Anda di halaman 1dari 24

Kamis, 22 Oktober 2009

Kategori Penerjemahan Lisan

Oleh : Havid Ardi, SS., M.Pd (Dosen LB Jur. BSI)

The aim of this article is to clarify the categorization of interpretation, also understood as oral
translation. There are many types of interpretation proposed by scholars. Some of the categorizations
are similar, but some are overlapping and show inconsistency. First, existing definitions and
classifications of interpretation are reviewed in terminological, conceptual and classification confusions
are pointed out. Then, based on analysis, the new interpretation classifications are proposed.

A. PENDAHULUAN

Seperti penerjemahan pada umumnya, penerjemahan lisan (interpretation) merupakan proses


pengalihan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran yang dilakukan secara lisan. Penerjemahan
lisan atau pengalihbahasaan memiliki berbagai jenis dan kategorisasi. Beberapa jenis pengalihbahasaan
seperti: consecutive interpreting, simultaneous interpreting, whispered interpreting, liaison interpreting,
community interpreting, conference interpreting dan lain sebagainya. Namun, beberapa istilah di atas
merujuk pada konsep yang sama. Selain itu, kategorisasi yang ditawarkan para ahli dalam
pengelompokan jenis pengalihbahasaan juga tumpang tindih dan inkonsisten.

Artikel ini dimaksudkan untuk mereview dan mendiskusikan beberapa jenis penerjemahan lisan dan ciri-
cirinya serta kategorisasi yang ada saat ini. Berikutnya mengajukan model kategorisasi
pengalihbahasaan. Artikel ini juga dimaksudkan sebagai kajian awal dalam merancang pelatihan atau
pendidikan untuk melahirkan alihbahasawan (interpreter).

B. TINJAUAN PENERJEMAHAN LISAN

Banyak definisi pengalihbahasaan yang telah dikemukan para ahli. Misalnya, Brislin (1976:1),
menyatakan:
Interpretation … refers to oral communication situations in which one person speaks in the source
language, an interpreter processes this input and produces output in a second language, and a third
person listens to the source language version.”

Definisi ini menegaskan bahwa pengalihbahasaan terjadi dalam setting komunikasi lisan antara
komunikator dan komunikan yang menggunakan bahasa berbeda, sehingga alihbahasawan bertugas
memproses input (Bsu) dari pembicara pertama dan menghasilkan output dalam versi bahasa (Bsa) yang
dipahami oleh orang ke tiga. Input di sini berbentuk lisan.

Phelan (2001:6) menyatakan pengalihbahasaan adalah penerjemahan secara lisan apa yang didengar ke
dalam bahasa lain. Ia menambahkan bahwa alihbahasawan terfokus pada gagasan bukan pada
kesepadanan pada tataran kata secara terpisah (ibid: 7). Sependapat dengan Phelan, Seleskovitch
(1976:92-93) menegaskan bahwa pengalihbahasaan yang dituturkan secara langsung, lebih ditekankan
pada kesepadanan ide atau gagasan, daripada kesepadanan linguistiknya (frasa atau kata). Jadi
alihbahasawan berkonsentrasi pada pemilihan redaksi kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan
sesuai waktu dan konteks pada saat itu, bukan menyampaikan sesuai dengan kata-kata seperti pada
bahasa sumber (Shuttleworth & Cowie, 1997; Arjona, 1978).

Weber (1984) menambahkan “interpretation is the oral transposition of an orally delivered message at a
conference or a meeting from a source language into a target language, performed in the presence of
the participants”. Pendapat ini lebih menekankan fungsi pengalihbahasaan dalam menjembatani
hambatan komunikasi lisan karena perbedaan bahasa. Namun pada konteks sekarang kehadiran di sini
tidak selalu berada di tempat dan ruang yang sama.

Sementara, Edwards (dalam Kelly, 2005), menyatakan bahwa “Interpetation means the unrehearsed
transmitting of a spoken or signed message from one language to another.” Edwards lebih menekankan
proses pengalihbahasaan ini terjadi secara langsung atau spontan dan ia tidak terbatas pada bentuk
lisan semata, namun juga dari dan ke bahasa isyarat. Definisi ini mengakomodir pengalihbahasaan dari
bentuk lisan ke bentuk bahasa isyarat karena beberapa kesamaan, seperti aspek tekanan kognitif dan
kecepatan.

Sementara, Gile (2000:40) menyebutkan, “interpreting is the oral translation of oral discourse, as
opposed to the oral translation or written texts. The latter is known as sight translation or translation-at-
sight.” Gile membatasi pengalihbahasaan merupakan penerjemahan secara lisan dari wacana lisan, dan
hal ini berbeda dengan penerjemahan lisan dari teks tertulis. Sehingga sight translation menurut Gile
(2000) tidak termasuk pengalihbahasaan. Hal ini berdasarkan beberapa perbedaannya dengan
pengalihbahasaan - misalnya cognitive stress yang hampir tidak ditemui pada sight-translation (lihat
Gile, 1995: xiii & 183). Namun, ia tetap memasukkan sight translation sebagai jenis pengalihbahasaan
(lihat Gile, 1995:183). Kemungkinan disebabkan kesamaannya disamping perbedaannya diantara
penerjemahan dan pengalihbahasaan (ibid: xiii).

Berdasarkan definisi di atas diperoleh simpulan bahwa pengalih-bahasaan merupakan penggantian


bahasa ujaran lisan dan diproduksi kembali dalam bentuk lisan atau bahasa isyarat. Selain itu,
pengalihbahasaan selalu terjadi dalam setting komunikasi yang melibatkan paling sedikit dua orang
pembicara dan adanya pendengar/peserta yang memiliki bahasa berbeda dan tidak menutup
kemungkinan bisa lebih dari dua orang. Pengalihbahasaan dapat melibatkan lebih dari dua bahasa jika
yang terlibat dalam komunikasi lintas bahasa tersebut juga lebih dari dua orang dengan latar bahasa dan
budaya yang jelas berbeda.

C. KATEGORISASI PENERJEMAHAN LISAN

Banyak kategori atau klasifikasi penerjemahan lisan yang telah diajukan para ahli penerjemahan selama
ini, namun, beberapa kategori tersebut masih tumpang tindih dan inkonsisten. Selain itu juga terdapat
beragam istilah yang merujuk pada konsep yang sama. Mari kita cermati beberapa kategorisasi
penerjemahan lisan berikut.

Kreser dan Weber (dalam Nababan, 2003: 115) mengklasifikasikan penerjemahan lisan berdasarkan cara
pengalihbahasaan, yaitu: pengalih-bahasaan secara simultan, konsekutif, berbisik, dan sight translation.
Namun, sebenarnya, ada yang tumpang tindih pada klasifikasi ini, misalnya, dalam pengalihbahasaan
secara simultan atau konsekutif dapat juga dilakukan secara berbisik. Selain itu juga terdapat
keinkonsistenan, misalnya konsekutif dan simultan jika dibandingkan sama-sama berdasarkan waktu
pengalihan (time atau moment of speaking) langsung atau menunggu, sementara, sight-translation
karena bahasa sumbernya dalam bentuk wacana tulis yang dapat dibaca.

Sementara, Gentile, et al (1996:22) mengkategorikan penerjemahan lisan menjadi dua genre utama,
yaitu liaison interpreting dan conference interpreting, sebagai prototipe pengalihbahasaan. Jika kita
cermati makna kamus, liaison bermakna agen komunikasi atau penghubung yang merujuk pada fungsi,
sementara konferensi merujuk pada tempat. Jadi penamaan ini belum konsisten satu sama lain.
Berikutnya, klasifikasi pengalihbahasaan yang ditawarkan Phelan (2001:6) ada tiga jenis
pengalihbahasaan, yaitu: bilateral/liaison, konsekutif, dan simultan. Pengalihbahasaan bilateral (liaison)
adalah pengalihbahasaan dua arah oleh alihbahasawan yang sama. Tipe ini biasanya dilakukan dalam
setting masyarakat. Sementara simultaneous interpreting dan consecutive interpreting dibedakan
berdasarkan cara atau saat alihbahasawan berbicara. Jika kita bandingkan, klasifikasi yang ditawarkan ini
juga belum konsisten. Pengalihbahasaan bilateral dibedakan karena sifatnya yang dilakukan dalam
bentuk dialog, alihbahasawan yang sama harus mengalihbahasakan ke dalam dua arah. Sementara,
pengalihbahasaan konsekutif dan simultan berbeda berdasarkan saat bicara.

