Anda di halaman 1dari 16

“PERBEDAAN KOHESI DAN KOHERENSI”

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Wacana yang Dibina oleh Nahnu
Robid Jiwandono, M.Pd

Oleh:
Chofifah Nadidah NPM : 21701071078
Zaskia Aulia Ramadhani NPM : 21701071079
Sukron Mahbubi NPM : 21701071104

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
OKTOBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keterampilan bahasa pada manusia memiliki empat komponen yang saling
berkaitan satu sama lain. keterampilan tersebut antara lain, mendengar, berbicara,
membaca dan menulis. Pada umumnya, keterampilan yang dimiliki pertama kali
adalah keterampilan mendengar dan yang terakhir adalah keterampilan menulis.
Hal ini dikarenakan keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang
memiliki tingkat kesulitan lebih dibanding jenis keterampilan lainnya. Terkait
dengan keterampilan menulis maka keterampilan membaca merupakan ketrampilan
yang erat kaitannya dengan keterampilan menulis. Seseorang yang memiliki
kecenderungan atau minat membaca banyak buku tentu memiliki kosakata yang
banyak dan semakin beragam sehingga mampu menuangkan ide dan
menuliskannya kembali sehingga dapat melahirkan jenis tulisan yang lebih variatif.

Komunikasi tekstual berbeda dengan komunikasi lisan. Koherensi dan kohesi


dalam sebuah teks sebagai sebuah media komunikasi non lisan berperan penting
dalam berhasil tidaknya pesan dalam teks tersebut disampaikan pada pembaca. Jika
sebuah teks tidak memiliki koherensi dan kohesi, maka pesan yang disampaikan
dalam teks tersebut dapat disalahartikan oleh para pembaca. Menurut Halliday dan
Hasan (1976), terdapat lima elemen yang dapat membuat sebuah teks koheren.
Elemen-elemen tersebut ialah: referensi (reference), elipsis (ellipsis), substitusi
(substitution), kohesi leksikal (lexical cohesion), dan konjungsi (conjunction).
Koherensi dan kohesi sebuah teks merupakan hal yang terbilang vital. Teks dengan
koherensi dan kohesi yang akurat dapat menyampaikan pesan dan makna kepada
para pembaca tanpa menimbulkan persepsi ambigu.

Dalam penerjemahan, seseorang melakukan kegiatan alih bahasa dari bahasa


sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa). Sesuai dengan ini, Catford (1978: 20)
mendefinisikan translation as “the replacement of textual material in one language
(SL) by equivalent textual material in another language (TL). Namun, proses
pengalihan bahasa ini juga tidak hanya mengalihkan struktur luar bahasa namun
juga struktur dalam bahasa. Seperti yang dinyatakan oleh Newmark: Translation is
rendering the meaning of a text into another language in the way that the author
intended the text (Newmark, 1988: 5). Selain Newmark, Simatupang (2000: 2) juga
mengatakan penerjemahan adalah mentransfer makna yang terdapat dalam bahasa
sumber kedalam bahasa sasaran dan mewujudkannya kembali di dalam bahasa
sasaran dengan bentuk-bentuk yang sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang
berlaku dalam bahasa sasaran. Tidak hanya bentuk gramatikal suatu bahasa namun
juga makna dari BSu ke BSa. Teks yang diterjemahkan merupakan wujud dari
prosedur, aturan dan prinsip sehingga hasil terjemahan dapat diterima.

2
Seorang penerjemah yang dapat menghasilkan tulisan yang berterima dalam
BSa tentu tidak hanya mengandalkan banyaknya kosakata yang dimilikinya namun
juga pesan atau makna yang terkandung di dalam tulisannya. Untuk menghasilkan
struktur dan makna yang berterima terdapat poin penting yang tidak boleh
terlewatkan yaitu mengenai kohesi dan koherensi kalimat-kalimat yang terdapat di
dalam sebuah paragraf serta paragraf-paragraf dalam sebuah kesatuan wacana yang
utuh. Oleh karena itu diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai kohesi dan
koherensi yang terdapat dalam proses penerjemahan. Dalam pembahasan kali ini
pemakalah akan membahas bagaimana perbedaan kohesi dan koherensi dan apa
yang dapat membentuk kohesi sehingga dapat menghasilkan sebuah teks yang
berterima.

