Jurnal HLI Vol. 3 Issue 1 Juli 2016 PDF
Jurnal HLI Vol. 3 Issue 1 Juli 2016 PDF
ISSN: 2355-1305
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
J urnal H ukum
L ingkungan I ndonesia
Volume 3 Issue 1, Juli 2016
ISSN: 2355-1305
i
J urnal H ukum L ingkungan I ndonesia
Vol. 3 Issue 1 / Juli / 2016
ISSN: 2355-1305
Website: www.icel.or.id/jurnal
E-mail: jurnal@icel.or.id
Diterbitkan oleh:
I ndonesian C enter for E nvironmental L aw (ICEL)
Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Telp. (62-21) 7262740, 7233390
Fax. (62-21) 7269331
DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.
ii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Dewan Penasehat
Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.
Dadang Trisasongko, S.H.
Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Margaretha Quina, S.H., LL.M.
Redaktur Pelaksana
Budi Afandi, S.H.
Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Raynaldo G. Sembiring, SH.
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Astrid Debora, S.H.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Rika Fajrini, S.H.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Ohiongyi Marino, S.H.
Rino Subagyo, S.H. Isna Faitmah, S.H.
Windu Kisworo, S.H., LL.M. Rayhan Dudayev, S.H.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Wenni Adzkia, S.H.
Feby Ivalerina, S.H., LL.M. Fajri Fadhillah, S.H.
Dyah Paramitha, S.H., LL.M. Budi Afandi, S.H.
Citra Hartati, S.H., M.H.
Mitra Bebestari
Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam
penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.
iii
iv
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
P e n g a n t a r R e d a k s i
S
tatus Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2012 menyajikan gambaran
yang mengkhawatirkan mengenai kualitas air, udara dan laut
Indonesia. Dalam hal pencemaran air, dari 411 titik pantau di 52
sungai strategis nasional, 75,2% titik pantau menunjukkan status tercemar berat,
22,52% tercemar sedang dan 1,73% tercemar ringan.1 Dalam hal pencemaran
udara, sekalipun polutan kriteria CO, NO2, TSP, SO2, HC, dan O3 tidak tercemar
secara signifikan, terlihat 40% sampel PM2,5 melebihi baku mutu, sementara
100% PM10 melampaui baku mutu ambien udara.2 Pencemaran laut pun tidak
terkontrol dengan baik, dengan 36 kasus tumpahan minyak sepanjang kurun
1997-2012 (15 tahun) dan sebagian besar parameter kecerahan, amonia, TSS, dan
DO di atas baku mutu.3 Lebih mengkhawatirkan, Indonesia tidak memiliki data
nasional yang komprehensif dan terintegrasi mengenai semua kualitas air, udara,
dan tanah yang mencakup semua kabupaten/kota. Hal ini misalnya tercermin
dari ketimpangan data peredaran merkuri di Indonesia pada 2012, di mana
UNCOMTRADE merekam 368 ton merkuri diekspor ke Indonesia, sementara data
impor Kementerian Perindustrian hanya merekam kurang dari 1 ton.4 Selain itu,
SLHI 2013 dan 2014 masih belum terbit juga hingga kini.
Lahirnya hukum lingkungan di Indonesia berasal dari isu pencemaran.
Sekalipun mencakup substansi yang luas, perlindungan dan pengendalian
terhadap pencemaran di Indonesia bertujuan sama: mempertahankan kualitas
lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi manusia. Dalam perkembangannya,
pendekatan kontrol pencemaran dilakukan berdasarkan media lingkungan, yaitu
v
pencemaran air, udara, dan laut. Pencemaran bahan beracun dan berbahaya yang
kerap lintas media kemudian berkembang menjadi satu cabang tersendiri dalam
ilmu hukum lingkungan. Selain itu, dimensi lain yang menarik ditelusuri adalah
keadilan dalam distribusi beban lingkungan, di mana golongan ekonomi lemah
beresiko lebih tinggi menanggung beban pencemaran lingkungan. Perkembangan
terkini landasan hukum mengenai pencemaran ini dirangkum UU No. 32 Tahun
2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup baik dalam
aspek hukum administrasi, perdata maupun pidana.
Akhir kata, JHLI Vol. 3 Issue 1 (Juli 2016) ini tidak lepas dari kekurangan.
Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk
memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat
dalam jurnal ini.
vi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
D a f t a r I s i
Artikel Ilmiah
1. Perkembangan Pengaturan Kualitas Udara di Indonesia:
Dari Pendekatan Tradisional Atur dan Awasi ke arah
Bauran Kebijakan
Cecep Aminudin, S.H., M.Si. ...................................................... 1
vii
viii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
B auran K ebajikan
Cecep Aminudin1
Abstrak
1 Pengamat, pengajar dan konsultan hukum lingkungan, mengampu mata kuliah kebijakan
dan hukum lingkungan pada Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil
dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung sejak 2009, S1 Ilmu Hukum dan S2 Ilmu
Lingkungan keduanya dari Universitas Indonesia.
1
CECEP AMINUDIN
telah bergeser dari pendekatan tradisional atur dan awasi kearah bauran kebijakan
dengan menerapkan berbagai instrumen lainnya.
Abstract
Air pollution problems require a response of legal rules along with the increasing
challenges faced. This article aims at describing the development of air quality regulation
since Indonesia’s independence in 1945. The description is based on the results of
juridical normative analysis of the primary and secondary legal materials which can be
inventoried. The development is divided into 5 periods. In the first period (1945-1972),
the disturbance ordinance is the main instrument. The second period (1972-1982) is
the first stage of development characterized by local initiatives such as the provinces of
Jakarta and West Java which issued a regulation on the ambient air and emission quality
standards. The third period (1982-1997) is the second stage of development characterized by
regulations regarding national ambient air, emissions and disturbance quality standards,
and regulations for technical guidance. The fourth period (1997-2009) marked the first
attempt to systematize the regulations in Government Regulation No. 41 Year 1999. The
fifth period (2009-present) is a momentum to develop more comprehensive air quality
regulations. During those five periods, the application of policy instruments has shifted
from a traditional command and control approach to policy mixes by applying a variety of
other instruments.
I. Pendahuluan
2
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
3 Ibid.
4 Kantor Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana dikutip “Badan Pusat Statistik,”
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1413. Diakses pada 3 Mei 2016. *) sejak
1999 tidak termasuk Timor-Timur.
5 Kantor Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana dikutip Ibid.
3
CECEP AMINUDIN
Pokok permasalahan yang dicoba diulas dalam tulisan ini adalah: (a)
faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan pengaturan kualitas udara
di Indonesia? (b) bagaimana kecenderungan pergeseran instrumen kebijakan
dalam peraturan pengelolaan kualitas udara yang digunakan dari satu periode
ke periode berikutnya? (c) sejauh mana kebijakan yang dimuat dalam peraturan
bersifat komprehensif (merespon faktor pemicu, tekanan, kondisi dan dampak
pencemaran udara)?
6 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan (Jakarta: Sapta Arta Jaya, 1997). Hal 82.
7 Mengenai hal ini lihat Åsa Maria Persson, “Choosing Environmental Policy Instruments:
Case Studies Of Municipal Waste Policy In Sweden And England” (A thesis submitted to the
Department of Geography and Environment of the London School of Economics and
Political Science for the degree of Doctor of Philosophy, 2007). Hal 36 – 55.
8 OECD, Sustainable Development Critical Issues: Critical Issues (OECD Publishing, 2001).Hal
132.
9 S.G. Vaz, T. Ribeiro, and EEA, Reporting on Environmental Measures: Are We Being Effective?,
Environmental Issue Report (European Environment Agency, 2001), http://www.eea.
europa.eu/publications/rem/issue25.pdf.hal 21.
4
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Pada periode ini juga dapat dicatat inisiatif Pemerintah DKI Jakarta yang
mengeluarkan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 1971 tentang Larangan Pengotoran
Udara, Air, dan Lepas Pantai dalam Wilayah DKI Jakarta, yang masih berlaku
berlaku hingga sekarang.12 Namun demikian, tidak banyak yang bisa dicatat pada
periode permulaan ini selain pemberlakukan peraturan lama warisan kolonial dan
eksperimentasi pengaturan oleh daerah dengan pendekatan CAC (melalui izin
gangguan dan larangan). Kebijakan juga tampaknya masih diarahkan hanya pada
sebagian tekanan (pressures) yaitu dari sumber tidak bergerak.
5
CECEP AMINUDIN
III. Periode 1972 – 1982: Tahap Perkembangan Awal dengan Inisiatif Daerah
13 United Nations, “Report of the United Nations Conference on the Human Environment”
(United Nations, 1972), http://www.un-documents.net/aconf48-14r1.pdf.
14 Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian No. 12/M/SK/1/78 Tentang Pencegahan
Dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Sebagai Akibat Dari Usaha Industri, 1978. Lihat
bagian konsiderans Keputusan Menteri tersebut.
6
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Bising dalam Wilayah DKI Jakarta (KepGub DKI 587/1980). Keputusan gubernur
tersebut diterbitkan setelah sebelumnya dibentuk Tim Peneliti dan Penyusunan
Kriteria Kualitas Udara dan Bising dalam wilayah DKI Jakarta berdasarkan
Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 542 Tahun 1978 tanggal 16 September 1978.
KepGub DKI 587/1980 tersebut mengatur nilai ambang batas untuk jenis pencemar
Carbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Oksida (NO), Amonia
(NH3), Timah Hitam (Pb), Hidrogen Sulfida (HS), Oxidant, Debu dan Hidrokarbon.
Sedangkan derajat kebisingan yang diatur adalah untuk perumahan, industri/
perkantoran, pusat perdagangan, rekreasi dan campuran perumahan/industri.15
Sebagai gambaran, pada tahun 1980, jumlah kendaraan di Jakarta mencapai
754.546 unit yang artinya bertambah lebih dari 3 kali lipat dibanding tahun 1970
yang mencapai 222.082 unit.16
Pada periode ini juga dapat dicatat terbitnya Surat Keputusan Gubernur
Jawa Barat Nomor 660.31/Sk/694/BKPMD/82 tentang Tata Cara Pengendalian
dan Kriteria Pencemaran Lingkungan Akibat Industri (Kep Gub Jawa Barat
660.31/Sk/694/BKPMD/82). Keputusan yang ditandatangani oleh H.A. Kunaefi,
Gubernur Jawa Barat waktu itu, didalamnya mengatur tentang definisi emisi,
kebisingan, kriteria kualitas udara (ambien) dan kriteria kualitas emisi. Apabila
KepGub DKI 587/1980 bersifat umum, artinya mencakup sumber pencemar
transportasi dan industri, maka KepGub Jawa Barat 660.31/Sk/694/BKPMD/82
hanya mengatur sumber pencemar industri.
Pada periode tahap perkembangan awal ini dapat dikatakan inisiatif regulasi
pengaturan kualitas udara yang lebih bersifat teknis lahir dari daerah provinsi.
KepGub DKI 587/1980 merupakan peraturan pertama di Indonesia yang mengatur
Baku Mutu Udara Ambien. Bahkan penelitian mengenai kualitas udara di kota-kota
besar lainnya yang dilakukan Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan
dan Lingkungan Hidup (PPLH), berbagai Departemen dan Lembaga penelitian
15 Lihat Bagian Lampiran Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 587 Tahun 1980 Tentang
Penetapan Kriteria Ambient Kualitas Udara Dan Kriteria Ambient Bising Dalam Wilayah DKI
Jakarta, 1980.
16 Kantor Statistik Propinsi DKI Jakarta, Statistik Kendaraan Bermotor dan Panjang Jalan
tahun 1970- 1989, Jakarta dalam Bambang Sukana and Syahrudji Naseh, “Pencemaran
Udara Di DKI Jakarta (Review),” Media Litbangkes III, no. 4 (1993): 6–12.
7
CECEP AMINUDIN
waktu itu menggunakan peraturan tersebut sebagai acuan.17 Hal ini dapat
dipahami karena Kementerian Negara PPLH yang baru dibentuk pada tahun
1978 dengan tugas pokok mengkoordinasikan pengelolaan lingkungan hidup
di berbagai instansi pusat maupun daerah masih mempersiapkan perumusan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.18 Dengan demikian, dapat
dikatakan instrumen kebijakan yang diterapkan pada periode ini masih berupa
instrumen CAC namun mulai menerapkan baku mutu emisi, baku mutu udara
ambien, izin usaha, pengawasan dan sanksi administrasi. Dengan adanya baku
mutu udara ambien, kebijakan juga mulai merespon kondisi (state) kualitas udara.
8
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
21 Lihat Pasal 1 butir 9, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1985 Tentang Tata Cara
Pengendalian Pencemaran Bagi Perusahaan-Perusahaan Yang Mengadakan Penanaman Modal
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 196 Dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968.,
1985.
22 Lihat bagian konsiderans Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup
Nomor: Kep-02/Menklh/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, 1988.
23 Ibid. Pasal 7 (1).
9
CECEP AMINUDIN
mutu udara ambien, Gubernur menetapkan baku mutu udara emisi dengan
berpedoman pada baku mutu udara emisi dalam Lampiran IV Surat Keputusan
tersebut.24Apabila terdapat hal yang bersifat khusus dalam menetapkan baku
mutu udara ambien dan baku mutu udara emisi, Gubernur berkonsultasi dengan
Menteri.25 Disini terlihat bahwa KepmenLH 02/1988 menegaskan pentingnya baku
mutu emisi sebagai usaha untuk mencapai baku mutu udara ambien. Penegasan
ini juga terlihat dalam definisi baku mutu emisi pada peraturan tersebut sebagai
berikut:
“Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi
zat atau bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran
ke udara, sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien.”26
KepmenLH 02/1988 juga mengatur sekilas tentang cara penetapan baku mutu
udara ambien provinsi yang ditetapkan dengan memperhitungkan kondisi udara
setempat. Untuk mengetahui kondisi udara setempat, Gubernur berkonsultasi
dengan Badan Meteorologi dan Geofisika yang pada saat itu berada di bawah
Departemen Perhubungan.27
24 Ibid. Pasal 8.
25 Ibid. Pasal 10.
26 Ibid. Pasal 1 butir 8.
27 Ibid. Pasal 7 (2).
28 Ibid. Pasal 9 (1).
29 Ibid. Pasal 9 (2).
10
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
30 Peraturan ini mencabut ketentuan mengenai baku mutu emisi sumber tidak bergerak
dalam Kep-02/MENKLH/I/1988.
11
CECEP AMINUDIN
Pengaturan Emisi Sumber Bergerak. Baku mutu emisi sumber bergerak (kendaraan
bermotor) dalam Kep-02/Menklh/I/1988 kemudian direvisi dengan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-35/MENLH/10/1993 tentang
Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor (Tipe Baru dan Lama) (KEP-
35/MENLH/10/1993).Yang menarik dari KEP-35/MENLH/10/1993 adalah dasar
pembentukan Kepmen tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi yang telah mengatur ketentuan mengenai
persyaratan laik jalan kendaraan bermotor yang meliputi antara lain ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor.31
Pengaturan Baku Tingkat Gangguan. Pada periode ini juga diterbitkan peraturan
menteri tentang baku tingkat gangguan (kebisingan, getaran dan kebauan) yaitu: (a)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-48/MENLH/11/1996
tentang Baku Tingkat Kebisingan; (b) Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor KEP-49/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran; (c)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-50/MENLH/11/1996
tentang Baku Tingkat Kebauan. Ketiga peraturan tersebut masih berlaku hingga
sekarang.
Program Langit Biru. Sebagai salah satu upaya pengendalian pencemaran udara
dari kegiatan sumber bergerak dan sumber tidak bergerak, pada periode ini
Kementerian LH melaksanakan program langit biru yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (MENLH) Nomor 15 Tahun 1996
tentang Program Langit Biru. Pelaksanaan program ini di daerah melibatkan
Bupati/Walikota, Gubernur, Bapedal Wilayah dan Menteri dalam Negeri.
Semenjak dileburnya Bapedal ke dalam KLH pada 2002, maka Program Langit
Biru menjadi bagian kegiatan dari masing-masing Asisten Deputi MENLH yang
menangani urusan pengendalian pencemaran sumber bergerak dan sumber
tidak bergerak. Dalam perjalanannya, Program Langit Biru untuk sumber tidak
bergerak diintegrasikan dalam kegiatan Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan
dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER).32 Berdasarkan KEP-16/
31 Pasal 7 huruf c dan Pasal 127 ayat (1) a, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 Tentang
Kendaraan Dan Pengemudi, 1993.
32 M. Didin Khaerudin et al., Kota Di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan Strategi
Pengendalian Emisi Dari Sektor Transportasi Jalan Di Kawasan Perkotaan (Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup, 2009). Hal 111.
12
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
33 Karya tulis yang membahas masalah ini secara komprehensif lihat La Ode Muhammad
Syarif, The Implementation of International Responsibilities for Atmospheric Pollution: A
Comparison Between Indonesia and Australia (Jakarta: ICEL, 2001).
13
CECEP AMINUDIN
34 Lihat Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.
35 Lihat Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah RI Nomor 04 Tahun 2001 Tentang Pengendalian
Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan
Dan Atau Lahan, 2001.