Selain berdasarkan genre, Gentile, et al (1996:22) juga mengklasifikasi penerjemahan lisan berdasarkan
mode (metode atau cara pengalihbahasaan), yaitu: pengalihbahasaan secara simultan dan konsekutif
sebagai dua cara dasar dalam pelaksanaan pengalihbahasaan. Baik liaison maupun conference
interpreting dapat menggunakan kedua mode tersebut (ibid: 22). Klasifikasi kedua yang ditawarkan
Gentile ini terlihat lebih konsisten karena sama-sama dibedakan berdasarkan mode. Namun,
penggunaan istilah mode juga tumpang tindih, misalnya Clifford, berdasarkan mode pengalihbahasaan,
ia membagi menjadi conference interpreting (antar dua bahasa lisan) dan sign language interpreting
(antara bahasa lisan dan bahasa isyarat) (2001:366). Mode di sini sebenarnya merujuk pada alat atau
channel komunikasi yang digunakan..

Dari diskusi sementara terlihat adanya perbedaan dan kesamaan pendapat dari beberapa ahli Secara
umum kategorisasi jenis penerjemahan lisan yang telah ditawarkan para ahli dapat kita bandingkan
dalam bentuk tabel berikut:

Tabel 1. Perbandingan Klasifikasi Pengalihbahasaan

Kategori Gentile, et al

(1996:22) Kreser & Weber

(dlm Nababan) Pöchhacker (2001) Clifford

(2001) Phelan

(2001: 6)

Genre/tipe

Spektrum prototipe Liaison,

Conference, Community,
Conference bilateral/liaison,

konsekutif,

simultan.

Mode Simultan

Konsekutif

simultan,

konsekutif,

berbisik,

sight translation conference,

sign language

Selain klasifikasi di atas, berdasarkan spesilisasi pekerjaan, liaison interpreting ini juga dibedakan
berdasarkan jenis setting pekerjaannya seperti pengalihbahasaan medis (Kelly, 2008) & kesehatan
mental, legal setting (court interpreting), bisnis, dan speech pathology (Gentile, 1996: 77-134). Selain
itu, berdasarkan jarak antara dan alat yang digunakan juga muncul remote interpreting, yang
menggunakan: telephone, video, videoconference (Kelly, 2008; Phelan, 2001), dan pasangannya face-to-
face atau on-site interpreting (Kelly, 2008; Angelelli, 2004:49-50; Phelan, 2001).

Berdasarkan diskusi di atas dan di atas, ditawarkan kategorisasi pengalihbahasaan berdasarkan: setting
interaksi, cara pengalihbahasaan, jarak dan alat yang digunakan, kekhususan bidang pekerjaan, dan
berdasarkan wacana input & output.

1. Berdasarkan situasi dan interaksi (mode of interaction & setting)

Berdasarkan situasi dan dan interaksi terdapat dua jenis pengalihbahasaan, yaitu: pengalihbahasaan
dalam setting konferensi (conference interpreting) dan masyarakat (community interpreting).
Pembagian ini berdasarkan spektrum perbedaan yang ada diantara kedua pengalihbahasaan tersebut.
Spektrum perbedaan ini antara lain, dari segi interaksi (multinasional dan nasional), institusi, masyarakat
(Pöchhacker, 2001:411).
Pengalihbahasaan di masyarakat biasanya dilakukan untuk kebutuhan layanan masyarakat, misalnya
pasien dan dokter (Angelelli, 2001; Gentile et al, 1996). Sementara alihbahasawan dalam konferensi
biasanya melayani para pejabat negara. Karena perbedaan klien ini, alihbahasawan dalam konferensi
biasanya memiliki prestise yang lebih tinggi, sehingga Robert (dalam Angelelli, 2001) lebih memilih
istilah community interpreting di samping liason interpreting.

a. Pengalihbahasaan dalam setting konferensi (Conference interpreting)

Pengalihbahasaan ini dilakukan dalam setting konferensi, alihbahasawan duduk di tempat terpisah
(booth) yang dapat melihat klien/atau peserta konferensi. Masing-masing booth biasanya terdiri dari
dua alihbahasawan yang hanya mengalihbahasakan ke satu bahasa saja (Gentile et al, 1996). Mereka
dapat dibedakan menjadi alihbahasawan aktif dan alihbahasawan pasif (Gile, 1995). Alihbahasawan aktif
bertugas mendengarkan dan mengalihbahasakan wacana lisan yang didengarnya ke dalam bahasa
sasaran, sementara alihbahasawan pasif menjadi asisten yang sewaktu-waktu harus siap memberi
informasi jika ada bagian yang tertinggal (ibid). Sementara di booth lain alihbahasawan berbeda
mengalihbahasakan ke bahasa yang berbeda. Peserta konferensi tinggal memilih saluran bahasa yang
tersedia.

Berdasarkan saat bicara, pengalihbahasaan dalam setting konferensi seringkali dilakukan secara
simultan, alihbahasawan langsung mengalihbahasakan gagasan yang disampaikan pembicara dalam
bahasa sumber ke bahasa sasaran yang ditugaskan padanya pada saat yang sama (Phelan, 2001;
Pöchhacker, 2001; Gentile et al, 1996). Namun tak jarang juga dilakukan secara konsekutif/bergantian
yaitu alihbahasawan diberi waktu untuk mengalihbahasakan, hal ini apabila acara tersebut banyak
melibatkan tanya jawab (Gentile et al, 1996).

Dalam conference interpreting, prose pengalihbahasaan hanya dalam bentuk interaksi satu arah,
biasanya dari L2 ke L1. Lebih lanjut, berdasarkan: jarak fisik relatif berjauhan, informasi yang dimiliki
antar klien dan status antar klien relatif sama, bekerja dalam tim (Gentile, et al, 1996:18).

b. Pengalihbahasaan dalam setting masyarakat (Community interpreting)

Pengalihbahasaan ini terjadi dalam sektor layanan publik untuk memfasilitasi komunikasi antara petugas
dan masyarakat awam, seperti di kantor polisi, imigrasi, pusat kesejahteraan sosial, medis dan
kesehatan mental, sekolah, dan istitusi sejenis lainnya (Wadensjö, 2000:33; Pöchhacker, 2001; Gile,
2000). Pengalihbahasaaan ini memiliki banyak nama, namun konsepnya merujuk pada konsep yang
sama. Misalnya, Gentile menggunakan istilah liaison interpreting yang disebutnya sebagai genre
pengalihbahasaan yang menuntut alihbahasawan yang sama untuk melakukan pengalihbahasaan dalam
dua arah (bi-directional) yang terjadi dalam setting masyarakat (Gentile et al, 1996:17) yang dilakukan
secara konsekutif maupun simultan. Sementara, Phelan (2001) menggunakan istilah pengalihabahasaan
bilateral atau liaison, dan pengalihbahasaan dialog (dialogue interpreting) atau liaison interpreting
(Gentile, 1996).

Alihbahasawan liaison bertugas mengalihkan bahasa ke dalam bentuk interaksi dua arah dalam setting
lingkungan masyarakat umum (Gentile, et al, 1996:17). Di beberapa negara istilah pengalihbahasaan ini
juga berbeda, seperti di UK pengalihbahasaan jenis ini disebut ad hoc atau public service interpreting, di
Skandinavia disebut contact interpreting, dan di Australia disebut three-concerned interpreting atau
pengalihbahasaan dialog (dialogue interpreting) (Gentile et al, 1996). Namun prinsip kerjanya sama,
alihbahasawan yang sama harus menerjemahkan secara lisan untuk menjembatani dialog antara dua
orang (atau lebih) ke dalam bahasa mereka masing-masing.

Lebih lanjut Pöchhacker, (2001:415) menjelaskan bahwa dalam community interpreting, dialog antar
dua klien lebih dominan dilakukan secara konsekutif bilateral pendek-pendek. Sementara dari segi
kliennya, pihak pertama lebih menguasai percakapan biasanya merupakan wakil dari institusi atau
layanan publik (service provider atau jasa profesi) yang menyediakan layanan umum. Sementara klien
kedua adalah pengguna layanan tersebut yang biasanya tidak menguasai bahasa yang umum dipakai di
tempat tersebut.

