MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Wacana yang Dibina oleh Nahnu
Robid Jiwandono, M.Pd
Oleh:
Chofifah Nadidah NPM : 21701071078
Zaskia Aulia Ramadhani NPM : 21701071079
Sukron Mahbubi NPM : 21701071104
2
Seorang penerjemah yang dapat menghasilkan tulisan yang berterima dalam
BSa tentu tidak hanya mengandalkan banyaknya kosakata yang dimilikinya namun
juga pesan atau makna yang terkandung di dalam tulisannya. Untuk menghasilkan
struktur dan makna yang berterima terdapat poin penting yang tidak boleh
terlewatkan yaitu mengenai kohesi dan koherensi kalimat-kalimat yang terdapat di
dalam sebuah paragraf serta paragraf-paragraf dalam sebuah kesatuan wacana yang
utuh. Oleh karena itu diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai kohesi dan
koherensi yang terdapat dalam proses penerjemahan. Dalam pembahasan kali ini
pemakalah akan membahas bagaimana perbedaan kohesi dan koherensi dan apa
yang dapat membentuk kohesi sehingga dapat menghasilkan sebuah teks yang
berterima.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Kohesi
Kohesi merujuk pada kesinambungan antarbagian dalam teks (Gerot dan
Wignell, 1994: 170). Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu
dengan yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau
koheren. Kohesi merujuk pada perpauatan bentuk, sedangkan koherensi pada
perpautan makna. Pada umumnya wacana yang baik memiliki keduanya
(Djajasudarma, 2006: 44). Relasi kohesi itu dapat menggunakan referensi, kohesi
leksikal, dan konjungsi.
a. Partisipan dapat disebutkan pada bagian awal teks (presenting reference) atau
Pada bagian berikutnya (presuming reference).
b. Referensi itu dapat berupa kelas yang umum (generic class) atau yang khusus
(specific individual).
c. Referensi itu dapat berupa perbandingan (+comparison) atau bukan
perbandingan (-comparison).
4
Referensi personal atau kata ganti orang ini terbagi atas kata ganti orang I, kata
ganti orang II, dan kata ganti orang III, baik dalam bentuk tunggal maupun
jamak.
Jenis/ Bantuk Tunggal Jamak
Kata ganti orang I saya, aku, nama diri kami, kita
Kata ganti orang II anda, kamu, saudara, anda semua, saudara-
bapak, ibu, kakak, adik, saudara, bapak-bapak,
dll. ibu-ibu, dll.
Kata ganti orang III dia, ia mereka
2) Referensi demonstratif
Kata ganti demonstratif seperti ini, itu, di sana, di sini dapat digunakan sebagai
referensi. Berikut ini contohnya.
a. Berhati-hatilah di tempat tinggal yang baru ini.
Itu akan banyak manfaatnya nanti.
b. Rumahnya besar dan indah.
Itu dibelinya dengan uang sendiri.
c. Tempat itu sungguh indah.
Di sana pemandangannya luar biasa.
3) Referensi komparatif
Referensi komparatif dalam bahasa Indonesia, misalnya sama, persis, serupa,
lain, dan berbeda.
a. Wajah gadis itu sama benar dengan teman lamaku.
b. Gaun yang dipakainya persis dengan gaun yang artis itu pakai.
c. Anak itu nakal sekali, lain dengan kakaknya.
d. Berbeda dengan kemarin, hari ini gadis itu manis sekali.
Menurut Paltridge (2006), jenis kohesi gramatikal referensi ini dapat
dikelompokkan ke dalam empat macam, yaitu Anaphoric Reference (Referensi
Anaforis), Cataphoric Reference (Referensi Kataforis), Homophoric Reference
(Referensi Homoforis), dan Comparative Reference (Referensi Komparatif).
5
Frasa tempat-tempat itu pada kalimat ketiga di atas digunakan untuk merujuk
pada frasa tempat indah pada kalimat sebelumnya. Rujukan tersebut
dimaksudkan untuk menunjuk pada tempat yang telah disebutkan sebelumnya.
2) Cataphoric Reference (Referensi Kataforis)
Referensi kataforis menjelaskan satuan lingual yang mengacu pada kata atau
frasa lainnya yang digunakan dalam kalimat yang mengikutinya.
Contoh:
Sepertinya kamu sudah menonton film itu: Dilan dan Milea.