14
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Pengaturan Emisi Sumber Tidak Bergerak. Upaya untuk mengatur baku mutu
emisi dari sumber tidak bergerak terus dilakukan pada periode ini. Peraturan/
Keputusan Menteri mengenai hal ini yang terbit pada periode ini adalah: (1)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 133 Tahun 2004 tentang
Baku Mutu Emisi Bagi Kegiatan Industri Pupuk; (2) Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 07 Tahun 2007 Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak
Bergerak Bagi Ketel Uap; (3) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17
Tahun 2008 Tentang baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/
atau Kegiatan Industri Keramik; (4) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 18 Tahun 2008 Tentang baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha
dan/atau Kegiatan Industri Carbon Black; dan (5) Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 21 Tahun 2008 Tentang baku Mutu Emisi Sumber Tidak
Bergerak Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal.
36 Ibid.
37 Ibid. Pasal 9 dan 10.
38 Lihat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35 A/MENLH/7/1995
tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian
Pencemaran dalam Lingkup Kegiatan PROKASIH (PROPER PROKASIH).
15
CECEP AMINUDIN
Pengaturan Emisi Sumber Bergerak. Pengaturan baku mutu emisi sumber bergerak
terus ditingkatkan pada periode ini. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor untuk uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
yang sedang diproduksi (current production) dalam KEP-35/MENLH/10/1993
digantikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 141 Tahun
2003. Sedangkan Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama
dalam KEP-35/MENLH/10/1993 digantikan dengan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2006. Selain itu untuk meningkatkan penaatan
terhadap emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana telah
diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun
2003, Menteri Lingkungan Hidup menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 252 tahun 2004 tentang Program Penilaian Peringkat
Hasil Uji Tipe Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru. Hal ini menandai
digunakannya instrumen kebijakan informasi dalam pengendalian pencemaran
udara dari sumber tidak bergerak tipe baru.
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Pada periode ini juga mulai diterapkan
ISPU dengan pertimbangan “untuk memberikan kemudahan dan keseragaman
informasi kualitas udara ambien kepada masyarakat di lokasi dan waktu tertentu”
serta “sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya-upaya pengendalian
pencemaran udara”.39 Mengenai ISPU ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara
yang kemudian dijabarkan dalam Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor KEP-107/KABAPEDAL/11/1997 tentang Pedoman Teknis
39 Lihat Bagian konsiderans Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997
Tentang Indeks Standar Pencemar Udara, 1997.
16
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
40 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, 2007.
Pasal 34 ayat (4) huruf b dan c. Penjelasan Pasal 34 ayat (4) huruf b UU 26/2007 menyatakan
sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan standar kualitas lingkungan, antara lain, adalah baku
mutu lingkungan dan ketentuan pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan
ambang batas pencemaran udara, ambang batas pencemaran air, dan ambang
batas tingkat kebisingan.
…..
Penerapan kualitas lingkungan disesuaikan dengan jenis pemanfaatan ruang
sehingga standar kualitas lingkungan di kawasan perumahan akan berbeda
dengan standar kualitas lingkungan di kawasan industri.”
17
CECEP AMINUDIN
Selanjutnya perlu pula dicatat bahwa pada periode ini (sekitar tahun
2006-2007) terdapat inisiatif penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pengelolaan Udara Bersih yang akan merupakan Undang-Undang yang bersifat lex
specialis terhadap Undang Undang No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Salah satu pertimbangan perlunya disusun peraturan payung mengenai
udara adalah karena udara bersifat global.41 Namun proses penyusunan RUU
ini kemudian terhenti dan yang kemudian lahir adalah Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
menggantikan UU 23/1997.
18
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
pada penanggulangan dan pemulihan ketika baku mutu udara ambien terlampaui
namun belum mengatur pencegahan/pemeliharaan ketika baku mutu udara
ambien sudah terpenuhi, (c) belum mencantumkan norma dasar dalam penetapan
baku mutu udara ambien nasional, (d) belum mengatur pengembangan model
dispersi pencemaran udara, (e) masih mengandalkan pada pendekatan command
and control, (f) belum mengatur parameter pencemar udara yang bersifat toksik, (g)
yang wajib membuat baku mutu udara ambien daerah seharusnya daerah dengan
kriteria tertentu.
19
CECEP AMINUDIN
57 ayat (5) mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam dan
pelestarian fungsi atmosfer, Pasal 75 mengenai tata cara pengangkatan pejabat
pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan, serta Pasal
83 mengenai sanksi administratif, yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
Baku Mutu dan Beban Emisi. Pada periode ini dihasilkan 3 peraturan menteri
yaitu: (a) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 04 Tahun 2014
Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan / atau Kegiatan
Pertambangan yang mencakup kegiatan pertambangan bijih nikel, bijih bauksit,
bijih timah, bijih besi, bijih mineral lainnya dan batubara, (b) Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2009 Tentang Baku Mutu Emisi Sumber
Tidak Bergerak Bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak Bumi dan Gas yang
kemudian disusul dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
12 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penghitungan Beban Emisi Kegiatan Industri
Minyak dan Gas Bumi; dan (c) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
07 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan
/ atau Kegiatan Industri Rayon.
20
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Amdal dan Izin Lingkungan. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kemudian dicabut dan digantikan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Sementara itu, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012
Tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menggantikan dan mencabut Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 tahun 2006. Beberapa jenis
kegiatan diwajibkan memiliki Amdal dengan pertimbangan dampaknya terhadap
pencemaran udara seperti pembangunan gedung, pembangunan terminal,
pembangunan bandar udara, eksploitasi minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan,
panas bumi dan pengelolaan limbah B3.
Emisi Gas Buang. Pada periode ini diterbitkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 04 Tahun 2009 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe Baru. Selain itu juga diterbitkan Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2012 tentang Baku Mutu Emisi Gas
Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori L3 (roda 2) yang kemudian diubah
dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 2012.43
Pencemar Udara Organik yang Persisten. Pada tahun 2009 Indonesia juga
mengesahkan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang
Persisten dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan
Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants. Ratifikasi ini merupakan
21
CECEP AMINUDIN
22
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Dari uraian tersebut terlihat bahwa perkembangan yang ada pada periode ini
menegaskan diterapkannya pendekatan bauran (policy mixes) dalam pengendalian
pencemaran termasuk pencemaran udara. Penguatan instrumen CAC melalui
pengaturan baku mutu emisi, baku mutu udara ambien, Amdal, izin lingkungan
sebagai prasyarat izin usaha, pengawasan, sanksi administrasi serta sanksi pidana.
Demikian juga dengan pendekatan LDC melalui pengaturan sanksi perdata (ganti
rugi dan strict liability) dalam UU 32/2009.Untuk sumber tidak bergerak instrumen
CAC dan LDC ini dibaurkan dengan instrumen E&I berupa program PROPER
dan standar kompetensi penanggung jawab pengendalian pencemaran udara.UU
32/2009 sebenarnya memungkinkan dikembangkannya instrumen ekonomi dan
instrumen manajemen serta perencanaan (M&P) melalui keterkaitan dengan tata
ruang dan konsep ekoregion. Dengan demikian respon terhadap faktor pemicu
(driving forces), khususnya pada aspek kesesuaian antara penataan ruang dengan
upaya pengelolaan kualitas udara dapat lebih dielaborasi. Respon terhadap dampak
23
CECEP AMINUDIN
49 Eko Cahyono, “Pengaruh Hujan Asam Pada Biotik Dan Abiotik,” Berita Dirgantara
LAPAN Vol 8 (September 3, 2007): 48–51.
24
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
25
CECEP AMINUDIN
26
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 1997. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sapta Arta Jaya.
Sukana, Bambang and Naseh , Syahrudji. 1993. “Pencemaran Udara Di DKI Jakarta
(Review).”Media Litbangkes III, Nomor 4: 6–12.
Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 587 Tahun 1980 Tentang Penetapan Kriteria
Ambient Kualitas Udara Dan Kriteria Ambient Bising Dalam Wilayah DKI Jakarta,
1980.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997 Tentang Indeks
Standar Pencemar Udara, 1997.
27
CECEP AMINUDIN
M. Didin Khaerudin, Fitri Harwati, John H.P. Tambun Mulia, and Dian Sugiarti.
2009. Kota Di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan Strategi Pengendalian
Emisi Dari Sektor Transportasi Jalan Di Kawasan Perkotaan. Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup.
OECD. 2001. Sustainable Development Critical Issues: Critical Issues. OECD Publishing.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1985 Tentang Tata Cara Pengendalian
Pencemaran Bagi Perusahaan-Perusahaan Yang Mengadakan Penanaman Modal
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 196 Dan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1968., 1985.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 Tentang Kendaraan Dan Pengemudi, 1993.
28
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Surat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 670/2000 Tanggal 28 Maret 2000
Tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Di Propinsi DKI
Jakarta, 2000.
United Nations. 1972. “Report of the United Nations Conference on the Human
Environment.” United Nations. http://www.un-documents.net/aconf48-
14r1.pdf.
Vaz, S.G., T. Ribeiro, and EEA. 2001. Reporting on Environmental Measures: Are We
Being Effective? Environmental Issue Report. European Environment Agency.
http://www.eea.europa.eu/publications/rem/issue25.pdf.
29
30
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Abstrak
Usaha Mikro dan Kecil jumlahnya cukup besar di Indonesia. Khususnya dalam
sistem bisnis perikanan sub sektor pengolahan hasil perikanan merupakan usaha
yang menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu juga berpotensi dikembangkan
untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan dalam dan luar negeri. Di sisi lain
juga memiliki banyak kelemahan dan berpotensi menghasilkan limbah yang
dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut. Tulisan ini merupakan hasil
penelitian yang bertujuan mengkaji perlindungan usaha mikro kecil sebagai entitas
ekonomi yang dapat dikembangkan agar mampu berperan dalam pengendalian
pencemaran wilayah pesisir dan laut. Menggunakan metode penelitian hukum
non doktrinal dengan pendekatan socio-legal research. Untuk melindungi dan
pengembangan usaha mikro kecil dalam bidang perikanan harus dilakukan
secara komprehensif. Pengembangan SDM, manajemen, kelembagaan serta aspek
legalitas baik institusional maupun operasional harus menjadi perhatian penting.
Untuk memberikan perlindungan hukum perlu dilakukan penguatan kelembagaan
terhadap Usaha mikro dan kecil di bidang perikanan dalam wadah badan hukum
koperasi. Dalam wadah koperasi, pelaku usaha mikro dan kecil selain dapat
mengaktualisasi kepentingan-kepentingan ekonomi, juga memperoleh pendidikan
1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, mengajar matakuliah Hukum
Ekonomi, Hukum Lingkungan, Sosiologi Hukum; telah menyelesaikan pendidikan S3 di
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro-Semarang.
31
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI
Abstract
Micro, Small and large enough in Indonesia. Particularly in the fisheries sub-sector
business system processing of fishery products is a business that employs many workers.
It also has the potential to be developed to meet the needs of food at home and abroad. On
the other side also has many weaknesses and the potential to produce waste that can cause
pollution of the marine environment. This is the result of research that aims to study the
protection of small micro enterprises as an economic entity which can be developed to be
able to participate in pollution control coastal and marine areas. Using the methods of
legal research non-doctrinal approach to socio-legal research. To protect small and micro
enterprise development in the field of fisheries must be done comprehensively. Human
resources development, management, institutional and legal aspects of both institutional
and operational levels should be the paramount concern. To provide legal protection
necessary to strengthen institutions to micro and small businesses in the field of fisheries
in the container cooperative legal entities. In the container of cooperatives, micro and small
businesses in addition to actualize economic interests, as well as education and learning
related to economic, environmental. Relating to environmental management through
education can be transformed ADS concept, to be applied in everyday activities of SMEs
fisheries. Thus at the end of MSMEs fisheries can play a role in controlling environmental
pollution in coastal and marine areas.
32
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
I. Pendahuluan
2 Ade Komarudin, Politik Hukum Integratif UMKM, Cetakan ke-1 (Jakarta: Penerbit
RMBOOKS, 2015), hlm. 3
3 Ahmad Erani Yustika, Pembangunan dan Krisis (Memetakan Perekonomian Indonseia),Cetakan
1 (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), 2002), hlm. 63-65.
4 Prihatin Lumbanraja, “Bersama UKM Membangun Ekonomi Rakyat Dan Lingkungan
Hidup”, Jurnal Ekonomi, Vol 14, No 2, April 2011.
5 Ahmad Fauzi, Ekonomi Perikanan, Teori, Kebijakan dan Pengeloaan, Cetakan.1 (Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 25.
33
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI
pula Rohmin Dahuri,6 sistem bisnis perikanan terdiri dari subsistem produksi,
pengolahan, pasca panen dan pemasaran yang didukung oleh subsistem sarana
produksi yang mencakup sarana dan prasarana, finansial, SDM dan IPTEK serta
hukum dan kelembagaan. Secara teknis kegiatan tersebut dibagi dalam tiga (3)
sektor yaitu sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier.
34
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
ikan di Sentra Pengasapan Ikan Desa Wonosari meliputi limbah cair, padat dan
asap. Limbah cair yang keruh, berbau amis dan berlemak dihasilkan dari proses
pencucian ikan. Dalam pembuangan limbah cair tersebut langsung dialirkan ke
badan sungai tanpa mengalami pengolahan lebih dahulu.8 Walaupun demikian
menurut Otto Soemarwoto, UMKM juga merupakan komponen esensial dalam
pembangunan ramah lingkungan hidup. Dengan berlandaskan konsep ADS (Atur
Diri Sendiri) proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dapat dilakukan
melalui pengembangan UMKM.9 Untuk itu perlu dukungan dan bantuan pihak
lain, baik Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Oleh karena itu yang menjadi
persoalan, bagaimana kebijakan Pemerintah dalam mengembangkan UMKM
Perikanan, agar dapat berperan mengendalikan pencemaran dan kerusakan
di wilayah pesisir dan laut? Dengan penelitian hukum non doktrinal yang
menggunakan pendekatan socio-legal studies, dan memanfaatkan data primer yang
diperoleh melalui pengamatan dan wawancara di lapangan serta data sekunder
yang berupa bahan-bahan hukum primer dan sekunder, tulisan ini berupaya
menguraikan perlindungan dan pengembangan UMKM perikanan agar dapat
mendukung pengendalian pencemaran di wilayah pesisir dan laut.
II. Pembahasan
1. UMKM Perikanan
35
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI
10 Tuti Rastuti, Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan, Cetakan.1 (Bandung: Refika
Aditama, 2015), hlm. 7
11 Kiara,”Menghadirkan Negara untuk Melindungi dan Menyejahterakan Nelayan”, http://
www.kiara.or.id/temu-akbar-nelayan-indonesia-2015/, diakses tanggal 12 April 2016
36
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
menjadi hak perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun temurun
sesuai budaya dan kearifan lokal. Hal tersebut menunjukan bahwa perikanan
bukan hanya aktivitas ekonomi tetapi juga merupakan kegiatan sosial budaya
yang penting dalam suatu daerah atau negara.
12 Mikhael Dua, Filsafat Eknomi, Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama, Cetakan 1 (Jogyakarta:
Kanisius, 2008), hlm. 17.
13 Boyke LW, “5.000 nelayan di Bengkulu dikategorikan miskin”, http://www.
antarabengkulu.com/berita/24162/5000-nelayan-di-bengkulu-dikategorikan-miskin, 7
Mei 2014; diakses tanggal 25 April 2016.
37
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI
Pada sektor tersier, ikan hasil tangkapan atau hasil olahan didistribusikan
melalui kegiatan pemasaran. Menurut Kotler dan Amstrong(2001), pemasaran
adalah suatu proses sosial dan managerial yang membuat individu dan kelompok
memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan
pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain.14 Hasil penelitian
Rini Oktary, Aris Baso, Andi Adri Arief (2014), terdapat dua saluran pemasaran
yang terbentuk, yaitu saluran pemasaran 1 (satu) dipasarkan secara langsung ke
pedagang pengumpul kemudian dipasarkan kembali ke pedagang pengecer dan
didistribusikan ke konsumen akhir. Saluran pemasaran 2 (dua) dipasarkan secara
langsung ke pedagang pengecer dan didistribusikan ke konsumen akhir.15Pola
38
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
39
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI
tidak terbiasa. Faktor pendidikan yang rata-rata masih rendah bahkan ada yang
masih tidak bisa baca tulis, sangat mempengaruhi hal tersebut.
Pasal 1 angka (2) dan (7) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil menyebutkan Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Sedangkan Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa
payau, dan laguna. Penangkapan ikan oleh nelayan kecil umumnya dilakukan
di perairan pesisir seperti halnya di lokasi penelitian. Demikian pula pengolahan
dan pemasaran dilaksanakan di wilayah daratan pesisir. Kegiatan perikanan
melibatkan banyak pihak (stakeholders) baik di wilayah laut maupun pesisir. Secara
ekonomi memberikan kontribusi cukup besar bagi perekonomian daerah maupun
nasional. Tetapi di sisi lain juga dapat berpotensi menimbulkan pencemaran
terhadap lingkungan laut maupun pesisir.
40
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
21 Mukhtasor, Pencemaran Pesisir dan Laut, Cetakan Pertama (Jakarta: PT. Pratnya Paramita,
2007), hlm. 8
22 Philip Kristanto, Ekologi Industri, Cet.2, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004), hlm. 166.
23 I b i d, hlm. 169; Limbah adalah buangan yang kehadirannya suatu saat dan tempat tertentu
tidak dikehendaki karena tidak mempunyai nilai ekonomis dan dapat menimbulkan
pencemaran.
