Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TUGAS MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH

Dosen Pengampu :
Dr. Musrifah, M.A

NAMA KELOMPOK:
1. AHMAD FIRMANSYAH (E0022051)
2. LARAS ELOK FAOZAH (E0022052)
3. YUNNANDA MELIARNA JAWZA (E0022053)
4. AGHNIA TIARA ANGGRARULILLAH (E0022054)
5. SEPTI NUZIARI (E0022055)

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Tugas Manusia sebagai
Khalifah” dapat kami selesaikan dengan baik. Tim penulis berharap makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca tentang pelanggaran atau kesalahan
apa saja yang biasa terjadi dalam bahasa keseharian yang bisa kita pelajari salah satunya dari
karya film. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai
kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni melalui
kajian pustaka maupun melalui media internet.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini.Akan tetapi
pada akhirnya kami mengakui bahwa tulisan ini terdapat beberapa kekurangan dan jauh dari
kata sempurna, sebagaimana pepatah menyebutkan “tiada gading yang tidak retak” dan
sejatinya kesempurnaan hanyalah milik tuhan semata. Maka dari itu, kami dengan senang hati
secara terbuka untuk menerima berbagai kritik dan saran dari para pembaca sekalian, hal
tersebut tentu sangat diperlukan sebagai bagian dari upaya kami untuk terus melakukan
perbaikan dan penyempurnaan karya selanjutnya di masa yang akan datang.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau
pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf.
Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Tegal, 26 Februari 2023

2
DAFTAR ISI
COVER ………………………………………………………………..…………..i
KATA PENGANTAR …………...……………………………………………….ii
DAFTAR ISI ………………………………………….……………………...….iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1       LATAR BELAKANG ……………………...…………………………………..1
1. 2     RUMUSAN MASALAH ...……………………………………………………...6
1.3      TUJUAN MASALAH ……………………...……………………………….......6
1.4 MANFAAT ………………...…………………………………………………….6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


   2.1  DASAR TEORI ………………………………………………………………….4

BAB III PEMBAHASAN


3.1   DEFINISI VIRUS ………………………...………………………………………6
3.2   STRUKTUR DAN ANATOMI VIRUS ...……………………………………..…7
3.3  REPRODUKSI VIRUS ...…………………………………………………………9
3.4   KLASIFIKASI VIRUS ……………………………...………………………….12
3.5   PERANAN VIRUS DALAM KEHIDUPAN ...………………………………...14

BAB IV PENUTUP
4.1    KESIMPULAN …………………………………………………………..……..17
4.2   SARAN ...……………………………………………………………………….19

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama dominan kedua yang dianut oleh umat didunia, khususnya
masyarakat Indonesia. Saat ini, Islam masih ada di peringkat kedua dengan jumlah pemeluk
sebanyak 1,59 miliar jiwa atau sekitar 23% dari total populasi dunia, jumlah muslim
diperkirakan akan naik hampir dua kali lipat, dengan perkiraan mencapai 2,7 miliar muslim
pada 2050, ini akan menjadikan 29% penduduk dunia nantinya adalah orang Islam (Tirto.id,
2017).

Dalam ajaran islam sangat menganjurkan dan peduli akan alam, bahkan sangat
banyak ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk memelihara dan mengelola
alam guna keberlangsungan hidup manusia, sehingga manusia mesti peka terhadap isu-isu
lingkungan hidup. Hubungan agama islam dan konsep ekologis islam menurut Nasr bahwa
krisis yang dialami manusia, salah satunya yaitu krisis lingkungan yang terjadi akibat dari
ulah manusia.

modern yang cenderung meninggalkan dimensi spiritualitasnya2. Dengan semakin


canggihnya teknologi menjadikan manusia modern mudah megeksploitasi alam tanpa
menggunakan unsur spiritualnya. Pandangan spiritualitas menurut Nasr merupakan hal yang
sangat penting dalam kehidupan manusia demi keberlangsungan bumi dan isinya. Kerusakan
alam dan lingkungan hidup yang lebih dahsyat bukanlah disebabkan oleh proses alam yang
semakin tua, akan tetapi justru akibat dari ulah tangan-tangan manusia yang selalu berdalih
memanfaatkannya, yang sesungguhnya sering kali mengeksploitasi tanpa mempedulikan
kerusakan-kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya (Fadjar, 2005).

