J urnal H ukum
L ingkungan I ndonesia
Volume 2 Issue 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1350
i
J urnal H ukum L ingkungan I ndonesia
Vol. 2 Issue 02 / Desember / 2015
ISSN: 2355-1350
Website: www.icel.or.id/jurnal
E-mail: jurnal@icel.or.id
Diterbitkan oleh:
I ndonesian C enter for E nvironmental L aw (ICEL)
Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Telp. (62-21) 7262740, 7233390
Fax. (62-21) 7269331
DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.
ii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
R e d a k s i d a n M i t r a Bebestar i
Dewan Penasehat
Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.
Dadang Trisasongko, S.H.
Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Margaretha Quina, S.H., LL.M.
Redaktur Pelaksana
Budi Afandi, S.H.
Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Dessy Eko Prayitno, S.H.
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Citra Hartati, S.H., M.H.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Raynaldo G. Sembiring, SH.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Astrid Debora, S.H.
Rino Subagyo, S.H. Rika Fajrini, S.H.
Windu Kisworo, S.H., LL.M. Ohiongyi Marino, S.H.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Isna Faitmah, S.H.
Feby Ivalerina, S.H., LL.M. Rayhan Dudayev, S.H.
Dyah Paramitha, S.H., LL.M. Wenni Adzkia, S.H.
Haryani Turnip, S.H. Fajri Fadhillah, S.H.
Mitra Bebestari
Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
Dr. Indah Dwi Qurbani, S.H., M.H.
Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam
penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.
iii
P e n g a n t a r R e d a k s i
B
aik di tingkat populasi, spesies maupun genetik, Indonesia berada
dalam peringkat teratas dunia dalam hal keberagaman makhluk hidup
yang telah terinventarisasi sains. Indonesia menempati peringkat
pertama sebagai negara megadiverse, peringkat kedua keberagaman mamalia (515
spesies, 12% total mamalia dunia), peringkat keempat keberagaman primata (35
spesies), dan berbagai statistik lain (1.592 spesies burung, 17% total burung dunia;
270 spesies amfibi; 25.000 tumbuhan berbunga, 55% endemik) yang menunjukkan
betapa kayanya keragaman hayati Indonesia.1
Sayangnya, Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan laju hilangnya
keanekaragaman hayati yang paling cepat.2 Faktor-faktor utama yang menyebabkan
hilangnya keanekaragaman hayati dan kelangkaan spesies di Indonesia meliputi
perusakan dan fragmentasi habitat, perubahan lanskap, eksploitasi berlebih,
pencemaran, perubahan iklim, spesies asing, kebakaran hutan dan lahan, dan krisis
ekonomi dan politik yang terjadi di negara ini.3
iv
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Salah satu pekerjaan rumah yang krusial dalam hukum dan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia adalah
memastikan instrumen hukum yang tersedia dapat bergerak mengikuti perubahan
yang terjadi di lapangan. Dinamika ekonomi dalam skala makro, perkembangan
pasar, semakin canggihnya modus kejahatan, perubahan kelembagaan yang
terjadi dalam berbagai institusi yang terkait, hingga perubahan politik konservasi
baik di tingkat internasional maupun nasional perlu dikontekstualisasikan dalam
memaknai instrumen hukum yang tersedia sekarang. Bahkan, terdapat upaya nyata
yang sedang terjadi untuk merevisi instrumen hukum yang telah usang seperti UU
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Akhir kata, JHLI Vol. 2 Issue 2 (Desember 2015) ini tidak lepas dari kekurangan.
Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk
memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat
dalam jurnal ini.
v
vi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Daf t a r Isi
vii
Ulasan Buku: Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia
viii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
K onservasi
KonservasiKKeanekaragaman H ayatididiIndonesia:
eanekaragaman Hayati I ndonesia :
R ekomendasi
RekomendasiP erbaikan
PerbaikanUUndang-undang
ndang -U ndangKonservasi
K onservasi
Samedi1
Abstrak:
Kata kunci: hukum konservasi, keanekaragaman hayati, sumber daya alam hayati
Abstract:
Biodiversity and its components: genetic resources, species and ecosystem with actual or
potential use values to humanity is the future for the survival of humankind. With this
potential, it is essential for Indonesia to conserve these resources equipped with effective
national legislation to stop and reverse the unprecendented rate of biodiversity loss. This
1 Program Director, Tropical Forest Conservation Action for Sumatra (TFCA-Sumatera), KEHATI
Foundation, Jl. Bangka VIII No. 3 B, Pela Mampang, Jakarta 12720. Telp. +62-21-7199953;
7199962. Fax +62-21-7196530. Email: samedi@tfcasumatera.org; www.tfcasumatera.org
1
SAMEDI
paper aims to discuss the conservation legal framework in Indonesia and the capability of the
conservation law to halt unprecedented biodiversity loss and suggested revision for this law.
The current legal framework for biodiversity conservation stems on the Act No 5 of 1990
which adopts World Conservation Strategy of IUCN 1980. Under the current framework,
more than 25 million hectares of terrestrial and marine areas have been totally protected
within protected areas systems. However, this centralistic law has some weaknesses to be
effectively implemented at the current contexts. This law needs substantial revision and
harmonization with other laws in order to make the implementation effective.
I. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara dengan kekayaan SDA
hayati terbesar di dunia selain Brazil dan Zaire atau Republik Demokratik Kongo.3
2 “Convention on Biological Diversity,” 5 Juni 1992, United Nations Treaty Series Vol. 1760 p.
79, Pasal 2, menyebutkan bahwa komponen keanekaragaman hayati mencakup sumber daya
genetik, spesies atau organisme termasuk bagian-bagian dan turunannya, populasi atau
komponen biotik lainnya dari ekosistem.
3 Biodiversity Action Plan for Indonesia yang disusun dan diterbitkan oleh Bappenas tahun
1993 menyebutkan bahwa walaupun daratan Indonesia hanya 1,3% dari daratan dunia,
10% tumbuhan berbunga, 12% mamalia, 16% reptil dan ampibi, 17% burung dan lebih dari
25% ikan air tawar dunia ada di Indonesia. Lih: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) RI, Biodiversity Action Plan for Indonesia, (Jakarta: 1993), hlm. 1.
2
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
3
SAMEDI
4
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
2.2. Sumber Daya Milik Bersama dan Nilai Keanekaragaman Hayati yang Harus
Diselamatkan
Berbagai SDA seperti air bersih, udara nyaman, kehidupan liar, pemandangan
indah, dianggap sebagai sumber daya milik umum (common property) atau sumber
daya terbuka bagi siapapun yang ingin memanfaatkannya (open access). Dengan
demikian sumber daya ini dihargai terlalu rendah dibanding nilai yang seharusnya
dan tidak ada biaya lingkungan sebagai faktor eksternalitas ekonomi yang semestinya
dibayarkan untuk memperbaikinya. Keadaan ini menyebabkan terkurasnya sumber
daya alam secara cepat yang pada akhirnya tidak memberikan manfaat ekonomi
bagi siapapun. Kondisi ini, yang oleh Garrett Hardin13 disebut sebagai “tragedy of the
commons,” bersumber pada jumlah penduduk yang meningkat secara eksponensial
5
SAMEDI
dan SDA yang jumlahnya tetap, sementara tidak ada aturan yang efektif bagi
pemanfaatan SDA milik umum tersebut. Hal ini menimbulkan kegagalan pasar
karena adanya eksternalitas pada SDA hayati yang tidak dimasukkan di dalam
sistem produksi.14
Kerusakan SDA hayati global karena sebab di atas masih terus terjadi. Hal ini telah
diingatkan pada tahun 1972 oleh sebuah laporan Kelompok Roma mengenai batas-
batas pertumbuhan yang menghasilkan skenario “kehancuran dunia.”15 Pembangunan
berkelanjutan yang disarankannya tidak pernah benar-benar dilaksanakan.16
Pertumbuhan ekonomi berbasis SDA baik yang tidak dapat diperbaharui maupun
yang dapat diperbaharui telah dilakukan pada tingkat dan atau dengan cara-cara
yang tidak berkelanjutan.17
6
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
jumlah penduduk mencapai hampir 1,5 milyar jiwa, pada tahun 2025 akan menjadi
pasar utama bagi ekonomi dunia19 dan dapat berdampak pada pemanfaatan SDA
Indonesia untuk konsumsi maupun sumber bahan baku industri di Cina. Sebagai
contoh, tahun 1994 Cina merupakan importir hasil hutan terbesar ketujuh di dunia
dan di tahun 2004 sudah menduduki peringkat kedua.20
Isu utama dalam konservasi adalah mencegah kepunahan yang dapat terjadi
di semua tingkatan keanekaragaman hayati baik ekosistem, spesies maupun
genetik. Kepunahan, terlebih yang bersifat massal, harus dicegah. Satu-satunya cara
pencegahannya adalah konservasi dalam arti luas, termasuk pengelolaan secara
berkelanjutan.
19 Department of Economic and Social Affairs, United Nations Population Division (UNPD), 2010
20 Xiufang Sun, Eugenia Katsigris, Andy White, Meeting China’s Demand for Forest Products: An
Overview of Import Trends, Ports of Entry, and Supplying Countries, With Emphasis on the Asia -
Pacific Region, (Washington D.C.: Forest Trends, Chinese Center for Agricultural Policy, and
Center for International Forestry Research, 2004).
21 Volker Grimm dan Christian Wissel. “Babel, or the ecological stability discussions: an
inventory and analysis of terminology and a guide for avoiding confusion.” Oecologia Vol.
109 (1994), hlm. 323–334.
22 Mochamad Indrawan, et.al., Biologi Konservasi, (2007), hal 87.
23 DNA, atau deoxyribonucleic acid, merupakan materi sifat keturunan yang ada di hampir
semua organisme mahluk hidup. Hampir setiap sel di tubuh individu mempunyai DNA yang
sama. Hampir seluruh DNA berada di inti sel (yang disebut inti DNA), namun sejumlah kecil
DNA dapat juga ditemukan di mitokondria (dan disebut DNA mitokondria).
24 Mochamad Indrawan, et.al., Op.Cit., hal 87.
7
SAMEDI
lain mungkin telah punah secara lokal karena sudah sulit dijumpai di alam, dan
ada spesies yang hanya tinggal di penangkaran dan sedang diupayakan untuk
dilepasliarkan kembali ke habitat alam.25
Secara geografis, kepunahan dapat terjadi di tingkat yang sangat lokal, yaitu
satu atau dua populasi di suatu tempat mengalami kepunahan tetapi masih dapat
ditemui di tempat lain. Kepunahan global terjadi apabila seluruh populasi di
sebaran alami spesies telah punah.26 Selain itu, kepunahan juga dapat terjadi hanya
di habitat alamnya (punah di alam). Kepunahan ekologis dapat terjadi ketika suatu
spesies hanya tinggal di dalam populasi yang sangat kecil yang secara ekologis
sudah tidak dapat bertahan hidup dalam jangka panjang (tidak viable).27
Secara umum penyebab kepunahan spesies dapat dialamatkan kepada dua hal
yaitu:28
Kepunahan dapat terjadi secara alami, misalnya karena perubahan iklim yang
ekstrim yang pernah terjadi pada masa geologi jutaan tahun yang lalu. Kepunahan
secara alami juga dapat disebabkan oleh epidemi penyakit, asteroid atau spesies
invasif.29
25 Ibid. Spesies yang telah punah diantaranya adalah harimau Bali (Panthera tigris balica), harimau
Jawa (Panthera tigris sondaica), burung trulek Jawa (Vanellus macropterus); kemungkinan
punah di alam seperti misalnya cucak rawa(Pycnonotus zeylanicus); dan yang hanya tinggal
di penangkaran misalnya curik /jalak Bali (Leucopsar rotschildii)
26 IUCN dalam Red List of Threatened Species membagi beberapa tipe kepunahan spesies.
Lih: IUCN, The IUCN Red List of Threatened Species, Versi 2015-4, http://www.iucnredlist.org,
diunduh pada 19 November 2015.
27 Ibid.
28 Teks Konvensi CITES menjelaskan tujuan konvensi untuk menurunkan resiko kepunahan
spesies yang diakibatkan oleh perdagangan yang merupakan salah satu penyebab kepunahan
selain kerusakan habitat. Perdagangan spesies merupakan muara dari pemanfaatan baik
legal maupun illegal. Lih: “Convention on International Trade of Endangered Species,” 3
Maret 1973, United Nations Treaty Series, Vol. 993 (1973).
29 Mochamad Indrawan, et.al., Op.Cit., hal. 87-179.
8
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
global. Dari catatan kepunahan, 99% spesies yang punah disebabkan oleh kegiatan
manusia.30 Terkait dengan hal tersebut, IUCN memperkirakan bahwa kehilangan
dan perusakan habitat berpengaruh pada 86% dari seluruh burung, 86% mamalia
dan 88% amphibi yang terancam punah.31
9
SAMEDI
10
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
11
SAMEDI
spesies Appendix I, Appendix II, serta spesies non-appendix yang tidak dikontrol
melalui CITES.47 Spesies yang termasuk Apppendix I dilarang diperdagangkan secara
internasional.
yang dapat terancam punah oleh adanya perdagangan internasional. CITES secara umum
membagi spesies ke dalam appendix, yaitu Appendix I, terdiri dari spesies yang terancam
punah, dan Appendix II, yang berisi spesies yang belum terancam punah namun ada tekanan
dari perdagangan sehingga jika tidak dikendalikan dapat menjadi terancam punah. Lih:
CITES, Op.Cit., Appendix I dan Appendix II.
47 CITES mengontrol perdagangan internasional spesies flora dan fauna melalui sistem
perizinan yang standar di seluruh negara anggota didukung oleh sistem legislasi nasional
yang standar yang dapat melarang, menghukum dan menyita spesimen fauna dan flora yang
diperdagangkan tidak sesuai dengan ketentuan CITES. Lih: Ibid.
48 UU KSDAHE, Op.Cit.
49 CITES Aricle IV mendesak kepada seluruh neggara anggota agar dalam memberikan izin
ekspor spesies Appendix II didasarkan pada Non-Detriment Findings yaitu sistem pengambilan
keputusan untuk membolehkan atau tidak perdagangan internasional spesies Appendix II
berdasarkan kajian ilmiah bahwa izin ekspor hanya dapat diberikan setelah Otorita Pengelola
yang berwenang memberi izin benar-benar yakin bahwa ekspor tersebut tidak akan merusak
populasi di alam. Lih: CITES, Op.Cit.
12
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
diperoleh dari kondisi in-situ dan ex-situ.50 Definisi ini menjadi penting bagi Indonesia
sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati namun yang masih relatif
tertinggal dari segi bioteknologi. Indonesia perlu melindungi kekayaan hayatinya
agar tidak hanya menjadi “pasar” bagi teknologi berbasis keanekaragaman hayati
yang justru bersumber dari negara seperti Indonesia.
Masa depan umat manusia akan sangat bergantung pada sumber daya genetik.
Perubahan iklim global dapat dipastikan mengubah pola suplai pangan dan
kesehatan dunia.51 Tanaman pangan dan hewan ternak yang ada saat ini mungkin
tidak dapat bertahan dengan kondisi iklim yang berubah. Penemuan varitas-varitas
baru tanaman pangan dan ternak akan sangat bergantung pada keanekaragaman
genetik tumbuhan dan hewan. Varitas-varitas tanaman pangan dan hewan bermutu
tinggi yang ada saat ini merupakan hasil dari konservasi genetik yang efektif. Oleh
sebab itu, konservasi keanekaragaman genetik menjadi sangat penting dan menjadi
keniscayaan untuk masa depan umat manusia. Riset dan pengembangan teknologi
ke arah itu sedang mengalami eskalasi yang tajam52.
50 Disarikan dari definisi di dalam Konvensi CBD (1992), Lih: CBD, Op.Cit
51 Rosamond Naylor, Walter Falcon, dan Cary Fowler (Ed), “The Conservation of Global Crop
Genetic Resources In the Face of Climate Change,” Summary Statement from a Bellagio Meeting,
3-7 September 2007.
52 David Cameron, Perdana Menteri Inggris, Lih: “Genetics Research Boost to Families and
Jobs,” Evening Chronicle, (12 Maret, 2015).
53 Sumberdaya genetik menurut Konvensi Keanekaragaman Hayati (UNCBD, 1992) adalah
materi-materi genetik yang mempunyai nilai aktual maupun potensial dimana nilai aktual
atau potensial di sini adalah adanya informasi yang terkandung di dalam materi genetik.
Materi genetik itu sendiri merupakan material yang berasal dari tumbuhan, hewan, mikroba
atau dari sumber lain yang berisi unit-unit pembawa sifat keturunan yang berada di dalam
suatu sel yang ditemukan di dalam nukleus, mitokondria dan sitoplasma yang memainkan
peran dasar dalam menentukan struktur dan sifat-sifat substansi sel, dan mampu untuk
memperbanyak dan menganekaragamkan dirinya. Materi genetik suatu sel dapat berupa
gen, bagian dari gen, kelompok gen, molekul DNA, fragmen sebuah DNA, kelompok molekul
DNA dari seluruh genom suatu organisme. Genom itu sendiri merupakan satu set lengkap
dari gen, dimana gen merupakan unit pembawa sifat keturunan. Di dalam berbagai peraturan,
definisi materi genetik telah diperluas untuk mencakup juga semua bagian dari mahluk hidup,
termasuk bisa yang bukan merupakan pembawa sifat keturunan. Lih: CBD, Op.Cit.
13
SAMEDI
variasi gen dan tipe gen antar dan dalam suatu spesies, sehingga dapat beradaptasi
pada lingkungannya.54 Kekuatan-kekuatan evolusi yang mempengaruhi perubahan
keanekaragaman genetik antara lain seleksi alam, pergeseran genetik (genetic drift),
mengalirnya gen (gene flow) dan mutasi.55 Oleh karenanya, perlindungan sumberdaya
genetik baik di habitatnya (in situ) maupun di luar habitatnya (ex situ) ditujukan untuk
menjaga keanekaragaman (keragaman) genetik suatu spesies.
2.5. Perlunya Sistem Hukum Yang Efektif: Peran Hukum Dalam Konservasi
54 W. Darwiati, “Keragaman dan Konservasi Genetik Tanaman Hutan Resisten terhadap Hama
Penyakit,” Mitra Hutan Tanaman. Vol 3 No. 1. (2008), hal. 43-50.
55 Nigel Maxted, Brian Ford-Lloyd dan John Hawkes, Plant Genetic Conservation: The In Situ
Approach, (London: Chapman & Hall, 1997).
56 Tujuan dari CBD bertumpu pada tiga pilar, yaitu 1) Konservasi keanekaragaman hayati; 2)
Pemanfaatan yang berkelanjutan; dan 3) Pembagian keuntungan yang adil dan seimbang
dari pemanfaatan sumber daya genetik. Lih: CBD, Op.Cit.
57 Protokol Nagoya disetujui pada 29 Oktober 2010 di Nagoya dan berlaku secara resmi pada 12
Oktober 2014. Indonesia meratifikasi Protokol Nagoya melalui Undang-undang No. 11 Tahun
2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya. Lih: “Nagoya Protocol on Access to Genetic
Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the
Convention on Biological Diversity,” 29 Oktober 2010, United Nations Treaty Series No. 30619,
Dok.: UNEP/CBD/COP/DEC/X/1.
14
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Faktor sosial dan ekonomi merupakan faktor dominan yang menjadi tantangan
besar upaya konservasi keanekaragaman hayati. Pelaksanaan norma-norma
konservasi yang secara hukum mengikat banyak mengalami hambatan di negara
berkembang seperti Indonesia. Asal muasal gerakan konservasi dari negara-negara
barat yang sistem hukumnya lebih kuat merupakan salah satu faktor. Penerapan
hukum konservasi di negara-negara berkembang banyak menimbulkan konflik,
mengingat ketergantungan masyarakat akan SDA hayati masih sangat tinggi.59 Hal
ini erat kaitannya dengan masyarakat di sekitar sumber daya yang belum terlepas
dari kemiskinan. Kemiskinan menjadi kendala utama konservasi, sehingga tidak
akan ada konservasi selama masih banyak masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan.60 Ada tiga masalah yang selalu berasosiasi dengan kemiskinan dalam
pengelolaan sumberdaya alam:
58 Grazia Borrini-Feyerabend, Ashish Kothari dan Gonzalo Oviedo, Indigenous and Local Communities
and Protected Areas: Towards Equity and Enhanced Conservation (Gland, Switzerland: IUCN, 2004),
hal. 7.
59 “Collaborative Management of Protected Areas: Tailoring the Approach to the Context,”
Issues In Social Policy, (Gland, Switzerland: IUCN), hal. 4.
60 M. Murphee, “Rural Poverty, Democracy and Sustainable Use of Wildlife in Africa,” keynote
speech pada Symposium on the Conservation and Sustainable Use of Wildlfe, Kyoto Forum:
In Harmony With Wildlife (1992).
61 Contoh adanya free rider dalam pengelolaan lahan konservasi, Lih: Elisabet Repelita
Kuswijayanti, Arya Hadi Darmawan, dan Hariadi Kartodiharjo, “Krisis-Krisis Socio-Politico-
Ecology Di Kawasan Konservasi: Studi Ekologi Politik Di Taman Nasional Gunung Merapi,”
Solidarity: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia (April 2007), hal. 41-46.
62 Grazia Borrini-Feyerabend, Ashish Kothari and Gonzalo Oviedo, Indigenous and Local
Communities and Protected Areas: Towards Equity and Enhanced Conservation, (Gland,
15
SAMEDI
2. Tujuan secara sosial, ekonomi dan budaya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan strategi pengelolaan;
Secara yuridis, saat ini hanya ada satu undang-undang yang secara khusus
mengatur tentang konservasi sumberdaya alam hayati yaitu UU No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU KSDAHE”).