24 Mukhtasor, Op.Cit, hlm. 155-157.
41
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI
ikan yang tertangkap tetapi tidak/kurang ekonomis untuk diolah lebih lanjut yang
kemudian dibuang. Limbah Limbah yang mengandung bahan cemaran berupa
limbah padat dan cair yang membusuk, sehingga menghasilkan bau busuk/amis.
Limbah tersebut tidak hanya berasal dari pabrik modern tetapi juga dari UPI
tradisional.
25 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan (Dalam Penegakan hukum Lingkungan), (Bandung: Alumni,
1996), hlm. 9
42
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
pula Moestadji, bahwa peran hukum lingkungan secara garis besar adalah
mengendalikan perilaku manusia untuk tidak melakukan tindakan yang
menimbulkan kerusakan lingkungan dan berkurangnya sumber daya alam.26
Dalam konteks pengendalian pencemaran limbah UPI, pengusaha UPI baik usaha
besar maupun UMKM mempunyai kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
43
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI
28 Nur Sulistyo B Ambarini, “Penguatan Kelembagaan Usaha Mikro Kecil Bidang Perikanan
Pada Masyarakat Pesisir di Kota Bengkulu”, (Bengkulu: Univeritas Bengkulu, 2014), Laporan
Akhir Program IPTEK Bagi Masyarakat (IbM), 2014, hlm. 27.
29 Mohammad Hatta, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, Gagasan & Pemikiran,
44
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
bahwa koperasi mempunyai makna sebagai lima pokok wahana yaitu ekonomi,
pengembangan manusia (pendidikan), pendemokrasian rakyat, penyeimbang
BUMN dan Swasta, serta penghayatan ideologi Pancasila. Koperasi dapat berusaha
secara efektif sebagai ‘agent’ perubahan ekonomi dan sosial secara evolusioner.
Perubahan sosial mencakup perubahan mentalitas manusia yang terlibat dalam
proses yang bersangkutan.30
Cetakan. 1 (Jakarta:Pusat Koperasi Pegawai negeri, 1971; diterbitkan kembali Penerbit Buku
Kompas, 2015), hlm. 217
30 Titik Kartika Pratomo; Abdul Rahman Soejono, Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi,
Cetakan 1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 123.
31 Otto Sumarwoto, Op.Cit, hlm. 108
32 I b i d, hlm. 166
45
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI
pencemaran di wilayah pesisir dan laut disekitarnya. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan menerapkan konsep reuse, recovery, dan recycle. Misalnya mengolahlimbah
padat maupun cair menjadi produk samping yang mempunyai nilai ekonomi
seperti tepung ikan, petis, pupuk dan sebagainya ke lingkungan di sekitarnya.
33 Nur Sulistyo B Ambarini, Pemberdayaan Hukum Lokal Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Laut di Daerah”, Supremasi Hukum Vol. 12, No. 2, ISSN: 1693-766X, Agustus 2007, hlm.
81-91.
34 Wuri Marsigit, “Pengembangan Diversifikasi Produk Pangan Olahan Lokal Bengkulu
Untuk Menunjang Ketahanan Pangan berkelanjutan”, AGRITECH, Vol.30, No. 4 Nopember
2010, hlm 256-264.
35 Bonodikun; Putri Suci Astriani; Ellys Yuliarti “ kajian Agoridustri Unggulan Wilayah Pesisir
Kota Bengkulu”, AGRISEP Vol. 14 No. 1. ISSN: 1412-8837, Maret 2015, hlm. 79-84
46
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
47
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Chaidir. 2005. Badan Usaha. Edisi 1, Cetakan 3. Bandung: Penerbit Alumni.
Bonodikun; Putri Suci Astriani; Ellys Yuliarti. 2015. “Kajian Agoridustri Unggulan
Wilayah Pesisir Kota Bengkulu”, AGRISEP Vol. 14 No. 1. ISSN: 1412-8837.
2015.
Dua, Mikhael. 2008. Filsafat Eknomi, Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama, Cetakan
1. Jogyakarta: Kanisius.
48
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Fauzi, Ahmad. 2010. Ekonomi Perikanan, Teori, Kebijakan dan Pengeloaan. Cetakan 1.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Hatta, Mohammad. 2015. Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, Gagasan &
Pemikiran. Jakarta: Pusat Koperasi Pegawai negeri, 1971; diterbitkan kembali
Penerbit Buku Kompas, Cetakan. 1.
Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan
Menengah.
Indonesia, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Komarudin, Ade. 2014. Politik Hukum Integratif UMKM. Cetaka 1. Jakarta: Penerbit
RMBOOKS
49
NUR SULISTYO BUDI AMBARINI
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Cetakan 1. Jakarta: PT. Pratnya
Paramita.
Oktary, Rini; Aris Baso; Andi Adri Arief. 2016.” Produksi Dan Pemasaran Perikanan
Tangkap Unit Penangkapan Purse Seine Di Kecamatan Galesong Utara,
KabupatenTakalar”, diakses tanggal 15 April 2016 melalui http://pasca.
unhas.ac.id/jurnal/files/e1f1268d5d32180a9c8f8ebec10fb544.pdf
Pratomo, Titik Kartika ; Abdul Rahman Soejono. 2002. Ekonomi Skala Kecil/Menengah
dan Koperasi. Cetakan 1. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rastuti, Tuti. 2015. Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan. Cetakan 1.
Bandung: Refika Aditama.
Soemarwoto, Otto. 2001. .Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Hidusp. Cetakan 2. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
50
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Fajri Fadhillah1
Abstrak
1 Penulis kini bekerja sebagai asisten peneliti di Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL). ICEL beralamat di Jalan Dempo II No. 21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120.
Penulis memiliki perhatian khusus pada bidang studi hukum pencemaran lingkungan.
Penulis memperoleh gelar sarjana hukum dari Universitas Indonesia pada Februari 2015.
51
FAJRI FADHILLAH
Abstract
Forest and land fires phenomena in Indonesia inflicted to air pollution besides the
environmental harm. Injuries stemmed from the forest fires air pollution was somewhat
huge, comprise to various sectors such as health and education. Unfortunately, there is no
legal action alleging the air pollution tortfeasors from forest and land fires to the court until
now. This article aims to see any possibilities that air pollution from land and forest fires
victims could file a lawsuit against multiple tortfeasors. This article employed a normative
study based on the enacted law in Indonesia as a primary source. This article also based
on theories from kinds of law literature and information from the internet as a secondary
source. This article shows that there is a possibility to file a civil lawsuit against multiple
tortfeasors who causing an air pollution from land and forest fires. The civil lawsuit could
be conducted in a joint and several liability formulation. Furthermore, strict liability and
precautionary principle could answer the challenge arising from causation aspect in this
particular case.
Keywords: air pollution, forest and land fires, joint and several liability, causation
I. Pendahuluan
52
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
tak kalah mencengangkan. Sebanyak 24 orang meninggal dan lebih dari 600.000
jiwa menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat terjadinya karhutla.5
Angka mengenai jumlah korban tersebut menjadi hal yang tidak mengherankan
jika melihat fakta berikut ini: pada periode bulan September sampai Oktober 2015,
masyarakat di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Barat menjalani kehidupan sehari-hari dengan kualitas udara yang
sangat berbahaya.6
Dampak pencemaran udara dari karhutla yang dirasakan oleh sekian banyak
orang tersebut terjadi tentu bukan tanpa sebab. Berdasarkan catatan Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), terdapat sekitar 423 perusahaan diduga
terlibat langsung dalam karhutla di tahun 2015.7 Hasil investigasi yang dilakukan
Eyes on the Forest di Provinsi Riau dalam kurun waktu Oktober sampai November
2015, menunjukan bahwa terdapat 38 perusahaan yang konsesinya terbakar.8
5 Ibid.
6 Pada periode waktu September sampai Oktober 2015, Indeks Standar Pencemar Udara
(ISPU) di kelima Provinsi tersebut berada di atas angka 400. ISPU Provinsi Kalimantan
Tengah bahkan mencapai angka 1.987 pada bulan September dan 2.230 pada bulan Oktober.
Lihat dalam: Pusdatin Kementerian Kesehatan RI, “Masalah Kesehatan Akibat Kabut
Asap Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2015”, http://www.depkes.go.id/resources/
download/pusdatin/infodatin/infodatin-asap.pdf, diakses tanggal 16 Maret 2016.
7 “Ratusan Perusahaan Diduga Terlibat Pembakaran Hutan”, http://nasional.republika.
co.id/berita/nasional/umum/16/01/22/o1cgje361-ratusan-perusahaan-diduga-terlibat-
pembakaran-hutan, diakses tanggal 21 Maret 2016.
8 Eyes on the Forest, “Terlibat Kejahatan Kemanusiaan, Para Pelaku Layak Diseret ke
Pengadilan”, http://eyesontheforest.or.id/attach/Laporan%20Ringkas%20EoF%20
(Dec2015)%20Pembakaran%20hutan%20lahan%20di%2037%20lokasi%20Riau%20
FINAL2.pdf, diakses tanggal 21 Maret 2016.
9 Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, memberikan keterangan bahwa ada 10 korban tewas
akibat kabut asap di Sumatera dan Kalimantan, baik lewat dampak langsung maupun
tidak langsung. Menurut Sutopo Purwo Nugroho, korban tewas akibat dampak langsung
kebakaran hutan dan lahan contohnya adalah korban yang meninggal saat memadamkan
api lalu ikut terbakar. Sedangkan korban yang tewas akibat dampak tidak langsung adalah
korban yang sakit akibat asap, atau yang sudah punya riwayat sakit lalu adanya asap
memperparah sakitnya. Lihat dalam: bbc.com, “Asap Kebakaran Hutan Sampai Jakarta,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151024_indonesia_jakarta_
kabutasap, diakses pada tanggal 21 Juni 2016.
53
FAJRI FADHILLAH
pencemaran udara akibat asap dari karhutla pun tersedia. Selain itu, informasi
mengenai para pihak yang diduga sebagai penyebab terjadinya pencemaran udara
dari karhutla pun sudah cukup diketahui. Dengan fakta dan informasi tersebut,
ternyata tidak pernah ada gugatan atas dasar pencemaran udara dari karhutla
untuk memperoleh kompensasi atas kerugian yang dialami.
10 Andri G. Wibisana, “Menggugat Kebakaran Hutan”, Kompas, Rabu 07 Oktober 2015. Dalam
opini tersebut, Andri menyatakan bahwa Polri telah menetapkan 140 tersangka dalam
kasus karhutla di tahun 2015.
11 Putusan pengadilan yang sudah dihasilkan dalam perkara perdata karhutla, yakni:
• Putusan PN Meulaboh No. 12.PDT.G/2012/PN.MBO antara Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) vs PT. Kallista Alam;
• Putusan PN Jakarta Selatan No. 700/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel. antara Menteri LHK vs
PT. Surya Panen Subur. Dalam perkara ini Majelis Hakim menolak seluruh gugatan
Penggugat;
• Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg. antara Menteri LHK vs PT. Bumi
Mekar Hijau. Dalam perkara ini Majelis Hakim menolak seluruh gugatan Penggugat;
dan
• Putusan PN Jakarta Utara No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr, antara Menteri LHK vs PT.
Jatim Jaya Perkasa. Dalam perkara ini, Majelis Hakim mengabulkan sebagian gugatan
Penggugat.
• Putusan PN Jakarta Selatan No. 591/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, antara Menteri LHK vs
PT. National Sago Prima. Dalam perkara ini, Majelis Hakim mengabulkan sebagian
gugatan Penggugat.
12 Sengketa ini sudah sampai pada tahap kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan juga telah
diputuskan. MA menolak kasasi yang diajukan oleh PT. Kallista Alam. Lihat: “Kasasi
Ditolak, Kalista Alam Harus Bayar Rp 366 Miliar, Menteri Siti: Penuhi Rasa Keadilan”,
http://www.mongabay.co.id/2015/09/13/kasasi-ditolak-kalista-alam-harus-bayar-
rp366-miliar-menteri-siti-penuhi-rasa-keadilan/, diakses tanggal 24 Maret 2016.
54
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
13 Penggugat dalam Menteri LHK vs PT. Kallista Alam mendalilkan beberapa hal yang
berkaitan dengan kerugian akibat perbuatan Tergugat. Kerugian tersebut di antaranya
meliputi kerugian ekologis (pembuatan dan pemeliharaan reservoir, pengaturan tata air,
pembentuk tanah, dll), kerugian hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber daya
genetika, kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara, dan kerugian ekonomis. Keempat
jenis kerugian tersebut mayoritas merupakan kerugian atas kerusakan lahan. Memang
terdapat kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara yang merupakan bentuk pencemaran
udara dari karhutla. Namun kerugian ini tidak menyangkut kerugian pencemaran udara
yang diderita oleh masyarakat yang terdampak asap dari karhutla. Lihat dalam Menteri
LHK vs PT. Kallista Alam, Putusan PN Meulaboh No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO, bagian
Gugatan, hal. 36 – 47.
14 Mas Achmad Santosa mengemukakan pendapat yang serupa perihal sifat-sifat khas dalam
kasus pencemaran lingkungan, antara lain: 1). Penyebabnya tidak selalu dari sumber
tunggal, akan tetapi berasal dari berbagai sumber (multi sources); 2). Melibatkan disiplin-
disiplin ilmu lainnya serta menuntut keterlibatan pakar-pakar di luar hukum sebagai
saksi ahli; dan 3). Seringkali akibat yang diderita tidak timbul seketika, akan tetapi selang
beberapa lama kemudian (long period of latency). Lihat dalam Mas Achmad Santosa, “Teori
Pertanggungjawaban Pencemaran (Liability Theories)” dalam Sulaiman N. Sembiring (ed.),
Hukum dan Advokasi Lingkungan, (ICEL, 1998), hal. 89.
55
FAJRI FADHILLAH
56
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Lalu, Pasal 1280 KUHPer mengatur juga perihal tanggung renteng dengan
rumusan: “Di pihak para debitur terjadi suatu perikatan tanggung-menanggung,
manakala mereka semua wajib melaksanakan satu hal yang sama, sedemikian
rupa sehingga salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pelunasan oleh
salah satu dapat membebaskan debitur lainnya terhadap kreditur.”17
Berdasarkan pada Pasal 1278 dan 1280 KUHPer, dapat ditarik beberapa
kesimpulan mengenai pengertian perikatan tanggung renteng, seperti:18 1) Suatu
perikatan dengan lebih dari satu kreditur di satu sisi dengan satu debitur, di sisi
lain; atau 2) Suatu perikatan dengan lebih dari satu debitur pada satu sisi dengan
satu kreditur pada sisi lain; atau 3) Suatu perikatan dengan lebih dari satu kreditur
di satu sisi dan juga dengan lebih dari satu debitur di sisi lain. Pilihan terhadap
dua perikatan yang awal memiliki beberapa konsekuensi hukum, di antaranya:19
• Dalam hal terdapat lebih dari satu kreditur, masing-masing kreditur berhak
untuk menuntut pemenuhan perikatannya dari debitur;
• Dalam hal terdapat lebih dari satu debitur, masing-masing debitur dapat
dituntut untuk memenuhi seluruh isi perikatannya oleh kreditur.
• Dalam hal terdapat lebih dari satu kreditur, pemenuhan perikatan kepada
salah satu kreditur adalah pemenuhan perikatan kepada semua kreditur; dan
15 Giska Matahari Gegana, Penerapan Prinsip Tanggung Renteng Dalam Hal Kreditur Melakukan
Wanprestasi Terhadap Perjanjian Kredit Sindikasi, (Skripsi FHUI, Depok: Juni 2011), hal. 25.
16 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1278, diakses melalui jejaring: http://
hukum.unsrat.ac.id/uu/kolonial_kuh_perdata.pdf.
17 Ibid., Pasal 1280.
�� Giska Matahari Gegana, loc. cit.
19 Ibid., hal. 26.
57
FAJRI FADHILLAH
• Dalam hal terdapat lebih dari satu debitur, pemenuhan perikatan oleh salah
satu debitur adalah pemenuhan perikatan oleh semua debitur.
• Perikatan tanggung renteng yang bersifat aktif, yaitu perikatan dengan lebih
dari satu kreditur, di mana masing-masing kreditur berhak untuk menuntut
pemenuhan perikatannya dari debitur, dan pemenuhan perikatan kepada
salah satu kreditur adalah pemenuhan perikatan kepada semua kreditur; dan
• Perikatan tanggung renteng yang bersifat pasif, yaitu perikatan dengan lebih
dari satu debitur, di mana masing-masing debitur dapat dituntut untuk
memenuhi seluruh isi perikatannya oleh kreditur, dan pemenuhan perikatan
oleh salah satu debitur adalah pemenuhan perikatan oleh semua debitur.
20 Ibid.
21 PT. Mandira Pelita Utama vs PT. Hastin International, et. al., Putusan PN Jakarta Pusat No.
219/Pdt.G/1999/PN.JKT.PST.
22 Giska Matahari Gegana, op. cit., hal. 90
23 Ibid., hal. 92 – 93. Berkaitan dengan gugatan tanggung renteng yang disampaikan oleh
Penggugat dalam kasus a quo, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, melalui Putusan No.