Hasil riset pada masyarakat kontemporer yang antara lain dilakukan oleh
Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC) serta puluhan badan riset dalam
kelompok G-8 (Negaranegara maju) dan G-20 (Negara ekonomi besar berjumlah 20)
menyimpulkan bahwa peningkatan suhu permukaan bumi, kerusakan lingkungan hidup serta
terkurasnya sumber daya alam disebabkan oleh aktivitas manusia sepanjang sejarah, sehingga
dalam skala global, eksplotasi sumber daya alam yang semakin intensif di berbagai kawasan
dunia dilakukan oleh masyarakat industri yang nampaknya tidak memiliki kompetensi dan
kecerdasan ekologis (Supriatna, 2016).

Kerusakan sumber daya alam (tanah, air dan udara), terjadinya deforestasi dan
degradasi hutan bahkan kebakan hutan yang sering terjadi yang mengakibatkan menipisnya
dan musnahnya hayati, hingga terjadinya permukaan air laut naik dan tenggelamnya beberapa
pula, serta merebaknya berbagai jenis penyakit merupakan berbagai bentuk masalah akibat
terjadinya krisis lingkungan, sehingga menuntut adanya solusi segera dalam menanggulangi

4
hal tersebut, hal-hal demikian terjadi akibat perilaku eksploitasi dan konsumtif manusia yang
berlebihan (serakah) dengan menganggungkan paradigma antroposentrisme. Pandangan
antroposentrisme yaitu anggapan bahwa manusia bukan merupakan dari alam, melainkan
manusia adalah hasil cipta Tuhan, yang diciptakan untuk mengatur dan menaklukkan alam.
Dengan pandangan tersebut menimbulkan dualisme antara manusia berada di satu pihak dan
alam berada dipihak lain, oleh sebab itu, terjadinya eksploitasi manusia terhadap alam dalam
pandangan antroposentrisme merupakan perwujudan kehendak Tuhan, karena manusia
diciptakan untuk menguasai dan menaklukkan alam.

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang terbesar dan teristimewa di antara
makhluk lainnya, sehingga manusia mampu mewujudkan perbuatan yang paling tinggi pula.
Mufid (2010) manusia sebagai makhluk kosmis (microcosmos, istilah dari Ibnu Maskawih)
yang dibekali dengan perangkat lengkap dengan semua persyaratan, syarat yang menyatakan
bahwa manusia sebagai suatu kesatuan jiwa raga dalam hubungan timbal balik dengan dunia
dan sesamanya.

Di era modern ini peniadaan hal-hal yang bersifat sakral (tardisi) menjadikan
penyebab terjadinya krisis ekologi, hal ini sejalan dengan pendapat Nasr (dalam Syakur,
2008) bahwa peniadaan hal-hal yang bersifat sakral dalam era modern ini merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya krisis ekologi dan proses dehumanisasi yang menyertainya
seperti yang diderita saat ini. Bahkan akar-akar budaya modernitas yang dianggap sebagai
penyebab terserabutnya pandangan tradisional religius terhadap alam semesta, yakni alam
sebagai tanda-tanda kebesaran sang pencipta. Krisis ekologi yang terjadi di muka bumi
menjadikan diskusi-diskusi dalam bidang sains dan agama terasa mendesak, jika setiap
manusia dari berbagai perspektif yang berbeda tidak dapat menyepakati keprihatinan bersama
akan dunia, maka sistem kehidupan di muka bumi terancam bahaya kehancuran akibat ulah
daripada manusia.

Hasil dari penelitian Syakur dengan judul Perspektif Pelestarian Lingkungan Hidup
dalam Islam, menyatakan bahwa di lingkungan umat islam pemahaman Al-Quran yang
bersifat tematik dan yang bersifat komprehensif-utuh belum banyak dilakukan oleh pemikir
muslim, sehingga pemikiran islam mengenai ekologi belum sepenuhnya terkaji. Terumat
Islam dengan tradisi keberagamaannya seharusnya sadar akan adanya makna lebih mendalam
dibalik ibadah formal yang mereka lakukan, sehingga tindakan mereka tidak hanya bersifat
teosentrik, tetapi juga berdimensi ekososial sentris. Dengan pemahaman terhadap alam
lingkungan dan kehidupan manusia diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berbobot
oleh cendekiawan agama untuk mengatasi krisis ekologi dan krisis global. Kemudian hasil
penelitian kedua oleh Quddus dengan judul Ecotheology Islam: Teologi Konstruktif Atasi
Krisis Lingkungan, menyatakan bahwa ecoteology islam bersumber dari ecotheology dan
kosmologi sakral dapat berkontribusi positif sebagai guiding principles pengelolaan alam.
Kontribusi tersebut nampak jelas pada beberapa prinsip ecotheologi islam yaitu: prinsip
tawbid (unity of all creation), prinsip amanah-khalifah (trustworthinessmoral leadership), dan
akhirah (responsibility).