Persamaan dan perbedaan antara conference dan community interpreting masih sangat sedikit
dipelajari (Angelelli, 2000). Roberts (dalam Angelelli, 2000), misalnya, membandingan lima elemen
berikut: 1) cara pengalihbahasaan (modes of interpreting) yaitu, simultan, konsekutif, konsekutif
pendek; 2) bentuk discourse (modes of discourse) yaitu: monolog & dialog; 3) jenis wacana (discourse
types) misal: naratif, prosedur; 4) kriteria evaluasi, misal: gaya penyampaian (style of presentation),
akurasi isi; dan 5) prinsip etika, (kerahasian, ketentuan syarat keahlian). Sehingga akhirnya ia
menyimpulkan bahwa kedua jenis penerjemahan ini sama berdasarkan jenis keterampilan yang
diperlukan. Roberts menambahkan bahwa perbedaan sesungguhnya diantara kedua pengalihbahasaan
tersebut hanya lebih banyaknya dialog dalam community interpreting, sementara dalam konferensi
waktu untuk tanya-jawab biasanya terbatas (Roberts, dalam Angelelli, 2000: 581-2).

Berdasarkan situasi interaksi dapat dilihat pada tabel berikut (Angelelli, 2000:582-583 & 586):
Tabel 2. Perbandingan Community interpreting dan Conference interpreting

(modifikasi dari Angelelli, 2000)

Community interpreting Conference Interpreting

Bentuk dialog (dialogic mode) Bentuk monolog (monologic mode) (Sebagian besar)

Pengalihbahasaan ke dalam kedua bahasa seimbang (2 arah)

Sebagian besar pengalihbahasaan ke satu bahasa saja (ke bahasa dengan penguasaan A alihbahasawan)

Ada kemungkinan untuk mengontrol arus atau lalu lintas komunikasi.

Tidak dapat mengontrol pembicara (kecuali permintaan untuk mengurangi kecepatan, itupun apabila
peralatan memungkinkan - dengan menekan tombol speaker)

Partisipasi pihak yang terlibat dalam komunikasi kemungkinal bukan pilihan/mutlak (misal pada kasus
pasien) Partisipasi pihak yang terlibat dalam komunikasi mungkin opsional (misalnya seorang peserta)

Potensi perbedaan latar belakang antara pihak yang terlibat besar Potensi perbedaan latar belakang
antara pihak yang terlibat kecil

Potensi variasi linguistik dari kode yang sama (dalam kedua bahasa) besar Potensi variasi linguistik dari
kode yang sama kecil (biasanya hanya dalam 1 bahasa atau pembicara)

Potensi penggunaan register yang berbeda besar. Potensi penggunaan register yang berbeda kecil

Situasi komunikasi memungkin alihbahasawan untuk mengklarifikasi yang tidak jelas (Angelelli,
2000:586) Situasi komunikasi tidak memungkinkan alihbahasawan untuk melakukan klarifikasi.

Alihbahasawan mengalihbahasakan kedua partisipan (speaker dan hearer) Alihbahasawan hanya


mengikuti satu pembicara saja dalam bentuk monolog.

Channel input yang digunakan biasanya hanya lisan Alihbahasawan mungkin menerima lebih dari satu
input (lisan, tertulis atau visual pada proyektor)
2. Berdasarkan cara pengalihbahasaan (mode of interpreting)

Genre pengalihbahasaan berikutnya dibedakan berdasarkan waktu bicara. Beberapa ahli


menggolongkan dua jenis pengalihbahasaan berdasarkan mode (cara) yaitu konsekutif dan simultan
(misalnya Gentile et al 1996) dan summary interpreting (Kelly, 2005).

a. Pengalihbahasaan simultan (Simultaneous interpretation)

Pengalihbahasaan simultan disampaikan pada saat alihbahasawan mendengarkan bahasa sumber.


Pengalihbahasaan secara simultan sering dilakukan dengan cara alihbahasawan duduk dalam booth
kedap suara mendengarkan pembicara melalui headset dan mengalihbahasakanya ke dalam bahasa
target dengan menggunakan mikropon sembari tetap mendengarkan. Pembicara dan penerjemah
berbicara hampir dalam waktu bersamaan dalam bahasa yang berbeda. Delegasi dalam ruang
konferensi mendengarkan alihbahasaanya dalam bahasa target melalui headset (Gile, 2000: 41).

Sebagai mode dasar dalam pengalihbahasaan, simultan dapat dilakukan dalam setting konferensi atau
masyarakat Gentile et al (1996). Namun demikian, pengalihbahasaan ini lebih sering dilakukan dalam
konferensi. Pengalihbahasaan ini biasanya melibatkan banyak bahasa, alihbahasawan hanya
mengalihbahasakan dari satu bahasa ke bahasa pertamanaya atau jenis bahasa A/B. Dalam masyarakat,
pengalihbahasaan simultan ini biasanya dilakukan dengan cara alihbahasawan duduk dekat partisipan
yang memerlukan bantuannya yang disampaikan dengan cara berbisik (chuchotage) (Gentile et al,
1996:26). Ahli lain menyebutnya whispered interpretation karena alihbahasawan memang berbisik agar
tidak mengganggu peserta lain. Namun perlu diingat bahwa hal ini dilakukan bila partisipan yang
membutuhkan alihbahasaan dalam bahasa tersebut jumlahnya sedikit sehingga tidak perlu diberikan
melalui perangkat sound sistem.

b. Pengalihbahasaan Konsekutif (Consecutive interpretation)

Pengalihbahasaan konsekutif dilakukan secara bergantian (successive) dengan pembicara. Sehingga ada
yang menyebut pengalihbahasaan konsekutif dengan successive interpretation. Menurut Gile dalam
consecutive interpreting, alihbahasawan mendengarkan segmen-segmen gagasan yang disampaikan
pembicara selama beberapa menit dan membuat catatan (bila perlu), kemudian alihbahasawan
menyampaikan ulang gagasan tersebut dalam bahasa target, sementara pembicara diam. Selanjutnya
pembicara kembali meneruskan segmen berikutnya dan akan dialihbahasakan setelah ia memberi jeda
(Gile, 2000:41). Durasi segmen tuturan pembicara bervariasi mulai dari 6-7 menit (Gentile et al, 1996).
Terlihat bahwa waktu berbicara alihabahasawan dan pembicara dilakukan secara bergantian.
Pelaksanaannya alihbahasawan dapat duduk bersama dengan peserta/partisipan komunikasi dalam satu
ruangan atau diruang terpisah (booth), mencatat apa yang dikatakan pembicara. Bila pengalihbahasaan
ini dilakukan dalam masyarakat, terkadang pengalihbahasaan dilakukan kalimat per kalimat..

Pengalihbahasaan konsekutif dapat dilakukan dengan alat atau tanpa alat. Bila partisipan yang
memerlukan alihbahasa tersebut banyak maka diperlukan peralatan untuk memudahkan tugasnya.
Terkait setting, mode konsekutif bisa dilakukan dalam masyarakat maupun konferensi tergantung
kondisinya (Gentile et al, 1996:22). Hal yang menjadi pembeda adalah saat alihbahasawan berbicara dan
arahnya. Terkait bahasa yang digunakan, pengalihbahasaan konsekutif dalam setting masyarakat
biasanya terjadi pada even komunikasi yang hanya melibatkan dua bahasa dan peserta yang terbatas.
Mode pengalihbahasaan konsekutif dalam konferensi dilakukan jika kegiatan konferensi memiliki porsi
tanya jawab yang banyak dengan peserta multibahasa dan namun tetap setiap alihbahasawan hanya
mengalihbahasakan ke satu bahasa.

c. Pengalihbahasaan secara ikhtisar (Summary Interpreting)

Summary interpreting merupakan cara pengalihbahasaan dengan memparafrase dan memadatkan


informasi atau pernyataan dari pembicara. Hal ini berbeda dengan pengalihbahasaan simultan dan
konsekutif yang berusaha mengungkapkan pesan tersebut sesuai bahasa aslinya. Biasanya mode
pengalihbahasaan ini dilarang dalam legal setting (Kelly, et al, 2005).