219/Pdt.G/1999/PN.JKT.PST, memutuskan bahwa gugatan tanggung renteng terhadap
ketujuh Tergugat tidak dapat dikabulkan. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim
berpendapat bahwa ganti kerugian harus dibebankan kepada Tergugat sesudai dengan
porsi keikutsertaan Para Tergugat dalam perjanjian kredit sindikasi. Lihat dalam: Ibid.,
hal. 97. Penulis berpendapat bahwa gugatan secara tanggung renteng dilakukan oleh
58
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Penggugat dengan tujuan memperoleh jaminan bahwa keseluruhan kerugian yang diderita
oleh Penggugat dapat dibayar oleh salah satu Tergugat atau lebih. Selain itu, gugatan
dilakukan secara tanggung renteng juga agar gugatan bisa lebih efisien dibandingkan
dengan menggugat masing-masing Tergugat secara terpisah.
24 Dedi, dkk. vs PT. Perhutani, dkk. Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG.
25 Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya Bintan Abadi, dkk. Putusan PN Tanjung Pinang No. 26/
PDT.G/2009/PN.TPI,
26 Ibid., Bagian posita gugatan, hal. 15.
27 Ibid., hal. 23. Majelis Hakim dalam putusannya mengabulkan sebagian gugatan dari para
59
FAJRI FADHILLAH
dasar hukum tertulis dalam merumuskan dalil gugatan tanggung renteng, baik itu
dalam posita atau pun petitum-nya.
Dari kedua sengketa tersebut dapat dilihat bahwa gugatan tanggung renteng
atas perbuatan melawan hukum dilakukan tidak berdasarkan pada suatu dasar
hukum tertentu. Dalam perkara antara Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya Bintan Abadi,
dkk., pihak Penggugat merumuskan dalil tanggung renteng dalam posita dan
petitum-nya tanpa didasarkan pada suatu dasar hukum tertentu. Dalam perkara
“Mandalawangi”, Majelis Hakim PN Bandung mendasarkan pada rasa keadilan
dan kepatutan dalam mempertimbangkan pemulihan dan ganti rugi secara
tanggung renteng oleh beberapa Tergugat. Dengan kata lain, perihal tanggung
renteng dalam PMH didasarkan pada kebiasaan serta rasa keadilan dan kepatutan.
Penggugat, salah satunya dalam hal ganti rugi, yakni menghukum Tergugat I, II, dan
III secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada para Penggugat sebesar Rp
10.760.000.000. Lihat: Ibid., hal, 128 – 129.
28 Perumusan dalil tanggung renteng di dalam petitum seperti yang terlihat dalam perkara
Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya Bintan Abadi, dkk. tidak terlihat di dalam gugatan Dedi, dkk.
dalam perkaranya melawan PT. Perhutani, dkk. Lihat dalam: Dedi, dkk. vs PT Perhutani,
dkk.. Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG., Bagian Petitum, hal. 10 – 12.
29 Ibid., hal. 104 dan 108..
30 Ibid.
31 Ibid., hal. 104.
60
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Hal yang perlu dicermati dalam gugatan tanggung renteng adalah pihak-
pihak yang dapat dijadikan Tergugat di dalam sengketa. Terdapat perbedaan antara
pihak-pihak yang dapat dijadikan Tergugat dalam gugatan tanggung renteng pada
sengketa wanprestasi dan PMH. Dalam gugatan tanggung renteng pada sengketa
wanprestasi, pihak-pihak yang dapat dijadikan Tergugat berkaitan erat dengan
para pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain, pihak yang merasa
dirugikan atas wanprestasi dalam perjanjian tanggung renteng harus menyertakan
seluruh pihak yang terikat kepada perjanjian tanggung renteng tersebut.32
32 Misalnya dalam sengketa wanprestasi atas perjanjian kredit sindkasi antara PT. Mandira
Pelita Utama vs PT. Hastin International Bank, dkk., pihak PT. Mandira Pelita Utama yang
merasa dirugikan atas wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Hastin International Bank, dkk.
harus menyertakan seluruh pihak yang terikat pada perjanjian kredit sindikasi tersebut.
33 Dasar gugatan PMH, selain berdasarkan pada ketentuan hukum tertulis, dapat juga di
antaranya dilakukan berdasarkan pada nilai-nilai kepatutan, kehati-hatian, dan ketelitian
yang hidup di dalam masyarakat. Lihat dalam: Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum,
(Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003), hal. 4-8.
61
FAJRI FADHILLAH
itu, gugatan tanggung renteng pada sengketa PMH tidak mengharuskan seorang
Penggugat untuk tahu dengan pasti pihak mana saja yang telah menyebabkan
kerugian yang ia derita.
Gugatan tanggung renteng di dalam sistem hukum common law dikenal dengan
istilah joint and several liability. Applegate dan Laitos berpendapat, sebagaimana
dikutip oleh Wibisana, bahwa makna dari joint and several liability adalah, “the entire
burden can be shifted to any contributor to the harm, even one that has only a tiny role,
leaving to that party the task of seeking contribution from other defendants, if possible”.34
Berdasarkan makna tersebut, Wibisana berpendapat bahwa dalam joint and several
liability, Penggugat pada pokoknya meminta para Tergugat secara bersama-sama
membayar ganti rugi atas kerugian yang ia derita.35 Tergugat mana di antara para
Tergugat yang akan membayar kerugian yang diderita oleh Penggugat sepenuhnya
diserahkan kepada kesepakatan para Tergugat. Apakah ganti rugi tersebut akan
seluruhnya ditanggung oleh seorang Tergugat, atau akan dibagi rata berdasarkan
proporsi tertentu menjadi urusan para Tergugat.36 Dengan kata lain, Penggugat
tidak perlu membuktikan proporsi/kontribusi dari tiap Tergugat atas kerugian
yang diderita Penggugat.37
Perihal penerapan dari joint and several liability, ulasan dari The Law Commission
of New Zealand dapat dijadikan sebagai acuan. Menurut ulasan tersebut, aturan joint
and several liability berkaitan dengan dua isu utama, yakni:38 Pertama, karakteristik
dari kerugian. Apakah tindakan atau kelalaian dari para Tergugat menimbulkan
suatu kerugian yang tak dapat dipisahkan atau kerugian tersebut terpisah atau
dapat dipisahkan. Kedua karakteristik kerugian tersebut menentukan apakah joint
62
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
and several liability dapat diterapkan atau tidak; kedua, perihal pembagian beban
pertanggungjawaban di antara para Tergugat.
Lalu pada isu yang kedua, yakni perihal pembagian beban pertanggung-
jawaban, menurut hukum yang berlaku di New Zealand,41 pembagian beban
pertanggungjawaban bukanlah beban dari Penggugat.42 Jika seorang Penggugat
hanya menggugat terhadap satu Tergugat saja dan Tergugat tersebut berpendapat
bahwa terdapat pihak-pihak lainnya yang seharusnya bertanggung jawab juga,
Tergugat tersebut dapat mengikutsertakan para pihak-pihak yang dianggap ikut
bertanggung jawab ke dalam proses persidangan atau membuat klaim kontribusi
dari pihak-pihak lain secara terpisah setelah adanya putusan terhadap gugatan yang
disampaikan oleh Penggugat.43 Penggugat harus membuktikan bahwa Tergugat
yang dipilih untuk digugat merupakan penyebab terjadinya kerugian yang ia
derita, akan tetapi Penggugat tidak diwajibkan untuk menelusuri kontribusi atau
kesalahan masing-masing Tergugat dibandingkan dengan pihak-pihak lain yang
berpotensi menjadi Tergugat. Dengan kata lain, Penggugat dapat memilih untuk
menggugat hanya satu Tergugat saja dan menyerahkan pada Tergugat tersebut
untuk memutuskan apakah Tergugat akan mencari pihak lain yang berkontribusi
juga pada kerugian Penggugat.44
Aturan joint and several liability melindungi Penggugat dengan mengatur bahwa
masing-masing pihak yang telah menyebabkan terjadinya kerugian bertanggung
63
FAJRI FADHILLAH
jawab untuk membayar secara penuh kerugian Penggugat.45 Jika Penggugat tidak
dapat mendapatkan ganti rugi dari satu Tergugat, Penggugat dapat memperoleh
ganti rugi secara penuh dari Tergugat lainnya. Prinsip dasar dari aturan ini adalah
pendekatan common law terhadap kausalitas, yakni: masing-masing Tergugat telah
menyebabkan terjadinya kerugian yang tak dapat dipisahkan yang diderita oleh
Penggugat, maka masing-masing Tergugat harus bertanggung jawab terhadap
kerugian tersebut. Dalam sistem hukum common law, pihak yang menderita
kerugian tidak seharusnya menanggung risiko tidak adanya Tergugat atau
ketidaksanggupan Tergugat untuk membayar ganti rugi. Sebaliknya, pengadilan
dalam sistem hukum common law mengalokasikan risiko tersebut kepada para
pihak yang dinilai telah menyebabkan kerugian pada Penggugat.46
3.1 Joint and Several Liability dalam Putusan Pengadilan di Amerika Serikat
45 Ibid.
46 Ibid.
47 Perkara ini diadili di United States District Court, Southern District of Ohio pada tahun 1983.
Lihat: Jeffrey G. Miller dan Craig N. Johnson, 2nd Edition, The Law of Hazardous Waste Disposal
and Remediation: Cases-Legislation-Regulation-Policies, (St. Paul: Thomson West, 2005), hal.
584.
64
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
48 Ibid.
49 Ibid.
50 Ibid.
51 Ibid., hal. 584 – 585.
65
FAJRI FADHILLAH
52 Pandangan Senator Helms mengenai perumusan terminologi joint and several liability dalam
CERCLA bertentangan dengan panduan yang dibuat oleh Mahkamah Agung Amerika
Serikat. Senator Helms merupakan pihak yang menentang disusunnya CERCLA. Maka
dari itu, pernyataan Senator Helms ditujukan untuk memperkecil ruang penafsiran dari
CERCLA. Lihat: Ibid., hal. 585.
53 Ibid.
66
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
67
FAJRI FADHILLAH
58 Erie Doctrine telah mengeliminasi kekuasaan federal courts untuk menciptakan federal general
common law. Akan tetapi kekuasaan untuk membuat federal specialized common law tetap
tidak tersentuh ketika kekuasaan tersebut diperlukan untuk melindungi “uniquely federal
interest”. Lihat dalam Jeffrey G. Miller dan Craig N. Johnson, op. cit., hal. 586.
59 Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi diterapkannya “federal rule of decision” dalam
perkara United States v. Chem-Dyne Corp. Pertama, pembuangan bahan-bahan beracun dan
berbahaya (B3) merupakan permasalahan nasional yang besar dan kompleks. Biasanya,
tempat buangan limbah yang tidak diperhatikan akan terdiri dari limbah yang dihasilkan
oleh bermacam-macam perusahaan dari Negara-negara bagian yang berbeda dalam suatu
area atau region. Terjadinya pencemaran pada tanah, air tanah, dan air permukaan sebagai
konsekuensi dari pembuangan limbah tersebut menghasilkan permasalahan lintas Negara
bagian. Kedua, alasan yang melatarbelakangi penyusunan CERCLA adalah pengakuan
bahwa respon terhadap permasalahan yang dapat meluas ini pada tingkatan Negara Bagian
dirasa masih tidak memadai. Terlebih lagi, dana Superfund yang digunakan untuk melakukan
pemulihan berasal dari “general revenues” dan “excise taxes”. Maka dari itu, tingkatan bagi
pemerintah federal Amerika Serikat untuk dapat melindungi kepentingan finansialnya
di dalam “trust fund” berhubungan secara langsung pada lingkup pertanggungjawaban
berdasarkan CERCLA dan tidak mungkin bergantung pada aturan hukum dari Negara
bagian. (penebalan berasal dari penulis). Lihat penjelasan ini dalam: Ibid.
60 Ibid., hal. 587.
61 Ibid
68
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
62 CERCLA mengatur hak bagi Pemerintah Federal Amerika Serikat untuk melakukan
reimbursement atas biaya yang dikeluarkan untuk pemulihan suatu area yang tercemar.
Hak tersebut dibutuhkan untuk penanganan permasalahan pencemaran secara nasional
yang seragam. Maka dari itu, hak untuk memeroleh reimbursement tersebut sebaiknya tidak
dihadapkan dengan ketidakpastian aturan-aturan lokal dari Negara-negara bagian yang
variatif. Lihat dalam: Ibid.
63 Ibid.
64 Ibid.
65 Ibid.
69
FAJRI FADHILLAH
b. O’Neil v. Picillo
66 Ibid.
67 Ibid., hal. 588.
68 Ibid.
69 Ibid.
70 Judgment as a matter of law adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak dalam
perkara di pengadilan sebelum kasus diserahkan kepada Juri. Salah satu pihak tersebut
mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan yang
menguntungkan pihak tersebut dengan alasan tidak cukupnya bukti awal yang ditunjukan
oleh pihak lain kepada juri. Judgment as a matter of law dikenal juga dengan istilah directed
verdict. Lihat dalam: “Motion for Judgment as a Matter of Law”, https://www.law.cornell.
edu/wex/motion_for_judgment_as_a_matter_of_law, diakses pada 31 Juli 2016.
71 Jeffrey G. Miller dan Craig N. Johnson, loc. cit.
70
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
72 Ibid.
73 Berdasarkan keterangan di District Court (pengadilan tingkat pertama), The State of Rhode
Island dan EPA pada saat melakukan pemulihan pencemaran menemukan banyak parit dan
lubang berukuran besar. Parit dan lubang besar tersebut dipenuhi oleh “free-flowing, multi-
colored, pungent liquid wastes” dan ribuan “dented and corroded drums containing a veritable
potpourri of toxic fluids”. Lihat dalam: Ibid.
74 Ibid.
75 Ibid.
76 Ibid.
77 Ibid.
71
FAJRI FADHILLAH
78 Ibid.
79 Para Tergugat mengacu pada Restatement (Second) of Torts 433B. Ibid., hal. 589.
80 Ibid.
81 Ibid.
82 Ibid., hal. 590.
83 Ibid.
84 Ibid., hal. 589.
72
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
85 Ibid.
86 Ibid., hal. 590.
87 Ibid.
88 Ibid.
89 Ibid.
73
FAJRI FADHILLAH
Rohm and Haas ditemukan di tahap ke-3. Pada akhirnya, para Pembanding
menyimpulkan bahwa American Cyanamid seharusnya hanya bertanggung
jawab terhadap sebagian kecil $ 995.697,30 yang dikeluarkan pemerintah
untuk mengangkat sekitar 4.500 barel pada tahap ke-2.90 Sedangkan untuk
Rohm and Haas, para Pembanding menyimpulkan bahwa Rohm and Haas
seharusnya hanya bertanggung jawab untuk sebagian kecil $ 58.237 yang
dikeluarkan pemerintah dalam pengangkatan sekitar 3.300 barel pada tahap
ke-3.91
John Leo memberikan kesaksian bahwa dari sekitar 10.000 barel yang
diangkat selama empat tahapan, hanya tiga ratus sampai empat ratus
barel yang memiliki tanda yang dapat ditelusuri asalnya.95 John Leo juga
memberikan kesaksian bahwa bukan hanya tidak adanya tanda yang dapat
dibaca yang menghalangi pemerintah untuk mengidentifikasi sumber
90 Ibid.
91 Ibid.
92 Pernyataan Majelis Hakim di pengadilan tingkat pertama mengenai jumlah limbah B3
yang dapat dikaitkan dengan para pembanding didasarkan pada kesaksian dari John
Leo, insinyur yang dipekerjakan oleh pemerintah untuk meninjau proses pelaksanaan
pemulihan. Lihat dalam Ibid.
93 Ibid.
94 Ibid.
95 Hal ini tidak mengejutkan mengingat di tempat pembuangan limbah B3 tersebut terjadi
kebakaran besar. Kebakaran tersebut menyebabkan barel berisi limbah cair tersebut bocor
sehingga limbah-limbah cair dari barel-barel yang berbeda bercampur dan musnah di luar
barelnya. Lihat: Ibid., hal. 591.
74
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
mayoritas besar barel tersebut, tetapi juga dikarenakan tingkat bahaya dalam
menangani barel-barel tersebut. Berdasarkan fakta bahwa sebagian besar
limbah tidak dapat diidentifikasi sumbernya, dan bahwa para Pembanding
yang memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan ketidakpastian
tersebut, Majelis Hakim pengadilan tingkat banding berpendapat bahwa
Majelis Hakim pengadilan tingkat pertama tidak melakukan kesalahan
Seperti yang sudah dijelaskan di dalam bagian nomor 2 dan 3 dalam tulisan
ini, gugatan tanggung renteng dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan
akibat perbuatan sekelompok orang. Dalam kasus pencemaran udara dari karhutla,
masyarakat yang menderita kerugian karena pencemaran udara yang timbul dari
karhutla dapat menggugat sekelompok orang, dalam hal ini badan hukum, yang
dinilai telah menyebabkan terjadinya pencemaran udara tersebut. Misalnya di
Provinsi Sumatera Selatan, masyarakat Kota Palembang yang menderita kerugian
akibat pencemaran udara dari karhutla dapat menggugat secara tanggung renteng
perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri dan perkebunan sawit yang
konsesinya terbakar dan mengeluarkan asap pencemar udara.
