Setelah Dalton, para kimiawan menemukan bahwa atom terdiri dari proton, netron dan
electron. Selanjutnya, proton, netron dan electron dinamakan partikel dasar atom. Untuk lebih
memahami partikel dasar atom akan dibahas tentang masing – masing partikel dasar tersebut dan
cirinya berdasarkan hasil percobaan para penemunya.
a. Elektron
pada tahun 1897 Thompson menemukan electron. Thompson melakukan percobaan
dengan menggunakan tabung kaca dengan bertekanan udara sangat rendah. Pada kedua ujung
tabung tersebut dipasang pelat logam yang berfungsi sebagai electrode. Kedua electrode tersebut
dihubungkan dengan sumber arus listrik bertegangan tinggi. Elektrode yang dihubungkan dengan
kutub positif disebut anode, sedangkan electrode yang dihubungkan dengan kutub negative
disebut katode. Tabung seperti itu disebut tabung sinar katode (Parning;2003).
Percobaan itu dilakukan sebagai berikut, dengan menggunakan pompa vakum, tekanan
udar dalam dalam tabung dapat diatur. Jika tekanan udara dalam tabung dibuat cukup rendah,
maka gas dalam tabung akan berpendar. Selanjutnya, jika tekanan gas dalam tabung dibuat
semakin kecil, maka akhirnya tabung menjadi gelap. Akan tetapi, bagian tabung di depan katode
berpendar dengan warna hijau. Perpendaran ini bersumber dari radiasi katode menuju anode
yang membentur gelas sehingga gelas berpendar. Sinar itu disebut sinar katode karena berasal
dari katode. Selanjutnya, kita ketahui bahwa sinar katode merupakan radiasi partikel yang
bermuatan negatif (Parning;2003).
Berdasarkan hasil percobaan itu, Thompson mengungkapkan sifat – sifat sinar katode
berikut :
1. Dipancarkan oleh katode dalam sebuah tabung hampa jika dilewatkan arus listrik
bertegangan tinggi.
2. Merambat dalam garis lurus menuju anode.
3. Jika membentur gelas, maka gelas berpendar (berfluoroesensi). Dengan adanya
fluoroesensi ini, kita dapat mengetahui adanya sinar katode karena sinar katode tidak
terlihat oleh mata.
4. Dapat dibelokkan oleh medan listrik dan medan magnet ke kutub positif . Oleh karena
itu, sinar katode bermuatan negative.
5. Sinar ini tidak tergantung pada bahan elektrodenya. Hal itu berarti, setiap electrode dapat
memancarkan sinar katode. Jadi setiap materi mengandung partikel yang sepeeti sinar
katode (Parning;2003).
Dari kelima sifat – sifat sinar katode ini, dapat kita simpulkan bahwa sinar katode adalah
partikel dasar atom yang ada pada setiap atom.Partikel itu selanjutnya kita sebut electron
(Parning;2003).
Selanjutnya, Thomson melakukan percobaan untuk menentukan harga perbandingan muatan
electron dengan massanya. Dari hasil percobaannya diperoleh harga e/m dengan tepat, yaitu
sebesar 1,76 x 108 Coulomb/gram. Nilai – nilai itu merupakan hasil pengukuran pengaruh medan
magnet listrik dan magnet terhadap pembelokan sinar katode serta pengukuran jari – jari
kelengkungan dari pembelokan itu (Parning;2003).
Pada tahun 1909, Robert Milikan melakukan percobaan dengan tetes minyak untuk
menentukan muatan 1 elektron. Pada percobaan itu, setetes minyak dapat menangkap satu, dua,
tiga atau lebih electron. Milikan menemukan muatan tetes minyak yang besarnya 1 x 1,6 x 10-19
C, 2 x 1,6 x 10-19C, 3 x 1,6 x 10-19 C, dan seterusnya. Dari sini Milikan memenyimpulkan bahwa
muatan 1 elektron adalah 1,6 x 10-19 C diberi tanda -1 (Parning;2003).
