Anda di halaman 1dari 22

Pendahuluan

Apabila seorang wanita pada usia reproduksi sering mengeluh dan mengalami gejala
siklus haid tidak teratur, haid yang tidak ada dan kadang hanya sedikit, kegemukan dengan
jaringan lemak yang meningkat, timbul jerawat pada bagian wajah atau badan, tumbuhnya
rambut yang berlebihan pada wajah atau badan, dan apabila wanita tersebut sudah menikah dan
ingin memiliki anak namun sulit menjadi hamil, mungkin wanita ini mengalami gejala/manifestasi
klinis yang disebut dengan sindrom ovarium polikistik atau polycystic ovary syndrome (PCOS).

Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas)


karena kegagalan terjadinya proses ovulasi, keluarnya sel telur (ovum) dari indung telur
(ovarium). Sindrom ovarium polikistik didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang ditandai
dengan adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis disertai perubahan endokrin
(seperti hiperinsulinemia dan hiperandrogenemia) dan tidak disertai dengan kelainan pada
kelenjar adrenal maupun kelenjar hipofisis. Hiperandrogenisme merupakan suatu keadaan
dimana secara klinis didapatkan adanya hirsutisme, jerawat dan kebotakan dengan disertai
peningkatan konsentrasi androgen terutama testosteron dan androstenedion. Obesitas juga
dijumpai pada 50-60% penderita sindrom ini. Pengukuan obesitas dengan menggunakan indeks
massa tubuh (IMT), yaitu berat badan/(tinggi badan)2 > 25 kg/m2. Ciri-ciri ini berhubungan
dengan hipersekresi dari luteinizing hormone (LH) dan androgen dengan konsentrasi seru follicle
stimulating hormone (FSH) yang rendah atau normal. Penyebab sindrom ini tidak jelas, akan
tetapi terdapat bukti adanya kelainan genetik yang diwarisakn oleh ibu atau ayah, atau mungkin
keduanya. Gen tersebut bertanggung jawab atas terjadinya resistensi insulin dan
hiperandrogenisme pada wanita dengan sindrom polikistik ovarium. Beberapa komplikasi jangka
panjang yang dapat terjadi pada pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi peningkatan risiko
diabetes melitus tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi insulin), kadar lipid dalam darah
abnormal (dislipidemia), penyakit kardiovaskular, penebalan dinding rahim, dan infertilitas.
Sindrom ovarium polikistik biasanya terjadi pada usia reproduktif (antara 15 sampai 40 tahun)
dan angka kejadiannya sekitar 5-10%.

Meskipun angka kejadian PCOS dijumpai cukup tinggi pada wanita usia reproduktif,
penyebab pastinya hingga kini belum banyak diketahui. Sindrom ovarium polikistik pertama
sekali ditemukan oleh Stein dan Leventhal pada sekitar tahun 1935.1 Kelainan atau sindrom ini
bukanlah sebuah penyakit, melainkan kelompok gejala. Gambaran klinis yang dijumpai pada
umumnya berupa amenorea (tidak ada menstruasi/haid), oligomenorea (haid yang sedikit),
infertilitas (ketidaksuburan), hirsutisme (tumbuhnya rambut berlebihan), adipositas
(kegemukan), dan pembesaran kedua ovarium. Sindrom ovarium polikistik ini cukup erat
kaitannya dengan peristiwa tidak terjadinya proses ovulasi (anovulasi); setiap kondisi atau
keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anovulasi kronis akan menyebabkan terjadinya
sindrom ovarium polikistik.

1|Page
Adanya ganguan haid berupa tidak terjadinya haid minimal dalam waktu tiga bulan
disebut amenorea, sedangkan bila memiliki jarak menstruasi lebih dari 35 hari disebut
oligomenorea. Mayoritas wanita dengan sindrom ovarium polikistik memiliki masalah
kegemukan/obesitas dan mengalami resistensi insulin yang menyebabkan keadaan
hiperandrogen (kadar androgen yang tinggi) pada ovarium dengan akibat akan menghambat
perkembangan folikel dan memicu terjadinya siklus anovulatorik.

Definisi

Sindroma ovarium polikistik merupakan serangkaian gejala yang dihubungkan dengan


hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan dengan kelainan endokrin dan
metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit primer pada kelenjar hipofise atau adrenal yang
mendasari. Anovulasi kronik terjadi akibat kelainan sekresi gonadotropin sebagai akibat dari
kelainan sentral dimana terjadi peningkatan frekuensi dan amplitudo pulsasi GnRH dengan akibat
terjadi peningkatan kadar LH serum dan peningkatan rasio LH/ FSH serta androgen.
Hiperandrogenisme secara klinis dapat ditandai dengan hirsutisme, timbulnya jerawat (akne),
alopesia akibat androgen dan naiknya konsentrasi serum androgen khususnya testosteron dan
androstenedion. Sedangkan kelainan metabolik berhubungan dengan timbulnya keadaan
hiperandrogenisme dan anovulasi kronik.3
Definisi yang paling dapat diterima secara internasional pada saat ini seperti yang
diadopsi pada tahun 2003 oleh European Society for Human Reproduction dan Embryology and
the American Society for Reproductive Medicine, yang dikenal dengan ESHRE/ASRM Dalam
konsensus ini diperlukan adanya dua dari tiga kriteria diagnosa yaitu :
1. Oligo/anovulation
2. Gejala hiperandrogen baik secara klinik maupun biokimia
3. Adanya gambaran morfologi ovarium yang polikistik dengan USG (12 atau lebih folikel-
folikel dengan ukuran diameter antara 2-9 mm dan/atau peningkatan volume ovarium
(>10 ml).
Sementara sekitar 21% dari perempuan memiliki ovarium polikistik, diperkirakan bahwa
PCOS mempengaruhi 5% sampai 10% dari wanita usia reproduksi dan 15% sampai 20% dari
wanita dengan infertilitas.

Etiologi
Etiologi yang tepat untuk pengembangan hiperandrogenisme tidak diketahui. Namun,
kecenderungan keluarga untuk terjadinya PCOS menunjukkan pola turun-temurun dapat
menjadi suatu kerentanan. Sekitar 70% dari yang disajikan varians diamati dalam patogenesis

2|Page
PCOS adalah disebabkan pengaruh polygenetic. Beberapa gen telah diidentifikasi yang dapat
terlibat dalam patogenesis PCOS, termasuk gen yang terlibat dalam biosintesis dan tindakan
androgen, gen yang berhubungan dengan resistensi insulin, dan gen yang mengkode untuk
sitokin inflamasi. Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap
pengembangan PCOS termasuk riwayat memiliki berat lahir yang tinggi (8.5 pon) dan dilahirkan
dari ibu kelebihan berat badan, berat badan lahir rendah, virilisasi bawaan, pubarche dini
(pengembangan rambut kemaluan sebelum 8 tahun), obesitas, acanthosis nigricans (gelap, tebal,
kulit beludru diamati dalam lipatan tubuh), jerawat, anovulasi, dan ovarium polikistik.