96 Ibid.
75
FAJRI FADHILLAH
Penggugat tidak diharuskan mengetahui dengan pasti jumlah dan pihak atau
perusahaan mana saja yang telah menyebabkan terjadinya pencemaran udara
dari karhutla. Misalnya, Penggugat dapat menggugat secara tanggung renteng
hanya tiga perusahaan penyebab terjadinya pencemaran udara dari karhutla yang
merugikan penggugat. Tiga perusahaan tersebut dapat diminta untuk membayar
100% kerugian yang diderita oleh Penggugat. Perihal kemungkinan adanya pihak-
pihak lain yang sebenarnya berkontribusi juga terhadap kerugian Penggugat, hal
ini menjadi beban Tergugat untuk menarik pihak-pihak tersebut ke dalam proses
persidangan untuk ikut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Penggugat.
Selain itu, karakteristik kerugian akibat pencemaran udara dari karhutla yang
tidak dapat dibagi-bagi (indivisible) menjadi relevan untuk dilakukannya gugatan
tanggung renteng. Kerugian dari pencemaran udara pada kesehatan misalnya
tidak dapat dipisah-pisah atau dibagi-bagi kepada sekian pihak yang dinilai
sebagai penyebabnya. Mayoritas jenis kerugian kesehatan yang diderita akibat
pencemaran udara dari karhutla juga memiliki kesamaan, misalnya penyakit-
penyakit pada saluran pernafasan seperti ISPA. Oleh karena itu, gugatan secara
tanggung renteng oleh masyarakat98 yang menderita akibat pencemaran udara dari
76
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Kedua jenis kerugian ini dapat dibatasi ke dalam suatu rentang waktu,
misalnya dimulai pada saat indeks standar pencemar udara berada pada tingkat
bahaya sampai indeks standar pencemar udara kembali pada keadaan aman.
Selain itu, penghitungan kerugiannya juga bisa dibatasi pada kerugian akibat
pencemaran udara yang terjadi pada tahun 2015 saja. Menurut penulis, kedua jenis
kerugian ini dapat dijadikan sebagai bagian dari posita dan petitum dalam gugatan
tanggung renteng atas pencemaran udara dari karhutla.
4.3 Kausalitas
gugatan tanggung renteng ini bisa dilakukan melalui gugatan perwakilan kelompok (class
action). Hal ini serupa dengan kasus Mandalawangi atau kasus Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya
Bintan Abadi, dkk. dalam bagian nomor 2 tulisan ini.
�� ISPA merupakan salah satu contoh penyakit yang dominan diderita oleh masyarakat yang
terpapar asap dari karhutla. Lihat misalnya dalam: Pusdatin Kementerian Kesehatan RI, op.
cit., hal. 3 – 4.
100 Keputusan agar para siswa melakukan kegiatan belajar untuk sementara di rumah
terjadi juga karena pencemaran udara dari karhutla. Lihat misalnya dalam: “Sekolah
di Sumsel Masih Diliburkan Akibat Asap”, http://www.bbc.com/indonesia/berita_
indonesia/2015/09/150918_indonesia_asap, diakses tanggal 12 April 2016.
77
FAJRI FADHILLAH
101 Elena Kosolapova, “Liability for Climate Change-Related Damage in Domestic Courts:
Claims for Compensation in the USA”, dalam Michael Faure and Marjan Peeters (eds),
Climate Change Liability, (Edward Elgar, Cheltenham UK: 2011), hal. 197.
102 Ibid., hal. 198.
103 Sebenarnya pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (fault-based liability) tidak hanya
dalam bentuk negligence, namun juga ada dalam bentuk intentional tort. Fault atau kesalahan
dalam intentional tort ditunjukan dengan kesengajaan pihak Tergugat untuk menghasilkan
kerugian pada Penggugat sedangkan fault pada negligence ditunjukan dengan pelanggaran
terhadap aturan kehati-hatian yang layak (reasonable care) yang hidup di dalam masyarakat.
Lihat dalam: Andri G. Wibisana, op. cit., hal. 9.
104 Ibid., hal. 31.
105 Pembuktian penyebab faktual dalam negligence biasanya dilakukan melalui pengujian
“but for”. Pengujian tersebut dilakukan dengan mengajukan pertanyaan hipotetis seperti:
apakah kerugian akan tetap terjadi seandainya Tergugat melakukan perbuatan yang
berbeda dengan perbuatan yang ia lakukan? Pengujian seperti ini dianggap counterfactual
karena pada kenyataannya Tergugat tidak melakukan perbuatan yang berbeda seperti yang
ada dalam pertanyaan hipotetis tersebut. Lihat: Ibid., hal. 32.
106 Ibid.
78
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Ciri khas yang kedua adalah perihal kausalitas dari sisi legal atau yang
biasa dikenal dengan istilah proximate cause.107 Dalam strict liability, pembuktian
proximate cause tidak berada pada ranah pembuktian kausalitas lagi akan tetapi
berpindah pada pembuktian dalam konteks abnormally dangerous test. Jadi
pembuktian proximate cause dilakukan untuk menentukan apakah strict liability
dapat diterapkan atau tidak berdasarkan karakteristik abnormally dangerous dari
usaha dan/atau kegiatan Tergugat.108
Proximate cause juga biasanya berkaitan dengan pengujian ada atau tidaknya
intervening cause (penyebab lain yang mengintervensi) atau superseding cause
(penyebab eksternal yang dianggap lebih mempengaruhi terjadinya kerugian
dibandingkan dengan kegiatan Tergugat). Dalam strict liability, intervening cause
atau superseding cause dikanalisasi menjadi persoalan pembelaan (defense) bagi
Tergugat dan bukan lagi menjadi beban pembuktian kausalitas oleh Penggugat.109
Satu hal lagi yang berkaitan dengan proximate cause adalah perihal foreseeability dari
resiko usaha dan/atau kegiatan dari Tergugat.110 Menurut MacAyeal, sebagaimana
dikutip oleh Wibisana, dalam strict liability unsur foreseeability dari resiko usaha
dan/atau kegiatan Tergugat bersifat objektif.111 Dengan kata lain, ukuran untuk
107 Proximate cause merupakan bentuk kausalitas yang melengkapi kausalitas dalam bentuk
cause in fact atau penyebab faktual. Dikatakan melengkapi karena pembuktian adanya
kausalitas dalam bentuk penyebab faktual saja masih belum cukup untuk membuat
seseorang dinyatakan bertanggung jawab atas suatu kerugian tertentu. Setelah membuktikan
adanya penyebab faktual, Penggugat masih harus membuktikan adanya proximate cause
atau disebut juga legal cause. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai proximate cause jika
perbuatan tersebut merupakan sebab yang cukup “dekat” dengan kerugian Penggugat.
Lihat: Ibid., hal. 29. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan dalam membuktikan adanya
proximate cause, yakni dari sisi ada atau tidaknya intervening dan superseding causes serta
dari sisi foreseeability terjadinya kerugian. Dua pendekatan proximate cause ini akan dibahas
dalam paragraf berikutnya.
108 Ibid. Biasanya ruang lingkup pertanggungjawaban dalam strict liability yang merupakan
bagian dari proximate cause sudah ditentukan oleh undang-undang. UU PPLH misalnya
menentukan bahwa ruang lingkup pertanggungjawaban dalam strict liability meliputi
tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup. Lihat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 88.
109 Ibid., hal. 33.
110 Syarat foreseeability dalam proximate cause merupakan sebuah syarat bahwa kerugian yang
terjadi merupakan hal yang sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Lihat: Ibid.
��� Ibid.
79
FAJRI FADHILLAH
Akan tetapi, dengan dasar gugatan strict liability, pembuktikan ada atau
tidaknya pihak lain yang lebih berperan terhadap kerugian akibat pencemaran
udara yang diderita Penggugat kini tidak lagi menjadi beban pembuktian bagi
Penggugat. Dalam strict liability, perihal intervening cause tersebut menjadi bagian
pembelaan Tergugat. Tergugat lah yang harus membuktikan bahwa terdapat
sebab atau pihak lain yang lebih berperan terhadap terjadinya kerugian akibat
pencemaran udara yang diderita oleh Penggugat.
80
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
V. Kesimpulan
114 Elana Kosolapova, op. cit., hal. 199. Elena memberikan beberapa contoh penerapan asas
kehati-hatian seperti dalam kasus Gray v Minister for Planning and Ors (2006) NSWELC
720; Walker v Minister for Planning (2007) NSWLEC 741; dan Gippsland Coastal board v South
Gippsland SC & Ors (2008) VCAT 1545.
81
FAJRI FADHILLAH
82
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
DAFTAR PUSTAKA
Eyes on the Forest. 2015. “Terlibat Kejahatan Kemanusiaan, Para Pelaku Layak
Diseret ke Pengadilan”, http://eyesontheforest.or.id/attach/Laporan%20
Ringkas%20EoF%20(Dec2015)%20Pembakaran%20hutan%20lahan%20
di%2037%20lokasi%20Riau%20FINAL2.pdf, diakses tanggal 21 Maret 2016.
Gegana, Giska Matahari. 2011. “Penerapan Prinsip Tanggung Renteng Dalam Hal
Kreditur Melakukan Wanprestasi Terhadap Perjanjian Kredit Sindikasi”.
Skripsi FHUI. Depok.
kompas.com. “Pemerintah Tak Akan Buka Nama Perusahaan yang Bakar Hutan”,
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/26/13254171/Pemerintah.Tak.
Akan.Buka.Nama.Perusahaan.yang.Bakar.Hutan?utm_source=RD&utm_
medium=inart&utm_campaign=khiprd, diakses tanggal 12 April 2016.
Law Commission of New Zealand. 2012. “Review of Joint and Several Liability”.
Wellington: Issues Paper 32.
83
FAJRI FADHILLAH
Miller, Jeffrey G. dan Craig N. Johnson. 2005. (2nd Edition). The Law of Hazardous
Waste Disposal and Remediation: Cases-Legislation-Regulation-Policies. St. Paul:
Thomson West.
mongabay.co.id. “Kasasi Ditolak, Kalista Alam Harus Bayar Rp 366 Miliar, Menteri
Siti: Penuhi Rasa Keadilan”, http://www.mongabay.co.id/2015/09/13/
kasasi-ditolak-kalista-alam-harus-bayar-rp366-miliar-menteri-siti-penuhi-
rasa-keadilan/, diakses tanggal 24 Maret 2016.
Pengadilan Negeri Tanjung Pinang. Aswardi, dkk. vs PT. Cahaya Bintan Abadi,
dkk. Putusan PN Tanjung Pinang No. 26/PDT.G/2009/PN.TPI.
84
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
85
86
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Abstrak
Kata Kunci : Kabut asap, Citizen Lawsuit, kebakaran hutan dan lahan
Abstract
Problem of smoke fog effect of burnt of farm in Indonesia represent recurring occurance
every year. Fog smoke impact is not even experienced of by society about, but also effect to
1 ��������������������������������������������������������������������������������
Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarma-
sin, Bidang Kekhususan Hukum Acara.
87
MULYANI ZULAEHA
other region in Indonesia even become annual souvenir to some Indonesia neighbouring
state. Suffered loss not even the character of material even snatch soul. With method can
be explained by problem of smoke fog resulting citizen do not get its rightsof healthy and
good air environment earm in making as suing base of citizen lawsuit. Suing conducted
government body to release an policy arranging failure to or negligence in accomplishment
of the citizen rights in period to come do not happened again. Potency overcome smoke fog
through mechanism of citizen law suit that is government will release an more coherent
order so that occurance of smoke fog shall no logger recurred.
I. Pendahuluan
Kabut asap merupakan salah satu bentuk pencemaran udara yang terjadi
sebagai imbas dari adanya kebakaran hutan atau lahan, baik yang dilakukan atas
dasar kesengajaan atau terjadi karena faktor alam. Faktor kesengajaan melakukan
2 Pencemaran udara diartikan sebagai keadaan atmosfir, dimana satu atau lebih bahan-bahan
polusi yang jumlah dan konsentrasinya dapat membahayakan kesehatan makhluk hidup,
merusak properti, mengurangi kenyamanan di udara. Lihat Hadin Muhjad. 2015. Hukum
Lingkungan : Sebuah Pengantar Untuk Konteks Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing. hlm
127.
88
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Luas area kebakaran hutandan lahan tahun 2015 setara dengan 32 kali wilayah
provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali atau seluas 2.089.911 hektare5, Total
kerugian negara akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 diperkirakan lebih
dari Rp. 20 triliun,6 angka ini jauh melebihi kerugian negara dalam kasus korupsi
3 Jumlah korban ISPA akibat asap yang terdata di Rumah Sakit dan Puskesmas adalah 503.874
jiwa di 6 provinsi sejak 1 juli-23 oktober 2015, dengan perincian 80.263 di Riau, 129.229 di
Jambi, 101.333 di Sumatera Selatan, 43.477 di Kalimantan Barat, 52 142 di Kalimantan Ten-
gah dan 97.430 di Kalimantan Selatan. Lihat 10 Tewas, 503 Ribu Jiwa ISPA, dan 43 Juta Jiwa
Terpapar Asap, BNPB.go.id, tanggal 24 Oktober 2015, diakses tanggal 24 Maret 2016.
4 Asap Kebakaran Hutan Sampai Jakarta, www.bbc.com>Indonesia>2015. tanggal 24 Oktober
2015. Diakses tanggal 10 Pebruari 2016.
5 Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), Lihat BNPB : Kebakaran Hutan 2015 Seluas 32 Wilayah DKI, CNN Indonesia.
com, tanggal 31 Oktober 2015, diakses tanggal 24 Maret 2016. Menurut Lembaga Pener-
bangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dengan menggunakan data terra modis didukung
densitas hotspot satelit Terra&Aqua dan Satelit SNPP dengan sensor modis, merilis luas
lahan terbakar 1 Juli-20 Oktober 2015,luas area terbakar terdiri dari Sumatera 832.99 hektare
(267.974 hektar gambut, 565.025 non gambut), Kalimantan 806.817 hektare (319.386 hektare
gambut, 478.431 non gambut), Papua 353.191 hektare (31.214 hektare gambut, 321.977 hek-
tare non gambut), lahan terbakar non gambut di Sulawesi 30.162 hektare, Jawa 18.768 hek-
tare dan Maluku 17.063 hektare. Lihat Tiga Bulan, Hutan dan Lahan Terbakar Setara 4 kali Luas
Bali.Mongabay.com Situs Berita Informasi Lingkungan, tanggal 31 Oktober 2015, di akses
tanggal 24 Maret 2016.
6 BNPB :Kebakaran Hutan…..Ibid.
89
MULYANI ZULAEHA
dan suap.7 Besarnya total kerugian negara akibat kebakaran hutan dan lahan perlu
mendapatkan perhatian serius.
Lingkungan (udara) yang baik dan sehat adalah hak asasi warga negara,
negara bertanggung jawab atas pemenuhan hak asasi warga negara ini. Negara
harus dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia, terutama hak untuk
mendapatkan udara yang baik dan sehat. Bentuk pemenuhan atas perlindungan
hak warga negara untuk mendapatkan lingkungan udara yang baik dan sehat dapat
berupa perlindungan yang bersifat preventif yaitu pencegahan agar tidak terjadi,
maupun berupa perlindungan yang bersifat refresif. Meskipun berbagai peraturan
dan upaya telah dilakukan oleh pemerintah terkait kebakaran hutan dan lahan
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananyang telah
diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, namun belum
cukup efektif mengatasi tidak terulangnya kejadian kabut asap akibat kebakaran
hutandanlahan. Sehingga setiap tahun masyarakat Indonesia selalu menerima
menu tahunan berupa kabut asap.
7 Data Indonesia Corruption Watch (ICW) Komisi Pemberantasan Korupsi rata-rata menyidik
15 kasus korupsi selama periode 2010-2014, kerugian Negara kurun waktu itu Rp 1,1 triliun,
dan selama semester 1 tahun 2015 KPK menyidik kasus korupsi dengan kerugian Negara
Rp. 106,4 miliar. Ibid.
90
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Diantara ketiga gugatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat maka gugatan
warga negara (citizen lawsuit/action popularis) merupakan mekanisme yang relatif
baru dikenal di Indonesia. Gugatan citizen lawsuit bukan gugatan yang berujung
pada tuntutan ganti kerugian, melainkan tuntutan berupa dikeluarkannya kebijakan
bersifat umum oleh pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, maka menarik untuk
dilakukan suatu pembahasan tentang upaya warga negara untuk mendapatkan
hak atas lingkungan udara yang baik dan sehat melalui mekanisme citizen lawsuit
dan bagaimana potensi mekanisme citizen lawsuit dalam menyelesaikan kabut asap
agar tidak terulang. Analisis untuk membahas persoalan ini dilakukan dengan
metode yuridis normatif melalui pendekatan undang-undang8 dan pendekatan
konsep.9
91
MULYANI ZULAEHA
Sebagaimana dipertegas dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu Pasal 28 I ayat
(4) UUD 1945, “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah”. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 8, “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi
tanggung jawab Pemerintah”.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi juga
dimuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
11 Koesnadi Hardjasoemantri. 1983. Hukum Tata Lingkungan. Cetakan ke-1, Yogyakarta : Gad-
jah Mada University Press. hlm 42.
92
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Hak gugat warga negara atas kepentingan umum berangkat dari kesadaran
untuk mengawal perlindungan hak asasi manusia.13Citizen lawsuit adalah
mekanisme gugatan sebagai perwujudan akses individual/orang perorangan
warga negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan
umum menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam
memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan
melawan hukum dalam memenuhi hak warga negara, sehingga citizen lawsuit
diajukan dalam lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara perdata.
