui terlebih dahulu kasus posisi dari terjadinya permasalahan terhadap
penerbitan izin pelaksanaan reklamsi tersebut. Objek gugatan yang digugat oleh
nelayan tidak berdiri dengan sendirinya. Beberapa proses menarik terjadi pada

2 Detik.com, “Pengelola Pulau G: Putusan PTUN yang Menangkan Nelayan Ganggu


Investasi.” Sumber: http://news.detik.com/berita/3222283/pengelola-pulau-g-putusan-
ptun-yang-menangkan-nelayan-ganggu-investasi diakses pada 11 Agustus 2016

154
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

proses penerbitan objek sengketa dimulai dari penerbitan izin prinsip hingga
masuknya gugatan terhadap objek sengketa. Rangkaian dan momen penting
dalam proses itu yaitu:

1. SK tentang pelaksanaan izin reklamasi diawali dikeluarkannya persetujuan


prinsip reklamasi No. 1291/-1.794.2 yang dikeluarkan oleh Gubernur Fauzi
Bowo pada 21 September 2012.

2. Sosialisasi AMDAL mulai dilakukan PT. Muara Wisesa (tergugat intervensi)


melalui dibuatnya surat No. 002/OGL/MWS-PM/ X/2012 tanggal 10 Oktober
2012 yang ditujukan kepada Lurah Kelurahan Pluit perihal Permohonan
Sosialisasi Amdal.

3. Tergugat telah mengumumkan perihal studi AMDAL pada Koran Harian


Terbit halaman 10 pada tanggal 17 Oktober 2012 dan di media cetak Indopos
halaman 9 tanggal 17 Oktober 2012.

4. Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Daerah Khusus


Ibukota (DKI) Jakarta telah menerbitkan surat No. 30/Andal/-1.774.151
tanggal 30 Juli 2013 Perihal Rekomendasi Andal RKL-RPL Reklamasi Pulau G.

5. Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dinas Pekerjaan Umum


menerbitkan surat No. 33310/-1.797.1 tanggal 16 Oktober 2014 Perihal Izin
Membangun Prasarana yang ditujukan kepada PT.Muara Wisesa Samudra.

6. PT. Nusantara Regas dengan PT.Muara Wisesa Samudera telah melakukan


suatu kerjasama yang dituangkan Nota Kesepahaman Bersama tentang Kajian
keselamatan Pipa Gas Bawa laut No. 00800/ NR/ D000/P/2014 tertanggal 3
Nopember 2014.

7. Kepala BLHD DKI Jakarta menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 107 Tahun
2014 tanggal 7 Pebruari 2014 Tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana
Kegiatan Reklamasi Pulau G dan Surat Keputusan Nomor: 108 Tahun 2014
tanggal 7 Pebruari 2014 Tentang Izin Lingkungan Kegiatan Rencana Reklamasi
Pulau G dengan waktu yang bersamaan.

8. Tergugat menerbitkan Keputusan Gubenur Propinsi Daerah Khusus Ibukota


Jakarta Nomor: 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 tanggal tentang

155
RAYHAN DUDAYEV

Izin Pelaksaaan Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra (Vide
Bukti P-1, Bukti T- 1, dan T.II Intervensi-1)

9. Tergugat melakukan publikasi objek sengketa sejak Bulan Januari 2015


di website (www.jakarta.go.id). Para penggugat di dalam dalilnya baru
mendapatkan SK Keputusan Obyek pada tanggal 18 Juni 2015.

10. Pada tanggal 23 Maret 2015 Jakarta Monitoring Network (JMN) mengajukan
gugatan di PTUN dengan objek sengketa yang sama yaitu SK No. 2238 Tahun
2014 dan pengadilan mengeluarkan penetapan Nomor 61/G/2015/PTUN-JKT.

11. Pada 22 April 2015, terdapat pernyataan dari salah satu anggota Walhi yang
bernama Putra yang mengatakan akan melakukan gugatan terhadap SK izin
pelasakanaan reklamasi Pulau G.