Dalam hal ini, pendengar atau pembaca mengetahui bahwa acuan yang
dimaksud belum disebutkan sehingga mereka melanjutkan mendengar atau
membaca untuk mengetahui maksud dari kata itu.
3) Homophoric Reference (Referensi Homoforis)
Referensi homoforis adalah referensi yang objek acuannya dapat berasal dari
pengetahuan budaya secara umum, daripada konteks dalam suatu teks.
4) Comparative Reference (Referensi Komparatif)
Referensi komparatif adalah referensi yang digunakan untuk menilik dua hal
yang memiliki kesamaan, kemiripan, atau perbedaan dalam sebuah teks.
2. Konjungsi
Konjungsi adalah sistem semantik yang menghubungkan antarklausa dalam
sebuah urutan, consequential, perbandingan, dan penambahan (Gerot dan
Wignell,1994: 180). Menurut Kridalaksana (2011: 131), konjungsi adalah partikel
yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase,
klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf. Sesuai
dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat digunakan untuk
merangkaikan ide, baik dalam satu kalimat (intrakalimat) maupun antar kalimat
(Rani dkk, 2004: 107). Menurut Suwandi (2002: 243), konjungsi adalah kata tugas
yang menghubungkan dua klausa atau lebih. Dalam bahasa Indonesia konjungsi
dapat dibagi atas dasar perilaku sintaktisnya seperti berikut ini.
1) Konjungsi Koordinatif
Konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua unsur atau
lebih dan kedua unsur tersebut memiliki status yang sama. Selain dapat
menghubungkan klausa, konjungsi ini pun dapat menghubungkan kata.
Walaupun demikian, frasa yang dihasilkan bukan frasa preposisional.
Misalnya;
a. Saya menangis dan dia pun ikut tersedu-sedu.
b. Dia membeli perlengkapan rumah dan kebutuhan dapur.
c. Aku atau kamu yang akan membeli hadiah itu?
2) Konjungsi Subordinatif
Konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa
atau lebih dan klausa itu tidak memiliki status sintakstis yang sama. Salah satu
6
klausa itu merupakan anak kalimat. Konjungsi ini dapat dikelompokkan
sebagai berikut ini.
a. Konjungsi subordinatif waktu: sesudah, setelah, sebelum, sehabis, sejak,
selesai, ketika, tatkala, sewaktu, sementara, sambil, seraya, selagi, selama,
sehingga, sampai.
b. Konjungsi subordinatif syarat: jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila,
manakala.
c. Konjungsi subordinatif pengandaian: andaikan, seandainya, umpamanya,
sekiranya.
d. Konjungsi subordinatif tujuan: agar, supaya, agar supaya, biar.
e. Konjungsi subordinatif konsesif: biarpun, meski(pun), sekalipun,
walau(pun), sungguhpun, kendati(pun), padahal.
f. Konjungsi subordinatif kemiripan: seakan-akan, seolah-olah,
sebagaimana, seperti, sebagai, laksana.
g. Konjungsi subordinatif penyebaban: sebab, karena, oleh karena, oleh
sebab.
h. Konjungsi suborfinatif pengakibatan: (se)hingga, sampai(-sampai), maka(-
nya).
i. Konjungsi subordinatif penjelasan: bahwa.
j. Konjungsi subordinatif cara: dengan, tanpa.
3) Konjungsi Korelatif
Konjungsi koretif adalah konjungsi yang menghubungkan dua kata, frasa, atau
klausa; dan kedua unsur itu memiliki status sintaktis yang sama. Konjungsi
korelatif terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau
klausa yang dihubungkan. Berikut ini contohnya.
baik…maupun…
tidak hanya…, tetapi juga …
bukan hanya …, melainkan juga
demikian …sehingga …
sedemikian rupa sehingga…
apa(kah)… atau …
entah …entah …
jangankan …, … pun …
4) Konjungsi Antarkalimat
Konjungsi antarkalimat adalah konjungsi yang menghubungkan satu kalimat
dengan kalimat yang lain. Karena itu konjungsi ini selalu memulai kalimat baru
dan diawali dengan huruf kapital. Konjungsi ini menghubungkan kalimat yang
utuh. Berikut ini contohnya.