Dengan ketiga prinsip tersebut yang membekali manusia dalam mengelola alam dan
lingkungannya yaitu tawbid yaitu manusia menyadari bahwa manusia dan alam merupakan

5
satu-kesatuan dan alam bukan milik manusia melainkan Allah, sehingga manusia hanyalah
bersifat amanah, manusia hanya menjadi pemegang amanah atau titipan Allah berupa
menjaga dan memelihara alam, bukan merusak dan eksploitatif alam. Dengan begitu manusia
harus mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya di akhirat yaitu konsep akhirah yang
menjadi bingkai atau rambu-rambu peringatan dalam pemanfaatan dan pengelolaan alam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi atau pengertian dari khalifah ?


2. Bagaimana penjelasan akan manusia sebagai khalifah ?
3. Bagaimana eksistensi manusia dalam perspektif kekhalifahan ?
4. Apa makna dan peran kekhalifahan manusia di bumi?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi atau pengertian dari khalifah


2. Untuk mengetahui penjelasan akan manusia sebagai khalifah
3. Untuk mengetahui eksistensi manusia dalam perspektif kekhalifahan
4. Untuk mengetahui makna dan peran kekhalifahan manusia dibumi

D. Manfaat
1. Dapat mengetahui definisi atau pengertian dari khalifah
2. Dapat mengetahui penjelasan akan manusia sebagai khalifah
3. Dapat mengetahui eksistensi manusia dalam perspektif kekhalifahan
4. Dapat mengetahui makna dan peran kekhalifahan manusia dibumi

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi/Pengertian Khalifah

Manusia bertanggung jawab terhadap keberlanjutan ekosistem karena manusia


diciptakan sebagai khalifah (Nahdi, 2008). Dalam konteks Al-Quran memandang manusia
sebagai “wakil” atau “khalifah” Allah di bumi, untuk memfungsikan kekhalifahannya Tuhan
telah melengkapi manusia potensi intelektual dan spiritual sekaligus (Hafsin, 2007). Sesuai
dengan UU RI Nomor 23 Tahun 1997 yang menyatakan pengertian lingkungan hidup itu
sendiri yang didalamnya telah melibatkan peranan manusia dan perilakunya dalam
menyejahterakan makhluk hidup dan dirinya. Karena secara etika manusia berkewajiban dan
bertanggung jawab terbesar terhadap lingkungan dibandingkan dengan makhluk lainnya.

Allah menganugrahi akal kepada manusia, dan dengan akal itulah Allah menurunkan
agama. agama sebagai petunjuk dan pedoman dalam kehidupan, merupakan dasar untuk
mengatur bagaimana berhubungan dengan sang pencipta dan hubungan dengan alam semesta.
Manusia dalam agama merupakan bagian dari lingkungan hidupnya, sehingga manusia
ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi ini. Seperti dalam firman Allah, yaitu:
ٰٓ
ُ ِ‫ض َخلِيفَةً ۖ قَالُ ٓو ۟ا َأتَجْ َع ُل فِيهَا َمن يُ ْف ِس ُد فِيهَا َويَ ْسف‬
‫ك‬ ِ ْ‫ك لِ ْل َملَِئ َك ِة ِإنِّى َجا ِع ٌل فِى ٱَأْلر‬ َ َ‫َوِإ ْذ ق‬
َ ُّ‫ال َرب‬
َ‫ك ۖ قَا َل ِإنِّ ٓى َأ ْعلَ ُم َما اَل تَ ْعلَ ُمون‬
َ َ‫ك َونُقَدِّسُ ل‬
َ ‫ٱل ِّد َمٓا َء َونَحْ نُ نُ َسبِّ ُح بِ َح ْم ِد‬

Yang artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:


“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al- Baqarah [2] : 30).