1.2 Perumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang dibatasi dalam makalah ini mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan materi yang di jadikan melalui pertanyaan-pertanyaan di
antaranya:

1. Bagaimana hakikat kohesi?


2. Bagaimana hakikat koherensi?
3. Bagaimana perbedaan kohesi dan koherensi dalam suatu wacana?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang terdapat dalam rumusan masalah. Tujuan pembuatan makalah ini diuraikan
sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui hakikat kohesi.


2. Untuk mengetahui hakikat koherensi.
3. Untuk mengetahui perbedaan kohesi dan koherensi dalam suatu wacana.

3
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Kohesi
Kohesi merujuk pada kesinambungan antarbagian dalam teks (Gerot dan
Wignell, 1994: 170). Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu
dengan yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau
koheren. Kohesi merujuk pada perpauatan bentuk, sedangkan koherensi pada
perpautan makna. Pada umumnya wacana yang baik memiliki keduanya
(Djajasudarma, 2006: 44). Relasi kohesi itu dapat menggunakan referensi, kohesi
leksikal, dan konjungsi.

2.1.1 Kohesi Gramatikal


1. Referensi
Referensi mengacu pada sistem yang memperkenalkan dan memberi
penjelasan identitas partisipannya. Apabila menemukan “it” pada teks, pembaca
tidak akan dapat mengidentifikasinya tanpa membaca bagian yang lain atau
mengetahui konteksnya (Gerot dan Wignell, 1994: 170). Menurut Lubis (1991: 28)
referensi adalah hubungan antara kata dengan benda. Djajasudarma (2006:48)
menambahkan bahwa lebih luas lagi referensi adalah hubungan bahasa dengan
dunia. Lyons (dalam Lubis, 1991: 29) mengungkapkan bahwa hubungan antara
bahasa dengan dunia itu harus memperhatikan si pembicara karena si pembicaralah
yang paling tahu tentang referensi kalimatnya. Jadi, referensi mengacu pada situasi
dimana satuan lingual dapat berasal dari dalam maupun luar teks. Referensi ini
merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang mengacu pada satuan lingual
yang mendahului atau mengikutinya.
Menurut (Gerot dan Wignell, 1994: 171) ada tiga hal yang dibedakan pada
bagian ini.

a. Partisipan dapat disebutkan pada bagian awal teks (presenting reference) atau
Pada bagian berikutnya (presuming reference).
b. Referensi itu dapat berupa kelas yang umum (generic class) atau yang khusus
(specific individual).
c. Referensi itu dapat berupa perbandingan (+comparison) atau bukan
perbandingan (-comparison).

Lubis mengungkapkan bahwa referensi dalam bahasa Indoensia terbagi atas


tiga bagian, yaitu referensi personal, referensi demonstratif, dan referensi
komparatif (1991: 32).

1) Referensi personal atau kata ganti orang

4
Referensi personal atau kata ganti orang ini terbagi atas kata ganti orang I, kata
ganti orang II, dan kata ganti orang III, baik dalam bentuk tunggal maupun
jamak.
Jenis/ Bantuk Tunggal Jamak
Kata ganti orang I saya, aku, nama diri kami, kita
Kata ganti orang II anda, kamu, saudara, anda semua, saudara-
bapak, ibu, kakak, adik, saudara, bapak-bapak,
dll. ibu-ibu, dll.
Kata ganti orang III dia, ia mereka

2) Referensi demonstratif
Kata ganti demonstratif seperti ini, itu, di sana, di sini dapat digunakan sebagai
referensi. Berikut ini contohnya.
a. Berhati-hatilah di tempat tinggal yang baru ini.
Itu akan banyak manfaatnya nanti.
b. Rumahnya besar dan indah.
Itu dibelinya dengan uang sendiri.
c. Tempat itu sungguh indah.
Di sana pemandangannya luar biasa.
3) Referensi komparatif
Referensi komparatif dalam bahasa Indonesia, misalnya sama, persis, serupa,
lain, dan berbeda.
a. Wajah gadis itu sama benar dengan teman lamaku.
b. Gaun yang dipakainya persis dengan gaun yang artis itu pakai.
c. Anak itu nakal sekali, lain dengan kakaknya.
d. Berbeda dengan kemarin, hari ini gadis itu manis sekali.
Menurut Paltridge (2006), jenis kohesi gramatikal referensi ini dapat
dikelompokkan ke dalam empat macam, yaitu Anaphoric Reference (Referensi
Anaforis), Cataphoric Reference (Referensi Kataforis), Homophoric Reference
(Referensi Homoforis), dan Comparative Reference (Referensi Komparatif).