a. biarpun demikian/begitu
sekalipun demikian/begitu
sungguhpun demikian/begitu
walaupun demikian/begitu
7
meskipun demikian/begitu
b. kemudian
sesudah itu
setelah itu
selanjutnya
c. tambahan pula, lagi pula, selain itu
d. sebaliknya
e. sesungguhnya, bahwasanya
f. malah(an), bahkan
g. (akan) tetapi, namun
h. kecuali itu
i. dengan demikian
j. oleh karena itu, oleh sebab itu
k. sebelum itu
5) Konjungsi Antarparagraf
Konjungsi antarparagraf mengawali suatu paragraf yang berhubungan dengan
paragraf sebelumnya didasarkan pada kandungan makna di paragraf
sebelumnya. Konjungsi antarparagraf yang biasa digunakan yaitu adapun,
mengenai, akan hal, dalam pada itu. Selain itu, konjungsi antarparagraf yang
biasanya terdapat dalam cerita sastra lama yaitu alkisah, sebermula, arkian,
syahdan.
3. Substitusi
Substitusi (Substitution) adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh
unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda
atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu (Kridalaksana 2011: 229). Substitusi
dapat dibedakan atas substitusi nominal, verbal dan klausal. Berikut ini contohnya.
8
4. Elipsis
Menurut Aflahah (2012: 14), ellipsis dapat dikatakan sebagai ikatan kosong
atau zero tie sebab ikatan itu secara actual tidak dikatakan. Di bawah ini contoh
ellipsis yakni:
a. Ketika ø memasuki rumah baru, kita menginginkan adanya suasana yang sama
sekali baru.
b. Sebelum ø pulang, Kikin mengajak teman-temannya ke sungai untuk
membersihkan badan dari lumpur.
Unsur yang dihilangkan atau dilesapkan pada kalimat a) dan b) adalah unsur
subjek pada klausa. Unsur tersebut adalah Kikin dan kita. Jika dituliskan secara
lengkap bentuk kedua kalimat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ketika (kita) memasuki rumah baru, kita menginginkan adanya suasana yang
sama sekali baru.
b. Sebelum (Kikin) pulang, Kikin mengajak teman-temannya ke sungai untuk
membersihkan badan dari lumpur.
1. Pengulangan (Repetition)
Pengulangan merupakan kata yang diulang dalam sebuah teks yang memiliki
tujuan sebagai penekanan terhadap sesuatu. Pengulangan dapat dilakukan dengan
pengulangan utuh, pengulangan sebagian, dan pengulangan dalam bentuk lain.
Contoh bentuk pengulangan adalah sebagai berikut:
9
a. Setiap manusia pasti pasti menginginkan suasana baru untuk mengusir
kejenuhan. Suasana yang lebih baik dari sebelumnya.
b. Sepuluh tahun kita menikah. Sepuluh tahun kita hidup bersama. Sepuluh
tahun setiap harinya kulalui hari bersamamu.
c. Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa
ragu-ragu dan fisafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat mendorong kita
untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu.
2. Sinonimi (Synonymy)
Sinonimi merupakan kata yang memiliki makna yang sama atau serupa.
Contohnya ialah penggunaan kata pria dan laki-laki. Kedua kata ini memiliki
makna yang sama. Penulisan sinonimi dalam sebuah teks bertujuan untuk
memberikan variasi diksi yang digunakan dalam teks tersebut.
Contoh:
3. Antonimi (Antonymy)
Antonimi ialah pengertian sebaliknya dari sinonimi. Jika sinonimi merupakan
persamaan kata, antonimi merupakan kata yang memiliki makna yang berlawanan.
Contoh kata ini antara lain ialah: membunuh dan menyembuhkan, menyakiti dan
membahagiakan, dan lain sebagainya.
a. Hiponimi (Hyponym)
Hiponimi ialah hubungan antara unit leksikal yang bersifat umum-khusus,
contoh dari, atau bagian dari. Contoh ialah, jenis bunga dan bunga mawar
memiliki hubungan hiponimi karena bunga mawar merupakan bagian dari atau
jenis dari bunga.
b. Meronimi (Meronymy)
10
Meronimi membahas hubungan satu unit leksikal dengan unit leksikal lain
sebagai sebuah bagian. Contoh meronimi adalah akar dan tumbuhan. Akar
merupakan bagian dari tumbuhan. Maka dari itu, akar dan tumbuhan merupakan
sebuah hubungan meronimi. Tumbuhan akar, daun, ranting, dahan.