UU ini, yang menggantikan beberapa produk peraturan kolonial pra-kemerdekaan,
telah berumur lebih dari 20 tahun. Selama masa tersebut telah terjadi begitu banyak
perubahan lingkungan strategis nasional, seperti berubahnya sistem politik dan
Switzerland: IUCN, 2004), hal. 12.
63 Gordon Claridge and Bernard O’Callaghan, “Making Co-Management of Wetland Resources
Work,” makalah dipublikasikan dalam Community Involvement in Wetland Management:
Lessons from the Field. Editor: Gordon Claridge, (Kuala Lumpur: Wetlands International, 1997),
hal. 25-63.
64 H. Alexander, Gap Analisis: Pergeseran Paradigma Kebijakan Konservasi (Jakarta: OCSP-USAID,
2008), hal 64-68.
16
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
UU KSDAHE dirasakan sudah tidak efektif lagi dan banyak kelemahan untuk
melindungi SDA hayati Indonesia sekarang dan di masa yang akan datang. UU
ini juga tidak lagi sesuai dengan perkembangan paradigma konservasi di tingkat
global maupun nasional. Oleh sebab itu, revisi UU KSDAHE dirasakan perlu untuk
segera dilakukan.65 Ada beberapa undang-undang sektoral, misalnya perikanan,
yang di dalamnya mengatur tentang konservasi sumber daya ikan. Namun,
isinya masih berkonflik dengan UU KSDAHE sehingga pelaksanaan di lapangan
sering menimbulkan kerancuan.66 Harmonisasi tentunya menjadi hal yang harus
dilakukan.
Pada tahun 1714, Cornelis Chastelein, seorang tuan tanah Belanda, mewariskan
seluruh bidang tanah miliknya kepada para pengikutnya – kecuali persil hutan seluas
6 Ha di Depok. Ia mewasiatkan agar lahan hutan tersebut tidak dipindahtangankan
dan harus dikelola sebagai cagar alam.67 Wacana konservasi juga muncul pada akhir
abad 19, tepatnya pada 1896, dimana saat itu pemerintah kolonial Belanda mendapat
tekanan dari luar Hindia Belanda tentang penyelundupan burung cenderawasih
yang kemudian melahirkan Undang-Undang Perlindungan Mammalia Liar dan
Burung Liar pada 1910. Nederlands Indische Vereniging tot Natuur Bescherming yang
didirikan tahun 1912 oleh Dr. S.H. Koorders berhasil menunjuk 12 kawasan yang
perlu dilindungi di Pulau Jawa pada tahun 1913 yang kemudian dilanjutkan dengan
penunjukan kawasan dilindungi di pulau Jawa hingga Sumatera dan Kalimantan.68
65 Proses revisi UU KSDAHE pada saat tulisan ini dibuat, telah dimulai dan pembahasan-
pembahasan intensif sedang berlangsung.
66 Undang-undang tentang perikanan adalah UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang
diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009. Disharmoni dengan UU Konservasi diantaranya
terletak pada definisi “ikan” yang mencakup seluruh biota yang sebagian atau seluruh
siklus hidupnya berada di air. Definisi ini dapat menimbulkan kerancuan pelaksanaan di
lapangan. Lih: Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN No. 5073.
67 Purbasari, Interaksi Masyarakat dan Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya Pancoran
Mas Depok, (Bogor: Fakultas Kehutanan IPB, 2011) (skripsi tidak diterbitkan).
68 Ibid.
17
SAMEDI
69 IUCN, UNEP dan WWF, World Conservation Strategy: Living Resource Conservation for
Sustainable Development (1980).
18
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
hal tersebut terjadi di bawah kerangka Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang
tonggaknya sebenarnya sudah dimulai dari tahun 1972 melalui the United Nations
Conference on the Human Environment di Stockholm. Secara terpisah pada tahun 1973
di Washigton DC disepakati suatu perjanjian internasional mengenai perdagangan
flora dan fauna liar yaitu The Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora (“CITES”). Bahkan, dua tahun sebelumnya pada tahun 1971
di kota Ramsar, Iran, telah disepakati konvensi mengenai pemanfaatan lahan basah,
yaitu The Convention on Wetlands of International Importance, Especially as Waterfowl
Habitat (“Ramsar Convention”).
Pada tahun 1980, the International Union for the Conservation of Natural
Resources (IUCN) mengeluarkan the World Conservation Strategy (WCS) yang
menyediakan prekursor bagi Pembangunan Berkelanjutan. Strategi ini menyatakan
bahwa konservasi tidak akan dapat dicapai tanpa adanya pembangunan untuk
mengentaskan kemiskinan, dan menekankan kesaling-tergantungan antara
konservasi dan pembangunan.70 Dua tahun kemudian pada 48th plenary of the UN-
General Assembly pada tahun 1982, inisiatif WCS mengalami puncaknya dengan
disetujuinya World Charter for Nature: “mankind is a part of nature and life depends
on the uninterrupted functioning of natural systems.” Pada tahun 1983, dibentuk the
World Commission on Environment and Development (WCED) dan oleh UN General
Assembly dinyatakan sebagai badan independen untuk memformulasikan Agenda
Perubahan Global: “A global agenda for change.” Pada tahun 1987, WECD membuat
laporan berjudul “Our Common Future,” dengan mengelaborasi WCS tentang
kesalingtergantungan global dan hubungan ekonomi dengan lingkungan.71
19
SAMEDI
UU KSDAHE terdiri atas 14 bab dan 45 pasal, yang pada prinsipnya mengatur
ketiga pilar tersebut (sering disebut dengan 3P)74 dalam suatu kerangka hukum
konservasi SDA hayati. Dalam ketentuan umum, UU ini mendefinisikan konservasi
SDA hayati sebagai “pengelolaan SDA hayati yang pemanfaatannya dilakukan
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.”75
20
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Selama 30 tahun lebih tiga pilar WCS telah banyak berkembang dan
mengerucut menjadi pembangunan berkelanjutan, tetapi menjadi kegiatan yang
sangat beragam, mulai dari perlindungan sistem pertanian tanaman pangan,
perlindungan daerah aliran sungai, penanggulangan dan pencegahan perubahan
iklim, penanggulangan penggurunan dan perusakan lahan, perlindungan
lingkungan hidup, penangulangan pencemaran, perusakan pesisir dan pulau kecil
dan sebagainya. Perlindungan sistem penyangga kehidupan terlalu besar untuk
dapat diliput dalam satu undang-undang konservasi. Berbagai aspek mengenai
sistem penyangga kehidupan telah diatur di dalam undang-undang sektoral. Hal
tersebut menjadikan kerangka P1, Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan UU
KSDHAE, menjadi tidak operasional.
21
SAMEDI
b) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, yang membagi spesies tumbuhan dan
satwa menjadi dua kategori yaitu dilindungi dan tidak dilindungi.78 Bagi jenis
yang dilindungi terdapat larangan untuk menangkap, mengambil, memiliki,
memperdagangkan, dan sebagainya dengan ancaman hukuman penjara 5
tahun dan denda Rp100 juta bagi yang melanggarnya.79
22
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Pada tingkat spesies, kategorisasi menjadi dua golongan dimana hanya spesies
yang dilindungi saja yang mendapatkan pengaturan (terutama larangan dan sanksi)
mengandung resiko yang sangat besar bagi konservasi di tingkat spesies. Hal ini
membuka ruang interpretasi bahwa spesies yang tidak dilindungi dapat dimanfaatkan
secara bebas, terbukti dengan semakin banyaknya spesies yang memenuhi kriteria
untuk masuk ke dalam status dilindungi. Selain itu, untuk spesies yang tidak
dilindungi tidak diatur bagaimana mengendalikan pemanfaatannya, sehingga
tekanan terhadap spesies yang tidak dilindungi semakin lama semakin besar.
82 Ibid., Bab VI tentang Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
83 Ibid., Pasal 11 dan Pasal 12.
84 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP No. 7 Tahun
1999, LN No. 14 Tahun 1999
85 CITES Secretariat pada tahun 1993-1998 berdasarkan proyek legislasi nasional untuk menilai
peraturan perundang-undangan negara anggota CITES menempatkan Indonesia dengan
legislasi yang dapat untuk melaksanakan CITES secara efektif.
86 CITES dalam Article VIII memandatkan setiap negara pihak untuk membuat legislasi
nasional yang dapat melarang, menghukum secara pidana dan menyita terhadap semua
pelanggaran ketentuan CITES bagi spesies-spesies yang dikontrol oleh CITES, termasuk
semua spesies yang bukan berasal dari negara anggota yang bersangkutan.
23
SAMEDI
Pada tingkat spesies, karena jenis yang dilindungi merupakan jenis yang secara
biologis telah terancam punah, maka pemanfaatan di tingkat spesies semestinya
diarahkan hanya untuk jenis yang tidak dilindungi. Namun demikian, UU KSDAHE
sama sekali tidak memberikan arahan pengaturan pemanfaatan terhadap spesies
tidak dilindungi. PP No. 8 Tahun 1999 dibuat untuk menutup kekosongan aturan
dari spesies tidak dilindungi tersebut. Namun karena butir penting seperti larangan
dan sanksi pidana hanya dapat dilakukan di tingkat undang-undang, maka PP No.
8 Tahun 1999 tidak dapat dibuat lebih keras dari apa yang ada di undang-undang
ini atau dengan “meminjam tangan” undang-undang lain.88
24
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
UU KSDAHE yang telah berusia hampir 25 tahun dan yang bersifat sentralistik
mengandung banyak kelemahan baik dari sisi konsep maupun kekosongan hukum
apabila dikaitkan dengan perkembangan masa kini. Karena mengadopsi konsep
yang dikembangkan di negara-negara barat, maka hukum konservasi di Indonesia
banyak menafikan keberadaan masyarakat di dalam pengaturan dan pengelolaannya,
sehingga menciptakan potensi konflik. UU KSDAHE perlu mengalami revisi materi
yang signifikan dan harus harmonis dengan beberapa undang-undang lain yang
terkait dengan konservasi, seperti undang-undang mengenai lingkungan hidup,
penataan ruang, perikanan, dan undang-undang mengenai pesisir dan pulau-pulau
kecil agar pelaksanaannya di lapangan dapat efektif.
89 Protokol Nagoya mengenai Akses kepada Sumber Daya Genetik dan Pembagian yang Adil
25
SAMEDI
4. Pada tingkat spesies, klasifikasi harus dilakukan lebih rasional, misalnya dengan
membagi spesies dalam kategori dilindungi, dikendalikan dan dipantau,
dimana untuk setiap kategori harus dilakukan pengaturan yang memadai
untuk menghindari kepunahan. Apabila memungkinkan, kategorisasi tersebut
mengikuti ketentuan internasional.90 Selain itu, perlindungan spesies harus
dilakukan bersama habitatnya untuk dapat memberikan perlindungan spesies
yang berada di luar kawasan-kawasan konservasi;
26
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Daftar Pustaka
Bappenas, 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-
2020. IBSAP Dokumen Nasional Pemerintah Indonesia. Bappenas, Jakarta.
Campese, J., Sunderland, T., Greiber, T. dan Oviedo, G. (eds.), 2009. Rights-based
approaches: Exploring issues and opportunities for conservation. CIFOR and IUCN,
Bogor, Indonesia. Jessica Campese, Terry Sunderland, Thomas Greiber and
Gonzalo Oviedo
Hardin, G. 1968. Tragedy of the Commons. Science: Vol. 162 no. 3859 pp. 1243-1248
Indrawan, M; Primack, R.B.; dan Supriatna, J. 2007. Biologi Konservasi. 3rd Ed.
Yayasan Obor, Jakarta.
IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. <www.iucnredlist.
org>. Downloaded on 08 December 2012.
IUCN, 1980. World Conservation Strategy. Gland, Switzerland.
Meadows, DH, Meadows, DL, Randers, J & Behrens III, WW. 1972.The Limits to
Growth (Universe Books, New York).
Mora, C dan Sale, P. 2011. Ongoing global biodiversity loss and the need to move
beyond protected areas: A review of the technical and practical shortcoming
27
SAMEDI
of protected areas on land and sea. Marine Ecology Progress Series 434: 251–266.
Naylor, R; W. Falcon, dan C. Fowler (Ed). 2007. The Conservation of Global
Crop Genetic Resources In the Face of Climate Change. Summary Statement
from a Bellagio Meeting Held on September 3-7, 2007.
Purbasari, DDTP, 2011. Interaksi Masyarakat dan Potensi Tumbuhan Berguna di Taman
Hutan Raya Pancoran Mas Depok. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. (skripsi
tidak diterbitkan), di dalam Taman Hutan Raya Pancoran Mas. Wikipedia
bebas.(https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Hutan_Raya_Pancoran_Mas).
Diakses 12 November 2015.
Sukara, E. 2013. Biodiversity a Common Wealth for a Crowded Planet. Disampaikan pada
The 2nd GSS Leading Expert Seminar – Graduate School Programme for Sustainable
Development and Survivable Societies, Kyoto University – Japan December 19, 2013.
United Nations Department of Economic and Social Affairs, 1992. Earth Summit:
Agenda 21, The United Nations programme of Action From Rio. UN-DESA,
New York.
United Nations, 2010. Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the
Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to
The Convention on Biological Diversity. Secretariat of the Convention on
Biodiversity. Montreal.
Volker, G dan C. Wissel. 1997. Babel, or the ecological stability discussions: an inventory
and analysis of terminology and a guide for avoiding confusion”. Oecologia 109: 323–
334.
Wijnstekers, W. (2011): The Evolution of CITES - 9th editon International Council for
Game and Wildlife Conservation.
28
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Upaya
U paya Perlindungan SSatwa
P erlindungan atwa Liar
L iarIndonesia
I ndonesia
MMelalui
elalui IInstrumen
nstrumen HHukum P erundang - undangan
dan Perundang-Undangan
ukum dan
Abstrak
Saat ini perlindungan jenis satwa atau hidupan liar diatur dalam instrumen
hukum internasional seperti Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora (CITES) tahun 1973. Undang-undang No.5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan peraturan
pelaksanaan lainnya mengatur perlindungan jenis satwa atau hidupan liar di
Indonesia. Hingga saat ini masih banyak kasus kejahatan yang berkaitan dengan
perburuan dan perdagangan satwa atau hidupan liar yang dilindungi, seperti
kasus penyelundupan kakatua jambul kuning di Surabaya pada medio Maret 2015.
Implementasi perundang-undangan bidang ini belum efektif dari sisi perlindungan
satwa di habitatnya maupun menjerat maksimal pelaku kejahatan. Tulisan ini
menyimpulkan bahwa instrumen hukum nasional yang melindungi satwa dan
tumbuhan liar belum memiliki kelengkapan ketentuan yang mengacu pada CITES
sepenuhnya, dan ancaman sanksi yang ada juga tidak menimbulkan efek jera
pelaku kejahatan. Dibutuhkan revisi perundang-undangan dibidang konservasi,
perlindungan satwa atau hidupan liar yang sejalan dengan perkembangan
instrumen hukum internasional.
Abstract
The protection of wildlife stated in the international law instruments such as Convention on
International Trade in as Critically Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) in
1973. Law No. 5 of 1990 regarding Natural Resources Conservation and Its Ecosystems and
related goverment regulations govern protection of wildlife in Indonesia. Recently, there are
still many criminal cases related to poaching and trade of wildlife or protected animals, such
as yellow-crested cockatoo smuggling cases in Surabaya on March 2015. Implementation of
1 Praktisi Hukum Kehutanan dan Konservasi, saat ini bekerja di WWF Indonesia.
29
FATHI HANIF, S.H., M.H.
regulation and the law enforcement concerning wildlife is not effective to protect animals in
their habitat. The legal instrument in the national level to protect wildlife is not complete and
comprehensive yet, especially compared with the norms of CITES and its regulations; and the
punishment did not make the deterrent effect to the perpetrators. There is a need to push the
goverment to make a revision the regulation regarding conservation and wildlife protection
that are in line with the international law instruments.
I. Pendahuluan
30
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Saat ini, ancaman kepunahan beberapa jenis spesies langka telah menjadi
sorotan banyak pihak, termasuk dalam forum-forum internasional seperti konferensi
UN-Convention on Biological Diversity (UNCBD)9 dan konferensi perubahan iklim-
United Nations Framework Convention of Climate Change (UNFCCC).10 Dalam catatan
WWF-Indonesia, sejak tahun 2012 sudah 36 individu gajah dewasa ditemukan
mati di kawasan hutan dan bekas hutan di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Penyebab kematian gajah mayoritas karena diracun, sementara beberapa kasus
disebabkan terkena setrum atau jerat di perkebunan sawit. Jumlah kematian gajah
karena perburuan liar adalah 208 individu dalam kurun waktu 1999-2015.11
31
FATHI HANIF, S.H., M.H.
i) Punah atau Extinct (EX). Suatu taxon dikatakan punah apabila tidak ada
keraguan bahwa individu terakhir telah mati. Suatu taxon diduga punah
apabila survei menyeluruh di habitat yang diketahui dalam waktu yang
memadai (harian, musiman atau tahunan) di seluruh wilayah penyebarannya
tidak dapat mencatat keberadaan individu;
ii) Punah di alam atau Extinct In The Wild (EW). Suatu taxon dikatakan punah di
alam apabila diketahui hanya hidup sebagai tanaman, di dalam kandang atau
dikembangkan di alam di luar penyebaran aslinya;
iii) Genting atau Critically Endangered (CR). Suatu taxon disebut sebagai kritis
apabila memenuhi kriteria A sampai E untuk spesies kritis, sehingga dianggap
menghadapi resiko yang sangat ekstrim tinggi untuk menjadi punah di alam;
14 Berita Satu, “Oknum PERBAKIN Jambi Tertangkap Jual Kulit Harimau,” diakses di http://
www.beritasatu.com/kesra/287990-oknum-perbakin-jambi-tertangkap-jual-kulit-harimau.
html pada tanggal 19 Oktober 2015.
15 Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Convention On International Trade In. Endangered
Species Of Wild Fauna And Flora, Keppres No. 43 Tahun 1978, Lihat juga: Keppres No. 1 tahun
1987 tentang Ratifikasi Konvensi CITES, Op.Cit.
16 Pokja Kebijakan Konservasi. Draft Naskah Akademis revisi UU No.5 tahun 1990. (Jakarta; Pokja
Kebijakan Konservasi. 2014) hal. 24
17 IUCN, Op.Cit.
32
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
iv) Dalam Bahaya Kepunahan atau Endangered (EN). Suatu taxon dikatakan dalam
bahaya kepunahan apabila memenuhi kriteria A sampai E untuk spesies dalam
bahaya kepunahan sehingga dianggap menghadapi resiko yang sangat tinggi
untuk terjadinya kepunahan di alam;
v) Rentan atau Vulnerable (VU). Suatu taxon dikatakan rentan apabila memenuhi
kriteria A sampai E untuk spesies rentan sehinggga dapat dianggap menghadapi
resiko tinggi terhadap kepunahan di alam;
vi) Mendekati terancam atau Near Threatened (NT). Suatu taxon dikatakan
mendekati terancam apabila telah dievaluasi tetapi tidak memenuhi kriteria
CR, EN atau VU, tetapi mendekati kriteria tersebut atau cenderung untuk
memenuhi kriteria terancam pada butir (iii), (iv) dan (v).
vii) Belum terancam/belum perlu diperhatikan atau Least Concern (LC) yaitu taxon
yang telah dievaluasi tetapi tidak memenuhi kriteria CR, EN, VU maupun NT.
Spesies yang tersebar luas dan melimpah masuk dalam kategori ini;
viii) Tidak Cukup (kekurangan) Data atau Data Deficient (DD) yaitu taxon yang
tidak memiliki informasi yang cukup untuk melakukan penilaian langsung
maupun tidak langsung. Spesies yang masuk dalam kategori ini belum tentu
dalam posisi yang aman dari ancaman kepunahan.
b) Spesies Appendix II (Kategori II): yaitu spesies-spesies yang saat ini belum dalam
keadaan terancam punah namun apabila pemanfaatannya tidak dikendalikan
dengan ketat maka akan segera menjadi terancam punah. Kategori ini dapat
mencakup kategori IUCN VU dan NT;
33
FATHI HANIF, S.H., M.H.
Appendix 1 mencatat lebih dari 8.000 satwa dan tumbuhan yang dilarang
untuk diperdagangkan. Sementara, Appendix 2 mencatat lebih dari 30.000 jenis/
spesies yang diatur regulasi dan dimonitor perdagangan internasionalnya. Setiap
negara anggota konvensi harus melakukan pencatatan terhadap perdagangan
satwa dan atau tumbuhan yang masuk ke dalam Appendix 2 ini dan secara rutin
melaporkan ke sekretariat CITES. Oleh karena sangat banyaknya jenis yang masuk
dalam kategori ini, terdapat beberapa kendala dalam pencatatannya.
34
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
35
FATHI HANIF, S.H., M.H.
Salah satu pilar penting dalam konservasi yang dilakukan oleh pemerintah
adalah pengawetan keanekaragaman jenis satwa beserta ekosistemnya. Hal ini
dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam
keadaan asli dan tidak punah. Kegiatan pengawetan jenis ini dapat dilakukan di
dalam (in situ) dan di luar (ex-situ) kawasan suaka alam atau kawasan konservasi.29
Pengawetan di luar kawasan meliputi pengaturan mengenai pembatasan tindakan-
tindakan yang dapat dilakukan terhadap tumbuhan dan satwa.30
Satwa yang dilindungi dapat juga dimantaatkan untuk kegiatan dan kondisi
tertentu. Pemanfaatan dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi,
daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar seperti yang
36
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Pada peraturan pemerintah tentang pemanfaatan jenis satwa liar ini diatur
tentang penangkaran. Dalam Pasal 11 PP No.8 Tahun 1999 disebutkan:37
“ (1) Hasil penangkaran satwa liar yang dilindungi yang dapat digunakan
untuk keperluan perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan
generasi berikutnya;
(3) Ketentuan diatas tidak berlaku terhadap jenis satwa liar jenis:
37
FATHI HANIF, S.H., M.H.