1) Anaphoric Reference (Referensi Anaforis)


Referensi anaforis mengacu pada kata atau frase yang merujuk kembali pada
kata atau frase lainnya yang telah digunakan di awal teks.
Contoh:
Indonesia adalah surga sekaligus kisah nyata, bukan isapan jempol belaka
atau romantisme dari masa lalu. Ada begitu banyak tempat indah yang
tersembunyi dan masih perawan. Sayangnya, tempat-tempat itu belum
digarap serius sebagai tujuan wisata.
(Sumber: Tempo (2013) dalam Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan
Akademik (2015))

5
Frasa tempat-tempat itu pada kalimat ketiga di atas digunakan untuk merujuk
pada frasa tempat indah pada kalimat sebelumnya. Rujukan tersebut
dimaksudkan untuk menunjuk pada tempat yang telah disebutkan sebelumnya.
2) Cataphoric Reference (Referensi Kataforis)
Referensi kataforis menjelaskan satuan lingual yang mengacu pada kata atau
frasa lainnya yang digunakan dalam kalimat yang mengikutinya.
Contoh:
Sepertinya kamu sudah menonton film itu: Dilan dan Milea.
Dalam hal ini, pendengar atau pembaca mengetahui bahwa acuan yang
dimaksud belum disebutkan sehingga mereka melanjutkan mendengar atau
membaca untuk mengetahui maksud dari kata itu.
3) Homophoric Reference (Referensi Homoforis)
Referensi homoforis adalah referensi yang objek acuannya dapat berasal dari
pengetahuan budaya secara umum, daripada konteks dalam suatu teks.
4) Comparative Reference (Referensi Komparatif)
Referensi komparatif adalah referensi yang digunakan untuk menilik dua hal
yang memiliki kesamaan, kemiripan, atau perbedaan dalam sebuah teks.

2. Konjungsi
Konjungsi adalah sistem semantik yang menghubungkan antarklausa dalam
sebuah urutan, consequential, perbandingan, dan penambahan (Gerot dan
Wignell,1994: 180). Menurut Kridalaksana (2011: 131), konjungsi adalah partikel
yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase,
klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf. Sesuai
dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat digunakan untuk
merangkaikan ide, baik dalam satu kalimat (intrakalimat) maupun antar kalimat
(Rani dkk, 2004: 107). Menurut Suwandi (2002: 243), konjungsi adalah kata tugas
yang menghubungkan dua klausa atau lebih. Dalam bahasa Indonesia konjungsi
dapat dibagi atas dasar perilaku sintaktisnya seperti berikut ini.

1) Konjungsi Koordinatif
Konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua unsur atau
lebih dan kedua unsur tersebut memiliki status yang sama. Selain dapat
menghubungkan klausa, konjungsi ini pun dapat menghubungkan kata.
Walaupun demikian, frasa yang dihasilkan bukan frasa preposisional.
Misalnya;
a. Saya menangis dan dia pun ikut tersedu-sedu.
b. Dia membeli perlengkapan rumah dan kebutuhan dapur.
c. Aku atau kamu yang akan membeli hadiah itu?
2) Konjungsi Subordinatif
Konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa
atau lebih dan klausa itu tidak memiliki status sintakstis yang sama. Salah satu

6
klausa itu merupakan anak kalimat. Konjungsi ini dapat dikelompokkan
sebagai berikut ini.
a. Konjungsi subordinatif waktu: sesudah, setelah, sebelum, sehabis, sejak,
selesai, ketika, tatkala, sewaktu, sementara, sambil, seraya, selagi, selama,
sehingga, sampai.
b. Konjungsi subordinatif syarat: jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila,
manakala.
c. Konjungsi subordinatif pengandaian: andaikan, seandainya, umpamanya,
sekiranya.
d. Konjungsi subordinatif tujuan: agar, supaya, agar supaya, biar.
e. Konjungsi subordinatif konsesif: biarpun, meski(pun), sekalipun,
walau(pun), sungguhpun, kendati(pun), padahal.
f. Konjungsi subordinatif kemiripan: seakan-akan, seolah-olah,
sebagaimana, seperti, sebagai, laksana.
g. Konjungsi subordinatif penyebaban: sebab, karena, oleh karena, oleh
sebab.
h. Konjungsi suborfinatif pengakibatan: (se)hingga, sampai(-sampai), maka(-
nya).
i. Konjungsi subordinatif penjelasan: bahwa.
j. Konjungsi subordinatif cara: dengan, tanpa.
3) Konjungsi Korelatif
Konjungsi koretif adalah konjungsi yang menghubungkan dua kata, frasa, atau
klausa; dan kedua unsur itu memiliki status sintaktis yang sama. Konjungsi
korelatif terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau
klausa yang dihubungkan. Berikut ini contohnya.
baik…maupun…
tidak hanya…, tetapi juga …
bukan hanya …, melainkan juga
demikian …sehingga …
sedemikian rupa sehingga…
apa(kah)… atau …
entah …entah …
jangankan …, … pun …
4) Konjungsi Antarkalimat
Konjungsi antarkalimat adalah konjungsi yang menghubungkan satu kalimat
dengan kalimat yang lain. Karena itu konjungsi ini selalu memulai kalimat baru
dan diawali dengan huruf kapital. Konjungsi ini menghubungkan kalimat yang
utuh. Berikut ini contohnya.
a. biarpun demikian/begitu
sekalipun demikian/begitu
sungguhpun demikian/begitu
walaupun demikian/begitu