Berdasarkan percobaan Thomson dan Milikan, massa electron dapat dihitung sebagai berikut
:
B. Proton
Pada tahun 1886, Eugene Goldstein menemukan proton. Goldstein melakukan percobaan
dengan menggunakan tabung sinar katode (rabung Crookes). Anode (kutub positif) dan katode
(kutub negative) dari tabung tersebut dihubunkan dengan sumber arus listrik bertegangan tinggi.
Dari percobaan tersebut diperoleh fakta – fakta sebagai berikut. Jika katode tidak diberi lubang,
maka ruang di belakang katode menjadi gelap. Akan tetapi, jika katode tidak diberi lubang dan
diisi dengan gas hydrogen yang bertekanan rendah, maka gas di belakang katode berpendar
(berfluoroesensi). Hal itu disebabkan adanya radiasi sinar yang berasal dari anode dan
memijarkan gas tersebut. Sinar itu disebut sinar anode atau sinar kanal (Parning;2003).
Sifat – sifat sinar anode adalah sebagai berikut :
selanjutnya, melalui percobaan diperoleh hasil bahwa massa 1 proton adalah 1,6726 x 10 -24
gram (1 sma) dan muatan 1 proton adalah 1,6022 x 10-19 coulomb dan diberi tanda muatan +1
(Parning;2003).
C. Netron
Dari percobaan-percobaan yang dilakukan Rutherford pada tahun 1911, ternyata massa
inti atom unsur selalu lebih besar daripada massa proton dalam inti atom. Hal itu memberi
keyakinan bagi para ahli, bahwa selain proton dalam inti atom harus ada partikel lain. Partikel ini
pasti tidak bermuatan, karena kita tahu bahwa menurut model atom Rutherford, inti atom itu
bermuatan positif (Parning;2003).
Pada tahun 1930, W.Bothe dan H.Becker menembaki inti atom berilium dengan partikel
alfa dan dihasilkan suatu radiasi partikel yang mempunyai daya tembus tinggi. Selanjutnya, pada
tahun 1932 James Chadwick melakukan percobaan yang sama dan berdasarkan percobaan
tersebut dapat dibuktikan bahwa radiasi tersebut merupakan partikel netral (tidak bermuatan)
yang massanya hampir sama dengan massa proton. Selanjutnya, partikel ini disebut neutron dan
merupakan partikel penyusun inti atom (Parning :2003).
Sifat – sifat sinar netron adalah sebagai berikut :
D. Positron
Pada tahun 1932 Anderson menemukan partikel penyusun atom yang memiliki massa
sebesar massa electron tetapi bermuatan listrik positif. Partikel penyusun atom yang ditemukan
oleh Anderson ini disebut positron. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa setiap
positron memiliki massa sebesar 0,000549 sma atau mendekati harga 0,00 sma dan untuk
seterusnya positron disimbolkan sebagai +eo (Retug;2005).
F. Muon
Pada tahun 1935 Yukawa mempostulatkan bahwa di dalam sebuah atom terdapat partikel
– partikel yang mempunyai massa besarnya ada di antara massa electron dan proton. Pada tahun
1937 Anderson menemukan suatu partikel penyusun atom dalam bentuk sinar – sinar kosmik
yang bermassa sekitar 207 kali massa satu electron atau mendekati nilai sebesar 0,1134 sma
untuk selanjutnya disebut Muon. Muon – muon itu ada yang bermuatan listrik positif dan ada
pula yang bermuatan listrik negatif (Retug;2005).
G. Pion
Pada tahun 1947 Powell menemukan partikel penyusun atom yang dinamakan pion. Pion
adalah seperti Muon yaitu merupakan partikel –partikel yang berwujud sinar kosmik, yang
memiliki massa sekitar 273 kali massa satu electron atau mendekati nilai sebesar 0,1498 sma
untuk pion yang bermuatan listrik dan 0,1449 sma untuk pion yang bermuatan listrik netral,
semua jenis pion tidak berspin.
1. Nuklida stabil adalah nuklida yang secara alamiah tidak mengalami perubahan A (nomor
massa) maupun Z (nomor atom) atau tidak mengalami peluruhan.
2. Radionuklida alam primer adalah nuklida yang terbentuk secara alamiah dan bersifat
radioaktif.
3. Radionuklida alam sekunder adalah nuklida radioaktif yang secar alamiah merupakan
hasil peluruhan radionuklida alam primer.
4. Radionuklida alam terinduksi adalah nuklida radioaktif yang terbentuk secar kontinu dari
hasil interaksi sinar kosmik dengan 14N di atmosfer.
Radionuklida buatan adalah nuklida yang terbentuk sebagai hasil dari reaksi transmutasi inti
yang dilakukan di laboratorium. (Simmamora, 2004).
2.4 Energi Binding, Gaya dalam nuklida, Stabilitas dan model inti
Dalam suatu inti atom terdapat banyak nukeon yang memiliki sifat-sifat yang khas,
sehingga adanya perbedaan komposisi atau penyusun suatu nuklida.
1. Energi Binding
Energi binding adalah energi ikat atom yang dibutuhkan untuk membongkar sebuah atom ke
elektron bebas dan sebuah inti atom. Massa total (Mtot) nukleon-nukleon yang membentuk
sebuah inti atom atau nukleus tidak sama dengan besarnya massa terukur (Mter) nukleon
pembentuk inti dan massa terukur (Mter) dari nucleus disebut massa lebih (MI) atau massa
binding (Mb) yang menggambarkan bahwasemua massa sebanding dengan energy binding semu
(Ebs) antar nukleon penyusun nuklida. Hubungan antara energy binding, massa binding, massa
binding, massa total, dan massa terukur dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
Mb = Mtot – Mter
Eb ~ Mb
Hubungan antara massa dan energy dapat dinyatakan dengan persamaan : E = mc2, dimana m
(massa), c (kecepatan gerak cahaya)= 2,99 x 1010 cm/dt. 1 sma = 1,66 x 10 -24
gram dan 1 eV =
1,6 x 10-19 joule. Maka dengan menggunakan persamaan tersebut diperoleh bahwa harga massa 1
sma equivalen dengan energi sebesar 931 MeV. Besarnya energi binding atau pengikat untuk
setiap nukleon dapat dihitung dengan cara :
Massa 2 netron = 2 x 1,00867 sma = 2,01734 sma
Massa 2 netron = 2 x 1,00782 sma = 2,01564 sma
Jumlah massa pembangun (Mtot) inti He = 4 nukleor = 4,03298 sma
Jumlah massa terukur (Mter) inti He = 4 nukleor = 4,03260 sma
Massa Binding (Mb) = Mtot – Mter = 0,03038 sma.
Selisih massa sebesar 0,03038 sma equivalen dengan energi binding semu (Ebs) sebesar
0,03038 sma x 931 MeV/sma = 28,2960 MeV. Untuk dapat mengikat setiap nukleon diperlukan
energi binding senu (Ebs) atau energi pengikat rata-rata pernukleon sebesar = 28,2960 MeV/4
nukleon = 7,07 MeV/nukleon. Pengkajian energi binding semu (Ebs) mengemukakan asumsi
bahwa : seluruh ruang nuklida berisi penuh dengan netron dan proton sehingga volume nukleus
equivalen dengan nomor massanya yang disebut dengan energi volume ; Energi binding yang
bekerja di permukaan sama besar dengan yang bekerja dibawah permukaan atau bagian dalam
dari suatu nukleus ; Tidak adanya pengaruh energi coloumb yang ditimbulkan oleh nukleon yang
bermuatan listrik, proton = elektron ; Telah terjadi distribusi nukleon yang bermuatan dan tidak
bermuatan listrik secar merata di seluruh bagian nuklida; Besar kecilnya energi binding atau
pengikat dipengaruh oleh ganjil genapnya bilangan yang menyatakan jumlah proton dan netron.
Kajian lain juga ditemukan bahwa :
- Keberadaan energi volume nukleus
- Keberadaan energi permukaan nukleus
- Pengaruh energi coloumb oleh nukleon bermuatan
- Distribusi muatan dalam nuklida
- Pasangan energi proton dan netron.
Adapun persamaan energi binding yang disempurnakan oleh W.D Myers dan W.J Swiatechi
yaitu sebagai berikut :
Eb = C1A [ 1-k((N-Z)/A)2] – C2A2/3 [ 1-k((N-Z)/A)2 ] – C3Z2A-1/3 + C4Z2A-1 + d
Dimana :
C1 = koefisien koreksi terhadap adanya pengaruh energi volume = 15,677 MeV
C2 = koefisien koreksi terhadap adanya pengaruh energi permukaan = 18,560 MeV
C3 = koefisien koreksi terhadap adanya pengaruh energi coulomb = 0,717 MeV
C4 = koefisien koreksi terhadap pengaruh distribusi muatan = 1,211 MeV
K = tetapan = 1,79 ; N = jumlah proton ; A= nomor massa
D = pengaruh pembentukan pasangan jumlah Z dan N, bila genap-genap = 11/ (A1/2 ) ; ganjil-
ganjil = -11/ (A1/2) ; dan genap- ganjil atau ganjil-genap = 0
Koreksi untuk energi volume nukleus terjadi bila ada perbedaan antara jumlah netron dan
protonnya yang menyebabkan ketidaksimetrisan sehingga energi volume nukleus menjadi
berkurang. Perbedaan antara jumlah netron dan proton juga dapat menurunkan pengaruh
kerapatan massa nukleon di permukaan sebesar ((N-Z)A)2, lebih lanjut akan menambah energi
binding nukleon secara keseluruhan dalam nukleus .Besarnya energi binding juga dipengaruhi
oleh pembentukan pasangan antara proton Z dan netron N. Pasangan Z-N ganjil-ganjil akan
mengurangi energi binding.
Energi binding dari semua nukleus dapat dinyatakan sebagai fungsi dari volume atau
nomor massa (A) dan jumlah muatan (Z) dalam tinjauan tiga dimensi. Atas dasar keterangan
tersebut maka persamaan 1 dapat diubah menjadi ke bentuk persamaan baru berikut :
Eb = (Z)(MH) + (A-Z)(MN)- Mter....................................................................persamaan 3
Dengan MH adalah energi massa proton = 938,79 MeV, Mter = energi massa terukur. Bila
data Energi massa proton dan neutron dimasukkan ke dalam persamaan 3 akan membentuk
persamaan baru sebagai berikut:
Eb = 939,57 MeV + 938,790 MeV – Mter
Maka:
Mter = 939,57 MeV + 938,790 MeV – Eb............................(Persamaan 4)
Sudah diketahui bahwa N = A – Z. Data ini digunakan untuk mengganti N yang ada dalam
persamaan (2) dimana hasilnya adalah sebagai berikut:
Persamaan (6) merupakan persamaan massa parabola, yang mana diketahui bahwa :
f1(A) = 0,717 A-1/3 + 111,036 A-1 – 132,89 A-4/3;
f2(A) = 132,89 A-1/3 – 113,029 ;
f3(A) = 951,958 A – 14,66 A2/3 ;
dimana f1(A) ; f2(A) ; f3(A) merupakan koefisien yang harganya tergantung pada A.
Dari persamaan di atas diperoleh harga untuk nomor massa atau volume massa (A) yang
sama bagi isotop nuklida yang ada dalam satu garis parabola. Puncak kurva parabola
memberikan harga A minimum dan energi binding yang maksimum.
Untuk mendapatkan petunjuk tentang jumlah muatan nuklda (Z) dari suatu nuklida yang
bernomor massa (A) dapat diketahui dengan menggunakan persamaan berikut.
ZA = ......................................................................................persamaan 8
yang mana ZA adalah nomor muatan suatu nuklida dengan massa yang minimum dan energi
binding yang maksimum yang ada dalam suatu isobar. Persamaan di atas dapat diperoleh bahwa
: nuklida yang nomor massanya (A) = 157 mempunyai ZA = 62,69; dan bila (A) = 156 maka
harga ZA = 64,33. Massa permukaan sesuai dengan persamaan sesuai dengan persamaan
parabola tersebut sering digunakan untuk mengetahui alur proses peluruhan partikel beta yang
dilakukan oleh nuklida dalam satu isobar. Peluruhan akan berakhir setelah diperoleh nuklida
yang bermassa minimum sebaliknya berenergi binding maksimum, yaitu sebuah nuklida yang
paling stabil dalam satu isobarnya.
2. Stabilitas Nuklida
Definisi tentang nuklida yang stabil didasarkan pada besar kecilnya massa binding (Mb) yang
setara dengan energi binding (Eb). Besarnya energi binding real untuk sertiap nukleon penyusun
nukleus dari suatu nuklida selalu konstan yaitu antara 6 Me V sampai 9 Me V. Nuklida yang
energi binding real untuk setiap nukeonnya kurang dari 6 Me V bersifat tidak stabil dan
radioaktif. Harga energi binding maksimum terdapat pada nnuklida besi isotop 56 atau 26Fe56 dan
58
nikel isotop 55 atau 28Ni , sehingga besi dan nikel merupakan nuklida yang paling stabil.
Berdasarkan energi binding yang besar, maka nuklida ini yang memiliki tingkat kestabilan tinggi
dan biasa terdapat dalam kerak bumi dan meteroid.
Bila jumlah proton sama besar dengan jumlah netronnya maka energi binding yang real akan
menjadi besar. Hal ini terjadi karena tanpa adanya koreksi pada energi volume dan permukaan
nukleus, yang keduanya merupakan komponen pembangun energi dinding. Contoh : 6C9; 6C10;
6C
11
yang mempunyai waktu paruh 0,13” ; 19.2” ; 1224”. Semakin kecil waktu paruhnya maka
kestabilan nukleus dalam nuklida semakin kecil pula dan sebaliknya. Untuk isotop C-10
memiliki perbedaan jumlah massa proton dan netronnya sebesar dua nukleon dan mempunyai
waktu paruh 19,2”. Sedangkan untuk isotop C-11 terdapat perbedaan jumlah proton dengan
netron sebesar satu nukleon dan waktu paruhnya sebesar 1224”. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa perbedaan antara jumlah proton dan netron semakin besar maka stabilitas nukleus sebuah
nuklida semakin berkurang sehingga mudah mengalami reaksi nuklir.
dengan A .
(4) Gambaran umum untuk tetes cairan, yaitu dapat terjadi penggabungan tetesan kecil menjadi
tetesan yang lebih besar atau sebaliknya, pemecahan tetesan besar menjadi tetesan yang lebih
kecil. Hal ini ada kemiripan dengan reaksi fusi dan fissi pada reaksi inti.
(5). Jika tetes cairan atau inti ditembaki dengan partikel berenergi tinggi, partikel penembak
ditangkap dan terbentuk suatu inti gabungan (inti majemuk). Kemudian tambahkan eneri
partikel yang tertangkap akan secara cepat didistriusika kepada semua partikel dalam tetesan
atau nukleon-nukleon dalam inti. Proses termalisasi energi ini dalam inti gabunga dapat
Contoh nuklida dengan nukleus yang stabil yang mengandung jumlah proton dan netronnya
merupakan bilangan ganjil adalah nuklida dari 6C13 dan 8O17. Contoh nuklida dengan dengan
nukleus stabil yang jumlah protonnya merupakan bilangan ganjil dan netronnya merupakan
31
bilangan genap adalah nuklida 15P dan 9F19. Bila beberapa nuklida dengan nukleus yang
memiliki jumlah proton dan netronnya merupakan bilangan genap, yang bila disusun secara
berurutan dari kecil ke yang besar hasilnya mirip dengan jumlah maksimum elektron yang dapat
mengorbit di orbital elektron utama terluar sesuai dengan konfigurasi elektron dalam uklida-
nuklida yang stabil , yang jika dituliskan secara berurutan hasilnya yaitu 2, 8 ,18, 32, 50, 72.
Bilangan-bilangan ini sering disebut dengan bilangan ajaib. Oleh karena telah diketahui bahwa
elektron-elektron dalam mengorbit nukleus sesuai dengan tingkatan energi masing-masing ,
maka susunan nukleon –nukleon dalam nukleon mirip dengan susunan elektron pada orbital
nuklida.
Nukleon-nukleon pembentuk nukleus bergerak mengorbit pusat nukleus pada orbitalnya
masing-masing sesuai dengan tingkat energinya. Energi yang dimiliki oleh nukleon yang ada
dipermukaan nukleus lebih besar dibandingkan dengan yang ada di pusat nukleus. Untuk
mempertahankan posisinya nukleon yang ada di permukaan nukleus harus mengeluarkan
energinya yang cukup besar. Bila ketersediaan energinya kurang maka nukleon-nukleon yang
ada di permukaan nukleus akan mudah meninggalkan posisinya. Bila hal ini terjadi maka
susunan nukleon dalam nukleus akan berubah, artinya menjadi reaksi nuklir.
3. Model Kolektif Inti
Model kolektif nukleus merupaan hasil penggabungan antara model tetes cairan dan
model kulit nukleus. Dalam model kolektif nukleus susunan nukleon-nukleon penyusun nukleus
berlapis-lapis, akan tetapi bila nukleus menerima tambahan energi dari luar maka energi itu
akan didistribusikan merata ke seluruh nukleon penyusun nukleus tersebut. Bila dampak dari
penyerapan energi itu menyebabkan nukleus dari nuklida memberikan reaksi maka reaksi itu
merupakan akumulasi dari reaksi yang diberikan oleh semua nukleon penyusun nukleusnya.
(Retug, 2005)
2.6 Keradioaktifan
Nuklida radioaktif memiliki sifat dapat meluruhkan sebagian dari massa nuklidanya
menjadi bentuk energi radiasi dan bentuk energi lain. Energy radiasi hasil peluruhan nuklida
radioaktif antara lain berupa radiasi alfa, radiasi beta, dan radiasi gamma. Tedapat dua nuklida
radioaktif, yaitu nuklida radioaktif alami dan nuklida radioaktif buatan. Nuklida radioaktif alami
ada yang dapat digolongkan ke dalam nuklida-nuklida radioaktif berat yang mempunyai nomor
nuklida (Z) > 83, dan nuklida radioaktif ringan yang mempunyai nomor nuklida < 83. Nuklida-
nuklida radioaktif berat berdasarkan kemampuannya meluruh secara berkelanjutan dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga deret radioaktif, yaitu deret isotop nuklida U-238, deret isotop
nuklida U-235, dan deret isotop nuklida Th-232.
1. Hukum Pergeseran Radioaktif
Hasil pengamatan Fajans dan Soddy yang dilakukan pada tahun 1913 terhadap peluruhan
isotop-isotop nuklida radioaltif yang memancarkan partikel alfa dan beta mendasari diangkatnya
suatu hukum baru yang berkaitan dengan peristiwa yang dialami oleh nuklida-nuklida radioaktif,
yang kemudian disebut Hukum pergeseran radioaktif. Hukum pergeseran radioaktif ada dua
yaitu yang pertama bunyinya “Bila suatu isotop nuklida radioaktif induk meluruhkan partikel
alfa dan menghsilkan isotop nuklida radioaktif anak, yang menyebabkan nomor massa (A)
berkurang empat dan nomor nuklidanya (Z) berkurang dua. Bila dicantumkan dalam tabel
periodik maka isotop nuklida radioaktif anak akan diletakkan pada posisi kedua di sebelah kiri
isotop nuklida radioaktif induk”.
Hukum pergeseran radioaktif kedua berbunyi “Bila suatu isotop nuklida radioaktif induk
memancarkan partikel beta, maka akan menghasilkan isotop nuklida radioaktif anak yang nomor
massanya (A) sama dengan nomor massa isotop nuklida radioaktif induk, akan tetapi nomor
nuklidanya (Z) menjadi bertambah satu. Bila dituliskan dalam tabel periodik maka isotop nuklida
rasioaktif anak akan diletakkan pada posisi kesatu di sebelah kanan isotop nuklida radioaktif
induk.
Kemungkinan suatu nuklida radioaktif meluruh selama 2x selang waktu maka persamaannya
dinyatakan sebagai (1 – L.dt)2. Untuk nx selang waktu maka persamaannya dinyatakan sebagai:
Bila jumlah nuklida radioaktif semula adalah No, dan nuklida radioaktif yang belum
mengalami peluruhan setelaah waktu t adalah N, maka dari persamaan laju reaksi orde satu dapat
diturunkan rumus:
dan persamaan tersebut dapat dituliskan dalam bentuk logaritme alam yaitu:
atau
dan waktu peluruhan t dapat dihitung dengan persamaan:
dan hubungan waktu paruh (t1/2) dengan konstanta laju peluruhan (L) dapat dinyatakan dengan
persamaan t1/2 = (2,303/L) log (2/1) atau
Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan agar nuklida radioaktif meluruh separohnya.
3. Peluruhan Spontan
dimana:
e = besar muatan
R = jari-jari nuklida
Ro = tetapan kebebasan dari A, harganya antara 1,1 x 10-13 cm s.d 1,6 x 10-13 cm
A = nomor atau volume massa
Z = nomor atom atau jumlah muatan nuklida
Konstanta:
Rerata waktu hidup - simbol - rerata waktu hidup (umur hidup) sebuah
material radioaktif.
(Perlu dicatat meskipun konstanta, mereka terkait dengan perilaku yang secara statistik
acak, dan prediksi menggunakan kontanta ini menjadi berkurang keakuratannya untuk
material dalam jumlah kecil. Tetapi, peluruhan radioaktif yang digunakan dalam teknik
penanggalan sangat handal. Teknik ini merupakan salah satu pertaruhan yang aman
dalam ilmu pengetahuan sebagaimana yang disampaikan oleh [1])
Variabel:
Persamaan:
dimana
Pengukuran aktivitas
Satuan aktivitas adalah: becquerel (simbol Bq) = jumah disintegrasi (pelepasan)per detik ; curie
Waktu peluruhan
Sebagaimana yang disampaikan di atas, peluruhan dari inti tidak stabil merupakan proses acak
dan tidak mungkin untuk memperkirakan kapan sebuah atom tertentu akan meluruh, melainkan
ia dapat meluruh sewaktu waktu. Karenanya, untuk sebuah sampel radioisotop tertentu, jumlah
kejadian peluruhan –dN yang akan terjadi pada selang (interval) waktu dt adalah sebanding
dengan jumlah atom yang ada sekarang. Jika N adalah jumlah atom, maka kemungkinan
(probabilitas) peluruhan (– dN/N) sebanding dengan dt:
Masing-masing inti radioaktif meluruh dengan laju yang berbeda, masing-masing mempunyai
konstanta peluruhan sendiri (λ). Tanda negatif pada persamaan menunjukkan bahwa jumlah N
berkurang seiring dengan peluruhan. Penyelesaian dari persamaan diferensial orde 1 ini adalah
fungsi berikut:
Selain konstanta peluruhan, peluruhan radioaktif sebuah material biasanya juga dicirikan oleh
rerata waktu hidup. Masing-masing atom "hidup" untuk batas waktu tertentu sebelum ia
meluruh, dan rerata waktu hidup adalah rerata aritmetika dari keseluruhan waktu hidup atom-
atom material tersebut. Rerata waktu hidup disimbolkan dengan , dan mempunyai hubungan
dengan konstanta peluruhan sebagai berikut:
Parameter yang lebih biasa digunakan adalah waktu paruh. Waktu paruh adalah waktu yang
diperlukan sebuah inti radioatif untuk meluruh menjadi separuh bagian dari sebelumnya.
Hubungan waktu paruh dengan konstanta peluruhan adalah sebagai berikut:
Hubungan waktu paruh dengan konstanta peluruhan menunjukkan bahwa material dengan
tingkat radioaktif yang tinggi akan cepat habis, sedang materi dengan tingkat radiasi rendah akan
lama habisnya. Waktu paruh inti radioaktif sangat bervariasi, dari mulai 1024 tahun untuk inti
hampir stabil, sampai 10-6 detik untuk yang sangat tidak stabil.