38 PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar, Op. Cit., Pasal 42.
39 Ibid.
40 UU Konservasi, Op. Cit., Pasal 21.
38
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
39
FATHI HANIF, S.H., M.H.
Sebagai suatu tindak kejahatan, perdagangan dan atau peredaran satwa liar
yang dilindungi di Indonesia juga diancam hukuman seperti yang tercantum dalam
Pasal 40 UU No.5/1990 dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Jika perbuatan itu
dilakukan dengan kelalaian ancaman hukuman dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).45
Ketentuan ancaman pidana atas kejahatan satwa liar ini pada prakteknya belum
melahirkan putusan pengadilan yang signifikan dan menimbulkan efek jera kepada
pelaku kejahatan. Karena ancaman penjaranya maksimal lima tahun, faktanya
banyak putusan pengadilan yang memutus kurang dari lima tahun penjara. Kondisi
ini tentu saja tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh pelaku
kejahatan; lembaga peradilan belum mempertimbangkan aspek kerugian ekologi
yang ditimbulkan akibat matinya/hilangnya satwa liar endemik Indonesia.
Salah satu jenis satwa dilindungi yang memiliki ancaman dari pemburu
dan pedangan illegal adalah kakatua jambul kuning. Bulan Mei lalu aparat
Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, telah menggagalkan upaya
penyelundupan kakatua jambul kuning. Kepolisian berhasil menyita sebanyak
40
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Gajah Sumatera adalah salah satu jenis satwa besar yang dilindungi di
Indonesia dengan status perlindungan total.47 Jenis gajah ini semakin terancam
populasinya karena masih banyaknya pemburu illegal yang mengincar gading
gajah Sumatera.
46 Mongabay.com, Op.Cit.
47 Lih: PP No. 7 Tahun 1999, Op. Cit.
48 Tempo.com, “WWF Kecam Sidang Pemburu Gading Gajah di Riau,” 6 Juli 2015, diakses
dari http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/06/058681536/wwf-kecam-sidang-
pemburu-gading-gajah-di-riau pada 1 Desember 2015.
49 Ibid.
41
FATHI HANIF, S.H., M.H.
Upaya penegakan hukum atas kasus-kasus kejahatan satwa liar ini terus
dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“KLHK”) bekerja
sama dengan Kepolisian dan lembaga lainnya. Data KLHK menyebutkan bahwa
hingga tahun 2013 telah ditangani 45 kasus kejahatan tumbuhan satwa liar, dengan
rincian 45 kasus di tingkat penyidikan, 34 kasus P-21 (hasil penyidikan sudah
lengkap), dan tunggakan 14 kasus.51
42
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Kejahatan satwa liar ini telah menimbulkan kerusakan multi dimensi, yang
mencakup kerusakan ekosistem, kepunahan jenis endemik, ancaman penyakit,
timbulnya akibat ekonomi.
Pertama, kerusakan ekosistem. Dalam kejahatan sawa liar, pelaku kejahatan telah
mengancam kerusakan ekosistem pada kawasan hutan. Hal ini bisa terjadi karena
pelaku, dalam melakukan kejahatannya, tidak jarang masuk hingga jauh kedalam
kawasan hutan hingga memasuki kawasan zona inti dari taman nasional. Seringkali
pelaku menebang tumbuhan liar secara sembarangan, dan atau mengambil sarang
dari satwa dilindungi secara sembarangan.
Kerusakan ekosistem ini juga bisa terjadi karena terputusnya rantai kehidupan
dari satwa yang tumbuhan di kawasan hutan. Tidak jarang, satwa yang diburu
adalah satwa yang memiliki posisi pemangsa utama (top predator). Dengan hilangnya
peran pemangsa utama di alam liar, maka populasi pada satwa di tahap bawahnya
tidak terkontrol proses makan memakan, sehingga dapat terjadi kelebihan populasi
(overpopulation) yang dapat berujung pada rusaknya ekosistem, bahkan kepunahan.
43
FATHI HANIF, S.H., M.H.
Indonesia. Saat ini harimau Sumatera, orang utan, badak Jawa, badak Sumatera dan
gajah Sumatera berada dalam status terancam punah.
VI. Penutup
44
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
6.1. Kesimpulan
Dalam hal kejahatan, salah satu kejahatan kehutanan yang ada adalah
kejahatan peredaran dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dlindungi
di Indonesia. Sebagian pihak mulai mempercayai bahwa jenis kejahatan ini sudah
masuk dalam jenis kejahatan yang terorganisir dan telah merugikan negara secara
ekonomi dan lingkungan/ekosistem. Hal ini tercermin dari semua kasus yang
ditangani aparat, yang membuktikan antara pelaku yang mengambil, membawa
dan memperdagangkan tidak sendiri tetapi merupakan jaringan kerjasama yang
tertutup (sistem sel). Sebagai kejahatan khusus, dalam proses penegakan hukum
masih terdapat kendala-kendala teknis dan non teknis, sehingga masih bayak
putusan pengadilan atas kasus ini memvonis rendah pelaku, yaitu dengan pidana
penjara hitungan bulan hingga 1,5 tahun saja. Kondisi ini memberikan sinyal lemah
bagi pelaku agar jera melakukan kejahatan. Kendala teknis mencakup proses
pembuktian jenis satwa dan bagaimana membuktikan kerugian yang dialami
oleh Negara. Faktor non-teknis antara lain adalah masih rendahnya kesadaran
masyarakat untuk membantu proses penegakan hukum kejahatan ini.
6.2. Saran
45
FATHI HANIF, S.H., M.H.
• Dalam upaya menimbulkan efek jera kepada pelaku kejahatan dan masyarakat,
sudah waktunya pemerintah dan aparat penegak hukum mengembangkan
penegakan hukum yang kuat. Beberapa kasus kejahatan satwa liar ini
bisa menjadi momentum untuk melakukan revisi UU Konservasi dengan
memasukkan beberapa ketentuan yang lebih kuat, tidak multi tafsir dan
implementatif guna memberikan dampak penegakan hukum yang kuat dalam
kasus kejahatan ini.
46
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Daftar Pustaka
IWGFF & PPATK. “Panduan Pelatihan Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan Melalui
Pendekatan Anti Korupsi Dan Anti Pencucian Uang.” Jakarta. 2012.
47
FATHI HANIF, S.H., M.H.
Mongabay.co.id. “Sikapi Kakatua Jambul Kuning dalam Botol, Ini Kata Menteri Siti.”
Diakses di http://www.mongabay.co.id/2015/05/09/sikapi-kakatua-jambul-
kuning-dalam-botol-ini-kata-menteri-siti/ pada tanggal 19 Oktober 2015.
Berita Satu. “Oknum PERBAKIN Jambi Tertangkap Jual Kulit Harimau.” Diakses
di http://www.beritasatu.com/kesra/287990-oknum-perbakin-jambi-
tertangkap-jual-kulit harimau.html pada tanggal 19 Oktober 2015.
WWF Indonesia. Hukuman Ringan Bagi Pemburu Gading Gajah, Mendesak UU NO.
5/1990 Direvisi. Siaran Pers, tanggal 13 Juli 2015.
WWF Indonesia. petisi #RIP Yongki diteruskan ke Bareskrim Polri. Siaran Pers, tanggal
7 Oktober 2015.
48
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
M emberantas
MemberantasKKejahatan
ejahatan AAtas S atwaLiar:
tas Satwa L iar :
R efleksi
Refleksi atasPPenegakan
atas enegakan H ukum U
Hukum ndang - undangNomor
Undang-Undang N omor5 5Tahun
T ahun 1990
1990
Abstrak
Kejahatan atas satwa liar merupakan kejahatan yang bersifat transnasional dan
terorganisasi yang telah mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem
Indonesia. Perkembangan kejahatan atas satwa liar yang saat ini juga merupakan
kejahatan teroganisasi, lintas negara dan berbasis elektronik, membuat Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tidak lagi efektif dan telah gagal untuk mengatasinya.
Kegagalan ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya sanksi pidana yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Pada tataran praktek, rendahnya
tuntutan Penuntut Umum dan putusan Majelis Hakim membuat tidak adanya efek
jera bagi pelaku kejahatan atas satwa liar. Tulisan ini membahas secara spesifik
mengenai perkembangan kejahatan atas satwa liar dan kegagalan penegakan
hukum atasnya. Tulisan ini juga memberikan masukan konstruktif untuk perbaikan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 sebagai sarana untuk memberantas kejahatan
atas satwa liar di Indonesia.
Kata Kunci: kejahatan atas satwa liar, penegakan hukum, pidana, undang-undang,
transnasional, terorganisasi, elektronik.
Abstract
Wildlife Crime is a transnational and organized crime that has given the negative impact for
Indonesia’s ecosystem. Evolution of wildlife crime as organized crime, transnational crime,
and cyber crime makes Law No. 5 Year 1990 ineffective and has failed to combat it. This failure
is caused by the lack of criminal sanction in Law No. 5 Year 1990. In the implementation,
low of demand and verdict by prosecutor and judge couldn’t give the deterrent effect for the
1 Raynaldo Sembiring lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2012, dan
Wenni Adzkia lulus dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada tahun 2014. Keduanya
merupakan peneliti di Indonesian Center for Environmental Law, dengan fokus kajian
keanekaragaman hayati.
49
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
criminal. This paper discusses specifically about evolution of wildlife crime modus and the
failure of law enforcement. This paper also gives input to revise Law No. 5 Year 1990 for
combating wildlife crime in Indonesian context.
I. Pendahuluan
2 Negara megabiodiversity adalah negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang luar
biasa. Draf Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman
Hayati, hlm. 1. (tidak dipublikasikan)
3 Andri Santosa (ed), Konservasi Indonesia: Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan, (Bogor: Pokja
Kebijakan Konservasi - Environmental Services Program (ESP), 2009), hlm. 21.
4 USAID, Changes for Justice Project Wildlife Crime in Indonesia: A Rapid Assessment of the Current
Knowledge, Trends and Priority Actions, 2015, hlm. 14
5 Satwa liar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah satwa liar yang dilindungi sebagaimana
diatur dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa dan peraturan perundang-undangan lainnya.
6 Beberapa populasi satwa liar yang telah mengalami kepunahan misalnya Harimau Jawa dan
Harimau Bali. Lihat: Jackson, P. & Nowell, K. 2008, Panthera tigris ssp. Sondaica dan Panthera
tigris ssp. balica, The IUCN Red List of Threatened Species, Version 2014.3, <www.iucnredlist.
org>, sebagaimana dikutip Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara-Kejaksaan
Agung Republik Indonesia dalam Pedoman Penanganan Perkara terkait Satwa Liar, Januari
2015, hlm. 14.
7 Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara-Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
“Pedoman Penanganan Perkara terkait Satwa Liar”, Januari 2015, hlm. 15.
50
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
atau penurunan keanekaragaman hayati dari wildlife crime tersebut akan berdampak
pada ketersediaan pangan (food security), resiko kerusakan seluruh ekosistem, dan
kesehatan manusia.8
51
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
mencapai 1,13 juta hektar per tahun.13 Hal ini mengakibatkan tekanan terhadap
habitat satwa liar14 yang sering sekali membuat satwa liar keluar dari habitatnya
dan masuk ke pemukiman masyarakat atau areal penggunaan lain.15 Salah satu
bentuk tekanan yang saat ini masif terjadi adalah kebakaran hutan. Kebakaran pada
kawasan hutan seperti taman nasional16 yang merupakan habitat asli dan penting
bagi sejumlah satwa yang dilindungi seperti bekantan, beruang madu, owa-owa,
harimau dahan, hingga orang utan,17 tentunya memberikan dampak langsung
terhadap penurunan populasi hingga kepunahan satwa liar.
52
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Marceil Yeater juga menegaskan kembali betapa serius dan masifnya perkembangan
wildlife crime sebagai berikut: “wildlife crime including its links with other forms of crime,
is increasingly organized and a serious and growing danger for sustainable development,
global stability and international security. Wildlife crime is high profits, low risk of detection,
and low penalties (penebalan dan cetak miring dari penulis)”.21 Berdasarkan
hal tersebut, dapat dilihat bahwa kejahatan atas kehidupan liar (dalam konteks
ini kejahatan atas satwa liar) semakin terorganisasi, serius, dan berbahaya bagi
pembangunan berkelanjutan, kestabilan global, dan keamanan internasional.
Dalam pandangan penulis, pemberantasan kejahatan atas satwa liar saat ini
mengalami 2 (dua) permasalahan utama. Pertama, terkait dengan ketidakmampuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/1990) untuk mengatasi perkembangan kejahatan
atas satwa liar. Kedua, belum maksimalnya kinerja aparat penegak hukum, khususnya
jaksa dan hakim dalam penanganan kejahatan atas satwa liar. Kinerja aparat penegak
hukum yang dimaksud akan difokuskan kepada jaksa dan hakim. Alasannya, proses
persidangan dan pembuktian kejahatan atas satwa liar merupakan kewenangan jaksa
maupun hakim.
Kedua permasalahan di atas akan dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan ini.
Tulisan ini bersifat dekriptif yang disusun dengan menggunakan metodologi
yuridis-normatif. Penulis membagi tulisan ini ke dalam 4 (empat) bagian. Setelah
bagian pendahuluan, selanjutnya pada bagian kedua akan menguraikan diskursus
kebijakan hukum pidana dan perkembangan kejahatan atas satwa liar. Bagian ketiga
merupakan pendalaman dari tulisan ini yang akan menganalisis kedua pokok
(Transnasional) dan Kejahatan cyber (Cyber Crime)”, workshop paper untuk “Lokakarya
Penanganan Tindak Pidana Kehutanan”, hlm. 1-2.
21 Marceil Yeater dalam presentasi mengenai Environmental Crime in the Current International
Legal Framework: CITES yang disampaikan pada UNICRI-UNEP Conference on Environmental
Crime di Roma, 29-30 Oktober 2012.
22 USAID, Op. Cit., hlm 14
53
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
permasalahan yang diangkat terutama pada aspek regulasi dan kinerja aparat
penegak hukum. Sedangkan bagian keempat berisi kesimpulan dan saran.
e. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.24
Dalam konteks kebijakan kriminal, salah satu upaya untuk menegakan hukum
adalah melalui kebijakan hukum pidana. Kebijakan sendiri berasal dari kata policy
(Bahasa Inggris) atau politiek (Bahasa Belanda). Dalam Bahasa Indonesia, kebijakan
hukum pidana sering juga disebut sebagai politik hukum pidana.25 Politik hukum
23 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Cetakan ke-2, (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2011), hlm. 12
24 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2010), hlm 8
25 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40815/3/Chapter%20II.pdf, diakses tanggal 10
November 2015
54
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Pada tulisan ini, penulis akan menggunakan faktor hukum dan faktor penegak
hukum sebagaimana yang disampaikan Soerjono Soekanto, sebagai landasan utama
untuk menjawab dua permasalahan yang diangkat pada tulisan ini, yaitu mengenai
kelemahan UU 5/1990 dan belum maksimalnya kinerja aparat penegak hukum.
2.1 Kebijakan Hukum Pidana Penanggulangan Kejahatan atas Satwa Liar dalam
Undang-Undang No 5 Tahun 1990
Tabel 1
Kebijakan hukum pidana dalam UU 5/1990
1
Subjek tindak pidana dalam UU 5/1990 hanya
merupaka satwa yang dilindungi saja. Hal ini
disebabkan oleh pembagian status pengawetan
satwa atas satwa yang dilindungi dengan satwa
yang tidak dilindungi.
26 Barda, hlm. 26
27 Barda, hlm. 27
28 Indonesia, Pasal 11, Undang-Undang No 5 Tahun 1990
29 Indonesia, Pasal 26, Undang-Undang No 5 Tahun 1990
55
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
2 Barang siapa yang sengaja melanggar Pasal Barang siapa sengaja melanggar
21 ayat (2) diancam pidana penjara paling lama Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ayat (1) diancam pidana penjara
100.000.000 (seratus juta rupiah). paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak Rp 200.000.000
Pasal 21 ayat (2) menyatakan bahwa setiap (dua ratus juta rupiah).1
orang dilarang untuk:
Adapun Pasal 19 ayat
a. menangkap, melukai, membunuh, (1) menyatakan bahwa
menyimpan, memiliki, memelihara, setiap orang dilarang untuk
mengangkut, dan memperniagakan satwa melakukan kegiatan yang dapat
yang dilindungi dalam keadaan hidup; mengakibatkan perubahan
b. menyimpan, memiliki, memelihara, terhadap keutuhan kawasan
mengangkut, dan meperniagakan satwa suaka alam.
yang dilindungi dalam keadaan mati; Sedangkan Pasal 33 ayat (1)
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari menyatakan bahwa setiap orang
suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dilarang melakukan kegiatan
dalam atau di luar Indonesia; yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki zona inti taman nasional.
kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa
yang dilindungi atau barang-barang yang
dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut
atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di
luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan,
memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan/atau sarang satwa yang
dilindungi.
3 Apabila Pasal 21 ayat (2) dilakukan karena Apabila Pasal 19 ayat (1) dan
kelalaian, maka diancam dengan pidana Pasal 33 ayat (1) dilakukan
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda karena kelalaian, maka diancam
paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta dengan pidana kurungan paling
rupiah).2 lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp 50.000.000
(lima puluh juta rupiah).3
Pada tabel di atas terlihat bahwa pendekatan kebijakan hukum pidana untuk
menanggulangi kejahatan atas satwa tidak hanya ditujukan langsung terhadap
pelindungan bagi satwa yang dilindungi tetapi pelindungan juga dilakukan terhadap
habitat atau ekosistem dimana satwa tersebut berada. Sistem pemidanaan yang dianut
UU 5/1990 juga adalah pidana maksimum. Selain itu, UU 5/1990 membagi tindak
pidana atas kejahatan dan pelanggaran berdasarkan kesengajaan dan kelalaian, yang
akhirnya berimplikasi pada lebih ringannya ancaman pidana terhadap tindakan
yang dikategorikan pelanggaran (lihat no. 3 dalam tabel 1) dibandingkan tindak
pidana yang dikategorikan kejahatan (lihat no. 2 dalam tabel 1).
56
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
30 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 159
31 Ibid, hlm. 177
32 Konsep pemidanaan dengan pendekatan ekonomi telah dikenal dalam kebijakan non penal
untuk penanggulangan tindak pidana perpajakan
33 T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, (Yogyakarta: Genta 2015), hlm.
156
57
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
Sebagai suatu sistem, keempat elemen tersebut harus bekerja sama untuk dapat
meningkatkan efektivitas penanggulangan kejahatan. Dalam pandangan penulis,
kejaksaan dan pengadilan memiliki peranan penting untuk memberikan suatu efek
pencegahan melalui penjatuhan pidana. Dakwaan dan tuntutan yang diajukan oleh
penuntut umum akan berpengaruh terhadap putusan yang akan diberikan oleh
hakim. Dengan adanya penjatuhan pidana, diharapkan akan memberikan rasa
takut bagi masyarakat lain untuk tidak melakukan kejahatan atas satwa liar di masa
depan. Oleh karena itu, penulis hanya akan menguraikan lebih lanjut bagaimana
implementasi dari peran jaksa dan hakim dalam memberikan efek jera terhadap
kejahatan atas satwa pada bagian ketiga.
Kejahatan atas satwa liar berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Pada
perkembangannya, kejahatan atas satwa liar saat ini bukanlah kejahatan yang berdiri
sendiri melainkan merupakan kejahatan terorganisasi (organized crime), lintas negara
(transnational crime) yang berbasis elektronik (cyber crime). Dalam konteks perdagangan
satwa liar, dapat diidentifikasi beberapa kualifikasi peran yang dilakukan pihak-pihak
yang terlibat dalam kejahatan atas satwa liar, yaitu pemburu, penadah/ pengepul,
bandar, dan pemodal/ cukong.34
1. perdagangan atas satwa liar sebagai bentuk dan dimensi baru dari kejahatan
transnasional yang terorganisasi;35
2. perdagangan atas satwa liar merupakan bentuk dan dimensi baru dari kejahatan
yang terorganisasi;36
34 Ibid.
35 Poin 16 Resolusi 6/I Ensuring effective implementation of the UNCTOC and the
Protocols of Thereto,< https://www.unodc.org/documents/middleeastandnorthafrica/
organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_AGAINST_TRANSNATIONAL_
ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_THERETO.pdf>.
36 Poin 88 Other Serious Crime, as defined in the Convention, including new forms and
dimensions of transnational organized crime,< https://www.unodc.org/documents/
middleeastandnorthafrica/organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_
58
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
3. perdagangan atas satwa liar dikaitkan dengan korupsi dan pembangunan yang
tidak merata;37
Contoh kasus kejahatan transnasional atas satwa liar yang terorganisasi adalah
penyelundupan satwa liar yang dilakukan oleh sindikat luar negeri. Salah satu kasus
yang berhasil digagalkan adalah penyelundupan ratusan satwa ke Kuwait melalui
Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 5 Juni 2014. Satwa yang diselundupkan
tersebut adalah seekor orang utan, empat ekor siamang (dua diantaranya mati), tiga
ekor owa Jawa, tiga ekor kakak tua raja (1 mati), satu ekor kukang, 97 ekor ular
AGAINST_TRANSNATIONAL_ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_
THERETO.pdf>.
37 Angka 93 Other Serious Crime, <as defined in the Convention, including new forms and
dimensions of transnational organized crime,< https://www.unodc.org/documents/
middleeastandnorthafrica/organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_
AGAINST_TRANSNATIONAL_ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_
THERETO.pdf>
38 Indonesia telah meratifikasi UNTOC melalui Undang-Undang No 5 Tahun 2009 tentang
Pengesahan United Nation Conventions Against Transnational Organized Crime (Konvensi
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
39 United Nations Office on Drugs and Crime. United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime and the Protocols Thereto, https://www.unodc.org/documents/
middleeastandnorthafrica/organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_
AGAINST_TRANSNATIONAL_ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_
THERETO.pdf, (terjemahan bebas dari penulis).