12 Jean Jacques Rousseau dalam Isrok dan Rizki Emil Birham. 2010. Citizen Lawsuit : Pen-
egakan Hukum Alternatif Bagi Warga Negara. Malang : UB Press. hlm 2.
13 Ibid, hlm 4.
93
MULYANI ZULAEHA
Secara umum citizen lawsuit adalah akses orang perorangan warga negara
untuk kepentingan publik mengajukan gugatan di pengadilan yang dimaksudkan
untuk melindungi warga negara sebagai akibat dari tindakan pembiaran (omisi)
yang dilakukan negara terhadap hak-hak warga negara,14 agar pemerintah
atau negara melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya untuk
memulihkan kerugian publik yang terjadi.15
14 Susanti Adi Nugroho. 2010. Class Action dan Perbandingannya Dengan Negara Lain. Cetakan
1, Jakarta : Prenadia Media Group. hlm 385.
15 Dhabi K. Gumayra (Kontributor). 2006. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta : Aus-
said YLBHI, PSHK dan IALDF. hlm 382.
16 Indro Sugiantoro. 2004. Kasus Nunukan : Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit) Terhadap
Negara. Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum, Edisi 2. hlm 34.
94
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
yaitu Hakim wajib menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Pasal 28 UUD 1945, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bahwa Hakim menggali hukumnya dalam
masyarakat.
17 Efa Laela Fakhriah. 2008. Actio Popularis (Citizen Lawsuit) Dalam Perspektif Hukum Acara
Perdata. Makalah. hlm 1.
95
MULYANI ZULAEHA
menyatakan bahwa citizen lawsuit sebagai salah satu cara yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan perkara perdata lingkungan, yang tertuang dalam Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013
tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, yang
ditetapkan pada tanggal 22 Pebruari 2013.
Gugatan warga negara adalah suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap
orang terhadap suatu perbuatan melawan hukum, dengan mengatasnamakan
kepentingan umum. Kepentingan umum merupakan hakikat dari citizen lawsuit.
Kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan yang harus didahulukan
dari kepentingan pribadi atau individu atau kepentingan lainnya, yang meliputi
kepentingan bangsa dan negara, pelayanan umum dalam masyarakat luas, rakyat
banyak dan atau pembangunan di berbagai bidang. Menurut Theo Huijber,
kepentingan umum ialah kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang
memiliki ciri-ciri tertentu antara lain menyangkut perlindungan hak-hak individu
sebagai warga negara dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana
publik dan pelayanan publik.18 Kepentingan umum dalam konteks penyelesaian
lingkungan menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan
Perkara Lingkungan Hidup adalah kepentingan lingkungan dan kepentingan
makhluk hidup yang potensial atau sudah terkena dampak pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan.
Syarat formil gugatan citizen lawsuit yang bersifat khusus adalah adanya
pemberitahuan atau notifikasi yang dilakukan oleh penggugat kepada
tergugat. Indonesia belum memiliki peraturan formal secara khusus berkaitan
notifikasi dalam gugatan citizen lawsuit, sehingga beberapa hakim pengadilan
memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda berkaitan dengan prosedur
18 Theo Huijber. 2000. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta : UI Press. hlm 23.
96
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
19 Perbedaan pandangan atau penafsiran terkait prosedur notifikasi meliputi jangka waktu
pengajuan, pengajuan sebelum atau setelah gugatan, bentuk notifikasi (pemberitahuan ter-
tulis atau somasiterbuka).
20
a). G ugatan citizen lawsuit oleh para penggugat yang mengatasnamakan Masyarakat
Pengguna Jalan Tol pada Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR), dalam putusan Nomor
40/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel tanggal 19 mei 2008 dinyatakan bahwa gugatan para
penggugat tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya syarat formil berupa
notifikasi
b). Gugatan citizen lawsuit oleh para penggugat yang mengatasnamakan warga Negara
pemegang hak untuk memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, dalam putusan
Nomor 145/Pdt.G/2009/PN. Jkt. Pst tanggal 3 juni 2009, dinyatakan bahwa gugatan
para penggugat tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya syarat formil yaitu
tidak dapat memenuhi syarat jangka waktu notifikasi.
c). Gugatan citizen lawsuit oleh Tim Advokasi Warga Negara Menggugat (Tawan Gugat)
23 warga negara yang menggugat kemaikan harga Bahan Bakar Minyak Bersubsidi,
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Gugatan Tidak Dapat
Diterima karena tidak memenuhi syarat formil berupa Notifikasi.
d). Gugatan citizen lawsuit yang diajukan Masyarakat Sipil untuk Kesejahteraan Rakyat
(MSKR) Nusa Tenggara Barat terhadap Newmont Nusa Tenggara, dalam putusan
Nomor 241/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst, dinyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat
diterima karena notifikasi diajukan terlalu singkat dalam waktu 7 hari sehingga tidak
memenuhi syarat notifikasi.
21 Keputusan Ketua Mahkamah Agung bukan merupakan peraturan yang berisi ketentuan
yang bersifat hukum acara, tetapi merupakan surat keputusan yang dikeluarkan Ketua
Mahkamah Agung mengenai suatu hal tertentu, sehingga ketentuan mengenai Notifikasi
yang dinyatakan dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan
97
MULYANI ZULAEHA
sebelum adanya gugatan dan sifatnya wajib. Apabila tidak ada notifikasi/somasi
gugatan wajib dinyatakan tidak dapat diterima; Notifikasi/somasi dari calon
penggugat kepada calon tergugat dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat; Jangka waktu 60 hari kerja bertujuan untuk memberikan
kesempatan kepada Pemerintah melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana
diminta atau dituntut oleh calon penggugat.22
98
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
point d’action hal ini didasarkan pada hakim memiliki tugas dan fungsi untuk
memberikan sisi kemanfaatan dan keadilan hukum bagi pencari keadilan dalam
perkara yang diajukan kepadanya, sebagai konsekuensi kewajiban memberikan
sisi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfataan bagi para pihak hakim dapat
menggali hukum yang hidup dalam masyarakat termasuk adopsi dari sistem
hukum lain. Sehingga dalam adopsi mekanisme gugatan citizen lawsuit tidak
memerlukan asas dasar kepentingan hukum yang cukup bagi penggugat (point
d’interset point d’action).25
Isi petitum yang dapat diajukan dalam gugatan citizen lawsuit mempunyai
karakteristik yaitu :26
1. Petitum dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti rugi materiil,
karena warga negara yang menggugat bukan kelompok yang dirugikan
secara materiil dan memiliki kesamaan fakta hukum sebagaimana gugatan
class action
4. Petitum citizen lawsuit juga tidak boleh berupa pembatalan atas suatu Undang-
Undang (UU) karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi
(MK). Selain itu, citizen lawsuit juga tidak boleh meminta pembatalan atas
pandang yang berbeda, pertama, dalam sudut pandang citizen lawsuit maka asas point
d’interset point d’action dalam hukum acara perdata di Indonesia tidak berlaku, sedangkan
pandangan kedua, adalah jika posisi penggugat dilihat dalam sudut hukum acara perdata
maka asas point d’interset point d’action mutlak harus dipenuhi karena sifat dari hukum aca-
ra perdata adalah bersifat memaksa dan tidak bisa disimpangi.
25 Elly Kristiani Purwendah. Pergeseran Asas point d’interset point d’action Dalam Gugatan Citizen
Lawsuit Dan Actio Popularis Sebagai Pemenuhan Asas Manfaat Dalam Peradilan Perdata, Maka-
lah, hlm 10.
26 Mahkamah Agung. 2009. Laporan Penelitian Class Action & Citizen Lawsuit, Bogor : Badan
Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Mahkamah
Agung RI. hlm 65.
99
MULYANI ZULAEHA
b. Kepentingan Umum
Unsur kepentingan umum merupakan dasar utama dalam gugatan citizen
lawsuit. Persoalan kabut asap merupakan pencemaran udara yang telah
banyak membawa akibat baik berupa kesehatan bahkan kematian,28 serta
100
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
d. Petitum
Petitum dalam citizen lawsuit harus berisi tuntutan agar pemerintah
mengeluarkan suatu kebijakan peraturan umum untuk mengatasi persoalan
kabut asap.
rban meninggal dunia akibat kabut asap tahun 2015 sebanyak 19 orang, 5 orang di Kali-
mantan Tengah, 5 orang di Sumatera Selatan, 5 orang di Riau, 1 orang di Jambi dan 3 orang
di Kalimantan Selatan. Lihat Ini Jumlah Korban Meninggal Korban Kabut Asapversi Mensos,
JPNN.com. 28 Oktober 2015, diakses tanggal 24 Maret 2016.
101
MULYANI ZULAEHA
siswa tidak lagi semata-mata didasarkan pada hasil nilai Ujian Nasional, namun
dengan melakukan penggabungan nilai-nilai selama proses belajar mengajar di
satuan pendidikan dengan nilai hasil Ujian Nasional.
29 Febry Liany. 2014. Peranan Gugatan Warga Negara Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,
Jurnal Prodigy Vol 2 No 2 – Desember. hlm 265.
30 Hal yang sama juga dilakukan oleh Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalimantan Tengah yang
telah menyampaikan notifikasicitizen lawsuit. Lihat Rakyat Kalteng Resmi Gugat 7 Lembaga
Negara, www.menara.com, tanggal 10 Maret 2016. Diakses tanggal 24 Maret 2016.
31 Kebakaran Hutan : Gugat Presiden dan 4 Menteri, 4 Organiasai di Riau Ajukan Citizen Law Suit,
bisnis.com. tanggal 10 Maret 2016, diakses tanggal 24 Maret 2016.
102
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
maka gugatan citizen lawsuit ini telah diawali dengan menyampaikan notifikasi
kepada calon tergugat. Namun karena setelah 60 hari sejak notifikasi disampaikan
pihak tergugat tidak memberikan respon atas notifikasi, maka pihak penggugat
menindaklanjuti dengan mengajukan gugatan citizen lawsuit.32 Persidangan
dilakukan menurut ketentuan hukum acara perdata yang diawali dengan mediasi.
Mediasi yang dilakukan berhasil membuat kesepakatan damai antara para pihak.33
Konsep perdamaian yang dihasilkan dalam gugatan citizen lawsuit terhadap
persoalan kabut asap di Riau menunjukan bahwa mengatasi kabut asap sebagai
implikasi dari kebakaran hutan lahan tidak saja menuntut peran pemerintah
semata, namun diperlukan juga peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
penanganan kebakaran hutan dan lahan. Poin yang dapat digaris bawahi dari
hasil gugatan citizen lawsuit terkait kabut asap di Riau adalah telah menghasilkan
adanya komitmen pihak pemerintah untuk menerbitkan suatu kebijakan yang pro
terhadap kepentingan lingkungan untuk menyelesaikan persoalan asap khususnya
di Provinsi Riau dan tentunya juga wilayah lain di Indonesia.
Hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang telah dijamin oleh konstitusi
yang bermakna melakukan perlindungan. Apabila dalam implementasinya
terdapat tindakan pembiaran oleh penyelenggara negara yang merugikan warga
negara untuk memperoleh udara yang sehat, maka melalui mekanisme gugatan
citizen lawsuit terhadap kabut asap dapat menjadi dasar agar pemerintah segera
membuat peraturan untuk mengatasi kabut asap yang lebih komprehensif, tidak
saja dalam bentuk undang-undang, peraturan pelaksana undang-undang maupun
berupa kebijakan.
32 Masyarakat Riau Gugat Negara Terkait Kasus Asap, geotimes.co.id. tanggal 11 Maret 2016,
diakses tanggal 24 Maret 2016.
33 ���������������������������������������������������������������������������������������
Kesepakatan damai yang tertuang dalam Akta Perdamaian yaitu 1). Para tergugat berkomit-
men bersama-sama menanggulangi kebakaran hutan dan lahan melalui tindakan-tindakan
dan penerbitan kebijakan guna menyelesaikan persoalan asap yang terjadi di Provinsi Riau,
2). Para penggugat berkomitmen untuk berperan serta aktif dalam pencegahan dan penan-
ganan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, 3). Tergugat I dan Tergugat II segera
menyelesaikan Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 4). Tergugat bersedia untuk menga-
lokasikan dana penanggulangan bencana dalam APBN dan APBD dengan memperhati-
kan kemampuan keuangan Negara, dan 5). Tergugat setuju untuk memperkuat fasilitas
pelayanan korban kebakaran hutan dan lahan serta mengembangkan sistem informasi ke-
bakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Riau. Lihat CLS : Gugatan Kabut
Asap Di Riau Pengadilan Negeri Pekanbaru,Metropekanbaru.com. tanggal 24 Mei 2016, diak-
ses tanggal 30 Mei 2016.
103
MULYANI ZULAEHA
104
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
DAFTAR PUSTAKA
Fakhriah, Efa Laela. 2008.Actio Popularis (Citizen Lawsuit) Dalam Perspektif Hukum
Acara Perdata. Makalah.
Fatah, Abdul. 2013.Gugatan Warga Negara Sebagai Mekanisme Pemenuhan Hak Asasi
Manusia Dan Hak Konstitusional Warga Negara. Jurnal Yuridika Volume 28 No
3, September-Desember.
Huijber, Theo, 2000. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta : UI Press.
Isrok dan Rizki Emil Birham. 2010.Citizen Lawsuit : Penegakan Hukum Alternatif bagi
Warga Negara. Malang : UB Press.
Liany, Febry. 2014. Peranan Gugatan Warga Negara Dalam Pembentukan Hukum Di
Indonesia. Jurnal Prodigy Vol 2 No 2 – Desember.
Mahkamah Agung. 2009. Laporan Penelitian Class Action & Citizen Lawsuit. Bogor :
/Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum
dan Mahkamah Agung RI.
Nugroho, Susanti Adi. 2010. Class Action dan Perbandingannya Dengan Negara Lain.
Cetakan 1, Jakarta : Prenadia Media Group.
Purwendah, Elly Kristiani. Pergeseran Asas point d’interset point d’action Dalam
Gugatan Citizen Lawsuit Dan Actio Popularis Sebagai Pemenuhan Asas Manfaat
Dalam Peradilan Perdata. Makalah.
105
MULYANI ZULAEHA
Sugiantoro, Indro. 2004. Kasus Nunukan : Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit)
Terhadap Negara. Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum, Edisi 2.
Artikel Internet :
BNPB : Kebakaran Hutan 2015 Seluas 32 Wilayah DKI, CNN Indonesia.com, tanggal
31 Oktober 2015, diakses tanggal 24 Maret 2016.
Ini Jumlah Korban Meninggal Korban Kabut Asap versi Mensos, JPNN.com. 28 Oktober
2015, diakses tanggal 24 Maret 2016.
Kebakaran Hutan : Gugat Presiden dan 4 Menteri, 4 Organiasai di Riau Ajukan Citizen
Law Suit, bisnis.com. tanggal 10 Maret 2016, diakses tanggal 24 Maret 2016.
Masyarakat Riau Gugat Negara Terkait Kasus Asap, geotimes.co.id. tanggal 11 Maret
2016, diakses tanggal 24 Maret 2016
Tiga Bulan, Hutan dan Lahan Terbakar Setara 4 kali Luas Bali.Mongabay.com Situs
Berita Informasi Lingkungan, tanggal 31 Oktober 2015, di akses tanggal 24
Maret 2016.
10 Tewas, 503 Ribu Jiwa ISPA, dan 43 Juta Jiwa Terpapar Asap, BNPB.go.id, tanggal 24
Oktober 2015, diakses tanggal 24 Maret 2016.
106
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Nadia Astriani1
Yulinda Adharani2
Abstraksi
107
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
Abstract
The problems of pollution and / or damage to the environment in the district Rancaekek,
Bandung regency, has lasted more than 20 years. As a result of the pollution is the
contamination of the river Cikijing thus impacting the decline in agricultural production
and / or fisheries. This contamination should not occur if the companies treat waste
properly. Therefore, Koalisi Melawan Limbah consisting of the Wahana Lingkungan Hidup
of West Java (WALHI Jabar), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, and Paguyuban
Warga Peduli Lingkungan (PAWAPELING) sued the publishing permit Waste Disposal
Liquid to River Cikijing issued by Sumedang Regent. This research will be presented in the
Environmental Control consent function by analyzing theories licensing laws and theories
of environmental law as well as the application of these theories in practice. This case shows
that the consent function as a control activity in Indonesia in reality is still far from the
expected. In this case Cikijing River is polluted because of granting discharge of effluent
by Regent Sumedang against PT. Kahatex, PT.Five Star Textil and PT. Insan Clothing
Internusa. Supposedly in issuing permit, the government must also consider the principles
contained in Law No. 32 of 2009 on the Protection and Environmental Management.
Other than that, the government should conduct surveillance to companies that have been
granted permission, because it is the government’s obligation to protect and manage the
environment.
108
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
I. Pendahuluan
3 Lihat pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
Lihat huruf K (tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup)
Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.
4 Lihat Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140.
5 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, (Surabaya:
Airlangga University Press, 1996), hlm. 4
6 Lihat Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 mengenai Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5079.
