Skripsi Tentang Ekologi Kristen Islam
Skripsi Tentang Ekologi Kristen Islam
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
GILANG RAMADHAN
NIM: 1112032100017
Kata Kunci:
Krisis Ekologi, Islam, Kristen, Teologi dan Etika
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Krisis
Ekologi Perpektif Islam dan Kristen di Indonesia”. Shalawat dan salam
semoga senantiasa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarga dan para sahabatnya.
Penulisan skripsi ini penulis ajukan sebagai salah satu syarat meraih gelar Sarjana
Agama pada Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dimana selama penulisan karya ilmiah ini bebas tidak lepas
dari peran berbagai pihak. Oleh karena itu, tak bisa terelakkan rasa bahagia ini
bukan hanya karena jerih payah penulis sendiri, melainkan banyak peran berbagai
pihak yg turut mendukung terselesaikannya karya ilmiah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
berbagai belahan negara di dunia, tidak hanya negara maju, negara berkembang
dan miskin pun ikut merasakan hal serupa. Adanya ancaman akan datangnya
manusia akan sangat sulit dibendung oleh keserakahan manusia. Hal itu terjadi
ledakan populasi, penggurunan atau erosi tanah, naiknya permukaan air laut,
makanan sehari-hari yang beracun, dll. Krisis ini merupakan problem akut
Krisis ekologi ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah peristiwa alami
yang terjadi di alam ini, karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari
1
Amirullah, “Krisis Ekologi; Problematika Sains Modern” dalam Jurnal Lentera, vol.
XVIII, no. 1, tahun 2015, h. 4.
2
mengganggu sistem keseimbangan kehidupan. Hal ini sejalan dengan teori para
lain, bencana-bencana ekologi yang terjadi di bumi ini berkorelasi erat dengan
dan sesuatu yang tumbuh alami berubah menjadi kacau dan sering berakhir
menjadi bencana. Hal itu menjadi bahan evaluasi, inspirasi dan sekaligus
motivasi bagi para pemikir.3 John F. Haught, seorang guru besar teologi
humanisme, dan saintisme yang mengisi ruang hampa yang telah ditinggalkan
2
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, (London: George Allen, dan Unwin
Ltd, 1981), h. 97.
3
Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 9.
4
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog, (Jakarta:
Mizan, 2004), h. 327.
3
pada tingkah laku manusia.5 Sebagaimana yang baru terjadi, ikan paus yang
penggurunan atau erosi tanah, naiknya permukaan air laut, longsor, banjir, gizi
buruk, kuman dan virus penyakit-penyakit baru, pencemaran air laut, radiasi
dll. Krisis ini merupakan problem akut yang membutuhkan perhatian besar
setiap individu.7
Ekologi secara etimologi berasal dari kata oikos berarti rumah tangga
atau tempat tinggal, dan logos berarti ilmu.8 Pengertian ekologi secara
5
Supardi, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, (Jakarta: Alumni, 1996), h. 123.
6
Michael Hangga Wismabarata, “5 Fakta Kematian Paus di Wakatobi”, diambil dari
www.regional.kompas.com 22 Nopember 2018. Diakses pada 16 Januari 2019.
7
Amirullah, “Krisis Ekologi; Problematika Sains Modern” dalam Jurnal Lentera, vol.
XVIII, no. 1 (2015), h. 4.
8
Resosoedarmo, Soedjiran, dkk, Pengantar Ekologi, (Bandung: Remadja Karya Cv,
1984), h. 1.
4
yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya dan
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya. 9
inilah yang dibidik ekologi. Dengan demikian, lingkungan dan makhluk yang
tentang keadaan lingkungan hidup atau studi tentang hubungan makhluk hidup
kesatuan.11
memiliki konsep atau gagasan yang membahas terkait krisis ekologi. Gagasan
tersebut tidak hanya bersifat doktrinal, akan tetapi juga menjadi bahan atau
pedoman dalam menangani isu-isu ekologis. Selain itu, baik Islam maupun
9
Ahmad Suhendra, “Menelisik Ekologis dalam al-Qur’an”, Jurnal Esensia vol. XIV
No. 1 April 2013.
10
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 1.
11
Pius A. Partanto & M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,
t.th.t), h. 131.
5
terlihat dari Ensikli Laudato Si yang dikeluarkan Paus Fransiskus pada tanggal 18
Juni 2015 lalu. Paus mengajak semua warga bumi ini untuk mencintai dan
merawat bumi sebagai tempat tinggal yang sudah begitu rusak lingkungannya.
dengan melawan budaya konsumeris. Keserakahan dan gaya hidup menjadi akar
Kontribusinya dalam persoalan ekologi dan lingkungan hidup tertata rapi dan
12
Noer Fauzi Rachman, Panggilan Tanah Air (Yogyakarta: INSIST Press, 2017), h.
xxxvi.
13
Nota Pastoral KWI, Panggilan Geraja Dalam Hidup Berbangsa (Jakarta: Penerbit
Obor, 2018) h. 36.
14
Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyyah, Teologi Lingkungan, h. ii.
6
sistematis dari buku panduan hingga struktur dan kinerja di lapangan ketika
isu ekologi seperti Akhlak Lingkungan, Fiqh Air, Teologi Lingkungan, Panduan
Shadaqah Sampah, dan buku Aksi Hijau di Kantor diterbitkan pada tahun 2011.
Sisi lain terhadap persoalan yang sama, Islam juga mendorong perhatian
khusus terhadap air, berdasarkan sejumlah ayat dalam Al-Qur’an yang membahas
Air pada 30 Maret 2013 di UMY. Hasil seminar tersebut diolah menjadi buku
khilafah yang menjelaskan pilihan Allah dan kesediaan manusia untuk menjadi
menjaga kepercayaan atau amanah yang telah diberikan oleh Allah tersebut.
15
Izzatul Mardhiah, Rihlah Nur Aulia, dan Sari Narulita, “Konsep Gerakan Ekoteologi
Islam Studi Atas Ormas NU Dan Muhammadiyyah” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. 10. No.
1, Universitas Negeri Jakarta (2014), h. 83.
16
Sejumlah ayat Al-Qur’an memuat beberapa kata yang terkait langsung dengan air;
hujan (44 ayat), sungai (54 ayat), laut (28 ayat), mata air (23 ayat). Lihat Al-Qur’anul Karim, Terj.
KEMENAG (2016).
17
Yance Arizona dan Ibnu Sina Chandranegara, “Jihad Berkonstitusi: Muhammadiyah
dan Perjuangan Konstitusional Melawan Komodifikasi Air” dalam Jurnal Wacana No. 35, Insist
Press (2017), h. 35.
7
menata alam. Terakhir yaitu tujuan tertinggi dari perlindungan alam dan
makhluk) baik dalam kehidupan masa kini (di dunia) maupun kehidupan di masa
menghayati iman kepada Tuhan dalam sikap penghargaan dan hormat terhadap
alam ciptaan itu sendiri yang dipahami sebagai ciptaan Tuhan. Di hadapan krisis
ekologi yang ada, maka harus diakui adanya persoalan iman dan moral.19
Baik Islam maupun Kristen secara tidak langsung memiliki gagasan yang
mirip dalam membahas persoalan ekologi. Jika dipahami dari awal hingga akhir,
baik Islam dan Kristen memiliki pemahaman didasari dengan ketauhidan dan
diakhiri dengan tujuan berupa keselamatan atau kebahagiaan. Oleh karena itu,
Peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai “Krisis Ekologi dalam
studi perbandingan antara Islam dan Kristen. Untuk membuat efektif dalam
penelitian ini maka penulis membatasi penelitiannya pada ranah krisis ekologi
bagaimana konsep ekologi dalam Islam dan Kristen? Bagaimana pandangan Islam
18
Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah, Teologi Lingkungan, h. 36.
19
Sani Lake, “Memulihkan Keutuhan Ciptaan; Refleksi Teologis Ekologi dalam
Pembebasan” dalam Jurnal Sepakat Vol. 02 No. 2 tahun 2016, h. 212.
8
Kristen.
D. Tinjauan Pustaka
Perspektif Islam dan Hindu” ditulis oleh Teguh Irawan, Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Penelitian ini terfokus pada
alam sebagai sesuatu yang hidup dan harus dijaga bersama. Dari kedua
9
2. Jurnal dengan judul “Konsep Gerakan Ekoteologi Islam: Studi Atas Ormas
dan Sari Narulita, Universitas Negeri Jakarta tahun 2014. Penelitian tersebut
oleh Amirullah dalam Jurnal Lentera, Vol. XVIII, No. 1, Juni 2015. Penelitian
Hasil penelitiannya dapat dipahami bahwa kriris ekologi yang terjadi tak dapat
20
Teguh Irawan, “Peran Manusia Terhadap Lingkungan Hidup dalam Perspektif Islam
dan Hindu” dalam Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2016.
21
Izzatul Mardhiah, Rihlah Nur Aulia, dan Sari Narulita, “Konsep Gerakan Ekoteologi
Islam; Studi Atas Ormas NU dan Muhammadiyah” dalam Jurnal Studi al-Qur’an Vol. 10, No. 1
Universitas Negeri Jakarta, tahun 2014.
10
terelakkan dari peradaban modern yang parsial dan reduksionis terhadap alam,
Dari ketiga penelitian di atas terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian
persoalan ekologi maupun konservasi alam, dalam hal ini sama-sama fokus
Peneliti berfokus pada gagasan atau konsep yang digagas oleh Kristen dan Islam
dalam menjawab krisis ekologi. Terdapat perbedaan yang sangat spesifik dengan
penelitian gerakan eko-teologi dalam jurnal di atas, yakni Peneliti konsern dalam
konservasi alam, sedangkan dalam jurnal lebih menekankan pada bentuk gerakan
serta program kerjanya. Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatakan baru dan
original.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
prosedur statistik atau cara-cara lain dari pengukuran. Penelitian kualitatif secara
pemikiran, sejarah, tingkah laku, aktivitas sosial, dan lain-lain. Analisis isi
22
Lihat Amirullah, “Krisis Ekologi; Problematika Sains Modern” dalam Jurnal Lentera.
