Anda di halaman 1dari 18

ENVIRONMENTAL DETERMINISM

(DETERMINASI LINGKUNGAN)
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur Mata Kuliah Seminar
Masalah-masalah/Isu-isu Lingkungan

Dosen Pembimbing: Dr. Imam Hanafi, M.Si,. MS

Kelas B

Disusun Oleh:

SHINTIA MARTHAPURI (0810310124)


VIANA DHAMA YANTIE (0810313044)
SURATUN (0810310365)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
MALANG
2011
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr Wb
Puji syukur kehadirat kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan dan kekuatan kepada kami untuk menyeleseikan makalah ini. Tidak
lupa sholawat serta salam tetap kami curahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
uswah dan pembimbing kami dari zaman jahiliyyah menuju islam yang
membawa cahaya penerang
Sajian berupa makalah ini ditujukan untuk menyeleseikan tugas Seminar
Masalah/isu-isu Lingkungan. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat
memberikan wawasan bagi semua mahasiswa khususnya jurusan administrasi
publik.
Akhir kata penyususn mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu menyeleseikan makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwasannya makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu perbaikan yang lebih lanjut akan kami teruskan. Kami
menharap saran, kritik, dan masukan dari semua pihak untuk perbaikan makalah
ini. Semoga dalam makalah ini akan semakin membantu dalam memperkaya
khazanah ilmu.

MALANG, Mei 2011

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar ……………………………………………………………………….. 2

Daftar isi ………………………………………………………………………………..3

Daftar gambar…………………………………………………………………………...4

Pendahuluan ……………………………………………………………………………5

Pengertian determinisme lingkungan …………………………………………………6

Sejarah determinasi lingkungan ……………………………………………………...9

Determinisme lingkungan dan geografi awal ……………………………………....10

Determinisme lingkungan dan geografi modern …………………………………...11

Jejak-jejak Determinisme Lingkungan (A.L. Kroeber) ……………………………11

Penurunan determinisme lingkungan ……………………………………………….12

Relation of environmental and cultural factors ……………………………………..12

Vegetasi alam ………………………………………………………………………….14

Iklim ……………………………………………………………………………………..14

Daftar pustaka …………………………………………………………………………18

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar

1.1 Gambar Hubungan Lingkungan Dengan Kebudayaan…………………………7

1.2 Gambar Hubungan Manusia dengan Lingkungan………………………………8

4
PENDAHULUAN

Alam yang indah dan lestari merupakan jaminan bagi kelangsungan


hidup manusia dan segala lapisan kehidupan yang ada di dalamnya. Untuk
menjamin kelangsungan hidup kita dan generasi mendatang diharapkan agar
tetap memiliki kehidupan dan lingkungan dalam suasana yang baik dan
menyenangkan, banyak hal dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup alam
semesta, setidaknya kita harus merubah sikap dalam memandang dan
memperlakukan alam sebagai hal bukan sebagai sumber kekayaan yang siap
dieksploitasi, kapan dan dimana saja. Walaupun alam tidak memiliki keinginan
dan kemampuan aktif-eksploitatif terhadap manusia, perlahan tapi pasti, apa
yang terjadi pada alam, langsung atau tidak langsung, akan terasa pengaruhnya
bagi kehidupan manusia. Lingkungan yang indah dan lestari akan membawa
pengaruh positif bagi kesehatan dan bahkan keselamatan manusia. Begitupun
sebaliknya, lingkungan yang rusak dan terancam punah, akan membawa
pengaruh buruk bagi kehidupan manusia. Menurut survey Environmental
Performance index (EPI) 2008 dari Universitas Yale, Indonesia kini berada di
urutan ke-102 dari 149 negara yang berwawasan lingkungan, sedangkan
Mlaaysia menempati peringkat 26 jauh diatas Indonesia.
“Lingkungan” dalam Ensiklopedi Indonesia (1984: 2021) didefinisikan
sebagai segala sesuatu yang ada di luar sutu organisme, yang meliputi:
Pertama, lingkungan benda mati atau fisik: adalah lingkungan di luar suatu
organisme yang terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup; seperti
bahan kimia, suhu, cahaya, gravitasi, atmosfer dan lain-lain. Kedua, Lingkungan
hidup (biotik); lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri atas organisme
hidup; seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Lingkungan adalah salah
satu faktor yang mempunyai peran besar dalam membangun sebuah
kepribadian, terutama kepribadian manusia. Lingkungan bisa dikatakan sebagai
cerminan diri. Lingkungan dapat diartikan sebagai sebuah pemandangan atau
lokasi daerah sekitar kita yang indah jika kita rawat dengan baik dan juga bisa
jelek kita abaikan. Menurut Wikipedia lingkungan juga berarti kombinasi antara
kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam
seperti tanah, air, energi surya,mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di
atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan
manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut
sedangkan dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan
perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
Manusia adalah sesuatu yang biasa paling dekat dengan lingkungan.
Manusia juga pun yang mempunyai peran penting dalam merawat, melestarikan
maupun menjaga suatu lingkungan. Banyak manfaat yang dapat kita ambil dari
lingkungan. Oleh sebab itu, pribadi manusia tumbuh dari faktor lingkungan yang
tentunya dari pergaulan lingkungan,bukan dari pemandangannya. Seseorang
bisa dikatakan berhasil pasti salah satu faktornya adalah faktor lingkungan.
Karena jika lingkungan sekitarnya itu dipenuhi dengan masyarakat yang baik,
suasana lingkungan yang tenang pasti seseorang itu dapat tenang dalam
melakukan rutinitasnya. Orang tersebut bergaul dengan orang yang baik,
dukungan moral yang baik dan benar dari orang orang sekitarnya, tentunya akan
menghasilkan pribadi yang baik dan benar pula. Manfaat dari pergaulan yang
seperti ini yaitu banyak dikelilingi teman yang dapat mengajarkan ke jalan yang

5
benar maupun disenangi oleh orang banyak dan tentunya kita mempunyai
banyak teman yang selalu mendukung orang tersebut.
Sedangkan sebaliknya jika beradaptasi dan bergaul dengan pergaulan
lingkungan yang salah maka pastinya orang itu akan jadi individu yang salah
pula. Hal ini dikarenakan orang itu mencontoh dari tingkah laku lingkungannya
tersebut. Orang itu memperhatikan dari gerak gerik sikap masyarakat dan
lingkungan yang ada disekitarnya. Dengan hal ini yang membuat seseorang
menjadi mengikuti adaptasi pergaulan lingkungan tersebut. Dengan pergaulan
yang salah seperti ini mempunyai dampak yang buruk untuk orang tersebut,
seperti pastinya akan dijauhi banyak orang, tidak disenangi orang lain dan selalu
dikucilkan oleh orang banyak. Lingkungan banyak memberi kita motivasi dalam
diri kita. Lingkungan juga dapat memberikan kita semangat dan dapat juga
memberikan sebuah inspirasi kita dalam bertindak. Untuk selanjutnya tergantung
diri pribadi yang mengatur,menyaring dan mengembangkan setiap hal-hal yang
ada dilingkungan tersebut.