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan,


kekuasaan dan penerapan hukumhukum syariah (HTI, 2008). Khalifah adalah wakil umat
dalam kehidupan di muka bumi. Seperti dalam firman Allah SWT :

7
‫است َۡخلَفَ الَّ ِذ ۡينَ ِم ۡن قَ ۡبلِ ِهمۡۖ َولَيُ َم ِّكن ََّن‬ ‫اۡل‬
ِ ‫ت لَـيَ ۡست َۡخلِفَـنَّهُمۡ فِى ا َ ۡر‬
ۡ ‫ض َك َما‬ ِ ‫صلِ ٰح‬ ّ ٰ ‫َو َع َد هّٰللا ُ الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا ِم ۡن ُكمۡ َو َع ِملُوا ال‬
‫َضى لَهُمۡ َولَـيُبَ ِّدلَــنَّهۡـُم ِّم ۡۢن بَ ۡع ِد خ َۡوفِ ِهۡـم اَمۡ نًا‌ ؕ يَ ۡعبُد ُۡونَنِ ۡـى اَل ي ُۡش ِر ُك ۡونَ بِ ۡى َش ۡيــًٔــا‌ ؕ َو َم ۡن َكفَ َر‬ ٰ ‫لَهُمۡ ِد ۡينَهُ ُم الَّ ِذى ۡارت‬
َ ‫ولٓ ِٕٮ‬
َ‫ك هُ ُم ۡال ٰف ِسقُ ۡون‬ ٰ ُ ‫بَ ۡع َد ٰذ لِكَ فَا‬

Yang artinya: “Allah telah berjanjian kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal yang salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orangorang
sebelum mereka berkuasa, akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya
untuk mereka, dan akan menukar (keadaan) mereka setelah mereka berada dalam ketakutan
menjadikan aman sentosa, mereka tetap menyebah-Ku tanpa mempersekutukan apapun
dengan Aku. Siapapun yang sudah kafir sesudah janji itu maka mereka itulah orang-orang
yang fasik” (Q.S. An-Nur [24]: 55).

Khalifah adalah sebutan yang diberikan kepada pemagang kekuasaan tertinggi dalam
suatu pemerintahan islam, muncul pertama kali di Tsaqifah (Rumah) Bani Sa’idah yang
merupakan suku di Madinah, berdasarkan prinsip pemilihan khalifah dari suku Quraisy
(Usmani, 2016). Makna khalifah dalam islam sebagai satu-satunya pemimpin di seluruh
penjuru dunia, sehingga khalifah menjadi pemimpin seluruh umat islam dari segala penjuru
dunia.

Interaksi antara manusia dengan sumber-sumber alam harus berlangsung berdasarkan


kaidah-kaidah yang diatur oleh Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Bahkan Allah
mengamanahkan bumi kepada manusia untuk menyikapi ketentuan dan hukum-hukumnya.

B. Manusia Sebagai Khalifatullah

Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan
penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup
manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat.
Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam
rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di
dunia dan ketenangan di akhirat. Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi?
Dan bagaimanakah manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah
manusia bisa mencapai kesenangan dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali
ayat yang menjelaskan mengenai tiga pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti
disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:

ٓ
ُ‫ٓاء َون َۡحن‬ ُ ِ‫ض خَ لِ ۡيفَةً ؕ قَالُ ۡ ٓوا اَت َۡج َع ُل فِ ۡيهَا َم ۡن ي ُّۡف ِس ُد فِ ۡيهَا َويَ ۡسف‬
َۚ ‫ك ال ِّد َم‬ ‫اۡل‬
ِ ‫اع ٌل فِى ا َ ۡر‬ ِ ‫ال َربُّكَ لِ ۡل َم ٰل ِٕٮ َك ِة اِنِّ ۡى َج‬َ َ‫َواِ ۡذ ق‬
َ‫ك َونُقَدِّسُ لَـكَ‌ؕ قَا َل اِنِّ ۡ ٓى اَ ۡعلَ ُم َما اَل ت َۡعلَ ُم ۡون‬ َ ‫نُ َسبِّ ُح بِ َحمۡ ِد‬

8
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30).

Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugastugas yang
telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas
tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu
berada di bumi sebagai khalifatullah. Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah,
sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan”
ataupun “jabatan”. Jabatanjabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan
penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan
keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak
ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu
manusia pun yang akan melakukan penyimpanganpenyimpangan selama dia menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan
yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah
merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai
khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua
makhluknya.
Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut kondisinya.
Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah. Disebutkan dalam Al-Qur’an
Surah Al-Baqarah:(Yushabbihu lillahi ma fissamawati wama fil ardh).

Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada


Allah dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah
sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke
dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan
meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan
roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab
oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”

Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan
ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai
Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada
Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya Manusia mulai
melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil
baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka
takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan. Makna sederhana dari khalifatullah
adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk
beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya yang artinya:

9
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”.{Surah Az-
Zariyat Ayat 56}.

Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah.
Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah)
dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang
langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang
meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi
yang melaksanakannya, makaakan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah
antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua
aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak,
makan, dan menuntut ilmu.

C. Eksistensi Manusia dalam Perspektif Kekhalifahan

Manusia mempunyai keistimewaan dibanding dengan makhluk Tuhan yang lainnya


dimuka bumi ini. Keistimewaan ini bisa dilihat dari sisi penciptaan fisik maupun personalitas
karakternya. Karena keistimewaannya itu, manusia memiliki tugas dan kewajiban yang
berbeda dengan makhluk yang lain.hal ini dapat kita lihat dalam Surat Al-Baqarah ayat 30-33
yang memaparkan proses kejadian manusia dan pengangkatannya sebagai khalifah. Proses
kejadian inilah yang dapat memberikan pengertian kedudukan manusia sebagai khallifatullah
dalam Alam Semesta.
Sebagaimana diungkapkan penafsir Musthafa Al-Maraghi berikut:
Menurut Musthfa Al-Maraghi Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33 menceritakan tentang
kisah kejadian umat manusia. Menurutnya dalam kisah penciptaan Adam yang terdapat
dalam ayat tersebut mengandung hikmah dan rahasia yang oleh Allah diungkap dalam bentuk
dialok antara Allah dengan malaikat. Ayat ini termasuk ayat Mutasyabihat yang tidak cukup
dipahami dari segi dhahirnya ayat saja. Sebab jika demikian berarti Allah mengadakan
musyawarah dengan hambanya dalam melakukan penciptaan. Sementara hal ini adalah
mustahil bagi Allah. Karena ayat ini kemudian diartikan dengan pemberitaan Allah pada para
malaikat tentang penciptaan Khalifah di Bumi yang kemudian para Malaikat mengadakan
sanggahan. Berdasarkan tersebut, maka ayat diatas merupakan tamsil atau perumpamaan dari
Allah agar mudah dipahami oleh manusia, khususnya mengenai proses kejadian Adam dan
keistimewaannya. Dalam Al-Qur’anmanusia berulang kali diangkat derajatnya, berulang-kali
pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan bahkan para
malaikat. Tetapi, pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan
setan terkutuk dan binatang jahanam sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang
mampu menaklukan alam, namun bisa juga merosot menjadi “yang paling rendah dari segala
yang rendah”. Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan
menentukan nasib akhir mereka sendiri.
Allah berfirman dalam surat Al Isra ayat 4 yang berbunyi :

10
‫ض َم َّرت َۡي ِن َولَت َۡعلُ َّن ُعلُ ًّوا َكبِ ۡيرًا‬ ‫اۡل‬ ۡ ِ ‫ض ۡينۤـَا اِ ٰلى بَنِ ۡۤى اِ ۡس َر ۤا ِء ۡي َل فِى ۡال ِك ٰت‬
ِ ‫ب لَـتُف ِسد َُّن فِى ا َ ۡر‬ َ َ‫َوق‬
Artinya : Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu:
“Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu
akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar“. (QS Al Isra : 4).

Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan
fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak melakukan pengrusakan terhadap Alam
yang diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.

Seperti firmannya dalam surat Al Qashash ayat 77 yang berbunyi:

‫ك ِمنَ ال ُّد ۡنيَا‌ َواَ ۡح ِس ۡن َك َم ۤا اَ ۡح َسنَ هّٰللا ُ اِلَ ۡيكَ‌ َواَل ت َۡب ِغ ۡالـفَ َسا َد فِى‬
َ َ‫َص ۡيب‬
ِ ‫سن‬
‫و ۡابتَغ ف ۡيم ۤا ٰا ٰتٮ َ هّٰللا‬
َ ‫ك ُ ال َّدا َر ااۡل ٰ ِخ َر ‌ةَ َواَل ت َۡن‬ َ ِ ِ َ
ۡ ۡ ‫هّٰللا‬
َ‫ض‌ؕ اِ َّن َ اَل ي ُِحبُّ ال ُمف ِس ِد ۡين‬ ‫اۡل‬
ِ ‫ا َ ۡر‬
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS AL
Qashash : 77)
Manusia dengan makhluk Allah lainnya sangat berbeda, apalagi manusia memiliki
kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, salah satunya manusia
diciptakan dengan sebaik-baik bentuk penciptaan, namun kemuliaan manusia bukan terletak
pada penciptaannya yang baik, tetapi tergantung pada; apakah dia bisa menjalankan tugas dan
peran yang telah digariskan Allah atau tidak, bila tidak, maka ia akan dimasukkan ke dalam
neraka dengan segala kesengsaraannya.
Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah
SWT, paling tidak ada tiga kriteria yang harus kita penuhi.
1. Lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT.
Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh
Allah SWT dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang
melaksanakan suatu amal, karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya
itu berat, ia tidak merasakannya sebagai sesuatu yang berat, apalagi amal
yang memang sudah ringan. Sebaliknya, tanpa keikhlasan, amal yang ringan

11
sekalipun akan terasa menjadi berat, apalagi amal yang jelas-jelas berat
untuk dilaksanakan, tentu akan menjadi amal yang terasa sangat berat untuk
mengamalkannya
2. Lakukan segala sesuatu dengan cara yang benar, bukan membenarkan
segala cara, sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT dan
dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan
segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah SWT, maka tidak ada
penyimpanganpenyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan
hidup manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan.
3. Lakukan segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah SWT dan ini
akan membuat manusia hanya punya satu kepentingan, yakni ridha-Nya.
Bila ini yang terjadi, maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak
akan menghadapi kesulitan, terutama kesulitan dari dalam diri para
penegaknya, hal ini karena hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena
manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yang justru bertentangan
dengan ridha Allah SWT.

Nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari Allah SWT harus ditegakkan dalam
kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya, manusia diperankan oleh Allah SWT sebagai
khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah SWT
berfirman yang berbunyi:

ٓ
ُ‫ٓاء َون َۡحن‬ ُ ِ‫ض خَ لِ ۡيفَةً ؕ قَالُ ۡ ٓوا اَت َۡج َع ُل فِ ۡيهَا َم ۡن ي ُّۡف ِس ُد فِ ۡيهَا َويَ ۡسف‬
َۚ ‫ك ال ِّد َم‬ ‫اۡل‬
ِ ‫اع ٌل فِى ا َ ۡر‬ ِ ‫ال َربُّكَ لِ ۡل َم ٰل ِٕٮ َك ِة اِنِّ ۡى َج‬َ َ‫َواِ ۡذ ق‬
َ‫ك َونُقَدِّسُ لَـكَ‌ؕ قَا َل اِنِّ ۡ ٓى اَ ۡعلَ ُم َما اَل ت َۡعلَ ُم ۡون‬ َ ‫نُ َسبِّ ُح بِ َحمۡ ِد‬
Artinya,: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
(Surat Al-Baqarah Ayat 30).

Untuk bisa menjalankan fungsi khalifah, manusia harus menegakkan nilainilai


kebenaran dan keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan, ini merupakan perkara
yang sangat mendasar untuk bisa diterapkan. Tanpa kebenaran dan keadilan serta kebaikan
dan kemaslahatan, tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa diwujudkan,
karenanya ini menjadi persyaratan utama bagi manusia untuk menjalankan fungsi khalifah
pada dirinya. Allah SWT berfirman yang berbunyi:

َ‫ُضلَّكَ ع َۡن َسبِ ۡي ِل هّٰللا ‌ِ ؕ اِ َّن الَّ ِذ ۡين‬


ِ ‫ق َواَل تَتَّبِ ِع ۡالهَ ٰوى فَي‬ِّ ‫اس بِ ۡال َح‬
ِ َّ‫اح ُكمۡ بَ ۡينَ الن‬ۡ َ‫ض ف‬ ‫اۡل‬ َ ‫ٰيد َٗاو ُد اِنَّا َج َع ۡل ٰن‬
ِ ‫ك خَ لِ ۡيفَةً فِى ا َ ۡر‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ضلُّ ۡونَ ع َۡن َسبِ ۡي ِل ِ لَهُمۡ َع َذابٌ َش ِد ۡي ۢ ٌد بِ َما نَس ُۡوا يَ ۡو َم ۡال ِح َسا‬
‫ب‬ ِ َ‫ي‬
Artinya: "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.