11
ekologi dan konservasi alam yang dibahas oleh Kristen maupun Muhammadiyah.
2. Pendekatan Penelitian
karya-karya teologi berdasarkan studi internal dan eksternal. Dalam penelitian ini,
peneliti akan berusaha secara aktif melihat keunggulan Islam dan Kristen
terhadap wacana lingkungan. Pola ini disebut dengan studi internal. Kemudian
peneliti juga akan melakukan kajian terhadap Islam dan Kristen tersebut
berdasarkan ukuran serta wawasan peneliti. Pola ini disebut dengan studi
eksternal.
peneliti berharap objek (Islam dan Kristen ) berbicara tentang dirinya sendiri
hingga diketahui dengan benar dan jelas inti sari objek tersebut.
membandingkan kedua objek penelitian, dalam hal ini Islam dan Kristen . Peneliti
serta perbedaan antara pandangan Islam dan Kristen dalam melihat lingkungan. 24
3. Sumber Penelitian
23
Dadang Rahmad, Metode Penelitan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 102.
24
Media Zainul Bahri, “Wajah Studi Agama-Agama” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h. 20-29.
12
sumber primernya diambil dari buku Teologi Lingkungan dari Islam, Agama
Doktrin dan Peradaban karya Nurcholish Madjid dan buku Teologi dan Ekologi
buku-buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, dan disertasi yang tidak berhubungan
4. Pedoman Penelitian
Akademik tahun 2012” yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penelitian
Dalam skripsi ini akan dibahas dengan lima (5) bab. Berikut rinciannya:
latar belakang masalah, batasan dan rumusan, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, dan
sistematika penulisan.
mengenai pengertian umum, ruang lingkup serta bentuk-bentuk dari ekologi dan
saran. Kesimpulan berisi mengenai jawaban atas rumusan masalah yang telah
dibuat. Adapun saran-saran berisi saran untuk penelitian selanjutnya yang ingin
BAB II
EKOLOGI DAN KRISIS EKOLOGI
A. Pengertian Ekologi
Pengertian ini dapat dipahami melalui pemaknaan etimologi ekologi yang berasal
dari bahasa Latin dan terdiri dari dua suku kata, yakni oikos dan logos. Oikos
berarti lingkungan, sedangkan logos adalah ilmu. Maka jika disimpulkan menjadi
ilmu tentang lingkungan atau ilmu tentang tempat tinggal. 2 Untuk memahaminya,
tentang proses interelasi dan interpedensi antar organisme dalam satu wadah
lingkungan dan makhluk yang ada di dalamnya merupakan objek kajian ekologi. 5
1
Pusat Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Kemendikbud,
2008), h. 376.
2
Soedirman Resosoedarmo dkk, Pengantar Ekologi, (Bandung: Remadja Karya Cv,
1984), h. 1.
3
Ramli Utina dan Dewi Wahyuni, Ekologi dan Lingkungan Hidup, h. 11.
4
S.J. Mcnaughton & Larry. L, Ekologi Umum, terj. Sunaryono Pringgoseputro,
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1992), h. 1.
5
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 1.
15
lingkungan hidupnya.6
dalamnya. Ke duanya merupakan titik utama dalam memahami secara utuh apa
saja yang dibahas dalam ekologi. salah satu gambarannya adalah melukiskan
kecenderungan problem kemanusiaan global yang makin terkait satu sama lain
dan dimensi kehidupan itu sendiri. Hal ini bermula pasca renaisans yang ditandai
menduduki posisi tertinggi di tengah jagad semesta ini, manusia berbeda dengan
makhluk-makhluk lain di alam ini bahkan terpisah dari alam. Kesadaran ini
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan, terdapat tiga kata kunci
ekologi mendasar pada persoalan hubungan timbal balik antar makhluk hidup
6
Ahmad Suhendra, “Menelisik Ekologis dalam al-Qur’an”, Jurnal Esensia vol. XIV No.
1 April 2013.
7
Mehdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al Qur’an, (Jakarta: Mizan), h. 6.
8
Soedjiran Resosoedarmo, dkk, Pengantar Ekologi, h. 1.
16
dalam satu ekosistem atau lingkungan. Dengan kata lain, terdapat dua hal yang
yang erat baik untuk dimanfaatkan untuk manusia maupun demi kelestarian alam.
Oleh karena itu perlu diusahakan agar tetap terciptanya keteraturan yang bertujuan
tentang kedudukan manusia sebagai subjek atas alam ini. Keberadaan alam ini
yang berimbas mengancam manusia itu sendiri. Atas dasar inilah, pembahasan
secara global, karena mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, mulai dari
polusi air yang mengakibatkan banyak manusia tidak dapat lagi menikmati dan
memanfaatkan aliran sungai akibat limbah industri, polusi air laut yang
9
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, h. 24.
17
semua umat manusia untuk mengembalikan dunia pada ekosistem ekologi yang
sebagai salah satu penyebab benana, maka cakupan definisi bencana menjadi
sema kin kompleks. Bencana mencakup hal, bencana alam, hingga kesehatan
manusia.
bagi manusia.
setiap individu. Barangkali terdapat suatu permasalahan yang kendati kita cari
jalan keluarnya maupun kita abaikan begitu saja jalan keluarnya, tetap tidak
ekologi adalah perubahan. Kepasifan dan keaktifan kita dalam persoalan ekologi
ekologis yang tengah terjadi, jika kita abaikan akan semakin mengancam
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2003), h. 76.
11
Amirullah, “Krisi Ekologi dan Problematika Sains” dalam Jurnal Lentera, Vol. XVIII
No. 1. Juni 2015, h. 3.
18
menemukan makanan yang cukup untuk bertahan hidup. Sejak itu, tiga perubahan
budaya utama telah terjadi. Pertama adalah revolusi pertanian, yang dimulai
10.000-12.000 tahun yang lalu ketika manusia belajar bagaimana menanam dan
membiakkan tanaman dan hewan untuk makanan, pakaian, dan tujuan lain.
tahun yang lalu ketika orang menemukan mesin untuk produksi barang-barang
skala besar di pabrik. Ini melibatkan belajar bagaimana mendapatkan energi dari
bahan bakar fosil, seperti batu bara dan minyak, dan bagaimana menanam
teknologi baru untuk mendapatkan akses cepat ke lebih banyak informasi dan
sumber daya dalam skala global. Setiap perubahan budaya ini memberi kami lebih
banyak energi dan teknologi baru yang dapat digunakan untuk mengubah dan
mengendalikan lebih banyak planet ini untuk memenuhi kebutuhan dasar kami
tapak ekologis, akan membutuhkan lahan sekitar lima planet bumi lagi untuk
seluruh dunia untuk mencapai tingkat konsumsi AS saat ini dengan teknologi
12
G. Tyler Miller dan Scott E. Spoolman, Essentials of Ecology, (USA; Brooks/Cole,
2009), h. 13.
19
yang ada. Dengan kata lain, jika setiap orang mengonsumsi sebanyak yang
dilakukan orang Amerika pada umumnya, modal alami bumi hanya dapat
mendukung sekitar 1,3 miliar orang — bukan 6,7 miliar hari ini. Dengan kata lain,
kita hidup tak terduga dengan menipiskan dan merendahkan sebagian modal alam
bumi yang tak tergantikan dan pendapatan yang dapat diperbarui alami yang
disediakannya ketika jejak kaki ekologis kita tumbuh dan menyebar ke seluruh
permukaan bumi. 13
nilai dalam dirinya sendiri. Karena itu martabat alam patut dihargai dengan
penghormatan, atas alam melalui perilaku yang menjaga dan memelihara alam
dan lingkungan hidup yang dihuni manusia. Perubahan paradigma dibentuk dalam
sampai pada tataran moral yang tidak terbantahkan bahwa manusia hidup dalam
ekosistem.14
mengenai hubungan timbal balik dalam satu ekosistem. Adanya manusia, alam
dan lingkungan yang ada disekitarnya menjadi bagian utama dalam diskursus
ekologi. permasalahan inilah yang menjadi kajian utama menurut Miller bahwa
jejak kehidupan manusia membawa pada persoalan dampak yang serius terhadap
13
Miller dan Spoolman, Essentials of Ecology, h. 16.
14
A. Sony Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2002, hlm 119.
20
manusia. Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang perlu ditegaskan dalam
didasarkan pada ilmu biologi, akan tetapi objek kajiannya mencakup persoalan
lingkungan tidak terbatas pada persoalan kehidupan bilogis dalam satu ekosistem,
akan tetapi juga berhubungan dengan hubungan yang terjadi dalam ekosistem
tersebut. Oleh karena itu ekologi justru tidak hanya menjadi bagian dari
lingkungan, tetapi juga membahas hal-hal yang terdapat dalam lingkungan hidup.
Hal mendasar yang perlu dipahami dalam kajian ekologi adalah asas dasar
ilmu ekologi yang timbul dari ilmu lingkungan hidup (enviromental science).
dan kompetensinya akan teknologi, seni dan budaya. Ilmu lingkungan membahas
berlebihan.16
persoalan lingkungan yang bersifat natural atau alam. Sebagaimana Pada ekologi
15
Kementerian Lingkungan Hidup, Dasar-Dasar Ekologi, (Jakarta: Kementrian
Lingkungan Hidup, 2009), h. 4.
16
Ramli Utina dan Dewi Wahyuni, Ekologi dan Lingkungan Hidup, h. 13-14.