5. Kolokasi (Collocation)
Kolokasi merupakan asosiasi antara satu kata dengan kata lain yang memiliki
kecenderungan untuk muncul bersamaan. Contoh kolokasi ialah: gelap-gulita,
hingar bingar. Kolokasi memliki jenis lain, yaitu expectancy relation.
2.2 Koherensi
Definisi yang senada dengan Bell dinyatakan oleh Beaugrande (1931:4), dia
menjelaskan bahwa coherence concerns the ways in which components of textual
world; the configuration of concepts and relations which underlie the surface text
are mutually accessible and relevant. Hal ini menunjukkan arti bahwa koherensi
mengacu pada bagaimana tekstual, seperti konfigurasi konsep dan hubungan yang
mendasari sebuah teks, saling berterima dan berkaitan.
Kohesi merupakan istilah yang mengacu pada struktur atau ragam gramatika
suatu bahasa sedangkan istilah koherensi mengacu pada aspek tuturan, bagaimana
proposisi yang tersirat disimpulkan untuk menginterpretasikan ilokusinya dalam
membentuk sebuah wacana. Proposisi-proposisi di dalam suatu wacana dapat
membentuk suatu wacana yang runtut (koheren) meskipun tidak terdapat pemarkah
penghubung kalimat yang digunakan (Aflahah, 2012: 17). Dari sini dapat
disimpulkan bahwa kalimat yang koheren dapat terbentuk meskipun tidak memiliki
kohesifitas di dalamnya. Koherensi berfungsi menghubungkan ujaran dalam makna
11
saling melengkapi dan saling berkesinambungan. Oleh sebab itu dengan adanya
koherensi kalimat terbentuk secara logis dan bermakna secara utuh.
Rani dkk (2004: 134) mengatakan di samping kohesi, masih banyak faktor lain
yang memungkinkan terciptanya koherensi itu, antara lain latar belakang pemakai
bahasa atas bidang permasalahan (subject matter), pengetahuan atas latar belakang
budaya dan sosial, kemampuan “membaca” tentang hal-hal yang tersirat, dan lain-
lain. Selain itu, pada koherensi juga dapat diciptakan penerapan praanggapan yang
logis, pemahaman akan variasi ujaran dalam situasi yang berbeda. Penguraian
sumber variasi menghendaki sejumlah persyaratan, misalnya penutur harus melihat
peranan partisipan tutur, hubungan antarpartisipan: apakah mereka itu sahabat,
orang asing, muda, tua, berasal dari status yang sama, dan seterusnya.
Berikut ini adalah contoh wacana yang mempunyai koherensi baik, tetapi tidak
tampak hubungan kohesifnya.
A: “ada telepon.”
B: “saya sedang mandi.”
C: “baiklah.”
Apa yang dikemukakan oleh A memang hanya alasan mengapa ia tidak dapat
menerima telepon. Meskipun tidak ada piranti kohesi tetapi rangkaian makna tidak
akan membingungkan atau sudah dapat diketahui. Hal ini tentu saja dikarenakan
adanya kemampuan “membaca” hal-hal yang tersirat dalam percakapan tersebut.
Koherensi teks berhubungan dengan ekspektasi dan pengalaman pendengar atau
penerima pesan terhadap dunia ini. Pra-anggapan terkait dengan pemahaman
linguistik dan ekstra linguistik pengirim pesan yang berasumsi bahwa penerima
telah mengetahui maksud pesan yang disampaikan oleh si pengirim pesan. Dengan
kata lain, presuposisi atau pra-anggapan merupakan asumsi awal yang penutur
sampaikan terhadap pendengar bahwa apa yang akan dituturkan dimengerti dan
dipahami oleh mitra tutur.
Menurut Renkema (2004), koherensi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
12
Koherensi hubungan kausal dapat ditelusuri dari implikasinya dan terkait
dengan subordinasi. Dalam tata bahasa tradisional, hubungan kausal yang paling
penting dibedakan menjadi tujuh jenis:
13
b. Annelies dan ibunya harus berpisah karena Annelies akan pergi ke Belanda.
c. Do you know me? Yes, I do…. (penggantian kata know).