109
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
7 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
8 Bandingkan dengan pendapat Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., hlm. 121.
9 Lihat Penjelasan Pasal 48 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan.
10 Bandingkan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
110
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
11 Dalam kompilasi hasil riset AMDAL, parameter kimia yang telah melampaui baku mutu
berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air kelas II yaitu : Amonium bebas dan Nitrit (NO2-N), sedangkan parameter
lainnya yang konsentrasinya cukup tinggi adalah Seng (Zn), Kamium (Cd), Krom
hexavalen, tembaga (Cu), Timabl (Pb), fenol.Tingginya parameter tersebut memungkinkan
bersumber dari aktifitas industri pada bagian hulunya. Konsentrasi BOD berkisar antara
48,522 – 110,725 mg/l sedangkan baku mutu menetapkan 6 mg/l, cukup tingginya BOD
dimungkinkan pengaruh buangan limbah cair dari aktivitas domestik/pemukiman serta
niaga. Adapun COD nilainya berkisar antara 82,191 – 1205,377 mg/l dan baku mutu
menetapkan konsentrasi maksimum adalah 50 mg/l, sehingga tidak memenuhi baku mutu.
111
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
12 Lihat Bagian D. dalam Pokok Sengketa Gugatan dalam berkas perkara Nomor 178/G/2015/PTUN
Bandung
112
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
pada instansi atau lembaga-lembaga penelitian dan lembaga negara yang terkait
dengan materi penelitian. Selain studi pustaka, pengumpulan informasi dilakukan
dengan menggunakan metode wawancara dengan nara sumber yang ditentukan
secara purposif (judgemental). Wawancara dilakukan secara terarah dengan
menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun sebagai arahannya.
13 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, (Yuridika, Surabaya, 1993), hlm. 2-3.
14 Sjachran Basah, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi. Makalah pada
Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan di Fakultas Hukum Unair Surabaya, hlm. 3.
15 Y. Sri. Pudyatmoko, Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, (Grasindo, Jakarta, 2009), hlm. 22.
113
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
16 Adrian Sutedi, dalam Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, (Jakarta Sinar Grafika
2012), hlm. 81-87.
114
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Izin sebagai suatu bentuk keputusan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang,
atau sebagai ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.17
17 Lihat Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
18 Bandingkan Penjelasan Pasal 48 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan
19 Muhammad Subhi, Perizinan Pembuangan Limbah Cair Kegiatan Industri Dalam
Hubungannya Dengan Pengendalian Pencemaran Air (Studi Di Kabupaten Ketapang),
Jurnal Universitas Tanjungpura, Vol. 2 No. 2 Tahun 2012, hlm. 10.
115
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
20 Pasal 12 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Laksana
Pengendalian Pencemaran Air
21 M Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
(Alumni, Bandung, 2001), hlm. 18
116
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
22 Nadia Astriani, Instrumen Ekonomi dalam Perspektif Penaatan Hukum Lingkungan, dalam
Prosiding Perkembangan Hukum Lingkungan Kini dan Masa Depan, (LoGoz Publishing:
Bandung 2013), hlm. 511.
23 Lihat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
24 Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan
bagi peruntukan tertentu(Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air)
25 Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk
menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar
(Pasal 1 angka13 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air)
26 Lihat Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
117
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.”27
Baku mutu air bukan hanya merupakan salah satu instrumen penaatan
lingkungan, tetapi baku mutu air juga dapat menjadi instrumen pengelolaan
lingkungan. Hal ini dikarenakan dengan ditetapkannya baku mutu air pada
sumber air dan memperhatikan kondisi airnya, akan dapat dihitung berapa beban
zat pencemar yang dapat ditenggang adanya oleh air penerima sehingga air dapat
tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemaran ini merupakan
daya tampung beban pencemaran bagi air penerima yang telah ditetapkan
peruntukannya.29
118
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
III. Pembahasan
Dalam UU 32/2009, asas yang dianut adalah asas otonomi daerah. Asas ini
memberikan dasar bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.34
Kasus yang diangkat oleh penulis dalam tulisan ini adalah kasus pembuangan
limbah cair ke Sungai Cikijing. Sungai Cikijing merupakan sungai yang melintasi 2
kabupaten yaitu, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung, Sungai Cikijing
pada awalnya merupakan sungai alami yang berfungsi sebagai irigasi sawah di dua
119
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
35 Lihat Bagian D. dalam Pokok Sengketa Gugatan dalam berkas perkara Nomor 178/G/2015/PTUN
Bandung
36 Lihat Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No 3 Tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten
Bandung 2007 – 2027,
37 BPLHD Jabar, Pengantar Diskusi (FGD) Bedah Kasus Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung: “Meretas Jalan Panjang Menggapai Kebenaran dan
Keadilan”, http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/layanan/k2-categories-2/item/41-
pengantar-diskusi-fgd-bedah-kasus-pencemaran-dan-atau-kerusakan-lingkungan, diakses
pada tanggal 28 Maret 2016 Pk. 14.00 WIB
120
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
K AWASAN
PT . DWIPAPURI
K AHAT EX
PT . INSAN
SANDANG
PT .
FIV EST AR
121
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
Izin Pembuangan Limbah Cair ke Sungai Cikijing. Hal ini dapat dilihat dari hasil
uji baku mutu air permukaan sungai Cikijing di bawah ini.
Hasil Uji Baku Mutu Air Permukaan Sungai Cikijing Tahun 2013
1 Temperatur C
0
30,2 27,4 34,2 deviasi 3 SNI 06 6989.23-2005
TDS (Residu
2 mg/L 1187 2093 2707 1000 SNI 06-6989.27-2005
Terlarut)
TSS (Residu
3 mg/L 229 280 56 50 SNI 06-6989.3-2004
Tersuspensi)
Parameter
Kimia
1 Ph - 7,50 7,63 7,72 6-9 SNI 06 6989.11-2004
2 BOD5 mg/L 26 171 109 3 SNI 06-2503-1991
3 COD mg/L 78 268 270 25 HACH Method 8000
4 DO*) mg/L 3,5 5,7 1,9 >4 Metoda TOA DKK
Phosphat
5 mg/L 0,08 0,63 0,49 0,2 APPA AWWA 4500
(PO43--P)
Nitrat
6 mg/L < 0,2 8,4 35 10 HACH Method 8171
(NO3-N)
7 Kadmium (Cd) mg/L < 0,01 < 0,01 < 0,01 0,01 SNI 06-6989.16-2004
Krom
8 Heksavalen mg/L < 0,016 < 0,016 0,03 0,05 APPA AWWA
(Cr+6)
Tembaga
9 mg/L < 0,07 < 0,07 < 0,07 0,02 SNI 06-6989.6-2004
(Cu)
10 Timbal (Pb) mg/L < 0,35 <0,35 <0,35 0,03 SNI 06-6989.8-2004
11 Seng (Zn) mg/L 0,1155 0,1059 0,0864 0,05 SNI 06-6989.7-2004
12 Sianida (CN-) mg/L 0,011 0,012 < 0,008 0,02 HACH Method 8027
13 Fluorida (F-) mg/L 0,3 0,58 0,76 1,5 HACH Method 8029
14 Nitrit (NO2-N) mg/L 0,02 0,2 0,150 0,06 HACH Method 8507
Klorin Bebas
15 mg/L 0,11 0,17 < 0,02 0,03 HACH Method 8021
(Cl2)
Parameter Mikrobiologi
122
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Kimia Organik
1 Detergen mg/L 0,082 0,039 0,058 0,2 HACH Method 8028
2 Fenol mg/L 0,0270 0,0961 0,0530 0,001 JIS K 0102 : 1998, 28
Parameter Fisika
1 Temperatur 0
C 31,2 29,8
TDS (Residu
2 mg/L 540 2910
Terlarut)
TSS (Residu
3 mg/L 58 48
Tersuspensi)
Parameter
Kimia
1 pH - 7,17 8,23
2 BOD5 mg/L 6 152
Phosphat
5 mg/L 0,14 1,36
(PO43--P)
6 Nitrat (NO3-N) mg/L 2,1 3,5
7 Kadmium (Cd) mg/L < 0,01 < 0,004
Krom
8 Heksavalen mg/L 0,03 0,03
(Cr+6)
9 Tembaga (Cu) mg/L < 0,07 0,0710
10 Timbal (Pb) mg/L <0,35 < 0,09
11 Seng (Zn) mg/L 0,0833 < 0,06
12 Sianida (CN ) -
mg/L 0,16 0,05
13 Fluorida (F-) mg/L 0,37 0,28
14 Nitrit (NO2-N) mg/L 0,173 3,4
Klorin Bebas
15 mg/L 0,10 0,33
(Cl2)
Parameter Mikrobiologi
1 Fecal Coliform Jml/0,1L 50000 1240000
2 Total Coliform Jml/0,1L 290000 2600000
Kimia Organik
123
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
Hasil Uji Baku Mutu Air Permukaan Sungai Cikijing Tahun 2014
Keterangan :
• Baku Mutu yang digunakan adalah Baku Mutu Air Kelas II PP 82
tahun 2001
• tt : Tidak Tertentu
• tanda Parameter melebihi Baku Mutu
Gambar 2. Hasil Uji Baku Mutu Air Permukaan Sungai Cikijing Tahun 2013 dan 2014
(Sumber: BPLHD Jawa Barat, 2016)
Berdasarkan hasil uji baku mutu air permukaan Sungai Cikijing tahun 2013
dan 2014 di atas, kriteria pencemar seperti (TSS) (TDS) (BOD) dan (COD) melebihi
baku mutu, selain itu fisik dari airnya pun keruh, berwarna cokelat hingga hitam
dan berbau. Menurut Hasil/Laporan Valuasi Ekonomi Dampak Pencemaran
di Kawasan Industri Rancaekek dari Tim Peneliti UNPAD tahun 2015, dengan
menggunakan pendekatan Total Economic Valuation (tanpa mengikutsertakan
biaya abai baku mutu) maka nilai ekonomi total dari pencemaran di wilayah 4
Desa tersebut adalah sebesar Rp. 11.385.116.564.664,- (Sebelas triliun tiga ratus
delapan puluh lima milyar seratus enam belas juta lima ratus enam puluh empat
ribu enam ratus enam puluh empat rupiah).39
124
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Apabila dikaitkan dengan kasus ini, asas tanggung jawab negara menjelaskan
tentang kewajiban-kewajiban pemerintah daerah (dalam kasus ini Bupati
Sumedang) termasuk di dalamnya pengawasan dan penegakkan hukum yang
dilakukan demi pelestarian fungsi lingkungan. Dalam kasus ini, pemerintah
telah lalai dalam melakukan pengawasan terhadap pembuangan limbah cair
yang dilakukan oleh 3 perusahaan tersebut (dalam izin sebelumnya) sehingga
IPLC dianggap layak untuk dikeluarkan.43
42 Lihat Pasal 2 Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
43 Bandingkan Bagian D. dalam Pokok Sengketa Gugatan dalam berkas perkara Nomor 178/G/2015/
PTUN Bandung
125
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
5. Asas tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan;
Dalam hal ini, kebijakan tidak boleh meniadakan aspek kehidupan sosial,
ekonomi masyarakat dan lingkungan. Kebijakan harus lahir dari sebuah
usulan dan kepentingan sosial ekonomi dan lingkungan. Bupati Sumedang
tidak memperhatikan asas ini dalam mengeluarkan IPLC, hal ini terlihat dari
cacatnya IPLC karena tidak disertai salah satu kajian dalam syarat teknis.
126
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Dalam putusan kasus, Majelis Hakim PTUN Bandung bukan hanya memutus
pokok perkara membatalkan sekaligus memerintahkan Bupati Sumedang untuk
mencabut Surat Keputusan Bupati Sumedang Nomor 660.31/Kep.509-IPLC/2014
tentang Izin Pembuangan Limbah Cair Ke Sungai Cikijing di Desa Sempur
Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang Kepada PT. Kahatex tertanggal 7
Juli 2014, Surat Keputusan Bupati Sumedang Nomor 660.31/Kep.784-IPLC/2014
tentang Izin tentang Izin Pembuangan Limbah Cair Ke Sungai Cikijing di Desa
Cintamulya Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang Kepada PT. Five Star
Texile Indonesia tertanggal 30 Januari 2014, Surat Keputusan Bupati Sumedang
44 Hal ini diperkuat oleh pertimbangan hakim dalam Putusan Berkas Perkara Nomor
178/G/2015/PTUN Bandung yang menyatakan bahwa IPLC tidak memenuhi syarat
penerbitan karena tidak disertainya salah satu kajian dalam syarat teknis, serta Bupati
Sumedang tidak memperhatikan Asas Kehati-Hatian karena telah memberikan IPLC yang
limbahnya dibuang ke sungai yang bukan hanya akan tercemar akan tetapi sudah tercemar.
127
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
45 Muhnur Satyahaprabu, Press ReleasePTUN Bandung Cabut 3 Izin Pembuangan Limbah Cair,
Bandung 24 Mei 2016.
46 Lihat Syarat Teknis Izin dalam Pasal 23 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air
128
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
129
NADIA ASTRIANI dan YULINDA ADHARANI
DAFTAR PUSTAKA
BPLHD Jabar, Pengantar Diskusi (FGD) Bedah Kasus Pencemaran dan/atau Kerusakan
Lingkungan di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung: “Meretas Jalan Panjang
Menggapai Kebenaran dan Keadilan”, http://www.bplhdjabar.go.id/index.
php/layanan/k2-categories-2/item/41-pengantar-diskusi-fgd-bedah-kasus-
pencemaran-dan-atau-kerusakan-lingkungan, diakses pada tanggal 28 Maret
2016.
Indonesia. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata
Laksana Pengendalian Pencemaran Air
130
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
131
132
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Abstrak
133
DESRIKO MALAYU PUTRA
Abstract
Indonesia is a country that is included in the top 10 of the world’s largest apparel
exporter and in 2011 Indonesia was the 11th biggest exporter in the world. Indonesia is
the country with the biggest economy in Southeast Asia, and the textile sector accounted
for 8.9 percent of Indonesia’s total exports in 2010. This article will look at how the textile
industry contributes to the destruction of the Citarum River. This paper will usenormative
juridical approach is reinforced by theindustry case located near Citarum River. The
Citarum River has bad reputation as the dirtiest river in the world. Visible problem of
garbage and domestic waste can be dismal. But hazardous waste and toxic use in the textile
industry is also a major source of pollution, especially in the upper Citarum where 68
percent of the industry establishment are textile factories.
I. Pendahuluan
134
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
135
DESRIKO MALAYU PUTRA
8 Terangna. 1991. Water Polution. The Course of The Environmental Impact Assessment.
Instituteof Ecology. Padjajaran University
9 Greenpeace Asia Tenggara, Walhi Jawa Barat (2012), Bahan Beracun Lepas Kendali, Sebuah
Potret Pencemaran Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun di Badan Sungai Serta Beberapa
Titik Pembuangan Industri Tak Bertuan, Studi Kasus Sungai Citarum.http://www.
greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/469211/Full%20report%20_Bahan%20Beracun%20
Lepas%20Kendali.pdf
10 Global Business Guide Indonesia (2013). Manufacturing Indonesia’s Garment and Apparel
Sectorhttp://www.gbgindonesia.com/en/manufacturing/article/2012/indonesia_s_
garment_and_apparel_sector.php
11 Wahyudi ST & Mohd Dan Jantan MD (2010). Regional Patterns of Manufacturing Industries:
a Study of Manufacturing Industries in Java Region, Indonesia, Philippine Journal of
Development Number 68, First Semester 2010, Volume XXXVII, No. 1, p.96 http://www3.
pids.gov.ph/ris/pjd/pidspjd10-1indonesia.pdf
136
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
12 Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (2011). Citarum River Basin Status Map. http://
www.citarum.org/upload/knowledge/document/Citarum_Basin_Status_Map_2011.pdf,
diakses pada tanggal 25/2/2013
13 Greenpeace Asia Tenggara, Walhi Jawa Barat (2012)op cit.
14 Pencemaran Sungai Citarum Akibat Industri Manufaktur, Uploaded by Muhammad
Habibi.https://www.academia.edu/7606825/PENCEMARAN_SUNGAI_CITARUM_
AKIBAT_INDUSTRI_MANUFAKTUR
137
DESRIKO MALAYU PUTRA
dan memang membutuhkan waktu yang panjang dan sedikit sulit. Penggunaan
pewarna dari tanaman ini merupakan bagian dari budaya masyarakat di sekitar
Citarum. Namun, seiring dengan berjalannya waktu upaya penyelamatan atau
pengembangbiakan tanaman tidak dilakukan, dan kini tanaman Tarum tidak lagi
dapat ditemukan atau tumbuh di sepanjang aliran Sungai Citarum. Kondisi ini yang
kemudian menjadi salah satu pemicu bagi pembuat batik beralih menggunakan
pewarna sintetis.15
138
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Keindahan motif, warna dan model dari pakaian adalah pemikat bagi konsumen
untuk membeli dan memiliki dari berbagai model yang ditawarkan tersebut. Jika
tidak selektif dalam memilih dan mencari tahu mengenai proses produksinya
dapat dipastikan bahwa konsumen juga berkontribusi terhadap pencemaran
yang dilakukan oleh produsen dengan asumsi bahwa belum seluruhnya industri-
industri tekstil “ramah” terhadap lingkungan atau berkomitmen terhadap nol
buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dalam produksinya.