59
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
Data WCU dari tahun 2010-2015 pada diagram di bawah menunjukan bahwa
kejahatan dengan menggunakan komputer dan internet merupakan jenis kejahatan
tertinggi diantara jenis kejahatan lainnya terhadap satwa liar di Indonesia:42
(Sumber: Wildlife Crime Unit-Wildlife Conservation Society, Data Kasus 2003- Agustus 2015)
Salah satu contoh kasus perdagangan online satwa liar adalah kasus jaringan
penjualan satwa dilindungi melalui laman www.bariyadi.blogspot.com. Jaringan
ini terdiri atas tiga orang yang masing-masing berperan sebagai pencari satwa,
40 Eko Widianto, Perdagangan satwa libatkan sindikat luar negeri, diakses melalui <http://
nasional.tempo.co/read/news/2014/08/05/206597517/perdagangan-satwa-libatkan-
sindikat-luar-negeri>.
41 Wildlife Crime Unit-Wildlife Conservation Society Indonesia Program, Data Kasus Kejahatan
atas Satwa, 2015.
42 Ibid
60
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
perantara pembeli, dan pembuat blog atau laman sekaligus penjual.43 Sebelumnya
pada tahun 2011 di Grogol juga dilakukan penangkapan jaringan (kelompok besar)
penjualan satwa liar yang menggunakan internet.44
Bagian ketiga pada tulisan ini akan memaparkan analisis mengenai peran UU
5/1990 dan catatan atas kinerja hakim dan jaksa dalam memberantas kejahatan atas
satwa liar.
Pada bagian kedua telah diuraikan bahwa kejahatan atas satwa liar mengalami
perkembangan yang pesat dikarenakan semakin terorganisasinya kejahatan atas
satwa liar, adanya kaitan kejahatan atas satwa liar dengan tindak pidana lainnya
seperti korupsi dan pencucian uang, serta perkembangan modus tindak pidana
kejahatan atas satwa seperti penjualan online. Pada bagian ini, penulis akan menelaah
kebijakan hukum pidana UU 5/1990 dari sisi: (1) objek yang dilindungi dalam
kebijakan hukum pidana UU 5/1990; (2) konsep, jenis, dan sistem pemidanaan; (3)
penyesuaian nilai pidana denda; dan (4) peraturan turunan yang diamanatkan oleh
UU 5/1990 dalam kaitannya dengan perkembangan atas satwa liar.
43 Mohammad Syarrafah, Polisi Bongkar Jaringan Penjualan Satwa Langka via Internet, diakses
terakhir melalui http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/13/058642335/polisi-
bongkar-jaringan-penjualan-satwa-langka-via-internet
44 http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2012/08/120815_perdaganganilegal_
harimau_sumatra diakses tanggal 25 November 2015.
45 Lihat Pasal 14 UU 5/1990, kawasan suaka alam yang dimaksud disini adalah cagar alam dan
suaka marga satwa.
61
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
tidak ada aturan mengenai bagaimana pemanfaatan dari satwa yang tidak
dilindungi, kecuali jika satwa terebut berada pada kawasan yang dilindungi.
Pidana pokok dalam UU 5/1990 terdiri atas pidana penjara dan pidana
denda. Pembagian jenis pidana seperti ini terkesan menganut teori pembalasan.
Padahal perkembangan konsep pemidanaan saat ini tidak semata-mata kepada
pembalasan, misalnya terlihat pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP).
62
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
tentu semua orang akan berpendapat bahwa kejahatan atas satwa liar
merupakan suatu kejahatan, sehingga pelaku maupun masyarakat (umum)
di sekitar pelaku belum tentu merasa memiliki kepentingan yang sama untuk
menanggulangi kejahatan atas satwa liar. Menurut penulis, selain memperkuat
ancaman pidana dalam UU 5/1990, konsep pemidanaan dalam UU 5/1990
harus mampu menjawab tujuan dari pemidanaan pelaku kejahatan atas satwa
liar, yaitu agar pelaku tidak melakukan kembali perbuatannya dan masyarakat
lainnya tidak melakukan kejahatan atas satwa liar. Contoh untuk hal ini adalah
pada kasus kejahatan atas satwa liar tertentu47 sebaiknya diberikan tambahan
pidana kerja sosial seperti ikut melakukan kampanye anti-kejahatan atas satwa
liar, membantu membersihkan kandang-kandang pada lembaga konservasi,
dan pidana lainnya yang dianggap lebih memberikan efek jera.
47 Kejahatan atas satwa liar tertentu disini penulis tujukan untuk kondisi tertentu seperti pelaku
baru pertama kali melakukan kejahatan, tidak terlibat dalam kejahatan terorganisasi, dan
tujuannya adalah untuk hobi atau kesenangan
48 Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, Hasil Pemantauan dan Data
Rekapitulasi 2012-2014
63
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
Tabel 2
Biaya perawatan orang utan dan badak
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa biaya perawatan untuk orangutan,
badak Sumatera, serta Badak Jawa tidaklah sedikit. Biaya tersebut belum
termasuk biaya penggantian habitat satwa tersebut karena tidak sedikit habitat
satwa liar tersebut dirusak untuk alasan pembangunan. Pidana denda yang
diberikan seharusnya dapat mengganti nilai kerugian ekologis dari kejahatan
atas satwa liar.
49 Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan: Jenis Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta,
Kanisius-2007), hlm. 244
64
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
b. pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di
luar negeri dengan izin Pemerintah; dan
Sampai dengan saat ini belum ada peraturan pemerintah atau peraturan
lainnya yang mengatur secara jelas mengenai ketentuan pengecualian
larangan yang telah disebutkan di atas. Salah satu contohnya adalah mengenai
kebolehan untuk menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi
karena dianggap membahayakan kehidupan manusia. Tentunya hal ini akan
memunculkan pertanyaan: bagaimana menafsirkan suatu sebab satwa tersebut
membahayakan kehidupan manusia? Bagaimana jika ditarik suatu kausalitas
bahwa manusia mengganggu habitat satwa liar tersebut sehingga satwa tersebut
akhirnya membahayakan kehidupan manusia? Pada prakteknya tidak sedikit
terjadi kasus pembunuhan satwa liar dianggap membahayakan kehidupan
manusia, seperti pembunuhan orangutan di Desa Menjalin50 atau pembunuhan
beruang madu di Kabupaten Rokan Hulu.51
Kinerja aparat penegak hukum khususnya jaksa dan hakim dalam memberantas
kejahatan atas satwa liar menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Sampai
dengan saat ini, tidak banyak penelitian yang menelaah baik tuntutan jaksa
maupun putusan hakim pada kejahatan atas satwa liar. Padahal jika mengacu
kepada teori sistem peradilan pidana, yang merupakan sistem dalam masyarakat
untuk menanggulangi masalah kejahatan,52 lembaga kejaksaan maupun lembaga
pengadilan merupakan faktor penting yang harus dikritisi kinerjanya.
50 http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/131798-ganggu-kebun-warga-bantai-orang-
utan.html, diakses tanggal 26 November 2015
51 http://riauterkini.com/hukum.php?arr=88802&judul=Seekor%20Beruang%20Madu%20
Dibunuh%20Warga%20Rohul,%20Taring%20dan%20Kukunya%20Hilang, diakses tanggal
26 November 2015
52 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan
Kejahatan), sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 3.
65
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
2) Sekitar 80% terdakwa berpendidikan rendah (mulai dari tidak lulus SD sampai
dengan pendidikan terakhir SMA);
3) Perkara dengan terdakwa pegawai negeri sipil (PNS) diberikan sanksi lebih
berat dibandingkan terdakwa dengan profesi supir, petani, nelayan, dan pelajar
dengan pidana kurungan 4-8 bulan dan denda 10-20 juta rupiah;
5) Putusan pidana badan paling berat adalah penjara 1 tahun 6 bulan, pada kasus
perdagangan 53 (lima puluh tiga) moncong hiu dan 17 (tujuh belas) ekor penyu;
6) Putusan pidana denda paling berat sebesar 100 juta rupiah, pada kasus
penyeludupan 16 (enam belas) ekor penyu yang diputus oleh Pengadilan
Negeri Denpasar;
7) Ratio tuntutan jaksa dengan putusan hakim terkait pidana badan adalah 3:2;
8) Ratio tuntutan jaksa dengan putusan hakim terkait pidana denda adalah 2:1;
1) Sebagian besar pelaku kejahatan yang diproses hukum adalah pelaku lapangan
dengan tingkat pendidikan rendah.
53 Rapat kerja teknis telaah putusan perkara lingkungan hidup tugas Kelompok Kerja
Lingkungan Hidup Nasional tanggal 10-12 Agustus 2015 di Bogor. Rapat ini membahas
putusan lingkungan hidup dan sumber daya alam berdasarkan data yang dihimpun dari
pengadilan di seluruh Indonesia dalam periode 2013-2015. Salah satu bidang putusan yang
dibahas adalah putusan tindak pidana satwa liar.
66
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
4) Putusan pengadilan telah memberikan sanksi yang lebih berat kepada terdakwa
yang berprofesi sebagai PNS dan yang melakukan penyertaan.
67
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
IV. Kesimpulan
Jika beberapa poin di atas diakomodir, tentunya akan memberikan opsi bagi para
penegak hukum untuk dapat mengoptimalkan pemberantasan kejahatan atas satwa
liar. Secara tidak langsung pembenahan terhadap faktor hukum akan memberikan
dorongan bagi perubahan kinerja penegak hukum. Selain itu, peningkatan kapasitas
bagi para penegak hukum, khususnya jaksa dan hakim juga penting dilakukan
untuk memberikan pemahaman baru dalam menyikapi perkembangan kejahatan
atas satwa liar.
68
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Daftar Pustaka
Buku:
Arief, Barda Nawawi. 2014. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Prenada
Media Group.
Atmasasmita, Romli. 2011. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Farida, Maria. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta:
Kanisius.
Ferrera, Gerald R. et.al. 2001. Cyber Law. United States: West Thompson Learning.
Gunawan, T.J. 2015. Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi. Yogyakarta:
Genta.
Rahardjo, Satjipto. 2011. Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Cetakan ke-2.
Yogyakarta: Genta Publishing.
Santosa, Andri (ed). 2009. Konservasi Indonesia: Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan.
Bogor: Pokja Kebijakan Konservasi - Environmental Services Program (ESP).
Utrecht. 1986. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Pustaka Tinta Mas.
Peraturan Perundang-undangan
69
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
Dokumen Lain
h t t p :/ /w ww. b b c. com/ i n d on e si a/ b e r i t a _i n do n e si a /2 0 1 2/ 08 / 12 0 8 15 _
perdaganganilegal_harimau_sumatra
http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/131798-ganggu-kebun-warga-bantai-
orang-utan.html, tanggal 26 November 2015.
http://www.mongabay.co.id/2012/10/17/tiga-orangutan-jalani-rehabilitasi-
pihak-perusahaan-tidak-bertanggung-jawab/.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40815/3/Chapter%20II.pdf,
diakses tanggal 10 November 2015.
http://riauterkini.com/hukum.php?arr=88802&judul=Seekor%20Beruang%20
Madu%20Dibunuh%20Warga%20Rohul,%20Taring%20dan%20Kukunya%20
Hilang.
70
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Okezone. 2013. “Setiap Tahun, Biaya Perawatan Andatu Hampir Rp 300 Juta”.
http://news.okezone.com/read/2013/02/11/345/759776/setiap-tahun-
biaya-perawatan-andatu-hampir-rp300-juta, diakses tanggal 8 November 2015.
Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara Kejaksaan Agung Republik
Indonesia. 2015. Pedoman Penanganan Perkara terkait Satwa Liar.
United Nations Convention against Transnational Organized Crime and the Protocols
Thereto. <https://www.unodc.org/documents/middleeastandnorthafrica/
organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_AGAINST_
TRANSNATIONAL_ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_
THERETO.pdf>
United Nations Office on Drugs and Crime. Sixth United Nations Congress on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, https://www.unodc.
org/documents/congress//Previous_Congresses/6th_Congress_1980/025_
ACONF.87.14.Rev.1_Sixth_United_Nations_Congress_on_the_Prevention_of_
Crime_and_the_Treatment_of_Offenders.pdf, diakses tanggal 6 November
2015.
71
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA
United Nations Office on Drugs and Crime. United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime and the Protocols Thereto, https://www.
unodc.org/documents/middleeastandnorthafrica/organised-crime/
UNITED_NATIONS_CONVENTION_AGAINST_TRANSNATIONAL_
ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_THERETO.pdf, diakses
tanggal 4 November 2015.
USAID. Changes for Justice Project Wildlife Crime in Indonesia: A Rapid Assessment of the
Current Knowledge, Trends and Priority Actions. 2015.
Wildlife Crime Unit –Wildlife Conservation Society. Data Kasus Kejahatan Atas
Satwa 2003-2015.
72
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
P Perlindungan
erlindungan HHukum Terhadap
ukum T erhadap Terumbu
T erumbu Karang
K arang
T aman
di di TamanNNasional
asional TTaka
aka B onerate(TNT)
Bonerate (TNT)
Abstrak
Taman Nasional Taka Bonerate (TNT) adalah taman laut dengan kawasan atol
terbesar ketiga di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva
di Kepulauan Maladewa. Luas total dari atol ini 220.000 hektare dengan sebaran
terumbu karang mencapai 500 km². Terdapat sekitar 295 jenis ikan karang dan
berbagai jenis ikan bernilai ekonomis tinggi seperti Kerapu (Epinephelus spp.), Ikan
Naopoleon (Cheilinus undulatus), dan Baronang (Siganus sp). Sebanyak 244 jenis
moluska di antaranya Lola (Trochus niloticus), Kerang Kepala Kambing (Cassis
cornuta), Triton (Charonia tritonis), Batulaga (Turbo spp.). Penelitian ini bertujuan
memberikan perlindungan hukum terhadap ekosistem terumbu karang di TNT.
Metode peneltian bersifat normatif-kuantitatif. Penelitian ini menunjukan bahwa
status sebagai Taman Nasional belum memberikan perlindungan hukum yang
kuat terhadap Taka Bonerate. Diperlukan payung hukum yang lebih konkrit untuk
melindungi ekosistem terumbu karangnya.
Abstract
Taka Bonerate National Park is a marine park with the region’s third largest atoll in the world
after Kwajifein Suvadiva in the Marshall Islands and the Maldives Islands. The total area of
the atoll is 220,000 hectares with coral reefs spreading up to 500 km². There are about 295
species of reef fish and various types of high-value fish such as grouper (Epinephelus spp.),
Napoleon fish (Cheilinus undulatus), and Baronang (Siganus sp). A total of 244 species of
molluscs in between Lola (Trochus niloticus), Shells Goats Head (Cassis cornuta), Triton
(Charonia tritonis), Batulaga (Turbo spp.). This study aims at providing legal protection
for biodiversity in the National Park Takabonerate. Other research methods are normative-
quantitative. This study shows that the status as a national park not provide strong
73
ZULKIFLI ASPAN
legal protection against Takabonerate. Required more concrete legal basis for protecting
biodiversity.
I. Pendahuluan
Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 19452 menegaskan negara sebagai pemegang “kuasa
pengelolaan sumberdaya alam.” Sebagai pemegang kuasa, negara diwajibkan oleh
konstitusi untuk menggunakan kuasa tersebut sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat. Paradigma negara kesejahteraan yang menjadi ‘nafas’ pasal tersebut
semestinya dibarengi dengan tersedianya perangkat hukum (legal instrument) yang
berpihak pada kepentingan rakyat secara luas.
Salah satu habitat ekosistem laut adalah terumbu karang. Hasil penelitian Pusat
Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat,
hingga 2013 pada 1.135 stasiun menunjukkan bahwa sebesar 30,4 persen kondisi
terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan atau kurang baik. Hanya
sebesar 5,29 persen dalam kondisi sangat baik, sebesar 27,14 persen masih dalam
kondisi baik, dan sebesar 37,18 persen dalam kondisi cukup.4
2 Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
3 Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut; Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu
Karang Tahap II (COREMAP II), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2006, hlm 1.
4 LIPI, 30,4% Terumbu Karang Rusak, sumber: http://kependudukan.lipi.go.id/id/berita/
liputan-media/146-lipi-30-4-persen-terumbu-karang-rusak data akses 26 Oktober 2015.
5 COREMAP II, op.cit.
74
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
KKL merupakan wilayah perairan laut termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil
yang mencakup tumbuhan dan hewan di dalamnya, dan/atau termasuk bukti
peninggalan sejarah dan sosial budaya di bawahnya, yang dilindungi secara hukum
atau cara lain yang efektif baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah
tersebut. Di daerah tersebut diatur zona-zona untuk mengatur kegiatan yang dapat
dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan
minyak dan gas bumi, perlindungan ikan, biota laut dan ekologinya untuk menjamin
perlidungan yang lebih baik.6
75
ZULKIFLI ASPAN
bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan daerah setempat yang diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah tersebut.10
(Sulsel), masuk dalam kategori rusak parah, sedang 36 persen lainnya dalam
kondisi kritis. Kerusakan yang terjadi itu tidak hanya pada kawasan terumbu karang
yang secara formal dilindungi seperti TNT di Kabupaten Selayar, tetapi juga hampir
menyeluruh di pesisir Sulsel mulai dari sebelah Selatan hingga ke Teluk Bone di
pantai Timur Sulsel.12
10 Ibid.
11 Sudirman, “Warning Atas Kerusakan Hutan Bawah Laut”, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Unhas (tanpa tahun), hlm 1.
12 Coremap.or.id., 40% Terumbu Karang Sulsel Rusak Parah, sumber: http://regional.
coremap.or.id/print/article.php?id=542 diakses dari http://www.kompas.com/ver1/
Iptek/0709/10/174020.htm, data diakses pada hari Minggu 18/10/2015 pukul 14.00 WITA.
13 Kompas, Sebagian Terumbu Karang Taka Bonerate Telah Mati, sumber: http://bisniskeuangan.
kompas.com/read/2009/10/27/07414877/Sebagian.Terumbu.Karang.Takabonerate.Telah.
Mati data diakses pada hari Minggu 18/10/2015 pukul 14.00 wita.
76
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
77
ZULKIFLI ASPAN
laut dan perairan mutlak diperlukan untuk menjawab tantangan kebutuhan jangka
panjang.
II. Pembahasan
Tulisan ini bersandar pada teori besar tentang perlindungan hukum (legal
protection), dengan meletakkan prinsip kewajiban Negara (state obligation) untuk
melaksanakan perlindungan hukum itu. Pertama, tak ada janji tanpa kewajiban.
Seluruh deklarasi dan perjanjian internasional selalu mengandung prinsip
kewajiban negara. Kedua, dasar kewajiban negara diletakan karena subyek hukum
dalam perjanjian internasional adalah negara, sama sekali bukan individu atau
badan lainnya. Kewajiban ini tidaklah diajukan kepada perorangan, karena setiap
orang bukanlah subyek hukum dalam perjanjian yang dimaksud. Ketiga, tak ada
kewajiban tanpa tanggungjawab. Peletakan prinsip state obligation tentu saja
bertalian pula dengan tanggungjawab negara (state responsibility). Konsistensi
dari seluruh rangkaian disepakatinya perjanjian dan pelaksanaan kewajiban
selalu menuntut tanggungjawab sebagai pasangan yang logisnya. Jika negara
gagal atau lalai menunaikan janji dan kewajibannya, maka kepada negara pulalah
dituntut tanggungjawabnya. Keempat, sebagai pihak yang berjanji, negara bukan
saja selalu berpotensi, tetapi secara faktual mengingkari atau melanggar janjinya
sendiri. Atas pengingkaran atau pelanggaran ini pula, negara-negara dituntut
tanggungjawabnya.17
78
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
20 Indonesia, Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU
No. 5 Tahun 1990, LN Tahun 1990 No. 49.
79
ZULKIFLI ASPAN
80
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Dalam hukum internasional, dikenal asas pacta sun servanda, yang mengikat
secara hukum dan memberikan kewajiban bagi negara-negara untuk mematuhi
dan mengimplementasikan dalam hukum nasional. Atas dasar itulah, sebagai
negara kepulauan yang sangat berkepentingan dalam upaya perlindungan
laut dan perairan disekitarnya, Indonesia wajib mematuhi dan melaksanakan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam konvensi internasional tersebut. Dalam
konteks itu, keberadaan UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
dan PP Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut, penulis pandang sudah menjadi sikap Indonesia terhadap
konvensi tersebut.
81
ZULKIFLI ASPAN
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan. dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.”
Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga menjadi isu utama
dalam undang-undang ini. Tujuan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil: pertama, menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kedua, melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain. Ketiga, melindungi
habitat biota laut. Keempat, melindungi situs budaya tradisional.
25 Pasal 4 UU WP3K
26 Pengertian HP3 dalam UU ini adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir
untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom
air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
27 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.
82
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
83
ZULKIFLI ASPAN
Selain itu, HP-3 dalam UU No 27 Tahun 2007 yang telah dibatalkan oleh
MK, oleh UU No 1 Tahun 2014 berganti menjadi izin lokasi. Termuat dalam
Pasal 16:
84
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
(1) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan
Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib
memiliki Izin Lokasi.
(2) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian
Izin Pengelolaan.”
Jika dilacak, izin lokasi dalam undang-undang ini merujuk pada Izin
Lingkungan29 sebagaimana termuat dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Presiden
No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Beberapa perubahan Pasal dalam UU No 1 Tahun 2014 menandakan
jika pemerintah pusat terlibat lebih aktif, salah satunya dalam penerapan
rencana zonasi, agar tidak terjadi manipulasi perizinan zonasi yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum negatif.