12. Perkara atas nama penggugat JMN dibacakan di muka umum dan diliput
media nasional pada tanggal 12 Mei 2015.

13. Pada 29 Mei 2016 terdapat pemberitaan dari www.aktual.com yang


memberitakan adanya kunjungan proyek reklamasi Pulau G oleh beberapa
organisasi seperti Walhi Jakarta, LBH Jakarta, PBHI, YLBHI, dan ICEL.

14. Pada Bulan Mei 2016, JMN mencabut gugatan No. 61/G/2015/PTUN-JKT.

15. KIARA melakukan Permohonan Informasi sesuai dengan UU No. 14 Tahun


2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik untuk meminta SK Gubernur DKI
Jakarta No. 2238 Tahun 2014 pada tanggal 13 Mei 2016 dan menyerahkan surat
keberatan informasi pada 3 Juni 2015 karena tidak mendapatkan tanggapan.

16. Pada tanggal 15 September 2015 para penggugat yang terdiri dari nelayan
Muara Angke, Kuat, Gobang, Saefudin, Tri Sutrisno, dan Mohammad Tahir
yang kemudian disebut penggugat I sampai V bersama organisasi lingkungan
hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang disebut penggugat VI dan VII
memasukan gugatan ke pengadilan negeri tata usaha negara (TUN).

156
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

III. Pertimbangan Putusan Hakim

A. Kedudukan Hukum Para Penggugat

Dalam gugatan SK Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G, terdapat penggugat


dari perseorangan yang merupakan nelayan dan juga organisasi lingkungan hidup
yang terdiri dari Walhi dan KIARA. Di dalam eksepsinya, Tergugat dan Tergugat
Intervensi menyatakan bahwa seluruh penggugat tidak mempunyai kepentingan
terhadap objek sengketa dan tidak memenuhi unsur pasal untuk menjadi wakil
lingkungan hidup. Namun, hakim berpendapat lain. Hakim menerima standing
para pihak terkecuali salah satu organisaisi.

a. Nelayan Muara Angke

Dalam gugatan SK Izin Pelaksanaan Reklamasi No. 2238 Tahun 2014,


terdapat gugatan dari masyarakat (orang perorangan) dan organisasi
lingkungan hidup. Dalam hal ini, masyarakat dari Muara Angke, Kuat,
Gobang, Saefudin, Tri Sutrisno, dan Mohammad Tahir yang kemudian
disebut penggugat I sampai V mengajukan gugatan, menuntut pencabutan
izin tersebut. Hakim berpendapat gugatan yang diajukan oleh para nelayan
tidak kabur dan para nelayan mempunyai standing untuk melakukan gugatan
tersebut. Pertama, hakim berpendapat terdapat hubungan kausalitas secara
langsung (causal verband) antara objek sengketa dengan para Penggugat
(Penggugat I, II, III, IV, dan V). Selain itu, kerugian dalam kaitannya dengan
lingkungan hidup tidak bisa hanya diukur dari kecilnya kerugian materiil
saja, melainkan jika berpotensi menimbulkan akibat hukum khususnya bagi
masyarakat Nelayan Muara Angke.

Dalam hal ini, hakim berpendapat, para nelayan yang sudah mulai
terhambat akses keluar masuk ke laut merupakan unsur potensial kerugian.
Dalam pertimbangan ini, hakim merujuk pada dasar hukum Pasal 87 UU
No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan
Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, dikualifisir sebagai
perluasan unsur konkrit, individual, final dari Keputusan Tata Usaha Negara.
Untuk itu, hakim tidak menerima eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi

157
RAYHAN DUDAYEV

tentang gugatan Para Penggugat yang menyatakan Penggugat I,II,III,IV, dan V


sangat kabur dan tidak jelas.

b. Hakim Menerima Hak Gugat Walhi

Hakim menerima standing Walhi sebagai sebagai wakil lingkungan hidup.