12
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat
karena mereka melupakan hari perhitungan." (Surah Shad ayat 26).
Untuk bisa memperoleh kehidupan yang baik di dunia ini, salah satu yang menjadi
penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil sehingga siapa pun yang bersalah
akan dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya, karenanya hal ini merupakan
sesuatu yang sangat ditekankan oleh Allah SWT kepada manusia sebagaimana terdapat
dalam firman-Nya yang berbunyi:

‌‫ل ؕ اِ َّن هّٰللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُكۡـم بِ ٖه‬


‌ِ ‫اس اَ ۡن ت َۡح ُك ُم ۡوا بِ ۡال َع ۡد‬ ٓ ‫ا َّن هّٰللا ي ۡام ُر ُكمۡ اَ ۡن تَُؤ ُّدوا ااۡل َمٰ ٰن‬
ِ َّ‫ت اِ ٰلى اَ ۡهلِهَا ۙ َواِ َذا َح َكمۡ تُمۡ بَ ۡينَ الن‬
ِ ُ َ َ ِ

‫هّٰللا‬
ِ َ‫ؕ اِ َّن َ َكانَ َس ِم ۡي ۢ ًعا ب‬
‫ص ۡي ًراـ‬

Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Surat An-
Nisa Ayat 58).

D. Makna Dan Peran Kekhalifahan Manusia Di Bumi


Manusia dipilih sebagai khalifatullah, sebagaimana diuraikan diatas, karena kelebihan
yang dianugerahkan Allah kepada manusia berupa ilmu pengetahuan, yang tidak diberikan
kepada makhluk Allah yang lain termasuk malaikat. Ayatayat diatas yang menyampaikan
tentang pengajaran Allah kepada manusia memberikan pengertian bahwa untuk dapat
menjalankan fungsi dan peran kekhalifahan diperlukan modal atau syarat yaitu ilmu. Hal ini
senada dengan pendapat Quraish Shihab bahwa pengetahuan atau potensi yang berupa
kemampuan menyebutkan nama-nama itu merupakan sayrat sekaligus modal bagi Adam
(Manusia) untuk mengelola bumi ini. Mengutip pendapatnya Musa Asy’arie, menurutnya
bahwa tugas seorang khalifah, sebagai pengganti yang memegang kepemimpinan dan
kekuasaan, pada dasarnya mengandung implikasi moral, karena kepemimpinan dan
kekuasaan yang dimiliki seorang khalifah dapat disalahgunakan untuk kepentingan mengejar
kepuasan hawa nafsunya, atau sebaliknya juga dapat dipakai untuk kepentingan menciptakan
kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu, kepemimpinan dan kekuasaan manusia harus
tetap diletakan dalam kerangka eksistensi manusia yang bersifat sementara, sehingga dapat
dihindari dari kecenderungan pemutlakan kepemimpinan atau kekuasaan, yang akibatnya
dapat merusak tatanan dan harmoni kehidupan.3
Dalam beberapa ayat juga disebutkan bahwa manusia memiliki kehidupan ideal dan
dari kehidupan ideal itu manusia didorong kepada kehidupan riil agar ia dapat teruji sebagai
makhluk fungsional sebagaimana dalam firman Allah dalam surah Al-Mulk ayat 2 yang
berbunyi:

13
‫ق ۡال َم ۡوتَ َو ۡال َح ٰيوةَ لِيَ ۡبلُ َو ُكۡـم اَيُّ ُكمۡ اَ ۡح َسنُ َع َماًل ؕ َوهُ َو ۡال َع ِز ۡي ُز ۡال َغفُ ۡو ۙ ُر‬
َ َ‫ۨالَّ ِذ ۡى خَ ل‬