21
pengertian ekosistem yang masih alami. Alam atau ekosistem sudah berkembang
menjadi lingkungan hidup yang terdiri atas lingkungan hidup alami, lingkungan
kehidupan manusia. Alam raya merupakan jaringan yang terdiri dari berbagai
kekuatan yang komplek serta rumit, tidak bisa berdiri sendiri. Seluruh bagiannya
bersatu menyeluruh, dan manusia adalah bagian dari alam tersebut. Manusia
adalah bagian dari segalanya yang ada dalam alam, sebaliknya, segalanya adalah
bagian dari alam. Oleh karena itu, perspektif yang harus diambil dalam membahas
persoalan alam harus bersifat menyeluruh, tidak bisa hanya mengambil dari sudut
pandang kepentingan pribadi atau kelompok. Bumi adalah rumah bagi manusia
merawatnya.18
global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara
global.19 Oleh karena itu, perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Tidak
bisa disangkal bahwa sebagai kasus lingkungan yang terjadi sekarang ini baik
17
M. Soerjani, “Ekologi Manusia dan Alam Semesta” dalam Modul Biologi, h. 12.
18
Reza A.A Watimena, Tentang Manusia; Dari Pikiran, Pemahaman Sampai
Perdamaian Dunian, (Yogyakarta: Maharsa, 2016), h. 137-140.
19
Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, h. 4.
22
Manusia dianggap di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan manusia
dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap
alam. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan prilaku eksploitatif tanpa
kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak
mempunyai nilai pada dirinya sendiri, dan alat pemuas kepentingan manusia. 20
Inti utama dari sikap dan perilaku manusia terhadap alam semesta serta kehidupan
dipengaruhi oleh paradigma berfikir kita tentang hakikat alam semesta dan
organisme di pandang sebagai mesin yang terdiri dari bagian- bagian yang
terpisah. Akibatnya maka akan bermuara pada kematian hubungan segitiga, yaitu
matinya hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan
organisme yang hidup dibumi. Pada tahun 1920an, ekolog mulai memusatkan
pada hubungan antar jaringan atas dasar jaringan pakan (mata rantai makanan).
Namun, mata rantai makanan ternyata menjadi siklus yang tidak bisa kembali.
Siklus ini juga menggambarkan adanya saling terhubung satu sama lain dan
membentuk jaringan pangan atau jaring kerja keterkaitan pangan. Dalam konteks
20
Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, h. 8.
23
manusia, jaringan pangan menjadi lebih kompleks, karena satu sisi manusia
sebagai makhluk yang tunduk pada hukum biologis, satu sisi sebagai makhluk
sosial yang memiliki nilai, norma dan budaya. Dengan kata lain, manusia sebagai
bagian dari sistem ekologi tidak hanya menjadi bagian dari siklus pangan tersebut,
manusia merupakan pusat dari sistem alam semesta. Sebaliknya alam semesta
dianggap tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri selain nilai
manusia.22
dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung
atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Manusia
saja yang pantas memiliki nilai. Manusia adalah di atas segala-galanya, supra
organik, yang dengan segenap kemampuan akal fikirnya sanggup mengubah tata
21
Soeryo Adiwibowo, Ekologi Manusia, (Bogor: IPB, 2007), h. 3-5.
22
Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, h. 8.
24
rasionalis berbeda dengan alam yang tidak memiliki rasionalitasnya. Atas dasar
itulah alam dianggap tidak memiliki nilai dan dipahami sebagai sebuah mesin
yang bergerak secara mekanistis, demikian pula alam dipahami sebagai sebuah
mesin raksasa yang bergerak dan berada dengan ditentukan oleh bagian-
pemisahan antara bagian dan keseluruhan, di mana keseluruhan tubuh dan alam
dibutuhkan oleh manusia. Cara pandang ini menjurus manusia bersifat eksploitatif
antara fakta dengan nilai itu sendiri. Dengan kata lain, manusia menganggap alam
23
Ginting Suka, Teori Etika Lingkungan; Antroposentrisme dan Ekosentrisme, (Bandung;
Universtias Udayana, tt), h. 53.
24
Sony Keraf, Filsafat Lingkungan, h. 56-60.
25
sebagai fakta tanpa nilai apapun. Artinya setiap kejadian yang menimpa alam
diartikan sebagai gejala alam yang tidak ada kaitanya dengan perbuatan manusia.
menemukan fakta bahwa antara fakta dan nilai (perbuatan manusia) tidak bisa
dipisahkan. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya tidak
bebas nilai, oleh karenanya ilmuan ditekankan pada aspek bukan hanya secara
intelektual, tetapi juga secara moral. Hal ini berarti menunjukkan adanya
hubungan antara persepsi ekologis terhadap dunia dengan perilaku bukan hanya
dari fakta diri sendiri sebagai bagian dari jaringan kehidupan kepada norma-
penggunaan pestisida untuk petani satu sisi menguntungkan petani, akan tetapi
nelayan menguras habis untuk dijual pada hiasan akuarium. Ketiga kepentingan
25
I Ginting Suka, Dari Antroposentrisme ke Ekosentrisme, h. 95.
26
manusia bersifat jangka pendek, sehingga dampak yang terjadi pada jangka
ekologi. Cara pandang yang bersifat menyeluruh inilah kemudian disebut sebagai
holistik, organismis dan ekologis. Gagasan holistik ini didasarkan pada kenyataan
bahwa segala sesuatu dalam kehidupan adalah saling terhubung. Maka hukum
yang timbul adalah segala sesuatu yang ada dalam alam adalah saling bergantung,
tidak bisa beridiri sendiri. Dengan model berpikir seperti inilah kemudian disebut
sebagai pola pikir sistem. Pola pikir sistem ini telah membuka pemikiran baru
kehidupan, adalah ciri dari keseluruhannya, bukan ciri yang semata- mata dimiliki
dan ditentukan oleh bagian itu secara terpisah. Semua ciri tersebut muncul dan
dari keseluruhan organisme ini bisa diidentifikasi, tetapi bagian-bagian ini bukan
26
Andiwibowo, Ekologi Manusia, h. 9.
27
Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, h. 71.
27
hubungannya dengan alam dalam konteks ekologi. Setidaknya terdapat dua jenis
Keduanya adalah ekosentrisme dan eko-teologi. Meski berbeda dasar dan sumber,
ekologi. Penulis sendiri mendapatkan dua paradigma baru yang lahir atas
alam juga diimbangi dengan konservasi atau pelestarian untuk kehidupan yang
sebagai oposisi kepada yang berpusat pada manusia, sebagai sistem nilai.28
perubahan alam sangat bergantung pada perbuatan manusia itu sendiri. Oleh
karena itu dampak atas pemanfaatan alam harus dipertimbangkan dalam rangka
28
I Ginting Suka, Dari Antroposentrisme ke Ekosentrisme, h. 88.
28
lingkungan, yang lazim dikenal dengan istilah khalifatullah. Manusia harus tetap
diberi mandat sebagai khalifah. Dengan demikian dapat disebut juga menjaga
alam merupakan sunnah Illahiyah yang harus tunduk dan konsisten pada nilai
spiritual Illahiyah. 30
satu lingkungan hidup. Maka dampak yang terjadi atau kerusakan alam dianggap
sebagai gejala alamiah semata. Akan tetapi, penelitian lebih lanjut menemukan
fakta bahwa kejadian yang ada di alam juga dipengaruhi oleh perbuatan manusia.
29
Adniwibowo, Ekologi Manusia, h. 11.
30
Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 200-209.
29
seluruh dunia dengan kearifan tradisionalnya. Alam bagi masyarakat adat di sini
dipahami sebagai satu kesatuan asasi dengan kehidupan manusia, karena itu
merusak kehidupan dan sekaligus juga berarti merusak hidupnya sendiri.31 Dalam
konteks ekologis ini, pola relasi antara manusia dengan alam adalah pola relasi
saling rnerawat, penuh kasih sayang, saling mengisi, saling mendukung, saling
ekologi. Dalam hal ini menekankan pada aspek hubungan manusia dengan alam
pemikiran teori atau paradigma sistemik. Pertama sistem merupakan entitas yang
menyeluruh, terorganisir, dan koheren. Setiap entitas yang ada pada dasarnya
bersifat otonom sekaligus subsistem atas supersistem yang ada. Dengan kata lain,
manusia adalah bagian dari keseluruhan alam dan alam adalah bagian dari
manusia. Anta subsistem memiliki peranan yang berbeda dan saling berinteraksi,
dengan kata lain, hubungan antar subsistem menjadi saling berpengaruh dan
31
Sony Keraf, Filsafat Lingkungan, h. 88.
30
saling bergantung satu sama lain. Kedua terdapat jaringan atau hubungan yang
terpola dengan baik. Dalam teori sistem, ditekankan pada aspek relasi atau
memperbaiki hubungan yang akan berdampak pada subsistem dan berakhir pada
adanya upaya sadar melihat alam dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu
peduli terhadap kondisi alam yang ada. Adapun ekoteologi sebagaimana yang
lingkungan. Hal ini kemudian disebtu denga Teologi Lingkungan Islam.33 Adapun
al-Sama’ (langit atau jagat raya), al-Ardh (tempat atau bumi), dan al-bi’ah
(lingkungan).34
bersifat rasional menekankan pada apek perhitungan nilai ekologis sekaligus nilai
32
Wibowo, Ekologi Manusia, h. 8.
33
Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 13.
34
Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 44-60.
31
ekonomis. Selain itu juga menggunakan alam secara bijaksana dengan prinsip
berkelanjutan.35
memberikan bukti atas kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Selain itu keharmonisan
alam dalam bentuk kesetaraan kosmik merupakan pejalaran yang bisa dipahami
manusia. Al-Qur'an menginginkan agar pengelolaan alam tidak lepas dari nilai-
nilai tawfuid, secara seimbang, dan ekonomis (tidak boros, eksploitatif). Al-
ajaran ini dalam praktik, seperti melalui fiqh lingkungan ffiqh al-bi'aft). Teologi
memang menjadi dasar bagi fiqh. Dimana perbuatan manusia dapat dirincikan
biotik teristimewa dibandingkan dengan hampir dua juta makhluk hidup lainnya.
Disisi lain, secara spiritual manusia dituntut harus mempunyai komitmen dan
35
Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 63.
36
Wardani, Islam Ramah Lingkungan: Dari Eko-teologi Hingga Fiqh Bi’ah
(Banjarmanis: IAIN Antasari Press, 2015), h. 159-162.