Menariknya, hakim menggunakan landasan filosofis tentang pentingnya
keberadaan wakil untuk membela hak-hak yang dimimliki lingkungan hidup,
sebagaimana dikemukakan Christoper Stone. Dalam putusannya, hakim
mengutip pemikiran Stone bahwa semua benda-benda alam mempunyai
hak yang dilindungi hukum (legal rights). Walaupun benda-benda ini bersifat
inanimatif, ia tetap mempunyai hak. Supaya hak-hak ini dapat dijalankan
maka kelompok-kelompok yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan
dapat ditunjuk sebagai wali dari lingkungan tersebut.

Berangkat dari pemikiran tersebut, hakim menyatakan konsep hak gugat


konvensional berkembang seiring dengan perkembangan hukum terkait
dengan public interest law. Artinya, Saat ini, kepentingan masyarakat luas atas
pelanggaran-pelanggaran hak publik khususnya terkait dengan lingkungan
hidup, perlindungan konsumen hak civil dan politik dapat diwakilkan oleh
wali atau guardian. Seseorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat
bertindak sebagai Penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum
secara langsung. Hak gugat tidak hanya dilandasi prinsip konvensional point
d’interest point d’interest3 saja atau atau kepentingan materiil berupa kerugian
yang dialami langsung (injury in fact).

Selain itu, hakim berpendapat hukum positif Indonesia telah megakui


adanya gugatan melalui organisasi lingkungan hidup. Hak gugat lingkungan
hidup diatur dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan lingkungan hidup (UUPPLH) yang diatur dalam pasal 92 yang
rumusannya adalah sebagai berikut :

(1) Dalam rangka pelaksanaan tangung jawab Perlindungan dan Pengelolaan


lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan
untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup ;

3 Tiada gugatan tanpa kepentingan hukum

158
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil ;
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi
persyaratan:
a. Berbentuk Badan Hukum ;
b. menegaskan didalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut
didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya
paling singkat 2 (dua) tahun;

c. KIARA dikeluarkan karena tidak memenuhi unsur pasal 92 UUPPLH

Menurut hakim, KIARA tidak memenuhi semua ketentuan pasal 92.


KIARA dianggap tidak memenuhi syarat huruf (a) dari Pasal 92 ayat (3)
Undang-Undang Lingkugan Hidup sehingga Perkumpulan KIARA /
Penggugat VI tidak mempunyai hak gugat (Legal standing ) oleh karenannya
Perkumpulan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) harus
dikeluarkan sebagai pihak dalam sengketa ini. Pertimbangan hakim yaitu:

1. Perkumpulan Indonesia yang sudah berbadan hukum harus didaftarkan


dalam suatu register khusus pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan
diumumkan dalam Berita Negara (pasal 18-19 Stb. 1942-13 jo 14). Oleh
karenanya untuk sebuah perkumpulan menjadi berbadan hukum, harus
mendapatkan pengesahan dari pejabat yang berwenang terlebih dahulu.
Pada saat ini, pengesahan perkumpulan berbadan hukum diberikan oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

2. KIARA mengajukan gugatan sengketa Tata Usaha Negara dalam


konteks sengketa lingkungan hidup belum mendapat persetujuan
bahkan pengesahan dari Direktoral Jendral Administrasi Hukum Umum
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Namun, KIARA dianggap mempunyai anggaran dasar yang bertujuan


untuk perlindungan lingkungan hidup, terutama ekosistem laut. Selain itu,
berdasarkan bukti-bukti yang diajukan penggugat, KIARA telah terbukti

159
RAYHAN DUDAYEV

melakukan kegiatan terkait perlindungan lingkungan hidup seperti


penerbitan buku terkait nelayan, pengujian UU Minerba, Menguji UU
Perikanan, dll selama dua tahun. Namun dalam KIARA sebagai penggugat,
hakim tidak menggunakan dasar huku maupun teori dalam mengeluarkan
KIARA sebagai pihak.