Artinya: Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,( surah Al-
Mulk ayat 2 ).
Maksudnya, hidup atau kehidupan riil adalah hidup di bumi sekaligus mati di bumi.
Dalam kaitan ini menurut konsepsi Al-Qur’an manusia juga sering disebut sebagai khalifah
dalam pengertian kuasa (mandataris, bukan penguasa). Dalam status itulah manusia terkait
dengan berbagai hak, kewajiban, serta tanggungjawab, yang semuanya merupakan amanah
baginya.
Kemuliaan manusia ini menunjukkan bahwa manusia dibanding dengan makhluk lain
memiliki keistimewaan yang membawanya kepada kedudukan yang istimewa pula yaitu
khalifah. Dalam kedudukan ini manusia diiberi peran untuk membangun dan
mengembangkan dunia baik secara sendiri-sendiri(individualistik) maupun bersama-
sama(sosial). Manusia mampu berperan menenukan nasib mereka sendiri. Peran ini dilakukan
secara sadar dan melalui kehendak bebasnya, artinya manusia dapat menentukan
masadepanya atas dasar pengeahuan tentang diri, kehidupan disekeliling mereka dan
berdasarkan intelekualitas serta pemeliharaan diri secara baik.
Manusia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak (free will), suatu
kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih tingkah lakunya sendiri. Manusia
dibekali akal yang dengan akal itu manusia mampu membuat pilihan antara yang benar dan
yang salah.
M. Quraish Shihab pun mengharuskan memiliki karakter sebagai manusia secara
pribadi maupun kelompok, mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah, guna
membangun dunia sesuai konsep yang ditetapkan Allah. Sehinga khalifah harus memiliki
empat sisi karakter yang saling terkait. Keempat sisi tersebut adalah:
a. Memenuhi tugas yang diberikan Allah.
b. Menerima tugas tersebut dan melaksakannya dalam kehidupan
perorangan maupun kelompok.
c. Memelihara serta mengelola lingkungan hidup untuk
kemanfaatan bersama.
d. Menjadikan tugas-tugas khalifah sebagai pedoman
pelaksanaannya.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan
tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan
ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan
oleh Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk
mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.

Sebagaimana dalam firman Allah surah Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

ٓ
ُ‫ٓاء َون َۡحن‬ ُ ِ‫ض خَ لِ ۡيفَةً ؕ قَالُ ۡ ٓوا اَت َۡج َع ُل فِ ۡيهَا َم ۡن ي ُّۡف ِس ُد فِ ۡيهَا َويَ ۡسف‬
َۚ ‫ك ال ِّد َم‬ ‫اۡل‬
ِ ‫اع ٌل فِى ا َ ۡر‬ ِ ‫ال َربُّكَ لِ ۡل َم ٰل ِٕٮ َك ِة اِنِّ ۡى َج‬َ َ‫َواِ ۡذ ق‬
َ‫ك َونُقَدِّسُ لَـكَ‌ؕ قَا َل اِنِّ ۡ ٓى اَ ۡعلَ ُم َما اَل ت َۡعلَ ُم ۡون‬ َ ‫نُ َسبِّ ُح بِ َحمۡ ِد‬

15
Artinya: Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui“. (Q.S. AlBaqarah: 30)

Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting
yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan
bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari
pihak manapun.

B. Saran

Dalam penulisan makalah sebaiknya mengikuti aturan penulisan yang telah disepakati
atau ditetapkan. Serta menggunakan referensi dari sumber yang valid dan terbaru. Selain itu,
bacalah dengan teliti makalah sebelum diprint dan dikumpul karena ditakutkan terdapat salah
pengetikan yang bisa berakibat fatal jika tidak dimaklumi oleh dosen-dosen tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Asy’arie , Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta:


LSIF. 1992.
Fadjar, A. Malik. 2005.Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
Hafsin, Abu. 2007. Islam dan Humanisme: Akulturasi Humanisme Islam di Tengah Krisis
Humanisme Universal. Yogyakarta : IAIN Walisongo dengan Pustaka Pelajar.
Hizbut Tahrir Indonesia. 2008. Struktur Negara Khilafah. Jakarta :

16
Dar Al-Ummah.
Mufid, Sofyan Anwar. 2010. Ekologi Manusia. Bandung :
Remaja Roesdakarya.
Muhammad, Alim. Pendidikan Agama Islam. Bandung:
PT Remenaja Rosdakarya. 2006.
Murtadha, Murtadhihari. Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama.
Bandung:Mizan. 1998.
Nahdi, Maize Said. Konservasi Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Hutan Tropis
Berbasis Masyarakat. Jurnal Kaunia, Vol.4, No.2; hlm 159-172, 2008.
Supriatna, Nana. 2016.Ecopedagogy. Bandung :
Remaja Roesdakarya, 2016.
Shihab, M.Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2007.
Usmani, Ahmad Rofi’. 2016. Jejak-jejak Islam. Yogyakarta :
Bunyan.

17

Anda mungkin juga menyukai