Anda di halaman 1dari 178

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL.

2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

J urnal H ukum
L ingkungan I ndonesia
Volume 2 Issue 2, Desember 2015
ISSN: 2355-1350

Indonesian Center for Environmental Law


Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

i
J urnal H ukum L ingkungan I ndonesia
Vol. 2 Issue 02 / Desember / 2015
ISSN: 2355-1350
Website: www.icel.or.id/jurnal
E-mail: jurnal@icel.or.id

Diterbitkan oleh:
I ndonesian C enter for E nvironmental L aw (ICEL)
Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Telp. (62-21) 7262740, 7233390
Fax. (62-21) 7269331

Desain Sampul : Atika Kusumawati (Cielo’s Graphic Design)


Tata Letak : Gajah Hidup

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka


yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan
pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau e-mail
sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. ix)

DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.

ii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

R e d a k s i d a n M i t r a Bebestar i

Dewan Penasehat
Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.
Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi
Margaretha Quina, S.H., LL.M.

Redaktur Pelaksana
Budi Afandi, S.H.

Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Dessy Eko Prayitno, S.H.
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Citra Hartati, S.H., M.H.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Raynaldo G. Sembiring, SH.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Astrid Debora, S.H.
Rino Subagyo, S.H. Rika Fajrini, S.H.
Windu Kisworo, S.H., LL.M. Ohiongyi Marino, S.H.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Isna Faitmah, S.H.
Feby Ivalerina, S.H., LL.M. Rayhan Dudayev, S.H.
Dyah Paramitha, S.H., LL.M. Wenni Adzkia, S.H.
Haryani Turnip, S.H. Fajri Fadhillah, S.H.

Mitra Bebestari
Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
Dr. Indah Dwi Qurbani, S.H., M.H.

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam
penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

iii
P e n g a n t a r R e d a k s i

“Mengoptimalkan Hukum dan Kebijakan dalam Perlindungan dan Pengelolaan


Keanekaragaman Hayati di Indonesia”

B
aik di tingkat populasi, spesies maupun genetik, Indonesia berada
dalam peringkat teratas dunia dalam hal keberagaman makhluk hidup
yang telah terinventarisasi sains. Indonesia menempati peringkat
pertama sebagai negara megadiverse, peringkat kedua keberagaman mamalia (515
spesies, 12% total mamalia dunia), peringkat keempat keberagaman primata (35
spesies), dan berbagai statistik lain (1.592 spesies burung, 17% total burung dunia;
270 spesies amfibi; 25.000 tumbuhan berbunga, 55% endemik) yang menunjukkan
betapa kayanya keragaman hayati Indonesia.1

Sayangnya, Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan laju hilangnya
keanekaragaman hayati yang paling cepat.2 Faktor-faktor utama yang menyebabkan
hilangnya keanekaragaman hayati dan kelangkaan spesies di Indonesia meliputi
perusakan dan fragmentasi habitat, perubahan lanskap, eksploitasi berlebih,
pencemaran, perubahan iklim, spesies asing, kebakaran hutan dan lahan, dan krisis
ekonomi dan politik yang terjadi di negara ini.3

Aspek hukum keanekaragaman hayati dapat dilihat dari berbagai sisi.


Perdebatan hukum dan kebijakan dalam hal keanekaragaman hayati meliputi area
yang luas, dimulai dari kewajiban Indonesia dalam pengendalian perdagangan
spesies dilindungi di level internasional, penegakan hukum atas perlindungan flora
dan fauna di level domestik, penerapan prinsip-prinsip hukum lingkungan dalam
putusan hakim, tidak harmonisnya kebijakan antar sektor dalam upaya konservasi,
dimensi keadilan ekologi dalam konservasi, hingga akses dan pembagian
keuntungan dari sumber daya genetik. Penyelundupan kakaktua jambul kuning
pada tahun 2014 lalu merupakan salah satu contoh bagaimana lemahnya penegakan
hukum berpengaruh signifikan terhadap efektivitas perlindungan dan pengelolaan
keanekaragaman hayati bangsa ini.

1 Lihat Convention of Biological Diversity Country Profile: Indonesia, https://www.cbd.int/coun-


tries/profile/default.shtml?country=id#facts, diakses pada 1 Juli 2015
2 Navjot S. Sodhi, et. al., Southeast Asian Biodiversity: An Impeding Disaster, Trends in Ecology
and Evolution Vol. 19, Issue 12, 654 – 660 (2004).
3 Id.

iv
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Salah satu pekerjaan rumah yang krusial dalam hukum dan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia adalah
memastikan instrumen hukum yang tersedia dapat bergerak mengikuti perubahan
yang terjadi di lapangan. Dinamika ekonomi dalam skala makro, perkembangan
pasar, semakin canggihnya modus kejahatan, perubahan kelembagaan yang
terjadi dalam berbagai institusi yang terkait, hingga perubahan politik konservasi
baik di tingkat internasional maupun nasional perlu dikontekstualisasikan dalam
memaknai instrumen hukum yang tersedia sekarang. Bahkan, terdapat upaya nyata
yang sedang terjadi untuk merevisi instrumen hukum yang telah usang seperti UU
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Hal-hal ini mendasari pemilihan tema “Perlindungan dan Pengelolaan


Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Hukum dan Kebijakan” untuk edisi Jurnal
Hukum Lingkungan Indonesia Volume 2 Issue 2. Berbagai analisis yang terdapat di
dalam tulisan-tulisan yang dimuat di dalam jurnal ini diharapkan mampu memantik
diskursus lintas sektor yang lebih dalam tentang: (1) konsep ideal perlindungan dan
pengelolaan keanekaragaman hayati dalam hukum dan kebijakan; (2) persoalan-
persoalan hukum dan kebijakan yang dihadapi dalam perlindungan dan pengelolaan
keanekaragaman hayati di Indonesia; dan (3) gagasan-gagasan perbaikan dan
pengembangan berdasarkan permasalahan-permasalahan dimaksud.

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah


mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan artikel ini
dan melakukan revisi berdasarkan masukan substantif dari penelaahan sejawat dan
Sidang Redaksi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap anggota Sidang
Redaksi yang telah menelaah dengan cermat dan memberikan masukan substantif
bagi tiap artikel. Tidak lupa kepada Mitra Bebestari edisi ini, Andri G. Wibisana,
S.H., LL.M., Ph.D. dan Dr. Indah Dwi Qurbani, S.H., M.H., yang telah melakukan
double-blind peer review terhadap beberapa artikel dalam jurnal edisi ini.

Akhir kata, JHLI Vol. 2 Issue 2 (Desember 2015) ini tidak lepas dari kekurangan.
Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk
memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat
dalam jurnal ini.

Jakarta, Desember 2015,


Redaksi

v
vi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Daf t a r Isi

Redaksi & Mitra Bebestari ............................................................. iii


Pengantar Redaksi ...................................................................... iv
Daftar Isi ..................................................................................... vii

1. Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Rekomendasi


bagi Perbaikan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Hayati dan Ekosistemnya

Ir. Samedi, Ph.D. ........................................................................ 1

2. Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui


Instrumen Hukum dan Perundang-undangan

Fathi Hanif, S.H. ........................................................................ 29

3. Memberantas Kejahatan atas Satwa Liar: Refleksi dan Rekomendasi


atas Kegagalan Penegakan Hukum melalui Undang-undang No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi dan Ekosistemnya

Raynaldo Sembiring, S.H. ............................................................... 49

4. Perlindungan Hukum terhadap Keanekaragaman Hayati di


Taman Nasional Taka Bonerate

Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H. ........................................................ 73

5. Keanekaragaman Budaya dan Keanekaragaman Hayati: Hak


Biokultural Masyarakat dalam Konservasi

Rika Fajrini, S.H. ....................................................................... 95

6. Pelestarian Sumber Daya Genetik Laut: Kebutuhan dan Tantangan

Isna Fatimah, S.H. ....................................................................... 111

Ulasan Peraturan: Permen KP No. 21/Permen-KP/2015 tentang


Kemitraan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan

Margaretha Quina, S.H., LL.M. ............................................................. 147

Opini Rancangan Undang-Undang: Mengeluarkan Aturan tentang


Tindak Pidana Lingkungan Hidup dari RKUHP

Muhnur Satyahaprabu, S.H. dan Raynaldo Sembiring, S.H. ............ 155

vii
Ulasan Buku: Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia

Isna Fatimah, S.H. ....................................................................... 159

Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ix

viii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

K onservasi
KonservasiKKeanekaragaman H ayatididiIndonesia:
eanekaragaman Hayati I ndonesia :
R ekomendasi
RekomendasiP erbaikan
PerbaikanUUndang-undang
ndang -U ndangKonservasi
K onservasi

Samedi1

Abstrak:

Kekayaan Indonesia akan keanekaragaman hayati dengan komponen-


komponennya merupakan masa depan umat manusia sebagai sumber ketahanan
pangan, kesehatan dan bahkan energi. Dengan potensi ini, Indonesia wajib
melakukan upaya konservasi beserta legislasi yang efektif untuk mengatasi laju
kerusakan dan kehilangan keaneragaman hayati yang telah mencapai tingkat
yang sangat mengkhawatirkan. Tulisan ini membahas mengenai peran hukum
dan kerangka hukum konservasi di Indonesia, utamanya kemampuan undang-
undang konservasi dalam penyelamatan sumber daya alam hayati, serta saran
perbaikan terhadap undang-undang yang saat ini ada. Saat ini kerangka hukum
nasional konservasi keanekaragaman hayati berpusat pada Undang-Undang No.
5 Tahun 1990 yang mengadopsi World Conservation Strategy IUCN tahun 1980 yang
di tingkat internasional telah mengalami perubahan-perubahan mendasar. Terlepas
dari keberhasilan UU ini, diantaranya dengan mencadangkan lebih dari 25 juta ha
ekosistem daratan dan lautan ke dalam sistem kawasan yang dilindungi (protected
areas), undang-undang ini mengandung berbagai kelemahan untuk penerapannya
saat ini dan perlu segera direvisi, termasuk harmonisasi yang mendalam dengan
undang-undang terkait agar dapat dilaksanakan secara efektif di lapangan.

Kata kunci: hukum konservasi, keanekaragaman hayati, sumber daya alam hayati

Abstract:
Biodiversity and its components: genetic resources, species and ecosystem with actual or
potential use values to humanity is the future for the survival of humankind. With this
potential, it is essential for Indonesia to conserve these resources equipped with effective
national legislation to stop and reverse the unprecendented rate of biodiversity loss. This

1 Program Director, Tropical Forest Conservation Action for Sumatra (TFCA-Sumatera), KEHATI
Foundation, Jl. Bangka VIII No. 3 B, Pela Mampang, Jakarta 12720. Telp. +62-21-7199953;
7199962. Fax +62-21-7196530. Email: samedi@tfcasumatera.org; www.tfcasumatera.org

1
SAMEDI

paper aims to discuss the conservation legal framework in Indonesia and the capability of the
conservation law to halt unprecedented biodiversity loss and suggested revision for this law.
The current legal framework for biodiversity conservation stems on the Act No 5 of 1990
which adopts World Conservation Strategy of IUCN 1980. Under the current framework,
more than 25 million hectares of terrestrial and marine areas have been totally protected
within protected areas systems. However, this centralistic law has some weaknesses to be
effectively implemented at the current contexts. This law needs substantial revision and
harmonization with other laws in order to make the implementation effective.

Key words: conservation law, biodiversity, biological resources

I. Pendahuluan

Kekayaan Indonesia akan keanekaragaman hayati dengan komponen-


komponennya2 merupakan masa depan umat manusia sebagai sumber ketahanan
pangan, kesehatan, bahkan energi, dengan nilai guna aktual maupun potensial
bagi kemanusiaan. Nilai-nilai guna ini harus tetap berkelanjutan baik bagi generasi
manusia saat ini maupun generasi masa depan. Keberlanjutan menjadi kata kunci
agar umat manusia dapat melangsungkan hidupnya dalam jangka waktu yang
tidak terbatas dengan memanfaatkan sumber daya alam (“SDA”) yang terbatas. Di
sinilah pentingnya konservasi, karena dengan konservasi manusia dituntut untuk
menjadi bijaksana dalam menggunakan SDA yang jumlahnya terbatas. Efektivitas
pelaksanaan konservasi hanya dapat dicapai apabila disertai dengan kelengkapan
hukum yang memadai. Oleh sebab itu, hukum merupakan sebuah keniscayaan
untuk membuat SDA hayati beserta keanekaragamannya bermanfaat secara
berkelanjutan.

Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara dengan kekayaan SDA
hayati terbesar di dunia selain Brazil dan Zaire atau Republik Demokratik Kongo.3

2 “Convention on Biological Diversity,” 5 Juni 1992, United Nations Treaty Series Vol. 1760 p.
79, Pasal 2, menyebutkan bahwa komponen keanekaragaman hayati mencakup sumber daya
genetik, spesies atau organisme termasuk bagian-bagian dan turunannya, populasi atau
komponen biotik lainnya dari ekosistem.
3 Biodiversity Action Plan for Indonesia yang disusun dan diterbitkan oleh Bappenas tahun
1993 menyebutkan bahwa walaupun daratan Indonesia hanya 1,3% dari daratan dunia,
10% tumbuhan berbunga, 12% mamalia, 16% reptil dan ampibi, 17% burung dan lebih dari
25% ikan air tawar dunia ada di Indonesia. Lih: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) RI, Biodiversity Action Plan for Indonesia, (Jakarta: 1993), hlm. 1.

2
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Namun, keanekaragaman hayati baik di tingkat genetik, spesies maupun ekosistem4


merupakan SDA yang sangat kompleks, karena SDA ini terdapat dalam jumlah
yang terbatas sekalipun keanekaragamannya sangat tinggi. Selain itu, walaupun
mempunyai sifat yang dapat memperbaharui diri atau dapat diperbaharui
(renewable), sumberdaya alam hayati mempunyai sifat yang tidak dapat kembali
seperti asalnya (irreversible) apabila dimanfaatkan secara berlebihan sampai pada
tingkat yang melampaui kemampuannya.5 Permasalahan tersebut tercermin
dari tinggginya tingkat keterancaman keanekaragaman hayati dari kepunahan.
Keterancaman tersebut terutama disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu (a)
pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berlebihan, termasuk secara ilegal; dan
(b) kerusakan habitat yang disebabkan oleh konversi dan penggunaan bahan-bahan
berbahaya dalam pemanfaatan sumberdaya alam.6 Kompleksitas sumberdaya
alam hayati tersebut bertambah dengan tingginya jumlah dan laju pertambuhan
penduduk, serta rendahnya tingkat pendidikan dan sosial ekonomi di sebagian
besar masyarakat Indonesia, sehingga tekanan terhadap keanekaragaman hayati
semakin tinggi.

Tanpa adanya sistem hukum yang memadai untuk mencegah kepunahan


keanekaragaman hayati, SDA hayati akan terus menurun hingga mengalami
kepunahan, sehinggga menghilangkan nilai potensialnya. Sistem hukum yang
memadai, termasuk pelaksanaaan dan penegakannya secara efektif di lapangan,
dibutuhkan untuk menyelamatkan dan menjamin kelestarian SDA hayati dalam
jangka panjang bagi generasi masa kini dan masa depan.

Tulisan ini membahas mengenai peran hukum dan kerangka hukum


konservasi di Indonesia, utamanya kemampuan undang-undang konservasi dalam
penyelamatan SDA hayati serta saran perbaikan terhadap undang-undang yang
saat ini ada.

4 “Convention on Biological Diversity,” Op. Cit., Pasal 2, menyebutkan bahwa keanekaragaman


merupakan variabilitas di tingkat genetik, spesies dan ekosistem.
5 Bappenas RI, Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020,
(Jakarta: IBSAP Dokumen Nasional, 2003), hal. 7-16. Elaborasi lebih lanjut dalam Bab II:
Keanekaragaman Hayati Demi Generasi Kini dan Mendatang.
6 Mochamad Indrawan, Richard B. Primack dan Jatna Supriatna, Biologi Konservasi, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 89-96.

3
SAMEDI

II. Konservasi dan Perlunya Hukum Konservasi


Keanekaragaman Hayati

2.1. Keanekaragaman Hayati: Masa Depan Umat Manusia

Ekonomi Indonesia sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati


yang sangat tinggi akan bergantung pada SDA hayati di masa depan.7 Oleh sebab
itu, di dalam tata kehidupan dunia, Indonesia, dengan kekayaan sumber daya hayati
yang dipunyai akan menempati posisi yang sangat sentral bagi peradaban manusia
masa depan. Dengan demikian, konservasi keanekaragaman hayati menjadi
keniscayaan dan mutlak harus dilakukan untuk menjamin kekayaan tersebut
berkelanjutan. Pentingnya SDA hayati bagi umat manusia diakui masyarakat
dunia, yang secara fomal telah menyepakati suatu perjanjian internasional yaitu
Konvensi mengenai Kenekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity /
“CBD”) pada tahun 1992. Dalam preambul CBD, negara pihak menyatakan bahwa
keanekaragaman hayati merupakan penopang sistem penyangga kehidupan
manusia yang penting bagi evolusi; menjaga sistem biosfer ini yang membuat
kehidupan manusia berkelanjutan; serta menekankan kekhawatiran akan laju
kerusakan dan kehilangan keanekaragaman hayati yang sedang terjadi saat ini.
Maka, konservasi, pemanfaatan yang lestari serta keadilan bagi masyarakat atas
pemanfaatannya menjadi hal yang penting.8

Keanekaragaman hayati dapat dipandang sebagai fondasi ketahanan kesehatan


dan pangan manusia karena mendukung berfungsinya ekosistem di mana manusia
bergantung untuk mendapatkan sumber pangan, air bersih, mengatur iklim,
banjir dan mengendalikan penyakit. Secara eksplisit CBD juga berfokus pada
kontribusi jasa ekosistem terhadap kesehatan, mata pencaharian dan kesejahteraan.9
Selain itu, kekayaan ekosistem beserta keanekaragaman spesies dan genetiknya
mempunyai nilai potensial dan aktual sebagai sumber pangan saat ini, sumber
pangan baru maupun alternatif yang dapat didedikasikan untuk beradaptasi

7 Emil Salim, dikutip oleh Antara pada 18 September 2008.


8 Preambul dalam teks CBD, yang menyebutkan peran keanekaragaman hayati bagi masa
depan umat manusia dan pentingnya konservasi keanekaragaman hayati karena tingkat
kerusakan yang saat ini sedang terjadi yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Lih:
“Convention on Biological Diversity,” Op.Cit., Preambul.
9 Decision X/2 dari CBD yang mengesahkan Rencana Strategis 2011-2020 mencanangkan 20
target global, yang juga disebut sebagai “Aichi Targets” dimana target 14 berbunyi sebagai
berikut: “By 2020, ecosystems that provide essential services, including services related to water, and
contribute to health, livelihoods and well-being, are restored and safeguarded, taking into account the
needs of women, indigenous and local communities, and the poor and vulnerable.” Lih: Ibid.

4
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

terhadap perubahan iklim.10 Keanekaragaman sumber daya genetik, spesies dan


mikroba memiliki properti obat-obatan yang dapat menyediakan solusi bagi issu
kesehatan sekarang maupun masa depan. Berbagai komponen keanekaragaman
hayati yang mengandung biomasa termasuk micro-algae dapat dipakai sebagai
sumber bahan bakar (biofuel). Berbagai spesies tumbuhan liar dapat dengan mudah
dikonversi menjadi gula monomerik (monomeric sugar) yang mungkin dapat dipakai
sebagai stok produksi bahan bakar berbasis biomasa di masa depan, tanpa harus
menjadikan konflik dengan produksi pangan.11 Beberapa riset pendahuluan di
Indonesia menunjukkan ribuan spesies mikroba asli Indonesia, utamanya jamur,
mempunyai potensi sebagai obat-obatan dan kosmetik yang memungkinkan untuk
dipatenkan.12

Sangat jelas bahwa keanekaragaman hayati menyediakan solusi bagi


permasalahan pangan, kesehatan dan energi bagi kesejahteraan umat manusia dan
menjaga planet bumi tetap hijau dan sehat.

2.2. Sumber Daya Milik Bersama dan Nilai Keanekaragaman Hayati yang Harus
Diselamatkan

Berbagai SDA seperti air bersih, udara nyaman, kehidupan liar, pemandangan
indah, dianggap sebagai sumber daya milik umum (common property) atau sumber
daya terbuka bagi siapapun yang ingin memanfaatkannya (open access). Dengan
demikian sumber daya ini dihargai terlalu rendah dibanding nilai yang seharusnya
dan tidak ada biaya lingkungan sebagai faktor eksternalitas ekonomi yang semestinya
dibayarkan untuk memperbaikinya. Keadaan ini menyebabkan terkurasnya sumber
daya alam secara cepat yang pada akhirnya tidak memberikan manfaat ekonomi
bagi siapapun. Kondisi ini, yang oleh Garrett Hardin13 disebut sebagai “tragedy of the
commons,” bersumber pada jumlah penduduk yang meningkat secara eksponensial

10 Endang Sukara, “Biodiversity a Common Wealth for a Crowded Planet,”.makalah disampaikan


pada the 2nd GSS Leading Expert Seminar – Graduate School Programme for Sustainable
Development and Survivable Societies, Kyoto University, Jepang, pada 19 Desember, 2013.
11 US Energy and Information Agency, Biofuels Issues and Trends, (Washington DC: US
Department of Energy, 2012), hal. 30.
12 Diantara temuan-temuan riset di atas adalah kelompok Actinomyces yang penting
sebagai sumber metabolit termasuk untuk agen anti tumor (streptonigrin, anthracyclines),
anti virus (ribavirin, rifamycins) anti bakteri (macrolides, rifamycins, chloramphenicol,
tetracyclines,aminoglycosides) dan produk farmasi lain. Jasad renik tersebut diisolasi dari
berbagai kawasan konservasi, termasuk taman nasional di Indonesia seperti Taman Nasional
Batang Gadis dan Taman Nasional Halimun-Salak. Lih: Endang Sukara, Op.Cit.
13 Garrett Hardin, “Tragedy of the Commons,” Science Vol. 162 No. 3859, 13 December 1968, hlm.
1243-1248.

5
SAMEDI

dan SDA yang jumlahnya tetap, sementara tidak ada aturan yang efektif bagi
pemanfaatan SDA milik umum tersebut. Hal ini menimbulkan kegagalan pasar
karena adanya eksternalitas pada SDA hayati yang tidak dimasukkan di dalam
sistem produksi.14

Kerusakan SDA hayati global karena sebab di atas masih terus terjadi. Hal ini telah
diingatkan pada tahun 1972 oleh sebuah laporan Kelompok Roma mengenai batas-
batas pertumbuhan yang menghasilkan skenario “kehancuran dunia.”15 Pembangunan
berkelanjutan yang disarankannya tidak pernah benar-benar dilaksanakan.16
Pertumbuhan ekonomi berbasis SDA baik yang tidak dapat diperbaharui maupun
yang dapat diperbaharui telah dilakukan pada tingkat dan atau dengan cara-cara
yang tidak berkelanjutan.17

Pada tingkat nasional ancaman terhadap semakin memburuknya kelestarian


SDA hayati semakin meningkat dengan belum baiknya kesejahteraan masyarakat di
sekitar dan di dalam wilayah SDA. Pada saat ini diperkirakan terdapat sekitar 48 juta
masyarakat yang sebagian besar hidup dalam keadaan miskin dan tidak berdaya.18
Dalam banyak kasus masyarakat lokal merasa tidak dilibatkan dan tidak menerima
manfaat dari pengelolaan SDA, sehingga tidak berminat untuk ikut berpartisipasi,
atau cenderung menolak upaya konservasi sumberdaya alam hayati.

Tekanan dari meningkatnya jumlah penduduk bukan hanya berasal dari


dalam negeri saja tetapi juga dari pertambahan penduduk dunia. Cina, dengan

14 Indrawan, Primack dan Supriatna, Op.Cit, hal. 53-56.


15 Donella Meadows, Dennis Meadows, Jorgen Renders dan William Behrens III yang
tergabung dalam Kelompok Roma tahun 1972 dalam bukunya berjudul “Limits to Growth”
menyimpulkan bahwa “Apabila kecenderungan pertumbuhan saat ini pada pertambahan
jumlah penduduk, tingkat industrialisasi, tingkat polusi, tingkat produksi makanan
dan tingkat kerusakan sumber daya alam terus berlanjut tanpa perubahan, batas-batas
pertumbuhan (fisik) di planet ini akan tercapai kira-kira dalam waktu 100 tahun mendatang
(teori tentang kehancuran dunia). Artinya kehidupan manusia akan kolaps dalam waktu
yang tidak terlalu lama. Setelah 30 tahun, pada tahun 2004, simulasi dengan data yang lebih
baru dilakukan kembali, dengan hasil yang tidak berbeda nyata pada laju pertumbuhan
penduduk dan industrialisasi yang berdampak pada polusi dan perusakan sumberdaya alam.
Lih: Donella Meadows, Dennis Meadows, Jorgen Renders dan William Behrens III, Limits to
Growth, (New York: Universe Books, 1972
16 Pembangunan berkelanjutan berpilar pada tiga hal yang harus diperhatikan secara seimbang:
Lingkungan, Ekonomi dan Sosial.
17 Donella Meadows, Dennis Meadows, dan Jorgen Renders, Limits to Growth: The 30-Year Update
(White River Junction, USA: Chelsia Green, 2004). Buku ini pertama kali dipresentasikan dalam
Environmental Change and Security Project Of the Woodrow Wilson International Center for Scholars.
18 Jessica Campese, Terry Sunderland, Thomas Greiber dan Gonzalo Oviedo (Eds). 2009. Rights-
based approaches: Exploring issues and opportunities for conservation. Chapter 1: Rights-based
approaches to conservation: An overview of concepts and question. Hal: 1-46. CIFOR and
IUCN, Bogor, Indonesia.

6
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

jumlah penduduk mencapai hampir 1,5 milyar jiwa, pada tahun 2025 akan menjadi
pasar utama bagi ekonomi dunia19 dan dapat berdampak pada pemanfaatan SDA
Indonesia untuk konsumsi maupun sumber bahan baku industri di Cina. Sebagai
contoh, tahun 1994 Cina merupakan importir hasil hutan terbesar ketujuh di dunia
dan di tahun 2004 sudah menduduki peringkat kedua.20

2.3. Kepunahan terjadi untuk selamanya

Isu utama dalam konservasi adalah mencegah kepunahan yang dapat terjadi
di semua tingkatan keanekaragaman hayati baik ekosistem, spesies maupun
genetik. Kepunahan, terlebih yang bersifat massal, harus dicegah. Satu-satunya cara
pencegahannya adalah konservasi dalam arti luas, termasuk pengelolaan secara
berkelanjutan.

Dalam mempertahankan stabilitasnya, ekosistem alam mempunyai tingkat


ketahanan (resistensi) dan daya lenting (resiliensi) dalam menghadapi gangguan
atau tekanan dari luar.21 Walaupun alam dapat mengembalikan dirinya ke tingkat
semula, ancaman yang kecil pun pada tahap tertentu dapat mengakibatkan
kehilangan spesies secara total.22 Namun, selama spesies aslinya masih tetap ada,
maka komunitas biologi itu akan cenderung kembali ke tingkat aslinya. Demikian
pula halnya di tingkat genetik dimana variasi genetik pada suatu spesies dapat
berkurang jika jumlah individu di dalam populasi berkurang, tetapi spesies dapat
mengembalikan variasi genetiknya melalui mutasi dan rekombinasi. Namun, ketika
suatu spesies punah, informasi genetik yang unik dalam materi DNA,23 maupun
kombinasi khusus sifat-sifat unik yang dimilikinya, akan hilang selamanya.
Akibatnya, komunitas dan ekosistem tempat hidupnya akan kehilangan satu
komponen penyusunnya sehingga potensi manfaat bagi manusia juga ikut hilang.24
Beberapa spesies Indonesia telah dinyatakan punah secara global, beberapa spesies

19 Department of Economic and Social Affairs, United Nations Population Division (UNPD), 2010
20 Xiufang Sun, Eugenia Katsigris, Andy White, Meeting China’s Demand for Forest Products: An
Overview of Import Trends, Ports of Entry, and Supplying Countries, With Emphasis on the Asia -
Pacific Region, (Washington D.C.: Forest Trends, Chinese Center for Agricultural Policy, and
Center for International Forestry Research, 2004).
21 Volker Grimm dan Christian Wissel. “Babel, or the ecological stability discussions: an
inventory and analysis of terminology and a guide for avoiding confusion.” Oecologia Vol.
109 (1994), hlm. 323–334.
22 Mochamad Indrawan, et.al., Biologi Konservasi, (2007), hal 87.
23 DNA, atau deoxyribonucleic acid, merupakan materi sifat keturunan yang ada di hampir
semua organisme mahluk hidup. Hampir setiap sel di tubuh individu mempunyai DNA yang
sama. Hampir seluruh DNA berada di inti sel (yang disebut inti DNA), namun sejumlah kecil
DNA dapat juga ditemukan di mitokondria (dan disebut DNA mitokondria).
24 Mochamad Indrawan, et.al., Op.Cit., hal 87.

7
SAMEDI

lain mungkin telah punah secara lokal karena sudah sulit dijumpai di alam, dan
ada spesies yang hanya tinggal di penangkaran dan sedang diupayakan untuk
dilepasliarkan kembali ke habitat alam.25

Secara geografis, kepunahan dapat terjadi di tingkat yang sangat lokal, yaitu
satu atau dua populasi di suatu tempat mengalami kepunahan tetapi masih dapat
ditemui di tempat lain. Kepunahan global terjadi apabila seluruh populasi di
sebaran alami spesies telah punah.26 Selain itu, kepunahan juga dapat terjadi hanya
di habitat alamnya (punah di alam). Kepunahan ekologis dapat terjadi ketika suatu
spesies hanya tinggal di dalam populasi yang sangat kecil yang secara ekologis
sudah tidak dapat bertahan hidup dalam jangka panjang (tidak viable).27

Secara umum penyebab kepunahan spesies dapat dialamatkan kepada dua hal
yaitu:28

1. Kerusakan habitat yang diakibatkan oleh konversi habitat alami serta


pemanfaatan sumberdaya alam dengan cara yang merusak;

2. Pemanfaatan spesies yang tidak berkelanjutan seperti perburuan dan


perdagangan ilegal, termasuk tidak ada atau tidak efektifnya regulasi,
pemanfaatan yang tidak terpantau serta masuk dan berkembangnya spesies-
spesies yang bersifat invasif.

Kepunahan dapat terjadi secara alami, misalnya karena perubahan iklim yang
ekstrim yang pernah terjadi pada masa geologi jutaan tahun yang lalu. Kepunahan
secara alami juga dapat disebabkan oleh epidemi penyakit, asteroid atau spesies
invasif.29

Aktivitas manusia mempercepat kepunahan dengan meningkatnya jumlah


penduduk, perusakan dan fragmentasi habitat, pencemaran dan pemanasan

25 Ibid. Spesies yang telah punah diantaranya adalah harimau Bali (Panthera tigris balica), harimau
Jawa (Panthera tigris sondaica), burung trulek Jawa (Vanellus macropterus); kemungkinan
punah di alam seperti misalnya cucak rawa(Pycnonotus zeylanicus); dan yang hanya tinggal
di penangkaran misalnya curik /jalak Bali (Leucopsar rotschildii)
26 IUCN dalam Red List of Threatened Species membagi beberapa tipe kepunahan spesies.
Lih: IUCN, The IUCN Red List of Threatened Species, Versi 2015-4, http://www.iucnredlist.org,
diunduh pada 19 November 2015.
27 Ibid.
28 Teks Konvensi CITES menjelaskan tujuan konvensi untuk menurunkan resiko kepunahan
spesies yang diakibatkan oleh perdagangan yang merupakan salah satu penyebab kepunahan
selain kerusakan habitat. Perdagangan spesies merupakan muara dari pemanfaatan baik
legal maupun illegal. Lih: “Convention on International Trade of Endangered Species,” 3
Maret 1973, United Nations Treaty Series, Vol. 993 (1973).
29 Mochamad Indrawan, et.al., Op.Cit., hal. 87-179.

8
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

global. Dari catatan kepunahan, 99% spesies yang punah disebabkan oleh kegiatan
manusia.30 Terkait dengan hal tersebut, IUCN memperkirakan bahwa kehilangan
dan perusakan habitat berpengaruh pada 86% dari seluruh burung, 86% mamalia
dan 88% amphibi yang terancam punah.31

2.4. Konservasi (di semua tingkat) keanekaragaman hayati

Mencegah kepunahan adalah tujuan utama dari konservasi keanekaragaman


hayati. Walaupun pencegahan kepunahan bertumpu pada konservasi di tingkat
spesies, konservasi keanekaragaman hayati harus dilaksanakan di tiga tingkat
keanekaragamannya, yaitu ekosistem, spesies dan genetik.32

Konservasi di tingkat ekosistem

Keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia disebabkan letaknya pada


persilangan pengaruh antara benua Asia dan Australia. Sebelah barat wilayah
Indonesia (Sumatra, Kalimantan dan Jawa) dipengaruhi oleh sifat-sifat tumbuhan
dan hewan Oriental. Sementara, seluruh pulau Papua, Australia dan Tasmania
masuk dalam kawasan yang dipengaruhi oleh biogeografi Australia. Sedangkan
Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku merupakan peralihan antara keduanya,
sehingga bersifat unik dengan tumbuhan dan hewan yang sama sekali berbeda
dengan Oriental maupun Australia.33 34 Bappenas pada tahun 1993 mengidentifikasi
sedikitnya 47 jenis ekosistem alam khas di Indonesia, yang masih dapat terbagi
lagi ke dalam lebih dari 90 tipe ekosistem yang lebih spesifik.35 Ekosistem yang
paling kaya keragaman hayatinya adalah hutan hujan tropis yang walaupun hanya
meliputi 7% permukaan bumi, namun mengandung paling sedikit 50% s.d. 90%
dari semua spesies tumbuhan dan satwa yang ada di dunia.36

30 Ibid., hal. 89-177.


31 IUCN (International Union of the Conservation of Nature) dalam IUCN Redlist of Threatened
Species 2015. Sesuai dengan tingkat keterancamannya IUCN mengkategorisasikan spesies
yang terancam bahaya kepunahan ke dalam: Extinct in the wild (punah di alam), Critically
Endangered (kritis), Endangered (dalam bahaya kepunahan), Rare (langka), Vurnerable (rentan),
Near Threatened (mendekati terancam) dan Least Concerned (tidak mengkhawatirkan).
32 Teks Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) 1992 membagi keanekaragaman hayati ke
dalam tiga tingkat keanekaragaman, yaitu keanekaragaman ekosistem, antar spesies di
dalam ekosistem dan genetik di dalam spesies.
33 Bappenas RI (1993), Op.Cit., hal 1-6
34 R.A. How dan D.J. Kitchener, “Biogeography of Indonesian Snakes,” Journal of Biogeography,
24 (1997), hlm. 725–735.
35 Ibid, Chapter 2: hal 7-18.
36 Ibid, Chapter 1: hal 1-6.

9
SAMEDI

Perlindungan setiap tipe ekosistem di sebanyak-banyaknya lokasi dapat


melindungi lebih banyak lagi keanekaragaman spesies dan genetik. Tidak ada teori
yang dapat menjelaskan berapa luasan atau proporsi ideal kawasan konservasi
dalam suatu wilayah atau negara. Konvensi Keanekaragaman Hayati (“CBD”)37
mendesak negara anggota untuk paling tidak mencadangkan 10% dari wilayah
daratannya menjadi kawasan dilindungi, dimana secara global saat ini telah ada
sekitar 10-15% kawasan konservasi.38

Perlindungan ekosistem saat ini banyak berbenturan dengan kebutuhan


lahan bagi pembangunan ekonomi, sehingga kita tidak dapat melindungi semua
tipe ekosistem sebanyak-banyaknya di dalam jejaring kawasan yang dilindungi
(kawasan konservasi).39 Dalam kondisi banyak ekosistem penting yang tidak
dapat atau sulit dimasukkan ke dalam sistem atau jaringan kawasan konservasi,
diperlukan sistem pengelolaan yang dapat melindungi ekosistem penting tersebut
dan keanekaragaman hayatinya tanpa mengorbankan tujuan pemanfaatan lahan.40
Pelindungan ekosistem tersebut bertujuan untuk melindungi keterwakilan,
memelihara keseimbangan, ketersambungan dan kemantapan ekosistem di
dalam suatu jejaring kawasan konservasi yang mempunyai batas-batas jelas, yang
ditetapkan dan secara hukum mengikat untuk melindungi keanekaragaman hayati
beserta jasa ekosistem dan nilai-nilai budaya.41

Dalam pedoman perencanaan kawasan konservasi, IUCN memberikan arahan


bahwa kawasan konservasi telah menjadi tonggak bagi interaksi antara manusia
dan alamnya.42 Menurut IUCN, sekarang kawasan konservasi menjadi satu-satunya
harapan yang kita punya untuk mencegah terjadinya kepunahan spesies endemik
atau spesies terancam punah.

37 CBD Decision VII/22 on Protected Areas.


38 Mora C, Sale P., “Ongoing Global Biodiversity Loss And The Need To Move Beyond Protected
Areas: A Review Of The Technical And Practical Shortcoming Of Protected Areas On Land
And Sea,” Marine Ecology Progress Series 434 (2011), hlm. 251–266.
39 Mochamad Indrawan, et.al., Op.Cit., hal. 505-565.
40 Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Analysis on Gaps of
Ecological Representativeness and Management of Protected Areas in Indonesia, (2010), Chapter V,
hal. 91-105.
41 Nigel Dudley (Ed.), Guidelines for Applying Protected Area Management Categories, (Gland,
Switzerland: IUCN, 2008).
42 Adrian G. Davey, National System Planning for Protected Areas. (Gland, Switzerland: IUCN,
1998).

10
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Dalam skala global, IUCN memberikan pedoman klasifikasi kawasan


konservasi sesuai dengan tujuan pengelolaannya ke dalam enam (6) kategori:43

1. Kategori Ia: strict nature reserve

2. Kategori Ib: wilderness area

3. Kategori II: national park

4. Kategori III: natural monument

5. Kategori IV: habitat/species management area

6. Kategori V: protected landscape/seascape

7. Kategori VI: protected area with sustainable use of resources

Tidak seluruh negara harus mengadopsi keenam kategori kawasan konservasi


IUCN tersebut. Pelaksanaaan kategorisasi kawasan konservasi di Indonesia
dituangkan di dalam undang-undang konservasi.44

Konservasi di tingkat spesies

Ancaman terbesar dalam konservasi spesies adalah kepunahan. Sampai


jumlah tertentu, kepunahan spesies secara alami dapat ditoleransi. Namun,
tidak ada seorang pun yang dapat menduga berapa banyak kehilangan spesies
yang dapat menyebabkan bumi ini kolaps, dan dalam berapa lama. Berdasarkan
status populasi terkait dengan ancaman terhadap kepunahan45 dan tekanan pada
populasi spesies dari kerusakan habitat dan perdagangan spesies, maka spesies perlu
diklasifikasikan ke dalam status perlindungan yang secara hukum mengikat agar
tindakan perlindungannya dapat efektif.

Pada tingkat internasional, Konvensi Perdagangan Internasional Spesies


Terancam (“CITES”)46 membagi status perlindungan spesies ke dalam 3 kagori, yaitu

43 Nigel Dudley (Ed.), Op.Cit.


44 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (“UU KSDAHE”) membagi kawasan konservasi menjadi dua kategori besar
yaitu (1) Kawasan Suaka Alam yang terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dan
yang merupakan kategorisasi dari pengawetan sumber daya alam hayati; dan (2) Kawasan
Pelestarian Alam yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan
Raya yang merupakan kategorisasi dari pemanfaatan sumber daya alam hayati.
45 Lihat klasifikasi keterancaman spesies terhadap bahaya kepunahan dari IUCN-Redlist of
Threatened Species 2015. Lih: IUCN (2015), Op.Cit
46 Convention on International Trade in Endengered Species of Wild Fauna and Flora (CITES),
sebuah konvensi internasional yang saat ini beranggotakan 180 negara, termasuk Indonesia
bertujuan untuk mengendalikan perdagangan spesies hidupan liar yang terancam punah dan

11
SAMEDI

spesies Appendix I, Appendix II, serta spesies non-appendix yang tidak dikontrol
melalui CITES.47 Spesies yang termasuk Apppendix I dilarang diperdagangkan secara
internasional.

Pada tingkat nasional, UU KSDAHE48 hanya membagi status perlindungan spesies


ke dalam dua kategori saja, yaitu spesies dilindungi dan spesies tidak dilindungi.
Spesies yang dilindungi merupakan spesies yang terancam punah, dengan pengaturan
dan sanksi pidana yang cukup mamadai untuk menimbulkan efek jera. Namun spesies
yang tidak dilindungi, yaitu spesies-spesies yang dianggap belum terancam punah,
tidak diatur ketentuan dan sanksinya.

Terlepas dari kekurangan yang ada pada legislasi nasional dalam


mengklasifikasikan status perlindungan spesies, konservasi di tingkat spesies harus
mampu mengatur pemulihan populasi di habitat alami spesies terancam punah dan
mengendalikan pemanfaatan spesies-spesies yang belum terancam punah. Juga
diperlukan kontrol perdagangan bagi spesies yang belum terancam punah namun
tingkat perdagangannya tinggi, sejak dari penangkapan, transportasi sampai
ekspornya. Hal tersebut diperintahkan oleh CITES bagi spesies-spesies Appendix
II, bahwa perdagangan spesies Appendix II tidak boleh merusak populasi di alam
(non-detriment).49

Konservasi di tingkat genetik

Dalam kerangka perlindungan sumber daya genetik untuk menghindari


“pencurian” atau yang sering disebut sebagai biopiracy, sumber daya genetik yang
dapat berupa materi genetik, termasuk informasi yang terkandung di dalamnya dan
asal-usulnya (origin) – yang berupa tumbuhan, hewan, mikroba dan turunannya yang

yang dapat terancam punah oleh adanya perdagangan internasional. CITES secara umum
membagi spesies ke dalam appendix, yaitu Appendix I, terdiri dari spesies yang terancam
punah, dan Appendix II, yang berisi spesies yang belum terancam punah namun ada tekanan
dari perdagangan sehingga jika tidak dikendalikan dapat menjadi terancam punah. Lih:
CITES, Op.Cit., Appendix I dan Appendix II.
47 CITES mengontrol perdagangan internasional spesies flora dan fauna melalui sistem
perizinan yang standar di seluruh negara anggota didukung oleh sistem legislasi nasional
yang standar yang dapat melarang, menghukum dan menyita spesimen fauna dan flora yang
diperdagangkan tidak sesuai dengan ketentuan CITES. Lih: Ibid.
48 UU KSDAHE, Op.Cit.
49 CITES Aricle IV mendesak kepada seluruh neggara anggota agar dalam memberikan izin
ekspor spesies Appendix II didasarkan pada Non-Detriment Findings yaitu sistem pengambilan
keputusan untuk membolehkan atau tidak perdagangan internasional spesies Appendix II
berdasarkan kajian ilmiah bahwa izin ekspor hanya dapat diberikan setelah Otorita Pengelola
yang berwenang memberi izin benar-benar yakin bahwa ekspor tersebut tidak akan merusak
populasi di alam. Lih: CITES, Op.Cit.

12
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

diperoleh dari kondisi in-situ dan ex-situ.50 Definisi ini menjadi penting bagi Indonesia
sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati namun yang masih relatif
tertinggal dari segi bioteknologi. Indonesia perlu melindungi kekayaan hayatinya
agar tidak hanya menjadi “pasar” bagi teknologi berbasis keanekaragaman hayati
yang justru bersumber dari negara seperti Indonesia.

Masa depan umat manusia akan sangat bergantung pada sumber daya genetik.
Perubahan iklim global dapat dipastikan mengubah pola suplai pangan dan
kesehatan dunia.51 Tanaman pangan dan hewan ternak yang ada saat ini mungkin
tidak dapat bertahan dengan kondisi iklim yang berubah. Penemuan varitas-varitas
baru tanaman pangan dan ternak akan sangat bergantung pada keanekaragaman
genetik tumbuhan dan hewan. Varitas-varitas tanaman pangan dan hewan bermutu
tinggi yang ada saat ini merupakan hasil dari konservasi genetik yang efektif. Oleh
sebab itu, konservasi keanekaragaman genetik menjadi sangat penting dan menjadi
keniscayaan untuk masa depan umat manusia. Riset dan pengembangan teknologi
ke arah itu sedang mengalami eskalasi yang tajam52.

Dalam konteks sumber daya genetik, konservasi diarahkan pada pengembangan


strategi perlindungan genetik pada spesies-spesies yang akan menjadi target, yaitu
spesies yang karena kondisinya dapat menyebabkan keanekaragaman genetiknya
terancam menurun atau hilang. Selain itu, pengaturan pemanfaatan sumber daya
genetik diarahkan pada pengaturan akses terhadap sumber daya genetik serta
pembagian yang adil dan setara atas pemanfaatan sumber daya genetik.53 Kegiatan
konservasi genetik bertujuan untuk tetap mempertahankan keragaman genetik, yaitu

50 Disarikan dari definisi di dalam Konvensi CBD (1992), Lih: CBD, Op.Cit
51 Rosamond Naylor, Walter Falcon, dan Cary Fowler (Ed), “The Conservation of Global Crop
Genetic Resources In the Face of Climate Change,” Summary Statement from a Bellagio Meeting,
3-7 September 2007.
52 David Cameron, Perdana Menteri Inggris, Lih: “Genetics Research Boost to Families and
Jobs,” Evening Chronicle, (12 Maret, 2015).
53 Sumberdaya genetik menurut Konvensi Keanekaragaman Hayati (UNCBD, 1992) adalah
materi-materi genetik yang mempunyai nilai aktual maupun potensial dimana nilai aktual
atau potensial di sini adalah adanya informasi yang terkandung di dalam materi genetik.
Materi genetik itu sendiri merupakan material yang berasal dari tumbuhan, hewan, mikroba
atau dari sumber lain yang berisi unit-unit pembawa sifat keturunan yang berada di dalam
suatu sel yang ditemukan di dalam nukleus, mitokondria dan sitoplasma yang memainkan
peran dasar dalam menentukan struktur dan sifat-sifat substansi sel, dan mampu untuk
memperbanyak dan menganekaragamkan dirinya. Materi genetik suatu sel dapat berupa
gen, bagian dari gen, kelompok gen, molekul DNA, fragmen sebuah DNA, kelompok molekul
DNA dari seluruh genom suatu organisme. Genom itu sendiri merupakan satu set lengkap
dari gen, dimana gen merupakan unit pembawa sifat keturunan. Di dalam berbagai peraturan,
definisi materi genetik telah diperluas untuk mencakup juga semua bagian dari mahluk hidup,
termasuk bisa yang bukan merupakan pembawa sifat keturunan. Lih: CBD, Op.Cit.

13
SAMEDI

variasi gen dan tipe gen antar dan dalam suatu spesies, sehingga dapat beradaptasi
pada lingkungannya.54 Kekuatan-kekuatan evolusi yang mempengaruhi perubahan
keanekaragaman genetik antara lain seleksi alam, pergeseran genetik (genetic drift),
mengalirnya gen (gene flow) dan mutasi.55 Oleh karenanya, perlindungan sumberdaya
genetik baik di habitatnya (in situ) maupun di luar habitatnya (ex situ) ditujukan untuk
menjaga keanekaragaman (keragaman) genetik suatu spesies.

Konservasi sumber daya genetik termasuk juga pengaturan pada pengetahuan


tradisional (traditional knowledge) yang merupakan informasi atau praktek dari
masyarakat tradisional atau masyarakat lokal yang terkait dengan sumberdaya genetik.

Manfaat atau keuntungan yang didapatkan dari pengembangan dan


komersialisasi sumber daya genetik harus dibagikan kepada pemilik sumber
daya genetik. Prinsip dasar inilah yang melahirkan perjanjian internasional yang
pertama-tama diadopsi dalam kerangka CBD.56 Tujuan ketiga dari CBD diperkuat
dengan disepakatinya Protokol Nagoya,57 yang memberikan landasan yang kuat
bagi kepastian dan transparansi secara hukum untuk penyedia dan pengguna
sumberdaya genetik. Protokol Nagoya juga secara spesifik menyediakan petunjuk
mengenai legislasi nasional yang harus dikembangkan oleh negara penyedia
sumberdaya genetik seperti perjanjian kontrak dan perijinan.

2.5. Perlunya Sistem Hukum Yang Efektif: Peran Hukum Dalam Konservasi

Non-sense, Konservasi Tanpa Peran Masyarakat

Perlindungan yang efektif bagi kelestarian jangka panjang keanekaragaman


hayati di tingkat ekosistem, spesies dan genetik sangat diperlukan bagi masa depan
umat manusia. Walaupun tujuannya sangat mulia, tindakan konservasi selalu
mendapatkan tantangan yang besar yang disebabkan oleh banyak faktor, termasuk

54 W. Darwiati, “Keragaman dan Konservasi Genetik Tanaman Hutan Resisten terhadap Hama
Penyakit,” Mitra Hutan Tanaman. Vol 3 No. 1. (2008), hal. 43-50.
55 Nigel Maxted, Brian Ford-Lloyd dan John Hawkes, Plant Genetic Conservation: The In Situ
Approach, (London: Chapman & Hall, 1997).
56 Tujuan dari CBD bertumpu pada tiga pilar, yaitu 1) Konservasi keanekaragaman hayati; 2)
Pemanfaatan yang berkelanjutan; dan 3) Pembagian keuntungan yang adil dan seimbang
dari pemanfaatan sumber daya genetik. Lih: CBD, Op.Cit.
57 Protokol Nagoya disetujui pada 29 Oktober 2010 di Nagoya dan berlaku secara resmi pada 12
Oktober 2014. Indonesia meratifikasi Protokol Nagoya melalui Undang-undang No. 11 Tahun
2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya. Lih: “Nagoya Protocol on Access to Genetic
Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the
Convention on Biological Diversity,” 29 Oktober 2010, United Nations Treaty Series No. 30619,
Dok.: UNEP/CBD/COP/DEC/X/1.

