Anda di halaman 1dari 3

Keunggulan dan Kelemahan Implementasi Perencanaan Pendidikan

1. Karakteristik Umum
Sekolah yang kinerjanya baik ditandai oleh budaya yang kondusif bagi
terciptanya suasana belajar dan persaingan dalam belajar; dipimpin oleh kepala
sekolah yang memiliki visi dan misi yang jelas tentang sekolahnya; kepala
sekolah yang kreatif dan dinamis; kepala sekolah berperan sebagai fasilitator bagi
guru-guru di sekolahnya; sekolah sangat diminati oleh masyarakat sekitar dan
menjadi sekolah favorit; dan siswa sekolah unggul sebagian besar berasal dari
keluarga yang tergolong mampu atau kelas menengah ke atas.
Sekolah yang kinerjanya kurang baik ditandai oleh budaya akademik yang
kurang menunjang terciptanya persaingan dalam belajar; kepala sekolah belum
memiliki visi dan misi yang jelas tentang sekolahnya; kepala sekolah yang kurang
kreatif dan tidak dapat mengantisipasi kebutuhan civitas sekolah ataupun
kebutuhan pemakai; sumber daya penunjangnya serba minim; dan secara umum
siswanya berasal dari keluarga yang tergolong menengah ke bawah. Suasana yang
kondusif bagi terciptanya persaingan belajar dipengaruhi oleh faktor: (a) kejelasan
visi dan misi sekolah; (b) kreativitas dan kapabilitas kepala sekolah dalam
kapasitasnya sebagai pemimpin, fasilitator, dan supervisor; serta (c) dukungan
penuh dari seluruh civitas sekolah dan orang tua murid.
2. Kemuridan
Sekolah yang kinerjanya baik: menyeleksi calon murid yang mempunyai
NEM tinggi; menolak sebagian pendaftar yang memiliki NEM rendah; semangat
belajar murid tinggi; prestasi belajar murid tinggi; sebagian besar murid berasal
dari keluarga berpendidikan cukup dan sosial-ekonomi menengah ke atas; jumlah
murid sesuai dengan kapasitas sekolah; disiplin murid tinggi; hampir semua
lulusannya melanjutkan dan diterima di SLTA negeri; serta jumlah pendaftar
setiap tahunnya bertambah.
Sekolah yang kinerjanya kurang baik: murid yang diterima NEM nya lebih
rendah dibandingkan dengan murid yang diterima di sekolah lain; semua
pendaftar umumnya diterima atau yang ditolak relatif sedikit; semangat belajar
murid dan tingkat persaingannya rendah; prestasi belajar murid pada umumnya
rendah; murid berasal dari keluarga yang berpendidikan formalnya rendah; jumlah
murid cenderung melebihi kapasitas sekolah; pendaftar ke swasta yang belum
baik cenderung berkurang; disiplin murid kurang terpelihara karena sering bebas;
serta murid yang masuk 65% dari jumlah pendaftar.
3. Kurikulum dan Pengajaran
Setiap sekolah menggunakan GBPP yang sama dan jumlahnya cukup
memadai. Implementasinya dalam bentuk rencana pelajaran, satuan pelajaran,
pelaksanaan pengajaran, dan tindak lanjut atas hasil evaluasi belajar berbeda beda
di tiap sekolahnya, bahkan antarguru dalam satu sekolah juga kadang berbeda. Di
sekolah yang memiliki kinerja baik, pendekatan yang digunakan dalam mengajar
lebih bervariasi dan suasana belajarnya lebih kompetitif, waktu belajar yang
digunakan lebih padat, ada pemberian tugas tambahan, ada pengajaran remedial,
dan evaluasi susulan dengan hasil yang cukup baik (60–90%). Penyelenggaraan
mulok disesuaikan dengan harapan masyarakat (komite sekolah), potensi sekolah,
dan potensi masyarakat sekitar. Supervisi pengajaran dilaksanakan secara berkala
baik oleh kepala sekolah maupun pengawas.