B. Pertimbangan terkait jangka waktu

Hakim menganggap gugatan para penggugat masih masuk dalam tenggat waktu
dan dua penggugat gugatannya telah melewati batas waktu sebagaimana yang diatur
di dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahu 1986 dengan beberapa argumentasi yaitu:

1. Gugatan yang diajukan oleh Jakarta Monitoring Network (JMN) pada Bulan
Mei tidak membuat para penggugat seperti para nelayan mengetahui objek
sengketa secara serta merta. Selain itu, hakim berpendapat bahwa Penetapan
No. 61/G/2015/PTUN-JKT tidak mempunyai kekuatan mengikat daya
berlakunya dengan perkara yang diajukan oleh nelayan beserta WALHI
dan KIARA dengan No. 193/G/LH/2015/PTUN-JKT. Menurut majelis
hakim, gugatan yang diajukan JMN masih dalam tahap awal yaitu tahap
pemeriksaan persiapan yang dibacakan dalam persidangan yang terbuka
untuk umum. Penetapan pencabutan atas gugatan JMN tersebut hanya
mempunyai kekuatan kepada subyek hukum yang melakukan pencabutan
gugatan tersebut. Selanjutnya, yang menarik yaitu pendapat hakim yang
mengatakan bahwa penetapan pencabutan suatu gugatan TUN tidak berlaku
asas orga omnes.

2. Alasan hakim mengeluarkan Walhi sebagai penggugat dikarenakan keterangan


anggota WALHI yang bernama Putra pada Bulan Mei 2015 yang mengatakan
akan melakukan gugatan. Selain itu, WALHI dianggap mengetahui objek
sengketa karena telah melakukan kunjungan lapangan ke pelaksanaan
reklamasi Pulau G pada tanggal 29 Mei 2015. Hakim menganggap sejak
tanggal 29 Mei 2015 WALHI telah mengetahui objek sengketa, sedangkan
gugatan yang diajukan pada 15 Septermber 2015 sudah memakan waktu 142
hari atau melebih 90 hari sebagaimana yang tercantum dalam pasal 55 UU
No. 5 Tahunn 1986. VII Berdasarkan hal tersebut, hakim mengeluarkan Walhi

160
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

sebagai Penggugat. Sedangkan KIARA dikeluarkan sebagai penggugat karena


dianggap telah mengetahui informasi melalui permohonan informasi sejak 3
Juni 2015 yang artinya gugatan yang diajukan sudah memasuki hari ke 104
atau lebih dari 90 hari.

3. Mengenai pertimbangan penggugat I-V, para nelayan, hakim


mempertimbangkan para penggugat tersebut belum melewati 90 hari
gugatannya. Adapun alasan-alasan yang digunakan hakim yaitu tidak
ada satu pun nama penggugat, Gubang, Muhammad Tahir, Nur Saepudin,
Tri Sutrisno, dan Kuat termuat di dalam media cetak. Hakim menganggap,
para penggugat belum mengetahui obyek sengketa. Selain itu, Hakim
mempetimbangkan pemberitaan media yang mengutip pernyataan
Muhammad Isnur yang menyatakan bahwa nelayan baru mengetahui objek
gugatan melalui bantuan LBH Jakarta dengan proses pengajuan keterbukaan
informasi publik. Berdasarkan ketentuan tersebut, Isnur menyatakan nelayan
baru mendapatkan informasi sekitar Bulan Maret – April. Para penggugat
dianggap mengetahui objek sengketa setelah mendapatkan informasi dair
KIARA pada tanggal 18 Juni 2015 melalui jawaban permohonan informasi
yang diajukan KIARA.

IV. Pokok Perkara

A. Pertimbangan AMDAL yang tidak partisipatif

Hakim memutuskan bahwa izin lingkungan yang dimiliki PT. Muara Wisesa
cacat formil karena dianggap proses penyusunan AMDAL tidak transparan dan
partisipatif. Hakim mengawali pertimbangannya dengan penjelasan Hukum
Administrasi Lingkungan mempunyai peran yang sangat signifikan di dalam
sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hukum Administrasi
Lingkungan berfungsi sebagai sarana yuridis yang sifatnya pencegahan
(preventif) terhadap kerusakan lingkungan. Instrumen pencegahan ini adalah
menjadi substansi dari hukum administrasi lingkungan didalam menciptakan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dibidang lingkungan hidup