Epidemiologi
Prevalensi PCOS bervariasi tergantung pada kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa.
Ketika kriteria National Institutes of Health (NIH) digunakan, khususnya adanya oligomenore atau
amenore dan hiperandrogenisme, kejadian ini dilaporkan 7% menjadi 8,7% pada wanita usia
reproduksi. Namun, prevalensi lebih tinggi ketika salah satu kriteria Rotterdam atau The
Androgen Excess Society (AES) diterapkan. WHO tahun 2010 menunjukan 3 – 5 % penduduk
dunia menderita PCOS. Diderita pada wanita (5–10% dari wanita usia reproduksi yang berumur
12 – 45 tahun) dan diduga menjadi salah satu penyebab utama infertilitas wanita.
Sekitar 18% wanita dari studi prevalensi berbasis komunitas memenuhi kriteria diagnostik
untuk PCOS, berdasarkan kriteria Rotterdam. Batas atas penelitian ini prevalensi diperhitungkan
menggunakan perkiraan dari ovarium polikisik untuk wanita tanpa dokumentasi kista ovarium
dengan USG. Namun, batas atas dari prevalensi yang tidak diperhitungkan untuk memperkirakan
ovarium polikistik pada wanita didiagnosis dengan menggunakan kriteria AES. Selain itu,
perkiraan prevalensi bervariasi sesuai dengan berat badan wanita, dengan PCOS mempengaruhi
sekitar 28% dari wanita yang mengalami obesitas. Akhirnya, perbedaan yang signifikan dalam
prevalensi PCOS di kelompok etnis yang berbeda belum dilaporkan.

Patogenesis
Patogenesa SOPK kurang jelas diketahui, namun diduga bahwa defek primer
kemungkinan karena adanya resistensi insulin yang menyebabkan hiperinsulinemia. Konsentrasi
insulin dan LH didalam sirkulasi secara umum akan meningkat.4 Di antaranya, diketahui bahwa
kadar LH pada pasien SOPK lebih tinggi dibanding orang normal. Hal ini dapat diakibatkan oleh
peningkatan produksi pulsatil GnRH maupun peningkatan sensitivitas hipofisis anterior terhadap
GnRH. Peningkatan kadar LH mengakibatkan bertambahnya produksi testosteron dan
androstenedion pada sel teka ovarium. Sebagian testosteron dan androstenedion yang
dihasilkan akan diubah menjadi estrogen di perifer sehingga selain terjadi peningkatan androgen
juga terjadi peningkatan kadar estrogen. Peningkatan kadar androgen dalam sirkulasi akan

3|Page
menghambat produksi sex hormone binding globuline (SHBG) di hati sehingga kadar testosteron
bebas yang tidak terikat dengan SHBG akan meningkat. Berkurangnya SHBG juga mengakibatkan
peningkatan kadar estradiol bebas. Hal ini mengakibatkan inhibisi pelepasan FSH dari hipofisis
dan bahkan dapat meningkatkan pelepasan pulsatil GnRH. Berkurangnya produksi FSH akan
mengakibatkan berkurangnya aktivitas enzim aromatase pada sel granulosa sehingga hanya
sedikit androgen berlebih yang akan diubah menjadi estradiol sedangkan sisanya dilepas ke
dalam sirkulasi.5

Kadar FSH yang terus-menerus rendah tetapi tidak hilang sama sekali mengakibatkan
folikel-folikel baru terus terstimulasi untuk tumbuh tetapi tidak sampai matang dan mengalami
ovulasi. Walau tidak berkembang hingga matang, jangka hidup folikel-folikel tersebut
memanjang hingga berbulan-bulan dalam bentuk kista folikel multipel yang berukuran 2-10 mm
dan dikelilingi sel-sel teka hiperplastik yang mengalami luteinisasi sebagai respon peningkatan
kadar LH. Akumulasi jaringan folikuler dengan berbagai tahap perkembangan mengakibatkan
adanya produksi steroid yang meningkat dan relative konstan sebagai respon terhadap stimulasi
gonadotropin. Kondisi tersebut berlangsung terus-menerus.5,6

Gambar 1. Patofisiologi Sindrom Ovarium Polikistik6

Resistensi insulin yang mengakibatkan hiperinsulinemia umum dijumpai pada wanita-


wanita dengan SOPK walaupun wanita-wanita tersebut masih berusia muda. Lebih lanjut lagi,
hiperinsulinemia dapat berkembang menjadi hiperglikemia dan diabetes tipe 2 seiring perjalanan
waktu. Sekitar satu pertiga dari seluruh pasien SOPK mengalami toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan 7,5% hingga 10% menderita diabetes mellitus tipe 2. Nilai ini bahkan juga meningkat
pada wanita-wanita dengan SOPK yang non-obes (10% TGT;1,5% diabetes) jika dibandingkan
dengan populasi normal di AS (7,8% TGT; 1% diabetes). Peningkatan kadar insulin kadang
bermanifestasi sebagai akantosis nigrikans, suatu perubahan warna kulit menjadi cokelat
keabuan pada daerah leher, ketiak dan selangkangan. Beberapa laporan-laporan terbaru

4|Page
ternyata menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hiperandrogenisme dan resistensi
insulin: Kinerja insulin-like growth factor 1(IGF-1 )pada reseptornya ternyata akan meningkatkan
produksi androgen yang diinduksi LH. Karena adanya homologi antara insulin dan IGF-1, insulin
juga akan bekerja pada reseptor IGF-1sehingga meningkatkan sintesis androgen. Selain itu,
insulin juga bekerja mengurangi produksi IGF-1 binding globulin sehingga mengakibatkan
peningkatan kadar IGF-1 bebas serta menghambat produksi SHBG secara langsung. Penelitian
telah menujukkan bahwa kadar androgen dalam sirkulasi akan berkurang setelah pemberian
obat-obat penurun gula darah seperti diazoksid (hyperstat), metformin (Glucophage) ataupun
troglitazone (rezulin).5,6