14
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

faktor sosial, ekonomi dan kejahatan.58

Faktor sosial dan ekonomi merupakan faktor dominan yang menjadi tantangan
besar upaya konservasi keanekaragaman hayati. Pelaksanaan norma-norma
konservasi yang secara hukum mengikat banyak mengalami hambatan di negara
berkembang seperti Indonesia. Asal muasal gerakan konservasi dari negara-negara
barat yang sistem hukumnya lebih kuat merupakan salah satu faktor. Penerapan
hukum konservasi di negara-negara berkembang banyak menimbulkan konflik,
mengingat ketergantungan masyarakat akan SDA hayati masih sangat tinggi.59 Hal
ini erat kaitannya dengan masyarakat di sekitar sumber daya yang belum terlepas
dari kemiskinan. Kemiskinan menjadi kendala utama konservasi, sehingga tidak
akan ada konservasi selama masih banyak masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan.60 Ada tiga masalah yang selalu berasosiasi dengan kemiskinan dalam
pengelolaan sumberdaya alam:

1. Tidak adanya hak masyarakat dan kurangnya sumberdaya;

2. Marginalisasi dan eksploitasi secara politis;

3. Marginalisasi dan kurangnya jaring pengaman sosial dan ekonomi.

Permasalahan di atas menjadikan konservasi tidak efektif, karena tindakan-


tindakan illegal menjadi sulit diatasi. Hal tersebut diperburuk dengan adanya
“petualang tanah” (free rider)61 yang mengejar penggunaan (rente) tanah murah atau
SDA murah di tanah negara dengan menggunakan masyarakat miskin sebagai latar.
Oleh sebab itu sistem hukum harus dibangun sesuai dengan kondisi setempat yang
menempatkan masyarakat sebagai subyek pelaku konservasi yang disertai dengan
penegakan hukum secara efektif. Untuk menghindari konflik dalam membangun
konservasi, masyarakat harus terlibat di dalam semua aspek kegiatan konservasi.
Sebagai contoh, IUCN62 merekomendasikan konsep pengelolaan konservasi secara

58 Grazia Borrini-Feyerabend, Ashish Kothari dan Gonzalo Oviedo, Indigenous and Local Communities
and Protected Areas: Towards Equity and Enhanced Conservation (Gland, Switzerland: IUCN, 2004),
hal. 7.
59 “Collaborative Management of Protected Areas: Tailoring the Approach to the Context,”
Issues In Social Policy, (Gland, Switzerland: IUCN), hal. 4.
60 M. Murphee, “Rural Poverty, Democracy and Sustainable Use of Wildlife in Africa,” keynote
speech pada Symposium on the Conservation and Sustainable Use of Wildlfe, Kyoto Forum:
In Harmony With Wildlife (1992).
61 Contoh adanya free rider dalam pengelolaan lahan konservasi, Lih: Elisabet Repelita
Kuswijayanti, Arya Hadi Darmawan, dan Hariadi Kartodiharjo, “Krisis-Krisis Socio-Politico-
Ecology Di Kawasan Konservasi: Studi Ekologi Politik Di Taman Nasional Gunung Merapi,”
Solidarity: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia (April 2007), hal. 41-46.
62 Grazia Borrini-Feyerabend, Ashish Kothari and Gonzalo Oviedo,  Indigenous and Local
Communities and Protected Areas: Towards Equity and Enhanced Conservation, (Gland,

15
SAMEDI

kolaboratif antara masyarakat dengan pemerintah.

Dalam konsep ini ada pergeseran paradigma di mana beberapa kewenangan


pemerintah terbagi sesuai dengan peran masing-masing pemangku kepentingan
(stakeholders). Namun, yang terpenting adalah bahwa masyarakat mendapatkan
keuntungan yang adil dari pelaksanaan konservasi itu sendiri. Tiga elemen utama
dalam rezim pengelolaan kolaboratif yang harus jelas diatur di dalam perundang-
undangan, yaitu:63

1. Pembagian kewenangan dan tanggung jawab (share of authority and


responsibility) sehingga ada pembagian keuntungan yang adil diantara
pemangku kepentingan (equitable sharing of benefits arising from the management);

2. Tujuan secara sosial, ekonomi dan budaya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan strategi pengelolaan;

3. Pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (lestari) harus menjadi tujuan


utama.

Konflik kepentingan antara konservasi dengan pembangunan

Selain tingginya peluang konflik dengan masyarakat di sekitar kawasan,


konservasi juga dapat tidak populer di kalangan unsur pemerintah itu sendiri.
Disharmoni peraturan perundangan konservasi dengan peraturan sektor lain
sering terjadi karena adanya konflik antar peraturan perundang-undangan; konflik
peraturan perundang-undangan dengan hukum adat; peraturan yang tidak
konsisten; kekosongan hukum; dan konflik tata ruang.64

Undang-Undang yang Mengatur Konservasi Keanekaragaman Hayati

Secara yuridis, saat ini hanya ada satu undang-undang yang secara khusus
mengatur tentang konservasi sumberdaya alam hayati yaitu UU No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU KSDAHE”).
UU ini, yang menggantikan beberapa produk peraturan kolonial pra-kemerdekaan,
telah berumur lebih dari 20 tahun. Selama masa tersebut telah terjadi begitu banyak
perubahan lingkungan strategis nasional, seperti berubahnya sistem politik dan
Switzerland: IUCN, 2004), hal. 12.
63 Gordon Claridge and Bernard O’Callaghan, “Making Co-Management of Wetland Resources
Work,” makalah dipublikasikan dalam Community Involvement in Wetland Management:
Lessons from the Field. Editor: Gordon Claridge, (Kuala Lumpur: Wetlands International, 1997),
hal. 25-63.
64 H. Alexander, Gap Analisis: Pergeseran Paradigma Kebijakan Konservasi (Jakarta: OCSP-USAID,
2008), hal 64-68.

16
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi, serta berubahnya


peraturan perundang-undangan sektoral, maupun perubahan pada tataran global.

UU KSDAHE dirasakan sudah tidak efektif lagi dan banyak kelemahan untuk
melindungi SDA hayati Indonesia sekarang dan di masa yang akan datang. UU
ini juga tidak lagi sesuai dengan perkembangan paradigma konservasi di tingkat
global maupun nasional. Oleh sebab itu, revisi UU KSDAHE dirasakan perlu untuk
segera dilakukan.65 Ada beberapa undang-undang sektoral, misalnya perikanan,
yang di dalamnya mengatur tentang konservasi sumber daya ikan. Namun,
isinya masih berkonflik dengan UU KSDAHE sehingga pelaksanaan di lapangan
sering menimbulkan kerancuan.66 Harmonisasi tentunya menjadi hal yang harus
dilakukan.

III. Kerangka Hukum Konservasi di Indonesia

3.1. Sejarah Hukum Konservasi di Indonesia

Pada tahun 1714, Cornelis Chastelein, seorang tuan tanah Belanda, mewariskan
seluruh bidang tanah miliknya kepada para pengikutnya – kecuali persil hutan seluas
6 Ha di Depok. Ia mewasiatkan agar lahan hutan tersebut tidak dipindahtangankan
dan harus dikelola sebagai cagar alam.67 Wacana konservasi juga muncul pada akhir
abad 19, tepatnya pada 1896, dimana saat itu pemerintah kolonial Belanda mendapat
tekanan dari luar Hindia Belanda tentang penyelundupan burung cenderawasih
yang kemudian melahirkan Undang-Undang Perlindungan Mammalia Liar dan
Burung Liar pada 1910. Nederlands Indische Vereniging tot Natuur Bescherming yang
didirikan tahun 1912 oleh Dr. S.H. Koorders berhasil menunjuk 12 kawasan yang
perlu dilindungi di Pulau Jawa pada tahun 1913 yang kemudian dilanjutkan dengan
penunjukan kawasan dilindungi di pulau Jawa hingga Sumatera dan Kalimantan.68

65 Proses revisi UU KSDAHE pada saat tulisan ini dibuat, telah dimulai dan pembahasan-
pembahasan intensif sedang berlangsung.
66 Undang-undang tentang perikanan adalah UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang
diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009. Disharmoni dengan UU Konservasi diantaranya
terletak pada definisi “ikan” yang mencakup seluruh biota yang sebagian atau seluruh
siklus hidupnya berada di air. Definisi ini dapat menimbulkan kerancuan pelaksanaan di
lapangan. Lih: Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN No. 5073.
67 Purbasari, Interaksi Masyarakat dan Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya Pancoran
Mas Depok, (Bogor: Fakultas Kehutanan IPB, 2011) (skripsi tidak diterbitkan).
68 Ibid.

17
SAMEDI

Dari kejadian-kejadian di atas hukum formal konservasi di Indonesia dimulai,


dan pada tahun 1926, berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda,
dua kawasan yaitu Pancoran Mas, Depok, dan pegunungan Gede-Pangrango
dikukuhkan sebagai Natuurreservaat. UU yang mengatur perburuan dituangkan
dalam Staatsblad 479 (Oktober 1909) serta Staatsblad 594 (Desember 1909) dan
kemudian berkembang menjadi Undang-Undang Perlindungan Mamalia Liar
dan Burung Liar pada tahun 1910. Ordonansi yang mengatur perlindungan satwa
(Dierentbescherming Ordonantie) terbit pada tahun 1931 dan ordonansi yang mengatur
cagar alam dan suaka margasatwa (Natuurbescherming Ordonantie) terbit pada tahun
1932 dan masih dipakai hingga lebih dari 45 tahun setelah kemerdekaan.

Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 memasukkan kawasan-


kawasan cagar alam, suaka margasatwa dan hutan wisata ke dalam aturannya. Pada
tahun 1990 barulah terbit undang-undang konservasi yaitu Undang-undang No. 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU
KSDAHE”) yang merupakan produk peraturan konservasi yang komprehensif dari
pemerintah Republik Indonesia, sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara
dengan sistem hukum konservasi yang lebih baik.

3.2. World Conservation Strategy

Kerangka hukum konservasi keanekaragaman hayati di tingkat nasional


tidak dapat dilepaskan dari kerangka hukum atau perjanjian-perjanjian konservasi
internasional. UU KSDAHE mengadopsi IUCN World Conservation Strategy
(“WCS”) yang dicanangkan oleh IUCN pada tahun 1980. WCS bermaksud
melaksanakan konservasi SDA hayati dan berkontribusi terhadap kelangsungan
hidup manusia dan pembangunan berkelanjutan. Tiga tujuan WCS69 yang
diluncurkan pada tahun 1980 diadopsi menjadi kerangka hukum konservasi, yaitu:

a. Maintenance of essential ecological process and life-support systems;

b. Preservation of genetic diversity; dan

c. Sustainable utilization of species and ecosystems

3.3. Evolusi Gerakan Konservasi Internasional

Perkembangan Gerakan Konservasi Dunia dan World Conservation Strategy


mengalami evolusi dan perkembangan ke arah pembangunan berkelanjutan, dan

69 IUCN, UNEP dan WWF, World Conservation Strategy: Living Resource Conservation for
Sustainable Development (1980).

18
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

hal tersebut terjadi di bawah kerangka Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang
tonggaknya sebenarnya sudah dimulai dari tahun 1972 melalui the United Nations
Conference on the Human Environment di Stockholm. Secara terpisah pada tahun 1973
di Washigton DC disepakati suatu perjanjian internasional mengenai perdagangan
flora dan fauna liar yaitu The Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora (“CITES”). Bahkan, dua tahun sebelumnya pada tahun 1971
di kota Ramsar, Iran, telah disepakati konvensi mengenai pemanfaatan lahan basah,
yaitu The Convention on Wetlands of International Importance, Especially as Waterfowl
Habitat (“Ramsar Convention”).

Pada tahun 1980, the International Union for the Conservation of Natural
Resources (IUCN) mengeluarkan the World Conservation Strategy (WCS) yang
menyediakan prekursor bagi Pembangunan Berkelanjutan. Strategi ini menyatakan
bahwa konservasi tidak akan dapat dicapai tanpa adanya pembangunan untuk
mengentaskan kemiskinan, dan menekankan kesaling-tergantungan antara
konservasi dan pembangunan.70 Dua tahun kemudian pada 48th plenary of the UN-
General Assembly pada tahun 1982, inisiatif WCS mengalami puncaknya dengan
disetujuinya World Charter for Nature: “mankind is a part of nature and life depends
on the uninterrupted functioning of natural systems.” Pada tahun 1983, dibentuk the
World Commission on Environment and Development (WCED) dan oleh UN General
Assembly dinyatakan sebagai badan independen untuk memformulasikan Agenda
Perubahan Global: “A global agenda for change.” Pada tahun 1987, WECD membuat
laporan berjudul “Our Common Future,” dengan mengelaborasi WCS tentang
kesalingtergantungan global dan hubungan ekonomi dengan lingkungan.71

Puncaknya terjadi pada bulan Juni 1992, dengan diselenggarakannnya


Konferensi Tingkat Tinggi yaitu UN Conference on Environment and Development
(UNCED) di Rio de Janeiro yang mengadopsi agenda bagi lingkungan dan
pembangunan yang dikenal dengan Agenda 21 dan the Statement of Forest Principles.
Pada konferensi ini ada 2 perjanjian internasional yang disepakati: the Convention
on Biological Diversity (“CBD”), dan the UN-Framework Convention on Climate Change
(“UNFCCC”). Dari Agenda 21 juga kemudian disepakati sebuah Konvensi mengenai
penanggulangan penggurunan dan degradasi lahan (the Convention on Combating
Desertification).72
70 WCS, Op.Cit., Bab I, Introduction: Living Resource Conservation For Sustainable
Development.
71 World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future, (Oxford
University Press, London, 1987), hal. 7.
72 United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA), Earth Summit: Agenda
21, The United Nations programme of Action From Rio, (New York: UN-DESA, 1992)

19
SAMEDI

Pada tahun 1993, UNCED membentuk the Commission on Sustainable Development


(“CSD”) untuk menindaklanjuti implementasi Agenda 21. Pada tahun 2002,
diselengggarakan Konferensi Rio+10, sebuah konferensi tindak lanjut Deklarasi Rio
melalui the World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg untuk
memperbaiki komitmen global tentang pembangunan berkelanjutan. Akhirnya pada
tahun 2012 diselenggarakan Konferensi Rio+20 yang menghasilkan kesepakatan
baru untuk “green economy” dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan
pengentasan kemiskinan serta kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan.73

3.4. Kerangka Hukum Konservasi Keanekaragaman Hayati di Tingkat Nasional

Secara historis, UU KSDAHE dibuat berdasarkan WCS yang selama 30


tahun lebih telah mengalami perubahan yang mendasar ke arah pembangunan
berkelanjutan.

UU KSDAHE berpilar kepada tiga tujuan WCS, yaitu: 1) Perlindungan sistem


penyangga kehidupan; 2) Pengawetan keanekaragaman jenis dan ekosistem; dan
3) Pemanfaatan yang lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Ketiga
tujuan ini tercermin dalam kerangka pengaturan UU KSDAHE. Konsiderans UU
ini merujuk pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang
Undang Dasar (“UUD”) 1945. Beberapa UU yang diacu diantaranya: UU No. 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, UU No. 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 20
Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI
dan UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Semua undang-undang yang diacu
tersebut saat ini telah diubah.

UU KSDAHE terdiri atas 14 bab dan 45 pasal, yang pada prinsipnya mengatur
ketiga pilar tersebut (sering disebut dengan 3P)74 dalam suatu kerangka hukum
konservasi SDA hayati. Dalam ketentuan umum, UU ini mendefinisikan konservasi
SDA hayati sebagai “pengelolaan SDA hayati yang pemanfaatannya dilakukan
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.”75

73 United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), “Rio Declaration on


Environment and Development,” lih: http://habitat.igc.org, diakses pada 25 November 2015.
74 Tiga pilar konservasi sesuai tujuan WCS sering disebut dengan 3P, yaitu P1: Perlindungan
sistem penyangga kehidupan; P2: Pengawetan keanekaragaman jenis dan ekosistem; dan P3:
Pemanfaatan yang lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
75 UU KSDHAE, Op.Cit.

20
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Perlindungan sistem penyanggga kehidupan

Bab II UU KSDHAE mengatur mengenai perlindungan sistem penyangga


kehidupan (P1) yang ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. P1 dilakukan dengan menetapkan:76 wilayah tertentu sebagai
wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; pola dasar pembinaan wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengaturan cara pemanfaatan wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan. Sampai saat ini peraturan pemerintah
yang diamanatkan oleh undang-undang untuk menindaklanjuti P1 tidak pernah
dapat dibuat karena materi perlindungan sistem penyangga kehidupan yang sangat
luas, sifatnya yang lintas sektor dan telah banyak diatur oleh undang-undang lain.
Sifat lintas sektor tersebut tercermin dari isu prioritas WCS dari proses ekologis
esensial dan sistem penyangga kehidupan yang meliputi: penurunan kualitas
dan kuantitas lahan pertanian dan lahan peternakan/grazing land; erosi tanah
dan degradasi daerah tangkapan hujan dan daerah aliran sungai; penggurunan;
hilangnya sistem perlindungan perikanan; deforestasi; perubahan iklim dan polusi
udara; perencanaan lingkungan yang tidak memadai dan alokasi sumber daya –
yang tidak rasional.

Selama 30 tahun lebih tiga pilar WCS telah banyak berkembang dan
mengerucut menjadi pembangunan berkelanjutan, tetapi menjadi kegiatan yang
sangat beragam, mulai dari perlindungan sistem pertanian tanaman pangan,
perlindungan daerah aliran sungai, penanggulangan dan pencegahan perubahan
iklim, penanggulangan penggurunan dan perusakan lahan, perlindungan
lingkungan hidup, penangulangan pencemaran, perusakan pesisir dan pulau kecil
dan sebagainya. Perlindungan sistem penyangga kehidupan terlalu besar untuk
dapat diliput dalam satu undang-undang konservasi. Berbagai aspek mengenai
sistem penyangga kehidupan telah diatur di dalam undang-undang sektoral. Hal
tersebut menjadikan kerangka P1, Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan UU
KSDHAE, menjadi tidak operasional.

76 Pasal 8 mengatur bahwa Pemerintah menetapkan: wilayah tertentu sebagai wilayah


perlindungan sistem penyangga kehidupan; pola dasar pembinaan wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan; dan pengaturan cara pemanfaatan wilayah pelindungan
sistem penyangga kehidupan.

21
SAMEDI

Pengawetan Keanekaragaman jenis dan ekosistemnya

Bab III UU KSDAHE membagi Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan


dan Satwa beserta Ekosistemnya menjadi dua kelompok, yaitu:

a) Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,


yang dijabarkan ke dalam pengaturan Kawasan Suaka Alam yang terdiri dari
cagar alam dan suaka margasatwa.77

b) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, yang membagi spesies tumbuhan dan
satwa menjadi dua kategori yaitu dilindungi dan tidak dilindungi.78 Bagi jenis
yang dilindungi terdapat larangan untuk menangkap, mengambil, memiliki,
memperdagangkan, dan sebagainya dengan ancaman hukuman penjara 5
tahun dan denda Rp100 juta bagi yang melanggarnya.79

Pembagian ke dalam dua kelompok, yaitu (1) pengawetan keanekaragaman


tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (2) pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa, secara ilmiah dapat menimbulkan kerancuan karena keduanya dapat mempunyai
arti yang sama. Sesuai dengan kaidah keilmuan, pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya merupakan perlindungan ekosistem,
sedangkan pengawetan jenis tumbuhan dan satwa merupakan perlindungan spesies.
Hal tersebut tercermin di dalam pengaturan selanjutnya di mana pengawetan
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dijalankan melalui penetapan dan
pengelolaan kawasan suaka alam.80

UU KSDAHE tidak secara eksplisit mengatur konservasi SDA hayati di tingkat


ekosistem. Undang-undang ini mancampurkan pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dengan kawasan pelestarian alam
yang ditempatkan setelah bab mengenai pemanfaatan secara lestari SDA hayati
dan ekosistemnya. Pada tingkat ekosistem, peraturan pelaksanaannya dilakukan
melalui Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 yang kemudian diperbaharui
dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Teori kategorisasi kawasan
konservasi81 tidak membedakan kawasan konservasi berdasarkan pengawetan atau

77 Lih: UU KSDAHE, Pasal 12.


78 Ibid., Pasal 20.
79 Ibid., Pasal 21.
80 Ibid., Pasal 12 s.d. Pasal 19, mengatur bagaimana pengawetan jenis di dalam kawasan suaka
alam.
81 Lihat klasifikasi IUCN terkait dengan kawasan konservasi, misalnya: Nigel Dudley (Ed.), Op.Cit.

22
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

pemanfaatan, tetapi berdasarkan tujuan pengelolaannya. UU KSDHAE juga tidak


menyebutkan bahwa KPA merupakan rezim pemanfaatan.82 Bab VI UU KSDAHE
mengenai pemanfaatan SDA hayati dan ekosistem hanya menyebutkan bahwa di
dalam KPA dapat dilakukan pemanfaatan kondisi lingkungan, namun KPA juga
tidak disebut di dalam bab mengenai pengawetan jenis dan ekosistemnya.83 UU
KSDAHE juga tidak mengatur konservasi di tingkat ekosistem di luar KSA dan
KPA yang secara ekologis penting tetapi sulit untuk ditetapkan menjadi kawasan
konservasi.

Pada tingkat spesies, kategorisasi menjadi dua golongan dimana hanya spesies
yang dilindungi saja yang mendapatkan pengaturan (terutama larangan dan sanksi)
mengandung resiko yang sangat besar bagi konservasi di tingkat spesies. Hal ini
membuka ruang interpretasi bahwa spesies yang tidak dilindungi dapat dimanfaatkan
secara bebas, terbukti dengan semakin banyaknya spesies yang memenuhi kriteria
untuk masuk ke dalam status dilindungi. Selain itu, untuk spesies yang tidak
dilindungi tidak diatur bagaimana mengendalikan pemanfaatannya, sehingga
tekanan terhadap spesies yang tidak dilindungi semakin lama semakin besar.

Peraturan pelaksana dari pengawetan jenis tumbuhan dan satwa ditindaklanjuti


dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa.84 Karena undang-undangnya tidak mengatur tentang pengawetan spesies
yang tidak dilindungi, PP ini tidak dapat dapat mengatur secara mengikat spesies
yang tidak dilindungi maupun sanksi pidana apabila terjadi pelanggaran. Hal
tersebut pernah menempatkan Indonesia sebagai negara dengan legislasi nasional
yang tidak memadai untuk pelaksanaan CITES.85 Indonesia yang turut mengikatkan
diri dalam CITES memakai UU KSDAHE sebagai undang-undang pelaksanaan
Konvensi tersebut (CITES).86 Kelemahan UU ini terkait pelaksanaan CITES adalah
tidak adanya pengaturan untuk spesies yang tidak dilindungi, padahal spesies yang
dikendalikan CITES sebagian besar tidak dilindungi. Dengan demikian undang-

82 Ibid., Bab VI tentang Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
83 Ibid., Pasal 11 dan Pasal 12.
84 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP No. 7 Tahun
1999, LN No. 14 Tahun 1999
85 CITES Secretariat pada tahun 1993-1998 berdasarkan proyek legislasi nasional untuk menilai
peraturan perundang-undangan negara anggota CITES menempatkan Indonesia dengan
legislasi yang dapat untuk melaksanakan CITES secara efektif.
86 CITES dalam Article VIII memandatkan setiap negara pihak untuk membuat legislasi
nasional yang dapat melarang, menghukum secara pidana dan menyita terhadap semua
pelanggaran ketentuan CITES bagi spesies-spesies yang dikontrol oleh CITES, termasuk
semua spesies yang bukan berasal dari negara anggota yang bersangkutan.

23
SAMEDI

undang ini tidak dapat menghukum (pidana) pelanggaran-pelanggaran spesies


yang diatur dalam Annex I dan Annex II CITES, terlebih yang berasal dan asli luar
Indonesia.

Pada tingkat genetik, walaupun disinggung dalam penjelasan salah satu


pasal di UU KSDAHE,87 pengawetan sumber daya genetik sama sekali tidak
diatur. Padahal pengawetan di tingkat genetik merupakan unsur penting di dalam
rangkaian konservasi SDA hayati.

Pemanfaatan Berkelanjutan SDA Hayati dan Ekosistemnya

Pemanfaatan di tingkat ekosistem dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan


kondisi lingkungan KPA. Untuk pemanfaatan ekosistem dalam bentuk pariwisata
alam, pelaksanaan lebih lanjut diatur di dalam PP No. 18 Tahun 1994 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam.

Pada tingkat spesies, karena jenis yang dilindungi merupakan jenis yang secara
biologis telah terancam punah, maka pemanfaatan di tingkat spesies semestinya
diarahkan hanya untuk jenis yang tidak dilindungi. Namun demikian, UU KSDAHE
sama sekali tidak memberikan arahan pengaturan pemanfaatan terhadap spesies
tidak dilindungi. PP No. 8 Tahun 1999 dibuat untuk menutup kekosongan aturan
dari spesies tidak dilindungi tersebut. Namun karena butir penting seperti larangan
dan sanksi pidana hanya dapat dilakukan di tingkat undang-undang, maka PP No.
8 Tahun 1999 tidak dapat dibuat lebih keras dari apa yang ada di undang-undang
ini atau dengan “meminjam tangan” undang-undang lain.88

Walaupun ketentuan mengenai riset atau penelitian dan pengembangan diatur


di dalam peraturan pelaksanaan undang-undang konservasi, pemanfaatan sumber
daya genetik yang umumnya berbentuk pengoleksian sampel materi genetik
untuk tujuan penelitian dan pengembangan, tidak diatur di dalam ketentuan-
ketentuannya. Kekosongan aturan ini semakin dirasakan kepentingannya setelah
disepakatinya CBD pada tahun 1992 dan diikuti dengan Protokol Nagoya pada
tahun 2010.

87 Penjelasan Pasal 17 UU KSDAHE menyebut tentang pengggunaan plasma nutfah untuk


mendukung budidaya. Lih: UU KSDAHE, Op.Cit.
88 PP 8 Tahun 1999 mengatur tentang sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap aturan untuk
spesies yang tidak dilindungi dengan memakai undang-undang lain, seperti KUHP (dianggap
sebagai pencurian) atau undang-undang tentang kepabeanan (seperti penyelundupan). Lih:
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP No. 8
Tahun 1999, LN No. 15 Tahun 1999.

24
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

IV. Penutup dan Saran Tindak Lanjut

Konservasi keanekaragaman hayati bertujuan untuk melindungi dan


memanfaatkan sumber daya hayati baik di tingkat ekosistem, spesies maupun genetik
sehingga kerangka hukum konservasi keanekaragaman hayati juga perlu mengikuti
tingkat keanekaragaman tersebut.

UU KSDAHE yang telah berusia hampir 25 tahun dan yang bersifat sentralistik
mengandung banyak kelemahan baik dari sisi konsep maupun kekosongan hukum
apabila dikaitkan dengan perkembangan masa kini. Karena mengadopsi konsep
yang dikembangkan di negara-negara barat, maka hukum konservasi di Indonesia
banyak menafikan keberadaan masyarakat di dalam pengaturan dan pengelolaannya,
sehingga menciptakan potensi konflik. UU KSDAHE perlu mengalami revisi materi
yang signifikan dan harus harmonis dengan beberapa undang-undang lain yang
terkait dengan konservasi, seperti undang-undang mengenai lingkungan hidup,
penataan ruang, perikanan, dan undang-undang mengenai pesisir dan pulau-pulau
kecil agar pelaksanaannya di lapangan dapat efektif.

Beberapa saran untuk perbaikan sistem hukum konservasi di Indonesia


diantaranya adalah:

1. Perubahan UU KSDAHE perlu dilakukan dengan mengatur tindakan atau


kegiatan konservasi di semua tingkat keanekaragamannya (ekosistem, spesies
dan genetik);

2. Perlindungan sistem penyangga kehidupan yang saat ini telah berkembang


menjadi pembangunan berkelanjutan merupakan tugas besar secara global dan
harus ditindaklanjuti di tingkat nasional. Namun, isu tersebut sebaiknya tidak
dimasukkan di dalam UU yang mengatur konservasi, karena perlindungan
sistem penyangga kehidupan merupakan isu lintas sektor dan memiliki materi
yang sangat berat apabila diatur hanya dalam satu undang-undang tentang
keanekaragaman hayati itu sendiri. Keanekaragaman hayati itu sendiri
merupakan komponen pendukung sistem penyangga kehidupan;

3. Pada tingkat genetik, perubahan UU KSDAHE perlu mengatur perlindungan


sumber daya genetik dan mengendalikan pemanfaatannya, termasuk di
dalamnya sebagai aturan pelaksanaan Protokol Nagoya;89

89 Protokol Nagoya mengenai Akses kepada Sumber Daya Genetik dan Pembagian yang Adil

25
SAMEDI

4. Pada tingkat spesies, klasifikasi harus dilakukan lebih rasional, misalnya dengan
membagi spesies dalam kategori dilindungi, dikendalikan dan dipantau,
dimana untuk setiap kategori harus dilakukan pengaturan yang memadai
untuk menghindari kepunahan. Apabila memungkinkan, kategorisasi tersebut
mengikuti ketentuan internasional.90 Selain itu, perlindungan spesies harus
dilakukan bersama habitatnya untuk dapat memberikan perlindungan spesies
yang berada di luar kawasan-kawasan konservasi;

5. Pada tingkat ekosistem, kasifikasi perlu dilakukan berdasar tujuan pengelolaan,


bukan berdasar pilar pengawetan dan pemanfaatan.

dan Seimbang atas Pemanfaatannya, diratifikasi Indonesia melalui Undang-undang No. 11


Tahun 2013. Lih: Protokol Nagoya, Op.Cit.
90 CITES membagi spesies ke dalam 3 kategori: Appendix I, Appendix II dan Non-Appendix
dengan masing-masing kategori diatur secara rinci. Lih: CITES, Op.Cit.

26
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Daftar Pustaka

Alexander, H. 2008. Gap Analisis: Pergeseran Paradigma Kebijakan Konservasi.


OCSP-USAID, Jakarta.

Bappenas, 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. Bappenas, Jakarta.

Bappenas, 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-
2020. IBSAP Dokumen Nasional Pemerintah Indonesia. Bappenas, Jakarta.
Campese, J., Sunderland, T., Greiber, T. dan Oviedo, G. (eds.), 2009. Rights-based
approaches: Exploring issues and opportunities for conservation. CIFOR and IUCN,
Bogor, Indonesia. Jessica Campese, Terry Sunderland, Thomas Greiber and
Gonzalo Oviedo

Claridge, G dan B. O’Callaghan, 1997. Making Co-Management of Wetland Resources


Work. Dalam Community Involvement in Wetland Management: Lessons from the
Field. Editor: Gordon Claridge. Wetlands International, Kuala Lumpur. Hal. 25-63.

Darwiati, W. 2008. Keragaman dan Konservasi Genetik Tanaman Hutan Resisten


terhadap Hama Penyakit. Mitra Hutan Tanaman. Vol 3 No. 1. hal. 43-50.

Dudley, N. (Editor) (2008). Guidelines for Applying Protected Area Management


Categories. IUCN, Gland, Switzerland.

Hardin, G. 1968. Tragedy of the Commons. Science: Vol. 162 no. 3859 pp. 1243-1248

Indrawan, M; Primack, R.B.; dan Supriatna, J. 2007. Biologi Konservasi. 3rd Ed.
Yayasan Obor, Jakarta.

IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. <www.iucnredlist.
org>. Downloaded on 08 December 2012.
IUCN, 1980. World Conservation Strategy. Gland, Switzerland.

Meadows, DH, Meadows, DL, Randers, J & Behrens III, WW. 1972.The Limits to
Growth (Universe Books, New York).

Mora, C dan Sale, P. 2011. Ongoing global biodiversity loss and the need to move
beyond protected areas: A review of the technical and practical shortcoming

27
SAMEDI

of protected areas on land and sea. Marine Ecology Progress Series 434: 251–266.
Naylor, R; W. Falcon, dan C. Fowler (Ed). 2007. The Conservation of Global
Crop Genetic Resources In the Face of Climate Change. Summary Statement
from a Bellagio Meeting Held on September 3-7, 2007.

Purbasari, DDTP, 2011. Interaksi Masyarakat dan Potensi Tumbuhan Berguna di Taman
Hutan Raya Pancoran Mas Depok. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. (skripsi
tidak diterbitkan), di dalam Taman Hutan Raya Pancoran Mas. Wikipedia
bebas.(https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Hutan_Raya_Pancoran_Mas).
Diakses 12 November 2015.

Secretariat CBD, 2005. Handbook of the Convention on Biological Diversity,


including Its Cartagena Protocol on Biosafety. 3rd ed. Montreal, Canada.

Sukara, E. 2013. Biodiversity a Common Wealth for a Crowded Planet. Disampaikan pada
The 2nd GSS Leading Expert Seminar – Graduate School Programme for Sustainable
Development and Survivable Societies, Kyoto University – Japan December 19, 2013.

United Nations Department of Economic and Social Affairs, 1992. Earth Summit:
Agenda 21, The United Nations programme of Action From Rio. UN-DESA,
New York.

United Nations, 2010. Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the
Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to
The Convention on Biological Diversity. Secretariat of the Convention on
Biodiversity. Montreal.

UNEP, 2011, Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and


Poverty Eradication,www.unep.org/greeneconomy.

Volker, G dan C. Wissel. 1997. Babel, or the ecological stability discussions: an inventory
and analysis of terminology and a guide for avoiding confusion”. Oecologia 109: 323–
334.

Wijnstekers, W. (2011): The Evolution of CITES - 9th editon International Council for
Game and Wildlife Conservation.

28
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Upaya
U paya Perlindungan SSatwa
P erlindungan atwa Liar
L iarIndonesia
I ndonesia
MMelalui
elalui IInstrumen
nstrumen HHukum P erundang - undangan
dan Perundang-Undangan
ukum dan

Oleh: Fathi Hanif, S.H., M.H.1

Abstrak

Saat ini perlindungan jenis satwa atau hidupan liar diatur dalam instrumen
hukum internasional seperti Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora (CITES) tahun 1973. Undang-undang No.5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan peraturan
pelaksanaan lainnya mengatur perlindungan jenis satwa atau hidupan liar di
Indonesia. Hingga saat ini masih banyak kasus kejahatan yang berkaitan dengan
perburuan dan perdagangan satwa atau hidupan liar yang dilindungi, seperti
kasus penyelundupan kakatua jambul kuning di Surabaya pada medio Maret 2015.
Implementasi perundang-undangan bidang ini belum efektif dari sisi perlindungan
satwa di habitatnya maupun menjerat maksimal pelaku kejahatan. Tulisan ini
menyimpulkan bahwa instrumen hukum nasional yang melindungi satwa dan
tumbuhan liar belum memiliki kelengkapan ketentuan yang mengacu pada CITES
sepenuhnya, dan ancaman sanksi yang ada juga tidak menimbulkan efek jera
pelaku kejahatan. Dibutuhkan revisi perundang-undangan dibidang konservasi,
perlindungan satwa atau hidupan liar yang sejalan dengan perkembangan
instrumen hukum internasional.

Kata kunci: hukum, konservasi, perlindungan satwa/hidupan liar

Abstract

The protection of wildlife stated in the international law instruments such as Convention on
International Trade in as Critically Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) in
1973. Law No. 5 of 1990 regarding Natural Resources Conservation and Its Ecosystems and
related goverment regulations govern protection of wildlife in Indonesia. Recently, there are
still many criminal cases related to poaching and trade of wildlife or protected animals, such
as yellow-crested cockatoo smuggling cases in Surabaya on March 2015. Implementation of

1 Praktisi Hukum Kehutanan dan Konservasi, saat ini bekerja di WWF Indonesia.

29
FATHI HANIF, S.H., M.H.

regulation and the law enforcement concerning wildlife is not effective to protect animals in
their habitat. The legal instrument in the national level to protect wildlife is not complete and
comprehensive yet, especially compared with the norms of CITES and its regulations; and the
punishment did not make the deterrent effect to the perpetrators. There is a need to push the
goverment to make a revision the regulation regarding conservation and wildlife protection
that are in line with the international law instruments.

Keywords: law, conservation, wildlife protection

I. Pendahuluan

Dalam perlindungan dan pengelolaan konservasi dan keanekargaman


hayati serta ekosistemnya, salah satu pilar penting adalah perlindungan terhadap
jenis satwa dan tumbuhan liar. Terdapatnya jenis endemik dalam satu kawasan
konservasi ataupun kawasan lainnya bisa menjadi indikator bahwa perlindungan
dan pengelolaan kawasan tersebut berjalan dengan baik dan berkelanjutan.

Indonesia dikenal sebagai negara mega biodibersity. Menurut catatan pusat


monitoring konservasi dunia (the World Conservation Monitoring Centre) kekayaan
keanekaragaman hayati Indonesia antara lain 3.305 spesies amphibi, burung,
mamalia dan reptil. Dari antaranya, 31,1% nya endemik – artinya, hanya terdapat di
Indonesia; dan 9.9% nya terancam punah. Indonesia memiliki wilayah laut sekitar
5.8 juta km2 dengan keanekaragaman hayati mencakup 590 jenis terumbu karang,
lebih luas lagi merepresentasikan 37% spesies laut dunia dan 30% jenis mangrove.2

Beberapa ketentuan internasional terkait perlindungan dan perdagangan


spesies yang dilindungi telah diatur dalam beberapa konvensi seperti Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (“CITES”) tahun 19733
dan dalam Daftar Merah Spesies yang Terancam Punah (Red List of Threatened Species)
IUCN.4 Dalam kedua ketentuan internasional tersebut, satwa liar dikategorikan ke
dalam beberapa jenis, dari yang tertinggi yaitu kategori terancam punah hingga
kategori yang dipantau populasinya. Indonesia adalah salah satu negara yang
menandatangani konvensi CITES.5
2 WWF Indonesia. Strategic Planning 2014-2018 WWF Indonesia. (Jakarta; WWF Indonesia. 2014)
hal. 7.
3 “Convention on International Trade of Endangered Species,” 3 Maret 1973, United Nations
Treaty Series, Vol. 993 (1973).
4 IUCN, The IUCN Red List of Threatened Species, Versi 2015-4, http://www.iucnredlist.org,
diunduh pada 11 Desember 2015.
5 Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Pengesahan Amandemen 1979 atas

30
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Sementara, di tingkat nasional, perlindungan dan pengelolaan kawasan


konservasi serta perlindungan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar diatur
dalam UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis “UU Konservasi”)6 beserta
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa7 yang memuat lampiran daftar jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi
di Indonesia. Pemanfaatannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar8 yang mengatur tata
cara memanfaatan jenis yang dilindungi untuk beberapa kegiatan tertentu dengan
kondisi dan prasyaratan yang di izinkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.

Saat ini, ancaman kepunahan beberapa jenis spesies langka telah menjadi
sorotan banyak pihak, termasuk dalam forum-forum internasional seperti konferensi
UN-Convention on Biological Diversity (UNCBD)9 dan konferensi perubahan iklim-
United Nations Framework Convention of Climate Change (UNFCCC).10 Dalam catatan
WWF-Indonesia, sejak tahun 2012 sudah 36 individu gajah dewasa ditemukan
mati di kawasan hutan dan bekas hutan di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Penyebab kematian gajah mayoritas karena diracun, sementara beberapa kasus
disebabkan terkena setrum atau jerat di perkebunan sawit. Jumlah kematian gajah
karena perburuan liar adalah 208 individu dalam kurun waktu 1999-2015.11

Contoh lain adalah kasus tertangkapnya upaya penyelundupan kakatua jambul


kuning di pelabuhan Surabaya pada medio maret 2015 lalu,12 kasus tertangkapnya
pembawa gading gajah di pekanbaru Riau (Januari 2015),13 kasus tertangkapnya
Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora, 1973, Keppres
No. 1 Tahun 1987, LN Tahun 1987 Nomor 5.
6 Indonesia, Undang-undang tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
UU No. 5 Tahun 1990, LN Tahun 1990 No. 49, TLN No. 3419.
7 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP No. 7
Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 14, TLN Nomor 3803.
8 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemafaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP
No. 8 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 15.
9 “Convention on Biological Diversity,” 5 Juni 1992, United Nations Treaty Series Vol. 1760 p. 79
10 “Framework Convention of Climate Change,” 9 Mei 1992, United Nations Treaty Series Vol.
1771, p. 107
11 WWF Indonesia. Petisi #RIPYonki diteruskan ke Bareskrim Polri (Siaran Pers, WWF Indonesia)
tanggal 7 Oktober 2015.
12 Mongabay.com, “Sikapi Kakatua Jambul Kuning dalam Botol, Ini Kata Menteri Siti,” diakses
di http://www.mongabay.co.id/2015/05/09/sikapi-kakatua-jambul-kuning-dalam-botol-
ini-kata-menteri-siti/ pada tanggal 19 Oktober 2015.
13 WWF Indonesia, “Hukuman Ringan Bagi Pemburu Gading Gajah, Mendesak UU NO. 5/1990
Direvisi,” Siaran Pers, tanggal 13 Juli 2015.

31
FATHI HANIF, S.H., M.H.

pembawa kulit harimau di kota Jambi (November 2014).14 Contoh-contoh kasus


ini mengindikasikan bahwa kejahatan terhadap satwa liar perlu menjadi perhatian
pemerintah dan aparat penegak hukum.

II. Instrumen Hukum Internasional mengenai


Satwa liar yang Dilindungi

Instrumen hukum internasional perlindungan dan pemanfaatan satwa liar yang


dilindungi (wildlife spesies) antara lain adalah Daftar Merah Spesies yang Terancam
Punah IUCN (“Daftar Merah IUCN”) dan CITES 1973. Indonesia meratifikasi CITES
melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978, pada tanggal 15 Desember 1978.15

Sesuai dengan tingkat populasi, kondisi habitat dan penyebarannya, IUCN


mengklasifikasikan spesies berdasar tingkat keterancamannya terhadap kepunahan.
Spesies-spesies yang terancam punah dimasukkan dalam Daftar Merah IUCN.16

Kategori keterancaman spesies berdasarkan daftar merah IUCN adalah sebagai


berikut:17

i) Punah atau Extinct (EX). Suatu taxon dikatakan punah apabila tidak ada
keraguan bahwa individu terakhir telah mati. Suatu taxon diduga punah
apabila survei menyeluruh di habitat yang diketahui dalam waktu yang
memadai (harian, musiman atau tahunan) di seluruh wilayah penyebarannya
tidak dapat mencatat keberadaan individu;

ii) Punah di alam atau Extinct In The Wild (EW). Suatu taxon dikatakan punah di
alam apabila diketahui hanya hidup sebagai tanaman, di dalam kandang atau
dikembangkan di alam di luar penyebaran aslinya;

iii) Genting atau Critically Endangered (CR). Suatu taxon disebut sebagai kritis
apabila memenuhi kriteria A sampai E untuk spesies kritis, sehingga dianggap
menghadapi resiko yang sangat ekstrim tinggi untuk menjadi punah di alam;

14 Berita Satu, “Oknum PERBAKIN Jambi Tertangkap Jual Kulit Harimau,” diakses di http://
www.beritasatu.com/kesra/287990-oknum-perbakin-jambi-tertangkap-jual-kulit-harimau.
html pada tanggal 19 Oktober 2015.
15 Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Convention On International Trade In. Endangered
Species Of Wild Fauna And Flora, Keppres No. 43 Tahun 1978, Lihat juga: Keppres No. 1 tahun
1987 tentang Ratifikasi Konvensi CITES, Op.Cit.
16 Pokja Kebijakan Konservasi. Draft Naskah Akademis revisi UU No.5 tahun 1990. (Jakarta; Pokja
Kebijakan Konservasi. 2014) hal. 24
17 IUCN, Op.Cit.

32
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

iv) Dalam Bahaya Kepunahan atau Endangered (EN). Suatu taxon dikatakan dalam
bahaya kepunahan apabila memenuhi kriteria A sampai E untuk spesies dalam
bahaya kepunahan sehingga dianggap menghadapi resiko yang sangat tinggi
untuk terjadinya kepunahan di alam;

v) Rentan atau Vulnerable (VU). Suatu taxon dikatakan rentan apabila memenuhi
kriteria A sampai E untuk spesies rentan sehinggga dapat dianggap menghadapi
resiko tinggi terhadap kepunahan di alam;

vi) Mendekati terancam atau Near Threatened (NT). Suatu taxon dikatakan
mendekati terancam apabila telah dievaluasi tetapi tidak memenuhi kriteria
CR, EN atau VU, tetapi mendekati kriteria tersebut atau cenderung untuk
memenuhi kriteria terancam pada butir (iii), (iv) dan (v).

vii) Belum terancam/belum perlu diperhatikan atau Least Concern (LC) yaitu taxon
yang telah dievaluasi tetapi tidak memenuhi kriteria CR, EN, VU maupun NT.
Spesies yang tersebar luas dan melimpah masuk dalam kategori ini;

viii) Tidak Cukup (kekurangan) Data atau Data Deficient (DD) yaitu taxon yang
tidak memiliki informasi yang cukup untuk melakukan penilaian langsung
maupun tidak langsung. Spesies yang masuk dalam kategori ini belum tentu
dalam posisi yang aman dari ancaman kepunahan.

Sementara itu, CITES, atau Konvensi mengenai Pengendalian Perdagangan


Spesies Hidupan Liar18 mengategorikan spesies dalam 3 kelas yaitu spesies yang
termasuk di dalam Appendix I, II dan III (Non-Appendix). Setiap kategori secara
jelas dibedakan aturan-aturan kontrol perdagangannya sebagai berikut:19

a) Spesies Appendix I (Kategori I): yaitu spesies-spesies yang terancam punah


yang menurut IUCN termasuk dalam katagori genting (critically endangered/CR),
sebagian rentan (vulnerable/VU) serta dalam bahaya kepunahan (endangered/
EN) dan punah di alam (extinct in the wild);

b) Spesies Appendix II (Kategori II): yaitu spesies-spesies yang saat ini belum dalam
keadaan terancam punah namun apabila pemanfaatannya tidak dikendalikan
dengan ketat maka akan segera menjadi terancam punah. Kategori ini dapat
mencakup kategori IUCN VU dan NT;

18 United Nations General Assembly. “Convention on International Trade in Endangered Species of


Wild Fauna and Flora”. 1973
19 Ibid. hal. 30.

33
FATHI HANIF, S.H., M.H.

c) Spesies Non-Appendix (Katagori III): yaitu spesies-spesies yang populasinya


melimpah, termasuk yang menurut IUCN masuk katagori Least Concerned
(LC) dengan tingkat pemanfaatan yang cukup tinggi sehingga cukup dipantau
pemanfaatannya.

Appendix 1 mencatat lebih dari 8.000 satwa dan tumbuhan yang dilarang
untuk diperdagangkan. Sementara, Appendix 2 mencatat lebih dari 30.000 jenis/
spesies yang diatur regulasi dan dimonitor perdagangan internasionalnya. Setiap
negara anggota konvensi harus melakukan pencatatan terhadap perdagangan
satwa dan atau tumbuhan yang masuk ke dalam Appendix 2 ini dan secara rutin
melaporkan ke sekretariat CITES. Oleh karena sangat banyaknya jenis yang masuk
dalam kategori ini, terdapat beberapa kendala dalam pencatatannya.

CITES menyebutkan setiap negara anggota wajib mempunyai legislasi nasional


yang mampu melarang perdagangan spesimen yang melanggar ketentuan Konvensi,
memberikan hukuman terhadap pelanggaran, serta memungkinkan dilakukannya
penyitaan spesimen yang diperdagangkan atau dimiliki secara illegal.20

Konvensi ini juga mewajibkan negara anggota untuk membentuk atau


menunjuk 2 lembaga yakni Otoritas Manajemen/Management Authorities
dan Otoritas Keilmuan/Scientific Authorities. 21
Otoritas manajemen memiliki
kewenangan untuk mengatur skema eksport dan import satwa dan tumbuhan
yang boleh diperdagangkan. Lembaga ini juga bertugas untuk mencatat semua
perdagangan yang terjadi. Sementara itu, Otoritas Keilmuan memiliki kewenangan
untuk memberikan kajian dan pertimbangan keilmuan terhadap penentuan kuota
satwa dan tumbuhan yang diizinkan untuk diperdagangkan.22

Di Indonesia, otoritas manajemen berada di Direktorat Jenderal Konservasi


Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Dirjen KSDHE KLHK). Sedangkan otoritas keilmuan dijabat oleh
Lembaga Ilmi Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Forum pertemuan rutin negara-negara peserta/penandatangan konvensi


disebut Conference of the Parties (COP), yang mana pada tahun 2016 mendatang akan
diadakan COP ke-17 di Johanesberg, Afrika Selatan.23

20 CITES, Op. Cit., Artikel 14.


21 Ibid., Artikel 10 paragraf (1).
22 CITES Official Website, “How CITES Works,” lih: https://www.cites.org/eng/disc/how.php
diakses pada 1 Desember 2015.
23 CITES Official Website, “Conference of the Parties,” lih https://www.cites.org/eng/disc/
cop.php diakses pada 1 Desember 2015.

34
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Kejahatan perdagangan dan peredaran satwa liar yang dilindungi ini


sudah menjadi kejahatan yang lintas batas negara. Oleh karenanya, pada tahun
2010 diinsiasi konsorsium pemberantasan kejahatan satwa liar dengan nama
International Consortium on Combating Wildlife Crime (ICCWC).24 Lembaga ini di
insiasi oleh 5 lembaga yaitu: sekretariat CITES, INTERPOL (International Criminal
Police Organization), UNODC (UN Office on Drugs and Crimes), World Bank dan
World Customs Organisation (WCO).25

III. Instrumen Hukum Nasional mengenai


Satwa Liar yang Dilindungi

Kawasan hutan Indonesia berdasarkan pasal 6 UU No. 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan dibagi berdasarkan fungsi pokok ke dalam 3 kategori yaitu: hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.26

Pada hutan konservasi hanya dapat dilakukan pemanfaatan kawasan hutan


dengan batasan-batasan tertentu seperti diatur dalam UU Konservasi. Dalam Pasal
5 UU Konservasi, disebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:27

a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;

b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Prinsip dasar pengelolaan kawasan hutan konservasi yang membedakan


dengan pengelolaan hutan lainnya terletak pada prinsip kehati-hatian untuk
menghindari perubahan-perubahan terhadap kondisi aslinya. Prinsip kehati-
hatian ini bertujuan mempertahankan daya dukung alam (carrying capacity) sebagai
penyangga kehidupan dan menjaga kelangsungan potensi keanekaragaman
hayati (biodiversity) sumberdaya alam hayati (natural capital stock). Oleh karena itu,
aturan dalam pengelolaan kawasan hutan konservasi lebih banyak menyebutkan
pembatasan-pembatasan untuk menjaga habitat sedikit mungkin modifikasi.28

24 CITES Official Website, “International Consortium on Combating Wildlife Crime (ICCWC),”


lih https://www.cites.org/eng/prog/iccwc.php diakses pada 1 Desember 2015.
25 Ibid.
26 Indonesia, Undang-Undang tentang Kehutanan, UU Nomor 41 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor
167, TLN Nomor 3888.
27 UU Konservasi, Op. Cit., Pasal 5.
28 WWF Indonesia. Panduan Kelestarian Ekosistem untuk Pemanfaatan Panas Bumi (Jakarta; WWF
Indonesia. 2014) hal 34

35
FATHI HANIF, S.H., M.H.

Salah satu pilar penting dalam konservasi yang dilakukan oleh pemerintah
adalah pengawetan keanekaragaman jenis satwa beserta ekosistemnya. Hal ini
dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam
keadaan asli dan tidak punah. Kegiatan pengawetan jenis ini dapat dilakukan di
dalam (in situ) dan di luar (ex-situ) kawasan suaka alam atau kawasan konservasi.29
Pengawetan di luar kawasan meliputi pengaturan mengenai pembatasan tindakan-
tindakan yang dapat dilakukan terhadap tumbuhan dan satwa.30

Kegiatan pengawetan jenis satwa di dalam kawasan suaka alam dilakukan


dengan membiarkan agar populasi semua jenis satwa tetap seimbang menurut
proses alami di habitatnya. Sedangkan di luar kawasan suaka alam dilakukan
dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa untuk
menghindari bahaya kepunahan.