Sungai Citarum memiliki peran penting di kawasan ini sebagai sumber air
bagi pertanian, rumah tangga, industri, dan sebagai asimilasi pencemaran. Sungai
Citarum juga menyediakan energi bagi tiga bendungan listrik tenaga air, dan
18 Fullazaky MA (2010). Water quality evaluation system to assess the status and the suitability.
Environ Monit Assess (2010) 168:669-684. Also see Chapter 3.
139
DESRIKO MALAYU PUTRA
Sebuah penelitian terhadap kualitas air sungai pada tahun 2010 menyimpulkan
bahwa Sungai Citarum secara umum berada dalam kualitas yang sangat
buruk menurut parameter polusi,21 kecuali di bagian sungai yang telah melalui
Bendungan Jatiluhur (karena telah mendapat efek pemurnian alami dari tiga
danau-danau buatan). Penelitian ini juga memperingatkan akan meningkatnya
degradasi kualitas air dari tahun ke tahun, akibat meningkatnya pasokan polusi
dari limbah industri serta limbah domestik yang tidak dikelola, terutama yang
terjadi di kawasan Bandung.
140
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
limbah domestik yang tidak dikelola dan secara kasatmata memang keberadaan
sampah terlihat parah.Pembedanya bahwa limbah industri lebih terkonsentrasi
dan mengandung banyak materi-materi berbahaya. Bukti pencemaran bahan
kimia berbahaya mungkin tidak terlalu kasat mata, tetapi dapat menimbulkan
ancaman serius jangka panjang baik bagi lingkungan maupun kesehatan manusia.
Indonesia.http://www.greenpeace.org/international/en/publications/Campaign-
reports/Toxics-reports/Polluting-Paradise
24 Parikesit et al (2005) op cit.
25 BPLHD Provinsi Jawa Barat. Status Lingkungan Hidup Daerah 2010, op.cit
26 Roosmini D, Hadisantosa F, Salami IRS, Rachmawati S, (2009), Heavymetals level in
Hypocarcus Pargalis as biomarker in upstream Citarum River,West Java, Indonesia, p31-36,
in South East Asian Water Environment,2009 IWA Publishing. http://books.google.co.uk/
books/about/Southeast_Asian_Water_Environment_3.html?id=6pahUcse7TcC
141
DESRIKO MALAYU PUTRA
142
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
PT. Gistex adalah salah satu perusahaan manufaktur tekstil polyester yang
terletak di dekat Desa Lagadar Margaasih atau di sebelah barat Kota Bandung.
Lokasi berada tepat di pinggir Sungai Citarum. Perusahaan ini didirikan pada
tahun 1975 hingga sampai tahun 2007, perusahaan ini telah memiliki delapan
pabrik dengan jumlah karyawan sekitar 3.000 orang dan memproduksi 12 juta
potong pakaian per tahun dan 6 juta yard (5,5 juta meter) bahan pakaian per bulan32.
PT. Gistex merupakan salah satu perusahaan manufaktur (pembuatan) terbesar di
Bandung, dengan fokus pada tekstil dan busana. Produk-produknya juga diekspor
ke berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, PT. Gistex memiliki enam lokasi fasilitas
dengan kantor pusat Divisi Tekstil dan Garmen berlokasi di Bandung.
31 Widowati, Dr. Ir., Msi, Astiana Sastiono, Dr. Ir. MSc & Raymond Jusuf R, Dr. Msi. 2008. Efek
Toksik Logam: pencegahan dan penanggulangan pencemaran. Penerbit Andi Yograkarta. h.
409
32 Gistex, Indonesia Integrated Textile Industry, 32 Years Anniversary,1975 - 2007
143
DESRIKO MALAYU PUTRA
itu keluar. Beragam bahan kimia teridentifikasi dalam sampel limbah cair yang
dilakukan oleh Greenpeace di salah satu perusahaan yang limbahnya berujung
pada Sungai Citarum. Empat sampel air limbah dikumpulkan pada dua hari yang
berbeda dari outfall fasilitas PT.Gistex. Semua sampel dianalisa di laboratorium
riset Greenpeace(Universitas Exeter, Inggris) dan hasilnya menyimpulkan banyak
bahan kimia yang dikenal memiliki sifat berbahaya, termasuk bersifat toksik
terhadap akuatik, persisten (sulit terurai) dan dapat terakumulasi pada tubuh
makhluk hidup.33
144
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
menjadi NP. NP dikenal dengan sifatnya yang persisten, bioakumulatif dan toksik,
termasuk risikonya menganggu kerja hormon. NPEs adalah kelompok bahan
kimia buatan manusia. Bahan ini digunakan sebagai deterjen dan surfaktan dan
termasuk dalam berbagai formulasi bahan yang digunakan produsen tekstil.
Penggunaan NP dan NPEs dalam industri tekstil dan pembuangan limbahnya
belum diatur dalam regulasi di Indonesia, namun di Negara lain jenis bahan ini
sudah lama diatur dan dibatasi penggunaannya.35
Saat ini regulasi yang tersedia dalam mengatasi pencemaran air di Indonesia
masih mengandalkan model pendekatan atur dan awasi (command and control).
Dalam hal ini Pemerintah bertugas menetapkan baku mutu dan persyaratan yang
harus dipatuhi oleh pelaku usaha. Di antaranya menetapkan kelas air seperti kelas
I, II, III dan IV yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan
tertentu termasuk penetapan baku mutu air guna mengatur level maksimum
polutan dengan parameter tertentu. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa; a) Kelas satu, air yang peruntukannya
dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; b) Kelas dua,
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut; c) Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut; d) Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut36.
35 Ibid.
36 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air
145
DESRIKO MALAYU PUTRA
37 Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu
Limbah
146
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Bagian berikutnya peranan kontrol juga bisa maksimal dilakukan jika terdapat
ketersediaan informasi yang cukup dari sebuah kegiatan industri. Indonesia
sendiri telah memberikan jaminan hukum bagi setiap orang atau individu guna
memperoleh akses informasi terutama dalam pemenuhan hak masyarakat
atas lingkungan. Artinya, sudah barang tentu bahwa semua perusahaan wajib
memberikan informasi yang benar mengenai pelaksanaan-pelaksanaan kewajiban-
kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian polutan guna menegakkan
ketaatan hukum. Namun memang informasi mengenai pelaksanaan kewajiban
pelaku usaha atau industri jarang ditemukan, kalaupun ada kebanyakan informasi
yang berkaitan tidak dipublikasi. Keterlibatan publik sebagai bagian dari
pengawasan publik sulit melakukan peranannya dalam memberikan masukan,
pendapat dan saran ataupun menyampaikan keberatan atas kegiatan industri
yang tidak melakukan kewajiban dalam mewujudkan kelestarian lingkungan atau
diduga melanggar aturan yang berlaku.
Tidak heran bahwa tingkat kesadaran, partisipasi dan ketaatan pada hukum
oleh industri masih kecil. Beberapa waktu belakangan, Badan Lingkungan
Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi Jawa Tengah memberikan sanksi terhadap 29
perusahaan garmen dan tekstil karena melanggar peraturan terkait kelestarian
lingkungan dan pembuangan limbah industri yang berujung pada pencemaran
lingkungan.38 Sementara di Jawa Barat, 14 perusahaan dari berbagai sektor industri,
termasuk pembuatan garmen menerima sanksi administratif dan kriminal karena
38 http://www.suntexasia.com/details/newsid/2950/ttl/29_industry_garment_and_
textile_in_central_java_pollute_the_environment.html
147
DESRIKO MALAYU PUTRA
39 http://kabar24.bisnis.com/read/20121218/78/110498/pencemaran-lingkungan-14-
perusahaan-pencemar-citarum-jabar-kena-sanksi
40 Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
148
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
VII. Penutup
149
DESRIKO MALAYU PUTRA
150
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (2011). Citarum River Basin Status Map.
http://www.citarum.org/upload/knowledge/document/Citarum_Basin_
Status_Map_2011.pdf, diakses pada tanggal 25/2/2013
Environment_3.html?id=6pahUcse7TcC
Fullazaky MA (2010). Water quality evaluation system to assess the status and the
suitability. Environ Monit Assess (2010) 168:669-684. Also see Chapter 3.
Greenpeace Asia Tenggara, Walhi Jawa Barat (2012), Bahan Beracun Lepas Kendali,
Sebuah Potret Pencemaran Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun di Badan
Sungai Serta Beberapa Titik Pembuangan Industri Tak Bertuan, Studi Kasus
Sungai Citarum. http://www.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/469211/
Full%20report%20_Bahan%20Beracun%20Lepas%20Kendali.pdf
http://www.greenpeace.org/international/en/publications/Campaign-reports/
Toxics-reports/Polluting-Paradise
Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku
Mutu Limbah
151
DESRIKO MALAYU PUTRA
Wahyudi ST & Mohd Dan Jantan MD. (2010). Regional Patterns of Manufacturing
Industries: a Study of Manufacturing Industries in Java Region, Indonesia,
Philippine Journal of Development Number 68, First Semester 2010, Volume
XXXVII, No. 1, p.96
152
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
I. Pendahuluan
Putusan ini jelas memberikan angin segar bagi para nelayan dan masyarakat
lainnya yang telah berjuang dalam mempertahankan tempat tinggal dan lingkungan
hidup mereka terhadap pembangunan di kawasan pesisir bernama reklamasi. Di
lain sisi, ada beberapa pihak, putusan ini dinilai politis dan dapat menghambat
1 Rayhan Dudayev adalah peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam
Divisi Maritim. Penulis lulus S1 dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia program
kekhususan Hukum dan Masyarakat pada tahun 2014.
153
RAYHAN DUDAYEV
154
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
proses penerbitan objek sengketa dimulai dari penerbitan izin prinsip hingga
masuknya gugatan terhadap objek sengketa. Rangkaian dan momen penting
dalam proses itu yaitu:
7. Kepala BLHD DKI Jakarta menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 107 Tahun
2014 tanggal 7 Pebruari 2014 Tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana
Kegiatan Reklamasi Pulau G dan Surat Keputusan Nomor: 108 Tahun 2014
tanggal 7 Pebruari 2014 Tentang Izin Lingkungan Kegiatan Rencana Reklamasi
Pulau G dengan waktu yang bersamaan.
155
RAYHAN DUDAYEV
Izin Pelaksaaan Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra (Vide
Bukti P-1, Bukti T- 1, dan T.II Intervensi-1)
10. Pada tanggal 23 Maret 2015 Jakarta Monitoring Network (JMN) mengajukan
gugatan di PTUN dengan objek sengketa yang sama yaitu SK No. 2238 Tahun
2014 dan pengadilan mengeluarkan penetapan Nomor 61/G/2015/PTUN-JKT.
11. Pada 22 April 2015, terdapat pernyataan dari salah satu anggota Walhi yang
bernama Putra yang mengatakan akan melakukan gugatan terhadap SK izin
pelasakanaan reklamasi Pulau G.
12. Perkara atas nama penggugat JMN dibacakan di muka umum dan diliput
media nasional pada tanggal 12 Mei 2015.
14. Pada Bulan Mei 2016, JMN mencabut gugatan No. 61/G/2015/PTUN-JKT.
16. Pada tanggal 15 September 2015 para penggugat yang terdiri dari nelayan
Muara Angke, Kuat, Gobang, Saefudin, Tri Sutrisno, dan Mohammad Tahir
yang kemudian disebut penggugat I sampai V bersama organisasi lingkungan
hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang disebut penggugat VI dan VII
memasukan gugatan ke pengadilan negeri tata usaha negara (TUN).
156
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Dalam hal ini, hakim berpendapat, para nelayan yang sudah mulai
terhambat akses keluar masuk ke laut merupakan unsur potensial kerugian.
Dalam pertimbangan ini, hakim merujuk pada dasar hukum Pasal 87 UU
No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan
Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, dikualifisir sebagai
perluasan unsur konkrit, individual, final dari Keputusan Tata Usaha Negara.
Untuk itu, hakim tidak menerima eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi
157
RAYHAN DUDAYEV
158
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil ;
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi
persyaratan:
a. Berbentuk Badan Hukum ;
b. menegaskan didalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut
didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya
paling singkat 2 (dua) tahun;
159
RAYHAN DUDAYEV
Hakim menganggap gugatan para penggugat masih masuk dalam tenggat waktu
dan dua penggugat gugatannya telah melewati batas waktu sebagaimana yang diatur
di dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahu 1986 dengan beberapa argumentasi yaitu:
1. Gugatan yang diajukan oleh Jakarta Monitoring Network (JMN) pada Bulan
Mei tidak membuat para penggugat seperti para nelayan mengetahui objek
sengketa secara serta merta. Selain itu, hakim berpendapat bahwa Penetapan
No. 61/G/2015/PTUN-JKT tidak mempunyai kekuatan mengikat daya
berlakunya dengan perkara yang diajukan oleh nelayan beserta WALHI
dan KIARA dengan No. 193/G/LH/2015/PTUN-JKT. Menurut majelis
hakim, gugatan yang diajukan JMN masih dalam tahap awal yaitu tahap
pemeriksaan persiapan yang dibacakan dalam persidangan yang terbuka
untuk umum. Penetapan pencabutan atas gugatan JMN tersebut hanya
mempunyai kekuatan kepada subyek hukum yang melakukan pencabutan
gugatan tersebut. Selanjutnya, yang menarik yaitu pendapat hakim yang
mengatakan bahwa penetapan pencabutan suatu gugatan TUN tidak berlaku
asas orga omnes.
160
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
Hakim memutuskan bahwa izin lingkungan yang dimiliki PT. Muara Wisesa
cacat formil karena dianggap proses penyusunan AMDAL tidak transparan dan
partisipatif. Hakim mengawali pertimbangannya dengan penjelasan Hukum
Administrasi Lingkungan mempunyai peran yang sangat signifikan di dalam
sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hukum Administrasi
Lingkungan berfungsi sebagai sarana yuridis yang sifatnya pencegahan
(preventif) terhadap kerusakan lingkungan. Instrumen pencegahan ini adalah
menjadi substansi dari hukum administrasi lingkungan didalam menciptakan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dibidang lingkungan hidup
161
RAYHAN DUDAYEV
162
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
163
RAYHAN DUDAYEV
2014 di dalam konsideran. Hakim mengacu pada ketentuan Pasal 5 ayat (1)
Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
“Setiap keputusan harus diberi alasan pertimbangan yuridis, soiologis dan filosofis
yang menjadi dasar penetapan Keputusan” selanjutnya dalam ketentuan Pasal
56 ayat (1) “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan keputusan yang tidak sah.”
2. Pemda DKI Jakarta belum membentuk Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil (RZWP-3-K). Perda tersebut merupakan mandat dari
Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 10 Undang Undang No. 27 Tahun 2007 sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang No. 1 Tahun 2014. tentang WP3K.
Pemerintah Daerah wajib menyusun Rencana Zonasi serta menetapkannya
dengan Perda. Rencana Zonasi tersebut berfungsi sebagai alat kontrol untuk
keseimbangan pemanfaatan, perlindungan pelestarian, dan kesejahteraan
masyarakat sekaligus berfungsi memberikan kepastian dan perlindungan
hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir.
164
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
165
RAYHAN DUDAYEV
lingkungan hidup, hakim tidak mengindahkan bunyi pasal 105 PP No. 26 Tahun
2008 tentang Kawasan Strategis Nasional. Di dalam aturan tersebut, pembangunan
yang berdampak besar terhadap lingkungan hidup, maka kewenangannya ada
di pemerintah pusat. Seharusnya, dengan mengacu pada keterangan-keterangan
ahli, terutama yang terkait dengan lingkungan laut, reklamasi dapat dikatakan
merupakan pembangunan yang dapat menimbulkan dampak luas terhadap
lingkungan hidup.
V. Simpulan
1. Hakim tidak menerima standing KIARA karena dianggap tidak punya standing
karena belum terdaftar dalam Kemenkumham sehingga tidak memenuhi unsur
Pasal 92 UU 32 Tahun 2009 yang mengisyarakatkan organisasi lingkungan
hidup harus berbentuk badan hukum.
2. Gugatan Walhi dianggap telah melewati jangka waktu yang diatur dalam
PerUUan karena Walhi dianggap telah mengeluarkan pernyataan terkait objek
sengketa jauh sebelum melakukan gugatan.
5. Hakim memutuskan bahwa izin lingkungan yang dimiliki PT. Muara Wisesa
cacat formil karena dianggap proses penyusunan AMDAL tidak transparan
166
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
dan partisipatif.
167
168
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
P e d o m a n P e n u l i s a n
J
urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan
yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum
lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum Lingkungan
Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara
Negara, kalangan LSM serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan
permasalahan tata kelola sumber daya alam.
JHLI Volume 3 Issue 2, Januari 2017, memuat tulisan yang mengangkat tema
umum hukum dan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam sektor apapun.
Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih
pertanyaan kunci berikut:
ix
PEDOMAN PENULISAN
Prosedur Pengiriman**
Pemilihan Tulisan
Persyaratan Formil
1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).
Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam satu alinea.
x
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 1, JULI 2016
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan
EYD dengan kalimat yang efektif;
4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan
keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah
daftar pustaka;
6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.
Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring;
xi
PEDOMAN PENULISAN
Panduan lebih detail dalam hal pengutipan akan diberikan Redaksi untuk
Abstrak yang diterima.
xii