7
meskipun demikian/begitu
b. kemudian
sesudah itu
setelah itu
selanjutnya
c. tambahan pula, lagi pula, selain itu
d. sebaliknya
e. sesungguhnya, bahwasanya
f. malah(an), bahkan
g. (akan) tetapi, namun
h. kecuali itu
i. dengan demikian
j. oleh karena itu, oleh sebab itu
k. sebelum itu
5) Konjungsi Antarparagraf
Konjungsi antarparagraf mengawali suatu paragraf yang berhubungan dengan
paragraf sebelumnya didasarkan pada kandungan makna di paragraf
sebelumnya. Konjungsi antarparagraf yang biasa digunakan yaitu adapun,
mengenai, akan hal, dalam pada itu. Selain itu, konjungsi antarparagraf yang
biasanya terdapat dalam cerita sastra lama yaitu alkisah, sebermula, arkian,
syahdan.

3. Substitusi
Substitusi (Substitution) adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh
unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda
atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu (Kridalaksana 2011: 229). Substitusi
dapat dibedakan atas substitusi nominal, verbal dan klausal. Berikut ini contohnya.

a. Saya lihat buah durian ini bagus-bagus.


Yang ini sudah masak. (nominal)
b. Banyak saya lihat gedung-gedung bertingkat di kampus itu.
Gedung apa itu? (nominal)
c. Karena semua mandi, maka saya melakukan yang sama. (verbal)
Mereka bekerja keras di sana. Kami berusaha juga. (verbal)
d. Anak-anak dilarang melompati pagar.
Namun, mereka melakukannya juga. (verbal)
e. Promotor kita sudah sampai hari ini dari Jakarta.
Saya dengar demikian. (klausa)
f. Belakangan ini kesebelasan Persib selalu kalah.
Di segitiga ini pun saya dengar begitu.
Saya harap tidak. (klausa)

8
4. Elipsis
Menurut Aflahah (2012: 14), ellipsis dapat dikatakan sebagai ikatan kosong
atau zero tie sebab ikatan itu secara actual tidak dikatakan. Di bawah ini contoh
ellipsis yakni:

a. Ketika ø memasuki rumah baru, kita menginginkan adanya suasana yang sama
sekali baru.
b. Sebelum ø pulang, Kikin mengajak teman-temannya ke sungai untuk
membersihkan badan dari lumpur.

Unsur yang dihilangkan atau dilesapkan pada kalimat a) dan b) adalah unsur
subjek pada klausa. Unsur tersebut adalah Kikin dan kita. Jika dituliskan secara
lengkap bentuk kedua kalimat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ketika (kita) memasuki rumah baru, kita menginginkan adanya suasana yang
sama sekali baru.
b. Sebelum (Kikin) pulang, Kikin mengajak teman-temannya ke sungai untuk
membersihkan badan dari lumpur.

2.1.1.1 Perbedaan Referensi, Elipsis, dan Substitusi


Salah satu perbedaannya ialah referensi dapat merujuk sebuah elemen jauh
jauh ke belakang dalam sebuah teks. Artinya, penggunaan referensi Stu dapat
merujuk pada Stuart yang telah disebutkan pada halaman awal sebuah teks.
Sedangkan elipsis dan subtitusi tidak dapat merujuk jauh ke belakang. Ellipsis dan
substitusi hanya dapat merujuk pada klausa yang sedang berlangsung.