Pengertian Determinisme Lingkungan

Determinisme lingkungan adalah teori yang menyatakan bahwa


karakteristik manusia dan budayanya disebabkan oleh lingkungan alamnya.
Penganut fanatik deteriminisme lingkungan adalah Carl Ritter, Ellen Churchill
Semple dan Ellsworth Huntington. Hipotesis terkenalnya adalah “iklim yang
panas menyebabkan masyarakat di daerah tropis menjadi malas” dan
“banyaknya perubahan pada tekanan udara pada daerah lintang sedang
membuat orangnya lebih cerdas”. Iklim di percaya menjadi keseimbangan
suasana hati, Oleh karena itu, perbedaan geografis menentukan bentuk fisik dan
kepribadian. Orang yang hidup di iklim panas (tropis) seringkali bernafsu (penuh
gairah), suka kekerasan, malas, hidupnya pendek dan tangkas yang dipengaruhi
oleh udara panas dan kekurangan air. Determinisme lingkungan adalah teori
yang menyatakan bahwa karakteristik manusia dan budayanya disebabkan oleh
lingkungan alamnya. Dampak iklim pada kepribadian dan kecerdasan ditentukan
oleh urusan manusia lainnya terutama pemerintahan dan agama. Ahli geografi
determinisme lingkungan mencoba membuat studi itu menjadi teori yang
berpengaruh. Sekitar tahun 1930-an pemikiran ini banyak ditentang karena tidak
mempunyai landasan dan terlalu mudahnya membuat generalisasi (bahkan lebih
sering memaksa). Determinisme lingkungan banyak membuat malu geografer
kontemporer, dan menyebabkan sikap skeptis di kalangan geografer dengan
klaim alam adalah penyebab utama budaya (seperti teori Jared Diamond).
(http://djunijanto.wordpress.com/materi/perkembangan-sejarah-geografi/)
Dalam Wikipedia, Determinisme lingkungan, juga dikenal sebagai
determinisme iklim atau determinisme geografi, adalah pandangan bahwa
lingkungan fisik, bukannya kondisi sosial, yang menentukan kebudayaan.
Penganut pandangan ini mengatakan bahwa manusia ditentukan oleh hubungan
stimulus dan respon (hubungan lingkungan-perilaku) dan tidak bisa menyimpang
dari hal itu. Argumen dasar dari penganut determinisme lingkungan adalah
bahwa aspek dari geografi fisik, khususnya iklim, memengaruhi pemikiran
individu, yang pada gilirannya akan menentukan perilaku dan budaya yang
dibangun oleh individu tersebut. Sebagai contoh, iklim tropis dikatakan
menyebabkan kemalasan dan sikap santai, sementara seringnya perubahan
cuaca di daerah sub-tropis cenderung membuat etos kerja yang lebih
bersemangat. Karena pengaruh lingkungan ini secara lambat laun memengaruhi

6
1.1 Gambar Hubungan Lingkungan Dengan Kebudayaan

kondisi biologis manusia, maka perlu untuk merunut migrasi dari kelompok untuk
melihat kondisi lingkungan tempat mereka berevolusi. Pendukung utama
pendapat ini diantaranya Ellen Churchill Semple, Ellsworth
Huntington, Thomas Griffith Taylor dan mungkin pula Jared Diamond, walau
statusnya sebagai pendukung determinisme lingkungan masih diperdebatkan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Determinisme_lingkungan).
Teori determinisme lingkungan yang menyatakan bahwa lingkungan
dapat membentuk kebudayaan manusia ini berlangsung sampai tahun 1920an.
Faktor lingkungan bukan saja menentukan karakteristik kebudayaan tetapi juga
membentuk kebudayaan. Seluruh aspek kebudayaan manusia dan tingkah laku
disebabkan secara langsung oleh pengaruh lingkungan. (Mukhlis, Maulana
dalam http//:blog.unila.ac.id/maulana).
Determinisme (khususnya determinisme kausal) adalah konsep bahwa
peristiwa dalam diberikannya paradigma terkait oleh kausalitas sedemikian rupa
bahwa setiap negara (dari suatu obyek atau peristiwa) benar-benar, atau
setidaknya untuk beberapa derajat besar ditentukan oleh Negara-negara
sebelumnya. Dalam fisika prinsip ini dikenal sebagai penyebab-dan-efek atau
timbal balik. Determinisme juga merupakan nama yang lebih luas filosofis
pandangan, sebagai dugaan bahwa setiap jenis aktivitas, termasuk manusia
kognisi (perilaku, keputusan, dan tindakan) adalah kausal ditentukan oleh
peristiwa sebelumnya. Dalam argument filosofis, konsep determinisme dalam
domain tindakan manusia sering dikontraskan dengan kehendak bebas.
Argument disebut indeterminisme (dinyatakan “nondeterminism”) meniadakan
kausalitas deterministik sebagai factor dan menentang argument deterministic.
Determinis percaya setiap sistem ditentukan sepenuhnya diatur oleh hukum-
hukum sebab-akibat yang dihasilkan hanya dalam satu Negara mungkin setiap
titik waktu. Sebuah perdebatan dalam determinisme ada tentang ruang lingkup

7
1.2 Gambar Hubungan Manusia dengan Lingkungan

sistem ditentukan, dengan beberapa mempertahankan bahwa seluruh alam


semesta adalah sistem menentukan tunggal dan lain-lain mengidentifikasi sistem
lain menentukan lebih terbatas. Dalam sejarah banyak perdebatan, banyak
variasi dan posisi filosofis tentang masalah determinisme ada yang paling
menonjol perdebatan kehendak bebas yang melibatkan compatibilsm dan
incompatibilsm Predeterminism mengusulkan ada tak terputus rantai kejadian
sebelum peregangan kembali ke asal usul semesta. Seterminisme tidak boleh
bingung dengan penentuan nasib sendiri dari tindakan manusia dengan alas an,
motif, dan keinginan atau dengan predestinasi, yang secara khusus factor-faktor
kemungkinan adanya Tuhan yang menjadi ajaran, apalagi determinisme tidak
secara eksplisit menyatakan bahwa prediksi adalah mungkin, apapun berarti ini
adalah pertanyaan epistemologis secara terpisah.