32
melalui interaksi interaksi dalam ekosistem khusus yang dibangun di atas alam
Bumi yang kita tempati hari ini membutuhkan struktur yang baik untuk
dapat dihidupi atau ditinggali oleh makhluk hidup. Bumi sendiri tidak dapat
bertahan dengan baik jika makhluk hidup sendiri tidak bisa melestarikan dan
menjaganya dengan baik. Keadaan bumi yang sekarang kita ketahui sudah
yang sekarang kita tempati dalam keadaan krisis. Kita mencatat begitu banyak
alasan kebanggaan, dan kita namakan itu sebagai kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan itu sebagai bukti bahwa manusia semakin beradab. Ironisnya,
Penyebab terjadinya kerusakan alam dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu akibat
peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Kerusakan lingkungan hidup dapat
37
Sofyan Anwar Mufid, Islam dan Ekologi Manusia, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2010),
h. 30.
38
A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta : Buku Kompas, 2002), h. 66.
33
tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar, dan kerusakan ekosistem.39
1. Krisis Udara
atmosfer. Komponen itu adalah suatu campuran gas yang terdapat lapisan yang
mengelilingi bumi. Atmosfer ini terdiri dari empat lapisan, yakni troposfer,
matahari, gaya tarik bumi, rotasi bumi dan permukaan bumi. Komponen
campuran gas yang terkandung dalam udara itu adalah air dalam bentuk uap
(H2O) dan Carbon dioksida (CO2). Komposisi ini membentuk udara yang baik
Namun komposisi udara yang demikian asli dan bersih jarang kita
temukan saat ini. Dewasa ini yang orang alami dan nikmati adalah udara yang
kondisinya tidak bersih (terpolusi dan tercemar). Polusi itu terjadi baik secara
alami maupun oleh karena campur tangan manusia. Polutan alami terjadi
tanaman, dan kebakaran hutan. Zat-zat kimia yang dihasilkan berupa gas,
seperti sulfur dioksida (SO2), Hidrogen Sulfida (H2S) dan Karbon Monoksida
(CO). Selain itu, ada pula partikel- partikel padatan atau cairan berukuran kecil
yang tersebar di udara. Zat-zat kimia ini yang bercampur dengan gas-gas H2O
dan CO2, sehingga udara menjadi kotor. Polusi udara ini terjadi karena
39
Alamendah's Blog, “Kerusakan Lingkungan Hidup di Indonesia dan Penyebabnya”,
https://alamendah.org/2014/08/01/kerusakan-lingkungan-hidup-di-indonesia-dan-penyebabnya/
diakses pada tanggal 9 Mei 2019.
40
P. Borong, Robert, Etika Bumi Baru (Jakarta : Gunung Mulia, 2009), h. 92.
34
perbuatan manusia dan merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
beberapa macam gas yang sama, yang terakumulasi dan telah tercemari udara.
Hanya dapat dipastikan bahwa polutan udara adalah CO yang dihasilkan oleh
penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak, batu bara yang digunakan oleh
Indonesia, seperti kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di kawasan Ogan Ilir
(OI) dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang menyebabkan kabut asap
dikawasan lain ditemukan pula limbah fly ash atau abu terbang dari cerobong
untuk membersihkan diri. Syarat utama dalam proses ini adalah kondisi udara
yang bersih. Udara dan air saling memberi dan saling menerima dalam proses
41
P. Borong, Robert, Etika Bumi Baru (Jakarta : Gunung Mulia, 2009), h. 96.
42
Dr. William Chang OFM Cap, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta : Kanisius,
2001), h. 19
43
Putra, Aji YK, “Waspada, Udara Palembang Mulai Tercemar Kabut Asap”,
https://regional.kompas.com/read/2018/10/05/17474851/waspada-udara-palembang-mulai-
tercemar-kabut-asap. Diakses pada tanggal 10 Mei 2019.
44
Awaluddin, Luthfiana, “Warga Keluhkan Polusi Udara Fly Ash Pabrik di Karawang”,
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4523408/warga-keluhkan-polusi-udara-fly-ash-pabrik-
di-karawang?_ga=2.205948177.32201927.1557771048-1616342713.1557771048 diakses pada
tanggal 10 Mei 2019.
35
ini. Jadi air yang sampai ke bumi adalah air yang membawa kotoran dari
udara. Dengan demikian, jika udara dalam keadaan kotor atau tercemar, maka
air yang sampai ke bumi adalah air yang juga kotor atau terpolusi. Begitu pula
sebaiknya, jika udara dalam keadaan bersih maka air yang sampai ke bumi
juga adalah udara yang bersih. Karena itu, kualitas air sangat tergantung pada
Tanah longsor dan erosi bisa membuat air keruh, berubah warna dan
berbau. Sifat air berubah dan kualitas air menurun karena terjadi penumpukan
sampah. Tetapi kejadian ini tidak murni alami karena longsor atau erosi selalu
tetapi apa bila pencemaran berlipat ganda maka air akan kehilangan daya
secara tidak bertanggung jawab, terutama yang dibuang di sungai atau di laut,
karena asap pabrik dan limbah industri. Hal ini bisa terjadi secara langsung
maupun secara tidak langsung. Terjadi secara tidak langsung melalui polusi
45
Muhamin, Membangun Kecerdasan Ekologis, (Bandung : Alfabta, 2015), h. 34.
46
Muhamin, Membangun Kecerdasan Ekologis, (Bandung : Alfabta, 2015), h. 37.
36
udara. Polusi udara ini menyebabkan hidrologis air tidak bersih. Sedangkan
pemandangan yang sangat buruk. Didapati sebuah aliran sungai air tawar
yang penuh dengan sampah dengan bau tidak sedap dan menyengat yang
Jadi secara tegas, dapat dikatakan bahwa air kita ini sekarang ada
dalam keadaan polusi. Hal ini terjadi secara alamiah maupun karena
hidup, zat, energi, dan komponen lain ke dalam air, maka kualitas air menjadi
3. Krisis Hutan
dan konsumsi tinggi. Misalnya permintaan yang sangat besar dari industri
47
P. Borong, Robert, Etika Bumi Baru (Jakarta : Gunung Mulia, 2009), h. 98.
48
Adil, Raja, “Jorok! Anak Sungai Musi Penuh Sampah dan Bau Tak Sedap”
https://news.detik.com/berita/d-4445027/jorok-anak-sungai-musi-penuh-sampah-dan-bau-tak-
sedap?_ga=2.141381040.32201927.1557771048-1616342713.1557771048 diakses pada tanggal
10 Mei 2019.
49
Muhamin, Membangun Kecerdasan Ekologis, (Bandung : Alfabta, 2015), h. 36.
37
dengan cara menebang dan membakar hutan untuk membuka lahan baru ikut
ketersediaan air. Selain itu hutan juga berfungsi menjaga kualitas tanah dan
lapisan tanahnya yang subur. Dan itu terjadi jauh lebih cepat dari pada proses
menyebabkan hilang dan punahnya berbagai fauna dan flora. Kita jelas
obat-obatan akan juga hilang potensinya untuk itu. Belum lagi kita berbicara
mengenai ancaman banjir dan hilangnya sumber mata air karena kerusakan
hutan. Pada gilirannya akan mengancam sumber air minum dan sumber air
50
P. Borong, Robert, Etika Bumi Baru (Jakarta : Gunung Mulia, 2009), h. 106.
51
Amsyari, Fuad, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1981), h. 37.
38
pungga, Kabupaten Dairi ternyata sudah cukup lama berlangsung. Ini diduga
52
Amsyari, Fuad, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1981), h. 43.
53
Munthe, Tigor, "Kerusakan Hutan Diduga Jadi Penyebab Banjir Bandang di Dairi"
https://regional.kompas.com/read/2018/12/20/13041321/kerusakan-hutan-diduga-jadi-penyebab-
banjir-bandang-di-dairi. Diakses pada tanggal 10 Mei 2019.
39
BAB III
A. Teologi Penciptaan
ditemukan pada satu tafsir atau pemahanan. Terdapat beberapa teologi yang
dan kedudukan Tuhan. Baru kemudian menjelaskan Allah yang Tritunggal dalam
menjelaskan antara Tuhan, Manusia dan Alam. Pada sisi akhir barulah
bingkai etika.
dalam Kitab Kejadian. Sebagaimana dalam Kejadian 1;1, maupun Kejadian 1:13,
18, 21, 26.1 Dalam Kitab Kejadian 1-2:3, terdapat kisah penciptaan yang
dilakukan oleh Allah. Dalam kisah penciptaan tersebut, Allah menciptakan segala
sesuatu yang di mulai dengan memisahkan terang dan gelap; memisahkan langit
di darat dan manusia. Demikianlah Allah menciptakan seluruh dunia ini dalam 6
yakni diciptakan dari yan tiada. ditegaskan bahwa seluruh alam menjadi ada,
1
Yonky Karman, Bunga Rampai Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007),
h. 7.
2
Anne Hunt, Trinity, (New York: Orbis Book, 2005), h. 94-95.
40
karena tindakan Allah sendiri. Allah dalam penciptaan itu sendiri tidak memiliki
kebutuhan apapun atas dunia ini. Selain itu keberadaan dunia ini sebenarnya dapat
ada atau tidak (kontingen). Bahkan ketika Allah tidak menciptakan dunia, Allah
dalam diri-Nya sendiri tidak ada sesuatu yang kurang atau mengurangi keilahian-
Nya. Ciptaan atau keberadaan dunia ini tidak menambahkan apapun dalam diri
Allah.3
nihilo. Ajaran ini sebenarnya mau menolak ajaran platonik bahwa dunia
diciptakan dari materi yang tidak berbentuk dan dari bahan yang sudah ada. 4
bahwa Allah sendiri bukan “bahan” dari penciptaan itu, karena bila demikian
tidak ada bedanya antara Allah dan ciptaan. Dengan begitu pendapat itu jatuh
pada panteisme. Kedua bahan itu juga tidak berasal di luar Allah. Bila itu terjadi
maka dapat dikatakan ada asas kedua membuat dunia ini terbentuk.5
Lebih dari itu gagasan penciptaan dari ketiadaan ini mau menunjukkan
kehendak yang bebas dan tindakan dari Allah. Dengan kata lain tidak ada
sesuatupun yang tidak ciptaan Allah, atau tidak ada sesuatu ada tanpa Tuhan yang
menciptakan. Dari Allah sendirilah munculnya segala sesuatu. Disisi lain tindakan
Allah menciptakan ini mau menunjukkan bahwa penciptaan itu bukannya pada
mulanya saja tetapi terus berlanjut terus menerus. Penciptaan yang terus menerus
ini mau menunjukkan Allah yang senantiasa kreatif dalam ciptaan yang
kontingent ini. Dengan kontingensi dunia yang ada dalam proses berkelanjutan,
Penyertaan Allah itu nyata dalam diri Allah yang menopang dan memelihara
3
Nico Syukur Dister OFM, Teologi Sistematika II, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 96.