Perbedaan penting lainnya yaitu dengan referensi dapat ditemukan makna


tipikal dari coreference atau referensi bersama. Artinya, dua unit dapat merujuk
pada satu unit lain yang sama. Elipsis dan substitusi tidak memiliki fitur ini.

2.1.2 Kohesi Leksikal


Lexical cohesion atau kohesi leksikal ialah hubungan makna antara unit
leksikal (lexical item) dan content words dalam sebuah teks. Jenis-jenis utama
kohesi leksikal ini ialah pengulangan (repetition), sinonimi (synonymy), antonimi
(antonymy), hiponimi (hyponymy), meronimi (meronymy), dan kolokasi
(collocation).

1. Pengulangan (Repetition)
Pengulangan merupakan kata yang diulang dalam sebuah teks yang memiliki
tujuan sebagai penekanan terhadap sesuatu. Pengulangan dapat dilakukan dengan
pengulangan utuh, pengulangan sebagian, dan pengulangan dalam bentuk lain.
Contoh bentuk pengulangan adalah sebagai berikut:

9
a. Setiap manusia pasti pasti menginginkan suasana baru untuk mengusir
kejenuhan. Suasana yang lebih baik dari sebelumnya.
b. Sepuluh tahun kita menikah. Sepuluh tahun kita hidup bersama. Sepuluh
tahun setiap harinya kulalui hari bersamamu.
c. Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa
ragu-ragu dan fisafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat mendorong kita
untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu.

2. Sinonimi (Synonymy)
Sinonimi merupakan kata yang memiliki makna yang sama atau serupa.
Contohnya ialah penggunaan kata pria dan laki-laki. Kedua kata ini memiliki
makna yang sama. Penulisan sinonimi dalam sebuah teks bertujuan untuk
memberikan variasi diksi yang digunakan dalam teks tersebut.
Contoh:

Kunal Gurab, 24 tahun, adalah pegawai input data di sebuah perusahaan


penyedia tenaga kerja outsourcing. Kerjanya menerima telepon dari para
pelamar lalu memasukkan data mereka ke database perusahaan.
(Sumber: Gatra (2013) dalam Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik
(2015))

Wacana di atas merupakan sinonimi yang terjadi antara bahasa Indonesia


dengan bahasa asing (bahasa Inggris).

3. Antonimi (Antonymy)
Antonimi ialah pengertian sebaliknya dari sinonimi. Jika sinonimi merupakan
persamaan kata, antonimi merupakan kata yang memiliki makna yang berlawanan.
Contoh kata ini antara lain ialah: membunuh dan menyembuhkan, menyakiti dan
membahagiakan, dan lain sebagainya.

4. Hiponimi dan Meronimi (Hyponymy dan Meronymy)


Konsep ini merupakan hubungan taksonomi yang terdapat dalam sebuah teks.
Hubungan tersebut dibagi menjadi dua yaitu: superordination dan composition.
Superordination ialah hubungan antara satu sama lain (meronimi) dan hubungan
seluruh-sebagian (hiponimi).

a. Hiponimi (Hyponym)
Hiponimi ialah hubungan antara unit leksikal yang bersifat umum-khusus,
contoh dari, atau bagian dari. Contoh ialah, jenis bunga dan bunga mawar
memiliki hubungan hiponimi karena bunga mawar merupakan bagian dari atau
jenis dari bunga.
b. Meronimi (Meronymy)

10
Meronimi membahas hubungan satu unit leksikal dengan unit leksikal lain
sebagai sebuah bagian. Contoh meronimi adalah akar dan tumbuhan. Akar
merupakan bagian dari tumbuhan. Maka dari itu, akar dan tumbuhan merupakan
sebuah hubungan meronimi. Tumbuhan  akar, daun, ranting, dahan.

5. Kolokasi (Collocation)
Kolokasi merupakan asosiasi antara satu kata dengan kata lain yang memiliki
kecenderungan untuk muncul bersamaan. Contoh kolokasi ialah: gelap-gulita,
hingar bingar. Kolokasi memliki jenis lain, yaitu expectancy relation.

Expectancy relation terjadi ketika terdapat kolokasi yang dapat diprediksi.


Kolokasi tersebut dapat berupa hubungan antara sebuah kata kerja dengan subjek
atau objek kata kerja tersebut. Hubungan ini menghubungkan elemen nominal
dengan elemen verba dan tindakan dengan pelaku atau kejadian dengan lokasi
kejadian.