Determinisme iklim atau determinisme lingkungan merupakan aspek


geografi ekonomi juga kadang-kadang disebut paradoks katulistiwa. Menurut
teori ini, sekitar 70%dari pembangunan ekonomi suatu Negara dapat diprediksi
dari jarak antara Negara dan katulistiwa. Dengan kata lain, semakin jauh dari
khatulistiwa Negara lebih mengembangkan cenderung. Paradoksnya berlaku
sama baik utara maupun selatan khatulistiwa. Australia misalnya memiliki tingkat
yang lebih tinggi pembangunan ekonomi dari Indonesia. Paradoks ini juga
berlaku di Negara-negara bagian AS utara lebih berkembang dibandingkan
dengan Negara bagian AS selatan. Singapura adalah counter terkemuka-contoh:
terletak pada 1,22 ° LU dan merupakan salah satu dunia yang paling makmur
negara tersebut. kesejahteraan ini didasarkan pada posisinya sebagai
port. pengecualian lain untuk paradoks cenderung memiliki sumber daya alam
yang besar. Saudi Arabia adalah contoh yang baik.
Salah satu teori populer untuk menjelaskan fenomena ini adalah
pembangunan yang kurang diperlukan di daerah tropis - "Anda dapat berbaring
di tempat tidur dan bersantai-santai," yang bertentangan dengan kebutuhan
untuk menciptakan pertanian dan ekonomi dalam rangka untuk mencapai
kesejahteraan dan bertahan. Penjelasan ini, sedangkan nyaman, mungkin tidak
cukup rumit untuk benar-benar menjelaskan paradoks khatulistiwa. Patut dicatat
bahwa paradoks khatulistiwa hanya muncul dari Era Modern dan seterusnya,
dengan sangat maju budaya dan ekonomi yang lebih banyak hadir
di tropis dan subtropisdaerah dari luar. Dalam konteks analisis statistik, paradoks
mungkin lebih merupakan akibat dari penaklukan dan penjajahan . Yang terakhir
semua tapi ditangkap pembangunan ekonomi dan infrastruktur, kecuali yang

8
diperlukan untuk memenuhi tujuan kekuasaan kolonial. Determinisme iklim yang
sangat dipelajari oleh Ellsworth Huntington .
Determinisme lingkungan telah diadopsi oleh bidang desain perkotaan
untuk menggambarkan dampak lingkungan yang dibangun mungkin pada
perilaku. Ini adalah dasar dari konsep Pencegahan Kejahatan Melalui Desain
Lingkungan (CPTED) yang mencoba untuk memodifikasi perilaku mengganggu
melalui desain yang sesuai dari lingkungan fisik. Konsep ini juga merupakan
dasar ruang aktif yang mencoba untuk mendorong kegiatan melalui desain
sebuah ruang. Sepanjang studi geografi, ada sejumlah pendekatan yang
berbeda untuk menjelaskan perkembangan masyarakat dunia dan budaya. Salah
satu yang menerima banyak menonjol dalam sejarah geografis, tetapi telah
menurun dalam beberapa dekade terakhir penelitian akademik determinisme
lingkungan. Determinisme lingkungan adalah keyakinan bahwa lingkungan
(terutama faktor fisik seperti bentang alam dan / atau iklim) menentukan pola
kebudayaan manusia dan pembangunan sosial. Lingkungan determinis percaya
bahwa itu adalah faktor-faktor lingkungan, iklim, dan geografis saja yang
bertanggung jawab untuk budaya manusia dan keputusan individu dan / atau
kondisi sosial hampir tidak berdampak pada pengembangan kebudayaan.
Argumen utama determinisme lingkungan menyatakan bahwa
karakteristik fisik daerah seperti iklim memiliki dampak yang kuat terhadap
prospek psikologis penghuninya. Pandangan ini bervariasi kemudian menyebar
ke seluruh populasi dan membantu menentukan keseluruhan perilaku dan
budaya suatu masyarakat. Misalnya dikatakan bahwa wilayah di daerah tropis
kurang berkembang daripada lintang yang lebih tinggi karena cuaca terus hangat
di sana membuat lebih mudah untuk bertahan hidup dan dengan demikian, orang
yang hidup di sana tidak bekerja keras untuk menjamin kelangsungan hidup
mereka. Contoh lain dari determinisme lingkungan akan teori bahwa negara
kepulauan memiliki ciri-ciri budaya yang unik semata-mata karena isolasi mereka
dari masyarakat kontinental.