3. Berdasarkan Spesialisasi Jenis pekerjaan (work speacialty)

Kekhususan masing-masing bidang pekerjaan seperti medis, bisnis, hukum yang banyak menggunakan
istilah, register, kosakata, prosedur, dan konteks tertentu yang berbeda satu sama lain, sehingga
memerlukan alihbahasawan yang profesional untuk masing-masing bidang pekerjaan. Gentile et al
(1996), membagi jenis pengalihbahasaan ini menjadi bidang kesehatan mental, bidang hukum &
pengadilan (legal setting), bisnis, dan speech pathology. Ahli lainnya juga membedakan antara
alihbahasawan medis biasa dan alihbahasawan kesehatan mental (lihat Kelly, 2008).

a. Pengalihbahasaan medis (medical interpreting/Health Care Interpreting)

Pengalihabahasaan medis terkait dengan kekhususan bidang medis atau kedokteran. Alihbahasawan
perawatan kesehatan merupakan alih-bahasawan yang dilatih mengenai etika profesional dan protokol,
memahami istilah medis, dan mampu menjembatani komunikasi dari satu bahasa ke bahasa lain
(Dower, 2003). Pengalihbahasaan ini terdapat di negara yang mempunyai penduduk yang tidak
menguasai bahasa yang umum dipakai, seperti California dengan 20% penduduk tidak mampu
berbahasa Inggris dengan baik. Oleh karena itu, UU dan peraturan pemerintah mensyaratkan adanya
alihbahasawan untuk membantu kesulitan komunikasi pada layanan publik.

b. Pengalihbahasaan dalam bidang kesehatan mental (Mental health setting)

Alihbahasawan kesehatan mental sebenarnya masih termasuk dalam pengalihbahasaan dalam


pelayanan kesehatan (health care interpreting) (Kelly, 2007). Namun kesulitan komunikasi pada pasien
yang memiliki masalah kesehatan mental berbeda dengan setting layanan kesehatan lainnya sehingga
Gentile et al, (1996) menempatnya secara tersendiri. Pasien di rumah sakit kesehatan mental terkadang
menunjukkan sikap kurang bekerjasama, aneh dan juga perilaku yang dapat mengancam keselamatan
orang lain sehingga menyebabkan komunikasi yang sangat berbeda dengan pasien medis biasa (Gentile,
1996). Dalam setting layanan kesehatan mental alihbahasawan harus memahami maksud wawancara
yang dilakukan oleh psikiater dan sesi-sesi terapi, serta peran komunikasi tersebut diantara mereka.
Interview ini biasanya mengalami distorsi atau penyimpangan dari pola percakapan biasa, tetapi hal
merupakan informasi vital bagi diagnosis dan pemberian tindakan perawatan yang didasarkan pada
perilaku verbal, vokal, dan paralinguistik.

c. Pengalihbahasaan untuk bidang gangguan bicara (speech pathology)

Pengalihbahasaan dalam pelayanan gangguan bicara sebanarnya juga termasuk pada pengalihbahasaan
dalam seting pelayanan kesehatan, perbedaannya dengan alihbahasawan kesehatan mental,
pengalihbahasaan dalam bidang gangguan bicara atau speech therapy ditujukan untuk penyembuhan
pada pasien dengan gangguan organ bicara atau mengalami kelainan organ bicara pada anak-anak atau
pasca stroke. Jadi kendala komunikasi tidak hanya disebabkan perbedaan bahasa tetapi juga kesulitan
menggunakan organ bicara bukan gangguan mental. Seperti terapi kesehatan mental dalam
alihbahasawan juga harus memahami bahwa informasi vital bagi diagnosis dan pemberian tindakan
perawatan karena didasarkan pada perilaku verbal, vokal, dan para linguistik yang akan dilakukan
therapist.

d. Pengalihbahasaan dalam bidang hukum/pengadilan (Court Interpreting)

Pengalihbahasaan jenis ini berlangsung di lingkungan legal formal. Partisipan yang terlibat adalah jaksa,
hakim, pengacara, saksi dan tersangka yang seringkali dilaksanakan secara konsekutif. Orang yang
melakukan tugas pengalihbahasaan ini disebut alihbahasawan pengadilan yang bekerja di bawah
sumpah. Dia harus menjaga kerahasiaan informasi (confidentiality). Tugas utamanya memperlancar
komunikasi dalam proses pengadilan pada aspek kebahasaan bukan memberi nasehat hukum, seperti
yang dilakukan oleh pengacara atau pembela. Alihbahasawan tidak boleh memihak siapapun
(impartiality).

Dalam wilayah hukum, komunikasi memiliki fungsi penting dalam mencapai tujuan dalam sistem hukum,
namun tak jarang pola komunikasi yang muncul menyimpang dari pola komunikasi normal (Gentile et al,
1996:89). Misalnya, dalam ruang sidang, pola komunikasi akan sangat berbeda dengan wacana harian
karena keperluan untuk memenuhi aturan legalistik yang ketat (Conley & O’Barr dalam ibid: 89).
Beberapa aturan pengalihbahasaan dalam setting legal formal, misalnya, alihbahasawan hukum harus
mampu melakukan alihbahasa dan sight translation dengan akurat dan lengkap, tanpa mengubah,
menghilangkan, menambah apa yang dituturkan atau tertulis, dan ia juga tidak boleh memberikan
penjelasan jika tidak diminta atau harus meminta izin terlebih dahulu. Alihbahasawan tidak boleh
menunjukkan sikap lebih menyukai atau simpati pada salah satu pihak. Alihbahasawan tidak boleh
melakukan percakapan dengan pihak-pihak yang terlibat, saksi, juri, penuntut, atau teman maupun
keluarga kedua pihak diluar fungsinya sebagai alihbahasawan selama persidangan. Ia juga harus
menghindari mengganggu pandangan dari individu yang terlibat, kecuali jika menggunakan bahasa
isyarat atau mode visual lainnya.

Kemudian Edwards menyatakan “Two modes of interpreting are used in court by qualified interpreters
—“simultaneous” and “consecutive.” A third common mode is “summary” interpreting, which should
not be used in court settings” (dalam Kelly, 2005). Alihbahasawan dalam setting legal formal tidak
terbatas hanya mengalihbahasakan ujaran lisan namun juga dilakukan secara sight translation,
konsekutif, dan simultan. Alihbahasawan hukum tidak hanya mengalihbahasakan dalam pengadilan,
tetapi mulai dari interogasi dengan polisi (di sini tertuduh memiliki hak diam untuk tidak bicara dan tidak
boleh dipengaruhi oleh alihbahasawan), dalam pengadilan saat pembacaan tuduhan, pembicaraan
dengan pengacara, selama persidangan, pemberian keterangan oleh saksi-saksi & penunjukan bukti-
bukti dan cek-silangnya, sehingga tersangka bisa mengikuti proses tersebut (Gentile et al, 1996: 90-100).

e. Pengalihbahasaan dalam bidang bisnis (Business setting)

Gentile et al (1996) menggunakan istilah pengalihbahasaan dalam seting bisnis, yang dalam arti sempit
adalah membantu dalam pembicaraan bisnis. Pembicaraan ini tidak hanya di kantor namun bisa di
berbagai tempat seperti, pabrik, dalam pesawat, perkebunan, hingga restoran. Pada beberapa lokasi
alihbahasawan mungkin saja menggunakan mode yang berbeda seperti chuchotage –simultan tanpa alat
dengan berbisik- untuk partisipan terbatas (seperti di pabrik), sementara dalam presentasi publik
alihbahasawan menggunakan mode konsekutif untuk partisipan yang lebih banyak.

Dalam seting bisnis, biasanya alihbahasawan disediakan oleh tuan rumah, sehingga biasanya
alihbahasawan lebih menjadi agen bagi tuan rumah yang akan lebih banyak memperoleh informasi
daripada pihak tamu. Pada saat negosiasi mendekati deadlock, biasanya suhu komunikasi akan
meningkat dan melibatkan emosi saat pembicaraan, alihbahasawan harus mampu berdiplomasi dengan
penggunaan kata-kata yang lebih lunak agar proses tetap berjalan baik (ibid:122). Sehingga
alihbahasawan tidak harus mengutamakan akurasi pada saat tersebut, tapi lebih mengusahakan agar
kesepakatan dan proyek bisnis tetap bejalan daripada saling menyakiti.

4. Berdasarkan Jarak dan Alat bantu (physical proximity & modality)

Berdasarkan jarak dan alat bantu terdapat dua jenis pengalihbahasaan, yaitu:

a. Jarak dekat (On-site interpreting/face-to-face interpreting)

Pengalihbahasaan jarak dekat adalah proses pengalihbahasaan berada dalam seting lokasi yang sama
sehingga alihbahasawan dapat melihat partisipan secara langsung. Berdasarkan beberapa literatur on-
site interpreting ada yang dilakukan dengan menggunakan alat atau tanpa alat.