161
RAYHAN DUDAYEV

Menurut hakim, hukum administrasi lingkungan dimaknai dengan


pelaksanaan sistem perizinan lingkungan dalam pengelolaan lingkungan hidup
dan adanya prosedur administrasi yang berupa AMDAL. Kedua instrumen
tersebut dianggap kedua mempunyai kaitan satu sama lainnya, serta pentingnya
penerapan prinsip-prinsip hukum lingkungan seperti pelestarian lingkungan,
prinsip perlindungan, dan prinsip pencegahan pencemaran lingkungan hidup.
Dari poin tersebut, hakim berangkat untuk mengargumentasikan pertimbangannya
terkait dengan pentingnya mematuhi syarat formil yang diatur dalam UU No. 32
Tahun 2009 untuk memastikan terlaksananya prinsip pembangunan berkelanjutan.
Dalam poin ini, hakim meyakin, hukum administrasi lingkungan dapat mencegah
pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup.

Pada proses penyusunan AMDAL, hakim menganggap Tergugat terbukti


telah melanggar Pasal 30 ayat (1) UUPPLH dan prosedur formal yaitu keterlibatan
masyarakat terkait Penetapan Wakil Masyarakat dalam penyusunan dokumen
Amdal. Secara substantif keterlibatan masyarakat sangat mempengaruhi proses
pelingkupan dalam penyusunan dokumen Amdal. Adapun yang menjadi dasar
pertimbangan hakim terkait penyusunal AMDAL yang tidak parsipatif yaitu:

1. Walaupun PT. Muara Wisesa telah melakukan pengumuman terhadap


aktivitas penyusunan AMDAL melalui media cetak Indopos pada halaman
9 tanggal 17 Oktober 2012 dan sosialisasi jugaa tanggal 17 Oktober 2012,
hakim tidak menganggap proses tersebut cukup partisipatif dan transparan.
Hakim memandang, sosialisasi secara intens harus dilakukan, terutama
terhadap Warga Muara Angke, warga yang terkena dampak. Masyarakat
Muara Angke dianggap belum sepakat terhadap proses pembangunan.
Ihwal tersebut diperkuat juga dengan keterangan saksi ahli yang diajukan
oleh Pihak Tergugat Intervensi II, Hesti D.W. Nawangsidi yang menyatakan
masyarakat tidak puas dengan rencana pembangunan proyek reklamasi.

2. Berdasarkan Notulen Pembahasan Tim Teknis Penilai AMDAL Daerah Provinsi


DKI Jakarta, di lampiran undangan Pembahasan Dukumen Andal oleh Tim Teknis
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tidak melibatkan dan mengikutsertakan
masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup dan atau yang
terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.

162
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

3. Pemrakarasa juga dianggap melanggar tata cara pengikutsertaan masyarakat


dalam proses Amdal secara teknis diatur pada Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012 Tentang Pedoman Keterlibatan
Masyarakat. Dalam dokumen AMDAL, tidak terdapat pembahasan tentang
penetapan wakil masyarakat baik dalam bentuk persetujuan ataupun surat
kuasa yang ditanda tangani oleh yang diwakili berupa penetapan wakil
masyarakat sebagaimana ditentukan pada Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012.

4. Ragam partisipan keterlibatan masyarakat harus diperhatikan sehingga


dalam tahap pemberian saran, pendapat dan tanggapan secara substantif
benar-benar mewakili aspirasi masyarakat.

5. Hakim menganggap penerbitan izin lingkungan dari izin pelaksanaan Pulau


G tidak sah karena tidak sesuai dengan prosedur pasal 39 UU 32 Tahun 2009.
Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan baik dari pihak Tergugat maupun
Tergugat II tidak ada satu buktipun yang menunjukan bahwa tergugat telah
melakukan pengumuman sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-
Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup pasal 39 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin
Lingkungan pasal 44.

B. Objek Sengketa tidak sesuai peraturan perundang-undangan

Penerbitan Izin Pelakssanaan reklamasi tidak sesuai dengan ketentuan hukum.