Dalam rangka melakukan upaya pengawetan jenis tumbuhan dan satwa,


pemerintah kemudian menggolongkan satwa dalam 2 jenis, yakni: satwa yang
dilindungi dan satwa yang tidak dilindungi.31 Satwa yang dilindungi kemudian
digolongkan kembali menjadi: satwa dalam bahaya kepunahan dan satwa yang
populasinya jarang.32

Dalam penjelasan Pasal 11, disebutkan bahwa penggolongan jenis satwa


yang dilindungi dimaksudkan untuk melindungi satwa agar tidak mengalami
kepunahan.33 Penetapan ini dapat diubah sewaktu-waktu oleh otoritas manajemen,
tergantung dari tingkat keperluannya, yang ditentukan oleh tingkat bahaya
kepunahan yang mengancam jenis bersangkutan.

Ketentuan diatas kemudian lebih jauh dituangkan dalam Peraturan Pemerintah


No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.34 Peraturan ini
dikeluarkan pada tanggal 27 Januari 1999. Dengan kata lain, butuh waktu 9 tahun
untuk mengatur lebih detail perlindungan terhadap satwa yang ada di Indonesia
sejak UU Konservasi disahkan.

Satwa yang dilindungi dapat juga dimantaatkan untuk kegiatan dan kondisi
tertentu. Pemanfaatan dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi,
daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar seperti yang

29 UU Konservasi, Op. Cit., Pasal 12 dan pasal 13.


30 Ibid., Pasal 11 bagian Penjelasan.
31 Ibid., Pasal 20.
32 Ibid.
33 Ibid., Pasal 11 bagian Penjelasan.
34 PP No. 7 Tahun 1999, Op. Cit.

36
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

diatur dalam pasal 36 UU Konservasi untuk:35

“ (a) pengkajian, penelitian dan pengembangan;


(b) penangkaran;
(a) perburuan;
(b) perdagangan;
(c) peragaan;
(d) pertukaran;
(e) budidaya tanaman obat-obatan;
(f) pemeliharaan untuk kesenangan.”

Pemanfaatan jenis satwa liar harus dilakukan dengan tetap menjaga


keseimbangan populasi dengan habitatnya. Ketentuan lebih lanjut tentang
kegiatan pemanfaatan diatur dalam Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.36

Pada peraturan pemerintah tentang pemanfaatan jenis satwa liar ini diatur
tentang penangkaran. Dalam Pasal 11 PP No.8 Tahun 1999 disebutkan:37

“ (1) Hasil penangkaran satwa liar yang dilindungi yang dapat digunakan
untuk keperluan perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan
generasi berikutnya;

(2) Generasi kedua dan generasi berikutnya dari hasil penangkaran


jenis satwa liar yang dilindungi, dinyatakan sebagai jenis satwa liar
yang tidak dilindungi;

(3) Ketentuan diatas tidak berlaku terhadap jenis satwa liar jenis:

a. Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi);


b. Babi rusa (Babyrousa babyrussa);
c. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus);
d. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis);
e. Biawak Komodo (Varanus komodoensis);
f. Cendrawasih (Seluruh jenis dari famili Paradiseidae);
g. Elang Jawa, Elang Garuda (Spizaetus bartelsi);
h. Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae);
i. Lutung Mentawai (Presbytis potenziani);

35 UU Konservasi, Op. Cit., Pasal 36.


36 PP No. 8 Tahun 1999, Op. Cit.
37 Ibid., Pasal 11.

37
FATHI HANIF, S.H., M.H.

j. Orangutan (Pongo pygmaeus);


k. Owa Jawa (Hylobates moloch).

Semua jenis satwa di atas (huruf a sampai dengan k) hanya dapat


dipertukarkan atas persetujuan Presiden.”

Sementara, untuk kegiatan perdagangan atau pengiriman satwa liar ditentukan


bahwa pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa liar dari satu
wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di Indonesia, atau dari dan ke luar wilayah
Indonesia, wajib dilengkapi dengan dokumen pengiriman atau pengangkutan yang
disebut Surat Angkut Tumbuhan/Satwa (SATS).38 SATS memuat keterangan tentang
jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa, pelabuhan pemberangkatan dan pelabuhan
tujuan, identitas Orang atau Badan yang mengirim dan menerima tumbuhan dan
satwa dan peruntukan pemanfaatan tumbuhan dan satwa.39

Selain mengatur kegiatan yang diperbolehkan, UU No.5/1990 juga mengatur


hal-hal yang yang dilarang dengan ancaman hukuman pidana seperti dalam Pasal
21 ayat (1) dan ayat (2):40

“ (1) Setiap orang dilarang untuk:


a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan
yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup
atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-
bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

(2) Setiap orang dilarang untuk:


a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan hidup;
b.
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau

38 PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar, Op. Cit., Pasal 42.
39 Ibid.
40 UU Konservasi, Op. Cit., Pasal 21.

38
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang


yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya
dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di
luar Indonesia;
e.
mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,
menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang
dillindungi.”

Larangan diatas tersebut tidak berlaku untuk keperluan penelitian, ilmu


pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis satwa.41 Termasuk dalam penyelamatan
adalah pemberian atau penukaran jenis satwa kepada pihak lain di luar negeri
dengan izin Pemerintah.42

Dari beberapa ketentuan dalam perundang-undangan yang ada secara singkat


dapat disimpulkan jenis atau tipologi kejahatan tumbuhan dan satwa liar antara
lain:43

1. Perburuan Satwa Liar;


2. Perdagangan/Pemanfaatan ilegal Tumbuhan dan Satwa Liar;
3. Pemilikan ilegal Tumbuhan dan Satwa Liar;
4. Penyelundupan tumbuhan dan satwa liar;
5. Penyalahgunaan dokumen (pengangkutan, kuota ekspor, dll).

Dalam melakukan kejahatan-kejahatan tersebut, modus operandi kejahatan


satwa liar yang biasa terjadi antara lain:44

1. Perdagangan/pemanfaatan ilegal satwa liar dilindungi;


2. Pemilikan ilegal satwa liar;
3. Perburuan ilegal satwa liar;
4. Pemalsuan dokumen untuk perdagangan satwa liar;
5. Penyelundupan jenis-jenis satwa dilindungi;
6. Penyuapan terhadap aparat dalam perdagangan satwa liar;
7. Penerbitan/penyalahgunaan dokumen palsu (Surat Angkut Tumbuhan/
Satwa) terkait kepemilikan/ perdagangan satwa liar;
8. Pemalsuan Jenis (dengan mencantumkan keterangan informasi yang
berbeda pada kemasan);
41 Ibid., Pasal 22.
42 Ibid.
43 IWGFF & PPATK. Panduan Pelatihan Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan melalui pendekatan anti
korupsi dan anti pencucian uang (Jakarta; PPATK-IWGFF.2012) hal. 28-29.
44 Ibid.

39
FATHI HANIF, S.H., M.H.

9. Mencampur jenis spesies yang legal dengan yang ilegal.

Sebagai suatu tindak kejahatan, perdagangan dan atau peredaran satwa liar
yang dilindungi di Indonesia juga diancam hukuman seperti yang tercantum dalam
Pasal 40 UU No.5/1990 dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Jika perbuatan itu
dilakukan dengan kelalaian ancaman hukuman dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).45

Ketentuan ancaman pidana atas kejahatan satwa liar ini pada prakteknya belum
melahirkan putusan pengadilan yang signifikan dan menimbulkan efek jera kepada
pelaku kejahatan. Karena ancaman penjaranya maksimal lima tahun, faktanya
banyak putusan pengadilan yang memutus kurang dari lima tahun penjara. Kondisi
ini tentu saja tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh pelaku
kejahatan; lembaga peradilan belum mempertimbangkan aspek kerugian ekologi
yang ditimbulkan akibat matinya/hilangnya satwa liar endemik Indonesia.

Jika putusan-putusan lembaga peradilan tidak mempertimbangkan aspek


ekologi ini maka dalam jangka tidak terlalu lama, satwa-satwa liar endemik yang
langka tersebut akan punah dari Indonesia. Apabila kondisi tersebut terjadi, maka
kerugian tidak hanya menimpa bangsa Indonesia, akan tetapi kerugian masyarakat
dunia.

IV. Potret Perdagangan dan Perburuan Satwa Dilindungi

Meskipun instrumen hukum dan perundang-undangan di tingkat internasional


dan nasional telah banyak mengatur perlindungan dan tata cara perdagangan satwa
liar, faktanya di Indonesia kejahatan kasus perdagangan dan penyelundupan satwa
liar ini masih banyak terjadi. Beberapa yang sempat menjadi sorotan publik adalah:

1. Penyelundupan kakatua jambul kuning di Surabaya

Salah satu jenis satwa dilindungi yang memiliki ancaman dari pemburu
dan pedangan illegal adalah kakatua jambul kuning. Bulan Mei lalu aparat
Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, telah menggagalkan upaya
penyelundupan kakatua jambul kuning. Kepolisian berhasil menyita sebanyak

45 Pasal 40 UU No.5 tahun 1990 tentang KSDHE

40
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

24 kakatua jambul kuning dari Kapal KM Tidar jurusan Papua-Makassar-


Surabaya-Jakarta. Satwa tersebut antara hidup dan mati terjejal di dalam botol-
botol kecil seukuran 600ml.46

Penegakan hukum yang dilakukan ini kemudian menjadi perhatian


masyarakat luas dan kemudian mendorong gerakan petisi #savejambulkuning
di change.org oleh beberapa lembaga non-pemerintah dan tokoh nasional.
Hingga pertengahan bulan Juni 2015, petisi telah didukung lebih dari 20.000
orang. Gerakan ini kemudian berhasil mengawal aparat untuk melakukan
proses hukum lebih lanjut terhadap para tersangka. Pada saat bersamaan,
gerakan ini juga mendorong Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
bersama Pimpinan Komisi IV DPR-RI mengeluarkan komitmen untuk
melakukan revisi UU No.5/1990.

2. Kasus peredaran Gading Gajah di Riau

Gajah Sumatera adalah salah satu jenis satwa besar yang dilindungi di
Indonesia dengan status perlindungan total.47 Jenis gajah ini semakin terancam
populasinya karena masih banyaknya pemburu illegal yang mengincar gading
gajah Sumatera.

Pada bulan Februari 2015, Kepolisian Daerah Riau meringkus tujuh


kawanan pemburu gading gajah itu saat melintas di kawasan Jembatan Leighton
II, Pekan Baru, Riau.48 Dengan barang bukti dua gading gajah berukuran 2m
beserta perlengkapan berburu berupa senjata api laras panjang modifikasi jenis
Mosser, enam peluru berukuran 7,62 milimeter, serta tiga benda tajam berupa
golok dan kampak.

Setelah melalui persidangan di Pengadilan Bengkalis. Akhirnya Majelis


Hakim menjatuhkan putusan bersalah kepada 6 tersangka kasus perburuan
gading gajah, dengan putusan satu tahun penjara dan disertai denda sebesar
Rp. 3.000.000 bagi para pelaku pemburu gading gajah.49

46 Mongabay.com, Op.Cit.
47 Lih: PP No. 7 Tahun 1999, Op. Cit.
48 Tempo.com, “WWF Kecam Sidang Pemburu Gading Gajah di Riau,” 6 Juli 2015, diakses
dari http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/06/058681536/wwf-kecam-sidang-
pemburu-gading-gajah-di-riau pada 1 Desember 2015.
49 Ibid.

41
FATHI HANIF, S.H., M.H.

3. Kasus peredaran kulit harimau Sumatera di Jambi50

Kejahatan perburuan dan peredaran satwa liar dilindungi ini ternyata


juga melibatkan oknum aparat pemerintah maupun apparat keamanan. Hal ini
dapat dilihat dalam kasus tertangkapnya pengedar kulit harimau Sumatera di
Jambi pada bulan Juli 2015 lalu.

Seorang oknum,yang diduga anggota Persatuan Menembak Indonesia


(PERBAKIN) Jambi ditahan dan diperiksa di Polda Jambi karena diduga ikut
terlibat dapat upaya perdagangan kulit harimua Sumatera. Kasus ini masih
dalam proses penanganan ditingkat kepolisian daerah Jambi.

Upaya penegakan hukum atas kasus-kasus kejahatan satwa liar ini terus
dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“KLHK”) bekerja
sama dengan Kepolisian dan lembaga lainnya. Data KLHK menyebutkan bahwa
hingga tahun 2013 telah ditangani 45 kasus kejahatan tumbuhan satwa liar, dengan
rincian 45 kasus di tingkat penyidikan, 34 kasus P-21 (hasil penyidikan sudah
lengkap), dan tunggakan 14 kasus.51

Dalam tataran norma, instrumen hukum dan perundang-undangan di tingkat


internasional dan nasional telah banyak mengatur perlindungan jenis satwa dan
tumbuhan yang terancam punah. Namun, dalam kenyataan, masih banyak kasus-
kasus kejahatan yang terjadi berkaitan dengan perburuan dan perdagangan satwa
dan tumbuhan liar.52 Di sisi lain, kasus-kasus kejahatan yang sudah diproses
ke pengadilan belum melahirkan satu putusan pun yang bisa membawa efek
jera (deterent effect) kepada pelaku dan/atau kelompoknya. Vonis atau putusan
pengadilan masih rendah antara 4 bulan hingga 1,5 tahun penjara.

Dari pengalaman penulis, masih rendahnya hukuman kepada pelaku kejahatan


ini antara lain dipengaruhi faktor sulitnya proses pembuktian terhadap jenis
kejahatan dan jenis satwa yang menjadi objek kejahatannya. Dalam prakteknya,
untuk membuktikan peristiwa kejahatan dan membuktikan jenis satwa yang
dibunuh atau diperdagangkan diperlukan keterangan saksi ahli yang mumpuni. Di
sisi lain, ketentuan dalam Pasal 40 UU Konservasi hanya mengancaman hukuman
pidana penjara maksimal 5 tahun,53 membuka peluang hakim memutuskan dibawah
5 tahun.
50 Oknum PERBAKIN Jambi Tertangkap Jual Kulit Harimau, Op. Cit.
51 Kementerian Kehutanan. Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013 (Jakarta; Kementerian
Kehutanan. 2014) hal.111.
52 WWF Indonesia, Op. Cit.
53 UU Konservasi, Op. Cit., Pasal 40.

42
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Dibutuhkan terobosan hukum dari aparat penegak hukum dalam penanganan


kasus kejahatan tumbuhan dan satwa liar ini. Hal ini dimungkinkan dengan
penggunaan ketentuan dalam perundang-undangan lainnya, seperti Undang-
undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup,54 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi55 dan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).56

V. Kerusakan Ekologis sebagai Dampak Perdagangan


dan Perburuan Satwa di Indonesia

Kejahatan satwa liar ini telah menimbulkan kerusakan multi dimensi, yang
mencakup kerusakan ekosistem, kepunahan jenis endemik, ancaman penyakit,
timbulnya akibat ekonomi.

Pertama, kerusakan ekosistem. Dalam kejahatan sawa liar, pelaku kejahatan telah
mengancam kerusakan ekosistem pada kawasan hutan. Hal ini bisa terjadi karena
pelaku, dalam melakukan kejahatannya, tidak jarang masuk hingga jauh kedalam
kawasan hutan hingga memasuki kawasan zona inti dari taman nasional. Seringkali
pelaku menebang tumbuhan liar secara sembarangan, dan atau mengambil sarang
dari satwa dilindungi secara sembarangan.

Kerusakan ekosistem ini juga bisa terjadi karena terputusnya rantai kehidupan
dari satwa yang tumbuhan di kawasan hutan. Tidak jarang, satwa yang diburu
adalah satwa yang memiliki posisi pemangsa utama (top predator). Dengan hilangnya
peran pemangsa utama di alam liar, maka populasi pada satwa di tahap bawahnya
tidak terkontrol proses makan memakan, sehingga dapat terjadi kelebihan populasi
(overpopulation) yang dapat berujung pada rusaknya ekosistem, bahkan kepunahan.

Kedua, kepunahan jenis endemik. Kejahatan tumbuhan satwa liar dilindungi


secara jangka panjang akan mengakibatkan kepunahan jenis endemik/khas
tumbuhan dan satwa Indonesia. Contohnya, satu dekade terakhir para ahli telah
mengambil kesimpulan bahwa harimau Jawa dan harimau Bali telah punah di

54 Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32


Tahun 2009, LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059.
55 Indonesia, Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun
1999, LN Tahun 1999 No. 140, TLN No. 3874.
56 Indonesia, Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, UU No. 8 Tahun 2010, LN Tahun 2010 No. 22, TLN No. 5164.

43
FATHI HANIF, S.H., M.H.

Indonesia. Saat ini harimau Sumatera, orang utan, badak Jawa, badak Sumatera dan
gajah Sumatera berada dalam status terancam punah.

Ketiga, ancaman penyakit. Perdagangan satwa liar secara gelap/ilegal di pasar-


pasar satwa kota-kota besar berpotensi menyebarkan penyakit satwa liar kepada
satwa lain, dan bahkan berpotensi menularkan penyakit kepada manusia.

Keempat, timbulnya kerugian ekonomi. Dalam laporan Kementerian Kehutanan


pada tahun 2010, pendapatan negara dari kegiatan ekspor satwa liar seperti jenis
mamalia, amfibi, koral, buaya/kulit buaya dan ikan, menghasilkan nilai ekspor
sekitar Rp 2.918.840.600,00. Dari jumlah tersebut, nilai ekspor terbesar diperoleh
dari ekspor ikan arwana sebesar Rp 1,989 miliar.57

Bagaimanapun, angka di atas hanya mewakili perdagangan legal, sementara


potensi ekonomi yang hilang dan berputar dalam perdagangan ilegal jauh lebih
besar. Dalam laporan LSM Pro Fauna, diperkirakan bahwa omset perdagangan
tumbuan dan satwa liar ilegal di dunia diduga mencapai US$ 10-20 milyar/tahun.58
Angka ini merupakan omset ilegal kedua terbesar setelah bisnis narkoba. Di
Indonesia, omset perdagangan satwa liar mencapai Rp 9 trilyun/tahun.59

Dengan dampak seperti diatas, sudah sepatutnya kejahatan satwa dan


tumbuhan liar ini menjadi target penegakan hukum dalam era pemerintahan saat
ini. Langkah strategis yang sempat dibangun pada era UKP4 dengan mendorong
penegakan hukum multi-door pada kasus lingkungan dan sumberdaya alam,
bisa dilanjutkan oleh KLHK saat ini. Upaya penegakan hukum ini juga harus
dikembangkan/diperluas untuk menjerat aktor intelektual dari kejahatan satwa dan
tumbuhan liar. Karena, di pihak merekalah keuntungan ekonomi besar dinikmati.

VI. Penutup

Dari paparan dalam bagian-bagian sebelumnya dapat ditarik beberapa


kesimpulan dan saran sebagai pemikiran awal untuk mendorong penegakan hukum
atas kejahatan satwa liar di Indonesia, sebagai berikut:

57 Kementerian Kehutanan, Buku Statistik Kehutanan 2011. (Jakarta; Kementerian


Kehutanan.2012). hal
58 IWGFF-PPATK, Op. Cit. hal. 20
59 Ibid.

44
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

6.1. Kesimpulan

Perlindungan satwa liar sudah diatur dalam instrumen hukum internasional


yakni pada konvensi CITES. Di dalam ketentuan ini, satwa dibagi berdasarkan 3 kelas
yaitu spesies yang termasuk di dalam Appendix I (spesies-spesies yang terancam
punah), appendix II (spesies yang perdagangannya dikendalikan/dibatasi) dan III
(spesies yang perkembangannya dibantau). Perlindungan satwa liar di Indonesia
diatur dalam ketentuan UU No.5 tahun 1990 tentang tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419). Dalam undang-undang ini, jenis satwa
dibagi kedalam satwa yang dilindungi dan satwa yang tidak dilindungi.

Terdapat beberapa perbedaan pengaturan dalam ketentuan perundangan


internasional dengan ketentuan perundangan nasional. Salah satunya tentang
pembagian penggolongan ke dalam 2 status: dilindungi dan tidak dilindungi
ini tidak mengacu sepenuhnya ketentuan yang ada dalam konvensi CITES. UU
Konservasi dan peraturan pelaksananya juga tidak mengatur tentang perlindungan
jenis yang ada dalam Appendix 1 dan Appendix 2 yang berasal dari luar Indonesia
yang masuk ke dalam negara Indonesia.

Dalam hal kejahatan, salah satu kejahatan kehutanan yang ada adalah
kejahatan peredaran dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dlindungi
di Indonesia. Sebagian pihak mulai mempercayai bahwa jenis kejahatan ini sudah
masuk dalam jenis kejahatan yang terorganisir dan telah merugikan negara secara
ekonomi dan lingkungan/ekosistem. Hal ini tercermin dari semua kasus yang
ditangani aparat, yang membuktikan antara pelaku yang mengambil, membawa
dan memperdagangkan tidak sendiri tetapi merupakan jaringan kerjasama yang
tertutup (sistem sel). Sebagai kejahatan khusus, dalam proses penegakan hukum
masih terdapat kendala-kendala teknis dan non teknis, sehingga masih bayak
putusan pengadilan atas kasus ini memvonis rendah pelaku, yaitu dengan pidana
penjara hitungan bulan hingga 1,5 tahun saja. Kondisi ini memberikan sinyal lemah
bagi pelaku agar jera melakukan kejahatan. Kendala teknis mencakup proses
pembuktian jenis satwa dan bagaimana membuktikan kerugian yang dialami
oleh Negara. Faktor non-teknis antara lain adalah masih rendahnya kesadaran
masyarakat untuk membantu proses penegakan hukum kejahatan ini.

6.2. Saran

Untuk menjawab beberapa simpulan diatas, beberapa saran yang dapat


menjadi pemikiran bersama seperti:

45
FATHI HANIF, S.H., M.H.

• Diperlukan perubahan atau revisi kebijakan atau perundang-undangan di


Indonesia yang mengadopsi beberapa ketentuan yang ada pada CITES. Hal ini
untuk memperkuat perlindungan jenis satwa yang terdapat di Indonesia dan
satwa dari negara lain yang masuk ke Indonesia;

• Dalam pemeriksaan kejahatan satwa liar, sebaiknya aparat tidak hanya


mempertimbangkan kerugian secara sempit. Kerugian dari aspek kerusakan
lingkungan dan kehilangan jenis satwa langka yang di miliki Indonesia juga
perlu dipertimbangkan. Hal terakhir ini adalah kerugian besar yang tidak bisa
digantikan;

• Dibutuhkan peran aktif semua lembaga penegak hukum untuk melakukan


upaya penegakan hukum yang efektif untuk menekan tingkat kejahatan ini,
dengan tujuan menyelamatkan kekayaan alam/keanekaragaman hayati
Indonesia dan mengurangi kerugian negara akibat kehilangan pendapatan dari
sektor hutan;

• Dalam upaya menimbulkan efek jera kepada pelaku kejahatan dan masyarakat,
sudah waktunya pemerintah dan aparat penegak hukum mengembangkan
penegakan hukum yang kuat. Beberapa kasus kejahatan satwa liar ini
bisa menjadi momentum untuk melakukan revisi UU Konservasi dengan
memasukkan beberapa ketentuan yang lebih kuat, tidak multi tafsir dan
implementatif guna memberikan dampak penegakan hukum yang kuat dalam
kasus kejahatan ini.

46
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Daftar Pustaka

Soehartono, Tony dan Ani Mardiastuti. “CITES Implementation in Indonesia.” Jakarta:


Nagao Natural Environment Foundation. 2002.

WWF Indonesia. “Panduan Kelestarian Ekosistem untuk Pemanfaatan Panas Bumi.”


Jakarta: WWF Indonesia dan British Embassy. 2013.

Hanif, Fathi. “Peredaran & perdagangan satwa dilindungi di Indonesia.” Makalah


dipresentasikan dalam Diskusi dengan PPATK di Jakarta. 2015.

IWGFF & PPATK. “Panduan Pelatihan Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan Melalui
Pendekatan Anti Korupsi Dan Anti Pencucian Uang.” Jakarta. 2012.

Kementerian Kehutanan, “Statistik Kehutanan 2011”. Jakarta. 2012.

Kementerian Kehutanan, “Statistik Kehutanan 2013”. Jakarta. 2014.

United Nations General Assembly. “Convention on International Trade in


Endangered Species of Wild Fauna and Flora”. 1973.

Indonesia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Konvensi Perserikatan


Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara tahun
1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);

Indonesia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya


Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis


Tumbuhan dan Satwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3803);

47
FATHI HANIF, S.H., M.H.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis


Tumbuhan dan Satwa Liar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3804);

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan


Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5217);

Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia 43 Tahun 1978 tentang


Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of
Wild Fauna and Flora;

Mongabay.co.id. “Sikapi Kakatua Jambul Kuning dalam Botol, Ini Kata Menteri Siti.”
Diakses di http://www.mongabay.co.id/2015/05/09/sikapi-kakatua-jambul-
kuning-dalam-botol-ini-kata-menteri-siti/ pada tanggal 19 Oktober 2015.

Berita Satu. “Oknum PERBAKIN Jambi Tertangkap Jual Kulit Harimau.” Diakses
di http://www.beritasatu.com/kesra/287990-oknum-perbakin-jambi-
tertangkap-jual-kulit harimau.html pada tanggal 19 Oktober 2015.

WWF Indonesia. Hukuman Ringan Bagi Pemburu Gading Gajah, Mendesak UU NO.
5/1990 Direvisi. Siaran Pers, tanggal 13 Juli 2015.

WWF Indonesia. petisi #RIP Yongki diteruskan ke Bareskrim Polri. Siaran Pers, tanggal
7 Oktober 2015.

48
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

M emberantas
MemberantasKKejahatan
ejahatan AAtas S atwaLiar:
tas Satwa L iar :
R efleksi
Refleksi atasPPenegakan
atas enegakan H ukum U
Hukum ndang - undangNomor
Undang-Undang N omor5 5Tahun
T ahun 1990
1990

Raynaldo Sembiring dan Wenni Adzkia1

Abstrak

Kejahatan atas satwa liar merupakan kejahatan yang bersifat transnasional dan
terorganisasi yang telah mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem
Indonesia. Perkembangan kejahatan atas satwa liar yang saat ini juga merupakan
kejahatan teroganisasi, lintas negara dan berbasis elektronik, membuat Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tidak lagi efektif dan telah gagal untuk mengatasinya.
Kegagalan ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya sanksi pidana yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Pada tataran praktek, rendahnya
tuntutan Penuntut Umum dan putusan Majelis Hakim membuat tidak adanya efek
jera bagi pelaku kejahatan atas satwa liar. Tulisan ini membahas secara spesifik
mengenai perkembangan kejahatan atas satwa liar dan kegagalan penegakan
hukum atasnya. Tulisan ini juga memberikan masukan konstruktif untuk perbaikan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 sebagai sarana untuk memberantas kejahatan
atas satwa liar di Indonesia.

Kata Kunci: kejahatan atas satwa liar, penegakan hukum, pidana, undang-undang,
transnasional, terorganisasi, elektronik.

Abstract

Wildlife Crime is a transnational and organized crime that has given the negative impact for
Indonesia’s ecosystem. Evolution of wildlife crime as organized crime, transnational crime,
and cyber crime makes Law No. 5 Year 1990 ineffective and has failed to combat it. This failure
is caused by the lack of criminal sanction in Law No. 5 Year 1990. In the implementation,
low of demand and verdict by prosecutor and judge couldn’t give the deterrent effect for the

1 Raynaldo Sembiring lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2012, dan
Wenni Adzkia lulus dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada tahun 2014. Keduanya
merupakan peneliti di Indonesian Center for Environmental Law, dengan fokus kajian
keanekaragaman hayati.

49
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

criminal. This paper discusses specifically about evolution of wildlife crime modus and the
failure of law enforcement. This paper also gives input to revise Law No. 5 Year 1990 for
combating wildlife crime in Indonesian context.

Keywords: wildlife crime, law enforcement, criminal, transnational, organized, electronic.

I. Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara dengan keanekaragaman


hayati tertinggi di dunia sehingga disebut sebagai negara megabiodiversity.2 Sebagai
negara megabiodiversity, Indonesia juga memiliki tingkat endemik keanekaragaman
hayati yang tinggi. Dari 38.000 spesies tumbuhan, 55%-nya merupakan spesies
endemik, sedangkan dari 512 spesies binatang menyusui, 39%-nya merupakan
spesies endemik.3

Di sisi lain, dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki, Indonesia


juga dinilai sebagai salah satu tempat termudah untuk menemukan kejahatan atas
kehidupan liar (wildlife crime).4 Kekayaan keanekaragaman hayati sebagaimana
disebutkan dalam data tersebut kontraproduktif dengan kondisi keanekaragaman
hayati Indonesia saat ini -khususnya terhadap satwa liar5- yang beberapa populasinya
telah mengalami kepunahan.6 Kondisi ini juga diperkuat dengan Daftar Merah (red
list) yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang
menunjukan beberapa jenis satwa liar yaitu: 185 jenis mamalia, 121 jenis burung,
32 jenis reptil, 32 jenis ampibi, dan 145 jenis ikan terancam punah.7 Kehilangan

2 Negara megabiodiversity adalah negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang luar
biasa. Draf Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman
Hayati, hlm. 1. (tidak dipublikasikan)
3 Andri Santosa (ed), Konservasi Indonesia: Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan, (Bogor: Pokja
Kebijakan Konservasi - Environmental Services Program (ESP), 2009), hlm. 21.
4 USAID, Changes for Justice Project Wildlife Crime in Indonesia: A Rapid Assessment of the Current
Knowledge, Trends and Priority Actions, 2015, hlm. 14
5 Satwa liar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah satwa liar yang dilindungi sebagaimana
diatur dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa dan peraturan perundang-undangan lainnya.
6 Beberapa populasi satwa liar yang telah mengalami kepunahan misalnya Harimau Jawa dan
Harimau Bali. Lihat: Jackson, P. & Nowell, K. 2008, Panthera tigris ssp. Sondaica dan Panthera
tigris ssp. balica, The IUCN Red List of Threatened Species, Version 2014.3, <www.iucnredlist.
org>, sebagaimana dikutip Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara-Kejaksaan
Agung Republik Indonesia dalam Pedoman Penanganan Perkara terkait Satwa Liar, Januari
2015, hlm. 14.
7 Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara-Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
“Pedoman Penanganan Perkara terkait Satwa Liar”, Januari 2015, hlm. 15.

50
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

atau penurunan keanekaragaman hayati dari wildlife crime tersebut akan berdampak
pada ketersediaan pangan (food security), resiko kerusakan seluruh ekosistem, dan
kesehatan manusia.8

Convention of International Trade on Endangered Species (CITES) mendefinisikan


wildlife sebagai seluruh satwa dan tumbuhan, sedangkan kejahatan didefinisikan
sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum nasional dan ketentuan
mengenai perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam (termasuk ketentuan
CITES).9 Berdasarkan definisi tersebut, penulis memberikan batasan definisi
kejahatan atas kehidupan liar sebagai suatu tindakan terhadap satwa dan tumbuhan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional dan ketentuan
lainnya terkait perlindungan dan pengelolaan satwa dan tumbuhan, termasuk
ketentuan CITES. Kejahatan atas satwa liar dapat berupa kejahatan atas satwa liar
yang dilindungi, kejahatan atas satwa tidak dilindungi yang berada di kawasan
yang dilindungi, termasuk pelanggaran terhadap ketentuan CITES.

Apabila kita merujuk pada Lampiran Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999


tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (PP 7/1999) akan terlihat bahwa
Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
(UU 5/1990) jo. PP 7/1999 secara implisit bertujuan untuk melakukan pelindungan
atas satwa dan tumbuhan liar. Satwa liar didefinisikan sebagai semua binatang yang
hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau udara yang masih mempunyai sifat-sifat
liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.10 Pada tulisan ini,
penulis akan memfokuskan objek pembahasan wildlife crime hanya terhadap satwa
(kejahatan atas satwa liar).

ProFauna mencatat setidaknya ada dua penyebab yang dapat mengakibatkan


punahnya satwa liar, yaitu (a) berkurang dan rusaknya habitat serta (b) perdagangan
satwa liar.11 Berkurang dan rusaknya habitat banyak diakibatkan dari buruknya
tata kelola kawasan hutan, khususnya kawasan konservasi.12 Forest Watch Indonesia
(FWI) mencatat bahwa laju deforestasi hutan di Indonesia pada periode 2009-2013

8 https://www.cites.org/prog/iccwc.php/Wildlife-Crime, diakses tanggal 25 November 2015


9 Idem
10 Indonesia, Pasal 1 angka 7, Undang-Undang No 5 Tahun 1990
11 ProFauna, “Fakta Satwa Liar di Indonesia”, http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-
di-indonesia#.Vj49BrcrLIU, diakses tanggal 8 November 2015.
12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 membagi kawasan konservasi menjadi kawasan suaka
alam (KSA) yang terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa dan Kawasan Pelestarian
Alam (KPA) yang terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

51
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

mencapai 1,13 juta hektar per tahun.13 Hal ini mengakibatkan tekanan terhadap
habitat satwa liar14 yang sering sekali membuat satwa liar keluar dari habitatnya
dan masuk ke pemukiman masyarakat atau areal penggunaan lain.15 Salah satu
bentuk tekanan yang saat ini masif terjadi adalah kebakaran hutan. Kebakaran pada
kawasan hutan seperti taman nasional16 yang merupakan habitat asli dan penting
bagi sejumlah satwa yang dilindungi seperti bekantan, beruang madu, owa-owa,
harimau dahan, hingga orang utan,17 tentunya memberikan dampak langsung
terhadap penurunan populasi hingga kepunahan satwa liar.

Selain kerusakan pada habitat, penyebab lain yang mengancam kelestarian


satwa liar adalah perdagangan satwa liar dan kegiatan lain yang berkaitan dengan
perdagangan satwa liar, seperti perburuan. Berdasarkan hasil pemantauan dan
rekapitulasi Wildlife Crime Unit (WCU) pada tahun 2012-2014, 80% dari perdagangan
satwa liar yang terjadi di Indonesia berasal dari perburuan di alam (illegal poaching).18
Faktanya, perburuan merupakan ancaman terbesar terhadap kehidupan satwa liar
dibandingkan berkurang atau rusaknya habitat.19

Kejahatan atas satwa liar di Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan


meningkatnya tren global permintaan atas satwa liar. Dalam perkembangannya,
kejahatan atas satwa liar saat ini merupakan kejahatan terorganisasi (organized crime)
dan lintas negara (transnational crime) yang juga berbasis elektronik (cyber crime).20
13 Forest Watch Indonesia, “Potret Hutan Indonesia 2009-2013”, hlm. 82.
14 Dalam kegiatan konservasi keanekaragaman hayati yang dibagi ke dalam tingkat eksosistem,
spesies dan genetik, tekanan terhadap habitat (ekosistem) juga akan memberikan dampak
kepada keragaman di tingkat spesies dan genetik.
15 Keluarnya satwa dari habitatnya sering menimbulkan konflik dengan manusia yang
mengancam kepunahan satwa liar tersebut. Lihat: Forest Watch Indonesia, “Potret Hutan
Indonesia 2009-2013”, hlm. 82.
16 Taman Nasional yang mengalami kebakaran setiap tahunnya antara lain adalah Taman
Nasional Tesso Nilo, lihat Forest Watch Indonesia, “Potret Hutan Indonesia 2009-2013”, hlm.
82.
17 “Dampak yang Sangat Merugikan dari Kebakaran Hutan”, http://earthhour.wwf.or.id/4-
dampak-yang-sangat-merugikan-dari-kebakaran-hutan/, diakses tanggal 8 November 2015
18 Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara, Op.cit., hlm. 17.
19 Lihat USAID, Changes for Justice Project Wildlife Crime in Indonesia: A Rapid Assessment of the
Current Knowledge, Trends and Priority Actions, 2015 hlm. 16 dinyatakan bahwa “In fact, in
some cases hunting has even been shown to be a more significant threat to wildlife than
deforestation and habitat clearance, which is traditionally seen as the key environmental
threat in Indonesia. Hunting, it is argued, frequently follows forest clearance but whilst
deforestation tends to be a transitional impact – one major impact followed by a period of
regeneration – hunting remains a permanent threat, driving species populations down to
extinction levels (Meijaard 2014, Brodie et al. 2015).”
20 Direktorat penyidikan dan Pengamanan Hutan- Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Hutan Indonesia Dalam
Ancaman dan Solusi: Menguak Kejahatan Terorganisasi (Organize Crime), Lintas Negara

52
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Marceil Yeater juga menegaskan kembali betapa serius dan masifnya perkembangan
wildlife crime sebagai berikut: “wildlife crime including its links with other forms of crime,
is increasingly organized and a serious and growing danger for sustainable development,
global stability and international security. Wildlife crime is high profits, low risk of detection,
and low penalties (penebalan dan cetak miring dari penulis)”.21 Berdasarkan
hal tersebut, dapat dilihat bahwa kejahatan atas kehidupan liar (dalam konteks
ini kejahatan atas satwa liar) semakin terorganisasi, serius, dan berbahaya bagi
pembangunan berkelanjutan, kestabilan global, dan keamanan internasional.

Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan nasional untuk


melindungi keanekaragaman hayati, yaitu UU 5/1990. Selain itu, Indonesia juga
aktif dalam beberapa kerja sama internasional seperti CITES, ASEAN-WEN,
ICCWC, dan sebagainya. Faktanya, peraturan perundang-undangan dan kerja
sama internasional yang dilakukan belum menunjukkan hasil maksimal dalam
menanggulangi kejahatan atas satwa. Hal ini bisa dilihat dari status Indonesia yang
masih menjadi pemasok besar produk wildlife crime.22

Dalam pandangan penulis, pemberantasan kejahatan atas satwa liar saat ini
mengalami 2 (dua) permasalahan utama. Pertama, terkait dengan ketidakmampuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/1990) untuk mengatasi perkembangan kejahatan
atas satwa liar. Kedua, belum maksimalnya kinerja aparat penegak hukum, khususnya
jaksa dan hakim dalam penanganan kejahatan atas satwa liar. Kinerja aparat penegak
hukum yang dimaksud akan difokuskan kepada jaksa dan hakim. Alasannya, proses
persidangan dan pembuktian kejahatan atas satwa liar merupakan kewenangan jaksa
maupun hakim.

Kedua permasalahan di atas akan dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan ini.
Tulisan ini bersifat dekriptif yang disusun dengan menggunakan metodologi
yuridis-normatif. Penulis membagi tulisan ini ke dalam 4 (empat) bagian. Setelah
bagian pendahuluan, selanjutnya pada bagian kedua akan menguraikan diskursus
kebijakan hukum pidana dan perkembangan kejahatan atas satwa liar. Bagian ketiga
merupakan pendalaman dari tulisan ini yang akan menganalisis kedua pokok

(Transnasional) dan Kejahatan cyber (Cyber Crime)”, workshop paper untuk “Lokakarya
Penanganan Tindak Pidana Kehutanan”, hlm. 1-2.
21 Marceil Yeater dalam presentasi mengenai Environmental Crime in the Current International
Legal Framework: CITES yang disampaikan pada UNICRI-UNEP Conference on Environmental
Crime di Roma, 29-30 Oktober 2012.
22 USAID, Op. Cit., hlm 14

53
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

permasalahan yang diangkat terutama pada aspek regulasi dan kinerja aparat
penegak hukum. Sedangkan bagian keempat berisi kesimpulan dan saran.

II. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan atas


Satwa Liar dan Perkembangan Kejahatan atas Satwa Liar

Kebijakan hukum pidana termasuk dalam kebijakan penegakan hukum


khususnya penegakan hukum pidana. Berdasakan pernyataan tersebut, sebelum
masuk ke pembahasan mengenai kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan
kejahatan atas satwa liar, penulis terlebih dahulu akan memaparkan konsep
penegakan hukum. Suatu kejahatan akan dapat ditanggulangi dengan baik jika
norma atau hukum tersebut ditegakan. Penegakan hukum merupakan usaha untuk
mewujudkan ide-ide serta konsep (norma hukum) menjadi kenyataan.23

Masalah penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi


penegakan hukum tersebut. Soerjono Soekanto menjabarkan lima faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum sebagai berikut:

a. faktor hukum, yakni peraturan perundang-undangan.

b. faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun


menerapkan hukum.

c. faktor sarana dan prasarana, yakni fasilitas yang mendukung penegakan


hukum.

d. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau


diterapkan.

e. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.24

Dalam konteks kebijakan kriminal, salah satu upaya untuk menegakan hukum
adalah melalui kebijakan hukum pidana. Kebijakan sendiri berasal dari kata policy
(Bahasa Inggris) atau politiek (Bahasa Belanda). Dalam Bahasa Indonesia, kebijakan
hukum pidana sering juga disebut sebagai politik hukum pidana.25 Politik hukum

23 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Cetakan ke-2, (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2011), hlm. 12
24 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2010), hlm 8
25 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40815/3/Chapter%20II.pdf, diakses tanggal 10
November 2015

54
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

pidana berarti melakukan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan


pidana yang paling baik.26 A. Mulder membagi ruang lingkup politik hukum pidana
(strafrechtpolitiek) menjadi tiga, yaitu: (a) seberapa jauh perlu dilakukan perubahan
dan pembaruan ketentuan pidana; (b) apa yang dilakukan untuk mencegah tindak
pidana; dan (c) bagaimana cara penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan
pidana (di lembaga pemasyarakatan) harus dilakukan.27

Pada tulisan ini, penulis akan menggunakan faktor hukum dan faktor penegak
hukum sebagaimana yang disampaikan Soerjono Soekanto, sebagai landasan utama
untuk menjawab dua permasalahan yang diangkat pada tulisan ini, yaitu mengenai
kelemahan UU 5/1990 dan belum maksimalnya kinerja aparat penegak hukum.

2.1 Kebijakan Hukum Pidana Penanggulangan Kejahatan atas Satwa Liar dalam
Undang-Undang No 5 Tahun 1990

Konsep pelindungan satwa dalam UU 5/1990 dilakukan dengan dua cara,


yaitu: pengawetan satwa beserta ekosistemnya28 dan pemanfaatan yang lestari.29
Berikut adalah kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan atas
satwa liar sebagaimana yang dimuat dalam UU 5/1990:

Tabel 1
Kebijakan hukum pidana dalam UU 5/1990

Terkait dengan Habitat atau


No Terkait langsung dengan Satwa
Ekosistem Satwa

1
Subjek tindak pidana dalam UU 5/1990 hanya
merupaka satwa yang dilindungi saja. Hal ini
disebabkan oleh pembagian status pengawetan
satwa atas satwa yang dilindungi dengan satwa
yang tidak dilindungi.

26 Barda, hlm. 26
27 Barda, hlm. 27
28 Indonesia, Pasal 11, Undang-Undang No 5 Tahun 1990
29 Indonesia, Pasal 26, Undang-Undang No 5 Tahun 1990

55
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

2 Barang siapa yang sengaja melanggar Pasal Barang siapa sengaja melanggar
21 ayat (2) diancam pidana penjara paling lama Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ayat (1) diancam pidana penjara
100.000.000 (seratus juta rupiah). paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak Rp 200.000.000
Pasal 21 ayat (2) menyatakan bahwa setiap (dua ratus juta rupiah).1
orang dilarang untuk:
Adapun Pasal 19 ayat
a. menangkap, melukai, membunuh, (1) menyatakan bahwa
menyimpan, memiliki, memelihara, setiap orang dilarang untuk
mengangkut, dan memperniagakan satwa melakukan kegiatan yang dapat
yang dilindungi dalam keadaan hidup; mengakibatkan perubahan
b. menyimpan, memiliki, memelihara, terhadap keutuhan kawasan
mengangkut, dan meperniagakan satwa suaka alam.
yang dilindungi dalam keadaan mati; Sedangkan Pasal 33 ayat (1)
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari menyatakan bahwa setiap orang
suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dilarang melakukan kegiatan
dalam atau di luar Indonesia; yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki zona inti taman nasional.
kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa
yang dilindungi atau barang-barang yang
dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut
atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di
luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan,
memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan/atau sarang satwa yang
dilindungi.

3 Apabila Pasal 21 ayat (2) dilakukan karena Apabila Pasal 19 ayat (1) dan
kelalaian, maka diancam dengan pidana Pasal 33 ayat (1) dilakukan
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda karena kelalaian, maka diancam
paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta dengan pidana kurungan paling
rupiah).2 lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp 50.000.000
(lima puluh juta rupiah).3

Pada tabel di atas terlihat bahwa pendekatan kebijakan hukum pidana untuk
menanggulangi kejahatan atas satwa tidak hanya ditujukan langsung terhadap
pelindungan bagi satwa yang dilindungi tetapi pelindungan juga dilakukan terhadap
habitat atau ekosistem dimana satwa tersebut berada. Sistem pemidanaan yang dianut
UU 5/1990 juga adalah pidana maksimum. Selain itu, UU 5/1990 membagi tindak
pidana atas kejahatan dan pelanggaran berdasarkan kesengajaan dan kelalaian, yang
akhirnya berimplikasi pada lebih ringannya ancaman pidana terhadap tindakan
yang dikategorikan pelanggaran (lihat no. 3 dalam tabel 1) dibandingkan tindak
pidana yang dikategorikan kejahatan (lihat no. 2 dalam tabel 1).

56
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Melihat rumusan pidana UU 5/1990, konsep pemidanaan UU 5/1990 masih


menganut teori pembalasan atau teori absolut. Teori absolut berpendapat bahwa
hukuman adalah suatu pembalasan,30 sehingga penjatuhan hukuman merupakan
konsekuensi logis dari suatu kejahatan. Terdapat sejumlah keberatan terhadap teori
pembalasan, salah satunya Utrecht yang menganggap teori pemidanaan bersifat
individualistis dan tidak atau kurang memberi perlindungan kepada kolektivitet
(kolektif).31

Dalam perkembangan konsep pemidanaan, selain teori pembalasan juga


terdapat dua teori lainnya, yaitu teori tujuan dan teori penggabungan. Perkembangan
konsep pemidanaan juga dapat dipadukan dengan pendekatan ekonomi.32
Pendekatan ekonomi pada konsep pemidanaan dihitung dari nilai kerugian
ekonomi, sehingga nilai pembebanan pidana dilakukan atas kerugian sosial yang
ditimbulkan tindakan kejahatan tersebut, seperti kerugian karena membutuhkan
tenaga pejabat untuk mengejar pelaku dan kerugian negara akibat penanggulangan
kejahatan tersebut.33

2.2 Aktor Penegakan Hukum terkait Kejahatan atas Satwa Liar

Menurut Mardjono, elemen-elemen dalam sistem pengendalian kejahatan


terdiri atas lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan. Terkait penegakan hukum kejahatan atas satwa liar, penulis
mengidentifikasikan elemen-elemen tersebut sebagai berikut:

1. lembaga-lembaga kepolisian terkait dengan kejahatan atas satwa liar meliputi


penyelidik dan penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan penyidik pegawai
negeri sipil (PPNS);

2. kejaksaan sesuai dengan kewenangannya melakukan penuntutan terhadap


pelaku yang melakukan kejahatan atas satwa dan melakukan eksekusi terhadap
terpidana;

3. pengadilan melalui hakim memberikan putusan pemidanaan terhadap pelaku


kejahatan atas satwa liar; dan

30 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 159
31 Ibid, hlm. 177
32 Konsep pemidanaan dengan pendekatan ekonomi telah dikenal dalam kebijakan non penal
untuk penanggulangan tindak pidana perpajakan
33 T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, (Yogyakarta: Genta 2015), hlm.
156

57
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

4. lembaga pemasyarakatan sesuai tujuan pemidanaan melakukan rehabilitasi


terhadap pelaku kejahatan agar tidak mengulangi kejahatannya.

Sebagai suatu sistem, keempat elemen tersebut harus bekerja sama untuk dapat
meningkatkan efektivitas penanggulangan kejahatan. Dalam pandangan penulis,
kejaksaan dan pengadilan memiliki peranan penting untuk memberikan suatu efek
pencegahan melalui penjatuhan pidana. Dakwaan dan tuntutan yang diajukan oleh
penuntut umum akan berpengaruh terhadap putusan yang akan diberikan oleh
hakim. Dengan adanya penjatuhan pidana, diharapkan akan memberikan rasa
takut bagi masyarakat lain untuk tidak melakukan kejahatan atas satwa liar di masa
depan. Oleh karena itu, penulis hanya akan menguraikan lebih lanjut bagaimana
implementasi dari peran jaksa dan hakim dalam memberikan efek jera terhadap
kejahatan atas satwa pada bagian ketiga.

2.3. Perkembangan Kejahatan atas Satwa Liar

Kejahatan atas satwa liar berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Pada
perkembangannya, kejahatan atas satwa liar saat ini bukanlah kejahatan yang berdiri
sendiri melainkan merupakan kejahatan terorganisasi (organized crime), lintas negara
(transnational crime) yang berbasis elektronik (cyber crime). Dalam konteks perdagangan
satwa liar, dapat diidentifikasi beberapa kualifikasi peran yang dilakukan pihak-pihak
yang terlibat dalam kejahatan atas satwa liar, yaitu pemburu, penadah/ pengepul,
bandar, dan pemodal/ cukong.34

Pertemuan keempat dan kelima konfrensi UNTOC mengkonfirmasi


perkembangan perdagangan atas satwa liar termasuk kejahatan serius. Berikut
beberapa poin penting terkait perkembangan perdagangan atas satwa liar pada
konfrensi UNTOC tahun 2012:

1. perdagangan atas satwa liar sebagai bentuk dan dimensi baru dari kejahatan
transnasional yang terorganisasi;35

2. perdagangan atas satwa liar merupakan bentuk dan dimensi baru dari kejahatan
yang terorganisasi;36
34 Ibid.
35 Poin 16 Resolusi 6/I Ensuring effective implementation of the UNCTOC and the
Protocols of Thereto,< https://www.unodc.org/documents/middleeastandnorthafrica/
organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_AGAINST_TRANSNATIONAL_
ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_THERETO.pdf>.
36 Poin 88 Other Serious Crime, as defined in the Convention, including new forms and
dimensions of transnational organized crime,< https://www.unodc.org/documents/
middleeastandnorthafrica/organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_

58
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

3. perdagangan atas satwa liar dikaitkan dengan korupsi dan pembangunan yang
tidak merata;37

Pasal 3 ayat (2) United Nations Convention on Transnational Organized Crime


(UNTOC)38 merumuskan unsur-unsur kejahatan transnasional yang terorganisasi
sebagai berikut:39

a. kejahatan tersebut terjadi di lebih dari satu negara;

b. kejahatan tersebut dilakukan di satu negara namun bagian penting dari


persiapan, perencanaan, pengarahan atau kontrolnya terjadi di negara lain;

c. kejahatan tersebut dilakukan di satu negara namun melibatkan kelompok


kriminal yang terorganisasi yang terlibat dengan aktivitas kriminal di lebih
dari satu negara. Unsur organisasi kriminal terorganisasi terdiri atas tiga
atau empat orang, telah berdiri dan melakukan aktivitas kriminalnya selama
satu periode waktu, terlibat dalam satu atau lebih kejahatan serius atau
pelanggaran menurut ketentuan UNTOC, dan secara langsung maupun
tidak langsung bertujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial atau
keuntungan materi lainnya.

d. Kejahatan tersebut terjadi di satu negara namun memiliki dampak yang


besar bagi negara lain.