1) Tanpa alat: berbisik (Whispered interpreting)


Whispered interpretation adalah suatu kegiatan penerjemahan lisan secara berbisik. Proses dilakukan
dengan cara membisikkan informasi kepada pendengarnya. Saat bicara antara pembicara dan
alihbahasawan dapat dilakukan secara bergantian (consecutive) atau hampir bersamaan (simultaneous).
Tetapi penerjemah hanya boleh berbisik-bisik tidak berbicara keras. Ciri khususnya alihbahasawan
membisikkan pesan dari bahasa sumber dalam bahasa sasaran ke telinga partisipan agar ia dapat
memahami maksud dari pembicara. Pengalihbahasaan ini digunakan jika partisipan yang tidak
memahami bahasa yang umum digunakan hanya sedikit dan hanya untuk 1 atau 2 bahasa saja (Gentile
et al 1996). Selain itu juga pada lokasi tertentu.

2) Menggunakan alat:

Pengalihanbahasaan jarak dekat yang menggunakan alat cukup banyak yang telah kita kenali seperti
menggunakan ruang kaca atau booth kedap suara sebagai tempat kerja alihbahasawan yang dilengkapi
dengan headset dan mikropon. Pengalihabahasaan dengan alat ini biasa dilakukan dalam konferensi
baik secara simultan maupun konsekutif. Selain itu juga dalam persidangan yang melibatkan tersangka
yang berbeda bahasa. Perbedaannya terletak pada jumlah partisipan yang memiliki bahasa berbeda
banyak (setting multinasional dan multilingual) sehingga tidak mungkin tanpa menggunakan peralatan.

b. Pengalihbahasaan jarak jauh (Remote Intepreting/RI)

Remote interpreting sebenarnya bukan sebuah ide baru, hal ini sudah dimulai sejak tahun 70-an,
(Mouzourakis, 2006). Seiring dengan kemajuan teknologi, saat ini telah memungkinkan komunikasi
dapat dilakukan dari jarak jauh baik melalui jaringan telepon, internet maupun televisi. Sehingga layanan
pengalihbahasaan menggunakan media komunikasi terkini yang dapat menghubungkan komunikator &
komunikan yang berbeda bahasa dengan bantuan alihbahasawan walaupun terpisah jauh. Layanan
pengalihbahasaan dengan jarak jauh ini biasa disebut remote interpreting. Namun, juga terdapat
beragam definisi mengenai remote interpreting Mouzourakis (2006:46) misalnya menggunakan RI untuk
menyatakan keadaan proses pengalihbahasaan yang dilakukan dari tempat terpisah, alihbahasawan
tidak berada di tempat rapat. Ia lebih menganggap RI sebagai variasi dari conference interpreting yang
telah digunakan di PBB dan Uni Eropa. Namun, di Amerika remote interpreting hanya dilakukan dalam
seting konferensi.

Alasan penggunaan RI sebenarnya untuk mengatasi ketidaktersedian alihbahasawan dan penghematan


biaya perjalanan. Berdasarkan alat yang digunakan kita dapat membedakan jenis remote interpreting,
yaitu:
1) Pengalihbahasaan telepon (telephone interpreting)

Pengalihbahasaan ini memiliki beragam istilah seperti “telephone interpreting”, “over-the-phone


interpreting (OPI)”, “telephonic interpreting”, atau “phone interpreting”, namun maksudnya sama, yaitu
layanan pengalihbahasaan dua arah yang dilakukan seorang alihbahasawan yang berada lokasi yang jauh
untuk menjembatani komunikasi dua individu yang berbeda bahasa melalui telepon (Kelly, 2008; Kelly,
2007). Peralatan yang digunakan seperti headset dan jaringan telepon. Pengalihbahasaan ini biasa
diberikan dari rumah atau melalui call center yang disediakan sebuah provider. Institusi yang
menyediakan layanan call center ini biasanya menyediakan booth anti suara seperti dalam konferensi
(Kelly, 2008).

2) Pengalihbahasaan Videokonferens (videoconference interpreting)

Dilakukan bila alihbahasawan tidak berada di ruang pertemuan tetapi melalui layar dan earphone dan
speaker (Mouzourakis, 2006:46). Berbeda dengan definisi videoconference yang biasanya dilakukan
untuk membantu komunikasi bagi partisipan yang mengalami memiliki gangguan pendengaran atau
bicara sehingga memerlukan bantuan visual karena tidak dapat dilakukan dengan audio saja
(telephoning interpreting). Pengalihbahasaan ini dilakukan untuk mengatasi ketidaktersediaan
alihbahasawan, mengurangi biaya perjalanan, dan keterbatasan booth. Dengan videoconference,
alihbahasawan dapat bekerja dari rumah dengan proses yang sama dengan melalui telepon
(Mouzourakis, 46-47).

3) Pengalihbahasaan televisi (television interpreting)

Merupakan pengalihbahasaan jarak jauh yang dilakukan secara live dan disiarkan melalui televisi untuk
masyarakat banyak sehingga juga disebut media interpreting. Berbeda dengan subtitling, television
interpreting masih mengalami “kognitive stress” yang sama dengan alihbahasawan biasawa. Biasanya
tamu atau sumber berada dari luar negeri yang harus dialihbahasakan ke bahasa sasaran hadir di studio
atau dari jarak jauh (remote). Alihbahasawan harus mengalihbahasakan tuturan narasumber pada saat
yang hampir bersamaan dan langsung disiarkan. Pada saat serangan ke Palestina beberapa saat yang
lalu kita dapat menyaksikan proses pengalihbahasaan dari reporter TV Al Jazeera oleh alihbahasawan ke
bahasa Indonesia yang dilakukan secara simultan.

4) Pengalihbahasaan radio (radio interpreting)


Merupakan variasi pengalihbahasaan jarak jauh, biasanya alihbahasawan menerjemahkan secara lisan
tuturan lisan dari sumber berita, proses ini juga berlangsung secara simultan atau telah direkam
sebelumnya. Seperti television interpreting hal ini juga berlangsung secara langsung pada saat
mendengar tuturan nara sumber, alihbahasawan langsung mengalihbahasakan tuturannya dan disiarkan
secara langsung ke pendengar.

5. Berdasarkan input & output (mode of discourse)

Masih belum terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai klasifikasi ini. Penerjemahan teks
tertulis ke dalam wacana lisan dalam bahasa lain menurut Gile masih tergolong sebagai penerjemahan,
ia menyebutnya sebagai sight translation atau translation at sight (bukan sight interpretation). Jika kita
bandingkan, baik sight translation maupun dan sign laguage interpretation merupakan
pengalihbahasaan yang melibatkan bentuk input dan output wacana yang berbeda (tulis atau lisan).

a. Sight translation

Sight translation merupakan bentuk penerjemahan dari teks tertulis dan dialihbahasakan menjadi
bentuk lisan. Ada dua cara pelaksanaan sight translation, yaitu dilakukan secara simultan pada saat
pembicara berbicara, atau hanya pada delegasi tertentu yang memerlukan saja (Gile, 1995). Selain itu
Kelly (2005) menyatakan bahwa alihbahasawan dalam pengadilan juga harus mampu melakukan
penerjemahan ini untuk menerangkan isi dari bukti-bukti tertulis.

b. Pengalihbahasaan bahasa isyarat (sign language interpreting)

Merupakan pengalihbahasaan yang melibatkan partisipan memiliki bahasa berbeda dan juga memiliki
gangguan pendengaran atau bicara (tuna grahita), sehingga penerjemah harus mengalihkan bahasa
sumber ke dalam bahasa isyarat. Di Amerika dan New Zealand, hal ini sudah dilakukan sebagai bentuk
layanan bagi masyarakat. Di Amerika digunakan ASL sementara di New Zealand menggunakan NZSL.

D. PENUTUP
Berdasarkan diskusi dan pembahasan di atas dapat dibuat beberapa simpulan. Pertama terdapat
beragam jenis pengalihbahasaan tergantung dari sisi pandang dalam melihat antara satu
pengalihbahasaan dan pengalihbahasaan lain. Dari perbedaan interaksi, bentuk wacana (mode of
discourse), cara pengalihbahasaan (mode of interpreting), peralatan yang digunakan (modalities), jarak
antara alihbahasawan dan klien (space proximity), spesialisasi kerja. Dari beragam jenis tersebut
memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan, sehingga juga
menuntut penguasaan kompetensi yang berbeda satu sama lain. Pemahaman akan pola kerja dari
masing-masing jenis penerjemahan di atas akan memberi arahan mengenai pola pelatihan dan
tantangan dalam hal tekanan kognitif yang akan dihadapi oleh alihbahasawan.