Penerbitan objek sengketa oleh Pihak Tergugat cacat hukum karena selain terbukti
penerbitan objek sengketa in litis telah bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, juga terbukti melanggar azas-azas Umum Pemerintahan
yang Baik (AAUPB) seperti azas kecermatan dan ketelitian. Beberapa poin yang
melandasi pernyataan hakim yaitu:

1. Izin Prinsip Reklamasi dan Perpanjangan Izin Prinsip Reklamasi tidak


mencantumkan secara lengkap dasar hukum penerbitan objek sengketa. Di
dalam objek sengketa tidak dicantumkannya Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

163
RAYHAN DUDAYEV

2014 di dalam konsideran. Hakim mengacu pada ketentuan Pasal 5 ayat (1)
Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
“Setiap keputusan harus diberi alasan pertimbangan yuridis, soiologis dan filosofis
yang menjadi dasar penetapan Keputusan” selanjutnya dalam ketentuan Pasal
56 ayat (1) “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan keputusan yang tidak sah.”

2. Pemda DKI Jakarta belum membentuk Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil (RZWP-3-K). Perda tersebut merupakan mandat dari
Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 10 Undang Undang No. 27 Tahun 2007 sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang No. 1 Tahun 2014. tentang WP3K.
Pemerintah Daerah wajib menyusun Rencana Zonasi serta menetapkannya
dengan Perda. Rencana Zonasi tersebut berfungsi sebagai alat kontrol untuk
keseimbangan pemanfaatan, perlindungan pelestarian, dan kesejahteraan
masyarakat sekaligus berfungsi memberikan kepastian dan perlindungan
hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir.

C. Objek putusan dianggap hakim mendesak untuk dilakukan penundaan


dilihat dari dampak ekologis dan sosial

Dalam perkara ini, hakim berpendapat apabila objek sengketa tetap


dilaksanakan, kerusakan yang akan ditimbulkan akan lebih besar dibandingkan
manfaat yang akan dirasakan masyarakat. Hakim mengabulkan tuntutan
penundaan pelaksanaan KTUN karena tidak ada sangkut pautnya dengan
kepentingan umum dalam rangka pembangunan sesuai Pasal 67 ayat (4) huruf
a dan b UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Hakim menganggap objek sengketa
cukup mendesak untuk dihentikan berdasarkan keterangan dari Saksi Ahli yang
dihadirkan Tergugat, Hesti Nawangsidi dan juga saksi ahli yang dihadirkan
penggugat, Alan Karopitan, yaitu:

1. Banyak sekali dampak–dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas reklamasi.


Dampak lingkungan hidup yang perlu dikaji dampaknya bisa bersifat fisik,
biotik, sosial ekonomi dan juga terhadap infrastruktur.4

4 Keterangan ahli Hesti Nawangsidi di dalam persidangan

164
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

2. Reklamasi akan menimbulkan pencemaran terhadap perairan laut. Kegiatan


reklamasi akan mengubah lingkungan sekitarnya. Kegiatan-kegiatan seperti
mengurug di perairan laut berpoteni menimbulkan butiran-butiran yang
tersebar ke perairan disekitarnya.

3. Kemampuan natural flushing (kemampuan air laut untuk membersihkan


dirinya) akan berkurang drastis dengan adanya reklamasi. Dengan
bertambahnya flushing time atau waktu pencuciannya, sedimentasi akan
meningkat dan menumpuk. Kandungan cemar di Teluk Jakarta semakin lama
tertinggal dasar laut dan berakumulasi.5

4. Objek Gugatan tidak termasuk dalam definisi pembangunan untuk


kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun
2012.