4
Nico Syukur, Teologi Sistematika II, h, 50.
5
Nico Syukur, Teologi Sistematika II, h, 61.
41
dunia. Disinilah penciptaan memiliki babak baru dimana Allah menjalin relasi
dengan dunia.6
untuk lebih menegaskan peran yang berbeda dari pribadi ilahi dalam tindakan
trinitas. Mereka juga berusaha menanamkan lebih lagi arti trinitas dalam
memahami ciptaan. Pannenberg salah satu tokoh yang dalam refleksinya berusaha
istilah-istilah trinitas. Ia menyatakan bahwa peran Bapa adalah sebagai asal dari
Putra sebagai prinsip awal dari perbedaan dari segala ciptaan yang ada dan juga
ciptaan itu bukan Allah. Dengan begitu segala yang ada menjadi tujuan dari
tindakan Allah yang kreatif agar ciptaan mencapai kepenuhannya untuk menjadi
mandiri. Sedangkan peran Roh Kudus adalah sebagai prinsip yang memberi
kehidupan kepada setiap ciptaan yang hidup, bergerak dan bekerja. Disini
tindakan Roh Kudus erat kaitannya dengan tindakan Putra. Memang Putralah
peran itu dikendalikan oleh kekuatan Roh Kudus. Roh Kuduslah yang menjadi
perantara atas tindakan Logos dalam ciptaan dan juga dalam inkarnasi.7
6
Anne Hunt, Trinity. (New York: Orbis Book. 2005), h. 97.
7
Anne Hunt, Trinity, h. 101-103.
42
alam tersebut. Allah sebagai sesuatu yang transenden. Hal ini didasarkan pada
Perspektif mengenai Tuhan yang transenden dan lepas dari Alam dapat
bahwa pandangan tersebut berakar dari Platonis yang membedakan antara Nous
dan logos. Logos adalah jelmaan dari Roh Kudus Roh Kudus sebagai prinsip yang
memberi kehidupan kepada setiap ciptaan yang hidup, bergerak dan bekerja.
Disini tindakan Roh Kudus erat kaitannya dengan tindakan Putra. Memang
namun peran itu dikendalikan oleh kekuatan Roh Kudus. Roh Kuduslah yang
menjadi perantara atas tindakan Logos dalam ciptaan dan juga dalam inkarnasi.9
Dengan adanya Roh Kudus ini lah maka Tuhan menjadi transenden, yang
terjadi. Hal ini terjadi ketika Kristen berjumpa dengan Sains pada abab ke 19.
8
Martin Harun, “Allah Para Ekolog” dalam Dunia, Manusia dan Tuhan: Antologi
Pencerahan Teologi dan Filsafat, ed. J. Sudarminta dan Lili Tjahjadi, (Yogyakarta: Kanisius,
2008), h. 29
9
Anne Hunt, Trinity, h. 101-103.
43
antroposentrisme yang didukung oleh Kristen adalah dapat ditinjau dari Kejadian,
pada hari ke enam, lalu menyerahkan alam semesta beserta isinya kepada manusia
untuk ditaklukkan. Ayat tersebut memberi landasan kuat kepada manusia untuk
Transenden menjauhkan diri dari alam dan manusia. Bahkan salah satu pandangan
tersebut berdampak pada pandangan bahwa dunia adalah dosa, maka Tuhan tidak
sama sekali dari alam, akan tetapi melalui Roh Kudus-Nya, Tuhan selalu ada
setiap penciptaannya, namun alam yang sebagai sesuatu yang diciptakan dan
10
Yonky Karman, Bunga Rampai Perjanjian Lama, h. 20.
11
A. Sony Keraf, Etika Lingkunga Hidup, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), h. 51.
12
Martin Harun, “Allah Para Ekolog”, h. 32.
44
tidak sewenang-wenang alam ini sesuai dengan kehendak Allah dan tidak hanya
bisa dieksploitasi berlebih oleh manusia. Kemudian teologi Jay McDanniel juga
ada. Penjelasan ini menekankan bahwa segala sesuatu yang ada Allah hadir di
yang ada terdapat unsur ilahiah, sehingga menggambarkan segala sesuatu yang
Gagasan Jay McDaniel dipertegas oleh Sallie McFague tentang Roh yang
bahwa Allah sebagai Roh yang menjelma dalam jagat raya (embodied spirit of the
universe). Hal ini berdasar pada Kejadian 1;1 tentang Allah melayang-layang di
atas air memberikan nafas yang menghidupkan. Secara kiasan alam merupakan
tubuh dari Roh Ilahi (the body of God). Gagasan ini menunjukkan bahwa segala
sesuatu yang ada di alam terdapat jiwa Tuhan. Karena kebutuhan maka setiap
ekologi dapat dijelaskan secara gamblang. Bahwa penafsiran megenai Allah yang
transenden sekaligus imamen di dalam universal, dengan kata lain serentak hadir
secara relevan di seluruh kosmos. Allah yang sebagai Roh menjelma dalam tubuh
alam maka sekaligus menjelaskan antara Allah dan Roh Kudus. Adapun mengenai
13
Martin Harun, “Allah Para Ekolog”, h. 34-37.
45
dengan ajaran kasih sayang dan juru selamatnya. Maka hal ini sekaligus
adalah dalam bentuk persekutuan penciptaan maka dapat dipahami bahwa setiap
menggunakan sesuatu yang ada di alam ini kembali pada persoalan mengetahui
kreatifitas manusia. Dengan cara tersebut maka muncul pertanyaan etis untuk
memiliki kerusakan atau dosa-dosa sebelumnya, akan tetapi yang dimaksud untuk
merupakan awal dimana dunia diciptakan dari kasih sayangnya, oleh karena itu
adanya dosa yang ada, manusia dituntut tidak hanya menyelamatkan diri sendiri,
Ledakan populasi serta aneka ragam kebutuhan hidup menuntut manusia bersaing,
bahkan secara global. Akan tetapi reaksi Kristen dalam memahami hal ini
14
Martin Harun, “Allah Para Ekolog” h. 29-45.
15
Amatus Woi, “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan” dalam Menyapa
Bumi Menyembah Hyang Ilahi, ed. A. Sunarko dan A. Eddy Kristiyanto, (Yogyakarta: Kanisius,
2008), h. 29-32.
16
Yonky Karman, Bunga Rampai Perjanjian Lama, h. 28.
46
persoalan yang muncul didasarkan pada konflik kepentingan dan ekonomi. Dalam
pandangan ini bahkan Kristen lebih mengedepankan pelestarian alam, meski sulit
hidup. Mengenai kedudukan Tuhan, manusia dan alam dijelaskan dalam konsep
tritunggal. Dalam istilah yang dibuat Matius Woi adalah persekutuan penciptaan,
“Aku percaya kepada Allah Bapa, pencipta langit dan bumi”. Pengakuan tersebut
diciptakan oleh Tuhan. Dalam segi wahyu dapat dilihat lebih detail dalam
Mazmur 104; 24 dan Yer 10; 12. Secara tersirat al-Kitab menjelaskan bahwa
Tuhan tidak bisa dikenal melalui dirinya saja, melainkan dengan alam dan
tidak lagi memadai untuk menunjukkan jalan kembali kepada Tuhan, oleh karena
itu dibutuhkan wahyu lain untuk menjadi juru selamat, yakni Yesus Kristus. 18
17
Anggota IKAPI, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005), h. 776.
18
Yonky Karman, Bunga Rampai Perjanjian Lama, h. 19.
47
sehingga orang-orang lebih tertarik membahas sains daripada teologi. Akan tetapi,
Hal ini dikarenakan tiga hal utama dalam makna teologi penciptaan, yakni:
kemenangan atas chaos, yakni dengan segala ancaman ketakutan, Tuhan mampu
diciptakan dengan baik. Pada alasan ketiga inilah yang menopang sekaligus
pandangan, dalam konteks ekologi terdapat satu gagasan yang relevan, yakni
naungan Roh Kudus. Dengan kata lain, di setiap sesuatu yang ada terdapat Tuhan.
Oleh karena itu dalam memahami alam dan manusia sekaligus memahami doktrin
keimanan Kristen.
19
Pada makna kedua ini menolak anggapan teologi Yahudi yang menunjukkan seolah-
olah kehidupan adalah kekejaman, serta Tuhan hadir untuk menyelamatkan kekejaman tersebut.
Doktrin ini sama sekali berbeda dengan Kristen yang menganggap bahwa dunia diciptakan dan
dilindungi oleh Roh Kudus.
20
Yonky Harun, Perjanjian Lama, h. 29-31.
48
Manusia bagian dari alam, dalam artian bahwa manusia juga mempunyai
peran serta dalam proses-proses biologis dan fisiologis seperti mahluk hidup
lainnya. Namun manusia juga terpisah dari alam karena manusia memiliki
kesadaran dan sanggup mengambil keputusan secara sadar tentang cara merubah
alam itu sebagai sumber daya untuk dikelola bagi kehidupan manusia itu. Dalam
manusia memiliki hubungan yang khusus dengan Allah dibanding dengan ciptaan
yang lain. Dari hubungan itulah tercipta tanggung jawab yang khusus untuk
Alam dan manusia adalah satu paket dalam hubungan dengan perjanjian
Allah. Bumi adalah bagian dari alam semesta tempat bermukim manusia. Dengan
demikian barang siapa yang merusak alam berarti ia merusak hubungan perjanjian
itu. Disamping itu, pengerusakan alam akan mendatangkan kerusakan hidup umat
manusia. Dalam kaitan ini, umat manusia tidak punya keistimewaan dengan
manusia dengan alam semesta, yang mana manusia menerima mandat untuk
memeliharanya.