Persamaan dan perbedaan Penerjemahan Tulis dan Lisan

1. Aspek Persyaratan Keahlian dan Kesulitan yang dihadapi.

Aspek berikutnya yang akan kita bahas berkaitan dengan keahlian penerjemah. Sependapat dengan Jean
Mallot, Gile (1991:4) mengemukakan paling tidak ada empat persyaratan pengetahuan dan
keterampilan teknis sebagai keahlian penerjemah (translation expertise) yang harus dimiliki penerjemah
dan pengalih bahasa. Antara lain: (a) pengalih bahasa dan penerjemah harus memiliki pengetahuan bsa
pasif yang baik dari bahasa yang mereka kerjakan, (b) pengalih bahasa dan penerjemah harus memiliki
penguasaan Bsa yang baik, (c) pengalih bahasa dan penerjemah harus memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai bidang teks atau pembicaraan yang diterjemahkan, dan (d) penerjemah (tulis & lisan) harus
tahu bagaimana cara menterjemahkan. Dari persyaratan di atas kita melihat bahwa terdapat persamaan
untuk menjadi penerjemah tulis dan lisan.

Sementara Machali (2000:11), ia menggunakan istilah perangkat untuk pengetahuan dan keterampilan
penerjemah ini. Perangkat itu sendiri menurut Machali dibedakan menjadi perangkat intelektual dan
perangkat praktis. Perangkat intelektual mencakup: (a) kemampuan yang baik dalam Bsu; (b)
kemampuan yang baik dalam Bsa; (c) pengetahuan mengenai pokok masalah yang diterjemahkan; (d)
penerapan pengetahuan yang dimiliki; dan (e) keterampilan. Sementara perangkat praktis berupa (a)
kemampuan menggunakan sumber-sumber rujukan (kamus manual maupun elektronik, narasumber,
dll); dan (b) kemampuan mengenali konteks suatu teks.

Sepintas terlihat persamaan pendapat antara Gile dan Machali, namun terdapat perbedaan dalam
penggunaan istilah perangkat praktis yang disebutkan Machali di atas. Pada prakteknya penerjemahan
lisan, penerjemah tidak memiliki kesempatan luas untuk menggunakan kamus atau bahan referensi lain
pada saat penerjemahan berlangsung karena keterbatasan waktu (Gile, 1995:112; Nababan, 2003:116;
Suryawinata & Hariyanto, 2003:25). Jadi pengalih bahasa (interpreter) harus mempelajarinya sebelum
kegiatan penerjemahan/konferensi berlangsung (Gile, 1995:132).
Lebih lanjut, Suryawinata & Hariyanto (2003:27) merinci persyaratan penerjemah dan interpreter
dengan lebih lengkap. Berikut kita bahas persamaan dan perbedaan persyaratan tersebut satu persatu.
Pertama, memahami dan menguasai Bsu dan Bsa Ini merupakan kemampuan yang harus sama-sama
dimiliki oleh penerjemah baik tulis maupun lisan karena ia tidak akan bisa menterjemahkan dengan
tepat tanpa penguasaan Bsu dan Bsa. Kedua, mengenal budaya Bsu dan Bsa. Penguasaan Bsu tanpa
pemahaman budayanya akan menghasilkan terjemahan yang salah kaprah karena bahasa tidak terlepas
dari konteks dan budaya yang nantinya akan sangat membantu untuk menterjemahkan secara efektif
dan dapat menyesuaikannya dengan budaya Bsa. Ketiga, menguasai topik atau masalah yang
dibicarakan atau teks yang diterjemahkan. Bagi penerjemah tulis hal ini dapat juga dilakukan saat
menterjemahkan, sementara penerjemah lisan harus mempelajari sebelum penerjemahan. Keempat,
terkait bahan yang diterjemahkan, maka penerjemah tulis menguasai bahasa tulis tingkat reseptif,
sementara penerjemah lisan menguasai bahasa lisan (listening) tingkat reseptif.

Berikutnya syarat kelima, terkait produknya, penerjemah tulis harus menguasai kemampuan menulis
atau mengungkapkan gagasan dalam Bsa secara tertulis dengan baik (tingkat produktif). Syarat ini
mutlak dikuasai penerjemah karena tulisan merupakan medianya dalam komunikasi. Sementara,
penerjemah lisan, dituntut kemampuan untuk dapat mengungkapkan gagasan dalam Bsa langsung
secara lisan/tingkat reseptif. Walaupun dalam kenyataannya bisa dengan cara membacakan konsep
yang telah dibuat sebelumnya (in sight interpreter). Berarti dalam penerjemahan lisan dituntut
keterampilan berbicara (rhetoric) yang baik dan suara yang jelas, hal tidak diperlukan dalam
penerjemahan tulis.

Keenam, bagi pengalih bahasa harus terampil dalam membuat catatan secara bersamaan dan pada detik
berikutnya mengungkap catatan tersebut dalam Bsa secara lisan. Seringkali hal ini berlangsung
bersamaan. Syarat ini tidak dituntut dalam penerjemahan tulis. Syarat ketujuh, penerjemah tulis harus
mampu menggunakan kamus dan bahan referensi lainnya secara efektif selama penerjemahan.
Sementara dalam penerjemahan lisan, penerjemah harus mampu mengalihkan pesan dari pembicara
dalam Bsu ke bahasa sasaran secara langsung tanpa menggunakan kamus atau referensi lainnya sesuai
kondisi kerjanya. Hal ini karena penerjemahan lisan berjalan dalam waktu yang cepat bahkan terkadang
bersamaan dengan pembicara sehingga tidak dimungkinkan penggunaan kamus atau referensi lainnya.
Terakhir, penerjemah lisan harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara cepat dan
langsung. Hal ini sesuai dengan pendapat Nababan (2003:116) pengalihbahasaan mempersyaratkan
kemampuan yang sangat baik dalam memproses informasi secara cepat dan akurat dalam waktu yang
sangat terbatas.

Selanjutnya, persyaratan lain yang juga membedakan penerjemahan lisan dan penerjemahan tulis
menurut Nababan (2003:116) adalah pengalih bahasa disamping harus memiliki daya simak, tangkap,
dan ingat serta reaksi yang baik, ia juga harus mampu dan jeli mengidentifikasikan makna yang tersirat
dalam raut wajah, intonasi yang digunakan, gerak tangan dan tubuh pembicara. Jelas kemampuan ini
tidak diperlukan penerjemah tulis. Terkait pembaca atau pendengar, Nababan (2003) menambahkan
syarat yang harus sama-sama dipertimbangkan. Bagi penerjemahan tulis perlu dipertimbangkan siapa
pembacanya, sementara dalam penerjemahan juga perlu dipertimbangkan siapa pendengarnya.
Tambahan, berbeda dengan Machali yang menggunakan istilah perangkat praktis, Suryawinata dan
Hariyanto (2003:27) menggunakan istilah perkakas untuk istilah tersebut. Bagi pengalih bahasa perkakas
yang digunakan berupa kertas, pensil, headphone dan mikrophone. Sementara penerjemah tulis
memerlukan perkakas konvensional dan modern. Perkakas konvensional selain alat tulis meliputi:
kamus, tesaurus, dan referensi lain seperti jurnal. Sementara perkakas jurnal berupa kamus elektronik,
software komputer, internet.

Dari persyaratan di atas tergambar kesulitan yang lebih tinggi pada penerjemahan lisan. Hampir semua
permasalahan yang dihadapi dalam penerjemahan tulis juga ditemui dalam penerjemahan lisan. Namun,
banyak permasalahan penerjemahan lisan tidak ditemui dalam penerjemahan tulis, seperti aspek
lingkungan saat penerjemahan, cara pengucapan atau aksen dari pembicara (Nababan, 2003).