Obesitas yang ditemui pada 50-80% wanita-wanita dengan SOPK berperan dalam
perubahan endokrin melalui beberapa cara: pertama, obesitas tipe android berperan pada
terjadinya resistensi insulin yang kemudian menyebabkan peningkatan androgen bebas. kedua,
obesitas juga dihubungkan dengan berkurangnya kadar SHBG serta peningkatan angka konversi
androgen menjadi estron di perifer.5,6

Temuan bahwa hiperandrogenemia, anovulasi dan ovarium polikistik bersifat familial


menunjukkan bahwa SOPK memiliki dasar genetik. Sekelompok pasien dengan kondisi ini
ditunjukkan mendapat kondisi tersebut melalui pewarisan terpaut-X dominan. Lebih lanjut lagi,
Terdapat suatu pewarisan paternal yang meningkatkan insidensi hirsutisme dan oligomenore
hingga 2 kali lipat tetapi dengan ekspresi fenotipe yang berbeda-beda. Di lain pihak, penelitian
pada keluarga-keluarga besar menunjukkan bahwa pewarisan SOPK kemungkinan bersifat
autosomal-dominan dengan fenotipe kebotakan-prematur pada anggota keluarga laki-laki.
Adanya hubungan kuat antara hiperinsulinemia dan hiperandrogenisme juga menunjukkan
bahwa efek stimulasi insulin pada produksi androgen oleh ovarium dipengaruhi oleh predisposisi
genetik.5

Manifestasi Klinis

Kriteria diagnostik yang dipakai untuk PCOS termasuk kejadian hiperandrogen,


oligoovulasi atau anovulation, dan atau polikistik ovari. Ada juga gejala dari segi dernatologis
seperti hirsutisme, acne, androgeni alopersia (kerontokan rambut). Yang lebih penting di asia dan
remaja jarang terjadi hirsutisme. Rata-rata 60% mengalami gejala unovulasi (amenore, infertil,
menorargi, oligomenore) dan 50-60% gejala obesitas ada namun hanya 30% yang mengalami
kejadian ini. Salah satu indikasi hiperandrogen kemungkin pada pada PCOS yaitu pubertas
prekok.7
Gejala dan keluhan PCOS disebabkan oleh adanya perubahan hormonal. Satu hormon
merupakan pemicu bagi hormon lainnya. Hal ini akan menimbulkan lingkaran setan dari suatu

5|Page
gangguan keseimbangan hormonal dalam sistem endokrin. Gangguan tersebut antara lain adalah
:
1. Hormon ovarium. Bila kadar hormon pemicu ovulasi tidak normal maka ovarium tidak
akan melepaskan sel telur setiap bulan. Pada beberapa penderita, dalam ovarium
terbentuk kista-kista kecil yang menghasilkan androgen.
2. Kadar androgen yang tinggi. Kadar androgen yang tinggi pada wanita menyebabkan
timbulnya jerawat dan pola pertumbuhan rambut seperti pria serta terhentinya ovulasi.
3. Kadar insulin dan gula darah yang meningkat. Sekitar 50% tubuh penderita PCOS
bermasalah dalam penggunaan insulin yaitu mengalami resistensi insulin. Bila tubuh tidak
dapat menggunakan insulin dengan baik maka kadar gula darah akan meningkat. Bila
keadaan ini tidak segera diatasi, maka dapat terjadi diabetes kelak dikemudian hari.

Gejala PCOS cenderung terjadi secara bertahap. Awal perubahan hormon yang
menyebabkan PCOS terjadi pada masa remaja setelah menarche. Gejala akan menjadi jelas
setelah berat badan meningkat pesat.7
Gejala yang diperlihatkan oleh penderita PCOS kadang-kadang tidak jelas

 Gejala PCOS awal:


1. Jarang atau tidak pernah mendapat haid. Setiap tahun rata-rata hanya terjadi kurang
dari 9 siklus haid ( siklus haid lebih dari 35 hari ). Beberapa penderita PCOS dapat
mengalami haid setiap bulan namun tidak selalu mengalami ovulasi.
2. Perdarahan haid tidak teratur atau berlebihan. Sekitar 30% penderita PCOS
memperlihatkan gejala ini.
3. Rambut kepala rontok dan rambut tubuh tumbuh secara berlebihan. Kerontokan
rambut dan pertumbuhan rambut berlebihan dimuka, dada, perut (hirsuitisme)
disebabkan oleh kadar androgen yang tinggi.
4. Pertumbuhan jerawat. Pertumbuhan jerawat disebabkan pula oleh kadar androgen
yang tinggi.
5. Depresi. Perubahan hormon dapat menyebabkan gangguan emosi.

6|Page
 Gejala PCOS lanjut
1. Berat badan meningkat atau obesitas terutama pada tubuh bagian atas (sekitar
abdomen dan pinggang). Gejala ini disebabkan oleh kenaikan kadar hormon androgen.
2. Kerontokan rambut dengan pola pria atau penipisan rambut kepala (alopesia). Gejala
ini disebabkan oleh kenaikan kadar hormon androgen.
3. Abortus berulang. Penyebab hal ini tidak diketahui dengan jelas. Abortus mungkin
berkaitan dengan tingginya kadar insulin, ovulasi yang terhambat atau masalah kualitas
sel telur atau masalah implantasi pada dinding uterus.
4. Sulit mendapatkan kehamilan (infertil) oleh karena tidak terjadi ovulasi.
5. Hiperinsulinemia dan resistensi insulin yang menyebabkan obesitas tubuh bagian atas,
perubahan kulit dibagian lengan, leher atau pelipatan paha dan daerah genital.
6. Masalah gangguan pernafasan saat tidur (mendengkur). Keadaan ini berhubungan
dengan obesitas dan resistensi insulin.
7. Nyeri panggul kronis (nyeri perut bagian bawah dan panggul)
8. Tekanan darah tinggi seringkali ditemukan pada penderita PCOS

Gambar 2. Manifestasi Klinis Sindrom Polikistik Ovarium

7|Page
Diagnosis

Tabel 1. Pemeriksaan Umum8


ANAMNESIS

- Penyakit endokrinologi
- Penyakit sistemik
- Kelainan anatomi
- Riwayat penyakit keluarga
- Galaktorea
- Virilisasi
- Infertilitas
- Terdapat 2 dari 3 temuan klinis berdasarkan
kriteria Rotterdam
- Riwayat haid: menarche, siklus, nyeri, volume haid
- Pernikahan
- Penggunaan kontrasepsi
- Riwayat keguguran
- Pekerjaan

