Anda di halaman 1dari 6

Sindrom ekstrapiramidal (EPS)

SINDROM EXTRAPIRAMIDAL (EPS)

1. PENDAHULUAN

Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian sistem motorik
yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapimidal adalah terutama di
formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di medulla spinalis yang mengatur
refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.1,2

Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan, utamanya penggunaan dalam
jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan tipikal yang memiliki potensial tinggi dan
pemberian dalam dosis tinggi paling sering memberikan efek samping pada pasien karena
memiliki afinitas yng kuat pada reseptor muskarinik. Pendekatan farmakologi pada manifestasi
psikosis ini terpusat pada neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-neuron terhadap
rangsangan.1,2,3

Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat
antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni
Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine.
Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala
tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal)1,2

1. DEFINISI

Istilah gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi yang ditimbulkan
oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik. Istilah ini mungkin
dibuat karena banyak gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas,
tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal). Beberapa gejala
ekstrapiramidal dapat ditemukan bersamaan pada seorang pasien dan saling menutupi satu
dengan yang lainnya.1,2,3
1. ETIOLOGI

Penyebab utama ekstrapiramidal sindrom termasuk obat-obatan seperti:

Antipsikotik – obat antipsikotik seperti haloperidol, thioridazine, dan chlorpromazine


merupakan obat yang digunakan untuk mengobati psikosis atau skizofrenia. Antipsikotik turut
digunakan dalam manajemen gejala-gejala penyakit Alzheimer. Penggunaan obat antipsikotik
menurunkan level dopamine dalam otak mengakibatkan efek samping ekstrapiramidal.
Antipsikotik tipikal penyebab tersering EPS dibanding dengan antipsikotik atipikal.3,4

Antidopaminergik anti-emetik – Obat ini mengurangi fungsi dari neuron-neuron


dopaminergik. Contoh obatnya ialah metoclopramide.3,4

Trisiklik antidepresan – Amoxapine, obat trisiklik antidepresan juga bisa mengakibatkan


EPS.3,4

Antara penyebab lain EPS termasuklah serebral palsi dan kerusakan otak yang efeknya pada
system ekstrapiramidal. EPS sering terjadi setelah pengambilan obat-obatan diatas dalam
beberapa jam atau bisa beberapa tahun setelah pengobatan (pengobatan jangka panjang).3,4

1. PATOFISIOLOGI

Sistem ekstrapiramidal bertanggungjawab atas:

 pergerakan involunter dan refleks system motorik.


 Modulasi pergerakan.
 Mengatur dan memodulasi sel tanduk anterior dari traktus spinalis, sehingga membatasi
pergerakan motor involunter.

Sistem ekstrapiramidal terletak di luar korteks motorik yang melewati saluran corticobulbar dan
kortikospinalis. Sistem piramidal bertanggung jawab atas inervasi langsung dari motor neuron
sedangkan sistem ekstrapiramidal hanya
bertanggung jawab untuk bagian regulasi. Traktus ekstrapiramidal terutama terletak pada formasi
reticular dari medula dan pons. Ia juga dapat ditemukan di daerah tulang belakang, yang
bertanggung jawab untuk pergerakan, refleks, kontrol postur tubuh dan gerakan kompleks.3

Traktus ekstrapiramidal diregulasi secara bergantian oleh ganglia basalis, jalur striatonigral,
nucleus vestibular, area sensorik dari korteks otak dan serebelum. Daerah-daerah dan area
regulasi adalah semua bagian dari sistem ekstrapiramidal. Sistem ekstrapiramidal mengatur
aktivitas motorik bahkan dengan tidak adanya innervasi secara langsung dengan neuron
motorik.3

Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal


dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada pasien skizofrenia dan
pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada sistem dopamin sehingga
antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi dopamin di jaras ekstrapiramidal
dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergi yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun
penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang
mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin
menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.
Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin
ganglia basalis yang lebih poten, sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala
ekstrapiramidal yang lebih menonjol.1,4

1. GEJALA KLINIS

Gejala klinis ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia akut,
akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson), diskinesia tardive.3,4,5

a. Reaksi Distonia Akut (ADR)