Dari contoh di atas terbentuk makna yang kohesif. Hal ini ditunjukkan melalui
kata pengulangan kata pada contoh kalimat (b), penggunaan pronomina pada
kalimat (a), serta penggantian kata do untuk know pada kalimat (c). ketiga kalimat
ini dapat dimengerti oleh pembaca karena memberikan pemahaman yang utuh yang
disebabkan oleh adanya kohesi dalam struktur kalimat tersebut. Halliday dan Hasan
dalam Munday (2008: 152) menyatakan bahwa kohesi dibentuk dengan cara kohesi
gramatikal dan kohesi leksikal.
Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh atau koheren memang tidak selalu
digunakan piranti kohesi.Dalam contoh di bawah ini terdapat dialog yang dapat
dipahami meskipun informasi di dalamnya muncul tidak secara eksplisit:
A: “Ada suara ribut-ribut di luar!”
B: “Aku lagi di dapur, masak.”
A: “Oke.”
Dari dialog tersebut dapat dipahami adanya informasi yang muncul secara
implisit. Ketika A mengucapkan “Ada suara rebut di luar!”, dia mengharapkan B
untuk segera keluar dan mencari tau apa yang sedang terjadi. Ketika B menyatakan
“Aku lagi di dapur, masak”, Si B mengharapkan A yang melihat apa yang terjadi.
Ketika A menjawab “Oke” maka di sini A akan memeriksa apa yang terjadi di luar.
Hal ini dapat dengan mudah dipahami meskipun informasi yang ada tidak
muncul secara eksplisit. Dalam hal ini pembaca menggunakan konsep koherensi.
Menurut Bell (1991: 165), [coherence is] “consists of configuration and sequencing
of the CONCEPTS and RELATIONS”. Sehingga, ketika pembaca memaknai teks
pembaca melakukan “configuration and relations” yaitu pembaca akan memakni
dan membuat hubungan yang implisit terhadap sesuatu yang eksplisit dalam teks.
Pemaknaan ini berasal dari pengetahuan di luar teks (konteks). Dapat disimpulkan
bahwa asumsi pembaca yang menghubungkan teks dengan pengetahuan luar teks
ini lah yang disebut koherensi. Dari pengertian kohesi dan koherensi di atas dapat
dikatakan bahwa kohesi adalah keterpaduan bentuk sedangkan koherensi adalah
kepaduan makna. Pada kohesi, yang terpadu adalah unsur-unsur lahiriah teks,
termasuk struktur lahir (tata bahasa). Sedangkan keberpaduan atau koherensi
mengharuskan unsur-unsur batinnya (makna, konsep, dan pengetahuan) saling
berpadu.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Koherensi dan kohesi merupakan unsur yang digunakan untuk membengun
teks yang baik. Wacana yang baik ditandai dengan penggunaan kohesi yang sesuai
dan diwujudkan oleh struktur semantik yang logis. Hubungan kohesi dapat dilihat
dari penggunaan kohesi. Kohesi dapat dibentuk melalui berbagai macam cara
sebagaimana telah dijelaskan di atas.
15
DAFTAR RUJUKAN
Aflahah. (2012). Kohesi Dan Koherensi Dalam Wacana. OKARA, Vol. I, Tahun
7, Mei 2012 Beaugrande, R. De dan W. Dessler. 1981. Introductian top Text
Linguistic.
Bell, Roger T. (1991). Translation and translating. London: Longman
Gerot, Linda dan Peter Wignell. 1994. Making Sense of Functional Grammar.
Sydney: Gerd Stabler.
Halliday, M. A. K & Ruqaiya Hasan. (1992). Bahasa, konteks dan teks: Aspek-
Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotic Sosial. (Terjemahan Asrudin
Barori Tou). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. (Buku asli
diterbitkan tahun 1985 )
Moeliono, Anton dkk. (1997). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Munday, Jeremy. (2008). Introducing translation studies theories and application.
(4th ed). London & New York: Routledge Taylor & Francis Group
Newmark, Peter. (1988). A textbook of translation. London: Prentice Hall
Internasional
Rani dkk (2004). Analisis Wacana. Malang: Bayumedia Publishing
Sarwiji Suwandi. (2002). Kohesi dalam bahasa Indonesia. Diambil pada tanggal
10 Mei 2017, dari
http://linguistikindonesia.org/images/files/KohesidalamBahasaIndonesia.p
df.
16