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Laboratorium USG

 Tekanan darah  Resistensi insulin  Pemeriksaan USG


 IMT 25-30  Pemeriksaan TSH dilakukan pada kedua
(overwight) (gangguan fungsi tiroid), ovarium untuk menilai
IMT > 30 (obesitas) prolactin, 17- adanya ovarium
 Tanda resitensi hidroksiprogesteron polikistik (10 atau lebih
 insulin
h atau  Pemeriksaan gangguan folikel berdiameter 2-8
hiperandrogen metabolik (gula darah mm) dan atau volume
(jerawat, puasa dan uji toleransi ovarium ≥ 10 ml
hirsutisme, glukosa oral)  Penilaian luas ovarium
akantosis nirikans,  Kadar lipid (kolestrol dibadingkan dengan
alopesia) total, HDL, LDL, luas pemukaan struma
trigliserida)
 FSH, LH, AMH

8|Page
1. Anamnesis

Anamnesis harus difokuskan pada pola menstruasi, kehamilan sebelumnya (jika


ada), obat-obatan yang sedang dikonsumsi, konsumsi merokok, konsumsi alkohol, pola
makan, dan riwayat anggota keluarga dengan diabetes atau penyakit kardiovaskular.
Ketidakteraturan menstruasi (80%) terjadi segera setelah menarke, termasuk amenore
sekunder dan atau oligomenore.9
Pada 75% penderita SOPK mengalami infertilitas akibat anovulasi kronik, dan
beberapa ditemukan memiliki gejala sisa pada jangka panjang. Gejala sisa pada penderita
SOPK dapat berupa penyakit kardiovaskular dan dislipidemia, intoleransi glukosa atau
diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin (DM tipe 2), hiperplasia endometrium
atau adenokarsinoma akibat pajanan estrogen kronik pada uterus.9
2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita SOPK harus ditujukan pada tanda-tanda


hirsutisme yaitu kebotakan, jerawat (akne), klitoromegali (pembesaran klitoris), distribusi
rambut pada tubuh (muka, di atas bibir, dada, linea alba), pengecilan payudara, dan
tanda-tanda resistensi insulin (obesitas, distribusi lemak sentripetal, akantosis nigrikans).
Sedangkan pada pemeriksaan bimanual dapat juga ditemukan ovarium yang membesar.9

Gambar 3. Jenggot pada dagu wanita SOPK.9

Hirsutisme (70%) adalah suatu keadaan dimana ditemukan pola pertumbuhan


rambut pria (diatas bibir, dagu, dada, punggung) pada seorang wanita. Sedangkan
akantosis nigrikans adalah penanda dermatologis akibat resistensi insulin dan
hiperinsulinemia yang ditandai dengan perubahan warna kulit menjadi abu-abu
kecoklatan, halus, kadang-kadang seperti veruka pada leher, selangkangan dan aksila.
Oleh sebab itu, efek-efek ekstrem dari anovulasi kronik hiperandrogenik dari SOPK
disebut sebagai Sindrom HAIR-AN (hiperandrogenisme, resistensi insulin, dan akantosis
nigrikans).9

9|Page
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium seperti testosterone (T) atau
dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) bermanfaat untuk menunjukkan
hiperandrogenisme ovarium. Tumor yang mensekresi androgen pada ovarium atau
kelenjar adrenal juga selalu disertai dengan kadar androgen dalam sirkulasi yang
meningkat, tetapi tidak terdapat kadar absolut yang bersifat patognomonik untuk suatu
tumor atau kadar minimum yang dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor.
Kadar T yang tinggi selalu berasal dari ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar DHEAS
yang tinggi selalu berasal dari suprarenal (> 5-7ng/ml).9,10
Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat di lihat dari ringan beratnya pertumbuhan
rambut. Bila pertumbuhan rambut yang terlihat hanya sedikit saja (ringan), maka
kemungkinan besar penyebab tingginya androgen serum adalah akibat gangguan pada
ovarium yaitu berupa anovulasi kronik, sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang
mencolok, maka peningkatan androgen kemungkinan besar berasal dari kelenjar supra
renal yang dapat berupa hiperplasia, atau tumor.10
USG dan atau laparoskopi merupakan alat utama untuk diagnosis SOPK. Dengan
USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat. Pada USG terlihat gambaran seperti roda
pedati, atau folikel-folikel kecil berdiameter 7-10 mm. Baik dengan USG, maupun dengan
laparoskopi, ke dua, atau salah satu ovarium pasti tampak membesar.10

Tabel 2. Perbandingan SOPK dari pemeriksaan USG

Cara USG Parameter USG Kriteria untuk OPK


Trans abdominal Volume ovarium >10 cm3
Folikel dengan ukuran 5-8 cm >5
Trans vaginal Volume ovarium >8 cm3
Folikel dgn ukuran >6 mm >11
Ukuran folikel rata-rata <4 mm
Stroma ovarium meningkat 50% atau >7,6 cm2

Wanita dengan SOPK menunjukkan kadar FSH, PRL (prolaktin), dan E (estrogen)
normal, sedangkan LH sedikit meningkat (rasio LH/FSH>3). LH yang tinggi ini akan
meningkatkan sintesis T di ovarium, dan membuat stroma ovarium menebal
(hipertikosis). Kadar T yang tinggi juga mengakibatkan folikel mengalami atresia.10

10 | P a g e
4. Penegakkan diagnosis
Diagnosis SOPK ditegakkan berdasarkan adanya kritera mayor dan kriteria minor.
Kriteria mayor meliputi: anovulasi kronik, hiperandrogenemia, tanda-tanda klinis dari
hiperandrogenisme, dan tidak ada penyebab lain (etiologi lain telah disingkirkan).
Sedangkan kriteria minor meliputi: resistensi insulin, onset saat permenarke pada
hirsutisme dan obesitas, adanya peningkatan rasio LH dan FSH, dan anovulasi intermiten
yang berhubungan dengan hiperandrogenemia (testosterone bebas, DHEAS).11
Diagnosis SOPK ditegakkan apabila ditemukan dua kriteria mayor yaitu anovulasi dan
hiperandrogenisme baik secara klinis ataupun laboratorium. Dimana keadaan ini tidak
ditemukan pada penyakit lain yang juga berhubungan dengan hiperandrogenisme
(seperti gangguan adrenal, neoplasma ovarium, dan sindrom cushing) atau anovulasi
(gangguan hipo atau hipergonadotropik, hiperprolaktinemia, dan penyakit tiroid). Jika
tidak ditemukan dua kriteria mayor atau klinis kurang mendukung, maka diagnosis dapat
ditegakkan dengan adanya kriteria minor yaitu rasio LH dan FSH yang meningkat, adanya
resistensi insulin, oligo-ovulasi, onset perimenarke pada hirsutisme dan obesitas, serta
adanya bukti SOPK pada pemeriksaan USG.11