Contoh kasus kejahatan transnasional atas satwa liar yang terorganisasi adalah
penyelundupan satwa liar yang dilakukan oleh sindikat luar negeri. Salah satu kasus
yang berhasil digagalkan adalah penyelundupan ratusan satwa ke Kuwait melalui
Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 5 Juni 2014. Satwa yang diselundupkan
tersebut adalah seekor orang utan, empat ekor siamang (dua diantaranya mati), tiga
ekor owa Jawa, tiga ekor kakak tua raja (1 mati), satu ekor kukang, 97 ekor ular

AGAINST_TRANSNATIONAL_ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_
THERETO.pdf>.
37 Angka 93 Other Serious Crime, <as defined in the Convention, including new forms and
dimensions of transnational organized crime,< https://www.unodc.org/documents/
middleeastandnorthafrica/organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_
AGAINST_TRANSNATIONAL_ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_
THERETO.pdf>
38 Indonesia telah meratifikasi UNTOC melalui Undang-Undang No 5 Tahun 2009 tentang
Pengesahan United Nation Conventions Against Transnational Organized Crime (Konvensi
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
39 United Nations Office on Drugs and Crime. United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime and the Protocols Thereto, https://www.unodc.org/documents/
middleeastandnorthafrica/organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_
AGAINST_TRANSNATIONAL_ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_
THERETO.pdf, (terjemahan bebas dari penulis).

59
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

sanca batik (lima diantaranya mati), dan 2 burung cucak hijau.40

Selain berkembang menjadi kejahatan yang terorganisasi dan kejahatan


transnasional yang terorganisasi, kejahatan atas satwa liar juga berkembang
dengan menggunakan komputer dan internet sebagai alat untuk melakukan iklan
dan jual beli satwa liar yang dilindungi baik melalui toko online maupun media
sosial. Jual beli online dan penggunaan media sosial semakin marak terjadi seiring
dengan perkembangan teknologi. Sejak tahun 2011-2015 telah teridentifikasi 52
kasus perdagangan secara online, sedangkan untuk iklan perdagangan satwa yang
dilindungi pada bulan Mei teridentifikasi 97 iklan dan pada bulan Juni teridentifikasi
83 iklan.41

Data WCU dari tahun 2010-2015 pada diagram di bawah menunjukan bahwa
kejahatan dengan menggunakan komputer dan internet merupakan jenis kejahatan
tertinggi diantara jenis kejahatan lainnya terhadap satwa liar di Indonesia:42

(Sumber: Wildlife Crime Unit-Wildlife Conservation Society, Data Kasus 2003- Agustus 2015)

Salah satu contoh kasus perdagangan online satwa liar adalah kasus jaringan
penjualan satwa dilindungi melalui laman www.bariyadi.blogspot.com. Jaringan
ini terdiri atas tiga orang yang masing-masing berperan sebagai pencari satwa,

40 Eko Widianto, Perdagangan satwa libatkan sindikat luar negeri, diakses melalui <http://
nasional.tempo.co/read/news/2014/08/05/206597517/perdagangan-satwa-libatkan-
sindikat-luar-negeri>.
41 Wildlife Crime Unit-Wildlife Conservation Society Indonesia Program, Data Kasus Kejahatan
atas Satwa, 2015.
42 Ibid

60
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

perantara pembeli, dan pembuat blog atau laman sekaligus penjual.43 Sebelumnya
pada tahun 2011 di Grogol juga dilakukan penangkapan jaringan (kelompok besar)
penjualan satwa liar yang menggunakan internet.44

III. Tinjauan Kritis Penegakan Hukum terhadap


Kejahatan atas Satwa Liar

Bagian ketiga pada tulisan ini akan memaparkan analisis mengenai peran UU
5/1990 dan catatan atas kinerja hakim dan jaksa dalam memberantas kejahatan atas
satwa liar.

3.1. Ketidakmampuan UU 5/1990 untuk Mengakomodir Perkembangan


Kejahatan atas Satwa Liar

Pada bagian kedua telah diuraikan bahwa kejahatan atas satwa liar mengalami
perkembangan yang pesat dikarenakan semakin terorganisasinya kejahatan atas
satwa liar, adanya kaitan kejahatan atas satwa liar dengan tindak pidana lainnya
seperti korupsi dan pencucian uang, serta perkembangan modus tindak pidana
kejahatan atas satwa seperti penjualan online. Pada bagian ini, penulis akan menelaah
kebijakan hukum pidana UU 5/1990 dari sisi: (1) objek yang dilindungi dalam
kebijakan hukum pidana UU 5/1990; (2) konsep, jenis, dan sistem pemidanaan; (3)
penyesuaian nilai pidana denda; dan (4) peraturan turunan yang diamanatkan oleh
UU 5/1990 dalam kaitannya dengan perkembangan atas satwa liar.

3.1.1 Objek Perlindungan

Konservasi keanekaragaman hayati diantaranya dilakukan melalui


pengawetan keanekaragaman satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun
di luar kawasan suaka alam45 dan pengawetan satwa. UU 5/1990 membedakan
satwa atas satwa yang dilindungi dan satwa yang tidak dilindungi, begitu juga
dengan kebijakan hukum pidananya. Objek perlindungan kebijakan hukum
pidana terkait satwa dalam UU 5/1990 adalah satwa yang dilindungi, namun

43 Mohammad Syarrafah, Polisi Bongkar Jaringan Penjualan Satwa Langka via Internet, diakses
terakhir melalui http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/13/058642335/polisi-
bongkar-jaringan-penjualan-satwa-langka-via-internet
44 http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2012/08/120815_perdaganganilegal_
harimau_sumatra diakses tanggal 25 November 2015.
45 Lihat Pasal 14 UU 5/1990, kawasan suaka alam yang dimaksud disini adalah cagar alam dan
suaka marga satwa.

61
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

tidak ada aturan mengenai bagaimana pemanfaatan dari satwa yang tidak
dilindungi, kecuali jika satwa terebut berada pada kawasan yang dilindungi.

Sebagaimana ruang lingkup kejahatan atas satwa yang telah penulis


nyatakan pada awal tulisan ini, satwa-satwa liar yang tidak dilindungi pun
menjadi bagian dari perdagangan ilegal dan turut menyumbang resiko
kepunahan satwa liar yang tidak dilindungi. Salah satu contoh satwa tidak
dilindungi namun tingkat perdaganganya sangat tinggi adalah kakatua putih.46
Kebijakan hukum pidana dalam UU 5/1990 seharusnya dapat bersifat preventif,
yaitu memberikan perlindungan terhadap satwa liar yang tidak dilindungi
agar populasinya terjaga dan tidak punah.

3.1.2 Konsep, Jenis, dan Sistem Pemidanaan dalam UU 5/1990

Pidana pokok dalam UU 5/1990 terdiri atas pidana penjara dan pidana
denda. Pembagian jenis pidana seperti ini terkesan menganut teori pembalasan.
Padahal perkembangan konsep pemidanaan saat ini tidak semata-mata kepada
pembalasan, misalnya terlihat pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP).

RKUHP saat ini mengembangkan konsep pemidanaan yang tidak


semata-mata memberikan pembalasan kepada pelaku kejahatan. Konsep ini
dapat dilihat salah satunya pada jenis pidana pokok dalam RKUHP dan adanya
pasal mengenai pedoman pemidanaan. Jenis pidana pokok dalam RKUHP
terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda,
dan kerja sosial. UU 5/1990 tampaknya masih menganut teori pembalasan
dengan selalu menggunakan pidana penjara dalam ancaman pidana pokoknya.

Salah satu kelemahan UU 5/1990 yang dianggap menyumbang pada


kegagalan pelindungan konservasi keanekaragaman hayati adalah ancaman
pidana yang terlalu rendah. Sampai dengan saat ini penulis belum menemukan
penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai dampak atau efektivitas dari
ancaman maupun penjatuhan pidana penjara yang tinggi dengan penurunan
tingkat kejahatan, namun menurut penulis perlu ada kolaborasi antara
peningkatan ancaman pidana dengan pilihan jenis pidana yang akan diberikan.

Kejahatan atas satwa harus dilihat dari berbagai perspektif seperti


ekonomi, hobi, budaya, dan sebagainya. Dari berbagai perspektif ini, belum

46 Danny Kosasih, “Kakatua Diselundupkan Revisi UU No 5 Tahun 1990 Dinanti”, www.


thegreeners.co/berta/kakatua-diselundupkan-revisi-uu-no-5-tahun-1990-/dinanti, diakses
tanggal 27 November 2015

62
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

tentu semua orang akan berpendapat bahwa kejahatan atas satwa liar
merupakan suatu kejahatan, sehingga pelaku maupun masyarakat (umum)
di sekitar pelaku belum tentu merasa memiliki kepentingan yang sama untuk
menanggulangi kejahatan atas satwa liar. Menurut penulis, selain memperkuat
ancaman pidana dalam UU 5/1990, konsep pemidanaan dalam UU 5/1990
harus mampu menjawab tujuan dari pemidanaan pelaku kejahatan atas satwa
liar, yaitu agar pelaku tidak melakukan kembali perbuatannya dan masyarakat
lainnya tidak melakukan kejahatan atas satwa liar. Contoh untuk hal ini adalah
pada kasus kejahatan atas satwa liar tertentu47 sebaiknya diberikan tambahan
pidana kerja sosial seperti ikut melakukan kampanye anti-kejahatan atas satwa
liar, membantu membersihkan kandang-kandang pada lembaga konservasi,
dan pidana lainnya yang dianggap lebih memberikan efek jera.

Untuk memperkuat ancaman pidana yang diberikan, penulis memandang


perlu untuk memasukkan sistem pidana minimum dan kejahatan terorganisasi
sebagai landasan pemberatan pidana. UU 5/1990 hanya menganut sistem
pidana maksimum sementara kejahatan atas satwa liar berkembang secara masif
menjadi kejahatan yang terorganisasi dan berkaitan dengan kejahatan lainnya.
Praktek selama ini, penjatuhan pidana penjara biasanya relatif lebih ringan,
yaitu berkisar 3 bulan sampai dengan 1 tahun 6 bulan, dan hanya sedikit yang
dikenakan pidana denda Rp 100.000.000.48 Penuntutan dan penjatuhan pidana
yang lebih ringan ini bukan hanya disebabkan rendahnya ancaman pidana
maksimum yang ada, tetapi juga dipengaruhi oleh pandangan hakim dan jaksa
mengenai kejahatan atas satwa. Penulis memandang perlu sistem pemidanaan
minimum sebagai suatu kontrol atas kinerja kejaksaan dan kepolisian, serta
dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan.

Untuk kejahatan terorganisasi, termasuk kejahatan transnasional yang


terorganisasi, perlu untuk ditindak secara serius karena ditemukan keterkaitan
kejahatan atas satwa liar yang terorganisasi dengan kejahatan lain seperti
korupsi, pencucian uang, dan kejahatan lainnya. Untuk membongkar suatu
sindikat atau kejahatan terorganisasi diperlukan usaha yang ekstra karena
sulit untuk melacak jaringan organisasinya dan menangkap pimpinan atau
orang yang bertindak sebagai pimpinan jaringannya. Sehingga kejahatan

47 Kejahatan atas satwa liar tertentu disini penulis tujukan untuk kondisi tertentu seperti pelaku
baru pertama kali melakukan kejahatan, tidak terlibat dalam kejahatan terorganisasi, dan
tujuannya adalah untuk hobi atau kesenangan
48 Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, Hasil Pemantauan dan Data
Rekapitulasi 2012-2014

63
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

terorganisasi, termasuk kejahatan transnasional yang terorganisasi, yang


berkaitan dengan kejahatan atas satwa liar dijadikan sebagai salah satu alasan
pemberat dalam pemidanaan.

3.1.3 Pidana Denda dalam UU 5/1990, setimbangkah untuk mengganti


kerugian ekologis?

Sejak UU 5/1990 diundangkan pada tanggal 10 Agustus 1990 sampai


dengan saat ini, belum ada penyesuaian mengenai ancaman pidana denda
yang diberikan. Apabila kita menggunakan pendekatan ekonomi lingkungan,
pidana denda yang diberikan seharusnya dapat mengganti kerugian ekologis
yang ditimbulkan atau berpotensi ditimbulkan dari kejahatan atas satwa
liar tersebut, baik untuk biaya perawatan, penyediaan habitat alamnya, dan
sebagainya. Berikut perkiraan biaya perawatan satwa liar untuk jenis orang
utan dan badak:

Tabel 2
Biaya perawatan orang utan dan badak

Biaya perawatan 1 ekor Biaya perawatan 1 ekor


Jenis Satwa
satwa perbulan satwa pertahun
Orangutan4 Rp 3.500.000 - Rp 42.000.000 -
Rp 4.000.000 Rp 48.000.000
Badak Sumatera dan - ± Rp 300.000.000
Badak Jawa5

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa biaya perawatan untuk orangutan,
badak Sumatera, serta Badak Jawa tidaklah sedikit. Biaya tersebut belum
termasuk biaya penggantian habitat satwa tersebut karena tidak sedikit habitat
satwa liar tersebut dirusak untuk alasan pembangunan. Pidana denda yang
diberikan seharusnya dapat mengganti nilai kerugian ekologis dari kejahatan
atas satwa liar.

3.1.4 Peraturan-undangan pendukung yang diamanatkan UU 5/1990

Sebuah undang-undang umumnya mengamanatkan adanya peraturan


pelaksana yang dibentuk untuk menjalankan undang-undang.49 Salah satu
peraturan pelaksana yang diamanatkan oleh UU 5/1990 adalah peraturan
pemerintah untuk menjalankan ketentuan Pasal 22, yaitu:

49 Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan: Jenis Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta,
Kanisius-2007), hlm. 244

64
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

a. pengecualian larangan dalam Pasal 21 untuk keperluan penelitian, ilmu


pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang
bersangkutan;

b. pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di
luar negeri dengan izin Pemerintah; dan

c. pengecualian dari larangan untuk menangkap, melukai, dan membunuh


satwa yang dilindungi jika membahayakan kehidupan manusia.

Sampai dengan saat ini belum ada peraturan pemerintah atau peraturan
lainnya yang mengatur secara jelas mengenai ketentuan pengecualian
larangan yang telah disebutkan di atas. Salah satu contohnya adalah mengenai
kebolehan untuk menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi
karena dianggap membahayakan kehidupan manusia. Tentunya hal ini akan
memunculkan pertanyaan: bagaimana menafsirkan suatu sebab satwa tersebut
membahayakan kehidupan manusia? Bagaimana jika ditarik suatu kausalitas
bahwa manusia mengganggu habitat satwa liar tersebut sehingga satwa tersebut
akhirnya membahayakan kehidupan manusia? Pada prakteknya tidak sedikit
terjadi kasus pembunuhan satwa liar dianggap membahayakan kehidupan
manusia, seperti pembunuhan orangutan di Desa Menjalin50 atau pembunuhan
beruang madu di Kabupaten Rokan Hulu.51

3.2. Catatan atas Kinerja Aparat Penegak Hukum

Kinerja aparat penegak hukum khususnya jaksa dan hakim dalam memberantas
kejahatan atas satwa liar menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Sampai
dengan saat ini, tidak banyak penelitian yang menelaah baik tuntutan jaksa
maupun putusan hakim pada kejahatan atas satwa liar. Padahal jika mengacu
kepada teori sistem peradilan pidana, yang merupakan sistem dalam masyarakat
untuk menanggulangi masalah kejahatan,52 lembaga kejaksaan maupun lembaga
pengadilan merupakan faktor penting yang harus dikritisi kinerjanya.

50 http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/131798-ganggu-kebun-warga-bantai-orang-
utan.html, diakses tanggal 26 November 2015
51 http://riauterkini.com/hukum.php?arr=88802&judul=Seekor%20Beruang%20Madu%20
Dibunuh%20Warga%20Rohul,%20Taring%20dan%20Kukunya%20Hilang, diakses tanggal
26 November 2015
52 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan
Kejahatan), sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 3.

65
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

Berdasarkan hal tersebut, pada bagian ini penulis mencoba memaparkan


data yang diolah dari hasil rapat kelompok kerja nasional Mahkamah Agung RI
yang telah menelaah beberapa putusan terkait kejahatan atas satwa liar.53 Dari data
40 (empat puluh) putusan kejahatan atas satwa liar yang telah diolah, terdapat
beberapa catatan menarik, antara lain:

1) Sekitar 80% terdakwa merupakan pelaku lapangan yang berprofesi sebagai


supir, petani, nelayan, dan pelajar;

2) Sekitar 80% terdakwa berpendidikan rendah (mulai dari tidak lulus SD sampai
dengan pendidikan terakhir SMA);

3) Perkara dengan terdakwa pegawai negeri sipil (PNS) diberikan sanksi lebih
berat dibandingkan terdakwa dengan profesi supir, petani, nelayan, dan pelajar
dengan pidana kurungan 4-8 bulan dan denda 10-20 juta rupiah;

4) Perkara yang dilakukan dengan penyertaan (deelneming) diberikan sanksi lebih


berat dibandingkan terdakwa dengan profesi supir, petani, nelayan, pelajar,
dan PNS dengan pidana kurungan 6-10 bulan dan pidana denda 10-50 juta
rupiah;

5) Putusan pidana badan paling berat adalah penjara 1 tahun 6 bulan, pada kasus
perdagangan 53 (lima puluh tiga) moncong hiu dan 17 (tujuh belas) ekor penyu;

6) Putusan pidana denda paling berat sebesar 100 juta rupiah, pada kasus
penyeludupan 16 (enam belas) ekor penyu yang diputus oleh Pengadilan
Negeri Denpasar;

7) Ratio tuntutan jaksa dengan putusan hakim terkait pidana badan adalah 3:2;

8) Ratio tuntutan jaksa dengan putusan hakim terkait pidana denda adalah 2:1;

Berdasarkan catatan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:

1) Sebagian besar pelaku kejahatan yang diproses hukum adalah pelaku lapangan
dengan tingkat pendidikan rendah.

Hal ini merupakan antitesis dengan pemaparan pada bagian sebelumnya,


dimana adanya temuan mengenai modus dan peran pelaku kejahatan atas
satwa liar sebagai kejahatan terorganisasi tipe sindikat. Jika melihat kembali

53 Rapat kerja teknis telaah putusan perkara lingkungan hidup tugas Kelompok Kerja
Lingkungan Hidup Nasional tanggal 10-12 Agustus 2015 di Bogor. Rapat ini membahas
putusan lingkungan hidup dan sumber daya alam berdasarkan data yang dihimpun dari
pengadilan di seluruh Indonesia dalam periode 2013-2015. Salah satu bidang putusan yang
dibahas adalah putusan tindak pidana satwa liar.

66
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

kepada UU 5/1990, maka hal ini tidaklah mengejutkan karena undang-undang


belum mengakomodir perkembangan kejahatan atas satwa liar menjadi
kejahatan terorganisasi. Hal menarik lainnya dari catatan di atas bahwa belum
ditemukan adanya kejahatan transnasional yang terorganisasi. Tentunya untuk
mengkonfirmasi hal ini harus dilakukan pendalaman lebih lanjut.

2) “Rendahnya” disparitas antara tuntutan jaksa dan putusan hakim

Rendahnya disparitas umumnya dipandang sebagai hal positif. Namun


rendahnya disparitas pada catatan di atas menjadi temuan menarik, karena
hampir dari seluruh putusan yang ditelaah, hakim tidak mau memutuskan
“terlalu jauh” dari tuntutan jaksa. Hal ini terlihat dari ratio tuntutan jaksa
dengan sanksi yang diberikan oleh hakim. Sebagai contoh: ketika tuntutan jaksa
rendah, hakim juga memutuskan tidak jauh dari tuntutan tersebut, walaupun
objek kejahatan tersebut memiliki nilai ekologis yang tinggi dan penting bagi
upaya pelestarian ekosistem. Pernyataan di atas menekankan bahwa peran
jaksa dalam penegakan hukum terhadap kejahatan atas satwa liar sangatlah
penting dan dapat mempengaruhi pertimbangan hakim.

3) Rendahnya sanksi pidana yang diberikan

Jika mengacu kepada UU 5/1990 sanksi pidana yang diterapkan pada


seluruh putusan ini sangatlah rendah. Rendahnya sanksi ini berasal dari
tuntutan jaksa yang rendah pula. Berdasarkan telaah putusan tersebut, sanksi
pidana badan terberat “hanya” penjara 1 tahun 6 bulan dari maksimal 10
tahun. Sedangkan untuk pidana denda terberat adalah 100 juta rupiah. Padahal
jika satwa yang menjadi objek kejahatan masih hidup, biaya perawatan yang
dibutuhkan cukup besar. Dalam penanganan kasus kejahatan atas satwa liar,
nilai kerugian yang dihitung sebaiknya tidak terbatas pada kerugian ekonomi
dan kerugian sosial saja, melainkan juga terhadap kerugian ekosistem.
Dalam putusan yang ditelaah tersebut, kerugian ekosistem minim sekali
dipertimbangkan oleh jaksa dan hakim. Selain minimnya pertimbangan akan
kerugian ekosistem, faktor UU 5/1990 yang membatasi denda sampai dengan
200 juta rupiah juga menjadi salah satu penyebab rendahnya pidana denda
yang diberikan. Hal ini menjadi salah satu alasan pentingnya revisi UU 5/1990
khususnya terhadap ketentuan pidana.

4) Putusan pengadilan telah memberikan sanksi yang lebih berat kepada terdakwa
yang berprofesi sebagai PNS dan yang melakukan penyertaan.

67
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

Perihal mengenai putusan pengadilan yang memberikan sanksi lebih


berat bagi PNS dan pelaku penyertaan selama ini kurang terpublikasi. Catatan
kritis terhadap putusan pengadilan lebih banyak diarahkan kepada besaran
sanksi dan pelaku yang dihukum. Hasil ini tentunya menjadi temuan penting
yang sementara dapat diapresiasi dengan catatan bahwa kinerja jaksa maupun
hakim juga masih perlu ditingkatkan.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, penegakan hukum untuk


mengatasi kejahatan atas satwa liar melalui UU 5/1990 saat ini telah mengalami
kegagalan. Kegagalan terjadi baik karena faktor hukum (undang-undang) maupun
faktor (aparat) penegak hukum. Dalam hal faktor hukum, revisi terhadap UU 5/1990
tentunya menjadi syarat wajib, dengan catatan bahwa revisi yang dilakukan harus:

a. mengakomodir perkembangan kejahatan atas satwa liar sebagai organized


crime, transnational organized crime dan cyber crime dengan memasukkannya
sebagai pemberatan pidana.

b. menggunakan sistem pemindanaan minimum.

Jika beberapa poin di atas diakomodir, tentunya akan memberikan opsi bagi para
penegak hukum untuk dapat mengoptimalkan pemberantasan kejahatan atas satwa
liar. Secara tidak langsung pembenahan terhadap faktor hukum akan memberikan
dorongan bagi perubahan kinerja penegak hukum. Selain itu, peningkatan kapasitas
bagi para penegak hukum, khususnya jaksa dan hakim juga penting dilakukan
untuk memberikan pemahaman baru dalam menyikapi perkembangan kejahatan
atas satwa liar.

68
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Daftar Pustaka

Buku:

Arief, Barda Nawawi. 2014. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Prenada
Media Group.

Atmasasmita, Romli. 2011. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Farida, Maria. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta:
Kanisius.

Ferrera, Gerald R. et.al. 2001. Cyber Law. United States: West Thompson Learning.

Gunawan, T.J. 2015. Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi. Yogyakarta:
Genta.

Rahardjo, Satjipto. 2011. Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Cetakan ke-2.
Yogyakarta: Genta Publishing.

Santosa, Andri (ed). 2009. Konservasi Indonesia: Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan.
Bogor: Pokja Kebijakan Konservasi - Environmental Services Program (ESP).

Soekanto, Soerjono. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

______. 2007. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Utrecht. 1986. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Pustaka Tinta Mas.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya


Hayati dan Ekosistemnya.

Indonesia. Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan


Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Indonesia. Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup.

69
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

Dokumen Lain

Danny Kosasih, “Kakatua Diselundupkan Revisi UU No 5 Tahun 1990 Dinanti”,


www.thegreeners.co/berta/kakatua-diselundupkan-revisi-uu-no-5-
tahun-1990-/dinanti, diakses tanggal 27 November 2015.

Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan


Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Hutan Indonesia Dalam Ancaman dan Solusi: Menguak Kejahatan
Terorganisasi (Organize Crime), Lintas Negara (Transnasional) dan Kejahatan
cyber (Cyber Crime)”. Workshop paper disampaikan pada Lokakarya Penanganan
Tindak Pidana Kehutanan.

Eko Widianto, Perdagangan Satwa Libatkan Sindikat Luar Negeri, <http://nasional.


tempo.co/read/news/2014/08/05/206597517/perdagangan-satwa-libatkan-
sindikat-luar-negeri>.

Hendar. “Tiga Orangutan Jalani Rehabilitasi, Pihak Perusahaan Tidak Bertanggung


Jawab”.

h t t p :/ /w ww. b b c. com/ i n d on e si a/ b e r i t a _i n do n e si a /2 0 1 2/ 08 / 12 0 8 15 _
perdaganganilegal_harimau_sumatra

https://www.cites.org/prog/iccwc.php/Wildlife-Crime, diakses tanggal 25


November 2015.

http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/131798-ganggu-kebun-warga-bantai-
orang-utan.html, tanggal 26 November 2015.

http://www.mongabay.co.id/2012/10/17/tiga-orangutan-jalani-rehabilitasi-
pihak-perusahaan-tidak-bertanggung-jawab/.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40815/3/Chapter%20II.pdf,
diakses tanggal 10 November 2015.

http://riauterkini.com/hukum.php?arr=88802&judul=Seekor%20Beruang%20
Madu%20Dibunuh%20Warga%20Rohul,%20Taring%20dan%20Kukunya%20
Hilang.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Draf Naskah Akademik Rancangan


Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati. (tidak dipublikasikan).

Forest Watch Indonesia. “Potret Hutan Indonesia 2009-2013”.

70
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Hendar. “Tiga Orangutan Jalani Rehabilitasi, Pihak Perusahaan Tidak Bertanggung


Jawab”, http://www.mongabay.co.id/2012/10/17/tiga-orangutan-jalani-
rehabilitasi-pihak-perusahaan-tidak-bertanggung-jawab/, diakses tanggal 8
November 2015.

Yeater, Marceil. Environmental Crime in the Current International Legal Framework:


CITES disampaikan pada UNICRI-UNEP Conference on Environmental Crime
di Roma, 29-30 Oktober 2012.

Okezone. 2013. “Setiap Tahun, Biaya Perawatan Andatu Hampir Rp 300 Juta”.
http://news.okezone.com/read/2013/02/11/345/759776/setiap-tahun-
biaya-perawatan-andatu-hampir-rp300-juta, diakses tanggal 8 November 2015.

Pro FAUNA. Fakta Satwa Liar di Indonesia, http://www.profauna.net/id/fakta-


satwa-liar-di-indonesia#.Vj49BrcrLIU, diakses tanggal 8 November 2015.

Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara Kejaksaan Agung Republik
Indonesia. 2015. Pedoman Penanganan Perkara terkait Satwa Liar.

Syarrafah, Mohammad. Polisi Bongkar Jaringan Penjualan Satwa Langka via


Internet.<http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/13/058642335/polisi-
bongkar-jaringan-penjualan-satwa-langka-via-internet>, diakses tanggal 25
November 2015.

United Nations Convention against Transnational Organized Crime. Sixth Session


of the Conference of Parties to the United Nations Convention against
Transnational Organized Crime diselenggarakan tanggal 15-19 Oktober 2012.

United Nations Convention against Transnational Organized Crime and the Protocols
Thereto. <https://www.unodc.org/documents/middleeastandnorthafrica/
organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_AGAINST_
TRANSNATIONAL_ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_
THERETO.pdf>

United Nations Office on Drugs and Crime. Sixth United Nations Congress on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, https://www.unodc.
org/documents/congress//Previous_Congresses/6th_Congress_1980/025_
ACONF.87.14.Rev.1_Sixth_United_Nations_Congress_on_the_Prevention_of_
Crime_and_the_Treatment_of_Offenders.pdf, diakses tanggal 6 November
2015.

71
RAYNALDO SEMBIRING dan WENNI ADZKIA

United Nations Office on Drugs and Crime. United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime and the Protocols Thereto, https://www.
unodc.org/documents/middleeastandnorthafrica/organised-crime/
UNITED_NATIONS_CONVENTION_AGAINST_TRANSNATIONAL_
ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_THERETO.pdf, diakses
tanggal 4 November 2015.

United Nations Office on Drugs and Crime. “Environmental Crime-The


Trafficking of Wildlife and Timber”, https://www.unodc.org/toc/en/crimes/
environmental-crime.html, diakses tanggal 8 November 2015.

USAID. Changes for Justice Project Wildlife Crime in Indonesia: A Rapid Assessment of the
Current Knowledge, Trends and Priority Actions. 2015.

Wildlife Crime Unit –Wildlife Conservation Society Indonesia Program. Hasil


Pemantauan dan Data Rekapitulasi 2012-2014.

Wildlife Crime Unit –Wildlife Conservation Society. Data Kasus Kejahatan Atas
Satwa 2003-2015.

WWF. Dampak yang Sangat Merugikan Dari Kebakaran Hutan, http://earthhour.


wwf.or.id/4-dampak-yang-sangat-merugikan-dari-kebakaran-hutan/, diakses
tanggal 8 November 2015.

72
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

P Perlindungan
erlindungan HHukum Terhadap
ukum T erhadap Terumbu
T erumbu Karang
K arang
T aman
di di TamanNNasional
asional TTaka
aka B onerate(TNT)
Bonerate (TNT)

Oleh: Zulkifli Aspan1

Abstrak

Taman Nasional Taka Bonerate (TNT) adalah taman laut dengan kawasan atol
terbesar ketiga di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva
di Kepulauan Maladewa. Luas total dari atol ini 220.000 hektare dengan sebaran
terumbu karang mencapai 500 km². Terdapat sekitar 295 jenis ikan karang dan
berbagai jenis ikan bernilai ekonomis tinggi seperti Kerapu (Epinephelus spp.), Ikan
Naopoleon  (Cheilinus undulatus), dan Baronang (Siganus sp). Sebanyak 244 jenis
moluska di antaranya Lola (Trochus niloticus), Kerang Kepala Kambing (Cassis
cornuta), Triton (Charonia tritonis), Batulaga (Turbo spp.). Penelitian ini bertujuan
memberikan perlindungan hukum terhadap ekosistem terumbu karang di TNT.
Metode peneltian bersifat normatif-kuantitatif. Penelitian ini menunjukan bahwa
status sebagai Taman Nasional belum memberikan perlindungan hukum yang
kuat terhadap Taka Bonerate. Diperlukan payung hukum yang lebih konkrit untuk
melindungi ekosistem terumbu karangnya.

Kata Kunci: Terumbu Karang, Taka Bonerate, Perlindungan Hukum.

Abstract

Taka Bonerate National Park is a marine park with the region’s third largest atoll in the world
after Kwajifein Suvadiva in the Marshall Islands and the Maldives Islands. The total area of​​
the atoll is 220,000 hectares with coral reefs spreading up to 500 km². There are about 295
species of reef fish and various types of high-value fish such as grouper (Epinephelus spp.),
Napoleon fish (Cheilinus undulatus), and Baronang (Siganus sp). A total of 244 species of
molluscs in between Lola (Trochus niloticus), Shells Goats Head (Cassis cornuta), Triton
(Charonia tritonis), Batulaga (Turbo spp.). This study aims at providing legal protection
for biodiversity in the National Park Takabonerate. Other research methods are normative-
quantitative. This study shows that the status as a national park not provide strong

1 Pengajar Hukum Lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

73
ZULKIFLI ASPAN

legal protection against Takabonerate. Required more concrete legal basis for protecting
biodiversity.

Keywords: Coral Breef, Taka Bonerate, Legal Protection.

I. Pendahuluan

Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 19452 menegaskan negara sebagai pemegang “kuasa
pengelolaan sumberdaya alam.” Sebagai pemegang kuasa, negara diwajibkan oleh
konstitusi untuk menggunakan kuasa tersebut sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat. Paradigma negara kesejahteraan yang menjadi ‘nafas’ pasal tersebut
semestinya dibarengi dengan tersedianya perangkat hukum (legal instrument) yang
berpihak pada kepentingan rakyat secara luas.

Berpijak pada konsensus tersebut, negara dituntut untuk melaksanakan


kewajibannya dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pengelolaan dan
kelestarian lingkungan hidup di darat, laut dan udara. Hal tersebut semakin dipicu
oleh kegiatan yang tidak mengacu pada kriteria-kriteria pembangunan berwawasan
lingkungan serta pemanfaatan sumberdaya alam laut yang berlebihan.3

Salah satu habitat ekosistem laut adalah terumbu karang. Hasil penelitian Pusat
Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat,
hingga 2013 pada 1.135 stasiun menunjukkan bahwa sebesar 30,4 persen kondisi
terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan atau kurang baik. Hanya
sebesar 5,29 persen dalam kondisi sangat baik, sebesar 27,14 persen masih dalam
kondisi baik, dan sebesar 37,18 persen dalam kondisi cukup.4

Diperlukan upaya untuk menanggulangi hal tersebut. Salah satu bentuk


upaya tersebut adalah perlindungan sumberdaya alam yang dapat dilakukan
melalui konservasi dengan cara menetapkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi
keanekaragaman jenis biota laut, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi
Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau disebut juga Marine Conservation Area (MCA).5

2 Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
3 Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut; Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu
Karang Tahap II (COREMAP II), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2006, hlm 1.
4 LIPI, 30,4% Terumbu Karang Rusak, sumber: http://kependudukan.lipi.go.id/id/berita/
liputan-media/146-lipi-30-4-persen-terumbu-karang-rusak data akses 26 Oktober 2015.
5 COREMAP II, op.cit.

74
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

KKL merupakan wilayah perairan laut termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil
yang mencakup tumbuhan dan hewan di dalamnya, dan/atau termasuk bukti
peninggalan sejarah dan sosial budaya di bawahnya, yang dilindungi secara hukum
atau cara lain yang efektif baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah
tersebut. Di daerah tersebut diatur zona-zona untuk mengatur kegiatan yang dapat
dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan
minyak dan gas bumi, perlindungan ikan, biota laut dan ekologinya untuk menjamin
perlidungan yang lebih baik.6

KKL tersebut pada dasarnya merupakan gerbang terakhir perlindungan dan


pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya kelautan dan ekosistemnya. Melalui cara
tersebut diharapkan upaya perlindungan secara lestari terhadap sistem penyangga
kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya serta pemanfaatan
sumberdaya alam laut secara berkelanjutan dapat terwujud.7

TNT yang berlokasi di Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi


Selatan, merupakan salah satu Kawasan Konservasi Laut (KKL) yang dilindungi
oleh negara. TNT memiliki karakteristik berupa terumbu karang tipe atol yang
terbesar ketiga di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di
Kepulauan Moldiva yaitu seluas 220.000 Ha. Secara geografis terletak di Laut Flores
yaitu antara 120°55’ - 121°9’ BT dan 6°41’ - 7°70’ LS.8

Sebagai suatu kawasan pelestarian alam, TNT mempunyai fungsi untuk


perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
biota serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
TNT memiliki potensi sumber daya laut berupa Terumbu Karang (231 jenis), Ikan
(285 jenis), Moluska (216 jenis), Penyu (4 jenis), Echinodermata (4 jenia), Lamun (10
jenis), serta Alga (47 jenis).9 Sebagai suatu kawasan konservasi, pengelolaan sumber
daya alam laut yang terkandung di dalamnya harus dilakukan secara bijaksana
agar menunjang budidaya, dapat dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pariwisata serta peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian pengelolaan dan pengembangan TNT merupakan

6 Ibid hlm 2-3.


7 COREMAP II, ibid
8 Departemen Kehutanan RI, Taman Nasional Taka Bonerate, sumber: http://www.dephut.
go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_takabonerate.htm
9 Asep Sugiharta. Prospek dan Kontribusi Taman Nasional Taka Bonrate Terhadap pembangunan
Daerah, (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Regional Pengelolaan Taman Nasional
Kawasan Timur Indonesia, Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional, Manado, 24-27 Agustus
1999).

75
ZULKIFLI ASPAN

bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan daerah setempat yang diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah tersebut.10

Meskipun sudah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi, potensi ancaman


kerusakan eksosistem laut di TNT tetap ada. Berdasarkan hasil survey Pusat Studi
Terumbu Karang (PSTK) Unhas tahun 2000, di daerah Taka Bonerate, tingkat
kerusakan rata-rata relatif lebih rendah yakni dengan penutupan karang hidup
sekitar 40-60%, dan di daerah Kepulauan Spermonde tingkat penutupan karang
sekitar 25-50%.11

(Sulsel), masuk dalam kategori rusak parah, sedang 36 persen lainnya dalam
kondisi kritis. Kerusakan yang terjadi itu tidak hanya pada kawasan terumbu karang
yang secara formal dilindungi seperti TNT di Kabupaten Selayar, tetapi juga hampir
menyeluruh di pesisir Sulsel mulai dari sebelah Selatan hingga ke Teluk Bone di
pantai Timur Sulsel.12

Ekspedisi Takabonerate tahun 2009 lalu menyimpulkan bahwa terumbu karang


di sejumlah titik penyelaman TNT, Sulawesi Selatan, umumnya telah mati akibat
penggunaan bom ikan. Pendataan Balai TNT pada tahun 2009 juga memperkirakan,
luasan kondisi dan luasan terumbu karang lima tahun terakhir ini berkurang. Survei
tahun 2004 menunjukkan, tutupan terumbu karang di TNT masih sekitar 78 persen.
Namun, hasil sementara survei tahun 2009 menunjukkan, tutupan terumbu karang
di kawasan itu tinggal 60-70 persen.13

Dari kasus-kasus yang terekam, penyebab kerusakan terumbu karang


diantaranya adalah pembangunan di kawasan pesisir, pembuangan limbah dari
berbagai aktivitas di darat maupun di laut, sedimentasi akibat rusaknya wilayah
hulu dan daerah aliran sungai, pertambangan, penangkapan ikan merusak yang
menggunakan sianida dan alat tangkap terlarang, pemutihan karang akibat
perubahan iklim, serta penambangan terumbu karang.

Menurut penulis, kerusakan ekosistem laut di TNT setidaknya bisa diidentifikasi


dari beberapa kasus. Pertama, penggunaan bom ikan oleh masyarakat di sekitar

10 Ibid.
11 Sudirman, “Warning Atas Kerusakan Hutan Bawah Laut”, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Unhas (tanpa tahun), hlm 1.
12 Coremap.or.id., 40% Terumbu Karang Sulsel Rusak Parah, sumber: http://regional.
coremap.or.id/print/article.php?id=542 diakses dari http://www.kompas.com/ver1/
Iptek/0709/10/174020.htm, data diakses pada hari Minggu 18/10/2015 pukul 14.00 WITA.
13 Kompas, Sebagian Terumbu Karang Taka Bonerate Telah Mati, sumber: http://bisniskeuangan.
kompas.com/read/2009/10/27/07414877/Sebagian.Terumbu.Karang.Takabonerate.Telah.
Mati data diakses pada hari Minggu 18/10/2015 pukul 14.00 wita.

76
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

perairan atau nelayan pendatang. Selain karena kurangnya pemahaman terhadap


peraturan perundang-undangan, kondisi ini juga terjadi akibat ketidakpahaman
masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian ekosistem perairan, khususnya
terumbu karang. Kedua, perburuan biota laut secara besar-besaran, khususnya biota
laut yang dilindungi. Ketiga, tingkat laju kerusakan ekosistem laut tidak sebanding
dengan upaya pemulihan melalui konservasi. Keempat, lemahnya perangkat
kelembagaan pemerintah daerah untuk melindungi ekosistem taman laut, termasuk
dalam hal ini TNT.

Kondisi demikian menunjukkan bahwa kerusakan ekosistem bawah laut di


TNT nyata terjadi. Sehingga diperlukan penguatan terhadap intrumen hukum
yang sudah ada, guna memperkuat perlindungan hukumnya. Penguatan ini dapat
dilakukan dengan dua cara. Pertama, memperbaiki regulasi di tingkat nasional.
Kedua, membentuk perangkat peraturan perundang-undangan di tingkat lokal
yang diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional
yang menjadi payung hukumnya (umbrella act). Hal ini penting dilakukan untuk
menyesuaikan regulasi di tingkat nasional dengan kebutuhan di daerah pasca
berlakunya UU Pemerintahan Daerah terbaru (UU No. 23 Tahun 2014).14

Penguatan perlindungan hukum terhadap wilayah perairan menjadi penting


mengingat wilayah laut dan perairan di sekitarnya saat ini menjadi perhatian dunia.
Konflik di Laut China Selatan antara 6 (enam) negara: China, Taiwan, Malaysia,
Filipina, Indonesia, dan Brunei,15 menyadarkan dunia jika laut, menyimpan potensi
sumberdaya alam yang sangat besar dan strategis. Buku “Konflik Laut China
Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan”16 mengurai secara komprehensif
silang kepentingan enam negara perairan terhadap Laut China Selatan. Atas fakta
itu, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar sepatutnya sadar dan segera
memperkuat instrumen hukum untuk melindungi kepentingan nasionalnya di
wilayah laut dan perairan di sekitarnya.

Beberapa perangkat undang-undang yang telah ada masih mampu menjawab


kebutuhan jangka pendek, akan tetapi dipandang belum memenuhi kebutuhan
jangka panjang. Oleh karenanya, penguatan serta penyelarasan instrumen hukum
peraturan perundang-undang; baik nasional maupun lokal, terkait isu ekosistem

14 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No.


244 Tahun 2014, TLN No. 5587.
15 Empat negara terakhir adalah anggota ASEAN.
16 “Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan, Diterbitkan oleh P3DI Setjen
DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, 2013.

77
ZULKIFLI ASPAN

laut dan perairan mutlak diperlukan untuk menjawab tantangan kebutuhan jangka
panjang.

II. Pembahasan

2.1. Perlindungan Hukum TNT: Pendekatan Undang-Undang

Tulisan ini bersandar pada teori besar tentang perlindungan hukum (legal
protection), dengan meletakkan prinsip kewajiban Negara (state obligation) untuk
melaksanakan perlindungan hukum itu. Pertama, tak ada janji tanpa kewajiban.
Seluruh deklarasi dan perjanjian internasional selalu mengandung prinsip
kewajiban negara. Kedua, dasar kewajiban negara diletakan karena subyek hukum
dalam perjanjian internasional adalah negara, sama sekali bukan individu atau
badan lainnya. Kewajiban ini tidaklah diajukan kepada perorangan, karena setiap
orang bukanlah subyek hukum dalam perjanjian yang dimaksud. Ketiga, tak ada
kewajiban tanpa tanggungjawab. Peletakan prinsip state obligation tentu saja
bertalian pula dengan tanggungjawab negara (state responsibility). Konsistensi
dari seluruh rangkaian disepakatinya perjanjian dan pelaksanaan kewajiban
selalu menuntut tanggungjawab sebagai pasangan yang logisnya. Jika negara
gagal atau lalai menunaikan janji dan kewajibannya, maka kepada negara pulalah
dituntut tanggungjawabnya. Keempat, sebagai pihak yang berjanji, negara bukan
saja selalu berpotensi, tetapi secara faktual mengingkari atau melanggar janjinya
sendiri. Atas pengingkaran atau pelanggaran ini pula, negara-negara dituntut
tanggungjawabnya.17

Menurut Fitzgerald, yang menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond,


bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dam mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu-lintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatai
berbagai kepentingan di lain pihak.18 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak
dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk
menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.19 Perlindungan
hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan
hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada
17 Menggugat Negara: Rasionalitas Demokrasi, HAM dan Kebebasan. (Jakarta: PBHI dan European
Union (UE), 2005).
18 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000) hlm 53.
19 Ibid hlm 69.

78
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan


prilaku antara angota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan
pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.

Salah satu bentuk perlindungan hukum dalam tanggungjawab negara


terhadap pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup adalah dengan membentuk
peraturan perundang-undangan. Di bawah ini akan disebutkan sejumlah peraturan
perundang-undangan yang menjadi payung hukum perlindungan dan pelestarian
lingkungan hidup dan ekosistem hayati dan ekosistem laut, termasuk di TNT.
Dalam uraian ini, Penulis juga mengidentifikasi persoalan di dalamnya.

1) UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan


Ekosistemnya20

Selain mengacu pada UU No 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengelolaan TNT mengacu pada UU
No 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Ada 2 (dua) kata penting dalam undang-undang ini yaitu “konservasi” dan
“ekosistem” sumberdaya alam hayati. Pasal 1 ayat (2) undang-undang ini,
menyatakan jika “konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan
sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana
untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.” Kemudian Pasal 1 ayat
(3) “ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik
antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung
dan berpengaruh mempengaruhi.”

Lahirnya undang-undang ini sebagai bentuk kesadaran Negara akan


pentingnya melestarikan kekayaan sumberdaya alam hayati. Konsideran UU
No 5 Tahun 1990, bahwa “sumber daya lama hayati Indonesia dan ekosistemnya
yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia
Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari,
selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya
dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan.” Bahkan
dari pemberlakuan UU No 5 Tahun 1990 ini, Indonesia dipandang satu langkah
lebih maju dari dunia internasional yang baru menganggap penting untuk
melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem pendukungnya melalui

20 Indonesia, Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU
No. 5 Tahun 1990, LN Tahun 1990 No. 49.

79
ZULKIFLI ASPAN

United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-


Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) empat tahun kemudian.

Undang-undang ini juga mengatur keberadaan Taman Nasional, seperti


diatur dalam Pasal 29 ayat (1) “Kawasan pelestarian alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: (a) taman nasional; (b) taman
hutan raya; (c) taman wisata alam.” Keberadaan TNT cukup mendapat
perlindungan dalam undang-undang ini. Meski tidak secara spesifik mengatur
perlindungan terhadap ekosistem laut dan perairan disekitarnya, termasuk
ekosistem terumbu karang. Mestinya, “konservasi” sebagaimana disebut dalam
Pasal 1 diatas dijabarkan secara rinci; konservasi sumberdaya alam di darat
dan konservasi sumberdaya alam di laut, guna mendorong lahirnya peraturan
pelaksana bagi penguatannya.

2) UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On


Biological Diversity (Konvensi PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati)21

Empat tahun kemudian setelah berlakunya UU No 5 Tahun 1990,


pemerintah Indonesia meratifikasi United Nations Convention on Biological
Diversity22 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman
Hayati) melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994. Pertimbangan
pengesahan Konvensi ini antara lain adalah, bahwa keanekaragaman hayati
di dunia, khususnya di Indonesia, berperan penting untuk kelanjutan proses
evolusi serta terpeliharanya keseimbangan ekosistem dan sistem kehidupan
biosfer. Di samping itu, keanekaragaman hayati yang meliputi ekosistem,
jenis dan genetik yang mencakup hewan, tumbuhan, dan jasad renik (micro-
organism), perlu dijamin keberadaan dan keberlanjutannya bagi kehidupan.

Pengesahan United Nations Conventions on Biological Diversity ini tidak


bisa dilepaskan dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Konvensi ini
mempunyai kekuatan berlaku tanggal 16 November 1994. Sebagai perangkat
hukum pendukung berlaku UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia dan PP Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengendalian Pencemaran dan

21 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity


(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati), UU No. 5 Tahun 1994.
22 United Nations, Convention on Biological Diversity, Rio de Jeneiro, 5 June 1992. Dapat dibuka
di:https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XXVII-
8&chapter=27&lang=en.

80
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

atau Perusakan Laut.23

Dalam hukum internasional, dikenal asas pacta sun servanda, yang mengikat
secara hukum dan memberikan kewajiban bagi negara-negara untuk mematuhi
dan mengimplementasikan dalam hukum nasional. Atas dasar itulah, sebagai
negara kepulauan yang sangat berkepentingan dalam upaya perlindungan
laut dan perairan disekitarnya, Indonesia wajib mematuhi dan melaksanakan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam konvensi internasional tersebut. Dalam
konteks itu, keberadaan UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
dan PP Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut, penulis pandang sudah menjadi sikap Indonesia terhadap
konvensi tersebut.

3) UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau


Kecil (UU WP3K)24

UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-


Pulau Kecil (UU WP3K) menjadi tonggak baru dalam pengelolaan, pelestarian
dan perlindungan wilayah pesisir laut. Dalam bagian pertimbangan undang-
undang ini, negara memandang bahwa “wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
memiliki keragaman potensi Sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting
bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan
bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global,
dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang
berdasarkan norma hukum nasional.”

Perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil


berpijak pada asas “kepastian hukum” sebagaimana termuat dalam Pasal 3
undang-undang ini. Selain itu, konservasi wilayah pesisir juga diatur dalam
undang-undang ini. Pasal 1 ayat (19) menyebutkan “Konservasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.” Kemudian ayat selanjutnya (ayat 20) menyebutkan “kawasan konservasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah
23 Ibid hlm 356.
24 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU
No 27 Tahun 2007, LN No. 84 Tahun 2007, TLN No. 4793.

81
ZULKIFLI ASPAN

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan. dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.”

Dalam advokasi lingkungan hidup yang lebih luas, lahirnya UU WP3K


ini menambah kuat upaya perlindungan terhadap pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil, termasuk kawasan TNT yang secara geografis berada
di wilayah kepulauan Selayar. Hadirnya undang-undang ini bertujuan untuk:
pertama, melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan
memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya
secara berkelanjutan. Kedua, menciptakan keharmonisan dan sinergi antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil. Ketiga, memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga
pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan
keberkelanjutan. Keempat, meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya
Masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.25

Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga menjadi isu utama
dalam undang-undang ini. Tujuan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil: pertama, menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kedua, melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain. Ketiga, melindungi
habitat biota laut. Keempat, melindungi situs budaya tradisional.

Meski demikian, undang-undang ini bukannya tanpa cacat. Meski


menjadi payung hukum dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, termasuk ekosistem hayati di dalamnya, undang-undang ini meyimpan
masalah terkait Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3).26 Gugatan uji materi
terhadap UU WP3K yang diajukan oleh  Koalisi Tolak Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir di yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK)27 pada 2011
lalu menegaskan masalah ini. Menurut MK, pemberian HP3 oleh pemerintah
kepada pihak swasta adalah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33
Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsp kebersamaan, efisiensi

25 Pasal 4 UU WP3K
26 Pengertian HP3 dalam UU ini adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir
untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom
air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
27 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.