2.2 Koherensi
Definisi yang senada dengan Bell dinyatakan oleh Beaugrande (1931:4), dia
menjelaskan bahwa coherence concerns the ways in which components of textual
world; the configuration of concepts and relations which underlie the surface text
are mutually accessible and relevant. Hal ini menunjukkan arti bahwa koherensi
mengacu pada bagaimana tekstual, seperti konfigurasi konsep dan hubungan yang
mendasari sebuah teks, saling berterima dan berkaitan.

Sebuah teks dikatakan koheren apabila terdapat kepaduan dengan kohesifnya.


Apabila suatu ujaran atau wacana tidak memiliki koherensi, maka hubungan
semantik-pragmatik yang seharusnya ada menjadi tidak terbina dan tidak logis.
Kridalaksana (dalam Hartono, 2012, hlm. 151) mengemukakan bahwa “koherensi
merupakan hubungan semantis”. Brown dan Yule (dalam Mulyana, 2005, hlm. 135)
menegaskan bahwa “koherensi berarti kepaduan antarsatuan lingual dalam teks atau
tuturan”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa koherensi merupakan unsur di
luar kalimat yang keberadaannya berfungsi untuk menciptakan kepaduan
antarbagian dalam teks.

Kohesi merupakan istilah yang mengacu pada struktur atau ragam gramatika
suatu bahasa sedangkan istilah koherensi mengacu pada aspek tuturan, bagaimana
proposisi yang tersirat disimpulkan untuk menginterpretasikan ilokusinya dalam
membentuk sebuah wacana. Proposisi-proposisi di dalam suatu wacana dapat
membentuk suatu wacana yang runtut (koheren) meskipun tidak terdapat pemarkah
penghubung kalimat yang digunakan (Aflahah, 2012: 17). Dari sini dapat
disimpulkan bahwa kalimat yang koheren dapat terbentuk meskipun tidak memiliki
kohesifitas di dalamnya. Koherensi berfungsi menghubungkan ujaran dalam makna

11
saling melengkapi dan saling berkesinambungan. Oleh sebab itu dengan adanya
koherensi kalimat terbentuk secara logis dan bermakna secara utuh.

Rani dkk (2004: 134) mengatakan di samping kohesi, masih banyak faktor lain
yang memungkinkan terciptanya koherensi itu, antara lain latar belakang pemakai
bahasa atas bidang permasalahan (subject matter), pengetahuan atas latar belakang
budaya dan sosial, kemampuan “membaca” tentang hal-hal yang tersirat, dan lain-
lain. Selain itu, pada koherensi juga dapat diciptakan penerapan praanggapan yang
logis, pemahaman akan variasi ujaran dalam situasi yang berbeda. Penguraian
sumber variasi menghendaki sejumlah persyaratan, misalnya penutur harus melihat
peranan partisipan tutur, hubungan antarpartisipan: apakah mereka itu sahabat,
orang asing, muda, tua, berasal dari status yang sama, dan seterusnya.

Berikut ini adalah contoh wacana yang mempunyai koherensi baik, tetapi tidak
tampak hubungan kohesifnya.
A: “ada telepon.”
B: “saya sedang mandi.”
C: “baiklah.”

Apa yang dikemukakan oleh A memang hanya alasan mengapa ia tidak dapat
menerima telepon. Meskipun tidak ada piranti kohesi tetapi rangkaian makna tidak
akan membingungkan atau sudah dapat diketahui. Hal ini tentu saja dikarenakan
adanya kemampuan “membaca” hal-hal yang tersirat dalam percakapan tersebut.
Koherensi teks berhubungan dengan ekspektasi dan pengalaman pendengar atau
penerima pesan terhadap dunia ini. Pra-anggapan terkait dengan pemahaman
linguistik dan ekstra linguistik pengirim pesan yang berasumsi bahwa penerima
telah mengetahui maksud pesan yang disampaikan oleh si pengirim pesan. Dengan
kata lain, presuposisi atau pra-anggapan merupakan asumsi awal yang penutur
sampaikan terhadap pendengar bahwa apa yang akan dituturkan dimengerti dan
dipahami oleh mitra tutur.
Menurut Renkema (2004), koherensi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

2.2.1 Koherensi Hubungan Aditif


Hubungan aditif dapat ditelusuri dari konjungsi dan terkait dengan berbagai
jenis koordinasi. Hubungan koordinasi dapat direpresentasikan dengan kata-kata
seperti dan (konjungsi atau penambahan), tapi (kontras), atau (pemilihan), atau
makna yang sama dengan kata-kata ini.
Contoh:
Dewi membeli hadiah untuk ibunya. (Tapi) Dia lupa membawa uang.