29 Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/
atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
30 Republika, WALHI Tolak Pengerukan Pasir untuk Teluk Benoa, sumber: http://nasional.
republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/03/26/nlgihj-walhi-tolak-pengerukan-pasir-
untuk-teluk-benoa. Lihat juga: Republika, Gubernur Jatim Didesak Tolak Izin Pengerukan
Pasir Pesisir Banyuwangi, sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/
umum/15/04/08/nmhwrp-gubernur-jatim-didesak-tolak-izin-pengerukan-pasir-pesisir-
banyuwangi, data akses pada Kamis 26 Nov 2015 pukul 15.30 wita.
31 Kompas, Aktivis Tolak Rencana Reklamasi 4.000 Ha, http://print.kompas.com/
baca/2015/08/21/Aktivis-Tolak-Rencana-Reklamasi-4-000-Hektar data akses pada Kamis 26
Nov 2015 pukul 15.30 wita.
85
ZULKIFLI ASPAN
86
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
UUPPLH ini juga memuat lebih lengkap asas-asas yang berkaitan dengan
lingkungan hidup. Seperti disebutkan dalam Pasal 2, bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: tanggung
jawab negara, kelestarian dan keberlanjutan, keterpaduan, manfaat, kehati-
hatian, keadilan, ekoregion, keanekaragaman hayati, pencemar membayar,
partisipatif, kearifan lokal, dan tata kelola pemerintahan yang baik.
87
ZULKIFLI ASPAN
40 Lebih jelasnya lihat point Y Pembagian Urusan Bidang Kelautan dan Perikanan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam Lampiran UU No 23 Tahun 2014 hlm 102.
88
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.” Jadi isu pesisir dan pulau-pulau
kecil menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah daerah dan pemerintah
pusat. Hal ini selaras dengan Pasal 1 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil yang memberikan tanggungjawab kepada pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam pelestarian lingkungan dan ekosistem pesisir dan pulau-
pulau kecil.
89
ZULKIFLI ASPAN
90
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
III. Simpulan
91
ZULKIFLI ASPAN
Tahun 2014), serta UU Pemda No 23 Tahun 2014, khusus menyangkut isu kelautan.
Hal ini penting agar ada harmonisasi dan keselarasan antara peraturan perundang-
undangan di tingkat pusat dan daerah.
92
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia (a). Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1990, LN Tahun 1990 No. 49.
93
ZULKIFLI ASPAN
Buku
Asep Sugiharta (Kepala Unit Pengelolaan Taman Nasional Taka Bonerate). “Prospek
dan Kontribusi Taman Nasional Taka Bonrate Terhadap pembangunan Daerah”,
Disampaikan dalam Pertemuan Regional Pengelolaan Taman Nasional
Kawasan Timur Indonesia, Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional,
Manado, 24-27 Agustus 1999.
Sudirman, Warning Atas Kerusakan Hutan Bawah Laut, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Unhas (tanpa tahun).
Menggugat Negara: Rasionalitas Demokrasi, HAM dan Kebebasan. Jakarta: PBHI dan
European Union (UE), 2005.
Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut; Program Rehabilitasi dan Pengelolaan
Terumbu Karang Tahap II (COREMAP II), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2006.
94
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
H Hak
ak B Biokultural M asyarakat
iokultural Masyarakat
DDalam
alam KKebijakan
ebijakan KKonservasi S umber Daya
onservasi Sumber D ayaHayati
H ayati
Rika Fajrini1
Abstrak
Abstract
This paper will discuss about the development of biocultural right in international
environmental law and how Indonesia policy and law on conservation accomodates
communities biocultural right. This research found that biocultural right have been
recognized in several international law instrument and jurisprudence. Meanwhile, Indonesia
law and policy on conservation also have acknowledge biocultural right which is usually
associated with the term of local wisdom and customary right, However, improvement is still
needed in term of translating this regulation into concrete action and system of conservation
management. The current policy conservation centered around state as the main actor, this
situation make the conservation based on community’s stewardship is neglected.
1 Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan di Universitas Kyoto, Jepang. Mendapatkan gelar
Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia.
95
RIKA FAJRINI
I. Pendahuluan
96
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
alam sekitar. Komunitas yang secara historis telah berinteraksi dengan lingkungan
dan merupakan pihak yang paling terdampak langsung ini merupakan stakeholder
penting dalam pembuatan keputusan terkait konservasi. Sudah seharusnya
konservasi keanekaragaman hayati juga mempertimbangan keanekaragaman
budaya sekitar. Kebijakan konservasi yang justru memutus hubungan kultural
masyarakat dengan alamnya akan menerima resistensi tinggi dan berdampak pada
pencapaian tujuan konservasi itu sendiri. Penghargaan terhadap hubungan kultural
ini melahirkan hak biokultural masyarakat sebagai pengampu lingkungannya.
Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai perkembangan konsep hak
biokultural serta sejauh mana hak biokultural ini diakomodasi dalam hukum dan
kebijakan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Secara singkat hak biokultural dapat diartikan sebagai hak yang berasal dari
hubungan antara komunitas dengan lingkungannya. Hak biokultural ini diperlukan
agar komunitas dapat menjalankan perannya sebagai pengampu ekosistem dan
sumber daya alam. Peran pengampuan terintegrasi dalam cara hidup komunitas
dimana identitas, budaya, spiritualitas, sistem pengelolaan dan penghidupan
tradisional tidak lepas dari lingkungan ekosistem mereka. Hubungan komunitas
dengan alamnya ini lebih pada tugas pengampuan (custodian/stewardship) dibanding
wujud kepemilikan atas objek. Hak biokultural berbeda dengan hak properti lain
yang memandang alam sebagai objek ekonomi yang dapat dijadikan komoditas,
dipindahtangankan dan divaluasi dengan uang.5
5 Kabir Sanjay Bavikatte, Environmental Law as Political Ecology : The Roots of Biocultural Rights,
diunduh dari http://dlc.dlib.indiana.edu/dlc/bitstream/handle/10535/7275/1220.
pdf?sequence=1 pada tanggal 29 Oktober 2015.
97
RIKA FAJRINI
sebagai seperangkat hak adat yang mencakup baik hak atas wilayah ekosistem
beserta sumber daya alam dan sumber daya budaya mereka (budaya, spiritualitas,
manifestasi agama, pengetahuan dan teknologi tradisional) dengan kesadaran penuh
bahwa kedua hal ini sangat terkait dan tidak terpisahkan.6 Namun Penulis sepakat
dengan pendapat Bavikatte (2015) bahwa meskipun hak biokultural berkembang
dalam gerakan hak masyarakat adat, tetapi klaim atas hak biokultural hendaklah
tidak dibatasi bagi masyarakat adat saja. Masyarakat setempat dan komunitas lokal
yang memiliki keterikatan dengan alam dan sumber daya hayatinya juga dapat
dikatakan memiliki hak ini. Membatasi hak biokultural sebagai hak kolektif dari
masyarakat adat saja akan menegasikan keberadaan kearifan lokal dalam komunitas
yang belum tentu memenuhi kriteria masyarakat adat, ditambah lagi belum ada
kesepakatan umum mengenai apa saja kriteria masyarakat adat tersebut. Seperti
contoh masyarakat pendatang Bugis dan Makassar di sekitar Taman Nasional
Kutai akan kesulitan mengklaim hak biokulturalnya jika harus membuktikan
bahwa mereka adalah masyarakat adat asli di daerah tersebut.7 Hak petani (farmer
rights)8 dan hak penggembala (pastoralist rights)9 juga bisa dikategorikan sebagai hak
biokultural. Di Jepang, hak biokultural ini dikembangkan dalam bentuk manajemen
satoyama dan satoumi yang mengedepankan simbiosis mutualisme antara manusia
dengan alam sekitarnya.10
6 Chen, C. , Gilmore, M, Biocultural Rights: A New Paradigm for Protecting Natural and Cultural
Resources of Indigenous Communities dalam The International Indigenous Policy Journal Vol 6
Issue 3, (Scholarship Western:2015), hlm. 8-10. Artikel dapat diunduh di http://ir.lib.uwo.ca/
cgi/viewcontent.cgi?article=1205&context=iipj
7 Gelombang kedatangan orang Bugis ke Sangkima (wilayah yang masuk dalam kawasan Taman
Nasional Kutai) bermula dari hadirnya Datuk Solong bersama dua anaknya Dato La Talana
dan Dato La Dolomong pada tahun 1922. Lihat Semiarto Aji Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak
Masyarakat Setempat dan Pembangunan Regional dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 29, No.3,
2005, hlm. 281-283
8 Hak petani (farmer rights) disini adalah hak yang diakui dalam International Treaty of Plant
Genetic Resource for Food and Agriculture (ITPGRFA) dimana hak ini lahir dari rekognisi
kontribusi mereka terhadap konservasi sumber daya genetik tanaman pangan. Hak petani ini
dapat mencakup hak untuk menyimpan, menggunakan, saling menukar dan menjual bibit
yang dikembangkannya, perlindungan atas pengetahuan tradisionalnya, partisipasi dalam
pembuatan keputusan serta mendapat pembagian keuntungan yang adil atas pemanfaatan
bibit yang dikembangkannya. Lihat Farmers’ Rights in the International Treaty on Plant Genetic
Resources for Food and Agriculture artikel dapat diunduh di http://www.farmersrights.org/
about/fr_in_itpgrfa.html
9 Hak Pastoralist mungkin tidak begitu terkenal di Indonesia sebagai daerah hutan hujan
tropis. Pastoralist adalah komunitas yang hidup dengan menggembalakan ternak-ternak,
biasanya komunitas ini terdapat di daerah-daerah kering yang sulit ditumbuhi tanaman
seperti Afrika. Pastoralist sebagian besar hidup nomaden, mereka memiliki pemahaman
unik tentang ekosistem sekelilingnya yang digunakan dalam managemen ternak dan lahan
merumput bagi ternak-ternaknya.
10 Satoyama adalah lanskap socio-ekologis dari sebuah ekosistem darat, sato secara harfiah berarti
“manusia” dan yama secara harfiah berarti hutan. Sementara Satoumi adalah lanskap socio-
98
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
ecologis dari sebuah ekosistem laut, sato secara harfiah berarti “manusia” dan umi secara harfiah
berarti manusia.
11 Tragedy of The Common menjelaskan bahwa ketiadaan hak milik yang jelas atas sumber
daya milik bersama akan memicu eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya tersebut,
karena pengguna tidak dibebani biaya apapun untuk memanfaatkannya. Garret Hardin
mengilustrasikan teori tragedy of the common ini dengan kisah padang rumput yang rusak
karena eksploitasi berlebihan karena tidak ada biaya apapun yang harus dikeluarkan
penggembala untuk merumput di padang tersebut, alhasil setiap penggembala secara
rasional akan menambah jumlah ternaknya untuk merumput disana guna memaksimalkan
keuntungan. Lihat Garret Hardin, The Tragedy of The Commons, dalam jurnal Science New
Series Vol 162, (American Association for the Advancement of Science, 1968) hlm. 1243-1248
12 Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action,
(Cambridge University Press: New York 1990)
99
RIKA FAJRINI
ada aturan penggunaan sumber daya sama sekali yang dapat diterapkan dan tidak
ada kepercayaan antar sesama anggota kelompok.
Spesifik dalam hal konservasi, Durban Accord dan Durban Action Plan yang
disepakati pada tahun 2003 dalam IUCN Vth World Congress on Protected Area menjadi
panduan bagi konservasi dunia untuk mempertimbangkan nilai budaya dan spritual
dalam konservasi, pengakuan terhadap konservasi yang dilakukan masyarakat lokal
dan masyarakat adat serta partisipasi mereka dalam pengelolaan kawasan konservasi
dilindungi. Durban Accord juga menekankan pada peran kawasan konservasi dalam
pembangunan berkelanjutan, jasa ekologis serta peningkatan penghidupan
masyarakat sekitar.
100
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Axa v Paraguay (2005), pengadilan ini menekankan bahwa sangat penting untuk
diperhatikan bahwa tanah sangat berkaitan dengan ekspresi oral dan tradisi, budaya
dan bahasa, kesenian dan ritual, pengetahuan traditional dan praktek budaya yang
terkait dengan alam, kuliner, hukum adat, pakaian, filosofi dan nilai-nilai sosial.
Dalam kasus Comunidad Yanomami (1985), Inter-American Commission on Human
Rights menyatakan bahwa pembangunan jalan tol oleh pemerintah Brazil telah
melanggar hak masyarakat adat dan mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Komisi ini menegaskan bahwa efek penggusuran masyarakat suku Yanomami
dari tanah leluhurnya tidak hanya tentang kehilangan tanah tapi juga berdampak
nagatif bagi kebudayaan dan tradisi mereka. Dalam kasus Lubicon Lake Band v
Canada (1990), The Human Rights Committee juga mengakui pentingnya tanah bagi
kebudayaan masyarakat adat. Komite ini menegaskan bahwa dampak lingkungan
dari ekstraksi minyak dan gas di tanah adat telah menyebabkan pelanggaran hak
masyarakat adat atas kebudayaannya sebagaimana dijamin oleh pasal 27 ICCPR.13
Di Indonesia sendiri Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 35/PUU-X/2012
yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi termasuk dalam hutan negara juga
menggarisbawahi ikatan sosial budaya masyarakat adat dengan hutan adatnya.
101
RIKA FAJRINI
102
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
21 Lihat Michael C. Gavin et al. Defining Biocultural Approaches to Conservation, dalam Trends in
Ecology & Evolution Journal. March 2015, vol. 30, no.3
22 Taman Nasional Gunung Kitanglad adalah salah satu ASEAN Heritage Park yang terkenal
dengan kesuksesan kolaborasi masyarakat adat dengan pemerintah dalam manajemennya.
Hasil wawancara Penulis dengan Manajemen Taman Nasional Gunung Kitanglad dan
perwakilan masyarakat adat yang tinggal di sekitar taman nasional yaitu Dato Makapukaw
Adolino L. Saway, Bae Inatlawan Adelino Docenos, Dato Manlalarawan Edi Rautraut. 5-6
November 2015
103
RIKA FAJRINI
23 Wahyu Chandra, Belajar Konservasi Dari Masyarakat Adat Se-Asia. Seperti Apa Itu? Artikel
diunduh dari http://www.mongabay.co.id/2015/08/25/belajar-konservasi-dari-
masyarakat-adat-se-asia-seperti-apa-itu/ pada 1 November 2015
24 http://www.iccaconsortium.org/
25 Santosa A dkk, Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, (Bogor: Pokja
Kebijakan Konservasi,2008), hlm. 49-50
26 Lihat Michael C. Gavin et al. Defining Biocultural Approaches to Conservation, dalam Trends in
Ecology & Evolution Journal. March 2015, vol. 30, no.3
104
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
27 Hasil wawancara Penulis dengan Manajemen Taman Nasional Gunung Kitanglad dan
perwakilan masyarakat adat yang tinggal di sekitar taman nasional yaitu Dato Makapukaw
Adolino L. Saway, Bae Inatlawan Adelino Docenos, Dato Manlalarawan Edi Rautraut. 5-6
November 2015
28 Lubuak larangan adalah praktek zonasi di wilayah sumatera dimana bagian tertentu dari
sungai tidak boleh diganggu oleh masyarakat, biasanya bagian sungai ini adalah tempat
bertelur bagi ikan-ikan. Sementara sasi adalah praktek larangan mengambil sesuatu dari alam
dalam jangka waktu tertentu, larangan ini memberikan waktu bagi alam untuk beregenerasi.
29 Contoh praktek tradisional yang tidak sustainable adalah penggunaan bubu warin oleh
masyarakat sekitar Taman Nasional Danau Sentarum. Bubu Warin merupakan alat tangkap
yang destruktif karena akan menangkap seluruh jenis-jenis ikan kecil. Desa sekitar danau
ada yang mulai menetapkan larangan menggunakan bubu warin ini. Lihat Gusti Z. Anshari,
Dapatkah Pengelolaan Kolaboratif Menyelamatkan Taman Nasional Danau Sentarum, (Bogor :
CIFOR,2006), hlm 11-12
105
RIKA FAJRINI
IV. Simpulan
106
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Daftar Pustaka
Peraturan Hukum
Indonesia. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hati dan
ekosistemnya.
Indonesia. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 Tahun 2004 Tentang Kolaborasi
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi
Taman Nasional.
Anonim. Farmers’ Rights in the International Treaty on Plant Genetic Resources for
Food and Agriculture artikel dapat diunduh di http://www.farmersrights.org/
about/fr_in_itpgrfa.html
107
RIKA FAJRINI
Arobaya, Augustina dan Freddy pattiselanno. 2013. Indigenous People and Nature
Conservation. Jakarta: Jakarta Post.
Bavikatte, Kabir Sanjay.2014. Stewarding the Earth: Rethinking Property and the
Emergence of Biocultural Rights. Delhi: Oxford University Press.
Bavikatte, Sanjay Kabir. 2011. “Environmental Law as Political Ecology : The Roots
of Biocultural Rights” . Makalah dipresentasikan dalam Sustaining Commons:
Sustaining Our Future, the Thirteenth Biennial Conference of the International
Association for the Study of the Commons.
Chandra, Wahyu. 2015. Belajar Konservasi Dari Masyarakat Adat Se-Asia. Seperti Apa
Itu?. Artikel diunduh dari http://www.mongabay.co.id/2015/08/25/belajar-
konservasi-dari-masyarakat-adat-se-asia-seperti-apa-itu/
Hardin, Garret Hardin.1968. “The Tragedy of The Commons” dalam jurnal Science
New Series Vol 162. American Association for the Advancement of Science.
Jaszi, Peter. 2010 “Traditional Culture: A Step Forward for Protection in Indonesia”,
Washington College of Law Research Paper No. 2010-16, American University
Washington College of Law.
Maffi, Luisa. 2008. “Biocultural Diversity and Sustainability”. Dalam The Sage
Handbook of Environment and Society. Sage Publication Ltd.
Maiero, Marina dan Xiomeng Shen. 2004. “Commonalities Between Cultural and
Biodiversity.
108
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Ostrom,Elinor. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective
Action. New York: Cambridge University Press
Pretty, Jules dkk. 2009. “the Intersections pf Biological Diversity and Cultural
Diversity : Toward Integration” dalam Conservation and Society Journal.
Pretty, Jules. 2009. “The Intersections of Biological Diversity and Cultural Diversity:
Towards Integration”. Dalam Conservation and Society. Diunduh dari
Purwanto, Semiarto Aji. 2005. ”Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat dan
pembangunan regional” dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol 29, No.3
Santosa, Andri dkk. 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan.
Bogor : Pokja Kebijakan Konservasi.
Supriatna, Jatna. Peran Kearifan Lokal dan Ilmu-Ilmu Kepribumian Dalam Pelestarian
alam. Depok: Research Center of Climate Change UI.
UNEP dan UNESCO. 2003. Cultural Diversity and Biodiversity for Sustainable
Development. Nairobi: UNEP &UNESCO.
UNESCO. 2008. Links Between Biological and Cultural Diversity. Paris: Impremerie
Watelet-Arbelot.
Utama, I Made S dan Nanniek Kohdrata. 2011. Modul Pembelajaran Konservasi Hayati
Dengan Kearifan Lokal. Denpasar : Universitas Udaya dan USAID-Texas A&M
University.
109
110
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
A spek
AspekH ukum
HukumD alam
DalamP elestarian S umber Daya
Pelestarian Sumber D ayaGenetik
G enetikLaut:
L aut :
KKebutuhan dan T
ebutuhan dan Tantangan
antangan
Isna Fatimah1
Abstrak
Pelestarian sumber daya genetik laut (SDG laut) merupakan kegiatan yang
meliputi upaya-upaya pemanfaatan dan pelindungan SDG laut sebagai investasi
potensial dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sebagai negara yang
dianugerahi kemewahan wilayah laut kepulauan, seharusnya perhatian terhadap
SDG laut sudah mengemuka. Sayangnya, Indonesia belum mempunyai kerangka
hukum yang komprehensif dalam mengatur pelestarian SDG laut. Tulisan ini
bermaksud memberikan gambaran tentang kebutuhan dan tantangan Indonesia
dalam mengatur pelestarian SDG laut. Fokus penulisan dibatasi pada aspek hukum
dalam manajemen pemanfaatan dan pelindungan SDG laut. Metode penelitian yang
digunakan adalah pendekatan normatif dengan menelaah perjanjian internasional
yang telah diratifikasi Indonesia, berkenaan dengan hukum laut dan keanekaragaman
hayati, serta beberapa peraturan nasional lain yang terkait. Adapun berbagai teori
dan informasi pendukung diperoleh melalui data dan bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan sekaligus menjadi tantangan
dalam membangun kerangka hukum pelestarian SDG laut meliputi: (1) pembuatan
kerangka kebijakan integratif tentang penguasaan negara dan hak masyarakat atas
pemanfaatan SDG laut; (2) penguatan koordinasi antar instansi yang mengemban
fungsi terkait pelestarian SDG laut; dan (3) penguatan dan harmonisasi berbagai
peraturan perundang-undangan terkait pelestarian SDG laut.
Kata Kunci: pelestarian, sumber daya genetik laut, keanekaragaman hayati, laut,
pembangunan berkelanjutan.
Abstract
The scope of preserving marine genetic resources (MGRs) shall involve the act of utilization
1 Isna Fatimah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2013, dan
sekarang merupakan Asisten Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law, terutama
dalam bidang konservasi, perlindungan dan tata kelola lingkungan hidup yang baik, serta
kelautan.
111
ISNA FATIMAH
Keywords: preservation, marine genetic resources, biodiversity, law of the sea, sustainable
development.
I. Pendahuluan
Diskursus mengenai pelestarian sumber daya genetik (SDG) laut hingga saat
ini masih terus berkembang dalam konstelasi isu lingkungan hidup dan sumber
daya alam (SDA). Dalam perkembangannya, terdapat dua instrumen hukum
internasional utama yang menjadi landasan, yaitu: the United Nations Convention on
the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)2 dan the Convention on Biological Diversity 1992
(CBD).3 Adapun perkembangan ide pengaturan SDG laut dipengaruhi oleh cita-cita
pembangunan berkelanjutan (sustainable development)4 yang erat kaitannya dengan
pemenuhan keadilan lingkungan (environmental justice).5 Tarik menarik kepentingan
2 United Nations, United Nations Convention on the Law of the Sea, Montego Bay, 10 December
1982 (UNCLOS 1982).