82
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta


dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
MK menyatakan, pemberian HP3 melanggar prinsip demokrasi ekonomi
karena akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil
menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Sebaliknya bagi
masyarakat nelayan tradisional yang sebagian besar berdiam di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada
sumber daya pesisir akan tersingkir. Sehingga dalam kondisi yang demikian,
negara telah lalai menyelenggarakan tanggung jawabnya untuk melaksanakan
perekonomian nasional yang memberikan perlindungan dan keadilan rakyat.

4) UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27


Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil28

UU No 1 Tahun 2014 merupakan perubahan atas UU No 27 Tahun 2007


tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Rentang waktu
7 (tujuh) tahun membuat pemerintah semakin sadar untuk memperkuat
perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kesadaran itu tampak pada beberapa pasal dalam UU No 1 Tahun 2014 yang
mengalami perubahan jika dibandingkan dengan UU No 27 Tahun 2007.
Beberapa perubahan tersebut diantaranya:

28 Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007


Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014, LN No. 2
Tahun 2014, TLN No. 5490.

83
ZULKIFLI ASPAN

Tabel: Perbandingan Beberapa Pasal dalam UU No. 27 Tahun 2007


dan UU No. 1 Tahun 2014.

UU No 27 Tahun 2007 UU No 1 Tahun 2014 Keterangan

Pasal 1 angka (1): “Pengelolaan Wilayah UU No 1/2014


“Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- lebih jelas
Pesisir dan Pulau-Pulau Pulau Kecil adalah memuat peran
Kecil adalah suatu suatu pengoordinasian pemerintah dan
proses perencanaan, perencanaan, pemanfaatan, pemerintah
pemanfaatan, pengawasan, dan daerah dalam
pengawasan, dan pengendalian sumber daya pengelolaan
pengendalian Sumber pesisir dan pulau-pulau WPPK.
Daya Pesisir dan Pulau- kecil yang dilakukan
Pulau Kecil antarsektor, oleh Pemerintah dan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
Pemerintah Daerah, antarsektor, antara
antara ekosistem darat ekosistem darat dan
dan laut, serta antara laut, serta antara ilmu
ilmu pengetahuan pengetahuan dan
dan manajemen manajemen untuk
untuk meningkatkan meningkatkan kesejahteraan
kesejahteraan masyarakat. rakyat.”

Pasal 1 angka (17) “Rencana Zonasi Rinci UU No 1/2014


“Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam lebih tegas
adalah rencana detail 1 (satu) Zona berdasarkan mengatur
dalam 1 (satu) Zona arahan pengelolaan di keterlibatan
berdasarkan arahan dalam Rencana Zonasi yang pemerintah pusat
pengelolaan didalam dapat disusun oleh dalam pembuatan
Rencana Zonasi dengan Pemerintah Daerah dengan Rencana Zonasi.
memperhatikan daya memperhatikan daya dukung
dukung lingkungan dan lingkungan dan teknologi
teknologi yang diterapkan yang dapat diterapkan
serta ketersediaan sarana serta ketersediaan sarana
yang pada gilirannya yang pada gilirannya
menunjukkan jenis dan menunjukkan jenis dan
jumlah surat izin yang jumlah surat izin yang
dapat diterbitkan oleh diterbitkan oleh Pemerintah
Pemerintah Daerah.” dan Pemerintah Daerah.

Selain itu, HP-3 dalam UU No 27 Tahun 2007 yang telah dibatalkan oleh
MK, oleh UU No 1 Tahun 2014 berganti menjadi izin lokasi. Termuat dalam
Pasal 16:

84
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

(1) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan
Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib
memiliki Izin Lokasi.

(2) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian
Izin Pengelolaan.”

Membandingkan kedua undang-undang ini, jika HP3 dalam UU No 27


Tahun 2007 memberikan “hak menguasai” kepada perorangan, badan usaha,
dan masyarakat adat, maka “izin lokasi” dalam UU No 1 Tahun 2014 hanya
memberikan “hak pengelolaan”, penguasaan terhadap tanah tetap dimiliki oleh
negara.

Jika dilacak, izin lokasi dalam undang-undang ini merujuk pada Izin
Lingkungan29 sebagaimana termuat dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Presiden
No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Beberapa perubahan Pasal dalam UU No 1 Tahun 2014 menandakan
jika pemerintah pusat terlibat lebih aktif, salah satunya dalam penerapan
rencana zonasi, agar tidak terjadi manipulasi perizinan zonasi yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum negatif.

Namun meskipun dipandang sebagai langkah maju dalam perlindungan


terhadap kedaulatan negara atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, izin
lokasi sebagai syarat melakukan “reklamasi” dalam UU dan PP ini menyimpan
bahaya laten. Bahaya laten yang dimaksud adalah potensi kerusakan
lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat kegiatan reklamasi yang
dilakukan oleh perorangan atau badan usaha. Kasus penolakan reklamasi di
Teluk Buloa (Bali)30 dan reklamasi di pesisir Makassar (Sulsel)31 yang kencang
dikampanyekan aktivis lingkungan memberikan pesan penting akan ancaman

29 Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/
atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
30 Republika, WALHI Tolak Pengerukan Pasir untuk Teluk Benoa, sumber: http://nasional.
republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/03/26/nlgihj-walhi-tolak-pengerukan-pasir-
untuk-teluk-benoa. Lihat juga: Republika, Gubernur Jatim Didesak Tolak Izin Pengerukan
Pasir Pesisir Banyuwangi, sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/
umum/15/04/08/nmhwrp-gubernur-jatim-didesak-tolak-izin-pengerukan-pasir-pesisir-
banyuwangi, data akses pada Kamis 26 Nov 2015 pukul 15.30 wita.
31 Kompas, Aktivis Tolak Rencana Reklamasi 4.000 Ha, http://print.kompas.com/
baca/2015/08/21/Aktivis-Tolak-Rencana-Reklamasi-4-000-Hektar data akses pada Kamis 26
Nov 2015 pukul 15.30 wita.

85
ZULKIFLI ASPAN

nyata terhadap kerusakan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat


kegiatan reklamasi yang tidak mematuhi persyaratan perundang-undangan.

5) UU No 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan32

Undang-undang ini merupakan perubahan atas UU No 31 Tahun 2004


tentang Perikanan. Keberadaan UU ini cukup penting dalam melindungi
habitat ikan di TNT. Sebagaimana disinggung sebelumnya, jika di TNT terdapat
sekitar 295 jenis ikan karang dan berbagai jenis ikan bernilai ekonomis tinggi
seperti Kerapu (Epinephelus spp.), Baronang (Siganus sp), dan Ikan Naopoleon 
(Cheilinus undulatus) sebagai jenis ikan yang dilindungi.

Lahirnya UU ini atas kesadaran jika UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan


“…..belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi
dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi
sumberdaya ikan.”33 Salah satu bentuk kegiatan dalam upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatam sumberdaya ikan di TNT adalah melalui kegiatan
Konservasi Sumber Daya Ikan. Konservasi Sumber Daya Ikan adalah upaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk
ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai
dan keanekaragaman sumber daya ikan.34

Melalui UU ini, perlindungan hukum terhadap kelestarian ikan di TNT


sangat penting jika dikaji dari sudut pandang ekonomi dan kedaulatan negara.
Faktanya, penggunaan bom ikan oleh nelayan, termasuk nelayan pendatang
dan nelayan asing yang melakukan aktivitas tangkap ikan di perairan Indonesia
di sekitar kepulauan Selayar hingga ke TNT, mengancam ekosistem terumbu
karang sekaligus mengancam populasi ikan.35 Hal ini tetap terjadi meskipun
ancaman sanksi pidana sudah tertera dalam undang-undang ini. Selain Ikan
Napoleon, anak ikan hiu (Superordo selachimorpha) yang ada di perairan sekitar
TNT juga terancam punah. Data dari Koordinator Konservasi WWF-Indonesia
menjelaskan, terhitung sejak 14 September 2014, sebanyak lima spesies
hewan predator yang berada di perairan Indonesia sudah terancam punah

32 Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004


tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN No. 5073.
33 Konsideran huruf (c) UU No 45 tahun 2009 tentang Perikanan.
34 Pasal 1 angka (8) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
35 http://www.mongabay.co.id/tag/bom-ikan/ data akses pada hari Kamis 26 November 2015
pukul 15.45 wita.

86
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

sehingga mendapatkan perlindungan lebih serius dari Konvensi Perdagangan


Internasional terhadap Satwa dan Tumbuhan yang Terancam Punah (Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna/CITES).36

6) UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup (UU PPLH)37

UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup (UUPPLH) adalah undang-undang terlengkap dalam bidang lingkungan
hidup yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup. Terdiri dari 127
Pasal dan 17 Bab, lebih lengkap dibandingkan dua undang-undang di bidang
lingkungan hidup sebelumnya (UULH No 4 Tahun 1982 dan UUPLH No 23
Tahun 1997). Berlakunya UUPPLH No 32 Tahun 2009 ini juga menyatakan
bahwa UU No 23 Tahun 1997 tidak berlaku lagi.38

UUPPLH ini juga memuat lebih lengkap asas-asas yang berkaitan dengan
lingkungan hidup. Seperti disebutkan dalam Pasal 2, bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: tanggung
jawab negara, kelestarian dan keberlanjutan, keterpaduan, manfaat, kehati-
hatian, keadilan, ekoregion, keanekaragaman hayati, pencemar membayar,
partisipatif, kearifan lokal, dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Penambahan asas dalam UU PPLH ini memperluas sejumlah asas yang


tercantum dalam UU No 23 Tahun 1997 yang hanya mencantumkan 3 (tiga)
asas; asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat. Penulis
memandang pencantuman asas keanekaragaman hayati dan asas pencemar
membayar merupakan langkah maju dalam melindungi lingkungan hidup,
khususnya terkait dengan keanekaragaman hayati dalam wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, seperti ekosistem hayati di TNT.

7) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah39

Peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pelestarian wilayah


laut, pesisir dan pulau-pulau kecil telah diatur dalam Pasal 1 UU WP3K.

36 PKSPL-IPB, Sang Predator Terancam Punah, sumber: http://pkspl.ipb.ac.id/berita-sang-


predator-terancam-punah.html#ixzz3vYTyhyON data akses pada hari Kamis 26 November
pukul 16.05 wita.
37 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059.
38 Termuat dalam Pasal 125 UUPLH, Ibid.
39 UU No. 23 Tahun 2014, Op. Cit.

87
ZULKIFLI ASPAN

Dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda),


sektor kelautan dan perikanan juga menjadi urusan pemerintah daerah. Pasal
12 ayat (3) UU Pemda menyebutkan bahwa “Urusan Pemerintahan Pilihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi: a. kelautan dan
perikanan; […]” Sebagaimana UU WP3K yang mengatur peran pemerintah
pusat dan daerah, UU Pemda juga membagi kewenangan pemerintah pusat
dan daerah dalam pengelolaan wilayah laut. Pasal 14 ayat (1) UU Pemda
menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang
kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.”

UU Pemda tidak mengatur secara spesifik konsep pengelolaan wilayah


laut. Isu kelautan dalam UU Pemda hanya menyangkut hal-hal bersifat umum
seperti; teritorial, bagi hasil kelautan antara Pusat dan Daerah, serta hal-hal
umum lainnya. Hal ini dimaklumi mengingat isu kelautan, pesisir dan pulau-
pulau kecil sudah diatur dalam undang-undang tersendiri; UU WP3K dan UU
Perairan Indonesia. Dalam wujud yang lebih konkrit, pemerintah daerah bisa
membuat Peraturan Daerah (Perda) atas isu sektoral sesuai kebutuhan daerah,
termasuk didalamnya adalah Perda bidang kelautan, pesisir dan pulau-pulau
kecil, bagi daerah yang sebagian besar luas wilayahnya adalah laut, misanya
Kabupaten Kepulauan Selayar di Propinsi Sulawesi Selatan yang menjadi
lokasi TNT.40

2.2. Peran Pemerintah Daerah

Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan


Selayar juga dituntut berperan dalam menjaga kelangsungan dan pelestarian
ekosistem hayati di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 1 UU WP3K No 1 Tahun 2014, bahwa ‘Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu
pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.”

Demikian pula dalam Pasal 12 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah menyebutkan jika “kelautan dan perikanan” menjadi urusan pemerintah
daerah. Kemudian Pasal 14 UU Pemda menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan

40 Lebih jelasnya lihat point Y Pembagian Urusan Bidang Kelautan dan Perikanan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam Lampiran UU No 23 Tahun 2014 hlm 102.

88
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.” Jadi isu pesisir dan pulau-pulau
kecil menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah daerah dan pemerintah
pusat. Hal ini selaras dengan Pasal 1 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil yang memberikan tanggungjawab kepada pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam pelestarian lingkungan dan ekosistem pesisir dan pulau-
pulau kecil.

Sebagai daerah kepulauan, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar dituntut


berperan serta dalam pengelolaan, pelestarian dan perlindungan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa peraturan
daerah yang dibuat untuk melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kab.
Kepulauan Selayar. Keberadaan Perda ini sebagai bagian dari upaya pemerintah
daerah dalam mengelola, melestarikan dan melindungi ekosistem hayati laut dan
perairan disekitarnya.

1) Perda No 5 Tahun 2012 41

Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Nomor 5 Tahun 2012


tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar Tahun 2012
– 2032 mencantumkan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan, Kawasan Lindung
dan Kawasan Budidaya. Dalam Strategi Penataan Ruang, TNT dijadikan pusat
destinasi pariwisata bahari andalan nasional. Perda Tata Ruang ini semakin
menguatkan posisi TNT sebagai destinasi pariwisata bahari berskala nasional,
sehingga dipandang mesti ditopang dengan regulasi lokal di bidang tata ruang
berbasis Kawasan.

Pasal 10 : “Strategi pengembangan pusat destinasi pariwisata bahari


andalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf j terdiri atas : (a)
mengembangkan ekowisata bahari di Kawasan Taka Bonerate”

2) Perda No 10 Tahun 201142

Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Nomor 10 Tahun 2011


tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir merupakan Peraturan Daerah yang

41 Kabupaten Kepulauan Selayar, Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar Tahun 2012 – 2032, Perda Nomor
5 Tahun 2012.
42 Kabupaten Kepulauan Selayar, Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir, Perda Nomor 10 Tahun 2011.

89
ZULKIFLI ASPAN

mengadopsi sepenuhnya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil


(UU WP3K No 27 Tahun 2007). Perda No 10 Tahun 2011 memasukan TNT kedalam
zona pesisir dan pulau-pulau kecil yang mesti dikelola dan dilestarikan. Perda
ini juga memuat; zonasi, rencana strategis, rencana zonasi, Kawasan Konservasi
Perairan, Kawasan Konservasi Laut (KKL), Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan
Kawasan Konservasi laut Daerah (KKLD).

Perkembangan hukum dan kebutuhan hukum terhadap perlindungan


ekosistem hayati di TNT, kedepan perlu dilakukan perbaikan terhadap Perda
ini yang disesuaikan dengan UU WP3K terbaru (UU No 1 Tahun 2014), serta
UU Pemda (UU No 23 Tahun 2014), khusus menyangkut isu kelautan. Hal ini
penting agar ada harmonisasi dan keselarasan antara peraturan perundang-
undangan di tingkat pusat dan daerah.

3) Perda No 7 Tahun 201143

Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Nomor 7 Tahun 2011


Tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Kepulauan
Selayar. Perda ini menjadikan Taman Nasional Takabonerate sebagai Kawasan
Pengembangan Pariwisata II sebagai pusat unggulan wisata bahari meliputi:
Kecamatan Takabonerate dan Kecamatan Bontosikuyu (Pasal 11). Perda ini
khusus mengatur isu pariwisata dengan menjadikan TNT sebagai pusat
unggulan wisata bahari.

4) Perda No 8 Tahun 201044

Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Nomor 8 Tahun 2010


Tentang Pengelolaan Terumbu Karang merupakan Perda yang fokus isunya
terkait pelestarian terumbu karang, termasuk terumbu karang di TNT. Dalam
Pasal 3 Perda ini dikemukakan jika Pengelolaan terumbu karang dilakukan
dengan tujuan untuk:

a. terciptanya sistem dan mekanisme pengelolan terubu karang yang


berwawasan lingkungan;

43 Kabupaten Kepulauan Selayar Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Tentang


Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Selayar, Perda Nomor 7
Tahun 2011.
44 Kabupaten Kepulauan Selayar, Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Tentang
Pengelolaan Terumbu Karang, Perda Nomor 8 Tahun 2010

90
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

b. terciptanya manfaat ekonomi sumberdaya terumbu karang secara


maksimal dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat;

c. terpeliharanya kelestarian fungsi-fungsi alamiah ekosistem terumbu


karang agar tetap dapat menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

5) Perda No 6 Tahun 200945

Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Nomor 6 Tahun 2009


tentang Perizinan Usaha Perikanan yang sebagian besar mengadopsi UU No
31 Tahun 2004 tentang Perikanan.46 Perda ini dipandang memperkuat proteksi
terhadap sumberdaya alam hayati dan ekosistem laut , khususnya perikanan,
di perairan sekitar Kabupaten Kepulauan Selayar, termasuk di Taman Nasional
Takabonerate. Perda ini mengatur Jenis Izin Usaha Perikanan yang meliputi:
(a) Izin Usaha Perikanan (IUP); (b) Surat Penangkapan Ikan (SPI); (c) Surat Izin
Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI); (d) Izin Nelayan Andon (Nelayan Pendatang);
(e) Izin Pemanfaatan dan Pemasangan Rumpon;

III. Simpulan

Pengelolaan, pelestarian dan perlindungan hukum terhadap TNT di Kabupaten


Kepulauan Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan yang memiliki kekayaan hayati
laut tak ternilai harganya sangat penting untuk dipertahankan. Hal ini tidak saja
untuk mencegah dampak kerusakan yang timbul akibat berbagai faktor, namun
juga berkontribusi terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat disekitar TNT.
Keberadaan sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan di
bawahnya, yang menjadi payung hukum pengelolaan, pelestarian dan perlindungan
lingkungan hidup, khususnya lingkungan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil di TNT perlu dijaga dan diperkuat dengan kesadaran pemerintah daerah
serta peran serta masyarakat.

Khusus terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Nomor


10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, kedepan perlu dilakukan
perbaikan terhadap Perda ini yang disesuaikan dengan UU WP3K terbaru (UU No 1

45 Kabupaten Kepulauan Selayar, Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar tentang


Perizinan Usaha Perikanan yang sebagian besar mengadopsi UU No 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, Perda Nomor 6 Tahun 2009.
46 Telah diubah dengan UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

91
ZULKIFLI ASPAN

Tahun 2014), serta UU Pemda No 23 Tahun 2014, khusus menyangkut isu kelautan.
Hal ini penting agar ada harmonisasi dan keselarasan antara peraturan perundang-
undangan di tingkat pusat dan daerah.

92
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia (a). Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1990, LN Tahun 1990 No. 49.

_______ (b). Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention


on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai
Keanekaragaman Hayati), UU No. 5 Tahun 1994.

_______ (c). Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau


Kecil, UU No 27 Tahun 2007, LN No. 84 Tahun 2007, TLN No. 4793.

_______ (d). Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31


Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009,
TLN No. 5073.

_______ (e). Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059

_______ (f). Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27


Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU
No. 1 Tahun 2014, LN No. 2 Tahun 2014, TLN No. 5490.

_______ (g). Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014.


LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587.

Kabupaten Kepulauan Selayar (a). Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar


Tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Kepulauan
Selayar, Perda Nomor 7 Tahun 2011.

_______ (b). Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar tentang Rencana


Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar Tahun 2012 – 2032, Perda
Nomor 5 Tahun 2012.

_______ (c). Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir, Perda Nomor 10 Tahun 2011.

_______ (d). Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Tentang Pengelolaan


Terumbu Karang, Perda Nomor 8 Tahun 2010.

93
ZULKIFLI ASPAN

_______ (e). Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar tentang Perizinan


Usaha Perikanan yang sebagian besar mengadopsi UU No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan, Perda Nomor 6 Tahun 2009.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.

United Nations, Convention on Biological Diversity, Rio de Jeneiro, 5 June


1992. Dapat dibuka di: https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.
aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XXVII-8&chapter=27&lang=en

Buku

Asshidiqie, Jimly, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar, Jakarta:


Rajawali Pers, 2009.

Asep Sugiharta (Kepala Unit Pengelolaan Taman Nasional Taka Bonerate). “Prospek
dan Kontribusi Taman Nasional Taka Bonrate Terhadap pembangunan Daerah”,
Disampaikan dalam Pertemuan Regional Pengelolaan Taman Nasional
Kawasan Timur Indonesia, Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional,
Manado, 24-27 Agustus 1999.

Sudirman, Warning Atas Kerusakan Hutan Bawah Laut, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Unhas (tanpa tahun).

“Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan,” Diterbitkan


oleh P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, Jakarta: 2013.

Menggugat Negara: Rasionalitas Demokrasi, HAM dan Kebebasan. Jakarta: PBHI dan
European Union (UE), 2005.

Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,


Edisi Ketiga, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm 353.

Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut; Program Rehabilitasi dan Pengelolaan
Terumbu Karang Tahap II (COREMAP II), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2006.

94
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

H Hak
ak B Biokultural M asyarakat
iokultural Masyarakat

DDalam
alam KKebijakan
ebijakan KKonservasi S umber Daya
onservasi Sumber D ayaHayati
H ayati

Rika Fajrini1

Abstrak

Tulisan ini akan membahas mengenai perkembangan hak biokultural dalam


hukum internasional dan bagaimana kebijakan dan hukum konservasi Indonesia
mengakomodasi hak biokultural masyarakat. Dari penelitian ini ditemukan bahwa
hak biokultural masyarakat adat dan masyarakat lokal sudah mendapatkan
pengakuan di beberapa instrumen hukum lingkungan internasional. Peraturan
konservasi Indonesia pun telah mengakui hak biokultural masyarakat yang biasa
diasosiasikan dengan kearifan lokal dan hak ulayat. Namun sejauh mana pengakuan
ini diwujudkan dalam tindakan dan mekanisme konkrit di lapangan masih
memerlukan perbaikan. Kebijakan konservasi saat ini pun lebih menempatkan
negara sebagai aktor utama konservasi, hal ini membuat konservasi yang berbasis
pengampuan masyarakat menjadi terabaikan.

Kata Kunci: hak biokultural, konservasi, masyarakat lokal

Abstract

This paper will discuss about the development of biocultural right in international
environmental law and how Indonesia policy and law on conservation accomodates
communities biocultural right. This research found that biocultural right have been
recognized in several international law instrument and jurisprudence. Meanwhile, Indonesia
law and policy on conservation also have acknowledge biocultural right which is usually
associated with the term of local wisdom and customary right, However, improvement is still
needed in term of translating this regulation into concrete action and system of conservation
management. The current policy conservation centered around state as the main actor, this
situation make the conservation based on community’s stewardship is neglected.

Keywords: biocultural rights, conservation, local community

1 Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan di Universitas Kyoto, Jepang. Mendapatkan gelar
Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia.

95
RIKA FAJRINI

I. Pendahuluan

Keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hayati sekilas seperti dua


hal penting yang sama-sama harus dilestarikan namun tidak begitu berkaitan.
Sehingga, pembahasan mengenai konservasi keanekaragaman hayati terkadang
terjebak dalam diskursus yang sangat teknokrat dan ilmiah, luput membahas
mengenai unsur kebudayaan yang terkait dengannya. Padahal, pada prakteknya,
dua hal ini memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi.2 Budaya di suatu
wilayah lahir dari interaksi panjang antara masyarakat lokal dengan lingkungan
sekitarnya. Budaya tersebut merupakan bentuk adaptasi dan respon masyarakat
lokal terhadap kondisi alam, seperti teknik pembuatan rumah Suku Bajau yang
hidup di perairan. Budaya juga dapat mempengaruhi alam sekitar, seperti budaya
makan nasi mempengaruhi budidaya beragam varietas padi di Asia, sementara di
kawasan timur Indonesia, makanan pokok lebih pada umbi-umbian dan kacang-
kacangan, hal ini juga mempengaruhi keanekaragaman varietas tanaman ini di
wilayah tersebut.3

Berbagai studi antropologi mengindikasikan daerah-daerah dengan tingkat


keanekaragaman hayati tinggi biasanya merupakan daerah yang didiami oleh
masyarakat adat tradisional terutama di wilayah Amerika Latin, Afrika dan Asia
Tenggara.4 Bahkan hutan Amazon – wilayah yang terkenal dengan kemurnian
alamnya – merupakan rumah bagi ratusan kelompok masyarakat adat. Mereka
telah menjadi pengampu bagi alam sekitarnya dari generasi ke generasi. Tugas
pengampuan ini memberikan hak dan kewajiban tersendiri bagi mereka terhadap

2 Gagasan mengenai hubungan tak terpisahkan antara keanekagaraman budaya dan


keanekaragaman hayati pertama kali dikemukakan dalam Deklarasi Belém oleh Komunitas
Internasional Etnobiologi pada tahun 1988 (http://ise.arts.ubc.ca/declareBelem.html).
Penelitian etnobiologi dan etnoekologi selama bertahun-tahun telah mengumpulkan bukti-
bukti ilmiah mengenai pengetahuan masyarakat adat dan masyarakat lokal mengenai
tumbuhan, hewan, habitat serta fungsi ekologis dan relasinya, juga penggunaan sumber
daya alam secara berkelanjutan. Hal ini menyanggah pandangan mengenai perlindungan
terhadap alam yang murni dengan cara memagarinya dari aktivitas manusia. Lihat Luisa
Maffi, Biocultural Diversity and Sustainability, The Sage Handbook of Environment and society,
(Sage Publication Ltd,2008), hlm. 268-269
3 Suku Dani di Palimo, Lembah Baliem mengembangkan 74 varietas ubi, sementara komunitas
masyarakat adat yang hidup di ekosistem rawa bagian selatan Pulau Kimaam Kabupaten
Merauke mengembangkan 144 varietas ubi. Lihat Abdon Nababan, Pengelolaan Sumber
daya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan Dan Peluang Kearifan Tradisional : Awal bagi
Pengabdian Pada Keberlajutan Kehidupan, makalah disajikan dalam “Pelatihan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah” Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, IPB, 5 Juli 2002,
4 Jules Pretty dkk, The Intersections of Biological Diversity and Cultural Diversity : Towards
Integration Jules dalam Conservation and Society Journal, diunduh dari http://www.
conservationandsciety.org pada tanggal 29 Oktober 2015.

96
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

alam sekitar. Komunitas yang secara historis telah berinteraksi dengan lingkungan
dan merupakan pihak yang paling terdampak langsung ini merupakan stakeholder
penting dalam pembuatan keputusan terkait konservasi. Sudah seharusnya
konservasi keanekaragaman hayati juga mempertimbangan keanekaragaman
budaya sekitar. Kebijakan konservasi yang justru memutus hubungan kultural
masyarakat dengan alamnya akan menerima resistensi tinggi dan berdampak pada
pencapaian tujuan konservasi itu sendiri. Penghargaan terhadap hubungan kultural
ini melahirkan hak biokultural masyarakat sebagai pengampu lingkungannya.
Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai perkembangan konsep hak
biokultural serta sejauh mana hak biokultural ini diakomodasi dalam hukum dan
kebijakan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.

II. Hak Biokultural Masyarakat Lokal Sebagai Pengampu Ekosistem

2.1. Apa itu Hak Biokultural?

Secara singkat hak biokultural dapat diartikan sebagai hak yang berasal dari
hubungan antara komunitas dengan lingkungannya. Hak biokultural ini diperlukan
agar komunitas dapat menjalankan perannya sebagai pengampu ekosistem dan
sumber daya alam. Peran pengampuan terintegrasi dalam cara hidup komunitas
dimana identitas, budaya, spiritualitas, sistem pengelolaan dan penghidupan
tradisional tidak lepas dari lingkungan ekosistem mereka. Hubungan komunitas
dengan alamnya ini lebih pada tugas pengampuan (custodian/stewardship) dibanding
wujud kepemilikan atas objek. Hak biokultural berbeda dengan hak properti lain
yang memandang alam sebagai objek ekonomi yang dapat dijadikan komoditas,
dipindahtangankan dan divaluasi dengan uang.5

Lingkungan yang mereka konservasi bukan lingkungan dalam makna


akademis dan teknokratis, tapi lingkungan yang secara integral adalah bagian dari
kehidupan mereka, alam bukanlah sesuatu ‘diluar sana’ yang harus dilindungi
dengan berbagai aturan dan larangan, tapi merupakan identitas dan eksistensi dari
masyarakat itu sendiri.

Beberapa penulis seperti Chen dan Gillmore mengasosiasikan hak biokultural


selalu dengan hak masyarakat adat. Mereka mendefinisikan hak biokultural

5 Kabir Sanjay Bavikatte, Environmental Law as Political Ecology : The Roots of Biocultural Rights,
diunduh dari http://dlc.dlib.indiana.edu/dlc/bitstream/handle/10535/7275/1220.
pdf?sequence=1 pada tanggal 29 Oktober 2015.

97
RIKA FAJRINI

sebagai seperangkat hak adat yang mencakup baik hak atas wilayah ekosistem
beserta sumber daya alam dan sumber daya budaya mereka (budaya, spiritualitas,
manifestasi agama, pengetahuan dan teknologi tradisional) dengan kesadaran penuh
bahwa kedua hal ini sangat terkait dan tidak terpisahkan.6 Namun Penulis sepakat
dengan pendapat Bavikatte (2015) bahwa meskipun hak biokultural berkembang
dalam gerakan hak masyarakat adat, tetapi klaim atas hak biokultural hendaklah
tidak dibatasi bagi masyarakat adat saja. Masyarakat setempat dan komunitas lokal
yang memiliki keterikatan dengan alam dan sumber daya hayatinya juga dapat
dikatakan memiliki hak ini. Membatasi hak biokultural sebagai hak kolektif dari
masyarakat adat saja akan menegasikan keberadaan kearifan lokal dalam komunitas
yang belum tentu memenuhi kriteria masyarakat adat, ditambah lagi belum ada
kesepakatan umum mengenai apa saja kriteria masyarakat adat tersebut. Seperti
contoh masyarakat pendatang Bugis dan Makassar di sekitar Taman Nasional
Kutai akan kesulitan mengklaim hak biokulturalnya jika harus membuktikan
bahwa mereka adalah masyarakat adat asli di daerah tersebut.7 Hak petani (farmer
rights)8 dan hak penggembala (pastoralist rights)9 juga bisa dikategorikan sebagai hak
biokultural. Di Jepang, hak biokultural ini dikembangkan dalam bentuk manajemen
satoyama dan satoumi yang mengedepankan simbiosis mutualisme antara manusia
dengan alam sekitarnya.10

6 Chen, C. , Gilmore, M, Biocultural Rights: A New Paradigm for Protecting Natural and Cultural
Resources of Indigenous Communities dalam The International Indigenous Policy Journal Vol 6
Issue 3, (Scholarship Western:2015), hlm. 8-10. Artikel dapat diunduh di http://ir.lib.uwo.ca/
cgi/viewcontent.cgi?article=1205&context=iipj
7 Gelombang kedatangan orang Bugis ke Sangkima (wilayah yang masuk dalam kawasan Taman
Nasional Kutai) bermula dari hadirnya Datuk Solong bersama dua anaknya Dato La Talana
dan Dato La Dolomong pada tahun 1922. Lihat Semiarto Aji Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak
Masyarakat Setempat dan Pembangunan Regional dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 29, No.3,
2005, hlm. 281-283
8 Hak petani (farmer rights) disini adalah hak yang diakui dalam International Treaty of Plant
Genetic Resource for Food and Agriculture (ITPGRFA) dimana hak ini lahir dari rekognisi
kontribusi mereka terhadap konservasi sumber daya genetik tanaman pangan. Hak petani ini
dapat mencakup hak untuk menyimpan, menggunakan, saling menukar dan menjual bibit
yang dikembangkannya, perlindungan atas pengetahuan tradisionalnya, partisipasi dalam
pembuatan keputusan serta mendapat pembagian keuntungan yang adil atas pemanfaatan
bibit yang dikembangkannya. Lihat Farmers’ Rights in the International Treaty on Plant Genetic
Resources for Food and Agriculture artikel dapat diunduh di http://www.farmersrights.org/
about/fr_in_itpgrfa.html
9 Hak Pastoralist mungkin tidak begitu terkenal di Indonesia sebagai daerah hutan hujan
tropis. Pastoralist adalah komunitas yang hidup dengan menggembalakan ternak-ternak,
biasanya komunitas ini terdapat di daerah-daerah kering yang sulit ditumbuhi tanaman
seperti Afrika. Pastoralist sebagian besar hidup nomaden, mereka memiliki pemahaman
unik tentang ekosistem sekelilingnya yang digunakan dalam managemen ternak dan lahan
merumput bagi ternak-ternaknya.
10 Satoyama adalah lanskap socio-ekologis dari sebuah ekosistem darat, sato secara harfiah berarti
“manusia” dan yama secara harfiah berarti hutan. Sementara Satoumi adalah lanskap socio-

98
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Di Indonesia sendiri, hak biokultural memiliki kesamaan dengan hak ulayat,


terutama dalam hal keterikatan masyarakat pada alam sekitarnya, tidak hanya
sebagai sumber daya ekonomi tapi juga media pengaplikasian budaya dan
spiritualitas. Perbedaan antara hak biokultural dengan hak ulayat dapat kita lihat
dari klaim atas hak ulayat, yang tidak hanya berdasarkan hubungan dengan alam
(teritorial) tapi juga dapat berdasarkan hubungan darah (genealogis), selain itu hak
ulayat hanya dimiliki oleh masyarakat adat yang biasanya memiliki hukum adat
terkait pengelolaan wilayah adat serta sumber daya alamnya. Perundang-undangan
terkait lingkungan biasanya telah menyebutkan penghormatan terhadap kearifan
lokal sebagai salah satu asasnya. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa hak
biokultural telah diakui secara normatif, meskipun masih tidak jelas bagaimana asas
ini diejawantahkan dalam praktek sehari-hari serta sejauh mana hak biokultural ini
diakomodasi. Pengakuan ini lebih banyak diarahkan pada pengakuan hak ulayat
masyarakat adat, advokasi hak-hak biokultural komunitas atau masyarakat lokal
setempat belum banyak terdengar di Indonesia, hal ini juga disebabkan karena
masyarakat lokal yang memiliki keterikatan kuat dengan alamnya biasanya
diidentifikasi sebagai masyarakat adat.

Hak biokultural merupakan kontra argumen dari “tragedy of the common”


Hardin yang menyatakan bahwa kepemilikan komunal sumber daya alam bersama
akan membawa sumber daya alam tersebut pada kehancuran dan cara terbaik
untuk melindungi alam adalah dengan privatisasi atau kontrol negara sehingga
akses terhadap sumber daya dapat dibatasi.11 Argumen ini telah dibantah oleh
ekonomis seperti Elinor Ostrom yang menjelaskan bagaimana sekumpulan orang
yang saling bergantung satu sama lain dapat mengatur diri mereka sendiri guna
mendapat keuntungan bersama yang berkelanjutan ditengah ancaman free-rider
atau anggota kelompok yang oportunistik.12 Ostrom menyatakan teori tragedy of the
common terlalu megeneralisasikan semua kelompok, seolah dalam kelompok tidak

ecologis dari sebuah ekosistem laut, sato secara harfiah berarti “manusia” dan umi secara harfiah
berarti manusia.
11 Tragedy of The Common menjelaskan bahwa ketiadaan hak milik yang jelas atas sumber
daya milik bersama akan memicu eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya tersebut,
karena pengguna tidak dibebani biaya apapun untuk memanfaatkannya. Garret Hardin
mengilustrasikan teori tragedy of the common ini dengan kisah padang rumput yang rusak
karena eksploitasi berlebihan karena tidak ada biaya apapun yang harus dikeluarkan
penggembala untuk merumput di padang tersebut, alhasil setiap penggembala secara
rasional akan menambah jumlah ternaknya untuk merumput disana guna memaksimalkan
keuntungan. Lihat Garret Hardin, The Tragedy of The Commons, dalam jurnal Science New
Series Vol 162, (American Association for the Advancement of Science, 1968) hlm. 1243-1248
12 Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action,
(Cambridge University Press: New York 1990)

99
RIKA FAJRINI

ada aturan penggunaan sumber daya sama sekali yang dapat diterapkan dan tidak
ada kepercayaan antar sesama anggota kelompok.

2.1. Hak Biokultural Dalam Jurisprudensi dan Rezim Hukum Lingkungan


Internasional

Konvensi Keanekaragaman Hayati (UN Convention on Biodiversity/UNCBD)


merupakan instrumen hukum internasional pertama yang secara eksplisit
mengakui keterkaitan antara kearifan lokal masyarakat adat dan masyarakat lokal
dengan konservasi keanekaragaman hayati. Pasal 8(j) dan 10(c) dari konvensi ini
mewajibkan 193 negara anggotanya untuk melindungi kearifan lokal masyarakat
dengan menjamin integritas budaya, mendorong penggunaan sumber daya hayati
tradisional yang berkelanjutan dan menghargai struktur pembuatan kebijakan
dalam masyarakat adat dan masyarakat lokal tersebut.

Protokol Nagoya mengenai Akses Terhadap Sumber Daya Genetik dan


Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang Atas Pemanfaatannya merupakan
peraturan pelaksana UNCBD yang memperkuat pengakuan terhadap hak
biokultural masyarakat sebagai pengampu sumber daya genetik dan pengetahuan
tradisional terkait. Protokol ini tidak hanya mengakui masyarakat adat/lokal sebagai
pihak pelestari yang harus dimintai persetujuan di awal ketika hendak mengakses
sumber daya genetik, tetapi mereka juga diakui sebagai pengampu yang berhak
mendapatkan pembagian keuntungan dari penggunaan sumber daya tersebut.

Spesifik dalam hal konservasi, Durban Accord dan Durban Action Plan yang
disepakati pada tahun 2003 dalam IUCN Vth World Congress on Protected Area menjadi
panduan bagi konservasi dunia untuk mempertimbangkan nilai budaya dan spritual
dalam konservasi, pengakuan terhadap konservasi yang dilakukan masyarakat lokal
dan masyarakat adat serta partisipasi mereka dalam pengelolaan kawasan konservasi
dilindungi. Durban Accord juga menekankan pada peran kawasan konservasi dalam
pembangunan berkelanjutan, jasa ekologis serta peningkatan penghidupan
masyarakat sekitar.

Sementara itu, dalam hal jurisprudensi putusan peradilan, The Inter-American


Court on Human Rights telah menghasilkan beberapa putusan yang menggunakan
dalil hak biokultural dalam pertimbangannya. Pada kasus Community Mayagna
(Sumo) Awas Tingni v Nicaragua (2001), pengadilan ini menyatakan kegiatan logging
yang disetujui pemerintah telah merusak lingkungan dan mengganggu hak suku
Mayagna untuk menjalankan kebudayaan dan kearifan lokalnya. Dalam kasus Yakye

100
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Axa v Paraguay (2005), pengadilan ini menekankan bahwa sangat penting untuk
diperhatikan bahwa tanah sangat berkaitan dengan ekspresi oral dan tradisi, budaya
dan bahasa, kesenian dan ritual, pengetahuan traditional dan praktek budaya yang
terkait dengan alam, kuliner, hukum adat, pakaian, filosofi dan nilai-nilai sosial.
Dalam kasus Comunidad Yanomami (1985), Inter-American Commission on Human
Rights menyatakan bahwa pembangunan jalan tol oleh pemerintah Brazil telah
melanggar hak masyarakat adat dan mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Komisi ini menegaskan bahwa efek penggusuran masyarakat suku Yanomami
dari tanah leluhurnya tidak hanya tentang kehilangan tanah tapi juga berdampak
nagatif bagi kebudayaan dan tradisi mereka. Dalam kasus Lubicon Lake Band v
Canada (1990), The Human Rights Committee juga mengakui pentingnya tanah bagi
kebudayaan masyarakat adat. Komite ini menegaskan bahwa dampak lingkungan
dari ekstraksi minyak dan gas di tanah adat telah menyebabkan pelanggaran hak
masyarakat adat atas kebudayaannya sebagaimana dijamin oleh pasal 27 ICCPR.13
Di Indonesia sendiri Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 35/PUU-X/2012
yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi termasuk dalam hutan negara juga
menggarisbawahi ikatan sosial budaya masyarakat adat dengan hutan adatnya.

III. Hak Biokultural Dalam Kebijakan Konservasi


Keanekaragaman Hayati di Indonesia

Kebijakan konservasi di Indonesia mulai mengalami pergeseran paradigma, dari


yang awalnya berprinsip konservasi untuk konservasi itu sendiri menjadi konservasi
yang memiliki fungsi sosial-ekonomi bermanfaat bagi masyarakat lokal. Konservasi
tidak memisahkan manusia dengan alam sekitarnya.14 UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya memang sangat sedikit
mengatur mengenai pengakuan hak biokultural masyarakat dalam upaya konservasi.
Pasal 37 UU No. 5 Tahun 1990 mengatur mengenai peran serta masyarakat namun
pasal ini membatasi peran serta masyarakat diarahkan dan digerakan oleh
pemerintah, serta tidak jelas pula bagaimana peran serta ini akan dijalankan. Belasan
tahun kemudian barulah peraturan pelaksana UU No. 5 Tahun 1990 mulai dengan

13 Chen,C.,Gilmore,M.Biocultural Rights: A New Paradigm for Protecting Natural and Cultural


Resources of Indigenous Communities, dalam The International Indigenous Policy Journal, 6(3),
hlm. 7-8
14 Santosa A dkk, Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, (Bogor: Pokja
Kebijakan Konservasi,2008), hlm. 45-56

101
RIKA FAJRINI

tegas mengakomodasi partisipasi masyarakat seperti Peraturan Menteri Kehutanan


No. P.19 Tahun 2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, disusul dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56
Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang memberikan ruang
bagi peran masyarakat dalam penetapan zona kawasan Taman Nasional. Berbagai
program kolaborasi (co-management) pengelolaan taman nasional mulai dilakukan,15
bentuk kemitraan lain seperti Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) juga
diharapkan menjadi mekanisme partisipasi masyarakat dalam konservasi dengan
tetap memperhatikan hak biokulturalnya.16

Undang-undang lain terkait konservasi sumber daya hayati seperti UU No 32


Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,17 UU No 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan,18 UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan19 dan
UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil20
secara normatif semuanya telah menyinggung peran masyarakat dan kearifan
lokal dalam kegiatan konservasi, meskipun belum konkrit mengatur bagaimana
pengejawantahan kearifan lokal ini dalam praktek konservasi.

15 Sebagai contoh pengelolaan kolaboratif di Taman Nasional Kayan Mentarang


16 Seperti Kesepakatan Pemburu Lebah Madu di Taman Nasional Lore Lindu, Kesepakatan
Bersama pemanfaatan hasil hutan non-kayu di kawasan Hutan Lindung Kemukiman
Manggamat di Kawasan Ekosistem Leuser.. Lihat Sastrawan Manullang, Kesepakatan Konservasi
Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi, (Jakarta: The Natural Resource Management/
EPIQ Programs bekerjasama dengan Bappenas dan PKA Kemenhut, 1999), hlm. 5-11
17 UU No. 32 Tahun 2009 memasukan asas kearifan lokal sebagai salah satu asas perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup (pasal 2). Undang-undang ini juga mengamanatkan
pemerintah untuk membuat dan mengimplementasikan kebijakan mengenai pengakuan
masyarakat adat, hak masyarakat adat serta kearifan lokalnya terkait perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup (pasal 63 ayat (1), (2) dan (3)). Informasi mengenai Kearifan
lokal ini pun harus tercantum dalam Sistem Informasi Lingkungan Hidupa (pasal 62).
18 UU No. 41 tahun mengakui adanya hutan adat (pasal 5 ayat (1) dan (2)) dan hak-hak
masyarakat adat untuk memungut hasil hutan dan melakukan pengelolaan hutan
berdasarkan kearifan lokal mereka (pasal 67 ayat (1)). Pada awalnya undang-undang ini
menempatkan hutan adat sebagai hutan negara, namun setelah adanya putusan Mahkamah
Konstitusi No 35/PUU-X/2012 hutan adat dinyatakan terpisah dari hutan negara dan berada
dalam penguasaan penuh masyarakat adat. Meskipun telah mengakui hak-hak masyarakat
adat, undang-undang ini masih dikritis karena syarat pengakuan masyarakat adat yang
dianggap memberatkan dan tidak sesuai dengan kondisi beberapa kelompok masyarakat
adat di Indonesia.
19 Pasal 6 ayat (2) UU No. 31 tahun 2004 menyatakan bahwa Pengelolaan perikanan untuk
kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum
adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.
20 UU No. 27 Tahun 2007 menempatkan kearifan lokal sebagai asas (pasal 3) serta lebih lanjut
mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional,
dan Kearian Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara
turun temurun (pasal 61 ayat (1)). Pengakuan ini dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan (pasal 61 ayat (2)).

102
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Kolaborasi dan kemitraan yang sesungguhnya dimana para pihak dianggap


setara dan mempunyai hak serta kewajiban masing-masing merupakan salah
satu kunci sukses konservasi dengan pendekatan biokultural.21 Meskipun sudah
banyak digalangkan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam konservasi,
praktek kebijakan konservasi Indonesia masih memandang negara sebagai aktor
utama konservasi. Praktek kebijakan konservasi keanekaragaman hayati seolah
memandang hanya di tanah milik negaralah konservasi dapat dijalankan. Hal ini
tidak jarang menimbulkan konflik tenurial di wilayah konservasi. Sebagai contoh
penetapan kawasan hutan, beberapa pihak memiliki kekhawatiran bahwa putusan
MK 35 akan mengancam konservasi karena hutan adat tidak lagi termasuk hutan
negara sehingga harus dikeluarkan dari penetapan kawasan hutan. Jika dikeluarkan
dari kawasan hutan, maka alih fungsi lahan akan menjadi lebih mudah.

Padahal, tidak satupun pasal di UU No 41 Tahun 1999 mengkorelasikan secara


tegas fungsi hutan dengan status penguasaan hutan. Harusnya dimungkinkan
meskipun status hutan adalah hutan adat namun tetap berfungsi sebagai kawasan
konservasi. Penetapan hutan adat sebagai kawasan hutan atau kawasan konservasi
dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat adat akan memberikan perlindungan
ganda bagi wilayah tersebut dari pihak-pihak tidak bertanggungjawab yang
ingin menjual tanah adat, toh dalam hukum adat pun hutan adat ini adalah milik
bersama yang tidak boleh dipindahtangankan kepemilikannya pada pihak lain
dan mempertahankan hutan adat sebagai hutan juga sejalan dengan kearifan lokal
mereka. Dengan cara ini, konservasi dapat dilakukan dengan tetap menghormati
hak-hak biokultural masyarakat.

Melekatkan fungsi konservasi dalam hutan adat bukan merupakan praktek


baru. Sebagai contoh di Filipina, sebagian kawasan taman nasional Gunung Kitanglad
memiliki status sebagai hutan adat (ancestoral domain) yang diakui oleh negara.
Pengakuan hutan adat suku ini disertai dengan pengakuan hak biokultural mereka
serta kesepakatan untuk mempertahankan hutan sebagai wilayah konservasi.22 Hal
ini mungkin dapat dicontoh oleh Indonesia sebagai praktek kolaborasi konservasi
dengan masyarakat setempat.

21 Lihat Michael C. Gavin et al. Defining Biocultural Approaches to Conservation, dalam Trends in
Ecology & Evolution Journal. March 2015, vol. 30, no.3
22 Taman Nasional Gunung Kitanglad adalah salah satu ASEAN Heritage Park yang terkenal
dengan kesuksesan kolaborasi masyarakat adat dengan pemerintah dalam manajemennya.
Hasil wawancara Penulis dengan Manajemen Taman Nasional Gunung Kitanglad dan
perwakilan masyarakat adat yang tinggal di sekitar taman nasional yaitu Dato Makapukaw
Adolino L. Saway, Bae Inatlawan Adelino Docenos, Dato Manlalarawan Edi Rautraut. 5-6
November 2015

103
RIKA FAJRINI

UU No 5 Tahun 1990 juga belum mengakui secara formal konservasi yang


dilakukan masyarakat di luar wilayah konservasi yang ditetapkan undang-undang.
Konservasi menurut undang-undang ini hanya terbatas di wilayah Kawasan
Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam yang berada dibawah kewenangan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara konservasi yang
dilakukan secara mandiri oleh masyarakat belum begitu dibahas dalam peraturan
ini. Konservasi mandiri masyarakat dapat dilihat dari praktek masyarakat adat
Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan yang mempertahankan 374 hektar hutan
mereka tetap alami. Hutan masyarakat adat Ammatoa Kajang ini termasuk dalam
kawasan Indigenous Peoples’ and Communities Conserved Territories and Areas (ICCAs),
23
sebuah initiatif internasional yang mendorong konservasi oleh masyarakat adat
dan masyarakat lokal yang mempunyai hak biokultural terhadap teritorinya.24
Selain itu, berbagai studi juga menemukan praktek komunitas lokal dalam
konservasi ekosistem yang luput dari perhatian, seperti Petani campuran (Melayu,
Bali, Jawa, Cina) di sekitar Taman Nasional Gunung Palung dengan kebun durian
campurannya, Petani di Sungai Telang dan Batu Kerbau Jambi dengan sistem tata
guna lahan desanya serta Masyarakat Dayak di Apo Kayan Kalimantan Timur
dengan sistem perladangan daur ulangnya.25 Sekali lagi, praktek ini menunjukan
bahwa peran konservasi tidak harus terpusat pada negara sebagai aktor utama,
wilayah yang dikuasai masyarakat pun bisa mempunyai fungsi konservasi.

Selain pengakuan terhadap tenurial tanah, penghargaan terhadap sistem


pengetahuan tradisional juga berperan penting dalam menjamin hak biokultural
dalam konservasi keanekaragaman hayati.26 Pengetahuan tradisional dan kearifan
lokal hendaklah diintegrasikan ke dalam rencana dan kegiatan konservasi.
Pengetahuan tradisional yang dikembangkan dan disempurnakan dari generasi
ke generasi ini hendaklah dipandang sebagai petunjuk atau temuan awal bagi
para ilmuwan untuk dikembangkan secara lebih sistematis dan akademis. Selain
menjadi komplementer dari ilmu pengetahuan dan teknologi ilmiah, pengetahuan
tradisional dan kearifan lokal ini dapat pula mempengaruhi penerimaan sosial
masyarakat terhadap program konservasi. Sebagai contoh, praktek manajemen

23 Wahyu Chandra, Belajar Konservasi Dari Masyarakat Adat Se-Asia. Seperti Apa Itu? Artikel
diunduh dari http://www.mongabay.co.id/2015/08/25/belajar-konservasi-dari-
masyarakat-adat-se-asia-seperti-apa-itu/ pada 1 November 2015
24 http://www.iccaconsortium.org/
25 Santosa A dkk, Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, (Bogor: Pokja
Kebijakan Konservasi,2008), hlm. 49-50
26 Lihat Michael C. Gavin et al. Defining Biocultural Approaches to Conservation, dalam Trends in
Ecology & Evolution Journal. March 2015, vol. 30, no.3

104
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

dari taman nasional Gunung Kitanglad di Filipina memadukan pengetahuan dan


kearifan lokal dari tiga masyarakat adat yang tinggal di daerah tersebut. Zona inti
dari taman nasional ini juga merupakan tempat sakral bagi kelompok masyarakat
adat, sehingga masyarakat setempat pun tidak berani mengusik zona inti dan
memang menginginkan zona inti untuk tidak diganggu keberadaannya. Ketika
ada kegiatan atau pihak yang hendak memasuki zona inti, proses ritual adat harus
dijalankan. Ritual ini pun dihormati oleh petugas taman nasional.27

Di Indonesia sendiri sebenarnya banyak kearifan lokal yang dapat dipadukan


ke dalam rencana konservasi. Pembatasan akses terhadap wilayah tertentu untuk
kepentingan konservasi sudah lama dikenal masyarakat. Seperti praktek lubuak
larangan dan hutan larangan di Sumatera, atau praktek sasi di papua dan daerah
Indonesia bagian timur lainnya.28 Jikalau praktek ini dapat sejalan dengan program
konservasi, niscaya dukungan masyarakat akan menjadi kuat. Pun ketika ditemukan
bahwa praktek tradisional yang dilakukan masyarakat tidak ramah lingkungan,29
solusi yang tepat adalah peningkatan kapasitas mereka untuk beralih pada praktek
yang lebih ramah lingkungan, bukan malah menghilangkan hak-hak mereka karena
dianggap tidak mampu menjaga lingkungan. Perlu diingat bahwa budaya itu tidak
statis, sebagaimana pepatah minang alam takambang jadi guru (alam terbentang
jadi guru). Alam itu dinamis, beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Begitu
pula budaya, mengingat ia sebenarnya adalah hasil interaksi manusia dengan
lingkungannya.