Sejarah determinasi lingkungan

Sejarah determinasi lingkungan berawal dimana dalam abad medis


dianggap berasal dari Hippocrates; udara, air, wilayah. Pada zaman romawi
tersebut misalnya, ditemukan dalam karya ahli geografi Yunani yang bernama
Strabo yang menulis iklim yang mempengaruhi disposisi psikologis dari ras yang
berbedaa. Beberapa kaum Cina kuno membentuk determinisme lingkungan
seperti yang ditemukan dalam karya Guan Zhong yang ditulis pada abad ke-2
SM. Dalam bab “Water and Earth" (Shuidi 水地) ditemukan pernyataan seperti
"Now the water of [the state of] Qi is forceful, swift and twisting. Therefore its
people are greedy, uncouth, and warlike," and "The water of Chu is gentle,
yielding, and pure. Therefore its people are lighthearted, resolute, and sure of
themselves."
Penganut awal determinasi lingkungan yang lainnya pada abad
pertengahan Afro-Arab seorang penulis al-Jahiz, yang menjelaskan bagaimana
lingkungan dapat menentukan karakteristik fisik penghuni sebuah komunitas
tertentu. Dia menggunakan teori awal mengenai evolusi untuk menjelaskan asal-
usul yang berbeda seperti warna kulit manusia, khususnya kulit hitam, yang dia
yakini sebagai hasil dari lingkungan. Dia mengutip sebuah daerah berbatu hitam
basalt di utara Najd sebagai bukti dari teorinya tersebut. Dia juga mengatakan
“Sangat tidak biasa bahwa rusa dan burung unta, serangga dan lalat, rubahnya,
domba dan keledai, kuda dan burung yang semua hitam kehitaman dan putih
9
tersebut sebenarnya disebabkan oleh sifat daerah, juga sebagai oleh sifat Tuhan
yang diberikan air dan tanah dan oleh kedekatan atau jauh dari matahari dan
intensitas atau keringanan dari panas”
Para sosiolog Arab dan polymath, Ibnu Khaldun, juga merupakan
penganut determinisme lingkungan. Dalam karyanya Muqaddimah (1377), ia
menjelaskan bahwa kulit hitam ini disebabkan oleh iklim panas sub-Sahara
Afrika dan bukan karena garis keturunan mereka. Ia kemudian dibantah oleh
teori Hamitic, di mana anak-anak Ham dikutuk dengan menjadi hitam, sebagai
mitos. Banyak terjemahan Ibn Khaldun dijabarkan selama era kolonial untuk
sesuai dengan mesin propaganda kolonial. The Negro Land of the Arabs
Examined and Explained ditulis pada tahun 1841 dan memberikan kutipan dari
terjemahan lama yang bukan bagian dari propaganda kolonial. Ibnu Khaldun
menunjukkan hubungan antara penurunan Ghana dan bangkit dari
Murabitun. Namun, ada sedikit bukti dari sana benar-benar menjadi seorang
penaklukan Murabitun Ghana. Ibnu Khaldun juga mengantisipasi
meteorologi teori iklim yang kemudian diusulkan oleh Montesquieu pada abad
ke-18. Seperti Montesquieu, Ibnu Khaldun mempelajari “lingkungan fisik di mana
manusia hidup untuk memahami bagaimana hal itu mempengaruhi dia dalam
siftanya non-fisik”. Dia menjelaskan perbedaan antara masyarakat yang berbeda,
baik orang-orang yang nomaden atau berpindah-pindah, yang menjadi
kebiasaan mereka dan institusi, dalam hal lingkungan mereka "habitat-fisik, iklim,
tanah, makanan, dan cara yang berbeda di mana mereka dipaksa untuk
memenuhi kebutuhan mereka dan memperoleh nafkah. " Ini adalah
keberangkatan dari teori iklim yang diungkapkan oleh penulis
dari Hippocrates ke Jean Bodin . Ia telah mengemukakan bahwa Ibn Khaldun
mungkin memiliki pengaruh terhadap teori Montesquieu melalui musafir Jean
Chardin , yang bepergian ke Persia dan menjelaskan teori menyerupai's iklim
teori Ibnu Khaldun.
Determinisme lingkungan menjadi terkenal di akhir abad 19 dan awal
abad 20 ketika itu diambil sebagai teori sentral oleh disiplin geografi (dan pada
tingkat lebih rendah, antropologi ). Profesor Ellen Churchill dari Semple Clark
University dikreditkan dengan memperkenalkan teori ke Amerika Serikat setelah
belajar tentang geografi manusia dengan Friedrich Ratzel di Jerman.
Keunggulan determinisme dipengaruhi oleh profil tinggi evolusi biologi ,
meskipun cenderung lebih menyerupai sekarang didiskreditkan Lamarckisme
daripada Darwinisme.

Determinisme lingkungan dan Geografi Awal

Meskipun determinisme lingkungan adalah pendekatan yang lumayan


baru untuk mempelajari geografis formal, asal-usulnya kembali ke zaman
kuno. faktor iklim misalnya digunakan oleh Strabo, Plato , dan Aristoteles untuk
menjelaskan mengapa orang-orang Yunani begitu jauh lebih berkembang pada
usia dini dari masyarakat di iklim panas dan dingin. Selain itu, Aristoteles datang
dengan nya sistem klasifikasi iklim untuk menjelaskan mengapa orang-orang
terbatas pada permukiman di daerah-daerah tertentu di dunia ini. Awal ulama
lain yang juga digunakan determinisme lingkungan untuk menjelaskan tidak
hanya budaya suatu masyarakat tetapi alasan di balik karakteristik fisik orang
suatu masyarakat. Al-Jahiz, seorang penulis dari Afrika Timur, misalnya dikutip
faktor lingkungan sebagai asal warna kulit yang berbeda. Dia percaya bahwa
kulit yang lebih gelap dari Afrika banyak dan berbagai burung, mamalia, dan
serangga merupakan hasil langsung dari prevalensi batu basal hitam di

10
Semenanjung Arab. Ibnu Khaldun , seorang sosiolog Arab dan sarjana, secara
resmi dikenal sebagai salah satu determinis lingkungan pertama. Dia hidup
1332-1406, yang saat ia menulis sejarah dunia yang lengkap dan menjelaskan
bahwa kulit manusia gelap disebabkan oleh iklim panas Sub-Sahara Afrika.

Determinisme lingkungan dan Geografi Modern

Determinisme lingkungan naik ke tahap yang paling menonjol dalam


geografi modern di awal abad 19 an ketika itu dihidupkan kembali oleh Friedrich
geografi Jerman Rätzel dan menjadi teori sentral dalam disiplin. Teman-teori
Rätzel muncul setelah Charles Darwin dalam Origin of Species pada tahun 1859
dan sangat dipengaruhi oleh evolusi biologi dan dampak lingkungan seseorang
memiliki terhadap evolusi budaya mereka. Determinisme lingkungan kemudian
menjadi populer di Amerika Serikat pada awal 20th Century kapan mahasiswa
Rätzel, Ellen Churchill Semple , seorang profesor di Clark University di
Worchester, Massachusetts, memperkenalkan teori di sana. Seperti ide awal
Rätzel's, Semple's juga dipengaruhi oleh evolusi biologi. Satu lagi mahasiswa
Rätzel's, Ellsworth Huntington, juga bekerja pada perluasan teori sekitar waktu
yang sama seperti Semple. karya Huntington meskipun, menyebabkan subset
dari determinisme lingkungan, yang disebut determinisme iklim di awal 1900-
an.Teorinya menyatakan bahwa pembangunan ekonomi di suatu negara dapat
diprediksi berdasarkan jarak dari khatulistiwa. Dia mengatakan daerah beriklim
sedang dengan musim tumbuh pendek merangsang prestasi, pertumbuhan
ekonomi, dan efisiensi.Kemudahan tumbuh hal-hal di daerah tropis di sisi lain
menghambat kemajuan mereka.