3 United Nations, Convention on Biological Diversity, Rio de Jeneiro, 5 June 1992.
4 Sustainable development menurut World Commission on Environment and Development adalah
pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengganggu
kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhanya. Komponen
pembangunan berkelanjutan terdiri atas prinsip integrasi, prinsip pemanfaatan berkelanjutan,
prinsip keadilan intra generasi, dan prinsip keadilan antar generasi. Lihat: Philippe Sands,
Principles of International Environmental Law, 2nd Ed., (Cambridge University Press: New York,
2003), hlm. 199.
5 Keadilan lingkungan merupakan salah satu komponen inti dari konsep pembangunan
berkelanjutan. Konteks keadilan lingkungan dalam hal ini merujuk pada keadilan intra
dan antar generasi. Kuehn membagi keadilan lingkungan dalam empat kategori: keadilan
112
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
dan disparitas penguasaan teknologi antara negara utara6 dengan negara selatan7
menjadikan isu ini terus meluas dan berjalinan dengan ragam aspek. Di sisi lain,
pelestarian SDG laut tidak bisa dilakukan tanpa kerja sama di tingkat global.8
SDG dalam konteks keanekaragaman hayati laut adalah setiap unsur makhluk
hidup (biota baik fauna maupun vegetasi) di laut dan pesisir yang membawa
sifat hereditas.10 Keanekaragaman hayati dimaksud mencakup tingkat genetik,
spesies dan ekosistem laut.11 SDG merupakan unsur yang melekat pada biotanya
sehingga perlindungan terhadap ekosistem, spesies dan biota menjadi prasyarat
distributif, keadilan korektif, keadilan prosedural dan keadilan sosial. Lihat: Robert R. Kuehn,
“A Taxonomy of Environmental Justice,” Environmental Law Reporter Vol. 30 p. 10681, 2000,
hlm. 10683-10684. Diakses dari Social Science Research Network: http://papers.ssrn.com/
sol3/papers.cfm?abstract_id=628088 pada 5 Oktober 2015.
6 Istilah negara utara merujuk pada negara dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga mempunyai kepentingan (interest) lebih, didukung kemampuan, untuk mengakses
sumber daya genetik di berbagai wilayah dunia.
7 Istilah negara selatan merujuk pada negara penyedia sumber daya genetik (biasanya
merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayat) namun tidak mempunyai cukup
ilmu pengetahuan dan teknologi.
8 Sands, op. cit., hlm. 3.
9 Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1985 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982). CBD diratifikasi melalui Undang-Undang
No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati).
10 CBD Secretariat, Status and trends of, and threats to, deep seabed genetic resources beyond national
jurisdiction, and identification of technical options for their conservation and sustainable use. UNEP/
CBD/SBSTTA/11/11. Par. 10, sebagaimana dikutip dalam Thomas Greiber (a), “Access
and Benefit Sharing in Relation to Marine Genetic Resources from Areas Beyond National
Jurisdiction: A Possible Way Forward, (Bonn: BN Federal Agency for Nature Conservation,
2011), hlm. 4.
11 Eyjolfur Gudmundsson, “Challenges of Marine Biodiversity,” (Chicago: The University of
Chicago Press, 1998), hlm 2
113
ISNA FATIMAH
upaya pelestarian SDG.12 Agar tidak ada potensi yang hilang atau mengalami erosi,
tingkat keragaman SDG sebagai bagian dari keanekaragaman hayati13 perlu dijaga
stabilitasnya.14 Stabilitas keragaman SDG diperlukan tidak hanya untuk menjaga
kemampuan bertahan hidup dan adaptasi makhluk hidup, tetapi juga menjawab
tantangan ketahanan pangan, kesehatan,15 berbagai industri penting dan ketahanan
lingkungan terhadap perubahan iklim.16 Besarnya potensi tersebut mendorong
animo pemanfaatan SDG terus meningkat seiring perkembangan teknologi dan
bertambahnya kebutuhan manusia. SDG diyakini sebagai sumber daya yang
mampu menopang kebutuhan masa depan serta menjadi prasyarat konservasi
dalam agenda pembangunan berkelanjutan.17
12 SDG merupakan komponen yang membentuk unit fungsional pewarisan sifat pada makhluk
hidup dan memungkinkan terjadinya keragaman genetika/sejumlah variasi genetika pada
suatu spesies atau populasi. Lihat: Annie Patricia, Kameri-Mbote, Philippe Cullet, “The
Management of Genetic Resources: Developments In The 1997 Sessions of the Commission
On Genetic Resources For Food and Agriculture,” Colorado Journal of International
Environmental Law and Policy, 1997, 78, sebagaimana dikutip oleh Efridani Lubis, “Penerapan
Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Perlindungan dan
Pemanfaatan SDG Indonesia,” (Disertasi: Universitas Indonesia, 2009), hlm. 45.
13 Istilah keanekaragaman hayati merupakan terjemahan dari ‘biological diversity’ yang
menurut teks CBD diartikan: “… the variability among living organisms from all sources including,
inter alia, terrestrial, marine and other aquatic ecosystems and the ecological complexes of which they
are part: this includes diversity within species, between species and of ecosystems.”
14 Maxted dan Guarino, Genetic erosion and genetic pollution of crop wild relatives, 2006, dalam
B.V. Ford-Lloyd, S.R. Dias and E. Bettencourt, eds. Genetic Erosion and Pollution Assessment
Methodologies. Proceedings of PGR Forum Workshop 5, Terceira Island, Autonomous
Region of the Azores, Portugal, 8–11 September 2004, pp. 35–45. Published on behalf of the
European Crop Wild Relative Diversity Assessment and Conservation Forum, by Bioversity
International, Rome, Italy. 100 pp. Available at http://www.bioversityinternational.org/
fileadmin/bioversity/publications/pdfs/1171.pdf (accessed 11 January 2010). sebagaimana
dikutip dalam Anthony H.D. Brown, Indicators of Genetic Diversity, Genetic Erosion and Genetic
Vulnerability for Plant Genetic Resources for Food and Agriculture, (Rome, 2008), hlm. 13.
15 Menurut Arieta J.M., Arnaud-Haond, dan C.M. Duarte, jumlah pemanfaatan SDG laut yang
telah dipatenkan (patented Marine Genetic Resources) paling banyak dimanfaatkan untuk
bidang kesehatan manusia. Lihat: Arieta J.M., Arnaud-Haond, dan C.M. Duarte, “What Lies
Underneath: conserving the Oceans’ Genetic Resources,” dalam presentasi berjudul “Marine
Biodiversity and Gene Patents: Balancing the Preservation of Marine Genetic Resources
(MGR) and the Equitable Generation of Benefits for Society”, (Mediterranean Institute for
Advanced Studies [IMEDEA], Spanish National Research Council [CSIC], 2010), hlm. 7.
16 Lihat diantaranya: FAO, Coping with climate change – the roles of genetic resources for food and
agriculture, Rome, 2015); Lyle Glowka et. al (c), A Guide to the Convention on Biological Diversity,
(International Union for Conservation of Nature and Natual Law (IUCN), 1996).
17 Thomas Greiber, et. al., “An Explanatory Guide to the Nagoya Protocol on Access and Benefit-
sharing,” (IUCN, Gland, Switzerland, 2012), hlm. 4.
18 S. Arico, C. Salpin, Bioprospecting of Genetic Resources in the Deep Seabed: Scientific, Legal and
Policy Aspects, (United Nations University-Institute of Advanced Studies, 2005), hlm. 8
sebagaimana dikutip Greiber (a), op. cit., hlm. 1.
114
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
19 Meskipun kemampuan SDA hayati laut untuk memulihkan diri jauh lebih baik dibandingkan
dengan SDA hayati di daratan, besarnya aktivitas di laut saat ini sudah di luar kewajaran
dan mengancam ketahanan keanekaragaman hayati laut. Aktivitas dimaksud mencakup
eksploitasi sumber daya laut terutama yang dilakukan secara berlebihan atau menggunakan
cara-cara desktruktif, pembuangan limbah (dumping), pencemaran, polusi, transportasi dan
instalasi bangunan di laut. Lihat: Arico, Ibid; Gudmundsson, op. cit., hlm 3.
20 Hydrothermal vent adalah palung di dasar laut yang mengeluarkan air panas geothermal.
Dengan kondisinya yang unik, di mana tidak ada sama sekali sinar matahari yang masuk,
hydrothermal vents diketahui kaya akan SDA hayati yang mempunyai kemampuan survival
dan resilience yang tinggi dalam genetiknya sehingga sangat potensial untuk dikaji.
Ada pula hipotesis yang dipercaya oleh para peneliti sains bahwa hydrothermal vents
menggambarkan asal usul bermulanya kehidupan di bumi (origin of life). Baross dan Hoffman
mengungkapkan teori bahwa kehidupan di laut berasal dari lingkungan yang sangat mirip
dengan hydrothermal vents. Lihat: J.A. Baross dan S.E. Hoffman, “Submarine Hydrothermal
Vents and Associated Gradient environments as sites for the origin and evolution of life,” (2
Naval Research Reviews 2, 6, 1986) sebagaimana dikutip David Kenneth Leary, International
Law and the Genetic Resources of the Deep Sea, (Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands,
2007), hlm. 20.
21 Lihat: (1) Gerd Winter dan Evanson Chenge Kamau, Genetic Resources, Traditional Knowledge
and the Law: Solutions for Access and Benefit Sharing, (London: Earthscan, 2009), hlm. 58. (2) Lyle
Glowka (a), “Genetic resources, marine scientific research and the international seabed Area,”
Vol 8 Issue 1 1999, (Blackwell Publishers, Ltd: Oxford, 1999).
22 Penyebutan kata potensial dimaksudkan bahwa SDG laut merupakan bagian dari SDA yang
dinilai mempunyai potensi manfaat yang belum diketahui manusia. Ini merupakan keunikan
dari ide tentang pelindungan SDG yang dilakukan terhadap SDG yang sudah diketahui
manfaatnya maupun yang belum. SDG yang belum diketahui manfaatnya dianggap
mempunyai potensi kemanfaatan. Lihat: Kamau, Ibid, hlm. 58 mengutip R.J. McLaughlin,
“Foreign acess to shared marine genetic materials: Management options for a quasi-fugacious
reseource,” Ocean Development and International Law, vol 34, pp 297-348.
23 Megabiodiversity merupakan istilah yang merujuk pada negara-negara dengan tingkat
keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.
24 Kementerian Lingkungan Hidup, “Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia,” (Deputi Tata
Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 2013), hlm. 8.
25 Hydrothermal vents diyakini menjadi tempat hidup organisme yang mempunyai kemampuan
bertahan hidup (resilience) paling tinggi sehingga menarik untuk diteliti. Lihat: Leary, loc. cit.
115
ISNA FATIMAH
116
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
sehingga praktik biopiracy32 bisa terjadi tanpa terawasi. Selain itu, belum ada pula
perangkat yang memadai untuk menindaklanjuti setiap hasil penelitian demi
kepentingan konservasi.
Pada skala global, CBD telah menjadi rujukan umum untuk konservasi
keanekaragaman hayati. Dalam dokumen “A Guide to CBD”, kegiatan conservation—
umumnya diterjemahkan dengan istilah “konservasi”—yang diatur dalam CBD
berlandaskan keadilan menurut pemikiran konservasi modern.35 Maksudnya
adalah, konservasi tidak hanya dilakukan untuk melindungi nilai intrinsik
dan keaslian keanekaragaman hayati tanpa intervensi tetapi juga bagaimana
keanekaragaman hayati tersebut dapat dimanfaatkan sepanjang menurut cara-cara
yang berkelanjutan.36 Di era sekarang, pemanfaatan berkelanjutan bahkan menjadi
syarat konservasi atas komponen tertentu dari keanekaragaman hayati yang
membutuhkan perlakukan khusus, di mana SDG laut termasuk di dalamnya.37
32 Biopiracy adalah istilah yang tidak resmi namun umum digunakan untuk menjelaskan
suatu tindakan mengambil alih pengetahuan atas suatu SDG dari pihak yang lebih dahulu
mempunyai pengetahuan tersebut dan memperoleh keuntungan darinya tanpa memberi
kompensasi pada pemilik pengetahuan asal. Biopiracy diartikan sebagai pengambilalihan atau
komersialisasi atas SDG dan pengetahuan yang terasosiasi dengannya yang dilakukan secara
ilegal atau bertentangan dengan prinsip pembagian keuntungan. Lihat: Miguel N Alexiades
dan Sarah A Laird, “Laying the Foundation: Equitable Biodiversity Research Relationships”
dalam Sarah A Laird (ed), Biodiversity and Traditional Knowledge: Equitable Partnerships in
Practice, (Earthscan, 2002), sebagaimana dikutip Achmad Gusman Catur Siswandi, “Marine
Bioprospecting: International Law, Indonesia and Sustainable Development,” (Thesis
submitted for the degree of Doctor of Philosophy of The Australian National University,
January 2013).
33 Lyle Glowka et. al (b), A Guide to the Convention on Biological Diversity, (International Union for
Conservation of Nature and Natual Law (IUCN), 1996), hlm. 4.
34 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelestarian adalah: “..pengelolaan sumber daya
alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.” Lihat: Kbbi.web.id/lestari, diakses pada 28 November 2015 pukul
11.20.
35 Ibid.
36 Ibid, dengan penambahan oleh penulis.
37 “On the whole, in spite of its haziness regarding the term conservation, the Convention does justice to
modern conservation thinking. Not only does it consistently recognize that sustainable use of living
resources and the ecosystems of which they are a part is a prerequisite for biodiversity conservation, it
117
ISNA FATIMAH
also acknowledges the need for certain components to be given special care and treatment. Thus, the
provisions on conservation and sustainable use reflect the full spectrum of measures needed to achieve
the overall goal of the Convention.” Lihat: Ibid.
38 Hipotesis utama dari keunggulan potensi SDG laut adalah diyakini mempunyai kemampuan
bertahan hidup dan ketahanan yang lebih kuat dibandingkan SDG daratan. Lihat: (1) C.S.
Holling, D.W. Schindler, B.W. Walker dan J. Roughgarten, Biodiversity in the Functioning of
Ecosystems: An Ecological Synthesis, dalam Biodiversity Loss: Economic and Ecological Issues, C.
Perrings, K. Maler, C. Folk, C. Holling dan B-O Jansson, (Cambridge: Cambridge Univeristy
Press, 1995), sebagaimana dikutip Eyjolfur Gudmudsson, op. cit., hlm. 76. (2) Gudmundsson,
ibid., hlm. 76.
39 Lihat catatan kaki 8.
40 Pendapat ini akan dikonfirmasi dalam pembahasan tentang aspek hukum pemanfaatan dan
pelindungan SDG laut (bagian 4 dan 5).
118
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
41 IUCN, World Conservation Strategy, (IUCN-UNEP-WWF, 1980). Ide dalam WCS berkesesuaian
dengan Prinsip 4 Deklarasi Stockholm 1972 yang sangat memengaruhi materi terkait
lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam UNCLOS. Dalam merespon kondisi tersebut,
WCS memusatkan strateginya pada pencapaian tiga tujuan konservasi: (1) pengelolaan proses
ekologi/ekosistem esensial dan sistem penyangga kehidupan; (2) pelindungan keragaman
genetik; dan (2) pemanfaatan spesies dan ekosistem secara berkelanjutan. Dalam bahasa
aslinya: maintenance of essential ecological processes and life-support systems; (2) preservation of
genetic diversity; dan (3) sustainable utilization of species and ecosystem.
42 Menurut Philippe Sands, WCS mempengaruhi perkembangan hukum internasional dan
memberi petunjuk bagi negara-negara untuk membangun strategi konservasi. Adapun tujuan
UNCLOS adalah membangun kerangka hukum yang berlaku atas lautan dan samudera untuk
memfasilitasi komunikasi internasional, mendukung pemanfaatan laut dan sumber dayanya
secara damai, pemanfaatan sumber daya laut yang berimbang dan efisien, konservasi sumber
daya hayati laut, serta penelitian, pelindungan dan preservasi lingkungan laut. Lihat: Sands,
op. cit., hlm. 47 dan 396; Preamble UNCLOS.
43 Meskipun UNCLOS 1982 tidak secara langsung mengatur objek SDG laut, tetapi terdapat
pengaturan mengenai penelitian ilmiah kelautan (marine scientific research) yang ditujukan
untuk mendukung penanganan kelaparan, pewujudan ketahanan pangan, konservasi
lingkungan laut dunia dan sumber daya alam yang ada di dalamnya, memprediksi dan
merespon perubahan alam, serta mendukung pembangunan berkelanjutan. Semua hal
tersebut sama dengan fungsi dari pemanfaatan SDG sehingga pengaturan tentang marine
scientific research dapat dikaitkan dengan pemanfaatan SDG laut yang pada hakikatnya
dilakukan melalui penelitian sebagai tahap awalnya. Lihat: United Nations, “Marine
Scientific Research: a revised guide to the implementation of the relevant provisions of the
United Nations Convention on the Law of the Sea,” (United Nations, New York, 2010).
44 Lihat bagian 5. Pelindungan SDG Laut.
119
ISNA FATIMAH
pemanfaatan SDG.45 Oleh karena itu, berbicara mengenai konservasi SDG laut di
wilayah Indonesia akan merujuk pada CBD.
45 Pasal 1 CBD: “The objectives of this Convention, to be pursued in accordance with its relevant
provisions, are the conservation of biological diversity, the sustainable use of its components and the
fair and equitable sharing of the benefits arising out of the utilization of genetic resources,
including by appropriate access to genetic resources and by appropriate transfer of relevant technologies,
taking into account all rights over those resources and to technologies, and by appropriate funding.”
[huruf cetak tebal ditambahkan oleh penulis].
46 World Commission on the Environment and Development, Report of the World Commission
on Environment and Development: Our Common Future, (Oxford/New York: Oxford University
Press), 1987.
47 Sands, op. cit.,hlm. 252.
48 Ibid, hlm. 253.
49 Prinsip intergenerasi merujuk pada kebutuhan untuk menjaga SDA sesuai aslinya untuk
kepentingan generasi mendatang. Menurut Langhelle, keadilan intra generasi merupakan
prioritas pertama dari pembangunan berkelanjutan. Keadilan intra generasi menunjukkan
komitmen negara-negara terhadap keadilan yang mencakup redistribusi dari pihak yang
kaya kepada pihak yang miskin baik dalam level nasional maupun internasional. Lihat:
Indonesian Center for Environmental Law dan Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI, “Materi
Ajar Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup”, (ICEL, 2014), hlm. 67 yang mengutip Oluf
Langhelle,”Sustainable Development and Social Justice: Expanding the Rawlsian Framework
of Global Justice,” Environmental Values, Vol. 9, 2000, hlm. 300.
50 Pemanfaatan SDA dengan cara yang hati-hati, berkelanjutan, rasional, bijak dan pantas.
51 Pemanfaatan SDA dilakukan secara berimbang di mana pemanfaatan yang dilakukan suatu
negara harus memperhatikan kebutuhan negara lain (bisa juga diartikan dalam konteks
wilayah: pemanfaatan yang dilakukan di suatu wilayah harus memperhatikan kebutuhan
masyarakat di wilayah lain).
52 Pengintegrasian pertimbangan-pertimbangan lingkungan dalam rencana, program dan
kegiatan ekonomi dan pembangunan.
53 Ibid.
120
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Interpretasi atas masing-masing prinsip sangat luas dan tidak baku sehingga
ada banyak pendapat ahli yang telah menerjemahkannya. Namun di saat bersamaan,
keempat prinsip tersebut tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.54 Tulisan ini
tidak akan menjelaskan secara mendalam masing-masing prinsip tersebut, akan
tetapi mengombinasikan keempat prinsip atau menggunakan salah satunya dengan
catatan tidak ada satu prinsip yang tidak memiliki relasi dengan prinsip yang lain.
Wilayah Indonesia juga mencakup ZEE dan Landas Kontinen. Di ZEE, Indonesia
mempunyai dan melaksanakan hak berdaulat untuk melakukan pengelolaan dan
konservasi SDA hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta
air di atasnya.57 Indonesia juga mempunyai yurisdiksi yang berhubungan dengan
penelitian ilmiah mengenai kelautan dan perlindungan dan pelestarian lingkungan
laut di ZEE-nya.58
121
ISNA FATIMAH
SDG menurut CBD didasarkan pada sovereign right (hak berdaulat).60 Menurut
IUCN, hak berdaulat yang dimaksud dalam CBD menekankan bahwa kedaulatan
negara diimbangi dengan kewajiban yang timbul karena kedaulatan itu sendiri.
Hak berdaulat juga memberi penegasan bahwa konservasi SDA hayati merupakan
common concern bagi seluruh masyarakat internasional.61
60 Pasal 3 CBD: “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles
of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own
environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or
areas beyond the limits of national jurisdiction.” Pada prinsipnya hak berdaulat berarti negara
memiliki kekuasaan dan yurisdiksi untuk mengatur pendistribusian, pemanfaatan, dan
kepemilikan SDA yang ada di dalam wilayah kedaulatannya. Hak berdaulat atas SDG dapat
diartikan sebagai hak negara untuk mengelola SDG sebagai public property untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat saat ini tanpa mengurangi hak generasi yang akan datang baik
dalam kualitas maupun kuantitasnya. Lihat: (1) Carlos M. Correa, “Sovereign and Property
Rights over Plant Genetic Resources,” disampaikan dalam FAO background study paper No.