2. Jenis-jenis penerjemahan tulis dan lisan dan karakternya

Aspek berikutnya yang membedakan penerjemahan tulis dan lisan adalah jenis penerjemahan itu
sendiri. Walaupun banyak perbedaan mengenai jenis penerjemahan tulis yang diajukan para ahli,
sebenarnya yang membedakan adalah prinsip dari penerjemahan itu sendiri (Rahmadie, 1988:1.24).
Savory dalam Rahmadie (1988:1.2) paling sedikit ada 12 prinsip penerjemahan yang membedakan jenis
penerjemahan. Sementara Nababan (2003:29) menyebutkan ada 4 faktor yang membedakan
penerjemahan tulis, yaitu: (1) perbedaan sistem bahasa, (2) perbedaan jenis materi teks, (3) anggapan
mengenai fungsi penerjemahan adalah alat komunikasi, dan (4) tujuan dalam menerjemahkan teks
tersebut. Dari perbedaan prinsip atau faktor ini melahirkan beberapa jenis penerjemahan seperti:
penerjemahan literal, penerjemahan kata-per-kata, penerjemahan setia, penerjemahan idiomatis,
penerjemahan bebas, penerjemahan komunikatif, penerjemahan semantis, penerjemahan komunikatif-
semantis. Selanjutnya jenis jenis penerjemahan ini akan dibahas oleh kelompok berikutnya.

Sementara itu, penerjemahan lisan dibedakan berdasarkan cara pengalihbahasaannya dilakukan


(Nababan, 2003:115). Namun terdapat perbedaan dari para ahli, misalnya Suryawinata dan Hariyanto
(2003:26) mengemukakan hanya dua jenis yaitu konsekutif dan simultan. Sementara Kreiser dalam
Nababan (2003:115) dan Hidayat dan Sutopo, (2006) mengemukakan empat jenis penerjemahan lisan.
Namun dari jenis yang diajukan terdapat kesamaan. Untuk lebih lengkapnya keempat jenis
penerjemahan lisan tersebut adalah: (1) sight interpretation, (2) consecutive interpretation, (3)
simultaneous interpretation, dan (4) whispred interpretation. Berikut uraian singkatnya:

Sight interpretation merupakan suatu kegiatan penerjemahan lisan yang di dalamnya penerjemah tidak
mengalihkan pesan dari teks lisan (tuturan), tetapi mengalihkan pesan tertulis dalam Bsu
dialihkan/diterjemah/dibaca dalam Bsa. Menurut Hidayat dan Sutopo (2006) penerjemahan seperti ini
seolah olah pembicara ada tetapi nyatanya tidak ada. Jadi, yang dialihkan bukan suara speaker,
melainkan pesan tertulis yang ada di dalam kertas.

Consecutive interpretation merupakan suatu kegiatan penerjemahan lisan secara bergantian dalam
konferensi atau pertemuan. Pelaksanaanya penerjemah duduk bersama peserta dalam satu ruangan,
mencatat apa yang dikatakan pembicara. Kemudian penterjemah mengalihbahasakan
pernyataan/ujaran tersebut dengan atau tanpa catatan pada setiap akhir ujaran pembicara (jeda).
Proses penerjemahan dilakukan dengan cara bergantian, artinya penerjemah menjelaskan ulang setelah
pembicara memberi jeda dalam penjelasannya. Jadi, urutan bicaranya adalah pembicara – penerjemah –
pembicara – penerjemah, dan seterusnya.

Simultaneous interpretation merupakan suatu kegiatan penerjemahan lisan simultan. Dalam


penerjemahan ini penerjemah berada di ruang khusus (booth) yang bersembunyi di balik kaca hitam
terpisah dengan peserta konferensi. Biasanya dalam penerjemahan lisan simultan peserta memakai
head set atau alat dengan yang ditempel di telinganya. Pembicara dan penerjemah berbicara bersama-
sama dalam bahasa yang berbeda. Bilamana peserta tidak ingin mendengarkan bahasa sasaran, mereka
bisa melepas head set yang dipakainya. Peserta dapat memilih bahasa sasaran dengan menekan tombol
saluran bahasa yang diinginkan melalui head set. Suara yang didengar itu suara interpreter bukan suara
speaker.

Whispered interpretation merupakan suatu kegiatan penerjemahan lisan secara berbisik. Penerjemah
yang di dalamnya antara interpreter dan speaker berada bersama-sama dalam satu ruangan. Tempat
duduk antara interpreter dan speaker tidak jauh. Penerjemah dan speaker duduk berdampingan. Proses
penerjemahan ini dilakukan dengan cara membisikkan informasi kepada pendengarnya. Gaya bicara
antara speaker dan interpreter bisa bergantian maupun bersama-sama. Tetapi penerjemah hanya boleh
berbisik-bisik dilarang berbicara keras.

C. Penutup

Berdasarkan diskusi dan pembahasan di atas dapat dibuat beberapa simpulan. Pertama persamaan
antara penerjemahan tulis dan lisan dapat dilihat dari aspek fungsi yaitu sama-sama sebagai alat
komunikasi. Namun, di sini terdapat perbedaan pada aspek media yang digunakan berdasarkan produk
yang dihasilkan. Dari aspek situasi cara kerja dan situasi kerja sangat berbeda sehingga juga menuntut
keahlian yang berbeda dari penerjemah tulis dan lisan. Oleh sebab itu, seorang penerjemah tulis tidak
otomatis mampu melakukan penerjemahan lisan. Terakhir penerjemahan tulis dan lisan juga berbeda
jenisnya. Perbedaan ini muncul akibat cara kerja (pada penerjemahan lisan) sementara pada
penerjemahan lisan karena perbedaan prinsip faktor tujuan, materi, fungsi dan sistem bahasanya
sendiri.
Daftar Pustaka

Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London: Longman

Gile, Daniel. 1995. Basic Concept and Models for Interpreter and Translator Training. Amsterdam: John
Benjamin Publishing Company

Hidayat, Nur dan Anam Sutopo. 2006. “Peranan interpreter dalam pengembangan usaha ekspor industri
rotan”. Dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, hal: 152-166

Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Nababan, M.R. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press.

Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall.

Rachmadie, Sabrony., Zuchridin Suryawinata, Ahmad Effendi. 1988. Materi Pokok Translation. Jakarta:
Karunika Universitas Terbuka.

Shi, Aiwei. 2004. Accomodation in Translation, Article in Translation Journal Volume 8, No. 3 July 2004.

URL: http://accurapid.com/journal/29accom.htm. diambil tanggal 4 September 2008 pukul 08.43 WIB

Suryawinata, Zuchridin dan Sugeng Hariyanto. 2003. Translation (Bahasan Teori & Penuntun Praktis
Menerjemahkan). Yogyakarta: Kanisius.

Kajian Penerjemahan Lisan Secara Konsekutif

Maret 19, 2011 · Filed under SKRIPSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kaitan antara faktor-faktor yang terlibat dalam
penerjemahan lisan, strategi serta teknik yang diterapkan penerjemah lisan dalam suatu kegiatan
kebangunan rohani bertajuk “Miracle Crusade – This is Your Day” terhadap kualitas terjemahan yang
dihasilkan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif.

Data diperoleh dengan menggunakan beberapa metode, yaitu metode simak catat, observasi tak
berperan, kuesioner dari para informan sekaligus rater, serta wawancara dengan mereka. Dengan
sumber data yang diperoleh dari rekaman VCD kebaktian kebangunan rohani yang bertajuk “Miracle
Crusade – This is Your Day”, penelitian ini merupakan studi kasus yang berorientasi pada proses dan
produk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang terdiri atas faktor teknis dan non-teknis,
masing-masing memberi pengaruh baik terhadap kelangsungan kegiatan penerjemahan lisan maupun
hasil terjemahannya.

Faktor teknis dalam kegiatan ini berupa sound system yang berkualitas prima dilengkapi dengan
peralatan-peralatan penunjang seperti tata panggung yang spektakuler, LCD dan tata lampu yang sangat
memadai serta ditunjang dengan kepanitiaan yang profesional. Selain itu sehubungan dengan faktor
non-teknis, kompetensi penerjemah lisan tidak diragukan lagi mengingat profesi sebenarnya yang
adalah seorang pendeta. Hal ini berkebalikan dengan interaksi antara penerjemah lisan dan pendengar
yang adalah beberapa jemaat yang bersaksi di atas mimbar (panggung).

Komunikasi di antara mereka sedikit mengalami kendala. Salah satu strategi yang memberi pengaruh
yang sangat positif terhadap kualitas terjemahan adalah kondisi fisik penerjemah lisan yang sangat
prima. Selain itu, dalam menyampaikan tuturan target, penerjemah lisan senantiasa berusaha
menciptakan rasa dan nuansa yang sama dengan tuturan sumbernya. Hasil analisis menunjukkan ada 12
jenis teknik yang dipakai penerjemah lisan dalam menerjemahkan tuturan sumber. Dari kedua belas
teknik tersebut, penerjemahan literal merupakan teknik yang paling banyak digunakan oleh
penerjemah. Sehubungan dengan kualitas terjemahan, teknik penerjemahan literal juga memberi
kontribusi paling banyak akan terciptanya terjemahan yang berkualitas (akurat, berterima, lancar
disampaikan).