D. Kewenangan Mengeluarkan Objek Sengketa ada di Tangan Gubernur

Walaupun hakim mengabulkan tuntutan para penggugat, namun hakim


tidak menerima dalil para penggugat yang menyatakan bahwa kewenangan
mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G ada di tangan gubernur.
Dikarenakan tidak diatur secara jelasnya kewenangan mengeluarkan izin di
dalam izin pelaksanaan reklamasi di dalam Undang-Undang, hakim mengacu
kepada peraturan yang lebih rendah, yaitu Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Reklamasi di WP3K dan Permen KP No. 28 Tahun 2014. Dalam hal ini,
hakim berpendapat bahwa walaupun Teluk Jakarta merupakan Kawasan Strategis
Nasional (KSN), tetapi kewenangan mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi
tetap ada di gubernur. Alasan utamanya yaitu di dalam Perpres 122 Tahun 2012
hanya mengatakan bahwa kewenangan mengeluakan izin oleh pemerintah pusat
hanya di Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) bukan KSN.

Namun, putusan hakim ini sebenarnnya menimbulkan dampak laten


terhadap pelaksanaan reklamasi yang izinnya dapat dikeluarkan dengan mudah
oleh pemerintah daerah. Walaupun hakim mempertimbangkan untuk menunda
objek sengketa karena berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap

5 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta No. 193/G/LH/2015/PTUN-JKT, hal. 165.

165
RAYHAN DUDAYEV

lingkungan hidup, hakim tidak mengindahkan bunyi pasal 105 PP No. 26 Tahun
2008 tentang Kawasan Strategis Nasional. Di dalam aturan tersebut, pembangunan
yang berdampak besar terhadap lingkungan hidup, maka kewenangannya ada
di pemerintah pusat. Seharusnya, dengan mengacu pada keterangan-keterangan
ahli, terutama yang terkait dengan lingkungan laut, reklamasi dapat dikatakan
merupakan pembangunan yang dapat menimbulkan dampak luas terhadap
lingkungan hidup.

V. Simpulan

Di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta dengan perkara No. 193/G/


LH/2015/PTUN-JKT, terdapat beberapa poin yang perlu digarisbwahi yang
penting untuk masuk dalam kesimpulan, yaitu:

1. Hakim tidak menerima standing KIARA karena dianggap tidak punya standing
karena belum terdaftar dalam Kemenkumham sehingga tidak memenuhi unsur
Pasal 92 UU 32 Tahun 2009 yang mengisyarakatkan organisasi lingkungan
hidup harus berbentuk badan hukum.

2. Gugatan Walhi dianggap telah melewati jangka waktu yang diatur dalam
PerUUan karena Walhi dianggap telah mengeluarkan pernyataan terkait objek
sengketa jauh sebelum melakukan gugatan.

3. Hakim berpendapat para nelayan sebagai penggugat mempunyai hubungan


kausalitas secara langsung (causal verband), antara objek sengketa dengan
para Penggugat.

4. Seseorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai


Penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung
seiring adanya konsep guradian berdasarkan pemikiran Christoper Stone.
Hak gugat tidak hanya dilandasi prinsip konvensional point d’interest point
d’interest saja atau atau kepentingan materiil berupa kerugian yang dialami
langsung (injury in fact).

5. Hakim memutuskan bahwa izin lingkungan yang dimiliki PT. Muara Wisesa
cacat formil karena dianggap proses penyusunan AMDAL tidak transparan

166
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

dan partisipatif.

6. Penerbitan Izin Pelakssanaan reklamasi tidak sesuai dengan ketentuan hukum


dikarenakan tidak didahului RZWP3K sebagai dasar perencanaan ruang di
WP3K dan tidak memasukan UUWP3K di dalam konsideran objek sengketa.

7. Hakim mengabulkan tuntutan penundaan dikarenakan kerusakan yang akan


ditimbulkan akan lebih besar dibandingkan manfaat yang akan dirasakan
masyarakat.

8. Hakim memutuskan kewenangan mengeluarkan Izin Pelaksanaan Reklamasi


Pulau G ada di tangan gubernur tanpa mempertimbangkan pasal 105 PP No.
26 Tahun 2008 yang kaitannya dengan kewenangan izin yang dikeluarkan
pemerintah pusat terhadap kegiatan yang berdampak besar terhadap
lingkungan hidup.