2, Commission on Plant Genetic Resources, First Extraordinary Session, (Roma, 7-11 November
1994) sebagaimana dikutip Isna Fatimah,”Hak Berdaulat atas SDG Tanaman untuk Pangan
dan Pertanian,” (Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013), hlm. 11. (2) Efridani
Lubis, “Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual dalam Perspektif
Perlindungan dan Pemanfaatan SDG Indonesia,” (Disertasi: Universitas Indonesia, 2009).
61 Glowka (b), op. cit., hlm. 3.
62 Pasal 22 ayat (2) CBD menyatakan “Contracting Parties shall implement this Convention with
respect to the marine environment consistently with the rights and obligations of States under the law
of the sea.” Lihat: Wolfrum, R. And Matz, N, “The interplay of the United Nations Convention
on the Law of the Sea and the Convention on Biological Diversity,” Max Planck Yearbook of
United Nations Law, vol. 4, pp475-476 sebagaimana dikutip oleh Alexander Proelss, ‘ABS in
Relation to Marine GRs’ dalam Gerd Winter dan Evanson Chenge Kamau, Genetic Resources,
Traditional Knowledge and the Law: Solutions for Access and Benefit Sharing, (London: Earthscan,
2009), hlm. 59.
122
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
hak eksklusif yang secara limitatif mengatur kewenangan apa saja yang dimiliki
negara pantai.63 Sementara CBD hanya menyatakan bahwa negara mempunyai hak
berdaulat atas komponen keanekaragaman hayati yang berada di dalam wilayah
yurisdiksi nasional.64
123
ISNA FATIMAH
negara—yang dalam hal ini merujuk pada pemerintah—menguasai SDG laut untuk
kepentingan rakyatnya.
Penafsiran terhadap penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 ini
telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam beberapa putusan.68 MK
menafsirkan bahwa penguasaan negara diejawantahkan dalam bentuk wewenang
pemerintah untuk: (1) merumuskan kebijakan (beleid); (2) melakukan tindakan
pengurusan (bestuursdaad); (3) melakukan pengaturan (regelendaad); (4) melakukan
pengelolaan (beheersdaad), dan/atau (5) melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).69
Mengingat SDG laut pada prinsipnya merupakan milik seluruh rakyat Indonesia
maka pemerintah dalam melaksanakan wewenangnya harus atas dasar tujuan
menyejahterakan rakyat.
UNCLOS dan CBD lebih banyak memberikan petunjuk bagi negara untuk
membuat kebijakan, pengaturan dan pengawasan. Akan tetapi pemerintah perlu
mempertimbangkan untuk bertindak sebagai pengelola dan/atau pengurus dalam
pemanfaatan dan pelindungan karena SDG laut merupakan kekayaan alam yang
relatif sulit dijangkau namun potensinya sangat besar untuk kebutuhan masyarakat.
124
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Menentukan suatu penelitian merupakan penelitian atas SDG harus diidentifikasi dari
tujuan penelitiannya. Sepanjang penelitian dilakukan untuk mengeksplorasi materi
dan informasi genetik, maka penelitian tersebut masuk dalam kategori pemanfaatan
SDG. Barulah pemanfaatan SDG dapat diidentifikasi lagi dalam dua jenis: penelitian
dasar non-komersial (basic research) dan komersialisasi produk (commercialization of
products).72
SDG laut mempunyai keunikan dibandingkan dengan SDG yang ada di daratan
terutama karena habitatnya yang relatif berada di luar jangkauan manusia. Hal ini
akan menyebabkan (1) kontrol terhadap upaya perlindungan dan kontrol terhadap
akses ke SDG laut lebih sulit dilakukan; (2) menentukan pemilik pengetahuan yang
terasosiasi dengan SDG laut memerlukan pembuktian-pembuktian ilmiah dengan
teknologi yang lebih tinggi. Akibatnya, penentuan pihak yang berhak memperoleh
pembagian keuntungan lebih kompleks karena boleh jadi spesies yang sama hidup
tersebar di perairan di wilayah kedaulatan lebih dari satu negara atau di wilayah
laut lepas.
Bicara tentang aspek hukum dalam manajemen pemanfaatan SDG laut dalam
CBD dan UNCLOS akan mengerucut setidaknya pada 2 hal,73 yaitu:
adalah akses ke hutan untuk mengambil kayu atau ekstraksinya yang dimanfaatkan untuk
kebutuhan konvensional tidak termasuk pemanfaaan SDG. Sebaliknya, jika tujuan diambilnya
kayu atau ekstraksi tersebut untuk diteliti lebih lanjut manfaatnya, maka pemanfaatan SDG
menurut CBD berlaku.
72 Greiber, et. al., op. cit., hlm. 4.
73 Dipilih oleh penulis.
74 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terus-menerus menggarisbawahi bahwa
penelitian ilmiah kelautan dilakukan untuk tujuan-tujuan global seperti mendukung
penanganan kelaparan, pewujudan ketahanan pangan, konservasi lingkungan laut dunia dan
SDA yang ada di dalamnya, memprediksi dan merespon perubahan alam, serta mendukung
pembangunan berkelanjutan. Lihat: United Nations, “Marine Scientific Research: a revised
guide to the implementation of the relevant provisions of the United Nations Convention on
the Law of the Sea,” (United Nations, New York, 2010).
125
ISNA FATIMAH
75 Pasal 241 UNCLOS menegaskan: “Marine scientific research activities shall not constitute the
legal basis for any claim to any part of the marine environment or its resources.” Sehingga dalam
hal pengaturan tentang prosedur, batasan, dan implementasi penelitian ilmiah kelautan
dikembalikan lagi kepada hukum nasional negara pantai. Lihat juga: Pasal 245 UNCLOS.
76 UNCLOS mengatur lebih rinci tentang penelitian ilmiah kelautan di setiap jenis wilayah
laut. Pada intinya negara pantai berhak memberikan persetujuan atau menolak permohonan
melakukan penelitian ilmiah kelautan yang diajukan oleh negara atau subjek hukum asing
di wilayah teritorial sampai dengan ZEE dan Landas Kontinen. Adapun penelitian ilmiah
kelautan yang dimaksud dalam UNCLOS tunduk pada empat prinsip umum yaitu:
1. Diselenggarakan secara eksklusif untuk tujuan perdamaian;
2. Menggunakan metode ilmiah dan dilakukan untuk tujuan yang sesuai dengan UNCLOS;
3. Tidak bertentangan atau mengganggu kegiatan pemanfaatan laut lain yang sudah
mempunyai legitimasi dan harus menghormati kegiatan tersebut;
4. Patuh pada semua peraturan yang relevan dengan UNCLOS termasuk mengenai
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Lihat: United Nations, “Marine Scientific Research: A revised guide to the implementation of
the relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea,” (New York:
United Nations Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea Office of Legal Affairs,
2010), hlm. 6-7; Indonesia (c), op. cit., Pasal 7.
77 Pasal 248-249 UNCLOS. Walaupun demikian, lingkup penelitian ilmiah kelautan yang
dimaksud dalam UNCLOS tidak mencakup penelitian untuk kepentingan komersil. Sehingga
untuk penelitian SDG Laut dengan tujuan komersil dapat merujuk pada CBD di mana negara
mempunyai kewenangan memberikan atau menolak permintaan akses ke SDG-nya. Lihat:
Alexander Proelss, ‘ABS in Relation to Marine GRs’ dalam Gerd Winter dan Evanson Chenge
Kamau, Genetic Resources, Traditional Knowledge and the Law: Solutions for Access and Benefit
Sharing, (London: Earthscan, 2009), hlm. 61-62.
78 Bioprospecting adalah kegiatan pencarian manfaat baru yang mempunyai potensi ekonomi dari
material biologi. Penelitian ilmiah kelautan dengan objek SDG atau pengetahuan tradisional
biasanya menjadi informasi awal yang sangat berguna bagi kegiatan bioprospecting. Lihat:
Greiber, et. al., op. cit., hlm. 212.
79 Pengaturan tentang ABS sendiri tidak secara eksplisit diatur dalam UNCLOS. Akan tetapi
dalam perkembangannya, ABS atas pemanfaatan SDG kemudian diatur dalam CBD.
80 Indonesia (e), Undang-Undang tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, UU No. 18 Tahun 2002, LN 2002 No. 84, TLN No. 4219.
126
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Perikanan (UU 31/2004)81; dan (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan (UU 32/2014).82
127
ISNA FATIMAH
128
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
129
ISNA FATIMAH
4.b. Akses dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Berimbang (ABS)
Pengaturan lebih khusus tentang ABS terdapat dalam Protokol Nagoya95 yang
sudah diratifikasi pula oleh Indonesia. ABS adalah suatu mekanisme pemberian
akses terhadap pemanfaatan SDG berdasarkan prior informed concent (PIC)96 dan
mutually agreed terms (MAT)97 yang diikuti dengan pembagian keuntungan adil
dan seimbang atas hasil pemanfaatan SDG berupa pertukaran informasi, transfer
teknologi, pengembangan kapasitas, atau pembagian keuntungan komersial.98
Tujuan sesungguhnya dari ABS adalah untuk mendorong negara asal SDG
meningkatkan kapasitas dalam pemanfaatan berkelanjutan SDG.99
130
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Pengaturan yang jelas mengenai kegiatan penelitian juga sangat penting untuk
menentukan dalam keadaan bagaimana sebuah klaim HKI atas hasil penelitian
diterima atau ditolak. Adapun akses terhadap SDG menurut CBD setidaknya harus
dilakukan sesuai dengan mengedepankan keamanan lingkungan, berdasarkan MAT
dan memenuhi syarat PIC. Dalam hal sampel hendak dibawa oleh peneliti, maka
harus didahului penyepakatan perjanjian alih material (Material Transfer agreement/
MTA).101
101 Perjanjian alih material (Material Transfer Agreement/MTA) wajib dibuat antara pengakses
dengan pengampu SDG apabila pengakses hendak membawa sampel material genetik.
Biasanya MTA berisi perjanjian tentang objek yang hendak dibawa/diakses, keterangan
tentang para pihak (pengakses, pengampu, pemberi izin dan/atau penyedia), klausul
kesepakatan tentang akses dan pembagian keuntungan, hak dan kewajiban lain para pihak,
larangan mengalihkan ke pihak ketiga dan ketentuan lain sesuai dengan CBD dan Protokol
Nagoya. Lihat: CBD Secretariat, Bonn Guidelines on Access to Genetic Resources and Fair
and Equitable Sharing of the Benefits Arising out of their Utilization, (Montreal, 2002).
102 Ahmad Gusman Siswandi, “Kajian Terhadap Integrasi Rancangan Undang-Undang
Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber
Daya Genetik,” (Kajian yang disusun untuk pengembangan Naskah Akademik RUU
Konservasi Keanekaragaman Hayati, dipublikasikan terbatas, November 2015), hlm. 18-19.
Diolah kembali oleh penulis.
103 Misalnya untuk SDG laut pesisir bisa saja diampu oleh masyarakat pesisir yang terbukti
secara turun temurun memanfaatkan spesies tertentu yang material genetiknya menjadi
objek akses/penelitian. Namun untuk SDG laut yang belum pernah secara tradisional
dimanfaatkan, berdasarkan penguasaan negara sehingga pemerintah bertindak sebagai
pengampunya.
104 Idem.
105 Lihat Annex Protokol Nagoya.
106 Ibid.
131
ISNA FATIMAH
Penentuan hal-hal tersebut ketika objeknya berupa SDG laut tentu jauh lebih
kompleks dari pada SDG yang ada di daratan. Kebanyakan negara yang sudah
mempunyai pengaturan tentang ABS yang mencakup SDG laut tidak mengatur
sekomprehensif pengaturan SDG di daratan.107 Demikian halnya dengan Indonesia,
meskipun sudah mempunyai beberapa pengaturan spesifik untuk pemanfaatan
SDG laut, namun pengaturan mekanisme ABS di Indonesia belum mumpuni.
107 Alexander Proelss, ‘ABS in Relation to Marine GRs’ dalam Gerd Winter dan Evanson Chenge
Kamau, Genetic Resources, Traditional Knowledge and the Law: Solutions for Access and Benefit
Sharing, (London: Earthscan, 2009), hlm. 61.
108 Susete Biber-Klemm dan Danuta Szymuda Berglas, “Biodiversity and Traditional Knowledge:
Factual Background and Problems,” (World Trade Institute, University of Berne, and Faculty
of Law, University of Basel, Maiengasse, Switzerland), hlm. 3.
109 Penggunaan rumput laut untuk bahan pangan, minyak ikan untuk vitamin dan obat-obatan
merupakan beberapa contoh pemanfaatan SDA laut yang, dalam kondisi modern bisa
digunakankan untuk pemanfaatan lebih lanjut SDG.
110 Diantaranya: UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(dan perubahannya), UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (dan perubahannya), UU No.
32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
111 Meliputi setidaknya kementerian bidang kelautan dan perikanan (yang mempunyai
132
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Meskipun desakan untuk pemanfaatan SDG melalui mekanisme ABS lebih besar,
satu hal yang tidak bisa dipinggirkan adalah konsentrasi pada upaya pelindungan
SDG laut. Dalam CBD, kegiatan pelindungan dilakukan melalui konservasi in situ
dan eks situ.115 Bicara mengenai konservasi secara in situ membutuhkan manajemen
pengelolaan yang integratif dan mensyaratkan pelindungan hingga skala ekosistem.
Sementara konservasi eks situ membutuhkan dukungan teknologi dan sistem basis
data yang sangat handal. Kegiatan konservasi ex situ dilakukan dengan pengelolaan
untuk memastikan agar pemanfaatan dilakukan secara berkelanjutan dan mampu
berkontribusi melindungi proses ekologi termasuk esensi keragaman genetiknya
demi keberlangsungan sumber daya alam.116
kewenangan pengaturan SDG laut), kementerian bidang riset dan teknologi (untuk izin
penelitian), kementerian luar negeri.
112 Competent National Authority (CNA) adalah otorita yang mempunyai kewenangan terkait
ABS. Satu negara dapat mempunyai lebih dari satu CNA. Lihat Pasal 13 Protokol Nagoya.
113 National Focal Point (NFP) adalah otorita nasional yang bertindak sebagai penghubung antara
CNA dengan Sekretariat Protokol Nagoya dan/atau CBD. Lihat Pasal 13 Protokol Nagoya.
114 Clearing House adalah media pertukaran informasi terkait pelaksanaan ABS yang dibentuk
Protokol Nagoya. Lihat Pasal 14 Protokol Nagoya.
115 CBD membagi konservasi dalam dua cara yaitu in situ dan ex situ. Konservasi in situ adalah
konservasi ekosistem dan habitat alami serta pengelolaan dan pemulihan viabilitas populasi
spesies di lingkungan alaminya, serta, untuk spesies budidaya, di lingkungan di mana
mereka telah dibudidayakan. Sedangkan konservasi ex situ adalah konservasi atas komponen
keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya. Konservasi in situ untuk SDG laut biasanya
dilakukan di wilayah konservasi laut sementara contoh konservasi eks situ adalah konservasi
yang dilakukan di aquaria atau bank gen.
116 WCS, op. cit.
117 UNCLOS, op. cit., Pasal 192.
133
ISNA FATIMAH
lingkungan laut.118
Pemanfaatan SDG laut atas nama kebutuhan seluruh umat manusia tidak bisa
menegasikan konservasi. Di sisi lain, konservasi SDG laut tidak dapat dilakukan
hanya dengan pendekatan konservasi kawasan tertentu dengan paradigma menjaga
keaslian kawasan tanpa intervensi pengelolaan.119 Terlebih, sebuah pemahaman
yang kurang tepat bila pelaksanaan ABS hanya difokuskan untuk pemanfaatan SDG.
Padahal sejatinya ABS diharapkan menjadi gerbang bagi pewujudan konservasi.120
118 Ibid, Pasal 194. Lihat juga Pasal 196 ayat (1) UNCLOS: Berkenaan dengan kegiatan yang
menggunakan teknologi di laut termasuk di dalamnya penelitian ilmiah kelautan, semua
negara wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi dan
mengendalikan polusi, introduksi spesies, benda asing atau baru yang bisa menyebabkan
perubahan signifikan dan membahayakan/merusak di wilayah yurisdiksi/berada di bawah
kendalinya.
119 Menurut J. Berthaud, pengelolaan SDG tidak lepas dari tiga standar kegiatan yang dilakukan
secara linear yaitu pemanfaatan, evaluasi dan konservasi. Lihat: J. Berthaud, “Strategies
for conservation of genetic resources in relation with their utilization,” (Kluwer Academic
Publishers, Netherlands, 1997).
120 Preambule Protokol Nagoya: “Recognizing that public awareness of the economic value of ecosystems
and biodiversity and the fair and equitable sharing of this economic value with the custodians of
biodiversity are key incentives for the conservation of biological diversity and the sustainable use of its
components.” UNCBD, Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable
Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity, Nagoya
29 October 2010.
121 Pasal 9 huruf (c) CBD.
122 Pasal 8 huruf (a) CBD.
134
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Pengaturan tentang konservasi in situ untuk SDA hayati laut selain diatur
dalam UU 31/2004 dan UU 32/2014, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(UU 5/1990)124 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU 27/2007).125 Dengan adanya pengaturan
tentang hal yang sama dalam keempat UU tersebut, seyogianya kegiatan
konservasi dilakukan berkesinambungan. Namun yang terjadi adalah adanya irisan
kewenangan antara kementerian bidang kelautan dan perikanan (KKP)126 dengan
kementerian bidang pelindungan SDA hayati (KLHK)127, maupun pemerintah
daerah.128 Irisan kewenangan terutama terlihat dalam hal pelindungan spesies
dan SDG laut berupa biota bergerak.129 Tidak jarang hal ini menjadi penghambat
efektivitas upaya konservasi.
123 Preservasi merupakan serapan dari istilah dalam bahasa Inggris: preservation. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, preservasi diartikan sebagai: pengawetan; pemeliharaan; penjagaan;
perlindungan.
124 Indonesia (i), Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
UU No. 5 Tahun 1990, LN Tahun 1990 No. 49.
125 Indonesia (j), Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No.
27 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 84, TLN No. 4739.
126 Saat ini merupakan kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
127 Saat ini merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(sebelumnya merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan).
128 Sampai akhir tahun 2013, KKP telah mencadangkan Taman Nasional Perairan seluas
3.521.130,01 Ha dan memfasilitasi pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah
(KKPD) seluas 5.561.463,09 Ha. KKP juga telah menetapkan 8 kawasan konservasi yang
diserahterimakan dari Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK) dengan total luas
723.984,00 Ha. Kawasan Konservasi laut yang diinisiasi dan pengelolaannya berada di bawah
wewenanga KLHK seluas 4.694.947,55 Ha. Sehingga keseluruhan luas kawasan konservasi
perairan di Indonesia adalah 15.764.210,85 Ha. Lihat: KKP, “Informasi Kawasan Konservasi
Perairan Indonesia”, (Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan, 2013), hlm. 2.
129 Irisan kewenangan konservasi SDA hayati laut berpotensi menimbulkan konflik kewenangan.
Pada konservasi di tingkat jenis dan genetik, konflik sangat mungkin timbul. Pemicu konflik
diantaranya: (1) Adanya perbedaan daftar status pelindungan spesies maupun jenis spesies
yang dilindungi antara KKP dengan KLHK (Bandingkan: PP No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan Permen KP No. PER.03/MEN/2010 tentang
Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis); (2) Pembedaan kewenangan pengelolaan
konservasi kawasan berpotensi menyebabkan beberapa kawasan yang mempunyai nilai
konservasi tinggi namun belum ditetapkan menjadi tidak berpengelola. [Diolah oleh penulis].
135
ISNA FATIMAH
136
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
134 Pasal 6 ayat (1) PP 60 Tahun 2007 mengatur bahwa konservasi ekosistem dilakukan melalui
kegiatan perlindungan habitat dan populasi ikan, rehabilitasi habitat dan populasi ikan,
penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungna,
pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian dan/atau
monitoring dan evaluasi.
135 Kawasan konservasi perairan dapat berupa Taman Nasional Perairan, Suaka Alam Perairan,
Taman Wisata Perairan, dan Suaka Perikanan. Namun demikian, tidak ada juga penjelasan
atau pengaturan lebih lanjut tentang perbedaan perlakuan antara masing-masing jenis
kawasan tersebut. Pasal 8 ayat (2) PP 60/2007.
136 Jejaring kawasan konservasi perairan adalah kerja sama pengelolaan dua atau lebih
kawasan konservasi perairan secara sinergis yang memiliki keterkaitan biofisik (Pasal 1
angka 2). Jejaring kawasan konservasi perairan dibentuk berdasarkan keterkaitan biofisik
antar kawasan konservasi perairan disertai dengan bukti ilmiah yang berada pada suatu
hamparan ekoregion serta memiliki keterkaitan ekosistem (Pasal 2). Lihat: Menteri Kelautan
dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Jejaring Kawasan Konservasi
Perairan, Permen KP No. 13/Permen-KP/2014, BN Tahun 2014 No. 365.
137 Menurut PP No. 26 tahun 2008, peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Zonasi
Kawasan Konservasi Perairan menurut Permen KP 30/MEN/2010 adalah suatu bentuk
rekayasa teknik pemanfaatan ruang di kawasan konservasi perairan melalui penetapan batas-
batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses
ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan Ekosistem. Pasal 10 huruf g Permen KP
30/MEN/2010 mengatur: : “Zona inti ditetapkan dengan kriteria….g. mempunyai ciri khas
sebagai sumber plasma nutfah bagi Kawasan Konservasi Perairan.” Lihat: Menteri Kelautan
dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi
Kawasan Konservasi Perairan, Permen KP No. 30/MEN/2010.