27 Hasil wawancara Penulis dengan Manajemen Taman Nasional Gunung Kitanglad dan
perwakilan masyarakat adat yang tinggal di sekitar taman nasional yaitu Dato Makapukaw
Adolino L. Saway, Bae Inatlawan Adelino Docenos, Dato Manlalarawan Edi Rautraut. 5-6
November 2015
28 Lubuak larangan adalah praktek zonasi di wilayah sumatera dimana bagian tertentu dari
sungai tidak boleh diganggu oleh masyarakat, biasanya bagian sungai ini adalah tempat
bertelur bagi ikan-ikan. Sementara sasi adalah praktek larangan mengambil sesuatu dari alam
dalam jangka waktu tertentu, larangan ini memberikan waktu bagi alam untuk beregenerasi.
29 Contoh praktek tradisional yang tidak sustainable adalah penggunaan bubu warin oleh
masyarakat sekitar Taman Nasional Danau Sentarum. Bubu Warin merupakan alat tangkap
yang destruktif karena akan menangkap seluruh jenis-jenis ikan kecil. Desa sekitar danau
ada yang mulai menetapkan larangan menggunakan bubu warin ini. Lihat Gusti Z. Anshari,
Dapatkah Pengelolaan Kolaboratif Menyelamatkan Taman Nasional Danau Sentarum, (Bogor :
CIFOR,2006), hlm 11-12

105
RIKA FAJRINI

IV. Simpulan

Pemisahan antara keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hayati


membuat kita melupakan realitas bahwa keduanya saling mempengaruhi dan
memperkuat satu sama lain. Kita tidak dapat memahami dan melestarikan
alam tanpa memahami budaya manusia yang membentuknya. Konservasi
keanekaragaman hayati hendaklah tidak memutus hubungan biokultural manusia
dengan alamnya. Secara normatif, peraturan konservasi di Indonesia telah memuat
pengakuan terhadap kearifan lokal dan hak biokultural masyarakat. Namun pada
praktek di lapangan, pengejawantahan peraturan ini masih perlu perbaikan.
Keikutsertaan masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan
konservasi hendaklah menjadi default setting dari sistem manajemen, bukan hal
spesial yang baru dibentuk ketika masyarakat sudah menuntut. Masyarakat
hendaklah dipandang sebagai partner setara pemerintah yang mempunyai sumber
daya dan pengetahuan dalam melaksanakan konservasi.

106
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Daftar Pustaka

Peraturan Hukum

Indonesia. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hati dan
ekosistemnya.

Indonesia. Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi


Keanekaragaman Hayati.

Indonesia. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Indonesia. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Indonesia. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.

Indonesia. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup.

Indonesia. Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya.

Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012

Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 Tahun 2004 Tentang Kolaborasi
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi
Taman Nasional.

Buku dan Jurnal

Anonim. Farmers’ Rights in the International Treaty on Plant Genetic Resources for
Food and Agriculture artikel dapat diunduh di http://www.farmersrights.org/
about/fr_in_itpgrfa.html

Anshari, Gusti Z. 2006. Dapatkah Pengelolaan Kolaboratif Menyelamatkan Taman


Nasional Danau Sentarum.Bogor : CIFOR

107
RIKA FAJRINI

Arobaya, Augustina dan Freddy pattiselanno. 2013. Indigenous People and Nature
Conservation. Jakarta: Jakarta Post.

Bavikatte, Kabair Sanjay dan Tom Bennet. 2015. “Community Stewardship :


The Foundation of Biocultural Rights dalam Journal of Human rights and the
Environment (JHRE) Vol 6, issue 1.

Bavikatte, Kabir Sanjay.2014. Stewarding the Earth: Rethinking Property and the
Emergence of Biocultural Rights. Delhi: Oxford University Press.

Bavikatte, Sanjay Kabir. 2011. “Environmental Law as Political Ecology : The Roots
of Biocultural Rights” . Makalah dipresentasikan dalam Sustaining Commons:
Sustaining Our Future, the Thirteenth Biennial Conference of the International
Association for the Study of the Commons.

Chandra, Wahyu. 2015. Belajar Konservasi Dari Masyarakat Adat Se-Asia. Seperti Apa
Itu?. Artikel diunduh dari http://www.mongabay.co.id/2015/08/25/belajar-
konservasi-dari-masyarakat-adat-se-asia-seperti-apa-itu/

Chen,C. Gilmore, M. 2015. “Biocultural rights: A New Paradigm for Protecting


Natural and Cultural Resources of Indigenous Communities” dalam The
International Indigenous Policy Journal, Vol 6 Issue 3. Artikel dapat diunduh di
http://ir.lib.uwo.ca/cgi/viewcontent.cgi?article=1205&context=iipj

Gavin, Micheal C. Dkk.2015. “Defining Biocultural Approaches to Conservation


dalam Trends in Ecology & Evolution Journal Vol 30 No.3

Hardin, Garret Hardin.1968. “The Tragedy of The Commons” dalam jurnal Science
New Series Vol 162. American Association for the Advancement of Science.

Jaszi, Peter. 2010 “Traditional Culture: A Step Forward for Protection in Indonesia”,
Washington College of Law Research Paper No. 2010-16, American University
Washington College of Law.

Maffi, Luisa. 2008. “Biocultural Diversity and Sustainability”. Dalam The Sage
Handbook of Environment and Society. Sage Publication Ltd.

Maiero, Marina dan Xiomeng Shen. 2004. “Commonalities Between Cultural and
Biodiversity.

108
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Manullang, Sastrawa. 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat Dalam pengelolaan


Kawasan Konservasi. Jakarta: EPIQ Program’s Protected Area Management
Office.

Nababan,Abdon. 2002. Pengelolaan Sumber daya Alam Berbasis Masyarakat Adat,


Tantangan Dan Peluang Kearifan Tradisional : Awal bagi Pengabdian Pada
Keberlajutan Kehidupan, makalah disajikan dalam “Pelatihan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah” Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, IPB.

Ostrom,Elinor. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective
Action. New York: Cambridge University Press

Pretty, Jules dkk. 2009. “the Intersections pf Biological Diversity and Cultural
Diversity : Toward Integration” dalam Conservation and Society Journal.

Pretty, Jules. 2009. “The Intersections of Biological Diversity and Cultural Diversity:
Towards Integration”. Dalam Conservation and Society. Diunduh dari

Purwanto, Semiarto Aji. 2005. ”Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat dan
pembangunan regional” dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol 29, No.3

Santosa, Andri dkk. 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan.
Bogor : Pokja Kebijakan Konservasi.

Supriatna, Jatna. Peran Kearifan Lokal dan Ilmu-Ilmu Kepribumian Dalam Pelestarian
alam. Depok: Research Center of Climate Change UI.

UNEP dan UNESCO. 2003. Cultural Diversity and Biodiversity for Sustainable
Development. Nairobi: UNEP &UNESCO.

UNESCO. 2008. Links Between Biological and Cultural Diversity. Paris: Impremerie
Watelet-Arbelot.

Utama, I Made S dan Nanniek Kohdrata. 2011. Modul Pembelajaran Konservasi Hayati
Dengan Kearifan Lokal. Denpasar : Universitas Udaya dan USAID-Texas A&M
University.

109
110
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

A spek
AspekH ukum
HukumD alam
DalamP elestarian S umber Daya
Pelestarian Sumber D ayaGenetik
G enetikLaut:
L aut :
KKebutuhan dan T
ebutuhan dan Tantangan
antangan

Isna Fatimah1

Abstrak

Pelestarian sumber daya genetik laut (SDG laut) merupakan kegiatan yang
meliputi upaya-upaya pemanfaatan dan pelindungan SDG laut sebagai investasi
potensial dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sebagai negara yang
dianugerahi kemewahan wilayah laut kepulauan, seharusnya perhatian terhadap
SDG laut sudah mengemuka. Sayangnya, Indonesia belum mempunyai kerangka
hukum yang komprehensif dalam mengatur pelestarian SDG laut. Tulisan ini
bermaksud memberikan gambaran tentang kebutuhan dan tantangan Indonesia
dalam mengatur pelestarian SDG laut. Fokus penulisan dibatasi pada aspek hukum
dalam manajemen pemanfaatan dan pelindungan SDG laut. Metode penelitian yang
digunakan adalah pendekatan normatif dengan menelaah perjanjian internasional
yang telah diratifikasi Indonesia, berkenaan dengan hukum laut dan keanekaragaman
hayati, serta beberapa peraturan nasional lain yang terkait. Adapun berbagai teori
dan informasi pendukung diperoleh melalui data dan bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan sekaligus menjadi tantangan
dalam membangun kerangka hukum pelestarian SDG laut meliputi: (1) pembuatan
kerangka kebijakan integratif tentang penguasaan negara dan hak masyarakat atas
pemanfaatan SDG laut; (2) penguatan koordinasi antar instansi yang mengemban
fungsi terkait pelestarian SDG laut; dan (3) penguatan dan harmonisasi berbagai
peraturan perundang-undangan terkait pelestarian SDG laut.

Kata Kunci: pelestarian, sumber daya genetik laut, keanekaragaman hayati, laut,
pembangunan berkelanjutan.

Abstract

The scope of preserving marine genetic resources (MGRs) shall involve the act of utilization

1 Isna Fatimah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2013, dan
sekarang merupakan Asisten Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law, terutama
dalam bidang konservasi, perlindungan dan tata kelola lingkungan hidup yang baik, serta
kelautan.

111
ISNA FATIMAH

and protection towards sowing potential benefits to reach sustainable development.


Privileged by its archipelagic form, Indonesia should have been in the forefront in valuing
the importance of MGRs. Unfortunately, comprehensive regulations on the preservation of
MGRs are not yet exist in Indonesia. This article aims to give description on the needs and
challenges to regulate preservation of MGRs in Indonesia. This article is focusing on legal
aspect in the management of utilization and protection of MGRs. Method conducted for this
research is normative approach by analyzing ratified international agreements regarding law
of the sea and biodiversity and other relevant national regulations. Meanwhile, supporting
theories and information are obtained through secondary data and literature of laws. The
research shows that needs as well as challenges in designing legal framework on MGRs
requires: (1) creating integrative policy on State’s sovereignty and people’s right over MGRs
utilization; (2) strengtening coordination among institutions; and (3) strengthening and
harmonizing regulations related to MGRs.

Keywords: preservation, marine genetic resources, biodiversity, law of the sea, sustainable
development.

I. Pendahuluan

Diskursus mengenai pelestarian sumber daya genetik (SDG) laut hingga saat
ini masih terus berkembang dalam konstelasi isu lingkungan hidup dan sumber
daya alam (SDA). Dalam perkembangannya, terdapat dua instrumen hukum
internasional utama yang menjadi landasan, yaitu: the United Nations Convention on
the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)2 dan the Convention on Biological Diversity 1992
(CBD).3 Adapun perkembangan ide pengaturan SDG laut dipengaruhi oleh cita-cita
pembangunan berkelanjutan (sustainable development)4 yang erat kaitannya dengan
pemenuhan keadilan lingkungan (environmental justice).5 Tarik menarik kepentingan

2 United Nations, United Nations Convention on the Law of the Sea, Montego Bay, 10 December
1982 (UNCLOS 1982).
3 United Nations, Convention on Biological Diversity, Rio de Jeneiro, 5 June 1992.
4 Sustainable development menurut World Commission on Environment and Development adalah
pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengganggu
kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhanya. Komponen
pembangunan berkelanjutan terdiri atas prinsip integrasi, prinsip pemanfaatan berkelanjutan,
prinsip keadilan intra generasi, dan prinsip keadilan antar generasi. Lihat: Philippe Sands,
Principles of International Environmental Law, 2nd Ed., (Cambridge University Press: New York,
2003), hlm. 199.
5 Keadilan lingkungan merupakan salah satu komponen inti dari konsep pembangunan
berkelanjutan. Konteks keadilan lingkungan dalam hal ini merujuk pada keadilan intra
dan antar generasi. Kuehn membagi keadilan lingkungan dalam empat kategori: keadilan

112
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

dan disparitas penguasaan teknologi antara negara utara6 dengan negara selatan7
menjadikan isu ini terus meluas dan berjalinan dengan ragam aspek. Di sisi lain,
pelestarian SDG laut tidak bisa dilakukan tanpa kerja sama di tingkat global.8

Indonesia termasuk kelompok negara selatan yang harus melakukan kerja


keras untuk bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban hukumnya sebagai anggota
(contracting party) UNCLOS dan CBD, termasuk kewajiban dalam pelestarian SDG
laut.9 Salah satu sebab banyaknya komitmen Indonesia terkait SDG laut yang belum
dapat dilaksanakan adalah ketidaktersediaan kerangka hukum yang memadai.
Namun lebih dari itu, yang lebih penting adalah bagaimana menggunakan
UNCLOS dan CBD untuk pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia dan penjaminan
hak-hak masyarakat atas SDG laut sebagai bagian dari sumber daya alam hayati
(SDA hayati). Pemenuhan kebutuhan rakyat tersebut mensyaratkan dilakukannya
pelestarian SDG laut yang berkelanjutan, meliputi upaya-upaya pemanfaatan dan
pelindungan.

SDG dalam konteks keanekaragaman hayati laut adalah setiap unsur makhluk
hidup (biota baik fauna maupun vegetasi) di laut dan pesisir yang membawa
sifat hereditas.10 Keanekaragaman hayati dimaksud mencakup tingkat genetik,
spesies dan ekosistem laut.11 SDG merupakan unsur yang melekat pada biotanya
sehingga perlindungan terhadap ekosistem, spesies dan biota menjadi prasyarat

distributif, keadilan korektif, keadilan prosedural dan keadilan sosial. Lihat: Robert R. Kuehn,
“A Taxonomy of Environmental Justice,” Environmental Law Reporter Vol. 30 p. 10681, 2000,
hlm. 10683-10684. Diakses dari Social Science Research Network: http://papers.ssrn.com/
sol3/papers.cfm?abstract_id=628088 pada 5 Oktober 2015.
6 Istilah negara utara merujuk pada negara dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga mempunyai kepentingan (interest) lebih, didukung kemampuan, untuk mengakses
sumber daya genetik di berbagai wilayah dunia.
7 Istilah negara selatan merujuk pada negara penyedia sumber daya genetik (biasanya
merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayat) namun tidak mempunyai cukup
ilmu pengetahuan dan teknologi.
8 Sands, op. cit., hlm. 3.
9 Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1985 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982). CBD diratifikasi melalui Undang-Undang
No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati).
10 CBD Secretariat, Status and trends of, and threats to, deep seabed genetic resources beyond national
jurisdiction, and identification of technical options for their conservation and sustainable use. UNEP/
CBD/SBSTTA/11/11. Par. 10, sebagaimana dikutip dalam Thomas Greiber (a), “Access
and Benefit Sharing in Relation to Marine Genetic Resources from Areas Beyond National
Jurisdiction: A Possible Way Forward, (Bonn: BN Federal Agency for Nature Conservation,
2011), hlm. 4.
11 Eyjolfur Gudmundsson, “Challenges of Marine Biodiversity,” (Chicago: The University of
Chicago Press, 1998), hlm 2

113
ISNA FATIMAH

upaya pelestarian SDG.12 Agar tidak ada potensi yang hilang atau mengalami erosi,
tingkat keragaman SDG sebagai bagian dari keanekaragaman hayati13 perlu dijaga
stabilitasnya.14 Stabilitas keragaman SDG diperlukan tidak hanya untuk menjaga
kemampuan bertahan hidup dan adaptasi makhluk hidup, tetapi juga menjawab
tantangan ketahanan pangan, kesehatan,15 berbagai industri penting dan ketahanan
lingkungan terhadap perubahan iklim.16 Besarnya potensi tersebut mendorong
animo pemanfaatan SDG terus meningkat seiring perkembangan teknologi dan
bertambahnya kebutuhan manusia. SDG diyakini sebagai sumber daya yang
mampu menopang kebutuhan masa depan serta menjadi prasyarat konservasi
dalam agenda pembangunan berkelanjutan.17

Dalam kurun waktu 35 tahun terakhir, lautan mengalami perubahan signifikan


disebabkan oleh aktivitas manusia.18 Pelindungan SDG laut—sebagai penentu

12 SDG merupakan komponen yang membentuk unit fungsional pewarisan sifat pada makhluk
hidup dan memungkinkan terjadinya keragaman genetika/sejumlah variasi genetika pada
suatu spesies atau populasi. Lihat: Annie Patricia, Kameri-Mbote, Philippe Cullet, “The
Management of Genetic Resources: Developments In The 1997 Sessions of the Commission
On Genetic Resources For Food and Agriculture,” Colorado Journal of International
Environmental Law and Policy, 1997, 78, sebagaimana dikutip oleh Efridani Lubis, “Penerapan
Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Perlindungan dan
Pemanfaatan SDG Indonesia,” (Disertasi: Universitas Indonesia, 2009), hlm. 45.
13 Istilah keanekaragaman hayati merupakan terjemahan dari ‘biological diversity’ yang
menurut teks CBD diartikan: “… the variability among living organisms from all sources including,
inter alia, terrestrial, marine and other aquatic ecosystems and the ecological complexes of which they
are part: this includes diversity within species, between species and of ecosystems.”
14 Maxted dan Guarino, Genetic erosion and genetic pollution of crop wild relatives, 2006, dalam
B.V. Ford-Lloyd, S.R. Dias and E. Bettencourt, eds. Genetic Erosion and Pollution Assessment
Methodologies. Proceedings of PGR Forum Workshop 5, Terceira Island, Autonomous
Region of the Azores, Portugal, 8–11 September 2004, pp. 35–45. Published on behalf of the
European Crop Wild Relative Diversity Assessment and Conservation Forum, by Bioversity
International, Rome, Italy. 100 pp. Available at http://www.bioversityinternational.org/
fileadmin/bioversity/publications/pdfs/1171.pdf (accessed 11 January 2010). sebagaimana
dikutip dalam Anthony H.D. Brown, Indicators of Genetic Diversity, Genetic Erosion and Genetic
Vulnerability for Plant Genetic Resources for Food and Agriculture, (Rome, 2008), hlm. 13.
15 Menurut Arieta J.M., Arnaud-Haond, dan C.M. Duarte, jumlah pemanfaatan SDG laut yang
telah dipatenkan (patented Marine Genetic Resources) paling banyak dimanfaatkan untuk
bidang kesehatan manusia. Lihat: Arieta J.M., Arnaud-Haond, dan C.M. Duarte, “What Lies
Underneath: conserving the Oceans’ Genetic Resources,” dalam presentasi berjudul “Marine
Biodiversity and Gene Patents: Balancing the Preservation of Marine Genetic Resources
(MGR) and the Equitable Generation of Benefits for Society”, (Mediterranean Institute for
Advanced Studies [IMEDEA], Spanish National Research Council [CSIC], 2010), hlm. 7.
16 Lihat diantaranya: FAO, Coping with climate change – the roles of genetic resources for food and
agriculture, Rome, 2015); Lyle Glowka et. al (c), A Guide to the Convention on Biological Diversity,
(International Union for Conservation of Nature and Natual Law (IUCN), 1996).
17 Thomas Greiber, et. al., “An Explanatory Guide to the Nagoya Protocol on Access and Benefit-
sharing,” (IUCN, Gland, Switzerland, 2012), hlm. 4.
18 S. Arico, C. Salpin, Bioprospecting of Genetic Resources in the Deep Seabed: Scientific, Legal and
Policy Aspects, (United Nations University-Institute of Advanced Studies, 2005), hlm. 8
sebagaimana dikutip Greiber (a), op. cit., hlm. 1.

114
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

kemampuan bertahan hidup dan adaptasi SDA hayati di dalamnya—oleh karenanya


menjadi sangat krusial.19 Adapun aktivitas yang pertama kali menstimulus penelitian
SDG laut adalah penemuan hydrothermal vents20 dan mikroba unik yang hidup di
dalamnya.21 Penemuan ini menghasilkan kesimpulan bahwa organisme yang ada
di kedalaman laut merupakan materi yang sangat potensial untuk perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan industri.22

Indonesia, sebagai salah satu negara megabiodiversity23 yang 70% wilayahnya


berupa lautan selayaknya menaruh perhatian besar dalam pelestarian potensi SDA
hayati laut. Dengan luas laut (termasuk zona ekonomi eksklusif/ZEE) sekitar 5,8
juta kilometer,24 potensi SDA hayati laut Indonesia untuk pemanfaatan SDG sangat
menjanjikan. Misalnya saja keberadaan hydrothermal vents25 berstatus aktif yang

19 Meskipun kemampuan SDA hayati laut untuk memulihkan diri jauh lebih baik dibandingkan
dengan SDA hayati di daratan, besarnya aktivitas di laut saat ini sudah di luar kewajaran
dan mengancam ketahanan keanekaragaman hayati laut. Aktivitas dimaksud mencakup
eksploitasi sumber daya laut terutama yang dilakukan secara berlebihan atau menggunakan
cara-cara desktruktif, pembuangan limbah (dumping), pencemaran, polusi, transportasi dan
instalasi bangunan di laut. Lihat: Arico, Ibid; Gudmundsson, op. cit., hlm 3.
20 Hydrothermal vent adalah palung di dasar laut yang mengeluarkan air panas geothermal.
Dengan kondisinya yang unik, di mana tidak ada sama sekali sinar matahari yang masuk,
hydrothermal vents diketahui kaya akan SDA hayati yang mempunyai kemampuan survival
dan resilience yang tinggi dalam genetiknya sehingga sangat potensial untuk dikaji.
Ada pula hipotesis yang dipercaya oleh para peneliti sains bahwa hydrothermal vents
menggambarkan asal usul bermulanya kehidupan di bumi (origin of life). Baross dan Hoffman
mengungkapkan teori bahwa kehidupan di laut berasal dari lingkungan yang sangat mirip
dengan hydrothermal vents. Lihat: J.A. Baross dan S.E. Hoffman, “Submarine Hydrothermal
Vents and Associated Gradient environments as sites for the origin and evolution of life,” (2
Naval Research Reviews 2, 6, 1986) sebagaimana dikutip David Kenneth Leary, International
Law and the Genetic Resources of the Deep Sea, (Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands,
2007), hlm. 20.
21 Lihat: (1) Gerd Winter dan Evanson Chenge Kamau, Genetic Resources, Traditional Knowledge
and the Law: Solutions for Access and Benefit Sharing, (London: Earthscan, 2009), hlm. 58. (2) Lyle
Glowka (a), “Genetic resources, marine scientific research and the international seabed Area,”
Vol 8 Issue 1 1999, (Blackwell Publishers, Ltd: Oxford, 1999).
22 Penyebutan kata potensial dimaksudkan bahwa SDG laut merupakan bagian dari SDA yang
dinilai mempunyai potensi manfaat yang belum diketahui manusia. Ini merupakan keunikan
dari ide tentang pelindungan SDG yang dilakukan terhadap SDG yang sudah diketahui
manfaatnya maupun yang belum. SDG yang belum diketahui manfaatnya dianggap
mempunyai potensi kemanfaatan. Lihat: Kamau, Ibid, hlm. 58 mengutip R.J. McLaughlin,
“Foreign acess to shared marine genetic materials: Management options for a quasi-fugacious
reseource,” Ocean Development and International Law, vol 34, pp 297-348.
23 Megabiodiversity merupakan istilah yang merujuk pada negara-negara dengan tingkat
keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.
24 Kementerian Lingkungan Hidup, “Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia,” (Deputi Tata
Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 2013), hlm. 8.
25 Hydrothermal vents diyakini menjadi tempat hidup organisme yang mempunyai kemampuan
bertahan hidup (resilience) paling tinggi sehingga menarik untuk diteliti. Lihat: Leary, loc. cit.

115
ISNA FATIMAH

terletak di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara dan Kepulauan Banda, Maluku.26


Belum lagi kekayaan terumbu karang dan SDA hayati Indonesia di area Coral Triangle
yang menjadi salah satu tumpuan ketahanan ekosistem laut, sumber pangan dan
ragam manfaat lain bagi manusia di seluruh dunia.27 Secara historis, Indonesia juga
selalu menjadi bagian penting dari sejarah hukum laut internasional28 serta selalu
muncul sebagai test case bagi dokumen-dokumen internasional terkait SDA hayati.29
Terlihat bahwa pemanfaatan SDA hayati Indonesia, termasuk juga pemanfaatan
SDG lautnya, telah mencuri perhatian dunia sejak lama.

Ragam hasil penelitian SDG laut Indonesia telah mengembara di berbagai


publikasi ilmiah tanpa tercatat dengan baik dalam basis data pemerintah.30
Penelitian-penelitian SDG laut banyak yang masuk dalam domain publik atau
diprivatisasi untuk kepentingan ekonomi tanpa ada pembagian keuntungan yang
adil dan berimbang untuk Indonesia. Di samping itu, banyak penelitian yang
bisa memberi petunjuk tentang cara melakukan konservasi di laut namun tidak
dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia. Penelitian-penelitian semacam ini hanya
menjadi publikasi ilmiah di berbagai media publikasi asing.31 Sayangnya Indonesia
belum mempunyai mekanisme akses dan pembagian keuntungan yang mumpuni

26 Data diperoleh dari http://www.interridge.org/irvents/ventfields_list_all?page=1 , diakses


pada 26 September 2015 pukul 13.38. Data ini terakhir kali diperbarui pada 29 Juni 2011.
27 Coral Triangle Initiative, “About CTI-CFF”, diakses dari http://www.coraltriangleinitiative.
org/about-us pada 5 Desember 2015 pukul 10:43.
28 United Nations, “The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical
perspective),” dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_
historical_perspective.htm diakses pada 5 Oktober 2015 pukul 15.00.
29 IUCN, op. cit.
30 Sebagai gambaran, sampai tahun 2.000 ada sekitar 2.700 hasil penelitian tentang spons yang
dipublikasikan di seluruh dunia, di mana 850 jenis spons diantaranya merupakan endemik
Indonesia. Lihat: Ekowati Chasanah, “Marine Biodiscovery Research in Indonesia: Challenges
and Rewards,” (Journal of Coastal Development Vol. 12 No. 1:1-12, ISSN: 1410-5217, 27 August
2008). Mengutip NJ. De Voogd, “Indonesian Sponges: Biodiversity and mariculture potential,”
(PhD Thesis, University of Amsterdam, the Netherlands, 2005) dan N. Fusateni, “Drugs from
the Sea,” (Karger, 2000), hlm. 158.
31 Sebagai contoh adalah penemuan tentang kandungan omega-3 berkualitas tinggi pada
Sardinella lemuru di Selat Lombok yang dipublikasikan di United State’s National Center
for Biotechnology Information. Dalam publikasi ini muncul petunjuk tentang penelitian
lanjutan yang perlu dilakukan untuk mengetahui cara melindungi spesies tersebut. Di sisi
lain, publikasi ini bisa mengundang minat industri farmasi mengakses Sardinella lemuru
untuk dikembangkan menjadi obat-obatan atau vitamin, mengingat omega-3 merupakan
lemak esensial yang berkhasiat mencegah penyakit jantung dan struk, mengendalikan
penyakit lupus dan pertumbuhan kanker. Lihat: (1) NCBI, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/23275733, diakses pada 30 November 2015 pukul 21.09. (2) Harvard edu, http://
www.hsph.harvard.edu/nutritionsource/omega-3-fats/, diakses pada 30 November 2015
pukul 21:30.

116
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

sehingga praktik biopiracy32 bisa terjadi tanpa terawasi. Selain itu, belum ada pula
perangkat yang memadai untuk menindaklanjuti setiap hasil penelitian demi
kepentingan konservasi.

Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa pelestarian SDG laut memegang


peranan penting bagi keberlanjutan keanekaragaman hayati laut. Pelestarian yang
dimaksud merujuk pada modern conservation thinking yang diperkenalkan oleh
CBD.33 Pelestarian SDG laut mencirikan dilakukannya konservasi modern terhadap
keanekaragaman hayati laut. Istilah yang lebih merefleksikan maksud conservation
dalam CBD adalah “pelestarian.”34

Pada skala global, CBD telah menjadi rujukan umum untuk konservasi
keanekaragaman hayati. Dalam dokumen “A Guide to CBD”, kegiatan conservation—
umumnya diterjemahkan dengan istilah “konservasi”—yang diatur dalam CBD
berlandaskan keadilan menurut pemikiran konservasi modern.35 Maksudnya
adalah, konservasi tidak hanya dilakukan untuk melindungi nilai intrinsik
dan keaslian keanekaragaman hayati tanpa intervensi tetapi juga bagaimana
keanekaragaman hayati tersebut dapat dimanfaatkan sepanjang menurut cara-cara
yang berkelanjutan.36 Di era sekarang, pemanfaatan berkelanjutan bahkan menjadi
syarat konservasi atas komponen tertentu dari keanekaragaman hayati yang
membutuhkan perlakukan khusus, di mana SDG laut termasuk di dalamnya.37

32 Biopiracy adalah istilah yang tidak resmi namun umum digunakan untuk menjelaskan
suatu tindakan mengambil alih pengetahuan atas suatu SDG dari pihak yang lebih dahulu
mempunyai pengetahuan tersebut dan memperoleh keuntungan darinya tanpa memberi
kompensasi pada pemilik pengetahuan asal. Biopiracy diartikan sebagai pengambilalihan atau
komersialisasi atas SDG dan pengetahuan yang terasosiasi dengannya yang dilakukan secara
ilegal atau bertentangan dengan prinsip pembagian keuntungan. Lihat: Miguel N Alexiades
dan Sarah A Laird, “Laying the Foundation: Equitable Biodiversity Research Relationships”
dalam Sarah A Laird (ed), Biodiversity and Traditional Knowledge: Equitable Partnerships in
Practice, (Earthscan, 2002), sebagaimana dikutip Achmad Gusman Catur Siswandi, “Marine
Bioprospecting: International Law, Indonesia and Sustainable Development,” (Thesis
submitted for the degree of Doctor of Philosophy of The Australian National University,
January 2013).
33 Lyle Glowka et. al (b), A Guide to the Convention on Biological Diversity, (International Union for
Conservation of Nature and Natual Law (IUCN), 1996), hlm. 4.
34 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelestarian adalah: “..pengelolaan sumber daya
alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.” Lihat: Kbbi.web.id/lestari, diakses pada 28 November 2015 pukul
11.20.
35 Ibid.
36 Ibid, dengan penambahan oleh penulis.
37 “On the whole, in spite of its haziness regarding the term conservation, the Convention does justice to
modern conservation thinking. Not only does it consistently recognize that sustainable use of living
resources and the ecosystems of which they are a part is a prerequisite for biodiversity conservation, it

117
ISNA FATIMAH

Pelestarian SDG laut merupakan satu komponen dari pelestarian lingkungan


hidup yang sebenarnya merupakan kepentingan nasional yang mempunyai
implikasi global. Sebabnya adalah, SDG laut menyimpan begitu banyak potensi
karena keunikan dan keragamannya yang lebih kaya daripada SDG daratan.38
Akibatnya, negara-negara yang mempunyai kekuatan teknologi berlomba-lomba
untuk melakukan penelitian dan memanfaatkan SDG laut.

Artikel ini selanjutnya akan menguraikan secara deskriptif aspek hukum


dalam manajemen pelestarian SDG laut dari sisi pengaturannya—tidak mencakup
penerapan ataupun aspek penegakan hukum. Adapun pisau analisis yang digunakan
untuk mengulik tantangan ke depan yang dihadapi Indonesia dalam membangun
kerangka hukum untuk pelestarian SDG laut adalah UNCLOS dan CBD dilihat
dari perspektif pembangunan berkelanjutan. Struktur pembahasan setelah bagian
pendahuluan ini secara runut diikuti penjelasan mengenai pisau analisis, konsep
penguasaan negara atas SDG laut, aspek hukum dalam pemanfaatan SDG laut,
aspek hukum dalam pelindungan SDG laut dan kesimpulan.

II. Pisau Analisis

Pengaturan pada tingkat undang-undang yang paling dekat relevansinya


dengan pelestarian SDG laut di Indonesia hingga saat ini adalah Undang-Undang
tentang Ratifikasi UNCLOS dan CBD.39 Walaupun tidak cukup operasional, kedua
instrumen tersebut menawarkan konsep pemanfaatan dan pelindungan SDA
hayati secara berkesinambungan. Sementara beberapa undang-undang lain terkait
sumber daya laut yang sudah ada cenderung parsial dan belum komprehensif
melihat dari skala besar sampai mendetil aspek-aspek hukum yang dibutuhkan
dalam pelestarian SDG laut.40 Sehingga pemilihan UNCLOS dan CBD sebagai pisau

also acknowledges the need for certain components to be given special care and treatment. Thus, the
provisions on conservation and sustainable use reflect the full spectrum of measures needed to achieve
the overall goal of the Convention.” Lihat: Ibid.
38 Hipotesis utama dari keunggulan potensi SDG laut adalah diyakini mempunyai kemampuan
bertahan hidup dan ketahanan yang lebih kuat dibandingkan SDG daratan. Lihat: (1) C.S.
Holling, D.W. Schindler, B.W. Walker dan J. Roughgarten, Biodiversity in the Functioning of
Ecosystems: An Ecological Synthesis, dalam Biodiversity Loss: Economic and Ecological Issues, C.
Perrings, K. Maler, C. Folk, C. Holling dan B-O Jansson, (Cambridge: Cambridge Univeristy
Press, 1995), sebagaimana dikutip Eyjolfur Gudmudsson, op. cit., hlm. 76. (2) Gudmundsson,
ibid., hlm. 76.
39 Lihat catatan kaki 8.
40 Pendapat ini akan dikonfirmasi dalam pembahasan tentang aspek hukum pemanfaatan dan
pelindungan SDG laut (bagian 4 dan 5).

118
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

analisis bisa membantu menyisir permasalahan dengan lebih lengkap.

Pada tahun 1980, International Union for Conservation of Nature (IUCN)


meluncurkan Strategi Konservasi Dunia (World Conservation Strategy/WCS).
Strategi ini disusun sebagai tanggapan atas kekhawatiran yang timbul dari laju
eksploitasi tanpa mengindahkan keterbatasan SDA dan kebutuhan generasi
mendatang.41

Secara otomatis WCS mempengaruhi perkembangan negosiasi transnasional


tentang hukum laut, hingga UNCLOS, yang lahir pada 1982, telah memuat
semangat konservasi bagi living resources.42 Meskipun UNCLOS pada akhirnya
tidak mengadopsi pengaturan spesifik tentang SDG laut, tetapi di dalamnya telah
memuat pengaturan tentang pelaksanaan kedaulatan negara atas living resources di
laut dan hak melakukan penelitian ilmiah kelautan (marine scientific research).43 Di
samping itu, UNCLOS mengatur pelindungan dan preservasi lingkungan laut.44

Materi dalam WCS yang diusung IUCN kemudian menjadi pelopor


lahirnya CBD. Tujuan yang hendak dicapai oleh CBD adalah untuk konservasi
keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan, serta pembagian keuntungan yang adil dan berimbang dari

41 IUCN, World Conservation Strategy, (IUCN-UNEP-WWF, 1980). Ide dalam WCS berkesesuaian
dengan Prinsip 4 Deklarasi Stockholm 1972 yang sangat memengaruhi materi terkait
lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam UNCLOS. Dalam merespon kondisi tersebut,
WCS memusatkan strateginya pada pencapaian tiga tujuan konservasi: (1) pengelolaan proses
ekologi/ekosistem esensial dan sistem penyangga kehidupan; (2) pelindungan keragaman
genetik; dan (2) pemanfaatan spesies dan ekosistem secara berkelanjutan. Dalam bahasa
aslinya: maintenance of essential ecological processes and life-support systems; (2) preservation of
genetic diversity; dan (3) sustainable utilization of species and ecosystem.
42 Menurut Philippe Sands, WCS mempengaruhi perkembangan hukum internasional dan
memberi petunjuk bagi negara-negara untuk membangun strategi konservasi. Adapun tujuan
UNCLOS adalah membangun kerangka hukum yang berlaku atas lautan dan samudera untuk
memfasilitasi komunikasi internasional, mendukung pemanfaatan laut dan sumber dayanya
secara damai, pemanfaatan sumber daya laut yang berimbang dan efisien, konservasi sumber
daya hayati laut, serta penelitian, pelindungan dan preservasi lingkungan laut. Lihat: Sands,
op. cit., hlm. 47 dan 396; Preamble UNCLOS.
43 Meskipun UNCLOS 1982 tidak secara langsung mengatur objek SDG laut, tetapi terdapat
pengaturan mengenai penelitian ilmiah kelautan (marine scientific research) yang ditujukan
untuk mendukung penanganan kelaparan, pewujudan ketahanan pangan, konservasi
lingkungan laut dunia dan sumber daya alam yang ada di dalamnya, memprediksi dan
merespon perubahan alam, serta mendukung pembangunan berkelanjutan. Semua hal
tersebut sama dengan fungsi dari pemanfaatan SDG sehingga pengaturan tentang marine
scientific research dapat dikaitkan dengan pemanfaatan SDG laut yang pada hakikatnya
dilakukan melalui penelitian sebagai tahap awalnya. Lihat: United Nations, “Marine
Scientific Research: a revised guide to the implementation of the relevant provisions of the
United Nations Convention on the Law of the Sea,” (United Nations, New York, 2010).
44 Lihat bagian 5. Pelindungan SDG Laut.

119
ISNA FATIMAH

pemanfaatan SDG.45 Oleh karena itu, berbicara mengenai konservasi SDG laut di
wilayah Indonesia akan merujuk pada CBD.

UNCLOS dan CBD menaungi pengaturan yang berkesesuaian dengan konsep


pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan menghendaki
pembangunan harus mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
menggangu kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.46
Konsep ini mulai didengungkan sejak 1980-an,47 beriringan dan berkesinambungan
dengan perkembangan WCS dan UNCLOS.

Menurut Sands, pembangunan berkelanjutan terbentuk dari empat komponen


yaitu:48 prinsip keadilan intergenerasi49; prinsip pemanfaatan berkelanjutan50;
prinsip intragenerasi51; dan prinsip integrasi52. Pembangunan berkelanjutan
mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar perlindungan lingkungan hidup
karena mencakup dimensi sosial dan ekonomi dalam pembangunan. Tetapi jelas
keempat prinsip yang menjadi komponen dari pembangunan berkelanjutan ini
berlandaskan pada cita-cita keadilan lingkungan hidup yang harus terintegrasi
dalam agenda pembangunan.53

45 Pasal 1 CBD: “The objectives of this Convention, to be pursued in accordance with its relevant
provisions, are the conservation of biological diversity, the sustainable use of its components and the
fair and equitable sharing of the benefits arising out of the utilization of genetic resources,
including by appropriate access to genetic resources and by appropriate transfer of relevant technologies,
taking into account all rights over those resources and to technologies, and by appropriate funding.”
[huruf cetak tebal ditambahkan oleh penulis].
46 World Commission on the Environment and Development, Report of the World Commission
on Environment and Development: Our Common Future, (Oxford/New York: Oxford University
Press), 1987.
47 Sands, op. cit.,hlm. 252.
48 Ibid, hlm. 253.
49 Prinsip intergenerasi merujuk pada kebutuhan untuk menjaga SDA sesuai aslinya untuk
kepentingan generasi mendatang. Menurut Langhelle, keadilan intra generasi merupakan
prioritas pertama dari pembangunan berkelanjutan. Keadilan intra generasi menunjukkan
komitmen negara-negara terhadap keadilan yang mencakup redistribusi dari pihak yang
kaya kepada pihak yang miskin baik dalam level nasional maupun internasional. Lihat:
Indonesian Center for Environmental Law dan Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI, “Materi
Ajar Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup”, (ICEL, 2014), hlm. 67 yang mengutip Oluf
Langhelle,”Sustainable Development and Social Justice: Expanding the Rawlsian Framework
of Global Justice,” Environmental Values, Vol. 9, 2000, hlm. 300.
50 Pemanfaatan SDA dengan cara yang hati-hati, berkelanjutan, rasional, bijak dan pantas.
51 Pemanfaatan SDA dilakukan secara berimbang di mana pemanfaatan yang dilakukan suatu
negara harus memperhatikan kebutuhan negara lain (bisa juga diartikan dalam konteks
wilayah: pemanfaatan yang dilakukan di suatu wilayah harus memperhatikan kebutuhan
masyarakat di wilayah lain).
52 Pengintegrasian pertimbangan-pertimbangan lingkungan dalam rencana, program dan
kegiatan ekonomi dan pembangunan.
53 Ibid.

120
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Interpretasi atas masing-masing prinsip sangat luas dan tidak baku sehingga
ada banyak pendapat ahli yang telah menerjemahkannya. Namun di saat bersamaan,
keempat prinsip tersebut tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.54 Tulisan ini
tidak akan menjelaskan secara mendalam masing-masing prinsip tersebut, akan
tetapi mengombinasikan keempat prinsip atau menggunakan salah satunya dengan
catatan tidak ada satu prinsip yang tidak memiliki relasi dengan prinsip yang lain.

III. Penguasaan Negara atas SDG Laut55

Kedaulatan Indonesia di perairan nusantara meliputi laut teritorial, perairan


kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas wilayah perairan
tersebut berikut dasar laut dan tanah yang berada di bawahnya termasuk juga
sumber kekayaan alam terkandung di dalamnya.56 Penentuan kedaulatan laut
tersebut sesuai dengan UNCLOS.

Wilayah Indonesia juga mencakup ZEE dan Landas Kontinen. Di ZEE, Indonesia
mempunyai dan melaksanakan hak berdaulat untuk melakukan pengelolaan dan
konservasi SDA hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta
air di atasnya.57 Indonesia juga mempunyai yurisdiksi yang berhubungan dengan
penelitian ilmiah mengenai kelautan dan perlindungan dan pelestarian lingkungan
laut di ZEE-nya.58

Komitmen Indonesia dengan masyarakat internasional dalam melindungi


SDG secara de jure dimulai sejak ratifikasi CBD.59 Bentuk penguasaan negara atas

54 Sands, op. cit., hlm. 254.


55 Lihat Tabel Penguasaan Negara atas SDG laut menurut UNCLOS dan CBD pada Lampiran 1.
56 Indonesia (b), Undang-Undang tentang Perairan Indonesia, UU No. 6 Tahun 1996, LN Tahun
1996 No. 73, Pasal 4.
57 Indonesia (c), Undang-Undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, UU No. 5 Tahun 1983,
Pasal 4 ayat (1) huruf a, sesuai dengan UNCLOS 1982, Pasal 56 ayat 1 huruf (a) dan (b). Di ZEE
negara mempunyai hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan
dan konservasi SDA hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air
di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona
tersebut, seperti pembangkit tenaga dari air, arus dan angin.
58 Ibid, Pasal 4 ayat (1) huruf b. Selengkapnya, di ZEE negara mempunyai yurisdiksi untuk
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau
buatan, instalasi-instalasi dan bangunan lainnya; penelitian ilmiah mengenai kelautan; serta
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
59 Indonesia (d), Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati), UU No. 5
Tahun 1994.

121
ISNA FATIMAH

SDG menurut CBD didasarkan pada sovereign right (hak berdaulat).60 Menurut
IUCN, hak berdaulat yang dimaksud dalam CBD menekankan bahwa kedaulatan
negara diimbangi dengan kewajiban yang timbul karena kedaulatan itu sendiri.
Hak berdaulat juga memberi penegasan bahwa konservasi SDA hayati merupakan
common concern bagi seluruh masyarakat internasional.61

Sebagai negara anggota CBD dan UNCLOS, Indonesia tentunya harus


menyesuaikan kebijakan pelestarian SDG laut dengan kedua instrumen tersebut.
Semua pengaturan dalam CBD yang bersinggungan dengan lingkungan laut harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UNCLOS.62

UNCLOS membedakan penguasaan negara ke dalam tiga bentuk yaitu


kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksi. Sedangkan CBD hanya mengenal satu,
yakni hak berdaulat. Komponen SDG laut di wilayah perairan dalam, kepulauan,
dan teritorial Indonesia masuk dalam kedaulatan negara tetapi dilakukan dengan
memperhatikan batasan menurut hak berdaulat yaitu sepanjang tidak menimbulkan
kerugian bagi negara lain. Sementara dalam pengaturan UNCLOS maupun CBD,
tidak dijelaskan apakah SDG laut yang ada dalam wilayah ZEE dan Landas Kontinen
termasuk objek yang diatur dalam CBD atau tidak mengingat ZEE dan Landas
Kontinen berada di luar kedaulatan mutlak negara pantai. Rezim penguasaan yang
ada pada kedua wilayah tersebut menurut UNCLOS berdasarkan pada hak atau

60 Pasal 3 CBD: “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles
of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own
environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or
areas beyond the limits of national jurisdiction.” Pada prinsipnya hak berdaulat berarti negara
memiliki kekuasaan dan yurisdiksi untuk mengatur pendistribusian, pemanfaatan, dan
kepemilikan SDA yang ada di dalam wilayah kedaulatannya. Hak berdaulat atas SDG dapat
diartikan sebagai hak negara untuk mengelola SDG sebagai public property untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat saat ini tanpa mengurangi hak generasi yang akan datang baik
dalam kualitas maupun kuantitasnya. Lihat: (1) Carlos M. Correa, “Sovereign and Property
Rights over Plant Genetic Resources,” disampaikan dalam FAO background study paper No.
2, Commission on Plant Genetic Resources, First Extraordinary Session, (Roma, 7-11 November
1994) sebagaimana dikutip Isna Fatimah,”Hak Berdaulat atas SDG Tanaman untuk Pangan
dan Pertanian,” (Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013), hlm. 11. (2) Efridani
Lubis, “Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual dalam Perspektif
Perlindungan dan Pemanfaatan SDG Indonesia,” (Disertasi: Universitas Indonesia, 2009).
61 Glowka (b), op. cit., hlm. 3.
62 Pasal 22 ayat (2) CBD menyatakan “Contracting Parties shall implement this Convention with
respect to the marine environment consistently with the rights and obligations of States under the law
of the sea.” Lihat: Wolfrum, R. And Matz, N, “The interplay of the United Nations Convention
on the Law of the Sea and the Convention on Biological Diversity,” Max Planck Yearbook of
United Nations Law, vol. 4, pp475-476 sebagaimana dikutip oleh Alexander Proelss, ‘ABS in
Relation to Marine GRs’ dalam Gerd Winter dan Evanson Chenge Kamau, Genetic Resources,
Traditional Knowledge and the Law: Solutions for Access and Benefit Sharing, (London: Earthscan,
2009), hlm. 59.

122
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

hak eksklusif yang secara limitatif mengatur kewenangan apa saja yang dimiliki
negara pantai.63 Sementara CBD hanya menyatakan bahwa negara mempunyai hak
berdaulat atas komponen keanekaragaman hayati yang berada di dalam wilayah
yurisdiksi nasional.64

Cakupan yurisdiksi yang dimaksud pada CBD bila diartikan berdasarkan


kedaulatan negara65 berarti bahwa negara mempunyai hak berdaulat hanya
terhadap komponen keanekaragaman hayati yang ada pada yurisdiksi nasional.
Hukum nasional dan perjanjian perbatasan antar negara-lah yang pada akhirnya
benar-benar bisa menentukan yurisdiksi nasional tersebut. Meski demikian, hak
berdaulat atas ZEE dan Landas Kontinen memberikan keistimewaan (privilege)
kepada negara pantai sehingga negara lain yang hendak melakukan kegiatan di
wilayah tersebut harus memperoleh izin dari negara pantai. Oleh karenanya, SDG
laut yang berada di ZEE dan Landas Kontinen dapat dikatakan masuk dalam
‘national jurisdiction.’66 Pemahaman ini penting mengingat SDG laut paling potensial
sangat banyak ditemukan di wilayah deep sea bed yang letaknya sebagian besar ada
di lebih dari 12 mil wilayah laut negara pantai dan berbatasan dengan wilayah laut
negara tetangga/ jalur laut internasional.67

Tantangan dalam pelaksanaan kedaulatan negara atas pelestarian SDG laut


adalah menerjemahkannya dalam skala nasional. Pelestarian SDG laut, sebagaimana
telah dijelaskan dalam pendahuluan, tidak bisa dipisahkan dari pelestarian biota,
spesies dan ekosistemnya. Oleh karena itu jelas bahwa SDG laut, berdasarkan
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, merupakan bagian dari SDA yang dikuasai oleh
negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sehingga pada tingkat nasional,

63 Pasal 60 dan Pasal 246 UNCLOS.


64 Pasal 4 CBD: “Subject to the rights of other States, and except as otherwise express provided in this
Convention, the provision of this Convention apply in relation to each Contracting Party:(a) in the
case of components of biological diversity, in areas within the limits of its national jurisdiction; and
(b) in the case of processes and activities, regardless of where their effects occur, carried out under its
jurisdiction or control, within the area of its jurisdiction or beyond the limits of national jurisdiction.”
65 Phillipe Sands merangkum kedaulatan negara atas SDA dan lingkungan dalam teritori yang
terdiri atas: (1)daratan di dalam batas-batas negaranya, termasuk lapisan tanah di bawahnya;
(2) perairan dalam seperti danau, sungai dan kanal (Pasal 8 UNCLOS); (3) laut teritorial
yang berbatasan dengan pantai, termasuk dasar laut, lapisan tanah di bawahnya serta SDA
di dalamnya (Pasal 2 dan untuk negara kepulauan Pasal 48 UNCLOS); (4) ruang udara di
atas daratan, perairan dalam dan laut teritorial sampai batas dimulainya rezim hukum ruang
angkasa (Oppenheim, vol 1); dan hak berdaulat serta yurisdiksi terbatas di zona tambahan,
landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. Lihat: Sands, op. cit., hlm, 13-14.
66 Winter dan Kamau, op. cit., hlm. 61-62.
67 Kirsten E. Zewers, “Debated Heroes from the Deep Sea – Marine Genetic Resources,” (WIPO
Magazine, April 2008), diakses dari http://www.wipo.int/wipo_magazine/ en/2008/02/
article_0008.html pada 3 Juni 2015 pukul 9.40 WIB.