21
Celia Deane & Drummond, Teologi dan Ekologi, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 1999, h.
81.
22
Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-Hari Bagi
Warga Gereja, L-SAPA STT-HKBP, Pematangsiantar, 2007, h. 133-136.
49
1. Etika Kepelayanan
Secara etis dapat dikatakan bahwa kerusakan alam berakar dalam kelalaian
eksploitasi sumber daya alam dan pencemaran, merupakan akibat dari sikap tak
bertanggung jawab manusia terhadap alam. Hal itu menjadi bukti bahwa manusia
seorang pelayan.23
pelayan dan bukan tuan atau pemilik. Oleh karena itu, etika Kristen haruslah
hubungan manusia dengan Allah. Manusia adalah penatalayan yang milik Allah
(Luk. 16:1-13).
2. Etika Solidaritas
yang sangat erat. Manusia mempunyai hubungan lipat tiga dengan tanah yang
adalah bagian dari alam, yaitu manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; bnd. 3:19,
23), manusia harus menggarap tanah (Kej. 3:23) dan manusia kembali kepada
tanah (Kej. 3:19; bnd. Mzm. 90:3). Itulah sebabnya manusia harus
23
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: h. 165
50
hubungan manusia dengan alam ada rasa kebersamaan dan keterikatan yang
bertanggung jawab dengan alam. Karena manusia dan alam adalah sesama
Etika damai sejahtera ini sangat penting, sebab hidup bersumber dari Allah
dan Allah menghendaki agar kehidupan itu terus berada dalam keadaan aman dan
menyebabkan jatuh ke dalam dosa mengakibatkan damai sejahtera itu tidak dapat
salah satu pemikir yang menformulasikan ekologi dalam bingkai teologi yang
cukup relevan. Hal ini disadur dari al-Kitab dan dijadikan landasan secara teologis
24
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: h. 168.
25
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: h. 174.
51
ekologi Kristen pada dasarnya mengacu pada teologi penciptaan, akan tetapi
bahwa manusia dan makhluk lain berkedudukan sama, yakni sama-sama dibawah
kontrol Tuhan. Dalam persekptif lain, manusia adalah imago dei atau gambaran
Tuhan, Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan),
akan tetapi di lain segi, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara
bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari
bahwa manusia dan alam sama-sama diciptakan dari tanah. Dinyatakan bahwa:
“Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7), seperti Ia juga
“membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara” (Kej.
2:19). Adapun hubungan manusia dengan alam tersirat manusia diciptakan dari
tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia
bahwa alam dan seisinya (termasuk manusia) berada di bawah kontrol Tuhan. Di
setiap sesuatu yang ada (termasuk manusia) terdapat Roh Illahi. Dalil panenteistik
menunjukkan adanya hubungan antara manusia dan alam di dalam kontrol Tuhan.
26
Amatus Woi, “Manusia dan Alam”, h. 27.
27
Robert P. Borronng, “Etika Lingkungan Hidup dari Perspektif Teologi Kristen” dalam
Jurnal Pelita Zaman, Vol. 13. No. 1 Tahun 1998. Yayasan Pelita Zaman, Bandung, h. 9. Dapat
diakses melalui www.alkitab.sabda.org
52
Oleh karena itu dapat dikatakan manusia dan alam berkedudukan sama. Atas
dasar pemahaman di atas maka hubungan antara manusia dengan alam sifatnya
tidak hanya memanfaatkan alam semata, akan tetapi dalam bahasa panenteisme
adalah alam seisinya tidak hanya bicara soal kebutuhan manusia, akan tetapi
Kedua penguasaan manusia atas alam. Prinsip ini diambil dari dalil
manusia diciptakan serupa dengan Tuhan (Imago Dei) yang diberikan kuasa untuk
menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-
28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15).
Dengan demikian manusia memunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk
yang lain. Ia dinobatkan menjadi “raja” di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan
berdasrkan konteks berkat (ayat 28a) dan tentang pembagian antara manusia dan
binatang tanpa adanya saling membunuh. Kata berkuasa (raddah) disini tidak
melainkan lebih sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus. Hal tersebut
sesuai pula dengan Raja-Gembala Timur Tengah Kuno yang memang bertugas
mengatur dan mengupayakan agar rakyatnya hidup dalam damai dan sejahtera.29
Analoginya sebagaimana raja yang bijak maupun raja yang lalim. Jika manusia
28
Robert P. Borrong, “Etika Lingkungan”, h. 12.
29
Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Perhatian pada
Lingkungan, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 33.
53
memanfaatkan alam se-isinya dengan bijak maka manusia menjadi raja yang
menjadi raja yang lalim. Lebih dari itu, sebagai raja yang bijak maka manusia
turut serta memperhatikan kondisi serta pemanfaatan yang lebih baik, sebab apa
yang dilakukan manusia terhadap alam akan berdampak kembali pada manusia.
Hal ini menjadi prinsip ekologi yang real dalam ajaran Kristen.
adalah etika atau moralitas Kristen terhadap lingkungan. Rumusan ini masih
merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia.
30
Amatus Woi. “Manusia dan Lingkungan”, h. 34.
54
Kristen tentang cinta dan kasih sayang. Artinya menerapkan cinta dan
kasih sayang tidak hanya sesama manusia, akan tetapi juga terhadap
lingkungan hidupnya.
produknya tetap optimal. Oleh karena itu, alam mesti dipelihara dan
semua orang.33
salah satu penyebab rusaknya alam. Sebab mereka yang merasa kurang
31
Robert P. Borrong, “Etika Lingkungan”, h. 14.
32
Dalam Matius 25:14-30.
33
Robert P. Borrong, “Etika Lingkungan”, h. 15.
55
Prinsip pelayanan yang baik juga mengacu pada prinsip bahwa segala
alam yang baik tersebut.34 Oleh karena itu, bentuk realnya adalah
dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan krisis moral ini
moral yang berarti tindakan dosa. Dalam arti itu, maka upaya
Dilihat dari sudut pandang Kristen, maka tugas pelestarian lingkungan hidup yang
pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang penuh
34
Yonky Harun, Perjanjian Lama, h. 30.
35
Robert P. Borrong, “Etika Lingkungan”, h. 16.
56
pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan
BAB IV
baik yang menjelaskan megnenai kedudukan alam dan manusia, anjuran untuk
yang diperbuat oleh manusia. Islam merupakan sebagai ‘jalan’ atau langkah-
langkah yang memiliki nilai tegas dan kembali pada persoalan ketauhidan.
Dengan kata lain, Islam adalah ajaran tauhid, sehingga semua persoalan aturan
semesta (lingkungan) adalah milik-Nya. Misalnya dalam QS. al-Baqarah [2]: 284.
lingkungan bukanlah milik hakiki manusia. Maka sebagai pertanda adanya Tuhan
itu, jagad raya juga disebut sebagai ayat-ayat menjadi sumber pelajaran bagi
dan keharmonisan. Hakikat alam yang penuh hikmah, harmonis dan baik itu
sebuah entitas atau realitas (empirik) yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi
1
Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan; Panduan Berperilaku Ramah
Lingkuangan, (Jakarta: KLH dan MLH PP Muhammadiyah, 2011), h. 4.
2
Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina Press, Cet IV,
2000), h. 289.
58
berhubungan dengan manusia dan dengan realitas yang lain Yang Ghaib dan
Maha Menciptakan alam dan Yang Maha Benar, yang melampauinya dan
Alam diciptakan memiliki tujuan dan tertentu. Oleh karena itu, alam mempunyai
eksistensi yang riil, objektif serta bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang
berlaku.4
memiliki hukum atau ketentuan yang pasti. Alam sebagai kesatuan yang empiris
alam tidak sendirian. Hukum sebagai aturan menjadi acuan bagaiman alam
bekerja atas keterpengaruhannya yang lain. Dengan demikian apa yang terjadi
pada alam berarti merupakan pengaruh dari entitas yang berada di dalamnya.
bumi bersama makhluk lainnya. Bumi yang ditempati ini memiliki kemampuan
untuk menyangga kehidupan yang ada.5 Dengan kata lain, alam atau bumi
lingkungan sendiri dimaknai sebagai suatu keadaan atau kondisi alam yang terdiri
atas benda-benda ( makhluk) hidup dan benda-benda tak hidup yang berada di
3
Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan Hidup, (Jakarta: KLH dan MLH PP
Muhammadiyah, 2011), h. 7.
4
Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 14.
5
Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 1.
59
bumi atau bagian dari bumi secara alami dan saling berhubungan antara satu
dengan lain.6
Pada intinya alam merupakan tempat kehidupan bagi entitas yang ada di
satu sama lain. Makna dari hubungan tersebut adalah adanya ikatan saling
mempengaruhi sekaligus saling membutuhkan satu sama lain. Sebab alam sebagai
kesatuan yang bersifat holistik tidak bisa dipisahkan secara sendiri-sendiri, akan
tujuh (7) prinsip dasar untuk memahami bagaimana alam menjadi tempat
penyangga kehidupan. Selain itu juga menjadi bahan utama pemahaman Islam
Kedua setiap makhluk hidup memiliki hak hidup dan berkembang. Ketiga
Dari ke tujuh prinsip di atas paling tidak ada poin utama yakni
mahkluk hidupnya. Ketersediaan ini juga mencakup persoalan sumber daya dalam
satu lingkungan hidup. Akan tetapi adanya keterbatasan juga menjadi faktor yang
6
Majelis Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 12.
7
Majelis Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, 15-20.