138 FAO, 1998, p. 510. Glowka (c), hlm. 15.
137
ISNA FATIMAH
Pada praktiknya, konservasi ex situ yang sudah ada sebagian besar dilakukan
untuk spesies panen serta spesies tumbuhan dan satwa terdomestikasi.144 Hal
ini karena kepentingan konservasi spesies terdomestikasi lebih dekat pada
pemanfaatan, baik pangan, pertanian, maupun kesehatan. Sementara pelindungan
spesies liar masih belum menjadi fokus. Penelitian-penelitian ilmiah terhadap
genetik dari spesies liar yang tidak berorientasi pemanfaatan sampai saat ini belum
dimonitor dengan sistem yang memadai.
138
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
VI. Kesimpulan
Kebutuhan akan pelestarian SDG laut menjadi salah satu prasyarat dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan serta mengejawantahkan komitmen
Indonesia di tingkat internasional terutama melalui UNCLOS dan CBD. Namun
di sana sini masih terdapat kekosongan hukum, di samping terdapat peraturan
perundang-undangan yang belum berkelindan dan fungsi kelembagaan yang
belum cukup koordinatif untuk mendukung upaya pelestarian SDG yang sesuai
dengan agenda pembangunan berkelanjutan.
139
ISNA FATIMAH
Pada pelindungan SDG laut, perlu ada penyelarasan antara tumpang tindih
kewenangan penyelenggaraan konservasi in situ. Pengaturan yang sudah ada juga
perlu diperkuat untuk mendukung konservasi ex situ yang mutakhir dan ditujukan
terutama untuk pemulihan keadaan lingkungan hidup dan ketahanan kesehatan
dan pangan. Sistem basis data yang memuat inventarisir kekayaan laut penting
dimiliki pemerintah untuk membantu optimalisasi pelaksanaan konservasi.
Secara singkat, kebutuhan dan tantangan dalam pelestarian SDG laut terletak
pada perlunya kerangka kebijakan integratif yang mengakomodir penerjemahan
penguasaan negara dan hak masyarakat atas pemanfaatan SDG laut, penguatan
koordinasi antar instansi yang mengemban fungsi terkait pelestarian SDG laut
dan kejelasan tentang pembagian kewenangan, serta penguatan dan harmonisasi
pengaturan tentang penelitian ilmiah kelautan atau bioprospecting, mekanisme ABS,
dan konservasi SDG laut baik in situ maupun ex situ.
140
Lampiran
PENGUASAAN NEGARA ATAS SDG LAUT MENURUT
UNCLOS DAN CBD
CBD Article 3, 4, 15
UNCLOS 1982
Waters
Sovereign Rights: exploring and exploiting, conserving and managing
the natural resources…[Art 56 Par. 1(a)]
141
Jurisdiction: …(ii) marine scientific research; (iii) the protection and
Sovereignty to exploit preservation of the marine environment… [Art. 56 Par.1(b)]
and management of both living and non-living Right to regulate, authorize and conduct marine scientific research [Art.
resources. 246]
Seabed Right to regulate, authorize and conduct marine Also : Art. 61, Art 253, Art. 246
scientific research. Giving express consent and set
conditions for foreign state which wish to conduct Continental shelf
marine scientific research in territorial sea. [Article Sovereign Right
245]
Exploring and exploiting its natural resources (Art. 77)
Right to regulate, authorize and conduct marine scientific research (Art.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
246)
Subsoil
Right to require the suspension of any marine scientific research
activities in progress within its CS (Art. 253)
Right to require the cessation of any marine scientific research
activities… (Art. 253 Par. 2 jo. Art. 248 & Art. 253 Par. 3 jo Par.1)
ISNA FATIMAH
Daftar Pustaka
Peraturan
_______. Undang-Undang tentang Kelautan. UU No. 32 Tahun 2014. LN 2014 No. 294.
TLN No. 5603.
Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang
Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan. Permen KKP No. Per.04/
MEN/2010
Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan., Permen KKP No.
23/PERMEN-KP/2015.
Pemerintah RI. Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. PP No. 60
Tahun 2007. LN No. 134. TLN No. 4779. PP 60/2007.
142
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Perjanjian Internasional
United Nations. United Nations Convention on the Law of the Sea. Montego Bay, 10
December 1982 (UNCLOS 1982).
Ayu, Miranda Risang, Harry Alexander dan Wina Puspitasari. Hukum Sumber Daya
Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia. PT
Alumni: Bandung, 2014.
Brown, Anthony H.D. Indicators of Genetic Diversity, Genetic Erosion and Genetic
Vulnerability for Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. Rome, 2008.
Correa, Carlos M. “Sovereign and Property Rights over Plant Genetic Resources.”
disampaikan dalam FAO background study paper No. 2. Commission on Plant
Genetic Resources, First Extraordinary Session. Roma, 7-11 November 1994.
FAO. Coping with climate change – the roles of genetic resources for food and agriculture.
Rome, 2015.
Fatimah, Isna. ”Hak Berdaulat atas Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan
dan Pertanian.” Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013.
Glowka, Lyle. “Genetic resources, marine scientific research and the international
seabed Area.” Vol 8 Issue 1 1999. Blackwell Publishers, Ltd: Oxford, 1999.
_______. “the Deepest of Ironies: Genetic Resources, Marine Scientific Research, and
the Area.” The University of Chicago, 1996.
_______. Et. al. A Guide to the Convention on Biological Diversity. International Union
for Conservation of Nature and Natual Law (IUCN), 1996.
143
ISNA FATIMAH
Greiber, Thomas. “Access and Benefit Sharing in Relation to Marine Genetic Resources
from Areas Beyond National Jurisdiction: A Possible Way Forward.” Bonn: BN
Federal Agency for Nature Conservation, 2011.
_______. Et. al.. An Explanatory Guide to the Nagoya Protocol on Access and Benefit-
Sharing. IUCN: Gland, Switzerland, 2012.
Leary, David Kenneth. International Law and the Genetic Resources of the Deep Sea.
Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands, 2007.
Lubis, Efridani. “Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual
dalam Perspektif Perlindungan dan Pemanfaatan SDG Indonesia.” Disertasi:
Universitas Indonesia, 2009.
Proelss, Alexander. “ABS in Relation to Marine GRs” dalam Winter, Gerd dan
Evanson Chenge Kamau. Genetic Resources, Traditional Knowledge and the Law:
Solutions for Access and Benefit Sharing. London: Earthscan, 2009.
144
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Syatauw, J.J.G. “Some Newly Established Asian States and the Development of
International Law.” The Hague, 1961.
Winter, Gerd dan Evanson Chenge Kamau. Genetic Resources, Traditional Knowledge
and the Law: Solutions for Access and Benefit Sharing. London: Earthscan, 2009.
Zewers, Kirsten E. “Debated Heroes from the Deep Sea – Marine Genetic
Resources.” WIPO Magazine, April 2008. Diakses dari http://www.wipo.int/
wipo_magazine/ en/2008/02/article_0008.html pada 3 Juni 2015.
Lainnya
Arieta J.M., Arnaud-Haond, dan C.M. Duarte, “What Lies Underneath: conserving
the Oceans’ Genetic Resources.” dalam presentasi berjudul “Marine Biodiversity
and Gene Patents: Balancing the Preservation of Marine Genetic Resources
(MGR) and the Equitable Generation of Benefits for Society.” Mediterranean
Institute for Advanced Studies [IMEDEA], Spanish National Research Council
[CSIC], 2010.
145
ISNA FATIMAH
United Nations. “The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical
perspective).” Diakses dari www.un.org/Depts/los/convention_historical_
perspective.htm pada 5 Oktober 2015.
Zewers, Kirsten E. “Debated Heroes from the Deep Sea – Marine Genetic Resources,”
(WIPO Magazine, April 2008), diakses dari http://www.wipo.int/wipo_
magazine/en/2008/02/article_0008.html pada 3 Juni 2015.
146
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
U Ulasan
lasan PPeraturan
e r at u r a n
P ermen
Permen KPKP
No.N21/Permen-KP/2015
o .21/P ermen -KP/2015
tentang K emitraan
Kemitraan
tentang P engelolaan
Pengelolaan Kawasan
K awasan K onservasi
Konservasi P erairan
Perairan
Margaretha Quina
Pada 26 Juni 2015, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 21 Permen-
KP/2015 (“Permen KP No. 21/2015”) tentang Kemitraan Pengelolaan Kawasan
Konservasi Perairan diundangkan, delapan tahun setelah dimandatkan. Peraturan
ini merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Pasal 18 ayat
(1) menetapkan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, Pemerintah
atau Pemerintah Daerah dapat “melibatkan” masyarakat. Pelibatan masyarakat ini
dilakukan melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok
masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi,
lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.1
Munculnya peraturan ini telah membawa ragam reaksi dan ekspektasi dari
berbagai kalangan, terutama dalam kaitannya dengan perwujudan konservasi
yang merangkul, bukan menyingkirkan masyarakat. Tulisan ini bermaksud
menginformasikan materi muatan Permen 21/2015, dengan potensi maupun
kekurangannya, agar masyarakat dapat semaksimal mungkin mengawasi dan
mengambil bagian dalam pelibatan masyarakat dengan kemitran KKP. Tulisan
ini tidak dimaksudkan untuk secara mendalam membedah pemaknaan kemitraan
dalam hubungannya dengan teori pelibatan masyarakat.
1 Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, PP No. 60 Tahun
2007, LN No. 134 Tahun 2007, TLN No. 4779. Lih: Pasal 18 ayat (1) dan (2).
147
MARGARETHA QUINA
masyarakat ini yang seharusnya dapat disikapi lebih baik dengan munculnya
Permen KP 21/2015 ini.
148
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
5 Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Penambahan Luas Kawasan Konservasi Lampaui Target, 28 Oktober 2015, sumber:
http://www.djkp3k.kkp.go.id/index.php/arsip/c/438/?category_id=20 diakses pada 20
Desember 2015.
6 Antara Sulsel, Belajar Konservasi dari Raja Ampat, 28 April 2015, sumber: http://www.
antarasulsel.com/berita/64462/belajar-konservasi-dari-raja-ampat diakses pada 20 Desember
2015.
7 Ibid.
8 Berita Satu, Masyarakat Ikut Aktif Awasi Kawasan Konservasi Nusa Penida, 28 Juni 2015,
sumber:http://www.beritasatu.com/nasional/286446-masyarakat-ikut-aktif-awasi-
kawasan-konservasi-nusa-penida.html diakses pada 20 Desember 2015.
149
MARGARETHA QUINA
1. Memaknai Kemitraan
150
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Dengan perumusan yang ada sekarang, terdapat satu prasyarat yang harus
disadari pemerintah agar program-program kemitraan dalam Permen 21/2015
ini benar-benar terlaksana secara bermakna: pemerintah perlu menyadari,
menganalisis dan menjawab beberapa permasalahan-permasalahan di atas
dalam menyusun Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi
Perairan. Dengan demikian, di sinilah masyarakat perlu untuk mencurahkan
energinya untuk “melibatkan diri” sesuai dengan prosedur yang ada dalam
perencanaan pengelolaan dan zonasi KKP, sebagaimana tertuang dalam Permen
KP No. 30 Tahun 2010.11 Dengan kesadaran bahwa “kemitraan” yang digaung-
gaungkan hanya dapat berfungsi dengan baik jika RPZ KKP dirumuskan
dengan baik, masyarakat memiliki dua kali kesempatan konsultasi publik
untuk memastikan permasalahan-permasalahan riil dapat masuk dalam poin-
poin rencana pengelolaan, sehingga nantinya masyarakat dapat mengajukan
usulan kemitraan sesuai dengan permasalahan yang ada.
11 Menurut Permen KP No. 30 Tahun 2010, tahapan penyusunan rencana pengelolaan kawasan
konservasi perairan jangka panjang dan jangka menengah serta zonasi kawasan konservasi
perairan meliputi: (1) pembentukan kelompok kerja; (2) pengumpulan data dan informasi;
(3) analisis; (4) penataan zonasi kawasan konservasi perairan; (5) penyusunan rancangan
rencana jangka panjang dan rencana jangka menengah; (6) konsultasi publik pertama; (7)
perumusan zonasi dan rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan; (8) konsultasi
publik kedua; dan (9) perumusan dokumen final. Lih: Menteri Kelautan dan Perikanan RI,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi
Kawasan Konservasi Perairan, Permen KP No. 30 Tahun 2010.
12 Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Op. Cit., Pasal 3.
151
MARGARETHA QUINA
2. LSM
a. LSM provinsi Berada di sekitar --
atau kabupaten/ kawasan konservasi
kota perairan
b. LSM nasional Memiliki program 1. Memiliki kesepakatan
terkait konservasi dan bersama dengan
pengelolaan sumber Kementerian untuk KKP
daya ikan nasional;
2. Memiliki kesepakatan
bersama dengan Pemda
Provinsi untuk KKP
Provinsi.
3. Berbadan hukum
Indonesia.
c. LSM asing Memiliki program 1. Memiliki kesepakatan
terkait konservasi dan bersama dengan
pengelolaan sumber Pemerintah;
daya ikan 2. Terdaftar di Kementerian
Luar Negeri
3. Korporasi 1. Tidak sedang dalam --
proses hukum; dan/
atau
2. Tidak termasuk
dalam daftar
peringkat hitam
program PROPER
4. Lembaga penelitian
a. Dalam negeri -- Memiliki izin penelitian dan
pengembangan perikanan
dengan objek yang memiliki
karakteristik unik
b. Asing -- Memiliki izin penelitian dari
instansi yang berwenang
5. Perguruan Tinggi
152
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Jika dilihat dari syarat-syarat di atas, adanya program terkait konservasi dan
pengelolaan sumber daya ikan yang dilakukan oleh masyarakat hampir selalu
menjadi syarat, kecuali bagi unsur kelompok masyarakat dan masyarakat adat,
unsur LSM provinsi atau kabupaten/kota, korporasi dan lembaga penelitian
(dalam negeri dan asing).
153
MARGARETHA QUINA
Proses kemitraan KKP yang mencakup (1) Usulan Program Kemitraan, baik
dari pemerintah maupun masyarakat; (2) Pembuatan dan penandatanganan
Perjanjian Kemitraan; serta (3) Pembinaan, monitoring dan evaluasi –
mensyaratkan kapasitas manajerial dan kesekretariatan di level akar rumput.
LSM dapat dan perlu berperan mendampingi masyarakat dalam hal-hal yang
bersifat administratif ini. Kesadaran dan kehati-hatian dalam berkontrak juga
perlu dipahami oleh masyarakat. Dengan mekanisme seperti ini, masyarakat
perlu betul-betul memahami hak dan kewajiban dalam kemitraan, dan keadaan-
keadaan yang dapat menyebabkan salah satu pihak wanprestasi.
Penutup
154
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
A n a lAnalisis
isis Ran c a n g a n PPeraturan
Rancangan Perundang-undangan
Perundang-undangan
e r at u r a n
MMengeluarkan
engeluarkan AAturan
turantentang
tentang
TindakTPidana
indak P idana L ingkungan
Lingkungan H idup
Hidup dari dari R ancangan
Rancangan K itab
Kitab Undang-Undang
U ndang -U
Hukum H ukum P idana
ndangPidana
1 Muhnur Satyahaprabu, S.H. adalah Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana.
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Raynaldo Sembiring, S.H. adalah Peneliti dan
Deputi Program Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
155
MUHNUR SATYAHAPRABU dan RAYNALDO SEMBIRING
Jika mengacu kepada Pasal 63 ayat (2) KUHP, disebutkan bahwa “Jika suatu
perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana
yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.” Ketentuan ini juga diatur
kembali dalam Pasal 144 ayat (2) RKUHP yang saat ini dibahas oleh panja yang
berbunyi: “Jika suatu perbuatan diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana
khusus maka hanya dikenakan aturan pidana khusus.”
Asas yang dimaksud dalam ketentuan di atas dikenal dengan lex specialis derogat
legi generalis, yang berarti aturan hukum yang lebih khusus mengenyampingkan
aturan hukum yang lebih umum. Seandainya RKUHP disahkan dengan tetap adanya
aturan tentang tindak pidana lingkungan hidup, maka tindak pidana lingkungan
dalam UU 32/2009 mengenyampingkan aturan tentang tindak pidana lingkungan
hidup dalam KUHP. Jika sudah dapat diprediksi bahwa aturan tindak pidana dalam
UU 32/2009 yang akan digunakan, apa yang menjadi urgensi RKUHP mengatur
tentang tindak pidana lingkungan hidup?
Selain itu, aturan tentang tindak pidana lingkungan dalam RKUHP saat ini
hanya mengatur sebagian kecil aturan tentang tindak pidana dalam UU 32/2009.
Hal ini dapat dipahami karena UU 32/2009 memiliki karakteristik delik yang khas.
UU 32/2009 tidak hanya mengenal jenis delik materiil dan formil saja, tetapi juga
ada jenis delik lainnya yang diatur pada Pasal 111, Pasal 113, Pasal 114, dan Pasal
115. Kekhasan ini membuat sulitnya untuk dilakukannya kodifikasi tertutup untuk
tindak pidana lingkungan hidup.
156
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
lingkungan sangat erat kaitannya dengan kejahatan sumberdaya alam. Hal ini
tercermin dari inisiatif pemerintah SBY terdahulu yang memperkenalkan pendekatan
multi-door dalam penegakan hukum di bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup (SDA-LH). Pendekatan multi-door tersebut telah dinternalisasi kepada
beberapa instiutsi melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU)
6 (enam) Kementerian/Lembaga.. Pendekatan multi-door merupakan pendekatan
penegakan hukum atas rangkaian/gabungan tindak pidana dengan menggunakan
undang-undang terkait di bidang SDA-LH dan undang-undang lainnya seperti
undang-undang tipikor, undang-undang pajak, dsb.
157
MUHNUR SATYAHAPRABU dan RAYNALDO SEMBIRING
Penutup
Langkah pemerintah dan DPR yang saat ini membahas RKUHP patut
didukung sebagai upaya melakukan pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Namun, khusus untuk aturan tentang tindak pidana lingkungan hidup sebaiknya
dikeluarkan dari RKUHP. Catatan-catatan yang telah disampaikan menjadi salah
satu saran agar RKUHP menganut mazhab kodifikasi terbuka seperti kondisi yang
terjadi saat ini.
158
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Ulasan Buku
HHukum
ukum S umber
SumberD aya
DayaGGenetik,
enetik , PPengetahuan T radisional
engetahuan Tradisional
DanEEkspresi
dan kspresi BBudaya
udaya TTradisional
radisionalDi I ndonesia
diIndonesia
Isna Fatimah
ISBN : 978-979-414-178-6
159
ISNA FATIMAH
mendapat julukan mega-diversity country, sumber daya genetik dari biota endemik di
Indonesia menjadi sasaran penelitian dan pengembangan baik untuk kepentingan
ilmu pengetahuan maupun pemanfaatan. Tidak jarang Indonesia menjadi korban
pemanfaatan sumber daya genetik yang tidak bertanggung jawab seperti biopiracy.
Pelindungan sumber daya genetik di Indonesia sendiri memiliki keunikan karena
terdapat beberapa jenisnya yang secara tradisional dan turun-temurun sudah
dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, Indonesia juga kental dengan
keragaman Ekspresi Budaya Tradisional yang sangat dekat atau terinspirasi dengan
alamnya, sehingga memiliki keterkaitan juga dengan nilai dari sumber daya
genetik. Indonesia juga menjadi anggota dari berbagai komitmen internasional
berkenaan dengan Sumber Daya Genetik yang secara otomatis juga mengaitkan isu
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional diantaranya Convention
on Biological Diversity dan UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible
Cultural Heritage of Mankind 2003.
160
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Adapun anatomi substantif buku ini terdiri dari sepuluh Bab yaitu:
1. Pendahuluan
8. Kelembagaan
161
ISNA FATIMAH
162
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
Secara garis besar, buku ini sangat bermanfaat untuk mendapatkan pemahaman
tentang hukum yang berkaitan dengan SDGPTEBT, meskipun tidak sampai pada
pelindungan SDG sebagai komponen pendukung integritas lingkungan hidup.
Sampai saat ini buku “Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia” menjadi satu-satunya buku
berbahasa Indonesia yang secara spesifik mengangkat isu sumber daya genetik
dan membandingkannya dengan regulasi dan kebijakan yang sudah berlaku di
Indonesia. Meskipun tentunya untuk mendapat pemahaman komprehensif tentang
isu SDGTKEBT tidak bisa tanpa membaca literatur lain terutama yang disusun oleh
163
ISNA FATIMAH
United Nations, Food and Agriculture Organization, dan World Intellectual Property
Organization.
164
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
P e d o m a n P e n u l i s a n
J
urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan yang
diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) sebagai
upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum lingkungan
dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia
ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara Negara, kalangan
LSM serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan permasalahan tata kelola
sumber daya alam.
Beberapa topik* yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema tersebut
adalah: (1) Pencemaran air (mencakup sungai, danau, air tanah); (2) Pencemaran laut
(mencakup pencemaran laut bersumber dari daratan/kapal laut); (3) Pencemaran
udara; (4) Pencemaran bahan beracun dan berbahaya; (5) Pengelolaan sampah dan
limbah; (6) Pencemaran pada makhluk hidup (termasuk pencemaran persisten
melalui rantai makanan pada ikan/binatang/tumbuhan).
Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih
pertanyaan kunci berikut:
ix
PEDOMAN PENULISAN
Prosedur Pengiriman**
Untuk Vol. III Issue 1 (Juli 2016), Penulis diharapkan mengirimkan abstrak
sebelum 15 Februari 2016 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi asal;
(3) nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis yang
naskahnya yang diterima. Naskah final diterima redaksi paling lambat 30 April 2016.
Pemilihan Tulisan
Persyaratan Formil
1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).
Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam satu alinea.
Abstrak mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil
dan kesimpulan;
x
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan
EYD dengan kalimat yang efektif;
4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan
keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah
daftar pustaka;
6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.
Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring;
xi
PEDOMAN PENULISAN
d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi: Analisis
Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi, Volume 3,
Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
Panduan lebih detail dalam hal pengutipan akan diberikan Redaksi untuk
Abstrak yang diterima.
xii