Keadaan ini merupakan spasme atau kontraksi involunter, akut dari satu atau lebih kelompok
otot skelet yang lazimnya timbul dalam beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering
terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis
(posisi kepala dan leher yg abnormal), disastria bicara, krisis okulogirik (deviasi mata) dan sikap
badan yang tidak biasa. Suatu ADR lazimnya mengganggu sekali bagi pasien. Dapat nyeri atau
bahkan dapat mengancam kehidupan dengan gejala-gejala seperti distonia laring atau
diafragmatik. Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-kira 10%
pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang
berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine. Reaksi distonia akut dapat
merupakan penyebab utama dari ketidakpatuhan dengan neuroleptik karena pandangan pasien
mengenai medikasi secara permanen dapat memudar oleh suatu reaksi distonik yang
menyusahkan.3,4,5

b. Akatisia

Gejala EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada sebagian besar
pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi pasien lebih muda.
Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak.
Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai
gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala
psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim, agitasi, pemacuan yang nyata, atau
manifestasi fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis
yang ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi setiap gejala
objektif akatisia. Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi neuroleptik sehingga
pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman yang dirasakan ini dengan
medikasi sehingga menimbulkan masalah ketidakpatuhan pasien.3,4,5

c. Sindrom Parkinsonisme

Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis pertama
neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-tahun.

Manifestasinya meliputi berikut :

 Akinesia/bradikinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan,


penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan
mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih
ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara,
penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya
dapat dikelirukan dengan gejala negatif skizofrenia.4,5,6
 Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor dapat
mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini
dapat dikelirukan dengan tardiv diskinesia, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih
ritmik, kecenderungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responya terhadap
medikasi antikolinergik.4,5
 Defisit postural : gaya berjalan membungkuk (stooped posture) yang mungkin menjadi
kompensasi atas ketidakseimbangan postural yang menyebabkan retropulsion.4,5,7
 Kekuan otot (rigidity) : bisa dari tipe kontinuitas (lead-pipe) atau cogwheeling
(pergerakan diskontinuitas, seperti otot ratchet)4,5,7

d. Diskinesia Tardive

Dari namanya sudah dapat diketahui merupakan sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk
gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau
seperti tik. Ini merupakan efek yang tidak dikehendaki dari obat antipsikotik. Hal ini disebabkan
defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine di putamen kaudatus.
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis
tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih
berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang
timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Perlu
dicatat bahwa diskinesia tardive yang diduga disebabkan oleh supersensitivitas reseptor
dopamine pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom
Parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi.
Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit di obati. Banyak terapi yang diajukan tetapi
evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas.
Diskinesia tardive dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi
sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk
pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.4,5,9

1. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan obat yang disebabkan oleh gangguan gerak akut termasuklah penyesuaian dosis,
perubahan obat, atau pengobatan adjuvant terutama agen antikolinergik, benzodiazepin, dan β-
blocker. Obat antikolinergik yang umum digunakan termasuk benztropine, diphenhydramine,
dan trihexyphenidyl (Artane). Agen ini biasanya paling efektif untuk neuroleptik-induced
parkinson. Namun, semakin meningkat manajemen dilakukan dengan pemilihan antipsikotik
generasi kedua, kemungkinan kurang memproduksi atau bahkan mungkin mengurangi sindrom
ini.7,8,9

1. PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila gejala langsung
dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan sindrom ekstrapiramidal
yang kronik lebih buruk, pasien dengan reaksi distonia akut hingga terjadi distonia laring dapat
menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya
menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.4,6,8

1. KOMPLIKASI

Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas
penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita
terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi
yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan
ingatan, konstipasi dan retensi urine.1,3,4,9

1. KESIMPULAN

Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan oleh penggunaan
antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamine di jalur striatonigral juga
memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di
korpus striatum menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada pemakaian jangka
panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi. Manifestasi sindrom ini dapat berupa
reaksi distonia, sindrom parkinsonisme, akatisia dan tardive dyskinesia. Gejala ekstrapiramidal
dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaksis. Pengenalan gejala
dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun penangan
yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga
kematian.2,4,9

Anda mungkin juga menyukai