Jejak-jejak Determinisme Lingkungan (A.L. Kroeber)

Berbagai studi antropologi ekologi yang mencoba memahami bagaimana


manusia menjalani kehidupannya dengan lingkungan sebagai tempat dan ruang
hidupnya, sepertinya tidak akan berakhir selama manusia dan lingkungan tidak
mengalami kemusnahan. Begitu juga dengan ragam perspektif atau pendekatan
yang berkembang dalam salah satu ranah kajian antropologi ini. Berbagai
perspektif maupun pendekatan, tumbuh dan berkembang seiring dengan
perjalanan perkembangan studi antropologi ekologi di berbagai belahan dunia.
Akar dari berbagai studi antropologi ekologi yang telah jauh berkembang
pada masa kini, sebenarnya telah tertanam sejak tahun 1930-an oleh Julian H.
Steward dalam tulisannya “The Economic and Social Basis of Primitive Bands” di
tahun 1936, dan juga aliran pandangan ‘determinisme lingkungan’ oleh Kroeber;
Russell; serta Huntington di era tahun 1930 dan 1940-an. Steward dalam
tulisannya, menghadirkan pernyataan “bagaimana interaksi antara kebudayaan
dan lingkungan dapat dianalisis dalam kerangka sebab-akibat (in causal terms)”.
Pernyataan teoritis dan metodologis ini kemudian tidak banyak berubah ketika
dia menjelaskan secara lebih eksplisit tentang hubungan antara lingkungan dan
kebudayaan dalam bukunya “Theory of Culture Change” (1955). Dalam buku ini
ia menguraikan, mendefinisikan, serta mengembangkan apa yang dia sebut
dengan “ekologi budaya” (cultural ecology).
Dari perspektif yang diajukan oleh Steward, kemudian berkembang
beberapa aliran perspektif yang cukup dikenal hingga kini, yaitu: pendekatan
etnoekologi, pendekatan ekologi silang budaya (cross-cultural ecological
approach), pendekatan ekosistemik kultural yang diwakili oleh buku Geertz
(Agricultural Involution, 1963), dan pendekatan ekosistemik materialistik; seperti

11
yang terlihat dalam berbagai studi oleh para ahli antropologi, seperti Vayda
(1961; 1967), Rappaport (1967; 1968; 1971), Harris (1966), dan Leeds (1965).
Dua dari empat aliran ini (etnoekologi dan ekosistemik materialistik atau ekologi
fungsional) masih tetap populer hingga kini (Ahimsa, 1994; 1-6).
Sebagai sebuah pendekatan, masing-masing mereka memiliki sejumlah
asumsi-asumsi yang melatarbelakangi cara pandang terhadap persoalan dalam
studi antropologi ekologi, yang kemudian tentu saja mencirikan bagaimana
paparan dalam temuan-temuan studinya. Seperti apakah sejumlah asumsi
tersebut, dan bagaimanakah pandangan mereka tentang relasi manusia dan
lingkungannya? Hal inilah yang akan menjadi pembicaraan utama dalam tulisan
ini, dengan tulisannya Alfred L. Kroeber (Relations of Environmental and Cultural
Factors) sebagai acuan pembahasan. Apa yang dikemukakan oleh Kroeber
dalam tulisannya, akan coba diulas kembali dan diungkap melalui simplifikasi,
dengan penyertaan penalaran serta kritik pembelajaran yang hadir di beberapa
bagian dalam paper ini.

Penurunan Determinisme Lingkungan

Meskipun berhasil di awal 1900-an, popularitas determinisme lingkungan


mulai menurun pada tahun 1920 sebagai klaim yang sering ditemukan
salah. Selain itu, kritikus menyatakan itu imperialisme rasis dan diabadikan. Carl
Sauer misalnya mulai kritik-nya pada tahun 1924 dan mengatakan bahwa
determinisme lingkungan menyebabkan generalisasi prematur tentang budaya
suatu daerah tersebut dan tidak memungkinkan hasil berdasarkan pengamatan
langsung atau penelitian lainnya. Sebagai akibat dari kritik dan lain-lain,
geografer mengembangkan teori possibilism lingkungan untuk menjelaskan
perkembangan budaya.
Possibilism lingkungan sebagaimana dimuat oleh geografi Perancis Paul
Vidal de la Blanche dan menyatakan bahwa lingkungan set keterbatasan bagi
pembangunan kebudayaan tetapi tidak benar-benar mendefinisikan
budaya. Budaya adalah bukan ditentukan oleh kesempatan dan keputusan yang
manusia buat dalam respon untuk menangani keterbatasan tersebut. Pada tahun
1950-an, determinisme lingkungan hampir seluruhnya diganti dalam geografi
oleh possibilism lingkungan, efektif mengakhiri terkenal sebagai teori sentral
dalam disiplin.Terlepas dari kemunduran Namun, determinisme lingkungan
merupakan komponen penting dari sejarah geografis pada awalnya diwakili oleh
geografer upaya awal untuk menjelaskan pola-pola mereka melihat berkembang
di seluruh dunia.

Relations of Environmental and Cultural Factors

Jika coba diartikan, maka judul tulisan yang diajukan Kroeber ini memiliki
pengertian sebagai “Relasi-relasi dari Lingkungan dan Faktor-faktor
Kebudayaan”. Dalam tulisannya, Kroeber mengawali dengan mengajukan
asumsi tentang kebudayaan; bahwa di satu sisi, kebudayaan menempati posisi
keutamaan ketika dipahami dalam satuan faktor-faktor budaya, tetapi pada sisi
yang lain; kebudayaan ternyata tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa
referensi non-cultural yang dalam hal ini disebut dengan ‘Lingkungan’, yang
memiliki relasi besar terhadap kondisi dimaksud.
Kroeber kemudian mencoba membuktikan asumsinya melalui ilustrasi
fenomena sosial-budaya dengan setting enam negara bagian Amerika, dan

12
dengan aktivitas pertanian (khususnya jagung) sebagai basis tinjauan atas
praktik kebudayaan. Enam negara bagian dari Amerika Serikat yang merentang
selaksa peregangan sabuk (dari Ohio ke Nebraska), merupakan daerah produksi
tamanan jagung yang dapat memasok hampir separuh dari jumlah kebutuhan
dunia akan jagung. Rentangan ini juga merupakan wilayah yang didiami oleh
orang-orang Indian (American native people), yang juga menggemari tanaman
jagung sebagai salah satu sumber daya pangan.
Kroeber menyatakan bahwa telah terjadi perubahan (pasang-surut) dalam
hasil produksi pertanian tanaman jagung di rentangan wilayah tersebut. Akan
tetapi, menurut Kroeber ini bukan hanya pada persoalan tanaman maupun
sesuatu yang fundamental dalam metode peningkatannya. Ini merupakan faktor
ekstrinsik untuk budidaya itu sendiri yang telah mengubah wilayah pertumbuhan
jagung berskala rendah, menjadi salah satu spesialisasi yang sukses. Faktor-
faktor itu adalah: kebudayaan, hewan domestik, kebutuhan ekonomi dan fasilitas
distribusi, metode transportasi, serta mesin-mesin maupun perlengkapan yang
seringkali tidak terbukti. Di sini Kroeber menekankan pada kita, bahwa
lingkungan (alam) juga mengingatkan hal yang sama sebagaimana pandangan
maupun tanggapan kita terhadap kebudayaan tersebut.
Kegiatan pertanian jagung, perilaku ekonomi dan praktik subsistensi
lainnya, yang cenderung mengacu pada aktivitas budaya; menurut Kroeber
sangat jelas terkondisikan oleh faktor ‘alam’, seperti iklim, tanah, dan drainase.
Suatu musim dengan cuaca dingin (permukaan hamparan diselimuti es) harus
menghangat dan berlangsung cukup lama, kemudian curah hujan juga harus
mencukupi, dan berbagai hal terkait selanjutnya. Bilamana kondisi ini tidak
terpenuhi, maka keterbatasan pertumbuhan tanaman jagung akan terjadi.
Ketidakmampuan seperti ini cenderung berpeluang untuk mempengaruhi seluruh
kebudayaan menjadi tidak dapat melakukan aktivitas bertani. Akan tetapi, tentu
saja akan ada perbedaan yang terjadi sesuai situasi di suatu lokasi. Hal ini
diungkap oleh Kroeber dengan wilayah California (di timur) dan Kanada (di utara)
sebagai ilustrasi pembanding.
Di kawasan Teluk California, bentangan alam sangat mendukung dalam
menyediakan sumber daya pangan, sehingga dapat menyebabkan populasi
penduduk dengan wilayah non-pertanian menjadi lebih padat. Kroeber meyakini
bahwa budaya lokal dengan kondisi alam semacam ini akan mampu
berkembang dengan berbagai tingkat kekuatan dan dengan kemerdekaan, dan
tentu saja dengan tetap berada di sekitar lokus (alam dan budaya) tersebut.
Sementara itu di utara, tidak ada pasokan pangan (alam) yang sebanding, dan
diketahui bahwa jumlah populasi pemburu juga tergolong kecil. Hal ini kemudian
menempatkan mereka pada posisi ketergantungan, ‘keterbudayaan’, dan pada
populasi pertanian yang berdekatan. Pada nada yang sama, medium
kebudayaan menjadi tercairkan oleh kemunginan aktivitas subsistensi terkecil,
yakni banyaknya unsur/elemen dari budaya pertanian yang gagal untuk
mendapatkan atau menghasilkan tumpuan maupun pijakan ke wilayah timur.
Dengan ilustrasi singkat tersebut, Kroeber berusaha meyakinkan kita
bagaimana faktor lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan kebudayaan.
Ia kemudian mengatakan bahwa hal itu telah menunjukkan adanya kesepakatan
antara area (budaya dan alam) sebagai suatu satuan ‘ruang’.

13
Vegetasi Alam

Pada bagian ini, Kroeber mengajak kita untuk memahami bagaimana


keterkaitan antara tegakan vegetasi alam dengan kebudayaan suatu kelompok
komunitas. Hal itu ia coba paparkan dalam beberapa ilustrasi berikut:
Jumlah kebudayaan di wilayah pesisir Northwest hampir sama sempurnanya
dengan Hutan di Northwest.
Di Southwest, sejarah garis pembelahan utama antara budaya Pueblo dan
Sonora-Gila-Yuma, erat disejajarkan dengan pembagian wilayah di
Southwest menjadi semi-gurun dan gurun-total.
Afiliasi drainase Sungai Ular yang bukan dengan Columbia melainkan
dengan Great Basin, sangat kuat dalam mempengaruhi pembentukan
tanaman penutup, logat bicara, dan tentu saja terhadap bentuk budaya.
Daerah tropis di Florida selatan, berkaitan dengan varian dari budaya lokal
yang umum di Southeastern.

Iklim
Iklim dianggap sebagai suatu hal yang bersifat insiden daripada
sistematis sebagai pertimbangan pemikiran dalam tulisan Kroeber, dan tentu
saja bukan suatu hal yang mudah untuk menyepakati pemikiran semacam ini.
Sebagian besar karena komposisinya; suhu udara, curah hujan, rezim musim,
dan faktor alam (minor) lainnya –kesemuanya merupakan varian dengan
berbagai pengaruhnya. Karakter suhu udara mungkin sama di dua daerah,
namun hujan menyebabkan mereka sangat bervariasi sebagai habitat budaya,
atau sebaliknya. Suatu klasifikasi iklim juga bertanggung jawab atas
pembentukan suatu kebudayaan, dan Kroeber mencoba menjelaskan
pemikirannya itu melalui monografi oleh Russell. Dari monografi itu, Kroeber
memproduksi kembali ‘dua peta’ dalam bentuk yang lebih disederhanakan. Peta
1, menunjukkan karakter iklim kering di Amerika Serikat yang diklasifikasikan
menjadi iklim dingin dan panas di daerah padang rumput (steppe/S); kemudian
iklim dingin dan panas (juga terik) di daerah gurun (desert/W). Peta ini mencoba
menunjukkan bagaimana hubungan antara geografi dan kebudayaan, distribusi,
dan juga keterhubungan dari beberapa area, sebagai berikut:
Batas barat padang rumput dan gurun berhadapan dengan iklim lembab
(humid) berada di bawah sebelah timur dari dinding Cascades-Sierra di
Nevada. Lembah (valley) San Joaquin merupakan lahan kering atau
tanah gersang yang di tengahnya merupakan gurun/padang pasir. Di
wilayah pesisir, iklim ker ing diawali dari perantaraan Santa Barbara dan
Los Angeles, berlanjut menuju ke Selatan. Maka, tidak hanya semua
wilayah pesisir di Northwest-Amerika Serikat, tapi ternyata sebagian
besar dari kebudayaan di California berkarakter lembab (humid);
sedangkan selatan-California cenderung beraneka ragam, baik lembab
maupun kering. Orang Achomawi dan Washo masih hidup terutama di
daerah yang beriklim lembab.
Di timur, batas wilayah padang rumput-lembab kerap mengikuti ratusan
meridian. Sebagian besar dataran (plains; suatu bentangan daerah yang
dibedakan dengan prairie; rumput yang luas sekali dan cenderung tanpa
pohon) itu terletak di padang rumput (stepa). Batas iklim yang diberikan
dapat dianggap tidak terlalu jauh dari batas timur dari rentang yang lama,
budaya prehorse bersandar pada habitat Rocky Mountain dengan
serangan musiman ke dataran.
14
Sejarah dan prasejarah budaya Pueblo terletak di padang rumput/steppe.
Wilayah garapan orang-orang Pueblo pada gurun/padang pasir yang
panas adalah di daerah paling bawah –Rio Grande, Chihuahua, Hulu dan
Gila (middle), dan bagian (phases) Selatan-Nevada, semuanya
cenderung merupakan orang pemondok sementara; Gurun dingin juga
meluas hingga ke San Juan yang memanjang seperti sebuah lengan.
Orang-orang purbakala non-Pueblo yang menggemari penggunaan
benda-benda budaya berkesan/berwarna merah (red-on-buff) berpusat di
‘Gua’ dan berbaring sepenuhnya di wilayah padang gurun; sebagaimana
sejarah budaya ‘Colorado’ dalam jumlah kecil, yang berada di padang
pasir terik. Wilayah budaya Great Basin sebagian besar terletak di
padang rumput dan hampir semua di lahan kering/ tanah gersang yang
beriklim dingin/sejuk. Di Nevada, iklim gurun berlaku, tapi rusak oleh
hampir selusin rentangan paralel yang menyebabkannya meningkat
menjadi iklim stepa.
Garis batas yang memisahkan iklim dingin dari iklim panas yang kering,
diperkirakan memisahkan suku-suku Plains utara dari suku-suku Plains
selatan. Hal ini juga memisahkan wilayah yang diduduki oleh Pueblos –
keduanya baik di awal dan akhir dari wilayah tersebut hingga ke selatan,
yang dimiliki oleh mereka hanya untuk sementara waktu (satu kali saja).
Tapi hal ini kelihatannya tidak sesuai dengan signifikansi etnis atau
budaya utama (menonjol) di Nevada dan California.
Peta kedua Russell menunjukkan variasi curah hujan musiman di wilayah
barat-Amerika Serikat. Pada peta kedua, Kroeber telah memadatkannya
(meringkas) menjadi tiga peta. Jenis pertama (wilayah barat) disesuaikan
dengan tipenya Russell ‘S’ dan ‘SF’ (musim panas yang kering, dan musim
dingin yang basah), dengan curah hujan dalam dua bulan musim dingin terbasah
berbanding 2:1 atau lebih, dan dibandingkan dengan dua bulan musim panas
paling basah. Kedua (area timur) disesuaikan dengan tipenya Russell ‘W’, ‘WF’,
‘FW’, ‘fw’ (musim dingin yang kering), dengan curah hujan pada bulan-bulan
yang sama memiliki perbandingan 4:7 atau lebih kecil; dan yang Ketiga (area
tengah) dengan tipenya Russell SF, sf, f, dengan rasio musim dingin-musim
panas di bulan yang sama dengan perbandingan antara 2:1 dan 4:7, atau
dianggap cukup berimbang. Untuk pemahaman yang lebih tepat atas skema ini,
Kroeber tetap mengingatkan kita agar merujuk pada teks asli selengkapnya.
Apakah peta ini dapat menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah
Pueblo yang kuno/purbakala dan modern, keberadaannya benar dalam suatu
wilayah tertentu dengan kelebihan hujan musim panas. Seperti itu ataupun tidak,
letaknya kemungkinan tidak jauh dari batas wilayah, yang kemudian termasuk
dalam rezim Russell berikutnya, "f," untuk yang mana masih ada kelebihan
musim panas, meskipun yang terendah berbanding sekitar 6:5 (batas barat
ditunjukkan oleh garis putus-putus pada peta 2; Dimana curah hujan
(deras/kabut putih) jelas berlebih, tetapi disana tidak ada kegiatan pertanian
orang lokal/asli (native) sama sekali, kecuali di sepanjang daratan yang diairi
melalui pengairan sendiri berupa potongan/bidang kecil (patch) di bagian
bawah/dataran rendah Colorado.
Setelah membahas keterkaitan antara klasifikasi iklim maupun distribusi
musim dan wilayah persebaran kelompok-kelompok budaya melalui peta 1 dan
2, selanjutnya kita akan mencoba memahami deskripsi peta 3 terkait dengan
musim pertumbuhan tanaman jagung, dan kebudayaan Pueblo sebagai acuan
pemahaman.