Tabel 3. Kriteria Sindrom Polikistik Ovarium


NIH (1990) Rotterdam Kriteria (2003) AES (2006)
Semua tiga kriteria Dua dari tiga kriteria: Semua tiga hal berikut :
 Bukti klinis atau  Oligomenorre  Hiperandrogenisme
biokimia dan/atau anovulasi (klinis atau biokimia )
Hiperandrogen  Tanda klinis dari  Disfungsi ovarium
 Oligomenorre hiperandrogen (oligomenore atau
dan/atau  Polikistik ovarium anovulasi dan /atau
anovulasi morfologi ovarium
 Pengecualian dari polikistik)
gangguan lainnya  Pengecualian kelebihan
androgen lain atau
terkait gangguan
lainnya
PCOS dapat didiagnosis PCOS didominasi gangguan
hanya setelah kelebihan androgen .
mengesampingkan
gangguan yang terkait
(misalnya, resistensi
insulin yang parah,
androgen neoplasma,
sindrom Cushing,
hiperprolaktinemia dan
kelainan tiroid gen)

11 | P a g e
4. Algoritma untuk mendiagnosis PCOS. ACTH = adrenocroticotropin hormone; CAH
= congenital adrenal hyperplasia; DHEAS = dehydroepiandrosterone sulfate; 17-OHP = 17-
hydroxyprogesterone.11

12 | P a g e
Diagnosis Banding
1. Sindroma Cushing
Korteks adrenal memproduksi tiga kelas hormon tiroid yaitu glukokortikoid,
mineralokortikoid, dan steroid seks (androgen dan prekursor estrogen). Pada keadaan
tertentu dapat terjadi hiperfungsi kelenjar adrenal yang secara klinis terjadi peningkatan
pada hormon-hormon tersebut. Peningkatan glukortikod disertai dengan intoleransi
glukosa akan mengakibatkan peningkatan glukoneogenesis dan antagonis aksi insulin.
Sedangkan overproduksi prekursor steroid seks mengakibatkan wanita penderita
sindroma cushing mengalami hiperandrogenisme (hirsutisme, acne, oligomenore atau
amenore, dan berkurangnya rambut SCALP atau mengalami kebotakan).11,12

2. Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH)


Congenital adrenal hyperplasia merupakan suatu penyakit yang diturunkan secara resesif
autosomal dengan klinis hiperandrogenisme pada saat pubertas. Wanita dengan
hyperplasia adrenal congenital dapat mengalami virilisasi dan maskulinisasi pada usia 3-7
tahun. Pada 39% wanita dengan congenital adrenal hyperplasia mengalami gangguan
menstruasi, dengan hirsurtisme tanpa oligomenore, serta sebanyak 22% mengalami
peningkatan androgen sirkulasi tanpa manifestasi klinis.11

3. Androgen–producing Ovarian Neoplasms


Kejadian neoplasma ovarii yang memperoduksi androgen, misalnya pada tumor sel
granulosa lebih banyak ditemukan pada wanita postmenopause dibandingkan dengan
premenopause. Penyakit ini berhubungan dengan fungsi pembentukan estrogen dini
sehingga biasanya ditemukan dengan pubertas prekoks. Total abdominal hysterectomy
(TAH) dan bilateral salpingo–oophorectomy (BSO) merupakan terapi pilihan untuk
penyakit ini. Salah satu tumor penghasil androgenik lainnya adalah tumor stromal
sklerosing, yang biasanya ditemukan pada wanita usia kurang dari 30 tahun. Manifestasi
klinis pada penyakit ini tampak sebagai hiperandroglukosgenisme atau estrogen berlebih,
dan virilisasi atau maskulinisasi.1

13 | P a g e
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada PCOS diarahkan pada interupsi siklus anovulatorik kronik


hiperandrogenik yang terus berlanjut. Penurunan berat badan dapat mengurangi sekresi
androgen pada wanita obesitas yang mengalami hirsutisme dengan cara menurunkan
aromatisasi estrogen perifer dan menurunkan hiperinsulinemia.2,13

Olahraga secara teratur, konsumsi makanan sehat, serta menghentikan kebiasaan


merokok dan mengendalikan berat badan merupakan kunci utama pengobatan SOPK. Alternatif
pengobatan lainnya adalah dengan menggunakan obat untuk menyeimbangkan hormon. 2,13

Tidak terdapat pengobatan definitif untuk SOPK, namun pengendalian penyakit dapat
menurunkan resiko infertilitas, abortus, diabetes, penyakit jantung dan karsinoma uterus. 2,13

1. Penatalaksanaan Awal

Pengendalian dan penurunan berat badan


Dapat menurunkan resiko terjadinya diabetes, hipertensi dan hiperkolesterolemia.
Penurunan berat badan yang tidak terlalu drastis dapat mengatasi kadar androgen dan
kadar insulin serta infertiliti. Penurunan berat badan sebesar 5 – 7% dalam waktu 6 bulan
sudah dapat menurunkan kadar androgen sedemikian rupa sehingga ovulasi dan fertilitas
menjadi pulih pada 75% kasus SOPK. 4,13

Penurunan berat badan


Memperoleh berat badan yang ideal akan memperbaiki kesehatan penderita dan dapat
mengatasi masalah kesehatan jangka panjang. Meningkatkan aktivitas dan makan
makanan sehat merupakan kunci pengendalian berat badan.4,13

Olahraga
Penderita diharap untuk menjadikan olah raga teratur sebagai bagian penting dalam
kehidupannya. Berjalan kaki merupakan aktivitas yang paling baik dan sederhana yang
dapat dengan mudah dikerjakan. 4,13

Makanan sehat dan gizi seimbang


Terdiri dari kombinasi buah dan sayuran, produk makanan kecil berkalori rendah yang
dapat memuaskan nafsu makan dan menngatasi kebiasaan makan kecil. 4,13

14 | P a g e
Pertahankan berat badan yang sehat
Hentikan kebiasaan merokok

2. Terapi Medikamentosa

Pengobatan tergantung tujuan pasien. Beberapa pasien membutuhkan terapi kontrasepsi


hormonal, dimana yang lainnya membutuhkan induksi ovulasi. Kebanyakan pasien
dengan SOPK mencari pengobatan untuk hirsutisme dan infertilitasnya. Hirsutisme dapat
diobati dengan obat antiandrogen yang menurunkan kadar androgen tubuh. Infertilitas
pada SOPK sering berespon terhadap klomifen sitrat.2
a. Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral kombinasi menurunkan produksi adrenal dan androgen, dan
mengurangi pertumbuhan rambut dalam 2/3 pasien hirsutisme. Terapi dengan
kontrasepsi oral memiliki beberapa manfaat, antara lain:2
- Komponen progestin menekan LH, mengakibatkan penurunan produksi
androgen ovarium
- Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG, menghasilkan penurunan
testosteron bebas.
- Mengurangi kadar androgen sirkulasi.
- Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi dehidrotestosteron
pada kulit dengan menghambat 5α-reduktase.