2.2.2 Koherensi Hubungan Kausal

12
Koherensi hubungan kausal dapat ditelusuri dari implikasinya dan terkait
dengan subordinasi. Dalam tata bahasa tradisional, hubungan kausal yang paling
penting dibedakan menjadi tujuh jenis:

a. cause (sebab), mengindikasikan konsekuensi yang berada di luar ranah


kehendak. Contoh: Jaka tidak pergi ke sekolah. Dia sakit.
b. reason (alasan), menunjukkan keberadaan kehendak. Contoh: Andi tidak datang
bersama kita. Dia tidak suka pesta.
c. means (cara), memanfaatkan sebab secara sengaja untuk mencapai apa yang
dikehendaki. Contoh: Kamu bisa lulus, kok. Buat saja makalah perbaikan yang
dosen minta.
d. consequence (konsekuensi) Contoh: Andin sakit. Kemarin dia kehujanan.
e. purpose (tujuan), menghasilkan konsekuensi yang dikehendaki. Contoh:
Penulisan nama di formulir harus menggunakan huruf kapital. Diharapkan dapat
mencegah kesulitan dalam membaca.
f. condition (syarat), mengindikasikan sebab atau alasan menjadi hasil. Contoh:
Kamu boleh main, nak. Tapi cuci piring dahulu.
g. concession (konsesi), mengindikasikan sebab atau alasan yang mungkin menjadi
hasil yang tidak tercapai. Contoh: Dia kaya. Tapi dia tidak pernah beramal.

2.3 Perbedaan Kohesi dan Koherensi


Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang
lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang apik atau koheren (Moeliono
dkk, 1997: 343). Halliday dan Hasan (1992: 65) juga menyatakan bahwa kohesi
adalah perangkat sumber-sumber kebahasaan yang dimiliki setiap bahasa sebagai
bagian dari metafungsi tekstual untuk mengaitkan satu bagian teks dengan bagian
lainnya. Selanjutnya Halliday dan Hasan dalam Aflahah (2012: 2) mengungkapkan
bahwa penentu utama untuk menentukan apakah seperangkat kalimat itu
merupakan suatu teks sangat bergantung pada hubungan-hubungan kohesif yang
ada di dalam dan di antara kalimat-kalimat itu yang dapat membentuk suatu
jaringan atau tekstur (texture). Suatu teks itu mempunyai jaringan dan inilah yang
membedakannya dengan yang bukan teks. Jaringan ini dibuat oleh hubungan yang
padu (cohesive relation). Senada dengan hal ini, Gutwinsky (1976: 26) menyatakan
kohesi ialah hubungan antarkalimat dan anatarklausa dalam sebuah teks, baik dalam
strata gramatikal maupun dalam strata leksikal. Newmark (1988: 23) juga
menyatakan bahwa kohesi merupakan suatu hal yang berdasarkan pada struktur dan
gramatikal. Struktur tersebut dibentuk melalui kata-kata penghubung (konjungsi,
enumerasi, pengulangan, artikel pasti, kata-kata umum, sinonim refetential, dan
tanda baca). Hal ini dapat dilihat dalam contoh berikut ini:

a. Moana harus meninggalkan desanya karena ia harus mencari dan


menemukan Maui.

13
b. Annelies dan ibunya harus berpisah karena Annelies akan pergi ke Belanda.
c. Do you know me? Yes, I do…. (penggantian kata know).

Dari contoh di atas terbentuk makna yang kohesif. Hal ini ditunjukkan melalui
kata pengulangan kata pada contoh kalimat (b), penggunaan pronomina pada
kalimat (a), serta penggantian kata do untuk know pada kalimat (c). ketiga kalimat
ini dapat dimengerti oleh pembaca karena memberikan pemahaman yang utuh yang
disebabkan oleh adanya kohesi dalam struktur kalimat tersebut. Halliday dan Hasan
dalam Munday (2008: 152) menyatakan bahwa kohesi dibentuk dengan cara kohesi
gramatikal dan kohesi leksikal.

Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh atau koheren memang tidak selalu
digunakan piranti kohesi.Dalam contoh di bawah ini terdapat dialog yang dapat
dipahami meskipun informasi di dalamnya muncul tidak secara eksplisit:
A: “Ada suara ribut-ribut di luar!”
B: “Aku lagi di dapur, masak.”
A: “Oke.”