15
Dikatakan bahwa ketergantungan pertumbuhan tanaman jagung dalam
‘Kebudayaan Pueblo’ tetap terbatas pada suatu daerah dengan curah hujan yang
cukup selama musim pertumbuhan tanaman; yang dalam iklim kering berarti
akan kelebihan hujan musim panas. Ke arah selatan, suatu batas budaya seperti
ini mungkin ditetapkan oleh kegersangan, yang mencapai suatu titik di mana
bahkan konsentrasi musim panas yang cukup tinggi tidak lagi mencukupi. Ke
arah utara, batas itu jelas ditetapkan oleh musim dingin, hal ini seringkali
menyebabkan penutupan-penutupan permukaan oleh embun beku (pembekuan)
yang cukup fatal terhadap pembibitan dan juga aktivitas memanen jagung.
Selanjutnya, Kroeber menduga native California gagal menjadi
masyarakat pertanian disebabkan karakter musim panas kering di wilayah
mereka, yang sejauh ini masih berkenaan dengan tanaman jagung –tidak ada
jumlah curah hujan musim dingin yang bisa mengimbangi kerugian/kegagalan
tersebut. Umumnya/sebagian besar wilayah bagian timur di Amerika Serikat, cold
winters dan curah hujan di musim dingin tidaklah menjadi suatu permasalahan
besar, karena rendahnya elevasi (penaikan suhu) mengizinkan ‘summer’ menjadi
cukup panas dan berlangsung dengan waktu yang cukup lama pula. Dengan
amat memungkinkan dan juga secara relatif, terdapat curah hujan yang cukup
untuk turunnya hujan di musim panas, sehingga tanaman jagung dapat
berkembang dengan baik. Jelas sekali, kalau kondisi ini juga menentukan
distribusi jagung tahap modern, di mana California hari ini bukanlah negara
khusus/utama sebagai penanam jagung.
Seperti musim panas yang menyinari gurun di selatan New Mexico-
Arizona, dan musim panas-kering pada iklim stepa yang panas di selatan
California; Budaya Pueblo ternyata mampu dan telah merekat untuk membangun
pondasi tanaman jagung, dan tetap bertahan meskipun sebelumnya berada pada
situasi dan kondisi yang rawan/genting, tetapi tetap saja tidak mampu meskipun
menjadi mapan/kokoh di tahun-tahun selanjutnya/nantinya. Hal ini terkait dengan
kondisi banjir/luapan air alam lokal yang tidak dapat diprediksi, kecuali memiliki
teknik khusus dalam pembuatan irigasi dengan skala pengukuran-yang layak
atau tepat.
Kebudayaan memang memiliki kekuatan dan juga kuasa untuk menjaga
eksistensinya dengan segala keagungan maupun berbagai kecaman dalam
perjalanannya mengiringi kehidupan manusia. Kita adalah diri, dan budaya
adalah bayangan. Tetapi sebaiknya kita tidak lupa, bahwa lingkungan (alam)
juga mengingatkan hal yang sama selaksa budaya, bahwa kebudayaan tidak
sepenuhnya dapat dimengerti tanpa tumpuan referensi non-cultural, sebagai
ruang di mana manusia dan budaya saling berkelindan. Lajur pemikiran inilah
yang menjadi poin penting dalam sederet cerita (sains) oleh Alfred L. Kroeber,
sebagaimana telah kita telusuri sejak awal.
Sebagian dari kita boleh saja memandang asing atau klasik atas
pemikiran Kroeber yang dekat dengan aliran pandangan ‘environmental
determinism’, karena hadir pada abad 17 di belahan bumi eropa oleh para ahli
ilmu alam, khususnya oleh orang-orang Yunani (klasik). Meskipun gagasannya
tentang ‘pendiktean’ (mekanisme) lingkungan (alam) terhadap suatu kebudayaan
telah mengundang banyak kritikan, bahkan banyak yang menyatakan bahwa
aliran pemikiran ini telah berakhir, ternyata dalam dekade ini, aliran pemikiran ini
telah menemukan jalannya untuk hidup kembali.
Bagaimana mungkin? Tentu saja, kenapa tidak. Mari kita palingkan
sejenak ingatan kita pada beberapa peritiwa dalam kurun waktu terakhir, yakni
tentang berbagai peristiwa pergerakan alam yang sering kita dengungkan
sebagai peristiwa ‘bencana alam’. Mulai dari gempa ‘tektonik’ berkekuatan 9,0

16
skala Richter di wilayah Propinsi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) yang diikuti
dengan gelombang tsunami begitu besar, sehingga menyebabkan wilayah ini
menjadi luluh lantak dan menyisakan deretan cerita lalu tentang negeri manusia
dengan kebudayaannya yang agung, yang selama ini merasa telah
menundukkan alam dan seakan-akan telah menaklukkannya dengan berbagai
cara –sampai dengan kisah bunda nestapa di ranah (tanah) minang yang
diguncang oleh gempa ‘tektonik’ berkekuatan 7,6 Skala Richter (BMG Indonesia)
atau 7,9 Skala Richter (BMG Amerika). Peristiwa bencana alam ini juga
meninggalkan berbagai kisah yang seakan-akan meruntuhkan suatu fase
peradaban manusi.
Tentu saja bukan suatu hal terlarang untuk menganggap pemikiran
tentang kebangkitan ‘environmental determinism’ seperti dipaksakan. Akan
tetapi, sepertinya bukan suatu hal yang salah juga jika beranggapan bahwa
‘environmental determinism’ telah menemukan jalannya untuk hidup atau bangkit
kembali, meskipun dengan wajah baru, dengan senyum dan bisikan-bisikan
argumentasi konstruksi pemikiran, untuk mendengungkan suara-suara
‘environmental determinism’ kekinian (Neo-environmentalism).

17
DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia.2011.Environmentaldeterminism.
http://en.wikipedia.org/wiki/Environmental_determinism.Diakses pada
tanggal 13 Mei 2011

Hendriprima.2010.Pengaruh lingkungan terhadap pribadi.


Http://hendriprima.blogspot.com/2010/12/pengaruhlingkungan-terhadap-
pribadi.html.diakses pada tannggal 12 mei 2011

Wapedia.2011.Lingkungan.
http://wapedia.mobi/id/Lingkungan. Diakses pada tanggal aniendriani.2011.teori-
teori yang mempengaruhi, Http://aniendriani.blogspot.com/2011/02/teori-
teori-yang-mempengaruhi.html.Diakses pada tanggal 13 Mei 2011

Baehaqiarif.2009.geografi.http://baehaqiarif.files.wordpress.com/2009/12/geograf
i.pdf.diakses pada tanggal 13 Maret 2011

Wikipedia.tahun.determinismelingkungan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Determinisme_lingkunganhttp://www.scribd.co
m/doc/6330078/Manusia-Dan-Lingkungan-Hidup. Diakses pada Tanggal

Ahimsa-Putra, H.S. 1994 “Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan


Perkembangannya”. Masyarakat Indonesia - Majalah Ilmu-ilmu Sosial
Indonesia, Thn. XX (4): 1-50. Jakarta: LIPI.

18

Anda mungkin juga menyukai