Pasien dengan SOPK terjadi anovulasi yang kronis dimana endometriumnya


distimulasi hanya dengan estrogen. Hal ini menjadi hiperplasia endometrium dan
dapat terjadi karsinoma endometrium pada pasien SOPK dengan anovulasi yang
kronis. Banyak dari kasus seperti ini dapat dikembalikan dengan menggunakan
progesteron dosis tinggi, seperti megestrol asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan.5

Ketika kontrasepsi oral digunakan untuk mengobati hirsutisme, keseimbangan


harus dipertahankan antara penurunan kadar testosteron bebas dan
androgenisitas intrinsik dari progestin. Tiga progestin senyawa yang terdapat
dalam kontrasepsi oral (norgestrel, norethindrone, dan norethindrone asetat)
diyakini merupakan androgen dominan. Kontrasepsi oral yang berisi progestin
baru (desogestrel, gestodene, norgestimate, dan drospirenone) memiliki aktivitas
androgenik yang minimal. Terdapat bukti yang terbatas bahwa terdapat
perbedaan dalam hasil uji klinis yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaan ini
secara in vitro dari potensi androgenik.2

15 | P a g e
Medroksiprogesteron Asetat
Penggunaan medroksiprogesteron asetat secara oral atau intramuskuler telah
berhasil digunakan untuk pengobatan hirsutisme. Secara langsung mempengaruhi
axis hipofise-hypothalamus oleh menurunnya produksi GnRH dan pelepasan
gonadotropin, sehingga mengurangi produksi testosteron dan estrogen oleh
ovarium. Meskipun penurunan SHBG, kadar androgen total dan bebas berkurang
secara signifikan. Dosis oral yang direkomendasikan adalah 20-40 mg per hari
dalam dosis terbagi atau 150 mg diberikan intramuscular setiap 6 minggu sampai
3 bulan dalam bentuk depot. Pertumbuhan rambut berkurang sebanyak 95%
pasien. Efek samping dari pengobatan termasuk amenorea, hilangnya kepadatan
mineral tulang, depresi, retensi cairan, sakit kepala, disfungsi hepatik, dan
penambahan berat badan.2

Agonis Gonadotropin releasing Hormone (Gn-RH)


Penggunaan GnRH agonis memungkinkan diferensiasi androgen adrenal yang
dihasilkan oleh ovarium. Ini ditujukan untuk menekan kadar steroid ovarium pada
pasien SOPK. Pengobatan dengan leuprolid asetat yang diberikan intramuskular
setiap 28 hari mengurangi hirsutisme dan diameter rambut pada hirsutisme
idiopatik atau pada hirsutisme sekunder pada SOPK. Tingkat androgen ovarium
secara signifikan dan selektif ditekan. GnRH agonis dapat diberikan dengan dosis
tunggal, 3 mg pada hari ke 8 siklus haid, atau dengan dosis ganda setiap hari 0,25
mg mulai hari ke 7 siklus haid. Penambahan kontrasepsi oral atau terapi
penggantian estrogen untuk pengobatan agonis GnRH dapat mencegah keropos
tulang dan efek samping lainnya dari menopause, seperti hot flushes dan atrofi
genital. Supresi hirsutisme tidak menambah potensi dengan terapi penambahan
estrogen untuk pengobatan agonis GnRH.2

Ketokonazol
Ketokonazol, agen antijamur yang disetujui oleh US Food and Drug
Administration, menghambat kunci sitokrom steroidogenik. Diberikan pada dosis
rendah (200 mg/hari), dapat secara signifikan mengurangi tingkat
androstenedion, testosteron, dan testosteron bebas.2

Flutamid
Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak mempunyai
aktivitas progestasional, estrogenik, kortikoid, atau antigonadotropin. Pada
banyak studi, kadar perifer T dan T bebas tidak berubah, meskipun beberapa
dilaporkan modulasi produksi androgen. Flutamid mempunyai efikasi yang serupa

16 | P a g e
dengan spironolakton dan cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati
kanker prostat pada laki-laki. Obat ini digunakan secara umum dalam dosis 125-
250 mg dua kali sehari. Efek samping yang umum ialah kulit kering dan
meningkatkan nafsu makan. 2

Cyproterone Acetate
Cyproterone asetat adalah progestin sintetis poten yang memiliki sifat
antiandrogen kuat. Mekanisme utama cyproterone asetat ialah menginhibisi
secara kompetitif testosteron dan DHT pada tingkat reseptor androgen. Agen ini
juga menginduksi enzim hepatik dan dapat meningkatkan laju metabolisme
plasma clearance androgen. Formulasi Eropa dengan cyproterone ethinyl
estradiol plasma acetate mengurangi kadar testosteron dan androstenedion
secara signifikan, menekan gonadotropin, dan meningkatkan tingkat SHBG.
Cyproterone asetat juga menunjukkan aktivitas glukokortikoid ringan dan dapat
mengurangi tingkat DHEAS. Diberikan dalam rejimen berurutan terbalik
(cyproterone asetat 100 mg/hari pada hari ke-5 - 15, dan ethinyl estradiol 30-50
mg/hari pada siklus hari ke-5 - 26), jadwal siklus ini membuat perdarahan
menstruasi yang teratur, membuat kontrasepsi yang sangat baik, dan efektif
dalam pengobatan hirsutisme dan bahkan jerawat yang parah.2

Efek samping cyproterone asetat ialah kelelahan, meningkatnya berat badan,


penurunan libido, perdarahan tak teratur, mual, dan sakit kepala. Gejala ini terjadi
lebih jarang ketika ethinyl estradiol ditambahkan.2

b. Spironolactone
Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi pertumbuhan
rambut dengan menghambat aktivitas 5α-reduktase dan mengikat secara
kompetitif terhadap reseptor intraseluler dari DHT. Dosis pemberian
spironolakton adalah 2x50 mg/hari. Dosis yang lebih besar mengganggu aktivitas
sitokrom P-450, yang mengurangi jumlah total androgen sintesis dan sekresi. Efek
samping spironolakton ialah menstruasi yang ireguler, mual dan lemah dengan
dosis yang lebih tinggi. Disebabkan spironolakton merupakan diuretik hemat
kalium, wanita dengan hiperkalemia harus diobservasi dengan hati-hati atau
sebaiknya diberikan alternatif obat lainnya.2

c. Insulin Sensitizers
Karena hiperinsulinemia memainkan peran dalam SOPK terkait anovulasi,
pengobatan dengan insulin sensitizers dapat menggeser keseimbangan endokrin