Kegiatan-kegiatan tersebut hampir tak pernah tercapai dengan baik oleh
sekolah yang kinerjanya rendah. Lemahnya implementasi kurikulum dan
pengajaran berakar dari kekurangan jumlah dan kualifikasi guru. Adakalanya
seorang guru mengajar lebih dari satu mata pelajaran atau lebih dari satu kelas
dalam waktu yang bersamaan. Walaupun secara metodologis dapat diterima,
tetapi secara psikologis guru merasa bahwa hasilnya tidak optimal, terbukti
dengan capaian target kurikulum berkisar antara 30–60%. Semakin memadai
jumlah dan kualifikasi guru semakin baik kualitas proses belajar dan hasil-hasil
yang dicapainya.
4. Fasilitas Sekolah
Tiap SLTP telah memiliki laboratorium IPA, perpustakaan, lapangan
olahraga/upacara, ruang kelas, dan fasilitas lainnya. Di SLTP yang kinerjanya
baik, fasilitas belajar dimanfaatkan secara optimal dan cukup terpelihara. Di
sekolah favorit, fasilitas sekolah amat memadai dan banyak di antara fasilitas
tersebut pengadaannya ditanggung oleh komite. Di sekolah yang kinerjanya
rendah, pemanfaatan fasilitas sekolah tampak tidak optimal, alat-alatnya tidak
lengkap, perawatan dan kebersihannya kurang memadai. Kesenjangan
kepemilikan fasilitas sekolah sangat tajam, terutama dalam bentuk perpustakaan
dan laboratorium. Di suatu sekolah keadaannya cukup lengkap, sedangkan di
sekolah lainnya sangat minimal. Demikian juga dengan pemanfaatannya, ada
sekolah yang memanfaatkan sumber-sumber belajar secara optimal, ada pula yang
tidak memanfaatkan fasilitas secara tepat guna(l42). Sebagai contoh, pada jam
pelajaran IPA-Fisika, siswa diboyong pindah untuk belajar di laboratorium.
Namun apa yang terjadi, ternyata PBM di laboratorium tidak berbeda dengan di
kelas biasa, bahkan alat-alat peraga dan alat praktik tidak disentuhnya
5. Tenaga Kependidikam
Kecuali di SLTP 3 Ketahun, jumlah guru sekolah sampel sudah cukup.
Sekolah-sekolah di perkotaan cenderung tidak pernah kekurangan guru. Dari 292
orang guru sekolah sampel, hanya 43,4% yang telah memenuhi kualifikasi
pendidikan D-3 dan S-1. Dilihat dari sisi pengalamannya, sebagian besar guru
telah berpengalaman mengajar lebih dari 7 tahun dan hanya sekitar 9,1% yang
pengalamannya kurang dari 7 tahun. Di sekolah yang kinerjanya baik, guru-guru
bebas mengikuti berbagai kegiatan untukmengembangkan profesinya, dengan
catatan tidak mengganggu tugas pokok. Semangat kerja guru akan tumbuh jika
mereka memperoleh penghargaan yang memadai dan dalam kondisi yang
memungkinkan sekolah dapat memberikan penghargaan itu dalam bentuk insentif
tambahan ataupun pengganti uang transport.
Di semua sekolah sampel, terdapat guru yang latar belakang pendidikannya
tidak relevan dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Selain itu, 56,51% guru
belum berkelayakan dengan kualifikasi (D-1, D-2, dan PGSLP). Di sekolah yang
sudah mempunyai budaya akademik yang baik, prestasi belajar tidak banyak
ditentukan oleh latar belakang pendidikan guru ataupun kepala sekolahnya.
Sebagai contoh, 79% guru SLTP top di Bandung masih berpendidikan SLTA–D-
2. Di sekolah yang kurang guru, masih ada guru yang mengajar 36 jam per
minggu (2 kali beban wajib baginya). Di sekolah yang sama juga ada guru yang
sudah bertugas 10 tahun, tetapi tetap tinggal di kota yang jaraknya 140 km dari
sekolah. Dalam kondisi seperti itu, kemungkinan bolos mengajar sukar dihindari.
Kenyataan ini menambah bukti bahwa guru-guru sebenarnya lebih suka tinggal di
kota dan sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai