Anda di halaman 1dari 19

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

BLOCK BOOK

HUKUM PIDANA ADAT

OLEH:
Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,MHum, S,H, MS
Dr.IGK Ariawan, S.H., MH.
I MadeTjatrayasa,SH.,MH
I Wayan Suardana, S.H., M.H
A A Ngr Yusa Darmadi, S.H.
Ida Bagus Surya Darma Jaya, S.H., M.H.
I Made Walesa Putra, S.H.,M.Kn

2011

0
BLOCK BOOK

1. Pendahuluan.
Materi kuliah hukum pidana adat merupakan matakuliah wajib
kekhususan untuk Fakultas hukum. Dalam mata kuliah ini, dipelajari
pengertian hukum pidana adat, delik adat, reaksi hukum pidana,
perkembangan asas legalitas serta hubungannya dengan
pembaharuan hukum pidana masional.

2. Tenaga Pengajar
Materi kuliah hukum pidana adat akan diajarkan oleh
beberapa Kelompok Dosen Pegajar dari bagian hukum pidana yang
akan ditentukan oleh ketua bagian hukum pidana

3. Tehnik Pengajaran dengan Progran Base Learning (PBL)


Dalam setiap pertemuan topic dan tugas baru akan
didiskusikan bersama. Setiap mahasiswa memperoleh kesempatan
untuk bertindak sebagai pemimpin diskusi. Setiap diskusi
diharapkan dipimpin leh mahasiswa yang berbeda-beda. Diskusi
akan dimulai dengan menemukan kata-kata sulit yang dianggap
sulit, kemudian menemukan makna yang tepat dari kata-kata
tersebut secara bersama-sama. Hal ini dilakukan agar setiap
mahasiswa betul-betul memahami teks tugas yang akan dibahas.
Setelah itu teks di analisa dan bersama-sama mencari serta
menentukan persoalan hukum (legal problems) apa yang ada dalam
teks tersebut. Kontribusi setiap mahasisiwa diperlukan hungga
dapat menemukan sebuah gagasan yang tepat ( untuk lebih
memudahkan tulislah setiap ide yang muncul di papan tulis) Tahap
selanjutnya adealah mengkaji ide-ide yang dihasilkan dan mencoba
memahami apa yang telah diketahui oleh mahasiswa tersebut, dan
pertanyaanpertanyaan mana yang masih tersisa serta menentukan
topic yang akan didiskusikan. Akhirnya diskusi daoharapkan

1
menghasilkan tujuan dari pembelajaran yang ingin dicapai (learning
objectives)
Tahap selanjutnya adalah mahasiswa akan pulang dengan
tugas mengkaji tujuan dari pembelajaran tersebut (dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan) denga literatur, dokumen hukum bahkan
bahan-bahan lainnya yang relevan.Pertemuan selanjutnya mahasisa
akan mendiskusikan tugas tersebut (setiap mahasiswa diharapkan
terlibat menyampaikan hasil pemikirannya dalam mencari solusi
sehingga diharapkan mahasiswa akan mampu memahami materi
tersebut lebih dalam.

4. Bahan Bacaan

Buku-buku :

Abdurrahman 1978. Kedudukan Hukum Adat dalam Rangka Pembangunan


Nasional, Bandung : Alumni.
-----------1984. Hukum Adat menurut Perundang-undangan Republik
Indonesia, Jakarta : Cendana Press.
-----------1988. Perkembangan Pemikiran tentang Pembentukan Hukum
Nasional, Jakarta : Akademika Pressindo.
Ali, Chidir 1979. Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi
Indonesia, Jakarta : Pradnya Parainita.
Barda Nawawi Arief.1990. “Beberapa Aspek Baru dalam Konsep KUHP
Baru” Bahan Ceramah di Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiah, Magelang.
-----------1994. “Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia)”, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar , Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang.
-----------1995. Delik Agama dalam Konsep KUHP (Baru), Makalah
disampaikan dalam Penataran nasional Hukum Pidana dan
Kriminologi, Semarang.
BPHN. 1975. Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum
Pidana, Bandung : Bina Cipta.
-----------1985. Himpunan Bidang Hasil Pengkajian Hukum Pidana Tahun
1980/1981, Jakarta : BPHN.
-----------1986. Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung :
Bina Cipta.

2
Darmayudha, Suasthawa 1994. “Hukum dalam Perspektif Budaya” dalam
Kerta Patrika Edisi Khusus, Denpasar : FH UNUD.
Dherana, Raka 1975. Pokok-Pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali,
Denpasar : Fak. Hukum UNUD.
Djojogigoeno. “Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembinaan
Hukum Nasional”, Prasaran, 1975
Hadikusuma, Hilman 1978. Hukum Pidana Adat, Bandung : Alumni.
Hartono, Soenaryati 1975.. Peranan Peradilan Dalam Pembinaan dan
Pembaharuan Hukum Nasional, Bandung : Binacipta.
Mertokusumo, Sudikno 1983. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di
Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita
Bangsa Indonesia, Yogyakarta : Liberty.
Muladi, 1990 “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Mendatang”
Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pada Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang : Universitas
Diponegoro.
-----------dan Paulus Hadisuprapto 1981. “Re-Orientasi Mendasar Terhadap
Dampak Peinidanaan” dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dalam
Perspektif Sosial, Bandung : Alumni.
Mulyana, Slamet 1967. Perundang-undangan Majapahit, Jakarta : Bhratara.
Pudja, Gde 1974., Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
Dasar Berlakunya Hukum Hindu, Jakarta : Departemen Agama,
Ditjen Binmas Hindu dan Budha.
-----------1977. Apakah Hukum Hindu Itu (Pokok-Pokok Pikiran tentang
Hukum Hindu), Jakarta : Mayasari.
-----------dan Cok. Rai Sudharta 1977. Manawa Dharmacastra, Compendium
Hukum Hindu, Jakarta : Departemen Agama, Ditjen Binmas Hindu
dan Budha.
Purwita, I B P 1984. Desa Adat dan Banjar di Bali. Denpasar : Kawisastra.
Taneko, Soleman B 1987. Hukum Adat, Bandung : Eresco.
Ter Haar, BZN. 1978. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en
Stelsel van Het Adatrecht) terj. Kng. Soegbakti Poesponoto,
Jakarta : Pradnya Paramita.
Tresna, R 1977. Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Jakarta : Pradnya
Paramita.
Vollenhoven, Van 1987. Penemuan Hukum Adat. (De Ontdekking van Het
Adatrecht) terj. Koninklijk Instituut voor Taal, Land - en Volkenkunde
(KITLV) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Jakarta : Djambatan.
Wirtha Griadi, I Ketut 1984. /et.al./ Laporan Penelitian tentang Cara-cara
Penegakan Hukum dalam Hukum Adat Bali. Denpasar : Pusat
Penelitian Universitas Udayana.

3
Makalah/Artikel :

Ariawan, I Gusti Ketut 2007 ”Eksistensi Pola Penyelesaian Delik Adat sebagai
Pranata Sosial dan Budaya dalam Pembentukan Hukum Pidana
Nasional : Kajian terhadap Relevansi Pemenuhan Kewajiban Adat
sebagai Sanksi dalam Masyarakat Indonesia yang Multikultural.”
dalam Jurnal Media Syariah Jurnal Hukum Islam dan Pranata
Sosial, Media Syari’ah Vol VIII No. 17 Juli – Desember 2007
Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali1994. Karakteristik dan
Otonoini Desa Adat, Suatu Kajian Praktis, Makalah dalam Seininar
Peranan Desa Adat Dalam Pembangunan Daerah Bali, Denpasar.
Widnyana, Made 1989. ”Lokika Sanggraha (Pengertian dan Unsur-unsurnya)”
dalam Kertha Patrika No 47 Tahun XV.
Wirtha Griadi 1994. Karakteristik dan Otonomi Desa Adat (Suatu Kajian
Teoritis), Makalah disampaikan dalam Seminar Peranan Desa Adat
Dalam Pembangunan Daerah Bali, Denpasar.

Pertemuan 1 : Perkuliahan 1 (Lectures)


1. Pengantar.
a. Istilah dan Pengertian Hukum Pidana Adat.
b. Dasar hukum berlakunya hukum pidana adat.
c. Sifat Hukum Pidana Adat.
d. Sumber-sumber Hukum Pidana Adat.

Istilah Hukum pidana adat sebenarnya merupakan istilah yang diambil dari
terjemahan “adat delictenrecht” sebagai istilah yang diperkenalkan oleh Van
Vollenhoven. Hukum adat tidaklah mengenal pembagian bidang hukum
pidana, keperdataan, tata negara maupun administrasi. Istilah yang
dipergunakan oleh Van Vollenhoven hanyalah pembagian untuk
mempermudah analisis atas bidang hukum adat di Indonesia. Hukum pidana
adat adalah ketentuan hukum yang mengatur tentang pelanggaran adat
sebagai: “suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau sekumpulan orang,
mengancam atau menyingung atau mengganggu keseimbangan dan
kehidupan persekutuan, bersifat materiil atau immateniil, terhadap orang
seseorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan yang
demikian mengakibatkan suatu reaksi adat” Dasar hukum berlakunya hukum

4
pidana adat adalah UU No. 1 Drt Tahun 1951 dan UU tentang Kekuasaan
kehakiman. Sifat hukum pidana adat, adalah : menyeluruh dan menyatu,
ketentuan yang terbuka untuk segala peristiwa (tidak mengenal “prae
extence regel”), membedakan permasalahan, peradilan atas permintaan serta
pertanggungjawaban kolektif. Sumber hukum pidana adat, lebih banyak
ditemukan dalam peraturan-peraturan tidak tertulis.

Bahan Bacaan :
Hadikusuma, Hilman 1978. Hukum Pidana Adat, Bandung : Alumni.
Mulyana, Slamet 1967. Perundang-undangan Majapahit, Jakarta : Bhratara.
Taneko, Soleman B 1987. Hukum Adat, Bandung : Eresco.
Ter Haar, BZN. 1978. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en
Stelsel van Het Adatrecht) terj. Kng. Soegbakti Poesponoto,
Jakarta : Pradnya Paramita.
Widnyana, Made 1989. ”Lokika Sanggraha (Pengertian dan Unsur-unsurnya)”
dalam Kertha Patrika No 47 Tahun XV.

Pertemuan 2 : Tutorial 1
Discussion Task – Study Task:
Norma hukum menetapkan pola hubungan-hubungan antara manusia dan
juga merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat ke dalam pola-
pola tertentu sehingga ada batasan-batasan yang jelas tentang pola-pola
perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai yang telah diterima oleh
masyarakat yang bersangkutan. Hubungan di sini mengandung makna
tentang kontak secara timbal balik atau inter-stimulasi dan respon individu-
individu dan kelompok Dalam interaksi sosial yang berlangsung demikian.,
selalu terjadi empat kemungkinan yang merupakan bentuk interaksi sosial itu
sendiri. Menurut hukum adat, perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan hukum adat, merupakan perbuatan ‘illegal’ dan hukum
adat mengenal ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum ( rechtsherstel) jika
hukum itu dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan hukum adat inilah lazim disebut ‘delik adat’

5
Tugas :

1. Identifikasi difinisi / batasan hukum pidana adat dari beberapa


referensi, serta jelaskan, adakah perbedaan yang ditunjukkan oleh
masing-masing difinisi / batasan tersebut.

2. Sifat hukum pidana adat tidak mengenal “prae extence regel”. Apa
yang melandasi, kenapa hukum adat dikatakan tidak mengenal “prae
extence regel” ?

3. Identifikasi, dasar hukum yang secara implisit dapat dijadikan dasar


berlakunya hukum pidana adat.

Pertemuan 3 : Perkuliahan 2 (Lectures)


2. Pengertian Delik Adat.
a. Jenis Delik Adat.
b. Unsur-unsur Delik Adat.
c. Pertanggungjawaban dalam Delik Adat

Di dalam hukum pidana adat, ada berbagai perbuatan yang dianggap sebagai
delik adat di samping ada pula pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya
ringan. Perbuatan-perbuatan tersebut apabila diklasifikasikan termasuk ke
dalam : 1) delik terhadap harta benda; 2) delik terhadap kepentingan orang
banyak; 3) delik terhadap kehormatan seseorang; dan 4) delik terhadap
kesusilaan. Berbeda dengan delik pada umumnya, unsur-unsur delik adat
meliputi : 1) adanya perbuatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok
orang ataupun pengurus; 2) bertentangan dengan norma adat; 3) perbuatan
dipandang menimbulkan adanya ketidakseimbangan kosmis atau
kegoncangan dalam masyarakat; dan 4) adanya reaksi berupa sanksi adat. Di
dalam masalah pertanggungjawaban, hukum pidana adat di samping
megenal pertanggungjawaban pribadi, juga mengenal pertanggungjawaban
kolektif. Hukum pidana adat tidak mengenal alasan pembenar serta alasan
pemaaf sebagaimana dikenal dalam hukum pidana.

6
Bahan Bacaan :
Ariawan, I Gusti Ketut 2007 ”Eksistensi Pola Penyelesaian Delik Adat sebagai
Pranata Sosial dan Budaya dalam Pembentukan Hukum Pidana
Nasional : Kajian terhadap Relevansi Pemenuhan Kewajiban Adat
sebagai Sanksi dalam Masyarakat Indonesia yang Multikultural.”
dalam Jurnal Media Syariah Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial,
Media Syari’ah Vol VIII No. 17 Juli – Desember 2007
Darmayudha, Suasthawa 1994. “Hukum dalam Perspektif Budaya” dalam
Kerta Patrika Edisi Khusus, Denpasar : FH UNUD.
Dherana, Raka 1975. Pokok-Pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali,
Denpasar : Fak. Hukum UNUD.
Djojogigoeno. “Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembinaan
Hukum Nasional”, Prasaran, 1975
Hadikusuma, Hilman 1978. Hukum Pidana Adat, Bandung : Alumni.
Mulyana, Slamet 1967. Perundang-undangan Majapahit, Jakarta : Bhratara.
Taneko, Soleman B 1987. Hukum Adat, Bandung : Eresco.
Ter Haar, BZN. 1978. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en
Stelsel van Het Adatrecht) terj. Kng. Soegbakti Poesponoto,
Jakarta : Pradnya Paramita.
Widnyana, Made 1989. ”Lokika Sanggraha (Pengertian dan Unsur-unsurnya)”
dalam Kertha Patrika No 47 Tahun XV.
Pertemuan 4 : Tutorial 2
Discussion Task – Study Task:
1. I Nyoman Londen pada suatu hari dalam bulan Juni 1978 sekitar
pukul 02.00 WIB., bertempat di Pura Dalem Sulang, Kecamatan
Dawan, Kabupaten Klungkung, dengan cara memanjat tembok
pura, mengambil barang-barang berupa : 1 (satu) buah patung
singa warna kuning.1 (satu) buah genta (“bajra”) 1 (satu) buah
tapel 2 (dua) buah tapel kecil yang keningnya dihiasi dengan
permata berbentuk “brahma”, “wisnu” yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, yang dalam hal ini kepunyaan warga
pura desa Sulang, perbuatan mana lakukan dengan maksud untuk
dimiliki dengan melawan hukum, dengan menjualnya kepada saksi
I Nyoman Sardan alias Pan Damping dengan harga keseluruhan
Rp.50.000,- atau setidak-tidaknya lebih dari Rp.250,-
2. I Gusti Ngurah Raka seorang layang umur 22 tahun, telah
melakukan hubungan cinta dengan Ni Nyoman Kenyod. Selama
menjalin hubungan cinta, telah melakukan hubungan layaknya

7
suami istri, yang dilakukan atas dasar suka sama suka karena I
Gusti Ngurah Raka berjanji akan mengawini Ni Nyoman Kenyod.
Dari hubungan layaknya suami istri antara terdakwa dengan saksi
korban, telah mengakibatkan kehamilan, namun I Gusti Ngurah
Raka ingkar janji dengan memutus hubungan percintaan.
Atas perbuatan orang-orang tersebut di atas, Pengadilan Negeri telah
menjatuhkan pidana masing-masing 2 tahun kepada I Nyoman
Londen dan 3 bulan kepada I Gusti Ngurah Raka

Tugas :
1. Identifikasi, perbuatan kedua orang tersebut, apakah perbuatan tersebut
termasuk delik adat, atau tindak pidana umum sebagaimana ditentukan
dalam KUHP ?
2. Kemukakan unsur-unsur kedua delik tersebut.
3. Dalam kasus yang pertama, siapa-siapa saja yang dapat
dipertanggungjawabkan menurut hukum adat ?

Pertemuan 5 : Perkuliahan 3 (Lectures)


3. Reaksi Adat dalam Delik Adat.
a. Jenis-jenis Reaksi Adat.
b. Penghukuman dalam Hukum Pidana Adat dan pemidanaan Menurut
KUHP.
c. Lembaga Kemasyarakatan Tradisional dan Wewenang Penjatuhan
Sanksi Adat.

Pada hakikatnya, di dalam hukum adat tidak dikenal sanksi, tetapi upaya adat
atau reaksi adat. Hal ini didasarkan atas suatu konsep pemikiran bahwa
pelanggaran adat, merupakan suatu pelanggaran ketentuan hukum tidak
tertulis yang berakibat adanya ketidakseimbangan “kosmis”, siapapun
pelanggarnya mempunyai kewajiban untuk mengembalikan
ketidakseimbangan yang terganggu seperti keadaan semula. Berbagai jenis
reaksi adat antara lain : 1) pengganti kerugian materiil dalam berbagai rupa,
seperti paksaan menikahkan gadis yang telah dicemarkan; 2) pembayaran
uang adat; 3) selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala
8
kotoran; 4) penutup malu/permintaan maaf; 5) berbagai rupa hukuman
badan sampai hukuman mati; dan 6) pengasingan dari masyarakat serta
meletakkan orang diluar hukum. Filosofi yang mendasari penghukuman
dalam hukum adat berbeda dengan pemidanaan menurut KUHP.
Penghukuman dalam hukum adat lebih banyak dilandasi oleh falsafah
harmoni, sedangkan dalam KUHP lebih berorientasi pada masalah retributif
dan rehabilitatif. Di dalam organisasi kemasyarakatan adat dalam bentuk
persekutuan hukum adat, melekat suatu wewenang untuk menjatuhkan
sanksi adat.

Bahan Bacaan :
Ariawan, I Gusti Ketut 2007 ”Eksistensi Pola Penyelesaian Delik Adat sebagai
Pranata Sosial dan Budaya dalam Pembentukan Hukum Pidana
Nasional : Kajian terhadap Relevansi Pemenuhan Kewajiban Adat
sebagai Sanksi dalam Masyarakat Indonesia yang Multikultural.”
dalam Jurnal Media Syariah Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial,
Media Syari’ah Vol VIII No. 17 Juli – Desember 2007
Barda Nawawi Arief.1990. “Beberapa Aspek Baru dalam Konsep KUHP Baru”
Bahan Ceramah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiah,
Magelang.
-----------1995. Delik Agama dalam Konsep KUHP (Baru), Makalah
disampaikan dalam Penataran nasional Hukum Pidana dan
Kriminologi, Semarang.
Darmayudha, Suasthawa 1994. “Hukum dalam Perspektif Budaya” dalam
Kerta Patrika Edisi Khusus, Denpasar : FH UNUD.
Dherana, Raka 1975. Pokok-Pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali,
Denpasar : Fak. Hukum UNUD.
Djojogigoeno. “Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembinaan
Hukum Nasional”, Prasaran, 1975
Hadikusuma, Hilman 1978. Hukum Pidana Adat, Bandung : Alumni.
Mulyana, Slamet 1967. Perundang-undangan Majapahit, Jakarta : Bhratara.
Taneko, Soleman B 1987. Hukum Adat, Bandung : Eresco.
Ter Haar, BZN. 1978. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en
Stelsel van Het Adatrecht) terj. Kng. Soegbakti Poesponoto,
Jakarta : Pradnya Paramita.
Widnyana, Made 1989. ”Lokika Sanggraha (Pengertian dan Unsur-unsurnya)”
dalam Kertha Patrika No 47 Tahun XV.

9
Pertemuan 6 : Tutorial 3
Discussion Task – Study Task:
1. I Made Rateng dan I Wayan Serinu, secara berturut-turut, pada
tanggal 16, 17 dan 18 Nopember 1986 bertempat di Pura Puseh
Desa Adat Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten
Gianyar, pada malam hari dengan cara membongkar beberapa
“pelinggih” mengambil barang-barang berupa uang kepeng
“pependeman” yang ditanam di “pelinggih-pelinggih” Pura Puseh,
sehingga akibat perbuatan I Made Rateng dan I Wayan Serinu
Desa Adat Manukaya menderita kerugian sebesar Rp. 7.523.240,-
dengan rincian : Rp.7.000.000,- untuk biaya upacara, dan
Rp.523.240,- untuk membuat kembali pependeman.
2. Terhadap perbuatan I Made Rateng dan I Wayan Serinu
Pengadilan Negeri Gianyar telah menjatuhkan pidana masing-
masing selama 3 tahun penjara. Namun karena I Made Rateng dan
I Wayan Serinu merupakan krama desa adat Manukaya, prajuru
desa adat telah menjatuhkan hukuman berupa kewajiban untuk
melakukan ritual “pecaruan desa”.
Tugas :
1. Di dalam kasus di atas, walaupun pengadilan telah menjatuhkan pidana
berupa pidana penjara, namun desa adat tetap menjatuhkan hukuman
kepada I Made Rateng dan I Wayan Serinu, berupa kewajiban untuk
melakukan ritual adat pecaruan desa. Dengan mendasarkan pada filosofi
penghukuman menurut hukum adat, mengapa penghukuman tersebut
perlu dilakukan ?
2. Wewenang desa adat untuk menjatuhkan hukuman kepada I Made
Rateng dan I Wayan Serinu berupa kewajiban untuk melakukan ritual
adat pecaruan desa.
3. Bagaimanakah seandainya, I Made Rateng dan I Wayan Serinu bukan
warga atau krama desa adat Manukaya ?

10
Pertemuan 7 : Perkuliahan 4 (Lectures)
4. Hukum Pidana Adat dan Pembaharuan Hukum Pidana.
a. Makna dan Hakikat Pembaharuan Hukum Pidana.
b. Sasaran Pembaharuan Hukum Pidana.
c. Peranan Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional

Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana, dilihat dari sudut


pendekatan kebijakan, merupakan bagian dari kebijakan sosial, bagian dari
kebijakan kriminal dan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Sedangkan
dilihat dari sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (re-orientai
dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis dan sosio-kultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substansi hukum
pidana yang dicita-citakan. Dalam kerangka pembaharuan hukum pidana
tidak hanya mencakup pembaharuan “struktural”, yaitu lembaga-lembaga
hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme, tetapi harus pula mencakup
pembaharuan “substansial” berupa produk-produk yang merupakan suatu
“sistem hukum” dalam bentuk peraturan-peraturan hukum pidana yang
bersifat “cultural” yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi
berlakunya suatu sistem hukum. Apabila persoalan ini kita kembalikan pada
pemahaman tentang istilah ‘hukum pidana nasional’, maka istilah nasional
harus diartikan secara relatif, karena muatannya mau tidak mau harus
mencakup 1) aspirasi ideologi nasional; 2) aspirasi kondisi manusia, alam dan
tradisi bangsa; dan 3) kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-
bangsa beradab.

Bahan Bacaan :
Barda Nawawi Arief.1990. “Beberapa Aspek Baru dalam Konsep KUHP Baru”
Bahan Ceramah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiah,
Magelang.
-----------1995. Delik Agama dalam Konsep KUHP (Baru), Makalah
disampaikan dalam Penataran nasional Hukum Pidana dan
Kriminologi, Semarang.
Darmayudha, Suasthawa 1994. “Hukum dalam Perspektif Budaya” dalam
Kerta Patrika Edisi Khusus, Denpasar : FH UNUD.

11
Dherana, Raka 1975. Pokok-Pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali,
Denpasar : Fak. Hukum UNUD.
Djojogigoeno. “Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembinaan
Hukum Nasional”, Prasaran, 1975
Hadikusuma, Hilman 1978. Hukum Pidana Adat, Bandung : Alumni.
Mulyana, Slamet 1967. Perundang-undangan Majapahit, Jakarta : Bhratara.
Taneko, Soleman B 1987. Hukum Adat, Bandung : Eresco.
Ter Haar, BZN. 1978. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en
Stelsel van Het Adatrecht) terj. Kng. Soegbakti Poesponoto,
Jakarta : Pradnya Paramita.

Tresna, R 1977. Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Jakarta : Pradnya


Paramita.
Vollenhoven, Van 1987. Penemuan Hukum Adat. (De Ontdekking van Het
Adatrecht) terj. Koninklijk Instituut voor Taal, Land - en
Volkenkunde (KITLV) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Jakarta : Djambatan.
Wirtha Griadi, I Ketut 1984. /et.al./ Laporan Penelitian tentang Cara-cara
Penegakan Hukum dalam Hukum Adat Bali. Denpasar : Pusat
Penelitian Universitas Udayana.
Widnyana, Made 1989. ”Lokika Sanggraha (Pengertian dan Unsur-unsurnya)”
dalam Kertha Patrika No 47 Tahun XV.

Pertemuan 8 : Tutorial 4
Discussion Task – Study Task:
Di dalam pembentukan hukum pidana nasional, istilah nasional harus
diartikan secara relatif, karena muatannya mau tidak mau harus mencakup 1)
aspirasi ideologi nasional; 2) aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi
bangsa; dan 3) kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab.

Tugas :
1. Apakah aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, identik dengan
diakomodirnya delik adat serta pemenuhan kewajiban adat dalam
pembentukan hukum pidana nasional. Jelaskan serta berikan satu
argumen yang mendasarinya
2. Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut
pendekatan kebijakan, merupakan bagian dari kebijakan sosial, bagian
dari kebijakan kriminal dan bagian dari kebijakan penegakan hukum.

12
Gambaran apa yang saduara peroleh apabila hal tersebut dihubungkan
dengan kebijakan hukum pidana dan kebijakan kriminal

Pertemuan 9 : Perkuliahan 5 (Lectures)


5. Hukum Pidana Adat dan Masalah Asas Legalitas serta
pertanggungjawaban pidana
a. Pergeseran pandangan tentang asas legalitas
b. Asas legalitas dalam Rancangan KUHP
c. Masalah pertanggungjawaban pidana/kesalahan
Di dalam menentukan dasar hukum atau patut dipidananya suatu perbuatan,
RUUHP 2008 dasar hukumnya yang utama adalah undang-undang (hukum
tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang formal,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) RUUHP 2008. Berbeda
halnya dengan asas legalitas yang berlaku selama ini, konsep masih
memperluas perumusannya secara materiil, dengan menegaskan bahwa
ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut tidak mengurangi arti hukum yang
hidup dan ada dalam kenyataan masyarakat, yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian di samping undang-
undang (hukum tertulis) sebagai kriteria patokan formal, RUUHP 2008 juga
memberikan peluang kepada sumber hukum tidak tertulis, sebagai dasar
untuk menentukan kriteria patut dipidananya suatu perbuatan. Namun perlu
dicatat bahwa hal ini hanyalah berlaku untuk perbuatan-perbuatan yang tidak
diatur dalam KUHP ataupun untuk delik-delik yang tidak mempunyai
padanannya dalam KUHP. Berangkat dari alur pemikiran mengenai dasar
patut dipidananya suatu perbuatan, maka konsep juga menentukan bahwa
tindak pidana, pada hakikatnya merupakan suatu perbuatan yang melawan
hukum, baik secara formal maupun material.
Tentang pertanggungjawaban pidana RUUHP metegaskan bahwa :
“pertanggungjawaban pidana adalah, diteruskannya celaan yang obyektif
yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang
memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya.
Selanjutnya ditegaskan pula secara eksplisit dianutnya asas tiada pidana
tanpa kesalahan (Geen Straf zonder schuld) yang didalam KUHP tidak ada.
13
Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh
karenanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam RUUHP sebagai
pasangan dari asas legalitas. Penegasan demikian merupakan perwujudan
ide keseimbangan monodualistik.

Bahan Bacaan :
Barda Nawawi Arief.1990. “Beberapa Aspek Baru dalam Konsep KUHP Baru”
Bahan Ceramah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiah,
Magelang.
-----------1995. Delik Agama dalam Konsep KUHP (Baru), Makalah
disampaikan dalam Penataran nasional Hukum Pidana dan
Kriminologi, Semarang.
Darmayudha, Suasthawa 1994. “Hukum dalam Perspektif Budaya” dalam
Kerta Patrika Edisi Khusus, Denpasar : FH UNUD.
Dherana, Raka 1975. Pokok-Pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali,
Denpasar : Fak. Hukum UNUD.
Djojogigoeno. “Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembinaan
Hukum Nasional”, Prasaran, 1975
Hadikusuma, Hilman 1978. Hukum Pidana Adat, Bandung : Alumni.
Mulyana, Slamet 1967. Perundang-undangan Majapahit, Jakarta : Bhratara.
Taneko, Soleman B 1987. Hukum Adat, Bandung : Eresco.
Ter Haar, BZN. 1978. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en
Stelsel van Het Adatrecht) terj. Kng. Soegbakti Poesponoto,
Jakarta : Pradnya Paramita.
Tresna, R 1977. Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Jakarta : Pradnya
Paramita.
Vollenhoven, Van 1987. Penemuan Hukum Adat. (De Ontdekking van Het
Adatrecht) terj. Koninklijk Instituut voor Taal, Land - en
Volkenkunde (KITLV) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Jakarta : Djambatan.
Wirtha Griadi, I Ketut 1984. /et.al./ Laporan Penelitian tentang Cara-cara
Penegakan Hukum dalam Hukum Adat Bali. Denpasar : Pusat
Penelitian Universitas Udayana.
Widnyana, Made 1989. ”Lokika Sanggraha (Pengertian dan Unsur-unsurnya)”
dalam Kertha Patrika No 47 Tahun XV.

14
Pertemuan 10 : Tutorial 5
Discussion Task – Study Task:
Dengan pergeseran asas legalitas dari perumusan formal ke perumusan
formal dan material, maka dalam implementasi hukum pidana nasional yang
akan datang, tindak pidana yang tidak diatur dan diancam pidana dalam
KUHP, pelakunya dapat dipidana.

Tugas :
1. Jelaskan jembatan yuridis dan jembatan teoritis yang dapat dijadikan
landasan pembenar pergeseran perumusan asas legalitas dalam RUUHP.
2. Apakah pada saat ini tidak dapat dikatakan telah ada
pergeseran/dinamika pemberlakuan asas legalitas. Jelaskan

Pertemuan 11 : Perkuliahan 6 (Lectures)


6. Hukum Pidana Adat dalam Hubungannya dengan Pembaharuan Pidana
dan Pemidanaan.
a. Jenis Pidana dalam Rancangan KUHP
b. Reaksi adat dalam Rancangan KUHP

Di dalam RUUHP dirumuskan tentang “tujuan dan pedoman pemidanaan”.


Dirumuskannya hal ini bertolak dari pokok pemikiran : 1) Sistem hukum
pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan ( purposive system)
dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan; 2) Tujuan
pidana merupakan bagian integral (sub sistem) dari keseluruhan sistem
pemidanaan (sistem hukum Pidana) di samping sub sistem lainnya, yaitu sub
sistem “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana” “kesalahan, dan
“pidana”; 3) secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan
suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislati), tahap
“aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif),dan tahap “eksekusi” (kebijakan
administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan
keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan, diperlukan perumusan dan tujuan serta pedoman pemidanaan.
Dicantumkannya pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana
tambahan, dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemidanaan yang bertolak
15
dari dan didasarkan pada KUHP (baca WvS) yang selama ini terjadi dalam
praktek, kurang memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat yang masih
mengenal dan memberlakukan hukum adat pidana Kerugian yang diakibatkan
oleh delik adat, tidak saja menyangkut kerugian materiil, tetapi juga kerugian
yang bersifat immateriil. Hal ini jelas menunjukkan bahwa hukum adat pidana
dilandasi oleh suatu falsafah harmoni dan ’communal morality’
Bahan Bacaan :
Barda Nawawi Arief.1990. “Beberapa Aspek Baru dalam Konsep KUHP Baru”
Bahan Ceramah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiah,
Magelang.
-----------1995. Delik Agama dalam Konsep KUHP (Baru), Makalah
disampaikan dalam Penataran nasional Hukum Pidana dan
Kriminologi, Semarang.
Djojogigoeno. “Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembinaan
Hukum Nasional”, Prasaran, 1975
Hadikusuma, Hilman 1978. Hukum Pidana Adat, Bandung : Alumni.
Hartono, Soenaryati 1975.. Peranan Peradilan Dalam Pembinaan dan
Pembaharuan Hukum Nasional, Bandung : Binacipta.
Mertokusumo, Sudikno 1983. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di
Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita
Bangsa Indonesia, Yogyakarta : Liberty.
Muladi, 1990 “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Mendatang”
Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pada Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang : Universitas Diponegoro.
-----------dan Paulus Hadisuprapto 1981. “Re-Orientasi Mendasar Terhadap
Dampak Peinidanaan” dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dalam
Perspektif Sosial, Bandung : Alumni.
Taneko, Soleman B 1987. Hukum Adat, Bandung : Eresco.
Ter Haar, BZN. 1978. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en
Stelsel van Het Adatrecht) terj. Kng. Soegbakti Poesponoto,
Jakarta : Pradnya Paramita.
Tresna, R 1977. Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Jakarta : Pradnya
Paramita.
Vollenhoven, Van 1987. Penemuan Hukum Adat. (De Ontdekking van Het
Adatrecht) terj. Koninklijk Instituut voor Taal, Land - en
Volkenkunde (KITLV) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Jakarta : Djambatan.
Wirtha Griadi, I Ketut 1984. /et.al./ Laporan Penelitian tentang Cara-cara
Penegakan Hukum dalam Hukum Adat Bali. Denpasar : Pusat
Penelitian Universitas Udayana.
Widnyana, Made 1989. ”Lokika Sanggraha (Pengertian dan Unsur-unsurnya)”
dalam Kertha Patrika No 47 Tahun XV.

16
Pertemuan 12 : Tutorial 6
Discussion Task – Study Task:
1. Di kalangan masyarakat adat Biak Numfor Propinsi Papua dikenal
beberapa jenis delik adat yang sebagian besar juga termasuk delik
umum dalam KUHP. Apabila delik tersebut dilanggar maka terhadap si
pelanggar dapat diminta pertanggungjawabannya oleh ” mananwir”
selaku hakim adat melalui Dewan Adat Kainkain Karkara Biak, sebagai
lembaga peradilan perdamaian lingkungan masyarakat hukum adat Biak
Numfor. Delik adat mamun/aipyokem (pembunuhan), wos bin
(perzinahan) dan sasmer bin (membawa lari seorang anak perempuan
gadis atau istri orang) dikategorikan sebagai delik adat berat, namun
pemahaman orang Biak selama ini menganggap delik pembunuhan,
perzinahan dan membawa lari anak gadis atau istri orang disebut
sebagai ”mambri” (orang kuat/hebat) dan sikap yang ditunjukkan itu
dianggap mengangkat martabat dari klen/keretnya, sehingga yang
bersangkutan disegani, dan dihormati sebagai pahlawan. Berbeda
halnya dengan delik pencurian, karena dianggap tabu maka pelakunya
dapat dikenakan sanksi diusir dari kampungnya. Setiap pelangaran adat
yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan masyarakat adat,
harus segera dipulihkan. Pengembalian atau pemulihan keseimbangan
ini, biasanya selalu disertai dengan suatu kejadian atau perbuatan yang
harus dipertanggungjawabkan kepada si pelanggar adat. Perbuatan
atau kejadian ini, tidak selalu dalam bentuk tindakan yang bersifat
jasmaniah, bahkan tindakan-tindakan itu sebagian besar merupakan
tindakan yang bersifat rokhaniah, dalam bentuk kewajiban untuk
melakukan ritual-ritual adat tertentu yang dapat diyakini untuk
memulihkan keseimbangan yang terganggu. Ritual adat merupakan
salah satu upaya pemulihan keseimbangan yang terganggu dalam
masyarakat, masyarakat hukum adat Biak Numfor biasanya menggelar
upacara pemulihan keseimbangan hanya dikhususkan untuk delik adat
mamun/aipyokem (pembunuhan). Istilah yang dipergunakan, yaitu
”wafwuf afer” (tiup kapur) atau ”owapuk ambober” (potong bambu)
sebagai simbol yang memiliki nilai kerelegiusan dan kesakralan dalam
mendamaikan si pelaku dengan pihak keluarga korban.
17
2. Terhadap delik adat Sasak yang tetap eksis di kalangan masyarakat
adat Sasak (lombok), seperti : ”Bekekaruh”, ”Bero dait sesato”,
”Ngeregah”, ”Ngampahang” atau ”Ngamburayang” juga dikenal cara-
cara penyelesaiannya dengan memerankan tokoh-tokoh adat sasak
yang terhimpun dalam suatu lembaga yang bernama ” krama desa” di
tingkat desa dan ”krama gubuk” di tingkat dusun., dimana lembaga ini
seringkali bertindak sebagai hakim perdamaian desa khususnya dalam
menyelesaikan delik adat sasak yang sifatnya ringan atas dasar
musyawarah atau ”begundem
3. Dalam kalangan masyarakat hukum adat Lamaholot Kabupaten
Flores Timur juga dikenal cara-cara penyelesaian delik adat yang
disebut : ”lewak tapo”, ”mao” atau ” manuk telun”. Ritual dimaksud
telah mengakar dengan kuat dan bahkan telah menjadi budaya
masyarakat setempat, dalam upaya untuk mencari kausa kejahatan
baru (balas dendam) karena belum dilakukannya ritual adat sebagai
upaya untuk menetralisasi keseimbangan yang terganggu
4. Dalam kalangan masyarakat Aceh, juga dikenal cara-cara penyelesaian
konflik lewat ritual ”peusejeuk” Hal ini terungkap dari penelitian tentang
pengendalian sosial di desa-desa tertentu di Aceh yang dilakukan oleh
Alpian.
5. Di Bali, sampai saat ini masih tetap eksis pola penyelesaian delik adat
yang dalam pelaksanaannya dimaksudkan sebagai upaya pemulihan
keseimbangan yang terganggu sebagai akibat adanya delik adat.

Tugas :
1. Dari pernyataan-pernyataan tersebut di atas, bagaimana pendapat
saudara, apabila di masing-masing daerah tersebut terjadi tindak pidana
yang menurut pandangan masyarakat adat setempat juga merupakan
delik adat, diadili oleh peradilan formal (Pengadilan Negeri)
2. Jelaskan urgensi dan jastifikasi dimasukkannya ”pemenuhan kewajiban
adat” sebagai salah satu jenis sanksi dalam RUUHP.
3. Bahwa ”pemenuhan kewajiban adat” hanya diposisikan sebagai jenis
pidana tambahan. Bagaimana pendapat saudara

18

Anda mungkin juga menyukai