60
faktor penyebaran sumber daya alam yang mencukupi kehidupan makhluk dalam
satu ekosistem. Oleh karena itu, adaptasi menjadi cara atau model dalam
keseimbangan alam.8
jawaban atas keterbatasan yang ada. Dengan demikian jika alam bisa mengalami
kerusakan maka alam juga bisa dilestarikan. Hal tersebut merupakan pemahaman
dalamnya.
paling penting dalam pembahasan ekologi Islam. Manusia merupakan bagian tak
terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam
adalah saling membutuhkan, saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya
dengan peran yang berbeda-beda. Manusia mempunyai peran dan posisi khusus
diantara komponen alam dan makhluq ciptaan Tuhan yang lain yakni sebagai
Selain asas di atas, terdapat prinsip dalam mencapai suatu ekosistem yang
8
Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan Hidup, (Jakarta: KLH dan MLH PP
Muhammadiyah, 2011), h. 12.
9
Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 16.
61
a) Asas keanekaragaman
Makhluk hidup, baik itu nabati maupun hewani yang ada di alam, baik
yang hidup di darat maupun di air, jenis dan jumlahnya beraneka ragam
Tiap makhluk hidup tidak dapat hidup dengan berkembang terus sehingga
mendesak keberadaan makhluk hidup lainnya, oleh karena itu ada yang
atau diantara binatang dengan manusia, terjalin hubungan kerja sama yang
kestabilan.
c) Asas persaingan
Selain ada kerja sama, dalam ekosistem ada persaingan. Asas persaingan
10
R.M. Gatot P. Soemarwoto, Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2004), h. 4-7.
62
d) Asas interaksi
makhluk hidup disatu pihak dan lingkungan dipihak lain akan ada
e) Asas kesinambungan
yang selaras dan serasi, sehingga fungsi dan peranan makhluk ciptaan Allah
Manusia menjadi bagian dari lingkungan hidup dalam bumi. Akan tetapi
dengan alam, manusia memiliki tiga (3) hubungan, yakni hubungan pemanfaatan,
bahwa segala yang ada di bumi disediakan untuk mencukupi kebutuhan manusia.
adalah menjelaskan bahwa keberadaan alam adalah ayat mengenai kebesaran dan
beberapa asas atau hal-hal yang menjadi hukum utama alam dalam menopang
kehidupan. Selanjutnya, keberadaan manusia dengan kondisi bumi yang ada juga
manusia akan tetapi perlu dirawat untuk keberlangsungan hidup manusia itu
sendiri. Dengan kata lain, inilah yang dimaksud hubungan timbal balik antara
manusia dengan alam. Apa yang diperbuat manusia terhadap bumi maka akan
11
Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 8.
64
yang ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya,
tidak bisa hanya dipandang sebagai penyedia sumber daya alam yang harus
B. Teologi Lingkungan
Dalam tradisi Islam memandang bahwa semua unsur dari alam semesta,
baik yang di darat atau di laut, yang hidup atau yang mati memiliki manfaat dan
bahwa semua mahluk bertsbih pada Allah. Kenyataan ini adalah riil metafisik
”ghaib” yang tidak bisa diterima oleh tradisi keilmuan barat. Hal ini sebagaimana
disinggung didepan bahwa kebenaran dalam tradisi sufisme tidak hanya bertumpu
pada hal-hal yang masuk akal (rasional), tetapi juga mengakui kebenaran
metafisik. Sehingga, relasi ekosistem bukan hanya berlaku hukum produsen dan
Salah satu perkara penting yang banyak dibahas dalam kitab suci ialah
itu kita akan lebih mampu menangkap makna menyeluruh esensi islam, tapi juga
12
Baban Sobandi, Etika Kebijakan Publik; Moralitas-Profetis dan Profesionalisme
Kinerja Birokrasi, (Bandung: Penerbit Humaniora, 2001), h. 77
13
QS. al-Anbiyā [21]:33, QS. Yā Sīn [36]:60, QS. al-Ḥadīd [57]:1.
65
bagi seluruh alam semesta menjadi unsur pembatasan dan keterbatasan manusia.
Karena itulah akal pada manusia bukan untuk menciptakan kebenaran, melainkan
untuk memahami atas kebenaran yang telah ada dan berfungsi dalam lingkungan
hikmah al-ilahiyah”. Dalam kasus ini, Ali Jumah melihat ada beberapa implikasi
renuangan akan proses penciptaan alam semesta dan belajar dari umat-umat
terdahulu yang keduanya dapat menghantarkan pada level keimanan yang lebih
tinggi.
Bumi merupakan ciptaan Allah SWT sebagai tempat yang ideal untuk
kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Allah menjadikan bumi sebagai tempat
kekuasaan Allah bagi yang berakal (Alu ‘Imrān/3:190), yang mengetahui (ar-
Rūm/30: 22), bertaqwa (Yūnus/10: 6), yang mau mendengarkan pelajaran (al-
14
Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 286-287.
15
Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 293.
16
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 4. 1
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 180
66
ujian bagi semua manusia (Hūd/11: 7); dan untuk menguji siapa yang amalannya
tuhan dibumi sudah waktunya untuk melihat alam semesta tidak hanya dengan
mata, tetapi dengan akal dan pikiran untuk berangan-angan, mengambil pelajaran,
Setiap bagian dari alam dan lingkungan yang diciptakan Allah swt tidak ada yang
percuma. Untuk itu manusia sudah seharusnya menjadikan alam ini sebagai mitra
hidup yang bisa meningkatkan kualitas pengabdian kepada Allah. Semakin baik
hubungan manusia dengan lingkungan, akan semakin banyak manfaat yang bisa
manusia hidup dan menjalan tugasnya. Karena itu agar dapat menampilkan diri
17
Muhammad Ahsin Sakho, dkk. eds. Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah). Laporan
INFORM, Pertemuan Menggagas Fikih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) oleh Ulama Pesantren,
Sukabumi, 9-12 Mei 2004, h. 16.
18
M. Hasan Ubaidillah, Fiqh al-Bî‟ah (Formulasi Konsep al-Maqasid al-Syari‟ah dalam
Konservasi dan Restorasi Lingkungan), dalam Jurnal Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010, h. 35
67
sebagai makhluk moral dan bertanggung jawab, manusia harus melawan segala
belenggu dirinya.
manusia. Hal ini nyata di dalam realitas kehidupan. Tidak ada satupun yang
dan pemanfaatan yang lain. Pada dasarnya manusia dalam relasi ini sebagai
elemen kecil dari sistem kehidupan. Maka, dalam hukum kausalitas keberadaan
bumi sebagai suatu kesatuan dan ciptaan Sang Khalik. Kerusakan yang
Allah, Islam sendiri memiliki prinsip-prinsip dasar dalam kaitan dengan upaya
harmoni).
Nabi Muhammad, SAW. serta para pengikutnya memiliki kewajiban yang sangat
agung, yaitu kewajiban menjaga alam karena kedudukannya sebagai rahmat bagi
sebagai khalifah atau sebagai pemimpin di muka bumi, yang pada kondisi tertentu
sering disalahartikan sebagai penguasa di atas muka bumi atau bahkan menjadi
untuk mengelola alam dengan segenap potensi dan ketersediaan bahan yang
diperlukan bagi kehidupan, serta tanggung jawab terhadap kehidupan nabati dan
hewani. Selain itu, alam adalah titipan Tuhan yang harus dijaga. Penciptaannya
pun tidak sia-sia dan memiliki tujuan. Oleh karena itu, hak yang diberikan kepada
manusia untuk bertindak dan memanfaatkan alam diatur dalam kerangka etis.
Kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk mengelola alam, dibatasi
dan terikat dengan aturan-aturan moral dan etika kemanusiaan, seperti keadilan,
tindakan merusak alam, berarti merusak bahkan membunuh manusia, karena alam
tidak hanya untuk saat ini tapi juga untuk manusia di masa mendatang
19
Husein, Muhammad. Manusia dan Tugas Kosmiknya Menurut Islam, ( Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia),h. 4-5
69
dari peran manusia terhadap lingkungan. Pertama, mengabdi kepada Allah SWT.
Kedua, menjadi wakil atau khalifah di atas bumi. Ketiga, membangun peradaban
di muka bumi. Ketiga tujuan ini erat kaitannya dengan peranan manusia dalam
dan amanah menjadi potret dan refleksi iman individual seseorang. Ketika
mena, menunjukkan bahwa dalam konteks teologi dan keimanan yang dimiliki
dibanding makhluk lain. Manusia telah diberi kekuatan untuk menundukkan dan
membuat makhluk lain melayani tujuannya. Akan tetapi Allah tidak memberikan
hak itu tanpa batas. Manusia tidak boleh memubazirkan, menyakiti, atau
bagian dari eksistensi sosial yang merupakan suatu wujud eksistensi bahwa
apapun yang berada diatas muka bumi ini memiliki kewajiban untuk menyembah
kepada Tuhan. Penyembahan ini tidak semata-mata hanya ritus yang bersifat
20
Al-Qardhawi, Yusuf. Islam Agama Ramah Lingkungan. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2001), h. 24-25.
70
keyakinan Islam berkaitan dengan lingkungan. Hal ini kemudian disebut denga
meliputi al-‘Alamin (selurus spesies), al-Sama’ (langit atau jagat raya), al-Ardh
harus tetap konsisten memelihara kualitas lingkungan agar daya dukungnya tetap
secara wajar sebatas kewajaran ekologis. Hal tersebut harus diterapkan mengingat
manusia diberi mandat sebagai khalifah. Dengan demikian dapat disebut juga
menjaga alam merupakan sunnah Illahiyah yang harus tunduk dan konsisten pada
kontradiksi. Manusia selalu merasa makhluk tertinggi dan paling berkuasa. Oleh
karena itu, Cak Nur dalam bukunya mengatakan bahwa manusia dituntut juga
21
Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 13.
22
Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 44-60.
23
Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 200-209.
71
pengetahuan dan teknologi (SAINS), akan tetapi justru hal tersebut menjadi
ancaman baru bagi manusia disaat manusia tidak lagi mampu menguasai dirinya.