123
ISNA FATIMAH

negara—yang dalam hal ini merujuk pada pemerintah—menguasai SDG laut untuk
kepentingan rakyatnya.

Penafsiran terhadap penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 ini
telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam beberapa putusan.68 MK
menafsirkan bahwa penguasaan negara diejawantahkan dalam bentuk wewenang
pemerintah untuk: (1) merumuskan kebijakan (beleid); (2) melakukan tindakan
pengurusan (bestuursdaad); (3) melakukan pengaturan (regelendaad); (4) melakukan
pengelolaan (beheersdaad), dan/atau (5) melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).69
Mengingat SDG laut pada prinsipnya merupakan milik seluruh rakyat Indonesia
maka pemerintah dalam melaksanakan wewenangnya harus atas dasar tujuan
menyejahterakan rakyat.

UNCLOS dan CBD lebih banyak memberikan petunjuk bagi negara untuk
membuat kebijakan, pengaturan dan pengawasan. Akan tetapi pemerintah perlu
mempertimbangkan untuk bertindak sebagai pengelola dan/atau pengurus dalam
pemanfaatan dan pelindungan karena SDG laut merupakan kekayaan alam yang
relatif sulit dijangkau namun potensinya sangat besar untuk kebutuhan masyarakat.

IV. Pemanfaatan SDG Laut

Pemanfaatan SDG dilakukan pertama-tama melalui penelitian yang dapat


ditujukan untuk kepentingan non-komersial atau komersial. CBD menjelaskan
pemanfaatan SDG sebagai: “...the process of researching their beneficial properties and
using them to increase scientific knowledge and understansing, or to develop commercial
products.”70

Keunikan dari pemanfaatan SDG adalah pemanfaatan yang dilakukan bukan


dengan penggunaan komoditasnya melainkan pemanfaatan materi dan informasi
genetik yang terkandung di dalamnya. Secara khusus dalam Explanatory Guide to
the Nagoya Protocol dijelaskan bahwa: “...in CBD context, genetic resources are biological
resources needed or used for their genetic material and not for their other attributes.”71
68 Diantaranya putusan MK No. 001/PUU-I/2003 tentang pengujian UU No. 20 tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan dan Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 tentang pengujian UU No.
22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
69 Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air.
70 CBD Secretariat (b), “Uses of Genetic Resources,” (UNCBS Factsheet, 2010), hlm. 3.
71 Greiber, et. al., op. cit., hlm. 6. Istilah material merujuk pada sifat atau informasi yang dibawa
oleh gen, bukan wujud fisiknya. Contoh yang diberikan dalam A Guide to Nagoya Protocol

124
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Menentukan suatu penelitian merupakan penelitian atas SDG harus diidentifikasi dari
tujuan penelitiannya. Sepanjang penelitian dilakukan untuk mengeksplorasi materi
dan informasi genetik, maka penelitian tersebut masuk dalam kategori pemanfaatan
SDG. Barulah pemanfaatan SDG dapat diidentifikasi lagi dalam dua jenis: penelitian
dasar non-komersial (basic research) dan komersialisasi produk (commercialization of
products).72

SDG laut mempunyai keunikan dibandingkan dengan SDG yang ada di daratan
terutama karena habitatnya yang relatif berada di luar jangkauan manusia. Hal ini
akan menyebabkan (1) kontrol terhadap upaya perlindungan dan kontrol terhadap
akses ke SDG laut lebih sulit dilakukan; (2) menentukan pemilik pengetahuan yang
terasosiasi dengan SDG laut memerlukan pembuktian-pembuktian ilmiah dengan
teknologi yang lebih tinggi. Akibatnya, penentuan pihak yang berhak memperoleh
pembagian keuntungan lebih kompleks karena boleh jadi spesies yang sama hidup
tersebar di perairan di wilayah kedaulatan lebih dari satu negara atau di wilayah
laut lepas.

Bicara tentang aspek hukum dalam manajemen pemanfaatan SDG laut dalam
CBD dan UNCLOS akan mengerucut setidaknya pada 2 hal,73 yaitu:

a. Penelitian ilmiah kelautan;

b. Akses dan pembagian keuntungan yang adil dan berimbang (ABS).

4.a. Penelitian Ilmiah Kelautan

Indonesia sebagai negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk mengatur


dan melaksanakan penelitian ilmiah kelautan74 di wilayah teritorialnya. Pihak
yang hendak melakukan penelitian ilmiah kelautan di wilayah tersebut harus
mendapatkan persetujuan (express consent) dan tunduk pada kondisi-kondisi yang

adalah akses ke hutan untuk mengambil kayu atau ekstraksinya yang dimanfaatkan untuk
kebutuhan konvensional tidak termasuk pemanfaaan SDG. Sebaliknya, jika tujuan diambilnya
kayu atau ekstraksi tersebut untuk diteliti lebih lanjut manfaatnya, maka pemanfaatan SDG
menurut CBD berlaku.
72 Greiber, et. al., op. cit., hlm. 4.
73 Dipilih oleh penulis.
74 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terus-menerus menggarisbawahi bahwa
penelitian ilmiah kelautan dilakukan untuk tujuan-tujuan global seperti mendukung
penanganan kelaparan, pewujudan ketahanan pangan, konservasi lingkungan laut dunia dan
SDA yang ada di dalamnya, memprediksi dan merespon perubahan alam, serta mendukung
pembangunan berkelanjutan. Lihat: United Nations, “Marine Scientific Research: a revised
guide to the implementation of the relevant provisions of the United Nations Convention on
the Law of the Sea,” (United Nations, New York, 2010).

125
ISNA FATIMAH

ditentukan Indonesia.75 Negara lain yang hendak melakukan penelitian ilmiah


kelautan di wilayah ZEE Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu
dan melaksanakan penelitian sesuai syarat-syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah
Indonesia,76 serta diwajibkan untuk memberikan keterangan lengkap mengenai
tujuan dari penelitian tersebut.77 Sementara dalam CBD, penelitian terhadap SDG
sering dikenal dengan istilah bioprospecting.78 Berdasarkan CBD, penelitian ilmiah
kelautan dengan SDG laut sebagai objeknya atau bioprospecting akan diikuti
mekanisme ABS.79

Pengaturan terkait penelitian ilmiah kelautan di Indonesia dapat ditemukan


pada beberapa undang-undang antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan (UU 18/2002)80; (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

75 Pasal 241 UNCLOS menegaskan: “Marine scientific research activities shall not constitute the
legal basis for any claim to any part of the marine environment or its resources.” Sehingga dalam
hal pengaturan tentang prosedur, batasan, dan implementasi penelitian ilmiah kelautan
dikembalikan lagi kepada hukum nasional negara pantai. Lihat juga: Pasal 245 UNCLOS.
76 UNCLOS mengatur lebih rinci tentang penelitian ilmiah kelautan di setiap jenis wilayah
laut. Pada intinya negara pantai berhak memberikan persetujuan atau menolak permohonan
melakukan penelitian ilmiah kelautan yang diajukan oleh negara atau subjek hukum asing
di wilayah teritorial sampai dengan ZEE dan Landas Kontinen. Adapun penelitian ilmiah
kelautan yang dimaksud dalam UNCLOS tunduk pada empat prinsip umum yaitu:
1. Diselenggarakan secara eksklusif untuk tujuan perdamaian;
2. Menggunakan metode ilmiah dan dilakukan untuk tujuan yang sesuai dengan UNCLOS;
3. Tidak bertentangan atau mengganggu kegiatan pemanfaatan laut lain yang sudah
mempunyai legitimasi dan harus menghormati kegiatan tersebut;
4. Patuh pada semua peraturan yang relevan dengan UNCLOS termasuk mengenai
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Lihat: United Nations, “Marine Scientific Research: A revised guide to the implementation of
the relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea,” (New York:
United Nations Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea Office of Legal Affairs,
2010), hlm. 6-7; Indonesia (c), op. cit., Pasal 7.
77 Pasal 248-249 UNCLOS. Walaupun demikian, lingkup penelitian ilmiah kelautan yang
dimaksud dalam UNCLOS tidak mencakup penelitian untuk kepentingan komersil. Sehingga
untuk penelitian SDG Laut dengan tujuan komersil dapat merujuk pada CBD di mana negara
mempunyai kewenangan memberikan atau menolak permintaan akses ke SDG-nya. Lihat:
Alexander Proelss, ‘ABS in Relation to Marine GRs’ dalam Gerd Winter dan Evanson Chenge
Kamau, Genetic Resources, Traditional Knowledge and the Law: Solutions for Access and Benefit
Sharing, (London: Earthscan, 2009), hlm. 61-62.
78 Bioprospecting adalah kegiatan pencarian manfaat baru yang mempunyai potensi ekonomi dari
material biologi. Penelitian ilmiah kelautan dengan objek SDG atau pengetahuan tradisional
biasanya menjadi informasi awal yang sangat berguna bagi kegiatan bioprospecting. Lihat:
Greiber, et. al., op. cit., hlm. 212.
79 Pengaturan tentang ABS sendiri tidak secara eksplisit diatur dalam UNCLOS. Akan tetapi
dalam perkembangannya, ABS atas pemanfaatan SDG kemudian diatur dalam CBD.
80 Indonesia (e), Undang-Undang tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, UU No. 18 Tahun 2002, LN 2002 No. 84, TLN No. 4219.

126
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Perikanan (UU 31/2004)81; dan (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan (UU 32/2014).82

UU 18/2002 tidak secara spesifik mengatur tentang penelitian ilmiah kelautan


namun menjadi payung hukum bagi kegiatan penelitian di Indonesia.83 Pasal 17
ayat (4) UU 18/2002 mengatur agar peneliti asing yang melakukan penelitian
di Indonesia harus mendapatkan izin tertulis dari instansi pemerintah yang
berwenang.84 Namun jenis penelitian SDG laut tidak secara spesifik disebutkan
dalam UU tersebut maupun peraturan turunnya. Selain itu, UU ini tidak secara jelas
membedakan pengaturan terhadap kegiatan penelitian85 (bisa dipadankan dengan
penelitian non-komersial) dengan pengembangan86 (bisa dipadankan dengan
penelitian komersial).
81 Indonesia (f), Undang-Undang tentang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, LN 2004 No. 114 jo.
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
UU No. 45 Tahun 2009, LN 2009 No. 154.
82 Indonesia (g), Undang-Undang tentang Kelautan, UU No. 32 Tahun 2014, LN 2014 No. 294, TLN
No. 5603.
83 Pasal 22 ayat (2) UU 18/2002 misalnya, memerintahkan Pemerintah mengatur perizinan
bagi pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berisiko tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan
ketentuan yang berlaku secara internasional.
84 Bunyi Pasal 17 ayat (4) UU 18/2002 selengkapnya: “ Perguruan tinggi asing, lembaga litbang
asing, badan usaha asing, dan orang asing yang tidak berdomisili di Indonesia yang akan
melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia yang akan melakukan
kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia harus mendapatkan izin tertulis dari
instansi pemerintah yang berwenang. Penjelasan Pasal 17 ayat (4) UU 18/2002 menyatakan:
tujuan izin khusus peneliti asing ini untuk menghindari dilakukannya: (a) kegiatan yang
mengakibatkan kekayaan hayati dan non hayati milik negara dimanfaatkan secara tidak
bertanggung jawab oleh pihak asing, dan (b) kegiatan yang berpotensi menimbulkan wabah,
merusak fungsi lingkungan hidup, gangguan sosial kemasyarakatan, atau gangguan lain
yang merugikan; Setiap permohonan izin yang dimintakan kepada instansi pemerintah
berwenang harus melalui penilaian yang memperhatikan dan mempertimbangkan
kemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, hubungan luar negeri, kelestarian lingkungan
hidup, politik, dan pertahanan. Lihat: Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
2006 tentang Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan
Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang
Asing; Dalam hal penelitian masuk dalam kategori berisiko tinggi dan berbahaya di bidang
kelautan dan perikanan, instansi pemerintah yang berwenang kementerian bidang kelautan
dan perikanan. Lihat: Penjelasan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2009
tentang Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang Berisiko Tinggi dan Berbahaya.
85 Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara
sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan
pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau
hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi
keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 1 angka 4 UU 18/2002.
86 Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan
memanfaatkan kaidan dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk
meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikai ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada
atau menghasilkan teknologi baru. Pasal 1 angka 5 UU 18/2002.

127
ISNA FATIMAH

Sementara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU


31/2004) hanya mengatur penelitian untuk menghasilkan pengetahuan dan
teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan.87 Lebih lanjut
diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.04/Men/2010
tentang Tata Cata Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan (Permen KKP 04/2010)
bahwa pemanfaatan SDG laut harus dilakukan atas izin Direktur Jenderal.88 Meski
demikian, peraturan tersebut tidak membedakan pengaturan izin pemanfaatan
jenis/spesies dengan izin pemanfaatan genetik.89

Pengaturan lain berkenaan dengan pemanfaatan SDG laut termuat dalam


UU 32/2014 yang mengatur tentang industri bioteknologi kelautan.90 Meskipun
menggunakan istilah industri, tetapi tiga dari lima tujuan industri bioteknologi

87 “Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan


pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan
dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi,
dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.” [huruf cetak miring
ditambahkan oleh penulis]. Lihat: Indonesia (h), Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN 2009 No.
154, Pasal 1 angka 8; Pasal 52.
88 Direktur Jenderal yang dimaksud adalah direktur jenderal bidang kelautan, pesisir dan
pulau-pulau kecil (namun saat ini kewenangannya berada di bawah Direktorat Jenderal
Pengelolaan Ruang Laut). Lihat: Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan tentang Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan, Permen KKP
No. Per.04/MEN/2010, Pasal 1 angka 9 jo. Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Permen KKP No. 23/PERMEN-KP/2015.
89 Jenis izin dalam Permen 4/2010 meliputi surat izin penelitian dan pengembangan, surat
izin pengembangbiakan; surat izin perdagangan; surat izin aquaria; surat izin pertukaran;
surat izin pemeliharaan untuk kesenangan; dan surat izin pengambilan ikan dari alam.
Permen KKP ini pada intinya hanya menyatakan setiap izin tersebut diberikan untuk
permohonan jenis ikan dan genetik ikan yang memenuhi syarat formil maupun substantif.
Selain bicara mengenai pemanfaatan, Permen KKP 04/2010 mengatur bahwa pemanfaatan
SDG laut bertujuan menciptakan tertib pemanfaatan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan
dasar ilmiah guna mencegah terjadinya kerusakan dan.atau degradasi populasi sumber
daya ikan. Kemudian yang menarik adalah batasan bagi penelitian dan pengembangan
yang dilakukan orang dan/atau badan hukum asing hanya dapat diberikan untuk
keperluan pengembangbiakan dalam upaya konservasi jenis ikan dan genetik ikan dan/
atau reintroduksi ke habitat alam. Ketentuan ini bisa mengundang kontroversi bagi pihak
asing yang hendak melakukan penelitian dan pengembangan untuk kepentingan komersial
dan berpotensi membatasi atau menghambat semangat penelitian ilmiah. Di samping itu,
mekanisme penegakan pengawasan atas akses ke SDG laut secara umum masih belum
diperkuat, sehingga banyak regulasi hulu yang sudah cukup baik (perizinan) bisa jadi tidak
terkendali pada implementasi di hilirnya (pelaksanaan di lapangan). Lihat: Pasal 2 ayat (1);
Pasal 17 ayat (2); dan Pasal 40 Permen KKP 04/2010.
90 Pasal 26 ayat (3) UU 32/2014. Adapun yang dimaksud dengan industri bioteknologi dalam
UU ini adalah seperangkat teknologi yang mengadaptasi dan memodifikasi organisme
biologis, proses, produk, dan sistem yang ditemukan di alam untuk tujuan memproduksi
barang dan jasa (Penjelasan Pasal 25 ayat (2) UU 32/2014).

128
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

berorientasi pada pelestarian.91 Sayangnya, UU ini tidak memerintahkan untuk


mengatur lebih lanjut ketentuan tentang industri bioteknologi.

Berdasarkan uraian umum tentang ketiga UU tersebut, terlihat bahwa


pengaturan tentang penelitian ilmiah kelautan khusus SDG laut atau bioprospecting
belum cukup lengkap. Padahal di Indonesia, pengaturan teknis sangat penting untuk
menggiring pejabat administrasi melakukan tugas pengendalian dan pengawasan.
Di samping itu, pengaturan tentang penelitian ataupun pemanfaatan yang sudah
ada belum dikorelasikan dengan aspek hukum pasca penelitian yang melekat
seperti pelindungan pengetahuan tradisional92 dan hak kekayaan intelektual, serta
mekanisme pembagian keuntungan yang adil dan berimbang.

Hal lain yang penting diatur adalah tentang pelaksanaan, pengendalian


dan pengawasan penelitian non-komerisal dan komersial. Harus diakui bahwa
membedakan kegiatan penelitian di wilayah laut yang bertujuan murni untuk
pengembangan ilmu dengan penelitian komersial sangat sulit dilakukan, terutama
bila hasil pengembangannya ternyata bermanfaat untuk kepentingan seluruh umat
manusia.93 Namun tetap saja, kejelasan pengaturan tentang kegiatan penelitian
penting salah satunya untuk kemudian mengatur dan mengimplementasikan
mekanisme ABS dan mencegah terjadi biopiracy94.
91 Adapun kelima tujuan industri bioteknologi dimaksud meliputi: (a) mencegah punahnya
biota laut akibat eksplorasi berlebih; (b) menghasilkan berbagai produk baru yang mempunyai
nilai tambah; (c) mengurangi ketergantungan impor dengan memproduksi berbagai produk
substitusi impor; (d) mengembangkan teknologi ramah lingkungan pada setiap industri
bioteknologi Kelautan; dan (e) mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya laut secara
berkesinambungan. Pasal 26 UU 32/2014.
92 Pengetahuan tradisional merupakan informasi dan teknologi yang digunakan untuk
mengolah dan menggunakan SDG dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat tertentu
(biasanya masyarakat adat atau lokal). Pengetahuan tradisional dimaksud sejatinya memiliki
karakteristik ilmiah, empiris, eksperimental, holistik dan sistematis, meskipun kerap
dianggap primitif. Lihat: Jack K. githae,”Potential of TK for Conventional Therapy: Prospects
and Limits,” dalam Evanson C. Kamau dan Gerd Winter, dalam Miranda Risang Ayu, Harry
Alexander dan Wina Puspitasari, Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia, (PT Alumni: Bandung, 2014), hlm. 17.
93 Lyle Glowka berpandangan bahwa menentukan kriteria ‘untuk kepentingan seluruh umat
manusia’ itu sendiri juga sulit dilakukan. Lihat: Lyle Glowka (c), “the Deepest of Ironies:
Genetic Resources, Marine Scientific Research, and the Area,” (The University of Chicago,
1996).
94 Biopiracy adalah istilah yang tidak resmi namun umum digunakan untuk menjelaskan
suatu tindakan mengambil alih pengetahuan atas suatu SDG dari pihak yang lebih dahulu
mempunyai pengetahuan tersebut dan memperoleh keuntungan darinya tanpa memberi
kompensasi pada pemilik pengetahuan asal. Biopiracy diartikan sebagai pengambilalihan atau
komersialisasi atas SDG dan pengetahuan yang terasosiasi dengannya yang dilakukan secara
ilegal atau bertentangan dengan prinsip pembagian keuntungan. Lihat: Miguel N Alexiades
dan Sarah A Laird, “Laying the Foundation: Equitable Biodiversity Research Relationships”
dalam Sarah A Laird (ed), Biodiversity and Traditional Knowledge: Equitable Partnerships in
Practice, (Earthscan, 2002), sebagaimana dikutip Achmad Gusman Catur Siswandi, “Marine

129
ISNA FATIMAH

4.b. Akses dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Berimbang (ABS)

Pengaturan lebih khusus tentang ABS terdapat dalam Protokol Nagoya95 yang
sudah diratifikasi pula oleh Indonesia. ABS adalah suatu mekanisme pemberian
akses terhadap pemanfaatan SDG berdasarkan prior informed concent (PIC)96 dan
mutually agreed terms (MAT)97 yang diikuti dengan pembagian keuntungan adil
dan seimbang atas hasil pemanfaatan SDG berupa pertukaran informasi, transfer
teknologi, pengembangan kapasitas, atau pembagian keuntungan komersial.98
Tujuan sesungguhnya dari ABS adalah untuk mendorong negara asal SDG
meningkatkan kapasitas dalam pemanfaatan berkelanjutan SDG.99

ABS mempunyai fungsi pengendalian atas kemungkinan pihak yang dirugikan


atas pematenan SDG dan derivatifnya. ABS adalah mekanisme yang berusaha
menengahi pertentangan penerapan rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atas
penemuan manfaat SDG dengan kepentingan masyarakat terutama yang telah
melestarikan biota yang mengandung SDG tersebut atau yang telah mempunyai
pengetahuan awal tentang manfaat tersebut, meskipun tidak melalui uji ilmiah.100
Penerapan HKI atas suatu SDG harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat
hati-hati karena akan berdampak pada akses masyarakat terhadap SDG tersebut ke
depannya.

Akses dalam proses ABS di Indonesia bisa diselaraskan dengan mekanisme


akses ke penelitian sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 4.a. Hanya saja perlu
diperjelas bagaimana pengaturan tentang mekanisme akses terhadap SDG laut.

Bioprospecting: International Law, Indonesia and Sustainable Development,” (Thesis


submitted for the degree of Doctor of Philosophy of The Australian National University,
January 2013).
95 UNCBD, Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing
of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity, Nagoya 29
October 2010.
96 Prior informed consent adalah mekanisme yang mewajibkan pihak yang akan mengakses SDG
memberikan informasi yang cukup mengenai potensi dari SDG yang akan diakses kepada
pihak-pihak yang terkait/terdampak dan otoritas yang memberikan keputusan membuka
atau menurut akses agar mereka dapat memberikan keputusan yang didasarkan pada
pengetahuan menyeluruh. Lihat: Winter dan Kamau, op. cit., hlm. 9.
97 Mutually agreed terms adalah mekanisme negosiasi antara para pihak yang akan memberi
akses ke sumber daya gentik dengan pihak yang akan mengakses SDG tersebut untuk
mencapai sebuah kesepakatan pengaksesan (an access agreement, kadang dikenal dengan
material transfer agreement/perjanjian alih material). Lihat: Ibid.
98 Thomas Greiber, op. cit., hlm. 28.
99 Peter-Tobias Stoll,”Access to GRs and Benefit Sharing – Underlying Concepts and the Idea of
Justice” dalam Winter dan Kamau, op. cit.
100 Lihat catatan kaki 107.

130
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Pengaturan yang jelas mengenai kegiatan penelitian juga sangat penting untuk
menentukan dalam keadaan bagaimana sebuah klaim HKI atas hasil penelitian
diterima atau ditolak. Adapun akses terhadap SDG menurut CBD setidaknya harus
dilakukan sesuai dengan mengedepankan keamanan lingkungan, berdasarkan MAT
dan memenuhi syarat PIC. Dalam hal sampel hendak dibawa oleh peneliti, maka
harus didahului penyepakatan perjanjian alih material (Material Transfer agreement/
MTA).101

Komponen ABS yang sangat baru bagi peraturan perundangan di Indonesia


adalah komponen pembagian keuntungan (benefit sharing) dari akses ke SDG laut.
Hal yang perlu diperhatikan dalam mengatur pembagian keuntungan diantaranya
adalah102:

a. Pihak yang berhak mendapatkan pembagian keuntungan, yang baru bisa


dilakukan setelah jelas siapa pengampu (custodian) dari SDG laut.103

b. Penegasan prinsip adil dan berimbang dan pengejawantahannya dalam


pembagian keuntungan.

c. Pembagian keuntungan dengan masyarakat yang mempunyai pengetahuan


tradisional atas SDG laut atau yang telah melestarikan biota, spesies atau
ekosistem di mana SDG laut berada.104

d. Bentuk keuntungan, yang bisa berupa moneter105 atau non-moneter106.

101 Perjanjian alih material (Material Transfer Agreement/MTA) wajib dibuat antara pengakses
dengan pengampu SDG apabila pengakses hendak membawa sampel material genetik.
Biasanya MTA berisi perjanjian tentang objek yang hendak dibawa/diakses, keterangan
tentang para pihak (pengakses, pengampu, pemberi izin dan/atau penyedia), klausul
kesepakatan tentang akses dan pembagian keuntungan, hak dan kewajiban lain para pihak,
larangan mengalihkan ke pihak ketiga dan ketentuan lain sesuai dengan CBD dan Protokol
Nagoya. Lihat: CBD Secretariat, Bonn Guidelines on Access to Genetic Resources and Fair
and Equitable Sharing of the Benefits Arising out of their Utilization, (Montreal, 2002).
102 Ahmad Gusman Siswandi, “Kajian Terhadap Integrasi Rancangan Undang-Undang
Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber
Daya Genetik,” (Kajian yang disusun untuk pengembangan Naskah Akademik RUU
Konservasi Keanekaragaman Hayati, dipublikasikan terbatas, November 2015), hlm. 18-19.
Diolah kembali oleh penulis.
103 Misalnya untuk SDG laut pesisir bisa saja diampu oleh masyarakat pesisir yang terbukti
secara turun temurun memanfaatkan spesies tertentu yang material genetiknya menjadi
objek akses/penelitian. Namun untuk SDG laut yang belum pernah secara tradisional
dimanfaatkan, berdasarkan penguasaan negara sehingga pemerintah bertindak sebagai
pengampunya.
104 Idem.
105 Lihat Annex Protokol Nagoya.
106 Ibid.

131
ISNA FATIMAH

e. Kontribusi keuntungan bagi kegiatan konservasi dan pemanfaatan


berkelanjutan SDG laut.

Penentuan hal-hal tersebut ketika objeknya berupa SDG laut tentu jauh lebih
kompleks dari pada SDG yang ada di daratan. Kebanyakan negara yang sudah
mempunyai pengaturan tentang ABS yang mencakup SDG laut tidak mengatur
sekomprehensif pengaturan SDG di daratan.107 Demikian halnya dengan Indonesia,
meskipun sudah mempunyai beberapa pengaturan spesifik untuk pemanfaatan
SDG laut, namun pengaturan mekanisme ABS di Indonesia belum mumpuni.

Meningkatnya kesadaran akan pentingnya potensi SDG secara simultan diikuti


dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya menghargai peran pengetahuan
tradisional.108 Walaupun pengetahuan tradisional yang sudah teridentifikasi lebih
banyak terasosiasi dengan SDG daratan, bukan tidak mungkin ada pula pengetahuan
tradisional yang terasosiasi dengan SDG lautan, terutama bagi masyarakat pesisir.109
Pelindungan pengetahuan tradisional menjadi salah satu indikator terwujudnya
keadilan distributif sebagai bagian dari keadilan intra generasi, sekaligus menjadi
bekal pewujudan keadilan intergenarasi.

Pengakuan terhadap pengetahuan tradisional dalam bentuk kearifan


lokal secara umum sudah bisa ditemukan di beberapa peraturan perundang-
undangan.110 Namun pengaturannya belum terintegrasi dengan kebijakan lain,
misalnya yang berkaitan dengan pelindungan HKI. Jika merujuk pada peraturan
perundang-undangan bidang HKI, pengakuan terhadap pengetahuan tradisional
dan pelindungannya belum mendapat tempat. Selain itu, arahan agar pengetahuan
tradisional dimanfaatkan untuk tujuan pelestarian SDG belum terlihat.

Pelaksanaan ABS atas pemanfaatan SDG laut melibatkan berbagai kewenangan


yang diemban oleh berbagai instansi.111 Protokol Nagoya sendiri mengamanatkan

107 Alexander Proelss, ‘ABS in Relation to Marine GRs’ dalam Gerd Winter dan Evanson Chenge
Kamau, Genetic Resources, Traditional Knowledge and the Law: Solutions for Access and Benefit
Sharing, (London: Earthscan, 2009), hlm. 61.
108 Susete Biber-Klemm dan Danuta Szymuda Berglas, “Biodiversity and Traditional Knowledge:
Factual Background and Problems,” (World Trade Institute, University of Berne, and Faculty
of Law, University of Basel, Maiengasse, Switzerland), hlm. 3.
109 Penggunaan rumput laut untuk bahan pangan, minyak ikan untuk vitamin dan obat-obatan
merupakan beberapa contoh pemanfaatan SDA laut yang, dalam kondisi modern bisa
digunakankan untuk pemanfaatan lebih lanjut SDG.
110 Diantaranya: UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(dan perubahannya), UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (dan perubahannya), UU No.
32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
111 Meliputi setidaknya kementerian bidang kelautan dan perikanan (yang mempunyai

132
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

negara anggotanya menunjuk Competent National Authority112 dan National Focal


Point113 untuk memudahkan kerja sama antar negara sekaligus membantu
pelaksanaan ABS di tingkat nasional. Selain itu, Protokol Nagoya secara implisit
mengamanatkan negara mempunyai sistem basis data untuk inventarisasi hasil
penelitian (baik publikasi maupun material fisik) dan pengawasan kegiatan ABS
yang terhubung dengan Clearing House di sekretariat Protokol.114

V. Pelindungan SDG Laut

Meskipun desakan untuk pemanfaatan SDG melalui mekanisme ABS lebih besar,
satu hal yang tidak bisa dipinggirkan adalah konsentrasi pada upaya pelindungan
SDG laut. Dalam CBD, kegiatan pelindungan dilakukan melalui konservasi in situ
dan eks situ.115 Bicara mengenai konservasi secara in situ membutuhkan manajemen
pengelolaan yang integratif dan mensyaratkan pelindungan hingga skala ekosistem.
Sementara konservasi eks situ membutuhkan dukungan teknologi dan sistem basis
data yang sangat handal. Kegiatan konservasi ex situ dilakukan dengan pengelolaan
untuk memastikan agar pemanfaatan dilakukan secara berkelanjutan dan mampu
berkontribusi melindungi proses ekologi termasuk esensi keragaman genetiknya
demi keberlangsungan sumber daya alam.116

Pada prinsipnya semua negara wajib menjaga dan melestarikan lingkungan


laut.117 Menurut UNCLOS, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk
mengeksploitasi SDA, negara tetap berkewajiban menjaga serta melestarikan

kewenangan pengaturan SDG laut), kementerian bidang riset dan teknologi (untuk izin
penelitian), kementerian luar negeri.
112 Competent National Authority (CNA) adalah otorita yang mempunyai kewenangan terkait
ABS. Satu negara dapat mempunyai lebih dari satu CNA. Lihat Pasal 13 Protokol Nagoya.
113 National Focal Point (NFP) adalah otorita nasional yang bertindak sebagai penghubung antara
CNA dengan Sekretariat Protokol Nagoya dan/atau CBD. Lihat Pasal 13 Protokol Nagoya.
114 Clearing House adalah media pertukaran informasi terkait pelaksanaan ABS yang dibentuk
Protokol Nagoya. Lihat Pasal 14 Protokol Nagoya.
115 CBD membagi konservasi dalam dua cara yaitu in situ dan ex situ. Konservasi in situ adalah
konservasi ekosistem dan habitat alami serta pengelolaan dan pemulihan viabilitas populasi
spesies di lingkungan alaminya, serta, untuk spesies budidaya, di lingkungan di mana
mereka telah dibudidayakan. Sedangkan konservasi ex situ adalah konservasi atas komponen
keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya. Konservasi in situ untuk SDG laut biasanya
dilakukan di wilayah konservasi laut sementara contoh konservasi eks situ adalah konservasi
yang dilakukan di aquaria atau bank gen.
116 WCS, op. cit.
117 UNCLOS, op. cit., Pasal 192.

133
ISNA FATIMAH

lingkungan laut.118

Pemanfaatan SDG laut atas nama kebutuhan seluruh umat manusia tidak bisa
menegasikan konservasi. Di sisi lain, konservasi SDG laut tidak dapat dilakukan
hanya dengan pendekatan konservasi kawasan tertentu dengan paradigma menjaga
keaslian kawasan tanpa intervensi pengelolaan.119 Terlebih, sebuah pemahaman
yang kurang tepat bila pelaksanaan ABS hanya difokuskan untuk pemanfaatan SDG.
Padahal sejatinya ABS diharapkan menjadi gerbang bagi pewujudan konservasi.120

Pelindungan terhadap SDG laut merupakan pengejawantahan prinsip


intergenerasi yang konkrit. Tujuan pelindungan SDG laut, oleh karenanya adalah
untuk memastikan generasi mendatang bisa memanfaatkannya dalam keadaan
sebaik dan seasli yang tersedia di masa kini. Dengan berkembangnya teknologi
yang mampu mendeteksi tingkat keragaman genetik dan informasi sifat serta
manfaat di dalamnya, ada kemampuan untuk melakukan konservasi di luar habitat
(ex situ). Konservasi ex situ dilakukan untuk tujuan pemulihan kondisi spesies di
habitat alamnya.121 Konservasi ex situ SDG laut, selain untuk tujuan pemulihan
juga dibutuhkan untuk pemanfaatan secara optimal tanpa harus terus menerus
melakukan penelitian ke situs atau merusak keanekaragaman hayati di alam. Oleh
karenanya pelindungan SDG laut melalui konservasi eks situ sama pentingnya
dengan konservasi in situ.

5.a. Konservasi In situ

Konservasi in situ dilakukan berbasis pada kawasan lindung (protected area).122


Penjelasan ilmiah dari kebutuhan konservasi in situ atas SDG adalah bahwa

118 Ibid, Pasal 194. Lihat juga Pasal 196 ayat (1) UNCLOS: Berkenaan dengan kegiatan yang
menggunakan teknologi di laut termasuk di dalamnya penelitian ilmiah kelautan, semua
negara wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi dan
mengendalikan polusi, introduksi spesies, benda asing atau baru yang bisa menyebabkan
perubahan signifikan dan membahayakan/merusak di wilayah yurisdiksi/berada di bawah
kendalinya.
119 Menurut J. Berthaud, pengelolaan SDG tidak lepas dari tiga standar kegiatan yang dilakukan
secara linear yaitu pemanfaatan, evaluasi dan konservasi. Lihat: J. Berthaud, “Strategies
for conservation of genetic resources in relation with their utilization,” (Kluwer Academic
Publishers, Netherlands, 1997).
120 Preambule Protokol Nagoya: “Recognizing that public awareness of the economic value of ecosystems
and biodiversity and the fair and equitable sharing of this economic value with the custodians of
biodiversity are key incentives for the conservation of biological diversity and the sustainable use of its
components.” UNCBD, Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable
Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity, Nagoya
29 October 2010.
121 Pasal 9 huruf (c) CBD.
122 Pasal 8 huruf (a) CBD.

134
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

pelindungan atau preservasi123 keanekaragaman SDG hanya bisa dilakukan


selaras dengan pelindungan atau preservasi ekosistem dan spesies. Sebaliknya,
pelindungan atau preservasi keanekaragaman SDG ditujukan utamanya untuk
pemulihan ekosistem dan spesies.

Pengaturan tentang konservasi in situ untuk SDA hayati laut selain diatur
dalam UU 31/2004 dan UU 32/2014, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(UU 5/1990)124 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU 27/2007).125 Dengan adanya pengaturan
tentang hal yang sama dalam keempat UU tersebut, seyogianya kegiatan
konservasi dilakukan berkesinambungan. Namun yang terjadi adalah adanya irisan
kewenangan antara kementerian bidang kelautan dan perikanan (KKP)126 dengan
kementerian bidang pelindungan SDA hayati (KLHK)127, maupun pemerintah
daerah.128 Irisan kewenangan terutama terlihat dalam hal pelindungan spesies
dan SDG laut berupa biota bergerak.129 Tidak jarang hal ini menjadi penghambat
efektivitas upaya konservasi.

123 Preservasi merupakan serapan dari istilah dalam bahasa Inggris: preservation. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, preservasi diartikan sebagai: pengawetan; pemeliharaan; penjagaan;
perlindungan.
124 Indonesia (i), Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
UU No. 5 Tahun 1990, LN Tahun 1990 No. 49.
125 Indonesia (j), Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No.
27 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 84, TLN No. 4739.
126 Saat ini merupakan kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
127 Saat ini merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(sebelumnya merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan).
128 Sampai akhir tahun 2013, KKP telah mencadangkan Taman Nasional Perairan seluas
3.521.130,01 Ha dan memfasilitasi pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah
(KKPD) seluas 5.561.463,09 Ha. KKP juga telah menetapkan 8 kawasan konservasi yang
diserahterimakan dari Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK) dengan total luas
723.984,00 Ha. Kawasan Konservasi laut yang diinisiasi dan pengelolaannya berada di bawah
wewenanga KLHK seluas 4.694.947,55 Ha. Sehingga keseluruhan luas kawasan konservasi
perairan di Indonesia adalah 15.764.210,85 Ha. Lihat: KKP, “Informasi Kawasan Konservasi
Perairan Indonesia”, (Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan, 2013), hlm. 2.
129 Irisan kewenangan konservasi SDA hayati laut berpotensi menimbulkan konflik kewenangan.
Pada konservasi di tingkat jenis dan genetik, konflik sangat mungkin timbul. Pemicu konflik
diantaranya: (1) Adanya perbedaan daftar status pelindungan spesies maupun jenis spesies
yang dilindungi antara KKP dengan KLHK (Bandingkan: PP No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan Permen KP No. PER.03/MEN/2010 tentang
Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis); (2) Pembedaan kewenangan pengelolaan
konservasi kawasan berpotensi menyebabkan beberapa kawasan yang mempunyai nilai
konservasi tinggi namun belum ditetapkan menjadi tidak berpengelola. [Diolah oleh penulis].

135
ISNA FATIMAH

Penyebab terjadinya irisan kewenangan diantaranya: (1) UU 5/1990 bermaksud


mengatur konservasi baik di daratan maupun perairan (termasuk laut) akan tetap
UU 31/2004 dan UU 27/2007 mengatur kembali sebagai lex specialis untuk konservasi
di wilayah laut serta pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengaturan lebih khusus ini
tidak disertai mandat tegas tentang pembagian atau pengalihan kewenangan yang
semula ada pada KLHK ke KKP. (2) UU 31/2004 dan UU 27/2007 memberikan
kewenangan pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya bagi pemerintah pusat
yaitu KKP tetapi juga kepada pemerintah daerah. Sementara UU 5/1990 dan
turunannya hanya memberikan kewenangan bagi KLHK.

Adapun UU yang secara jelas menyebutkan adanya konservasi sampai


tingkat genetik adalah UU 31/2004: “Dalam rangka pengelolaan sumber daya
ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi
genetika ikan.”130 Pengaturan tentang konservasi ini kemudian dijabarkan dalam
pengaturan yang lebih teknis yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007
tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (PP 60/2007)131. PP 60/2007 mengatur
konservasi di tingkat ekosistem, jenis, sampai genetik serta kawasan konservasi
perairan132. Sayangnya, pengaturan tentang konservasi genetik belum cukup jelas
diatur. Pasal 29 ayat (1) PP 60/2007 hanya menyatakan bahwa konservasi sumber
daya genetik ikan dilakukan melalui upaya pemeliharaan, pengembangbiakan,
penelitian dan pelestarian gamet. Untuk upaya pemeliharaan, pengembangbiakan
dan penelitian untuk konservasi genetik diberlakukan mutatis mutandis ketentuan
mengenai konservasi jenis/spesies.133

Meskipun PP 60/2007 tidak secara eksplisit menyinambungkan konservasi


ekosistem dan spesies dengan konservasi SDG laut, upaya konservasi SDG laut
secara in situ dapat diwadahi dengan menjalankan aturan tentang konservasi

130 Pasal 13 ayat (1), UU 31/2004.


131 Pemerintah RI, Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, PP No. 60 Tahun
2007, LN No. 134, TLN No. 4779. Perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan sumber
daya ikan menurut UU 31/2004 dan turunannya adalah potensi semua jenis organisme yang
seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Artinya
mencakup semua organisme hidup yang ada dan/atau hidup di laut.
132 Pasal 1 angka 8 PP 60/2007: “Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi,
dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan
lingkungannya secara berkelanjutan.“
133 Pasal 29 ayat (2) PP 60 Tahun 2007.

136
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

ekosistem134 atau kawasan konservasi perairan135 dan jejaring kawasan konservasi


perairan.136 Walaupun dalam penormaannya, pertimbangan SDG laut sebagai
komponen yang perlu dilindungi di kawasan konsevasi perairan-pun tidak terlalu
jelas. Objek SDG laut hanya disebutkan sebagai salah satu kriteria penetapan zona
inti137 Akibatnya pejabat yang berwenang perlu menerjemahkan sendiri tentang
cara melakukan konservasi SDG laut secara in situ.

5.b. Konservasi Eks situ

Konservasi SDG secara ex situ dapat dilakukan melalui konservasi terhadap


spesies dan ekosistemnya atau konservasi terhadap material genetik menggunakan
teknologi tertentu. Konservasi terhadap spesies dan ekosistem yang dimaksud
merujuk pada konservasi di luar habitat alami spesies pada kawasan atau areal
tertentu dengan mengintegrasikan kegiatan konservasi keanekaragaman genetik.
Contohnya adalah kebun binatang dan kebun botani. Adapun konservasi material
genetik menggunakan teknologi tertentu biasanya dilakukan dengan koleksi genetik
melalui media laboratorium penyimpanan khusus. Contohnya adalah konservasi
melalui media penyimpanan in vitro, media penyimpanan DNA, dan bank gen.138

134 Pasal 6 ayat (1) PP 60 Tahun 2007 mengatur bahwa konservasi ekosistem dilakukan melalui
kegiatan perlindungan habitat dan populasi ikan, rehabilitasi habitat dan populasi ikan,
penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungna,
pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian dan/atau
monitoring dan evaluasi.
135 Kawasan konservasi perairan dapat berupa Taman Nasional Perairan, Suaka Alam Perairan,
Taman Wisata Perairan, dan Suaka Perikanan. Namun demikian, tidak ada juga penjelasan
atau pengaturan lebih lanjut tentang perbedaan perlakuan antara masing-masing jenis
kawasan tersebut. Pasal 8 ayat (2) PP 60/2007.
136 Jejaring kawasan konservasi perairan adalah kerja sama pengelolaan dua atau lebih
kawasan konservasi perairan secara sinergis yang memiliki keterkaitan biofisik (Pasal 1
angka 2). Jejaring kawasan konservasi perairan dibentuk berdasarkan keterkaitan biofisik
antar kawasan konservasi perairan disertai dengan bukti ilmiah yang berada pada suatu
hamparan ekoregion serta memiliki keterkaitan ekosistem (Pasal 2). Lihat: Menteri Kelautan
dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Jejaring Kawasan Konservasi
Perairan, Permen KP No. 13/Permen-KP/2014, BN Tahun 2014 No. 365.
137 Menurut PP No. 26 tahun 2008, peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Zonasi
Kawasan Konservasi Perairan menurut Permen KP 30/MEN/2010 adalah suatu bentuk
rekayasa teknik pemanfaatan ruang di kawasan konservasi perairan melalui penetapan batas-
batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses
ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan Ekosistem. Pasal 10 huruf g Permen KP
30/MEN/2010 mengatur: : “Zona inti ditetapkan dengan kriteria….g. mempunyai ciri khas
sebagai sumber plasma nutfah bagi Kawasan Konservasi Perairan.” Lihat: Menteri Kelautan
dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi
Kawasan Konservasi Perairan, Permen KP No. 30/MEN/2010.
138 FAO, 1998, p. 510. Glowka (c), hlm. 15.

137
ISNA FATIMAH

Pentingnya konservasi ex situ terutama untuk pemulihan keragaman genetik


pada in situ dan preservasi material genetik yang mempunyai manfaat bagi ketahanan
ekologi maupun kebutuhan hajat hidup manusia. CBD mengatur bahwa negara
anggota harus melakukan tindakan pemulihan dan rehabilitasi spesies terancam
punah dan melakukan pengaturan serta pengelolaan koleksi sumber daya hayati dari
habitat alami untuk konservasi ex situ.139

Konservasi ex situ harus dipandang sebagai upaya komplementer dari konservasi


in situ.140 Sehingga konservasi in situ wajib adanya, tidak bisa digantikan dengan
konservasi ex situ. Penegasan ini penting karena berkembang pandangan bahwa
konservasi yang harus lebih diutamakan adalah konservasi ex situ.141 Pandangan
seperti ini harus dihindari karena bisa menegasikan esensi dari konservasi itu
sendiri yaitu untuk preservasi kondisi bagi generasi mendatang.

Berdasarkan PP 60/2007, pengaturan tentang konservasi genetik ex situ terlihat


dari perintah untuk melakukan pelestarian gamet.142 Pelestarian gamet diartikan
sebagai pelestarian SDG dengan cara menyimpan sel pembiakan berupa sel
jantan (sperma) atau sel betina (ovum) yang dapat dilakukan dalam kondisi beku
(bank sperma).143 Penjelasan ini memberikan batasan yang tidak perlu mengingat
perkembangan teknologi pelestarian SDG ex situ sangat pesat sehingga bisa saja
kebutuhan konservasi ex situ tidak sebatas pelestarian gamet. Di samping itu, PP
ini tidak memberikan petunjuk tentang media yang digunakan untuk melakukan
konservasi ex situ pelestarian gamet.

Pada praktiknya, konservasi ex situ yang sudah ada sebagian besar dilakukan
untuk spesies panen serta spesies tumbuhan dan satwa terdomestikasi.144 Hal
ini karena kepentingan konservasi spesies terdomestikasi lebih dekat pada
pemanfaatan, baik pangan, pertanian, maupun kesehatan. Sementara pelindungan
spesies liar masih belum menjadi fokus. Penelitian-penelitian ilmiah terhadap
genetik dari spesies liar yang tidak berorientasi pemanfaatan sampai saat ini belum
dimonitor dengan sistem yang memadai.

Sejak diundangkannya UU 32/2014, mandat untuk membangun sistem


informasi dan data kelautan telah ada. Salah satu kategori sistem informasi dan

139 Pasal 9 huruf (c) dan (d) CBD.


140 Glowka (b), op. cit., hlm. 51.
141 Ibid, hlm. 52.
142 Pasal 29 ayat (1), PP 60/2007.
143 Penjelasan pasal 29 ayat (3), PP 60/2007.
144 Glowka (b), op. cit., hlm 52.

138
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

data kelautan dalam UU 32/2014 adalah pengelolaan sumber daya kelautan,


konservasi perairan dan pengembangan teknologi kelautan.145 Mandat ini
seharusnya dimanfaatkan untuk membangun sistem basis data yang mutakhir
untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang melibatkan SDG laut,
untuk menjadi bahan pertimbangan kebijakan dan pelaksanaan konservasi. Sistem
basis data juga menjadi prasyarat bagi konservasi ex situ. Paling tidak sistem ini
membantu pemerintah mengontrol dengan baik informasi tentang kondisi SDG
laut, jika modal pendanaan dan teknologi untuk membangun media konservasi ex
situ SDG laut belum mendukung.

VI. Kesimpulan

Kebutuhan akan pelestarian SDG laut menjadi salah satu prasyarat dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan serta mengejawantahkan komitmen
Indonesia di tingkat internasional terutama melalui UNCLOS dan CBD. Namun
di sana sini masih terdapat kekosongan hukum, di samping terdapat peraturan
perundang-undangan yang belum berkelindan dan fungsi kelembagaan yang
belum cukup koordinatif untuk mendukung upaya pelestarian SDG yang sesuai
dengan agenda pembangunan berkelanjutan.

Aspek hukum pertama yang penting untuk dicermati adalah penerjemahan


tentang penguasaan negara atas SDG laut dalam kewenangan pemerintah. Hal ini
menjadi prasyarat sekaligus landasan untuk menyusun kerangka pengaturan lebih
lanjut terkait pelestarian SDG laut sekaligus mempertegas sejauh mana masyarakat
berhak atas keuntungan dari pemanfaatan SDG laut.

Pada pemanfaatan SDG laut, pengaturan terkait penelitian ilmiah kelautan


atau bioprospecting yang sudah ada perlu diharmonisasikan dan diperkuat. Batasan
berupa hak masyarakat dan jaminan pelindungan lingkungan hidup dalam
melakukan kegiatan pemanfaatan SDG laut perlu lebih dipertegas. Akan tetapi
perlu juga diperhatikan bahwa peraturan yang dibuat atau diperbaiki tidak menjadi
penghambat semangat penelitian dan pengembangan, terutama bagi peneliti
domestik. Adapun pengaturan terkait ABS harus dipastikan melahirkan mekanisme
yang transparan dan akuntabel, di samping diarahkan untuk memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia.

145 Pasal 40 ayat (2) UU 32/2014.

139
ISNA FATIMAH

Pada pelindungan SDG laut, perlu ada penyelarasan antara tumpang tindih
kewenangan penyelenggaraan konservasi in situ. Pengaturan yang sudah ada juga
perlu diperkuat untuk mendukung konservasi ex situ yang mutakhir dan ditujukan
terutama untuk pemulihan keadaan lingkungan hidup dan ketahanan kesehatan
dan pangan. Sistem basis data yang memuat inventarisir kekayaan laut penting
dimiliki pemerintah untuk membantu optimalisasi pelaksanaan konservasi.

Secara singkat, kebutuhan dan tantangan dalam pelestarian SDG laut terletak
pada perlunya kerangka kebijakan integratif yang mengakomodir penerjemahan
penguasaan negara dan hak masyarakat atas pemanfaatan SDG laut, penguatan
koordinasi antar instansi yang mengemban fungsi terkait pelestarian SDG laut
dan kejelasan tentang pembagian kewenangan, serta penguatan dan harmonisasi
pengaturan tentang penelitian ilmiah kelautan atau bioprospecting, mekanisme ABS,
dan konservasi SDG laut baik in situ maupun ex situ.

140
Lampiran
PENGUASAAN NEGARA ATAS SDG LAUT MENURUT
UNCLOS DAN CBD
CBD Article 3, 4, 15

UNCLOS 1982

Internal Archipelagic Territorial


Waters Waters Sea
Exclusive Economic Zone
Sovereign Rights & Jurisdiction
Sovereignty

Waters
Sovereign Rights: exploring and exploiting, conserving and managing
the natural resources…[Art 56 Par. 1(a)]

141
Jurisdiction: …(ii) marine scientific research; (iii) the protection and
Sovereignty to exploit preservation of the marine environment… [Art. 56 Par.1(b)]
and management of both living and non-living Right to regulate, authorize and conduct marine scientific research [Art.
resources. 246]
Seabed Right to regulate, authorize and conduct marine Also : Art. 61, Art 253, Art. 246
scientific research. Giving express consent and set
conditions for foreign state which wish to conduct Continental shelf
marine scientific research in territorial sea. [Article Sovereign Right
245]
Exploring and exploiting its natural resources (Art. 77)
Right to regulate, authorize and conduct marine scientific research (Art.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

246)

Subsoil
Right to require the suspension of any marine scientific research
activities in progress within its CS (Art. 253)
Right to require the cessation of any marine scientific research
activities… (Art. 253 Par. 2 jo. Art. 248 & Art. 253 Par. 3 jo Par.1)
ISNA FATIMAH

Daftar Pustaka

Peraturan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

_______. Undang-Undang tentang Kelautan. UU No. 32 Tahun 2014. LN 2014 No. 294.
TLN No. 5603.

_______. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention on the


Law of the Sea, UU No. 17 Tahun 1985. (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut 1982).