17 | P a g e
terhadap ovulasi dan kehamilan, baik penggunaan sendiri atau dalam kombinasi
dengan modalitas pengobatan lain. Metformin direkomendasikan didalam
International Guidelines sebagai terapi utama untuk diabetes mellitus tipe 2
karena mempunyai profil yang baik dalam pengontrolan metabolism glukosa.
Akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan regimen dosis yang tetap sehingga
dianjurkan untuk disesuaikan secara individu dengan dasar efektifitas dan
toleransi dan tidak melebihi dosis maksimal yang direkomendasikan yaitu 2250 mg
untuk dewasa dan 2000 mg untuk anak-anak dalam sehari. Untuk meminimalisir
efek samping, terapi metformin dimulai pada dosis yang rendah yang diminum
saat makan, dan dosis ini ditingkatkan secara progresif. Pasien-pasien diberi
metformin 500 mg sekali/hari diminum saat makan besar, biasanya makan malam
selama 1 minggu kemudian ditingkatkan menjadi 2 kali/sehari, bersama sarapan
dan makan malam, selama 1 minggu kemudian dosis dinaikkan 500 mg saat
sarapan dan 1000 mg saat makan malam selama 1 minggu dan akhirnya dosis
ditingkatkan menjadi 1000 mg 2 kali/hari saat sarapan dan makan malam. Tidak
terdapat penelitian mengenai kisaran dosis metformin pada sindrom ovarium
polikistik, tapi penelitian kisaran dosis pada pasien diabetes menggunakan kadar
hemoglobin glikase sebagai pengukur outcome, menunjukkan bahwa dosis 2000
mg per hari sudah optimal.2

Dosis dan jangka waktu yang optimal untuk pemberian metformin pada penderita
SOPK dengan insulin resisten sampai sekarang belum ditemukan suatu konsensus.
Beberapa peneliti memberi pengobatan 4 sampai 8 minggu dengan dosis 500 mg
tiga kali sehari sebagai pengobatan awal sebelum diberikan clomiphene citrate,
tetapi banyak pasien yang merasa tidak nyaman dan sering menemukan efek
samping dengan pemberian 4 sampai 8 minggu tersebut, sehingga banyak yang
tidak melanjutkan pengobatan. Untuk mempersingkat waktu dan meningkatkan
kepatuhan dalam pengobatan, banyak peneliti mencoba pemberian metformin
yang lebih singkat. Hwu dkk memberikan metformin dengan dosis 500 mg tiga kali
sehari untuk 12 hari sebelum dimulai pengobatan dengan clomiphene citrate.
Pada penelitian tersebut ovulasi ditemukan pada 42.5% dibandingkan hanya
12.5% pada kelompok kontrol. Khorram dkk memberikan metformin 500 mg tiga
kali sehari dimulai dari hari pertama withdrawal bleeding (setelah pemberian
medroxy-progesterone acetate 10 mg perhari selama 10 hari) dan pemberian
clomiphene citrate pada hari ke lima sampai hari ke sembilan. Pada penelitian
tersebut ditemukan 44% dan 31% dibandingkan hanya 6.7% dan 0% pada
kelompok kontrol yang ovulasi dan keberhasilan untuk hamil.2

18 | P a g e
d. Clomiphene citrate
Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru aktivitas
antagonis estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas untuk induksi
ovulasi. Fungsi hipofise-hipotalamus-ovarium axis diperlukan untuk kerja klomifen
sitrat yang tepat. Lebih khusus lagi, clomiphene sitrat diperkirakan dapat mengikat
dan memblokir reseptor estrogen di hipotalamus untuk periode yang lama,
sehingga mengurangi umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium.
Blokade ini meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang anovulatoir.
Peningkatan kadar GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise
gonadotropin, yang memperbaiki perkembangan folikel ovarium. Clomiphene
citrate juga dapat mempengaruhi ovulasi melalui tindakan langsung pada hipofisis
atau ovarium. Sayangnya, efek antiestrogen clomiphene sitrat pada tingka
endometrium atau serviks memiliki efek yang merugikan pada kesuburan pada
sebagian kecil individu.2
Obat ini adalah suatu antagonis estrogen yang bekerja dengan mengadakan
penghambatan bersaing dengan estrogen terhadap hipotalamus sehingga efek
umpan balik estrogen ditiadakan. Dengan demikian hipotalamus akan melepaskan
LH-FSH-RH yang selanjutnya akan rnenyebabkan hipofisis anterior meningkatkan
sekresi FSH dan LH. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan dan pematangan
folikel serta ovulasi.2
Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari dengan dosis maksimal
perhari dapat ditingkatkan menjadi 200 mg. Penggunaan clomiphene sitrat untuk
induksi ovulasi memiliki hasil yang sangat baik. Bahkan, pada beberapa populasi,
80% hingga 85% wanita akan berovulasi dan 40% akan hamil.2

3. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus infertilitas akibat SOPK yang
tidak segera mengalami ovulasi setelah pemberian terapi medikamentosa. Melalui
pembedahan, fungsi ovarium di pulihkan dengan mengangkat sejumlah kista kecil.
Alternatif tindakan diantara lain:4

a. “Wedge Resection” yaitu mengangkat sebagian ovarium. Tindakan ini dilakukan


untuk membantu agar siklus haid menjadi teratur dan ovulasi berlangsung secara
normal. Tindakan ini sudah jarang dikerjakan oleh karena memiliki potensi
merusak ovarium dan menimbulkan jaringan parut.

19 | P a g e
b. “Laparoscopic ovarian drilling” merupakan tindakan pembedahan untuk memicu
terjadinya ovulasi pada penderita SOPK yang tidak segera mengalami ovulasi
setelah menurunkan berat badan dan memperoleh obat-obat pemicu ovulasi.
Pada tindakan ini dilakukan elektrokauter atau laser untuk merusak sebagian
ovarium. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa dengan tindakan ini
dilaporkan angka ovulasi sebesar 80% dan angka kehamilan sebesar 50%. Wanita
yang lebih muda dan dengan BMI dalam batas normal akan lebih memperoleh
manfaat melalui tindakan ini.