167
168
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

P e d o m a n P e n u l i s a n

J
urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan
yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum
lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum Lingkungan
Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara
Negara, kalangan LSM serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan
permasalahan tata kelola sumber daya alam.

Tema dan Topik

JHLI Volume 3 Issue 2, Januari 2017, memuat tulisan yang mengangkat tema
umum hukum dan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam sektor apapun.

Beberapa topik* yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema


tersebut adalah: (1) Pencemaran air, udara, tanah dan bahan beracun berbahaya
(B3); (2) Pengelolaan sampah; Perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman
hayati; (4) Tata kelola hutan dan lahan; (5) Perlindungan dan pengelolaan sumber
daya alam laut; (6) Kesehatan lingkungan dan hak asasi manusia; (7) Keadilan
lingkungan; (8) Tata ruang dan lingkungan hidup; dan lain-lain.

Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih
pertanyaan kunci berikut:

1. Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan


dalam tataran norma?

2. Bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi dalam mengimplemen-


tasikan norma hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan?

3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan


hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?

*) Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk


mempermudah penulis dalam memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik apa
saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup tema besar.

ix
PEDOMAN PENULISAN

Prosedur Pengiriman**

Untuk Vol. 3 Issue 2 (Januari 2017), Penulis diharapkan mengirimkan abstrak


sebelum 15 September 2016 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi
asal; (3) nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis
yang naskahnya yang diterima. Naskah final diterima redaksi paling lambat 30
November 2016.

Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik


maupun melalui pos. Pengiriman melalui surat elektronik ditujukan ke jurnal@
icel.or.id dengan di-cc ke margaretha.quina@icel.or.id. Pengiriman melalui pos
disertai dengan tulisan “Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia” di sudut kiri atas
amplop, ditujukan ke alamat berikut:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)


Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
DKI Jakarta

Pemilihan Tulisan

Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan


dengan aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para peneliti
ICEL. Redaksi akan menghubungi penulis yang abstraknya diterima selambat-
lambatnya pada 29 Februari 2016.

Pemilihan tulisan akhir melalui penelaahan formil dan plagiarisme oleh


Redaksi, yang dilanjutkan dengan penelaahan substantif oleh Sidang Redaksi
yang terdiri dari para peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat
akan diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat
akan diberikan notifikasi pada tanggal 30 Mei 2015 dan merupakan hak penulis
sepenuhnya. Sidang Redaksi dapat meminta penulis untuk melakukan perbaikan
substansi maupun teknis terhadap tulisannya.

Persyaratan Formil

1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).
Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam satu alinea.

x
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016

Abstrak mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil


dan kesimpulan;

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan
EYD dengan kalimat yang efektif;

3. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin


kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times
New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraph,
dengan panjang naskah 4000 – 5000 kata (tidak termasuk abstrak, catatan
kaki, daftar pustaka);

4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan
keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah
daftar pustaka;

5. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya


namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai
keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki;

6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.
Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring;

7. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki atau


catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan dalam
poin 7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.

8. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk


memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote)
mengikuti ketentuan:

a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge


University Press, 2007), hlm. 342 – 344;

b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8, Edisi ke-


5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201 – 208;

c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der


Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003),
hlm. 7;

d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar Harapan, 15


Januari 2014;

xi
PEDOMAN PENULISAN

e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”,


http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:

a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law. Cambridge:


Cambridge University Press.

b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in Water


Resources Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd
Conference of the International Association for Water Law (AIDA).
Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.

c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History of Civil


Society,” dalam Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of
British Columbia Press.

d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi:


Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi,
Volume 3, Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup.

f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15


Januari 2014.

g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http://


www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Panduan lebih detail dalam hal pengutipan akan diberikan Redaksi untuk
Abstrak yang diterima.

9. Identitas penulis meliputi:

a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis)

b. Asal institusi penulis

c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai nomor

telepon, handphone dan fax, serta alamat e-mail

**) Tidak berlaku bagi Penulis dengan Undangan

xii

Anda mungkin juga menyukai