_______. Undang-Undang tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan


Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. UU No. 18 Tahun 2002. LN 2002 No.
84. TLN No. 4219.

________. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological


Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati).
UU No. 5 Tahun 1994.

________. Undang-Undang tentang Perairan Indonesia. UU No. 6 Tahun 1996, LN


Tahun 1996 No. 73.

________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun


2004 tentang Perikanan. UU No. 45 Tahun 2009. LN 2009 Nomor 154.

________. Undang-Undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. UU No. 5 Tahun


1983.

Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang
Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan. Permen KKP No. Per.04/
MEN/2010

Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan., Permen KKP No.
23/PERMEN-KP/2015.

Pemerintah RI. Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. PP No. 60
Tahun 2007. LN No. 134. TLN No. 4779. PP 60/2007.

142
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Perjanjian Internasional

Convention on Biological Diversity Conference. Nagoya Protocol on Access to Genetic


Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization
to the Convention on Biological Diversity. Diadopsi pada 29 Oktober 2010.

United Nations. Convention on Biological Diversity. Rio de Jeneiro, 5 June 1992.

United Nations. United Nations Convention on the Law of the Sea. Montego Bay, 10
December 1982 (UNCLOS 1982).

Buku, Artikel dan Jurnal

Ayu, Miranda Risang, Harry Alexander dan Wina Puspitasari. Hukum Sumber Daya
Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia. PT
Alumni: Bandung, 2014.

Berthaud, J. “Strategies for conservation of genetic resources in relation with their


utilization.” Kluwer Academic Publishers, Netherlands, 1997.

Brown, Anthony H.D. Indicators of Genetic Diversity, Genetic Erosion and Genetic
Vulnerability for Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. Rome, 2008.

Correa, Carlos M. “Sovereign and Property Rights over Plant Genetic Resources.”
disampaikan dalam FAO background study paper No. 2. Commission on Plant
Genetic Resources, First Extraordinary Session. Roma, 7-11 November 1994.

FAO. Coping with climate change – the roles of genetic resources for food and agriculture.
Rome, 2015.

Fatimah, Isna. ”Hak Berdaulat atas Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan
dan Pertanian.” Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013.

Glowka, Lyle. “Genetic resources, marine scientific research and the international
seabed Area.” Vol 8 Issue 1 1999. Blackwell Publishers, Ltd: Oxford, 1999.

_______. “the Deepest of Ironies: Genetic Resources, Marine Scientific Research, and
the Area.” The University of Chicago, 1996.

_______. Et. al. A Guide to the Convention on Biological Diversity. International Union
for Conservation of Nature and Natual Law (IUCN), 1996.

143
ISNA FATIMAH

Greiber, Thomas. “Access and Benefit Sharing in Relation to Marine Genetic Resources
from Areas Beyond National Jurisdiction: A Possible Way Forward.” Bonn: BN
Federal Agency for Nature Conservation, 2011.

_______. Et. al.. An Explanatory Guide to the Nagoya Protocol on Access and Benefit-
Sharing. IUCN: Gland, Switzerland, 2012.

Gudmundsson, Eyjolfur. “Challenges of Marine Biodiversity.” Chicago: The


University of Chicago Press, 1998.

IUCN, World Conservation Strategy, IUCN-UNEP-WWF, 1980.

Kuehn, Robert R. “A Taxonomy of Environmental Justice.” Environmental Law Reporter


Vol. 30 p. 10681, 2000. Diakses dari Social Science Research Network: http://papers.
ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=628088 pada 5 Oktober 2015.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasiona., Ed. 2.


Alumni, Bandung, 2003.

Leary, David Kenneth. International Law and the Genetic Resources of the Deep Sea.
Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands, 2007.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia


2014. Pusat Penelitian Biologi LIPI: Jakarta, 2014.

Lubis, Efridani. “Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual
dalam Perspektif Perlindungan dan Pemanfaatan SDG Indonesia.” Disertasi:
Universitas Indonesia, 2009.

Parthiana, I Wayan. Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional. Bandung: CV


Mandar Maju, 2005.

Patricia, Annie Kameri-Mbote, Philippe Cullet. “The Management of Genetic


Resources: Developments In The 1997 Sessions of the Commission On Genetic
Resources For Food and Agriculture.” Colorado Journal of International
Environmental Law and Policy, 1997.

Proelss, Alexander. “ABS in Relation to Marine GRs” dalam Winter, Gerd dan
Evanson Chenge Kamau. Genetic Resources, Traditional Knowledge and the Law:
Solutions for Access and Benefit Sharing. London: Earthscan, 2009.

Salpin, S. Arico, C. Bioprospecting of Genetic Resources in the Deep Seabed: Scientific,


Legal and Policy Aspects. United Nations University-Institute of Advanced
Studies, 2005.

144
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Sands, Pilippe. Principles of International Environmental Law. 2nd Ed. Cambridge


University Press: New York, 2003,

Secretariat of the Convention on Biological Diversity. “Uses of Genetic Resources.”


UNCBS Factsheet, 2010.

Siswandi, Achmad Gusman Catur. “Marine Bioprospecting: International Law,


Indonesia and Sustainable Development.” Thesis submitted for the degree of
Doctor of Philosophy of The Australian National University, January 2013.

Syatauw, J.J.G. “Some Newly Established Asian States and the Development of
International Law.” The Hague, 1961.

United Nations. “Marine Scientific Research: A revised guide to the implementation


of the relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the
Sea.” New York: United Nations Division for Ocean Affairs and the Law of the
Sea Office of Legal Affairs, 2010.

Warner, Robin. “International Standards for Protection of the Marine Environment.”


diakses dari http://www.isa.org.jm/files/documents/EN/Workshops/2011/
Presentations/8_ RWarner.pdf pada 3 Juni 2015.

Winter, Gerd dan Evanson Chenge Kamau. Genetic Resources, Traditional Knowledge
and the Law: Solutions for Access and Benefit Sharing. London: Earthscan, 2009.

Zewers, Kirsten E. “Debated Heroes from the Deep Sea – Marine Genetic
Resources.” WIPO Magazine, April 2008. Diakses dari http://www.wipo.int/
wipo_magazine/ en/2008/02/article_0008.html pada 3 Juni 2015.

Lainnya

Arieta J.M., Arnaud-Haond, dan C.M. Duarte, “What Lies Underneath: conserving
the Oceans’ Genetic Resources.” dalam presentasi berjudul “Marine Biodiversity
and Gene Patents: Balancing the Preservation of Marine Genetic Resources
(MGR) and the Equitable Generation of Benefits for Society.” Mediterranean
Institute for Advanced Studies [IMEDEA], Spanish National Research Council
[CSIC], 2010.

Indonesian Center for Environmental Law dan Pusdiklat Teknis Peradilan


Mahkamah Agung RI. “Materi Ajar Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup.”
ICEL, 2014.

145
ISNA FATIMAH

Interridge. http://www.interridge.org/irvents/ventfields_list_all?page=1 , diakses


pada 26 September 2015.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Informasi Kawasan Konservasi Perairan


Indonesia.” Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan, 2013.

Kementerian Lingkungan Hidup. “Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia.”


Deputi Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 2013.

United Nations. “The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical
perspective).” Diakses dari www.un.org/Depts/los/convention_historical_
perspective.htm pada 5 Oktober 2015.

Zewers, Kirsten E. “Debated Heroes from the Deep Sea – Marine Genetic Resources,”
(WIPO Magazine, April 2008), diakses dari http://www.wipo.int/wipo_
magazine/en/2008/02/article_0008.html pada 3 Juni 2015.

146
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

U Ulasan
lasan PPeraturan
e r at u r a n

P ermen
Permen KPKP
No.N21/Permen-KP/2015
o .21/P ermen -KP/2015
tentang K emitraan
Kemitraan
tentang P engelolaan
Pengelolaan Kawasan
K awasan K onservasi
Konservasi P erairan
Perairan

Margaretha Quina

Pada 26 Juni 2015, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 21 Permen-
KP/2015 (“Permen KP No. 21/2015”) tentang Kemitraan Pengelolaan Kawasan
Konservasi Perairan diundangkan, delapan tahun setelah dimandatkan. Peraturan
ini merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Pasal 18 ayat
(1) menetapkan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, Pemerintah
atau Pemerintah Daerah dapat “melibatkan” masyarakat. Pelibatan masyarakat ini
dilakukan melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok
masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi,
lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.1

Munculnya peraturan ini telah membawa ragam reaksi dan ekspektasi dari
berbagai kalangan, terutama dalam kaitannya dengan perwujudan konservasi
yang merangkul, bukan menyingkirkan masyarakat. Tulisan ini bermaksud
menginformasikan materi muatan Permen 21/2015, dengan potensi maupun
kekurangannya, agar masyarakat dapat semaksimal mungkin mengawasi dan
mengambil bagian dalam pelibatan masyarakat dengan kemitran KKP. Tulisan
ini tidak dimaksudkan untuk secara mendalam membedah pemaknaan kemitraan
dalam hubungannya dengan teori pelibatan masyarakat.

Relevansi Aktual: Konservasi yang Merangkul,


Bukan Menyingkirkan

Dalam 8 (delapan) tahun interval tersebut, berbagai tekanan antara nelayan


tradisional, pelaku bisnis, maupun masyarakat adat dengan kawasan konservasi
telah mengemuka. Terdapat beberapa permasalahan aktual terkait dengan pelibatan

1 Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, PP No. 60 Tahun
2007, LN No. 134 Tahun 2007, TLN No. 4779. Lih: Pasal 18 ayat (1) dan (2).

147
MARGARETHA QUINA

masyarakat ini yang seharusnya dapat disikapi lebih baik dengan munculnya
Permen KP 21/2015 ini.

Pertama, ketidakpahaman nelayan tradisional mengenai hak dan kewajiban


dalam kawasan konservasi serta tata batas kawasan konservasi laut, yang
kerap berujung pada ancaman pidana terhadap nelayan tradisional di kawasan
konservasi. Tahun 2015 menyaksikan, di antaranya, 4 nelayan tradisional yang
mengambil terumbu karang ditangkap di kawasan konservasi perairan Pulau
Menjangan2 dan 3 nelayan tradisional di perairan Teluk Kelor Taman Nasional
Bali Barat (TNBB).3 Pemberitaan di media bersimpati atas kasus-kasus ini, di mana
beberapa nelayan, baik karena ketidaktahuan atau pilihan yang dibuat karena
“keterpaksaan” struktural, berujung di bui. Dalam JHLI Volume 2/1, salah satu
tulisan membahas tekanan konservasi ini, yang sayangnya, karena kemudahan
pembuktian dan lain-lain hal, cenderung berat kepada nelayan tradisional
dibandingkan perusahaan besar.

Kedua, praktek penangkapan ikan masyarakat lokal yang kurang ramah


lingkungan. Larangan praktek penggunaan bom ikan, bius dan pukat harimau
terkadang disikapi pengguna alat-alat tersebut dengan resistensi. Mengingat
dampak positif penggunaan alat-alat ramah lingkungan akan tampak dalam jangka
waktu menegah hingga panjang, misalnya dengan pulihnya hasil tangkapan
laut yang sensitif, tidak jarang resistensi ini disebabkan kurangnya pengetahuan
atau keyakinan pengguna alat akan kemanfaatan penggunaan alat-alat tersebut.
Contohnya, kemitraan yang terbangun antara masyarakat resisten dan Polres
Pangkajene baru tumbuh setelah pulihnya populasi cumi-cumi dan ikan tongkol
di perairan tersebut, sebagai hasil penegakan hukum yang konsisten atas larangan
penggunaan alat-alat tidak ramah lingkungan.4 Dengan beragam contoh baik yang
telah terbangun, resistensi ini dapat ditanggulangi dengan pembinaan masyarakat,
mengurangi porsi pemidanaan terhadap kasus-kasus yang sifatnya struktural
dan kuat dipengaruhi faktor edukasi, serta memanfaatkan kearifan lokal untuk
menjembatani larangan-larangan dalam konservasi.
2 Tribun Bali, 4 Nelayan Tradisional Ditangkap di Perairan Pulau Menjangan, 18 Agustus
2015, sumber: http://bali.tribunnews.com/2015/08/18/4-nelayan-tradisonal-ditangkap-di-
perairan-pulau-menjangan?page=2 diakses pada 20 Desember 2015.
3 Tribun Bali, Menangkap Ikan di Daerah Konservasi, Tiga Nelayan Tradisional Ditangkap, 25
Maret 2015, sumber: http://bali.tribunnews.com/2015/03/25/menangkap-ikan-di-daerah-
konservasi-tiga-nelayan-tradisional-ditangkap diakses pada 20 Desember 2015.
4 Kriminalitas.com, Cerita dari Pulau, Menangkap Nelayan Pengguna Jaring yang Merusak
Terumbu Karang, 3 Desember 2015, sumber: http://kriminalitas.com/cerita-dari-pulau-
menangkap-nelayan-pengguna-jaring-yang-merusak-terumbu-karang/ diakses pada 20
Desember 2015.

148
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Ketiga, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap kegiatan di pesisir dan/


atau laut yang berdampak langsung pada kawasan konservasi. Dengan total wilayah
konservasi laut di Indonesia yang mencapai 17,2 juta Ha,5 dibutuhkan sumber daya
yang luar biasa besar untuk memantau dan menindak semua pelanggaran hukum
di wilayah konservasi laut atau di wilayah penyangganya. Sayangnya, aparat
berwenang lebih banyak berfokus pada penindakan pelanggaran yang dilakukan
nelayan tradisional/masyarakat lokal dalam skala kecil dan individual dibandingkan
pelanggaran atau kejahatan oleh kapal penangkap ikan skala menengah/besar,
penambangan pasir ilegal, dan pengambilan terumbu karang dan/atau flora/fauna
dilindungi yang terorganisasi. Padahal, beberapa pembelajaran konkrit menunjukkan
pengawasan oleh masyarakat dapat membantu pemerintah melakukan fungsi
pengawasan dan penindakannya. Misalnya Kelompok Masyarakat Pengawas di
KKP Raja Ampat,6 yang diedukasi dan konsisten melakukan pengawasan, menegur
jika melakukan pelanggaran, dan melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada
masyarakat yang melakukan pelanggaran.7 Contoh baik lain di tahun 2015 datang
dari KKP Nusa Penida, di mana informasi warga setempat membantu UPT KKP
Nusa Penida menangkap kapal penangkap lobster di kawasan konservasi.8

Menelaah Materi Muatan Permen KP 21/2015:


Menjawab Permasalahan?

Dari sisi fungsi regulasinya, Permen KP 21/2015 memiliki keunikan karena


memformalisasi praktek-praktek kemitraan Pemerintah dengan masyarakat
yang telah tumbuh berdasarkan inisiatif, dan di saat yang bersamaan mencoba
memberikan insentif agar praktek-praktek kemitraan baru dapat muncul. Materi
muatan Permen KP 21/2015 terdiri atas 6 Bab, yang terdiri dari (i) ketentuan umum;
(ii) persyaratan kemitraan; (iii) mekanisme kemitraan; (iv) pembinaan, monitoring
dan evaluasi; (v) ketentuan lain-lain; dan (vi) ketentuan penutup.

5 Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Penambahan Luas Kawasan Konservasi Lampaui Target, 28 Oktober 2015, sumber:
http://www.djkp3k.kkp.go.id/index.php/arsip/c/438/?category_id=20 diakses pada 20
Desember 2015.
6 Antara Sulsel, Belajar Konservasi dari Raja Ampat, 28 April 2015, sumber: http://www.
antarasulsel.com/berita/64462/belajar-konservasi-dari-raja-ampat diakses pada 20 Desember
2015.
7 Ibid.
8 Berita Satu, Masyarakat Ikut Aktif Awasi Kawasan Konservasi Nusa Penida, 28 Juni 2015,
sumber:http://www.beritasatu.com/nasional/286446-masyarakat-ikut-aktif-awasi-
kawasan-konservasi-nusa-penida.html diakses pada 20 Desember 2015.

149
MARGARETHA QUINA

1. Memaknai Kemitraan

Dalam KBBI, kemitraan didefinisikan sebagai “perihal hubungan (jalinan


kerja sama dsb) sebagai mitra,” dengan arti mitra “(1) teman; sahabat; (2)
kawan kerja; pasangan kerja; rekan.” Sementara, dalam Permen KP 21/2015,
definisi kemitraan sendiri dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2), konsisten dengan
penjelasan Pasal 18 PP 60/2007, di mana dirumuskan beberapa karakteristik
kemitraan: (1) hubungan kerja sama; (2) antara dua pihak atau lebih; (3)
berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan.9 Namun,
sekalipun definisinya kemitraan jika dilihat secara terisolasi cukup baik,
memaknai kemitraan dalam Permen 21/2015 ini tidak lepas dari 2 kondisi: (1)
kemitraan dilakukan berdasarkan Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan
Konservasi Perairan,10 yang notabene disusun oleh Pemerintah; dan (2)
kemitraan dilakukan dalam skema Program Kemitraan Kawasan Konservasi
Perairan (“Program Kemitraan”), yang dapat diajukan oleh Pemerintah kepada
masyarakat ataupun sebaliknya.

Artinya, jika definisi tersebut diinterpretasikan dalam konteks keseluruhan


materi muatan Permen 21/2015, dapat disimpulkan satu hal: kemitraan yang
diatur dalam Permen KP 21/2015 ini bersifat programatis, terencana, formal,
dan berdasarkan hak dan kewajiban yang lebih rigid. Kemitraan ini hanya
terbatas pada program yang telah direncanakan pemerintah, yang dalam
perencanaannya sendiri kerap dikritik kurang melibatkan masyarakat, atau
hanya melibatkan kelompok-kelompok yang memiliki akses / previlege lebih
besar untuk mempengaruhi kebijakan. Di dalamnya, terdapat unsur birokrasi
yang kental. Pemaknaan terminologi “kemitraan,” yang berhubungan erat
dengan mandat “melibatkan” masyarakat dalam PP 60/2007, sayangnya,
tereduksi menjadi hubungan kontraktual untuk melaksanakan program
pemerintah dalam Permen 21/2015 ini. Hal ini sedikit berbeda dengan inisiatif-
inisiatif kemitraan yang sudah berjalan saat ini, yang banyak tumbuh dari
kesukarelaan masyarakat dan bersifat cair, hingga pada akhirnya beberapa
diadopsi dalam program terencana oleh Pemerintah.

9 Indonesia (a), Op.Cit., Pasal 18 bagian Penjelasan.


10 Sementara itu, Program Kemitraan Kawasan Konservasi Perairan (“Program Kemitraan”)
didefinisikan dengan unsur sbb: (1) rencana; (2) yang memuat kegiatan-kegiatan kemitraan;
(3) sesuai dengan rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan. Lih: Menteri
Kelautan dan Perikanan RI, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI tentang Kemitraan
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Permen KP No. 21/Permen-KP/2015, BN No. 952
Tahun 2015.

150
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Dengan perumusan yang ada sekarang, terdapat satu prasyarat yang harus
disadari pemerintah agar program-program kemitraan dalam Permen 21/2015
ini benar-benar terlaksana secara bermakna: pemerintah perlu menyadari,
menganalisis dan menjawab beberapa permasalahan-permasalahan di atas
dalam menyusun Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi
Perairan. Dengan demikian, di sinilah masyarakat perlu untuk mencurahkan
energinya untuk “melibatkan diri” sesuai dengan prosedur yang ada dalam
perencanaan pengelolaan dan zonasi KKP, sebagaimana tertuang dalam Permen
KP No. 30 Tahun 2010.11 Dengan kesadaran bahwa “kemitraan” yang digaung-
gaungkan hanya dapat berfungsi dengan baik jika RPZ KKP dirumuskan
dengan baik, masyarakat memiliki dua kali kesempatan konsultasi publik
untuk memastikan permasalahan-permasalahan riil dapat masuk dalam poin-
poin rencana pengelolaan, sehingga nantinya masyarakat dapat mengajukan
usulan kemitraan sesuai dengan permasalahan yang ada.

2. Mengantisipasi Penyalahgunaan Pelibatan Masyarakat

Hal lain yang perlu diantisipasi adalah oknum-oknum yang mengatas


namakan masyarakat dalam implementasi program. Sebagaimana dielaborasi
dalam Pasal 3, terminologi “masyarakat” dalam Permen 21/2015 ini
mencakup unsur kelompok masyarakat, masyarakat adat, LSM, korporasi,
lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Salah satu fitur Permen 21/2015
yang mengakomodasi fungsi antisipasi ini adalah persyaratan-persyaratan
yang dibebankan kepada berbagai unsur agar dapat terlibat dalam program
kemitraan.

Dalam pasal 4, ditentukan persyaratan unsur-unsur tersebut agar dapat


terlibat dalam program kemitraan. Persyaratan-persyaratan tersebut terdiri
atas: (i) Persyaratan yang bersifat legal formil yang mensyaratkan kelengkapan
dokumen yang dibutuhkan; (ii) Persyaratan substantif terkait kecakapan dan
akuntabilitas calon mitra dan/atau program yang telah dijalankan.12 Dalam

11 Menurut Permen KP No. 30 Tahun 2010, tahapan penyusunan rencana pengelolaan kawasan
konservasi perairan jangka panjang dan jangka menengah serta zonasi kawasan konservasi
perairan meliputi: (1) pembentukan kelompok kerja; (2) pengumpulan data dan informasi;
(3) analisis; (4) penataan zonasi kawasan konservasi perairan; (5) penyusunan rancangan
rencana jangka panjang dan rencana jangka menengah; (6) konsultasi publik pertama; (7)
perumusan zonasi dan rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan; (8) konsultasi
publik kedua; dan (9) perumusan dokumen final. Lih: Menteri Kelautan dan Perikanan RI,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi
Kawasan Konservasi Perairan, Permen KP No. 30 Tahun 2010.
12 Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Op. Cit., Pasal 3.

151
MARGARETHA QUINA

Permen 21/2015 ini, persyaratan yang lebih mengemuka justru persyaratan-


persyaratan formil, sementara kriteria kecakapan dan akuntabilitas atau kinerja
riil calon mitra yang telah berkontribusi terhadap konservasi kurang diberi
porsi dibandingkan dengan persyaratan formil. Untuk persyaratan formil &
substantif masing-masing unsur, dapat dilihat di tabel sbb:

Unsur Syarat Substantif Syarat Formil


1. Kelompok Tinggal di dalam atau KTP atau surat keterangan
masyarakat dan di sekitar kawasan dari Kepala Desa/Lurah
masyarakat adat konservasi

2. LSM
a. LSM provinsi Berada di sekitar --
atau kabupaten/ kawasan konservasi
kota perairan
b. LSM nasional Memiliki program 1. Memiliki kesepakatan
terkait konservasi dan bersama dengan
pengelolaan sumber Kementerian untuk KKP
daya ikan nasional;
2. Memiliki kesepakatan
bersama dengan Pemda
Provinsi untuk KKP
Provinsi.
3. Berbadan hukum
Indonesia.
c. LSM asing Memiliki program 1. Memiliki kesepakatan
terkait konservasi dan bersama dengan
pengelolaan sumber Pemerintah;
daya ikan 2. Terdaftar di Kementerian
Luar Negeri
3. Korporasi 1. Tidak sedang dalam --
proses hukum; dan/
atau
2. Tidak termasuk
dalam daftar
peringkat hitam
program PROPER

4. Lembaga penelitian
a. Dalam negeri -- Memiliki izin penelitian dan
pengembangan perikanan
dengan objek yang memiliki
karakteristik unik
b. Asing -- Memiliki izin penelitian dari
instansi yang berwenang
5. Perguruan Tinggi

152
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

a. Perguruan Memiliki program 1. Memiliki kesepakatan


tinggi nasional terkait konservasi dan bersama dengan
pengelolaan sumber kementerian untuk
daya ikan kawasan KKP nasional;
2. Memiliki kesepakatan
bersama dengan
pemerintah daerah
provinsi untuk KKP
daerah provinsi;
3. Perguruan tinggi negeri
atau berbadan hukum
Indonesia.

Jika dilihat dari syarat-syarat di atas, adanya program terkait konservasi dan
pengelolaan sumber daya ikan yang dilakukan oleh masyarakat hampir selalu
menjadi syarat, kecuali bagi unsur kelompok masyarakat dan masyarakat adat,
unsur LSM provinsi atau kabupaten/kota, korporasi dan lembaga penelitian
(dalam negeri dan asing).

Dengan demikian, bagi unsur masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam


program kemitraan KKP ini, penting untuk memastikan syarat formil – yang
kerap terlupa karena kesibukan substantif – terpenuhi. Pengawasan terhadap
ketaatan terhadap syarat substantif maupun formil dari masyarakat yang
terlibat dalam program kemitraan ini juga penting untuk dilakukan, untuk
mengantisipasi adanya oknum-oknum yang merekayasa kemitraan demi
kepentingan pihak tertentu, misalnya seperti dikenal dengan LSM plat merah
atau plat kuning. Bagi masyarakat yang melakukan inisiatif dengan mekanisme
yang cair, dapat mempertimbangkan pelibatan sebagai unsur “masyarakat
dan/atau masyarakat adat” dibandingkan membentuk LSM. Permen 21/2015
ini memberikan alternatif yang cukup fleksibel bagi para pihak untuk memilih
kapasitasnya dalam kemitraan.

3. Membangun Kapasitas Masyarakat

Salah satu pemegang kepentingan dalam kemitraan KKP adalah


masyarakat pesisir dan masyarakat adat. Kemitraan dalam Permen 21/2015
akan berinteraksi langsung dengan mereka, sehingga pendekatan mekanisme
kerja dan kesepakatan dengan masyarakat juga memerlukan cara-cara yang
sesuai dengan mekanisme, kapasitas dan keadaan sosiologis di lokasi tersebut.
Terlepas dari perdebatan antropologis mengenai tepat tidaknya penggunaan
pendekatan rigid-birokratis bagi masyarakat di tingkat akar rumput, hal ini

153
MARGARETHA QUINA

menunjukkan pentingnya informasi mengenai kemitraan ini disampaikan


dalam bentuk yang semudah-mudahnya dipahami masyarakat. Informasi
tersebut perlu menjangkau serta mampu mengajak masyarakat untuk
beradaptasi dengan prosedur yang ditetapkan. Jika memungkinkan, Pemerintah
dapat melakukan inovasi-inovasi yang dapat mempermudah masyarakat dan
meningkatkan kapasitasnya dalam perencanaan program, pemahaman hak
dan kewajiban dalam perjanjian kemitraan, akuntabilitas, dsb.

Proses kemitraan KKP yang mencakup (1) Usulan Program Kemitraan, baik
dari pemerintah maupun masyarakat; (2) Pembuatan dan penandatanganan
Perjanjian Kemitraan; serta (3) Pembinaan, monitoring dan evaluasi –
mensyaratkan kapasitas manajerial dan kesekretariatan di level akar rumput.
LSM dapat dan perlu berperan mendampingi masyarakat dalam hal-hal yang
bersifat administratif ini. Kesadaran dan kehati-hatian dalam berkontrak juga
perlu dipahami oleh masyarakat. Dengan mekanisme seperti ini, masyarakat
perlu betul-betul memahami hak dan kewajiban dalam kemitraan, dan keadaan-
keadaan yang dapat menyebabkan salah satu pihak wanprestasi.

Penutup

Permen KP 21/2015 dapat bermanfaat sebagai peraturan yang dapat membawa


dampak positif untuk memotivasi konservasi yang merangkul, bukan menyingkirkan
masyarakat. Hal ini hanya dapat dicapai dengan syarat pelibatan masyarakat telah
dilaksanakan sejak awal, bukan hanya di dalam pelaksanaan program. Perencanaan
RPZ KKP perlu menyadari sepenuhnya isu-isu sebagaimana dipaparkan di bagian
pertama tulisan ini. Selain itu, pemerintah perlu memetakan inisiatif-inisiatif baik
di level akar rumput agar program-program dapat melibatkan aktor-aktor yang
memang berkualitas, representatif dan dapat melakukan perubahan. Masyarakat
sendiri perlu tetap mengawasi pelibatan yang mencurigakan dan menggunakan
tekanan publik untuk mengarahkan pemerintah ke insiatif-inisiatif yang baik.
Terakhir, masyarakat (khususnya masyarakat pesisir dan masyarakat adat) perlu
mendapatkan informasi yang lebih memadai serta peningkatan kapasitas untuk
menjembatani birokrasi program kemitraan ini dengan tetap mempertimbangkan
situasi dan kondisi di akar rumput.

154
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

A n a lAnalisis
isis Ran c a n g a n PPeraturan
Rancangan Perundang-undangan
Perundang-undangan
e r at u r a n

MMengeluarkan
engeluarkan AAturan
turantentang
tentang

TindakTPidana
indak P idana L ingkungan
Lingkungan H idup
Hidup dari dari R ancangan
Rancangan K itab
Kitab Undang-Undang
U ndang -U
Hukum H ukum P idana
ndangPidana

Muhnur Satyahaprabu dan Raynaldo Sembiring1

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini sedang


dibahas oleh panitia kerja (Panja) komisi III DPR RI. Rencana revisi KUHP yang
sudah lebih dari 30 tahun digagas akhirnya mulai menunjukan perkembangannya.
Salah satu materi baru dalam RKUHP adalah materi mengenai tindak pidana
lingkungan hidup yang diatur dalam Buku II pada Bab VIII, mulai Pasal 389 sampai
Pasal 390. Sekilas terlihat bahwa RKUHP telah mengalami perubahan dengan
mengakomodir aturan tentang tindak pidana lingkungan hidup yang sebelumnya
bahkan tidak dikenal dalam KUHP. Hanya saja, perubahan ini tidak menjawab
permasalahan lingkungan hidup yang saat ini terjadi.

Masuknya tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP tentunya tidak


lepas dari beberapa kritik. Pertama, aturan tentang tindak pidana lingkungan
hidup dalam RKUHP akan sulit untuk diimplementaskan, karena aturan tersebut
juga telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009). Kedua,
pengaturan aturan tentang tindak pidana lingkungan hidup yang hanya berdiri
sendiri, mengabaikan fakta yang saat ini eksis bahwa kejahatan lingkungan hidup
sangatlah terkait dengan kejahatan di bidang sumber daya alam (SDA) seperti
kehutanan, pertambangan, perkebunan, perikanan, kelautan, keanekaragaman
hayati, dsb. Kedua poin di atas menjadi kritik utama bagi pengaturan norma tindak
pidana lingkungan hidup dalam RKUHP yang akan dibahas dalam tulisan ini.

1 Muhnur Satyahaprabu, S.H. adalah Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana.
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Raynaldo Sembiring, S.H. adalah Peneliti dan
Deputi Program Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).

155
MUHNUR SATYAHAPRABU dan RAYNALDO SEMBIRING

Sulitnya Mengatur Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Dalam perancangan awalnya, RKUHP memiliki semangat dengan menganut


mazhab kodifikasi tertutup. Hal ini berarti seluruh aturan tentang tindak pidana
seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana
narkotika dan sebagainya akan diatur dalam KUHP yang baru. Khusus untuk tindak
pidana lingkungan hidup, tentunya akan timbul pertanyaan mengenai bagaimana
eksistensi aturan tindak pidana dalam UU 32/2009?

Jika mengacu kepada Pasal 63 ayat (2) KUHP, disebutkan bahwa “Jika suatu
perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana
yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.” Ketentuan ini juga diatur
kembali dalam Pasal 144 ayat (2) RKUHP yang saat ini dibahas oleh panja yang
berbunyi: “Jika suatu perbuatan diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana
khusus maka hanya dikenakan aturan pidana khusus.”

Asas yang dimaksud dalam ketentuan di atas dikenal dengan lex specialis derogat
legi generalis, yang berarti aturan hukum yang lebih khusus mengenyampingkan
aturan hukum yang lebih umum. Seandainya RKUHP disahkan dengan tetap adanya
aturan tentang tindak pidana lingkungan hidup, maka tindak pidana lingkungan
dalam UU 32/2009 mengenyampingkan aturan tentang tindak pidana lingkungan
hidup dalam KUHP. Jika sudah dapat diprediksi bahwa aturan tindak pidana dalam
UU 32/2009 yang akan digunakan, apa yang menjadi urgensi RKUHP mengatur
tentang tindak pidana lingkungan hidup?

Selain itu, aturan tentang tindak pidana lingkungan dalam RKUHP saat ini
hanya mengatur sebagian kecil aturan tentang tindak pidana dalam UU 32/2009.
Hal ini dapat dipahami karena UU 32/2009 memiliki karakteristik delik yang khas.
UU 32/2009 tidak hanya mengenal jenis delik materiil dan formil saja, tetapi juga
ada jenis delik lainnya yang diatur pada Pasal 111, Pasal 113, Pasal 114, dan Pasal
115. Kekhasan ini membuat sulitnya untuk dilakukannya kodifikasi tertutup untuk
tindak pidana lingkungan hidup.

Urgensi Untuk Mengeluarkan Aturan Tentang


Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tindak pidana lingkungan hidup


bukanlah merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, dimensi kejahatan

156
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

lingkungan sangat erat kaitannya dengan kejahatan sumberdaya alam. Hal ini
tercermin dari inisiatif pemerintah SBY terdahulu yang memperkenalkan pendekatan
multi-door dalam penegakan hukum di bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup (SDA-LH). Pendekatan multi-door tersebut telah dinternalisasi kepada
beberapa instiutsi melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU)
6 (enam) Kementerian/Lembaga.. Pendekatan multi-door merupakan pendekatan
penegakan hukum atas rangkaian/gabungan tindak pidana dengan menggunakan
undang-undang terkait di bidang SDA-LH dan undang-undang lainnya seperti
undang-undang tipikor, undang-undang pajak, dsb.

Pernyataan di atas mengandung arti bahwa RKUHP seharusnya juga


mengakomodir aturan tindak pidana SDA lainnya. Namun hal ini akan menjadi
permasalahan tersendiri, karena sulitnya mengategorisasikan delik-delik yang ada
pada UU 32/2009 dan undang-undang SDA lainnya. Merujuk pada suatu kajian
Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) yang belum dipublikasikan, dari
6 (enam) undang-undang di bidang SDA-LH (Lingkungan Hidup, Perkebunan,
Kehutanan, Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Kelautan,
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Pertambangan) didapatkan temuan
bahwa sangat sulit untuk dilakukannya kodifikasi tertutup, karena banyaknya
kategori jenis delik formil dalam keenam undang-undang tersebut. Selain itu,
terdapat juga beberapa konflik aturan antara undang-undang tersebut. Konflik
aturan ini kerap menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum. Hal ini
tentunya merupakan kekacauan sendiri yang seharusnya diselesaikan terlebih
dahulu sebelum dikodifikasi ke dalam RKUHP.

Permasalahan berikutnya yang cukup filosofis terkait dengan aturan tentang


tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP, yaitu RKUHP belum mengatur
lingkungan hidup sebagai subjek hukum yang harus dilindungi. Sebagaimana
diketahui, dalam penegakan hukum lingkungan telah lama dikedepankan posisi
lingkungan hidup sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk dilindungi.
Salah satu dasar pendukung atas argumentasi ini dapat dilihat bahwa jenis sanksi
pidana dalam RKUHP belum mengatur jenis sanksi yang khas dalam tindak pidana
lingkungan yaitu jenis sanksi pemulihan fungsi lingkungan.

157
MUHNUR SATYAHAPRABU dan RAYNALDO SEMBIRING

Penutup

Langkah pemerintah dan DPR yang saat ini membahas RKUHP patut
didukung sebagai upaya melakukan pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Namun, khusus untuk aturan tentang tindak pidana lingkungan hidup sebaiknya
dikeluarkan dari RKUHP. Catatan-catatan yang telah disampaikan menjadi salah
satu saran agar RKUHP menganut mazhab kodifikasi terbuka seperti kondisi yang
terjadi saat ini.

158
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Ulasan Buku

HHukum
ukum S umber
SumberD aya
DayaGGenetik,
enetik , PPengetahuan T radisional
engetahuan Tradisional

DanEEkspresi
dan kspresi BBudaya
udaya TTradisional
radisionalDi I ndonesia
diIndonesia

Isna Fatimah

Penulis : Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M, Ph.D


Harry Alexander, S.H., M.H., LL.M.
Wina Puspitasari, S.H.
Judul Buku : Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di
Indonesia

Penerbit : PT. Alumni

Kota terbit : Bandung

Waktu terbit : Cetakan ke-1 tahun 2014

Jumlah halaman : 459 halaman (termasuk 16 halaman dengan huruf romawi)

ISBN : 978-979-414-178-6

Telaah tentang mekanisme pelindungan sumber daya genetik menjadi


tuntutan yang sifatnya cukup mendesak bagi Indonesia. Sebagai negara yang

159
ISNA FATIMAH

mendapat julukan mega-diversity country, sumber daya genetik dari biota endemik di
Indonesia menjadi sasaran penelitian dan pengembangan baik untuk kepentingan
ilmu pengetahuan maupun pemanfaatan. Tidak jarang Indonesia menjadi korban
pemanfaatan sumber daya genetik yang tidak bertanggung jawab seperti biopiracy.
Pelindungan sumber daya genetik di Indonesia sendiri memiliki keunikan karena
terdapat beberapa jenisnya yang secara tradisional dan turun-temurun sudah
dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, Indonesia juga kental dengan
keragaman Ekspresi Budaya Tradisional yang sangat dekat atau terinspirasi dengan
alamnya, sehingga memiliki keterkaitan juga dengan nilai dari sumber daya
genetik. Indonesia juga menjadi anggota dari berbagai komitmen internasional
berkenaan dengan Sumber Daya Genetik yang secara otomatis juga mengaitkan isu
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional diantaranya Convention
on Biological Diversity dan UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible
Cultural Heritage of Mankind 2003.

Tujuan dari penulisan buku “Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan


Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia” pada dasarnya
adalah memberikan penjelasan tentang kerangka hukum sumber daya genetik,
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang telah ada di Indonesia.
Tidak berhenti di situ, dengan menggali lebih dalam makna dan tujuan mendasar
dari berbagai jenis hukum yang hidup di Indonesia, hukum internasional, serta
membandingkan dengan pelaksanaan di negara lain terkait bidang Sumber Daya
Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (SDGPTEBT),
buku ini memberikan beberapa rekomendasi kebijakan dan pengaturan dalam
bingkai pemenuhan hak ekonomi masyarakat, hak-hak komunal dan hak budaya
yang dikontekstualisasikan sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Sebagai karya ilmiah di bidang hukum, buku ini memberikan perspektif


mengenai penilaian atas norma yang sudah berlaku dengan kebutuhan pelindungan
hak-hak masyarakat yang mempunyai pengetahuan tradisional atau ekspresi
budaya tradisional atas sumber daya genetik. Dengan demikian, pendekatan
penelitian dilakukan melalui analisis bahan hukum primer, dalam hal ini terbatas
pada hukum positif yang berlaku terkait dengan SDGPTEBT, hak asasi manusia
(terutama hak masyarakat adat), hak kekayaan intelektual, dan penguasaan sumber
daya alam. Selain itu buku ini juga merujuk pada bahan hukum sekunder termasuk
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber
Daya Genetik, RUU tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual

160
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, dan RUU tentang


tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Buku ini disusun oleh tiga penulis yang masing-masing berpengalaman


dalam menggeluti isu terkait perlindungan hukum sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional di kancah akademis maupun praktis. Masing-masing
penulis berpengalaman dalam mendalami isu tersebut dengan pendekatan yang
berbeda namun saling melengkapi. Penulis pertama mempunyai spesialisasi utama
di bidang hukum kekayaan intelektual, penulis kedua mempunyai spesialisasi
utama di bidang hukum energi dan sumber daya alam sementara penulis ketiga
spesialisasi utamanya pada hukum adminsitrasi negara.

Adapun anatomi substantif buku ini terdiri dari sepuluh Bab yaitu:

1. Pendahuluan

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Sumber Daya Genetik, Pengetahuan


Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional

3. Ketentuan Hukum Terkait Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional


dan Ekspresi Budaya Tradisional

4. Jenis-Jenis Perlindungan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan


Ekspresi Budaya Tradisional

5. Kepemilikan dan Penerima Manfaat

6. Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional, dan Ekspresi


Budaya Tradisional

7. Akses dan Pembagian Keuntungan

8. Kelembagaan

9. Strategi Perlindungan Pengetahuan Tradisional di Peru, Afrika Selatan dan


India

10. Studi Kasus

Kemudian di bagian lampiran dimuat tabel perbandingan pengaturan tentang


pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam hayati yang sudah ada di Indonesia
berdasarkan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable
Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity
(Protokol Nagoya).

161
ISNA FATIMAH

Pada awal penjelasan, dipaparkan tentang pengertian dari SDGPTEBT


berdasarkan gagasan ahli yang relevan baik dari kalangan akademisi maupun
negosiator di tingkat internasional. Selanjutnya dipaparkan berbagai peraturan
perundang-undangan Indonesia yang pengaturannya memiliki keterkaitan
dengan SDGPTEBT. Meskipun belum banyak pengaturan yang spesifik tentang
SDGPTEBT, namun banyak dari peraturan perundang-undangan yang dipilih
telah mengatur tentang hak masyarakat adat atas sumber daya alam ataupun
pengetahuan tradisional. Keberpihakan bagi pemenuhan hak-hak masyarakat
adat atas pemanfaatan SDGPTEBT terlihat dalam buku ini. Namun demikian, di
antara semua peraturan perundang-undangan yang dianggap memiliki keterkaitan
dengan SDGPTEBT, buku ini belum membahas Undang-Undang No. 16 Tahun 2014
tentang Desa (UU Desa) yang dianggap memberikan warna baru dalam konstelasi
peraturan yang bermaksud melindungi hak-hak masyarakat secara umum. Hal ini
dapat dimaklumi karena pengundangan UU Desa dilakukan pada tahun yang sama
dengan tahun terbit buku ini. Pada bagian ketentuan hukum ini juga dipetakan
instrumen hukum internasional yang mempengaruhi pengelolaan SDGPTEBT yang
dikelompokkan dalam 3 (tiga) bagian yaitu: hukum hak asasi manusia, hukum hak
kekayaan intelektual, dan hukum sumber daya alam dan lingkungan.

Buku ini memberikan gambaran tentang pilihan jenis-jenis perlindungan


SDGPTEBT yang bisa menjadi rekomendasi bagi langkah awal pengambilan
kebijakan oleh pemerintah. Adapun rekomendasi yang diberikan hanya sampai
pada penjabaran hasil diskursus akademis, tidak bermaksud melakukan persuasi.
Selain itu, rekomendasi juga tidak sampai pada hal-hal yang bersifat terlalu teknis
karena masing-masing jenis perlindungan disajikan pada tatanan deskriptif-objektif.

Komposisi pembahasan tentang pengetahuan tradisional, hak kebudayaan


dan hak-hak komunal masyarakat adat terlihat paling menonjol dalam buku
ini dibandingkan tentang sumber daya genetiknya sendiri. Hal ini dikarenakan
perspektif yang dipilih penulis adalah bagaimana pemanfaatan sumber daya genetik
mendatangkan keuntungan bagi masyarakat adat atau lokal di Indonesia yang
mempunyai hak berdasarkan mekanisme ABS. Buku ini telah mencoba menganyam
titik temu antara sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual dengan pengetahuan
tradisional dan/atau hak kebudayaan. Adapun dalam Bab mengenai ABS, penulis
memberikan beberapa ide tentang indikator yang harus dipenuhi dalam menyusun
peraturan nasional tentang ABS di Indonesia. Satu ide yang paling menonjol adalah
pemisahan antara izin akses dan izin pemanfaatan sumber daya genetik serta
perjanjian pemanfaatan sebagai syarat pengajuan perjanjian pemanfaatan.

162
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

“Perjanjian pemanfaatan dilakukan dalam rangka permohonan


izin pemanfaatan terhadap Pengetahuan Tradisional. Untuk melakukan
penyusunan perjanjian pemanfaatan, pihak pengguna terlebih
dahulu telah memiliki izin akses. Untuk menindaklanjuti informasi
yang diperoleh dari kegiatan akses tersebut ke dalam suatu kegiatan
pemanfaatan, pihak pengguna harus memiliki izin pemanfaatan.
Dalam permohonan izin pemanfaatan, disyaratkan adanya perjanjian
pemanfaatan yang dilakukan oleh pihak pengguna dengan komunitas
sumber dengan bantuan lembaga pemerintah terkait. Perjanjian
pemanfaatan merupakan dokumen yang harus disertakan dalam
permohonan izin pemanfaatan…” (hlm. 226).

Penjelasan selanjutnya dalam buku ini lebih dititikberatkan pada perlindungan


yang berkaitan dengan hak-hak ekonomi dari pemanfaatan SDGPTEBT bagi
masyarakat adat atau lokal. Sebagian besar substansinya berbicara tentang
pembagian keuntungan sebagai umpan balik dari perlindungan pengetahuan
tradisional dan hak-hak komunal di bidang hak kekayaan intelektual. Unsur
pelindungan SDG sebagai komponen lingkungan hidup tidak banyak dibahas.
Dapat dikatakan pendekatan yang dipilih penulis lebih bersifat antroposentris.
Buku ini memosisikan Indonesia sebagai si terwajib dalam pelaksanaan komitmen
internasional bidang akses dan pembagian keuntungan karena komitmen tersebut
pada akhirnya akan mendatangkan keuntungan, melalui mekanisme Akses dan
Pembagian Keuntungan (Access and Benefit Sharing/ABS). Hal ini terlihat dalam
penjelasan tentang kepemilikan dan penerima manfaat dari pemanfaatan SDGTPEBT
serta akses dan pembagian keuntungan. Akibatnya, buku ini belum merangsang
kepekaan pembaca akan urgensi pelestarian sumber daya genetik di Indonesia
yang hingga saat ini sudah mengalami degradasi hebat hingga berkontribusi pada
perusakan lingkungan hidup.

Secara garis besar, buku ini sangat bermanfaat untuk mendapatkan pemahaman
tentang hukum yang berkaitan dengan SDGPTEBT, meskipun tidak sampai pada
pelindungan SDG sebagai komponen pendukung integritas lingkungan hidup.
Sampai saat ini buku “Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia” menjadi satu-satunya buku
berbahasa Indonesia yang secara spesifik mengangkat isu sumber daya genetik
dan membandingkannya dengan regulasi dan kebijakan yang sudah berlaku di
Indonesia. Meskipun tentunya untuk mendapat pemahaman komprehensif tentang
isu SDGTKEBT tidak bisa tanpa membaca literatur lain terutama yang disusun oleh

163
ISNA FATIMAH

United Nations, Food and Agriculture Organization, dan World Intellectual Property
Organization.

164
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

P e d o m a n P e n u l i s a n

J
urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan yang
diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) sebagai
upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum lingkungan
dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia
ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara Negara, kalangan
LSM serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan permasalahan tata kelola
sumber daya alam.

Tema dan Topik

JHLI Volume 3 Issue 1, Juli 2016, bertema:


“Kembali Mengawal Pencemaran:
Menjaga Kualitas Tanah, Air dan Udara Bumi Pertiwi”

Beberapa topik* yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema tersebut
adalah: (1) Pencemaran air (mencakup sungai, danau, air tanah); (2) Pencemaran laut
(mencakup pencemaran laut bersumber dari daratan/kapal laut); (3) Pencemaran
udara; (4) Pencemaran bahan beracun dan berbahaya; (5) Pengelolaan sampah dan
limbah; (6) Pencemaran pada makhluk hidup (termasuk pencemaran persisten
melalui rantai makanan pada ikan/binatang/tumbuhan).

Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih
pertanyaan kunci berikut:

1. Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan


dalam tataran norma?

2. Bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi dalam mengimplemen-tasikan


norma hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan?

3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan


hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?

*) Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk


mempermudah penulis dalam memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik apa
saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup tema besar.

ix
PEDOMAN PENULISAN

Prosedur Pengiriman**

Untuk Vol. III Issue 1 (Juli 2016), Penulis diharapkan mengirimkan abstrak
sebelum 15 Februari 2016 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi asal;
(3) nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis yang
naskahnya yang diterima. Naskah final diterima redaksi paling lambat 30 April 2016.

Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik


maupun melalui pos. Pengiriman melalui surat elektronik ditujukan ke jurnal@icel.
or.id dengan di-cc ke margaretha.quina@icel.or.id. Pengiriman melalui pos disertai
dengan tulisan “Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia” di sudut kiri atas amplop,
ditujukan ke alamat berikut:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)


Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
DKI Jakarta

Pemilihan Tulisan

Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan


dengan aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para peneliti
ICEL. Redaksi akan menghubungi penulis yang abstraknya diterima selambat-
lambatnya pada 29 Februari 2016.

Pemilihan tulisan akhir melalui penelaahan formil dan plagiarisme oleh


Redaksi, yang dilanjutkan dengan penelaahan substantif oleh Sidang Redaksi
yang terdiri dari para peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat
akan diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat
akan diberikan notifikasi pada tanggal 30 Mei 2015 dan merupakan hak penulis
sepenuhnya. Sidang Redaksi dapat meminta penulis untuk melakukan perbaikan
substansi maupun teknis terhadap tulisannya.

Persyaratan Formil

1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).
Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam satu alinea.
Abstrak mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil
dan kesimpulan;

x
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan
EYD dengan kalimat yang efektif;

3. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin


kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times
New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraph,
dengan panjang naskah 4000 – 5000 kata (tidak termasuk abstrak, catatan kaki,
daftar pustaka);

4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan
keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah
daftar pustaka;

5. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya


namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai
keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki;

6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.
Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring;

7. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki atau


catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan dalam poin
7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.

8. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk


memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote)
mengikuti ketentuan:

a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge


University Press, 2007), hlm. 342 – 344;

b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8, Edisi ke-5,


(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201 – 208;

c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der


Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003),
hlm. 7;

d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar Harapan, 15


Januari 2014;

e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”, http://


www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

xi
PEDOMAN PENULISAN

Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:

a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law. Cambridge: Cambridge


University Press.

b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in Water Resources


Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd Conference of
the International Association for Water Law (AIDA). Alicante, Spain: AIDA,
December 11-14.

c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History of Civil


Society,” dalam Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of
British Columbia Press.

d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi: Analisis
Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi, Volume 3,
Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup.

f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15


Januari 2014.

g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http://


www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Panduan lebih detail dalam hal pengutipan akan diberikan Redaksi untuk
Abstrak yang diterima.

9. Identitas penulis meliputi:

a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis)

b. Asal institusi penulis

c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai nomor telepon,


handphone dan fax, serta alamat e-mail

**) Tidak berlaku bagi Penulis dengan Undangan

xii

Anda mungkin juga menyukai