Dari dialog tersebut dapat dipahami adanya informasi yang muncul secara
implisit. Ketika A mengucapkan “Ada suara rebut di luar!”, dia mengharapkan B
untuk segera keluar dan mencari tau apa yang sedang terjadi. Ketika B menyatakan
“Aku lagi di dapur, masak”, Si B mengharapkan A yang melihat apa yang terjadi.
Ketika A menjawab “Oke” maka di sini A akan memeriksa apa yang terjadi di luar.

Hal ini dapat dengan mudah dipahami meskipun informasi yang ada tidak
muncul secara eksplisit. Dalam hal ini pembaca menggunakan konsep koherensi.
Menurut Bell (1991: 165), [coherence is] “consists of configuration and sequencing
of the CONCEPTS and RELATIONS”. Sehingga, ketika pembaca memaknai teks
pembaca melakukan “configuration and relations” yaitu pembaca akan memakni
dan membuat hubungan yang implisit terhadap sesuatu yang eksplisit dalam teks.
Pemaknaan ini berasal dari pengetahuan di luar teks (konteks). Dapat disimpulkan
bahwa asumsi pembaca yang menghubungkan teks dengan pengetahuan luar teks
ini lah yang disebut koherensi. Dari pengertian kohesi dan koherensi di atas dapat
dikatakan bahwa kohesi adalah keterpaduan bentuk sedangkan koherensi adalah
kepaduan makna. Pada kohesi, yang terpadu adalah unsur-unsur lahiriah teks,
termasuk struktur lahir (tata bahasa). Sedangkan keberpaduan atau koherensi
mengharuskan unsur-unsur batinnya (makna, konsep, dan pengetahuan) saling
berpadu.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Koherensi dan kohesi merupakan unsur yang digunakan untuk membengun
teks yang baik. Wacana yang baik ditandai dengan penggunaan kohesi yang sesuai
dan diwujudkan oleh struktur semantik yang logis. Hubungan kohesi dapat dilihat
dari penggunaan kohesi. Kohesi dapat dibentuk melalui berbagai macam cara
sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Selanjutnya penggunaan kohesi semata bukanlah suatu jaminan bahwa wacana


tersebut koheren. Di samping kohesi, masih banyak faktor lain yang
memungkinkan terciptanya koherensi wacana antara lain latar belakang pemakai
bahasa atas bidang permasalahan (subject matter), pengetahuan atas latar belakang
budaya dan sosial, kemampuan “membaca” tentang hal-hal yang tersirat dan lain
sebagainya. Dari sini dapat dikatakan bahwa kohesi adalah keterpaduan bentuk
sedangkan koherensi adalah kepaduan makna.

15
DAFTAR RUJUKAN
Aflahah. (2012). Kohesi Dan Koherensi Dalam Wacana. OKARA, Vol. I, Tahun
7, Mei 2012 Beaugrande, R. De dan W. Dessler. 1981. Introductian top Text
Linguistic.
Bell, Roger T. (1991). Translation and translating. London: Longman

Catford, C.J. (1978). A Linguistic Theory of Translation. Fifth Impression. Oxford:


Oxford University Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur.


Bandung: Refika Aditama.

Gerot, Linda dan Peter Wignell. 1994. Making Sense of Functional Grammar.
Sydney: Gerd Stabler.

Halliday, M. A. K & Ruqaiya Hasan. (1992). Bahasa, konteks dan teks: Aspek-
Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotic Sosial. (Terjemahan Asrudin
Barori Tou). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. (Buku asli
diterbitkan tahun 1985 )

Harimurti Kridalaksana. (2011). Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


London: Longman
Lubis, A. Hamid Hasan.1991. Analisis Wacana Pragmatik.Bandung: Angkasa.

Moeliono, Anton dkk. (1997). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Munday, Jeremy. (2008). Introducing translation studies theories and application.
(4th ed). London & New York: Routledge Taylor & Francis Group
Newmark, Peter. (1988). A textbook of translation. London: Prentice Hall
Internasional
Rani dkk (2004). Analisis Wacana. Malang: Bayumedia Publishing

Sarwiji Suwandi. (2002). Kohesi dalam bahasa Indonesia. Diambil pada tanggal
10 Mei 2017, dari
http://linguistikindonesia.org/images/files/KohesidalamBahasaIndonesia.p
df.

16

Anda mungkin juga menyukai