Hal ini kerap memungkinkan manusia untuk menggunakan alam bagi tujuan
1) Ali Yafie
Dalam membahas masalah lingkungan hidup, Ali Yafie mengacu pada QS.
Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ia merujuk pada batang
tubuh ajaran fikih yang meliputi empat garis besar yaitu (1) rub’ul ibadat, yaitu
bagian yang menata hubungan manusia dengan khaliknya; (2) rub’ul muamalat,
yaitu bagian yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulan dengan
sesamanya untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari; (3) rub’ul munakahat, yaitu
bagian yang menata hubungan manusia dengan lingkungan keluarga, dan (4)
rub’ul jinayat, yaitu bagian yang menata pengamanan dalam suatu tertib
.Gambaran di atas adalah wajah sesungguhnya dari Islam. Empat hal tersebut
penghijauan kembali atau sekadar pelestarian alam. Tetapi lebih dari semua itu.
Masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari suatu pandangan hidup. Sebab
24
Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 304.
25
Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 306.
26
Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Raja Wali, 2010), h. 9.
72
oleh pengurasan energi dan keterbelakangan yang lebih merupakan ekses dari
Nabi Muhammad adalah rahmat bagi alam, maka kita sebagian umatnya
sejatinya juga demikian, sehingga sifat-sifat Tuhan pun mestinya terpatri dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, jauh sebelumnya, Tuhan seakan memberi
isyarat bahwa manusia adalah perusak. Hal ini dapat dipahami dari dialog antara
bahwa telah tampak kerusakan di daratan dan di laut akibat ulah tangan-tangan
manusia. Dengan itu pula, maka Tuhan sudah memperingatkan bahwa kita jangan
adalah sebuah sistem pusat-nilai untuk mewujudkan nilai yang melekat dalam
konsep (nilai normatif) atau ajaran Islam yakni tauhid, khilafah, amanah, halal dan
Islam tentang lingkunganpun pada dasarnya dibangun atas dasar 5 (lima) pilar
27
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga
Ukhuwah, (Bandung; Mizan; 1994) h. 133.
28
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, h. 139.
73
maka (pada tataran praktis) kelima pilar syariah ini dilengkapi dengan 2 (dua)
rambu utama yakni: halal dan haram. Kelima pilar dan dua rambu tersebut bisa
Berikut ini akan di urai makna ke empat pilar dan dua rambu tersebut
(environment).29
istishlah. Untuk menjaga agar manusia yang telah memilih atau mengambil jalan
hidup ini bisa berjalan menuju tujuan penciptaannya maka (pada tataran praktis)
kelima pilar ini dilengkapi dengan 2 (dua) rambu utama yakni : 1) halal dan 2)
haram. Kelima pilar dan dua rambu tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah
1. Tauhid atau keyakinan kepada Allah adalah pilar utama menjadi seorang
bukti mengenai keberadaan Tuhan. Tuhan adalah “makna” dari realitas, sebuah
(termasuk manusia).31
29
Miftahul Haq, http://lingkungan.muhammadiyah.or.id/in/artikel-agama-dan-
penyelamatan-lingkungan--detail-246.html
30
Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 21.
31
Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 22.
74
2. Khilafah atau perwalian; Konsep ini dibangun atas dasar pilihan Allah dan
kesediaan manusia untuk menjadi khalifah (wakil atau wali) Allah di muka
bumi. Hal ini sebagaimana tertera dalam QS. Al-Baqarah: 30, Al-Isra : 70, Al-
An’am: 165 dan Yunus: 14. Sebagai wakil Allah, maka manusia wajib
dilakukan oleh manusia dalam mengelola alam. Segala sesuatu yang ada di
Hak penguasaannya tetap ada pada Tuhan Pencipta. Oleh karena itu manusia
wajib menjaga kepercayaan atau amanah yang telah diberikan oleh Allah
tersebut.33
4. Adil atau seimbang merupakan hukum Tuhan yang juga berlaku atas alam
jika salah satu atau banyak anggota kelompok atau suatu kelompok mengalami
akibat campur tangan manusia. Perilaku dan perbuatan manusia terhadap alam
32
Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 24.
33
Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 9.
34
Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 28.
75
(istishlah) universal (bagi seluruh makhluk) baik dalam kehidupan masa kini
menjelaskan bahwa alam adalah ayat dan petunjuk manusia mengenal dan
Pencipta dan Makhluk. Khalik dan Makhluk memiliki sifat yang sangat kontra
diktif, sebagaimana Khalik memiliki sifat Mukhalafat Lil Hawadist atau berbeda
dengan ciptaannya. Allah adalah mutlak dan makhluk bersifat nisbi atau relatif.
tetapi juga mempunyai batas kemampuan atau keterhinggaan. Konsep inilah yang
di dalam beberapa ayat AlQur’an dinyatakan bahwa setiap sesuatu ciptaan Allah
itu mempunyai “ukuran” (qadr), dan oleh karena itu bersifat relatif dan tergantung
kepada Allah.36
saja yang ada di bumi. Keseluruhan tersebut juga diperuntukkan pada manusia.
ada dibumi untuk mencukupi kebutuhan manusia berarti untuk dikelola dengan
35
Majelis Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 28.
36
Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 7.
76
baik. Tidak hanya diambil untuk kepentingan sesaat, akan tetapi juga
bumi.38 Khalifah adalah juga amanah yang telah diberikan oleh Tuhan yang
menegakkan kebenaran dan keadilan dimuka bumi. Oleh karena itulah maka
khususnya di muka bumi ini menjadi sangat penting karena akan menentukan
menguasai atas sumber daya alam yang ada. Manusia hanya diperkenankan untuk
alam. Secara umum, konsep amanah ini harus dikerjakaan bersamaan dengan
reduksionis.39
37
Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 9.
38
Musya Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaaan Dalam Al- Quran, (Yogyakarta:
Lembaga Study Filsafat Islam, 1992), h. 43.
39
Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 27.
77
Allah yang amanah dan menciptakan keseimbangan (adil) adalah dengan adanya
mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap alam. Halal
adalah halal. Sebaliknya segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak
amanah, adil dan istishlah sehingga keseluruhannya menjadi konsep baru dalam
menawarkan satu paradigma baru dalam bidang ekologi. Paradigma ini berbeda
dengan teori sistem maupun ekosentrisme yang menekankan pada aspek manusia
40
Majelis Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 28.
41
Majelis Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 30.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
SAINS mengajarkan suatu gambaran kosmos yang lain atas apa yang
diajarkan agama. Pandangan mengenai krisis ekologi baik dalam Islam maupun
Kristen perlu diuraikan dari konsepsi ekologi masing-masing. Dengan kata lain
dalam bingkai teologi maupun etika. Namun perbedaannya adalah dalam Islam
gagasan mengenai ekologi menjadi suatu final tanpa perbedabatan. Islam setuju
bahwa ekologi atau persoalan hubungan timbal balik antar manusia dengan alam
terhadap alam akan berdampak kepada manusia itu sendiri. baik perbuatan baik
segalanya. Kedudukan Tuhan, Manusia dan alam serta hubungan ketiganya dalam
keduanya memiliki pandangan yang sama, yaitu kerusakan alam disebabkan oleh
pemikiran manusia. Oleh karena itu, dalam merespon krisis ekologi, baik Islam
dan Kristen sama sama menghadirkan konsep teologi lingkungan hidup sebagai
alam merupakan perwujudan keimana kepada Tuhan. Oleh karena itu dengan
konteks krisis ekologi yang disebabkan perilaku manusia, Islam dan Kristen
terlalu luas. Padahal di setiap agama memiliki organisasi masyarakat atau Ormas
teologis, tentu dalam sebuah lembaga memiliki program atau gerakan sosial yang
lebih real, daripada pemikiran dalam agama yang masih bersifat teologi ataupun
paradigma.
81
Daftar Pustaka
Amirullah, “Krisi Ekologi dan Problematika Sains” dalam Jurnal Lentera, Vol.
XVIII No. 1. Juni 2015.
Deane, Celia. & Drummond. Teologi dan Ekologi, BPK-Gunung Mulia, Jakarta,
1999
Dister, Nico Syukur OFM. Teologi Sistematika II. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Hamid, al-Abd. “Exploring the Islamic Environmental Ethics," dalam Islam and
the Environment, A. R. Agwan ed. New Delhi: Institute of Objective
Studies, 1997.
Harun, Martin. “Allah Para Ekolog” dalam Dunia, Manusia dan Tuhan: Antologi
Pencerahan Teologi dan Filsafat, ed. J. Sudarminta dan Lili Tjahjadi,
Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Karman, Yonky. Bunga Rampai Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2007, h. 7.
Mahfud, Rois. Al- Islam Pendidikan Agama Islam. Penerbit: Erlangga, 2011.
Mardhiah, Izzatul, dkk. “Konsep Gerakan Ekoteologi Islam Studi Atas Ormas
NU Dan Muhammadiyyah” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. 10. No.
1, Universitas Negeri Jakarta tahun 2014.
Mufid, Sofyan Anwar. Islam dan Ekologi Manusia. Bandung: Penerbit Nuansa,
2010.
Mufid, Sofyan Anwar. Islam dan Ekologi Manusia. Bandung: Penerbit Nuansa,
2010
Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Life and Thought. London: George Allen, dan
Unwin Ltd, 1981.
Rachman, Noer Fauzi. Panggilan Tanah Air. Yogyakarta: INSIST Press, 2017.
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003
Sakho, Muhammad Ahsin. dkk. eds. Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah). Laporan
INFORM, Pertemuan Menggagas Fikih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) oleh
Ulama Pesantren, Sukabumi, 9-12 Mei 2004.
Sobur, A.Kadir Tauhid Teologis. Jakarta: Gaung Persada Press Group 2013
Utina, Ramli. dan Wahyuni, Dewi. Ekologi dan Lingkungan Hidup. Tt.
Walhi. Masa Depan Keadilan Ekologis di Tahun Politik. Jakarta; Walhi, 2017.
Yafie, Ali Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi
Hingga Ukhuwah. Bandung; Mizan; 1994.