Sedangkan terjemahan yang tidak berkualitas paling banyak dipengaruhi oleh teknik penghapusan. Dari
analisis hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan
penerjemahan lisan dalam kegiatan kebangunan rohani “Miracle Crusade -This is your day” serta
strategi dan teknik yang diterapkan penerjemah lisan dalam kegiatan tersebut memberi dampak yang
sangat signifikan terhadap hasil terjemahan

Share this:

03. Persamaan dan Perbedaan Penerjemahan Tulis dan Lisan (Lanjutan)

B. Pembahasan

Sebelum kita masuk ke persamaan dan perbedaan penerjemahan tulis dan lisan ada baiknya kita pahami
dulu pengertian penerjemahan. Ada beberapa definisi penerjemahan yang telah dikemukan oleh para
ahli. Definisi-definisi yang diajukan berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan sudut pandangnya,
sehingga definisi ini bisa lemah, kuat atau saling isi (Nababan, 2003). Untuk lebih jelasnya mari kita
cermati berbagai definisi penerjemahan yang diajukan para ahli tersebut.
Catford dalam Rachmadie (1988:1.2) menyatakan “Translation is the replacement of textual material in
one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL)”. Definisi ini menyatakan
penerjemahan sebagai kegiatan mengganti materi teks dalam bahasa sumber (Bsu) ke materi teks yang
sepadan (equivalent) dalam bahasa sasaran (Bsa). Berdasarkan definisi jelas bahwa bahwa
penerjemahan merupakan proses kegiatan tulis sehingga produknya juga dalam bentuk tertulis (teks).

Hal ini didukung oleh McGuire (1980) bahwa penerjemahan merupakan usaha menyampaikan sebuah
teks dalam Bsu ke dalam Bsa, dengan mengupayakan (1) makna lahir dari kedua teks sama dan (2)
struktur dari Bsu juga sedapat mungkin dipertahankan, namun tidak begitu dekat untuk menghindari
penyimpangan struktur pada tata bahasa sasaran. Definisi McGuire memberikan tambahan informasi
yang lebih lengkap jika dibandingkan dengan definisi Catford. Penerjemahan tidak semata-mata
mengganti teks Bsu ke teks yang ekuivalen dalam Bsa, namun kita harus mempertimbangkan aspek
makna dan stuktur kalimat dari teks sumber sedapat mungkin sama. Namun, jika kita cermati definisi ini
masih belum menegaskan syarat dari hasil penerjemahan yang baik. Secara tersirat McGuire sebenarnya
menyadari adanya perbedaan struktur antar bahasa. Untuk itu, ia menganjurkan untuk mengusahakan
dan mempertahankannya.

Berbeda dengan definisi di atas, Savory dalam Rahmadie (1988:1.2) menyatakan “translation is made
possible by an equivalence of thought that lies behind its different verbal expressions” atau
penerjemahan dimungkinkan dengan (usaha) pemadanan pikiran [pesan] yang tersirat dibalik tuturan
verbal yang berbeda.

Pendapat ini didukung Pinchuck (dalam Rahmadie, 1988:1.2) yang juga menyatakan penerjemahan
adalah proses menemukan suatu tuturan/ujaran yang sepadan dalam Bsa dari satu tuturan/ujaran
dalam Bsu. Dari pandangan Savory dan Pinchuck, mereka melihat penerjemahan sebagai kegiatan yang
berlangsung secara lisan tuturan lisan.

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas terdapat perbedaan mendasar mengenai media
penerjemahan dan produk yang dihasilkan. Dari sudut pandang Catford dan McGuire mereka membatasi
bahwa yang dimaksud penerjemahan hanya berupa pengalihan teks dalam Bsu yang dilakukan secara
tertulis sehingga produknya juga berupa teks. Sementara Savory dan Pinchuck menganggap
penerjemahan sebagai kegiatan pengalihan pesan secara lisan sehingga media yang digunakan berupa
tuturan lisan (verbal expression). Tapi pada sisi lain terdapat persamaan padangan mengenai proses
yang terjadi bahwa penerjemahan adalah usaha penggantian atau pemadanan suatu materi
teks/ujaran/tuturan dalam Bsu menjadi materi teks/ujaran/tuturan yang sepadan dalam Bsa.

Sementara dalam pelaksanaannya kita melihat bahwa penerjemahan (translation) bukan hanya
pengalihan bahasa yang dilakukan secara lisan atau tulis saja. Maka definisi Newmark (1981), yang
memandang penerjemahan tidak terbatas hanya pada kegiatan tulis atau lisan semata, lebih mewakili
kegiatan yang sebenarnya. Menurutnya, penerjemahan merupakan suatu keterampilan atau seni
menggantikan sebuah pesan tertulis dan/atau pernyataan dalam suatu bahasa dengan pesan dan/atau
pernyataan yang sama dalam bahasa lainnya (Newmark, 1981:7). Dari definisinya, kita pahami bahwa
penerjemahan bukan hanya proses pengalihan pesan/amanat secara tertulis namun dapat juga secara
lisan. Hal yang sama dinyatakan oleh Kridalaksana dalam Nababan (2003) dan Nida dalam Shi (2008)
bahwa penerjemahan itu adalah pemindahan atau mereproduksi suatu pesan (amanat) dari Bsu ke
dalam Bsa dengan padanan terdekatnya pertama-tama dari segi makna, kemudian gaya bahasanya. Di
sini, dengan lebih lengkap Kridalaksana dan Nida menyatakan bahwa penerjemahan itu: (1) pengalihan
pesan/amanat dari Bsu ke Bsa dalam bentuk tulis maupun lisan, karena pesan dapat saja dalam bentuk
tertulis ataupun lisan, (2) namun hal utama yang harus diingat bahwa kesepadanan makna dari pesan
yang disampaikan dalam Bsa dengan Bsu merupakan prioritas utama, (3) kemudian mempertahankan
gaya bahasa dari Bsu.

Maka dari definisi dan penjelasan terakhir diperoleh simpulan bahwa penerjemahan dapat dilakukan
secara tulis maupun lisan. Namun satu hal utama yang harus diperhatikan dalam penerjemahan tulis
maupun lisan adalah kesepadanan makna/pesan/amanat yang dibuat dan kemudian
menampilkan/mengungkapkan amanat/pesan tersebut dengan gaya bahasa yang sama.

Berikutnya, perlu juga kita ingat bahwa dalam bahasa Indonesia kita mengenal istilah penerjemahan dan
terjemahan. Menurut Nababan (2003:18) penerjemahan mengacu pada PROSES alih pesan, sementara
terjemahan mengacu pada PRODUK dari alih pesan tersebut. Lebih lanjut, dalam bahasa Inggris
disamping istilah translation kita juga mengenal istilah interpretation. Kedua istilah ini, translation dan
interpretation, sebenarnya, sama-sama mengacu pada pengalihan pesan dari Bsu ke Bsa (Nababan,
2003:18; Gile, 1995:2). Tetapi bila translation dan interpretation ini dikaji secara bersamaan, maka
translation lebih diklasifikasikan atau mengacu pada pengalihan pesan secara tertulis dan interpretation
mengacu penerjemahan lisan (Nababan, 2003:18; Suryawinata & Hariyanto, 2003:25). Berarti simpulan
berikutnya yang dapat kita tarik, penerjemahan tulis dikenal dengan istilah translation atau
penerjemahan, kemudian penerjemahan lisan dapat juga disebut sebagai interpretation atau
pengalihbahasaan.

Bertolak dari definisi dan klasifikasi di atas, maka selanjutnya kita akan membahas persamaan dan
perbedaan penerjemahan tulis maupun lisan (pengalihbahasaan) ini. Namun dalam membahas
penerjemahan kita tidak dapat begitu saja memisahkannya dengan terjemahan (produk) dan
penerjemah/pengalih bahasa. Kita sedikit menyinggung hal ini mengingat materi ini terkait dengan
penerjemahan.

Dari hasil studi pustaka diperoleh kegiatan penerjemahan tulis dan lisan ini memiliki beberapa kesamaan
dan perbedaan pada beberapa aspek berikut

Anda mungkin juga menyukai