Pengobatan PCOS harus disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan suami


istri untuk memiliki anak atau tidak. Jika keluarga yang masih menginginkan anak
diberikan pemicu ovulasi, seperti klomifen sitrat, atau gonadotropin yang mengandung
FSH/LH atau LH saja. Klomifen sitrat meningkatkan aromatisasi T menjadi estradiol (E2),
dan E2 ini menekan sekresi LH. Gonadotropin dapat mengembalikan keseimbangan
FSH/LH. Hati-hati terjadi hiperstimulasi ovarium. Bila belum juga berhasil mendapatkan
anak, maka diberikan pil kontrasepsi, atau Gn-RH analog (agonis/antagonis) sampai
nisbah LH/FSH 1, dan baru kemudian diberikan induksi ovulasi. Dewasa ini tindakan
pembedahan reseksi baji tidak dilakukan lagi. Dengan berkembangnya laparoskopi, dapat
dilakukan drilling pada ovarium. Tujuannya untuk mengeluarkan cairan folikel yang
banyak mengandung T. Jumlah lubang lebih kurang 10 buah.10
Pada wanita yang sudah tidak menginginkan anak, maka dapat di berikan pil
kontrasepsi yang mengandung estrogen-progesteron sintetik. Pil kontrasepsi menekan
fungsi ovarium, sehingga produksi testosterone menurun. Selain itu, pil kontrasepsi
menekan sekresi LH, sehingga sintesis testosteron pun berhenti. Estrogen sintetik
memicu sintesis SHBG di hati, dan SHBG ini akan mengikat lebih banyak lagi testosteron
dalam darah.10
Pada wanita dengan hirsutismus yang tidak ingin memiliki anak lebih efektif
dengan pemberian anti androgen, seperti siprosteronasetat (SPA). SPA menghambat
kerja androgen langsung pada target organ. SPA yang termasuk jenis progesteron
alamiah, juga memiliki sifat glukokortikoid, sehingga dapat menghambat ACTH, dan
dengan sindirinya pula menekan produksi androgen di suprarenal. Bila belum tersedia
sediaan SPA, maka dapat di gunakan pil kontrasepsi yang mengandung SPA. Prognosis
pengobatan dengan SPA sangat tergantung dari 1) Wanita dengan kadar T yang tinggi,
memiliki respon yang baik; 2) Bila hirsutismus sudah berlangsung lama, prognosis jelek;
3) Wanita muda keberhasilannya lebih baik; 4) Rambut/bulu di daerah dada dan perut
memiliki respon baik; 5) SPA diberikan 1-2 tahun. Bila ternyata hirsustismus tetap juga
tidak hilang, maka perlu di pikirkan adanya kelainan kongenital adrenal. Dianjurkan untuk
pemeriksaan hormon 17 alfa hidroksiprogesteron. Kadar yang tinggi, menunjukkan

20 | P a g e
adanya defisiensi enzim 21 hidroksilase. Dewasa ini mulai di gunakan Gn-RH Analog
(agonis atau antagonis) untuk menekan fungsi ovarium.10

Komplikasi
Komplikasi utama yang dikhawatirkan pada penderita SOPK adalah terjadinya infertilitas.
Infertilitas merupakan suatu keadaan dimana pasangan suami istri tidak mampu menghasilkan
keturunan meskipun telah melakukan hubungan seksual yang teratur (2-3 kali seminggu) dan
tidak menggunakan kontrasepsi. Dengan adanya kelainan metabolik pada penderita SOPK yang
berupa resistensi insulin akibat obesitas dapat mengakibatkan terjadinya DM tipe 2, serta
penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner atau aterosklerosis, infark miokard, dan
infertilitas.11

Prognosis
SOPK meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular dan cerebrovaskular dengan adanya
hiperandrogenisme dan peningkatan apolipoprotein. Sebanyak 4% pasien dengan SOPK memiliki
resiko resistensi insulin sehingga meningkatkan resiko diabetes mellitus tipe 2 dengan
konsekuensi komplikasi kardiovaskular. Penderita SOPK juga beresiko mengalami karsinoma
endometrium.14

Kesimpulan

Sindrom ovarium polikistik didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang ditandai dengan
adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis disertai perubahan endokrin (seperti
hiperinsulinemia dan hiperandrogenemia) dan tidak disertai dengan kelainan pada kelenjar
adrenal maupun kelenjar hipofisis. Penyebab sindrom ini tidak jelas, akan tetai terdapat bukti
adanya kelainan genetik yang diwarisakn oleh ibu atau ayah, atau mungkin keduanya.. Diagnosis
SOPK ditegakkan berdasarkan adanya kritera mayor dan kriteria minor.
Kriteria mayor meliputi: anovulasi kronik, hiperandrogenemia, tanda-tanda klinis dari
hiperandrogenisme, dan tidak ada penyebab lain (etiologi lain telah disingkirkan). Sedangkan
kriteria minor meliputi: resistensi insulin, onset saat permenarke pada hirsutisme dan obesitas,
adanya peningkatan rasio LH dan FSH, dan anovulasi intermiten yang berhubungan dengan
hiperandrogenemia (testosterone bebas, DHEAS). Penatalaksanaan dilakukan dengan non
farmakologi seperti penurunan berat badan, olahraga, gizi seimbang dan farmakologi serta dapat
dilakukan pembedahan. Komplikasi utama yang dikhawatirkan pada penderita SOPK adalah
terjadinya infertilitas.

21 | P a g e
Daftar Pustaka

1. Baziad A. Sindom Ovarium Polikistik dan Penggunaan Analof GnRH. Av CDk-196/vol 39


no 8, tahun 2012.Availableat:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_196Sindrom%20Ovarium%20Polikistik%20dan
%20Penggunaan%20Analog%20GnRH.pdf
2. Maharani, L. Wiratsangka R. Sindrom Ovarium Polikistik: Permasalahan dan
Penatalaksanaannya. Available at: http://www.univmed.org/wp-
content/uploads/2011/02/Dr._Laksmi.pdf [diunduh tanggal 10 Agustus 2017]
3. Duarsa, M.A. 2004. Pendekatan Medisinalis Dan Bedah Pada Penanganan Sopk. (diunduh
tanggal 10 Agustus 2017). Dari URL : http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-
sciences/pendekatan-medisinalis-dan-bedah-pada-penanganan-sopk/mrdetail/914/
4. Hadibroto, B.R. Sindroma Ovarium Polikistik. Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream /123456789/15588/1/mkn-des2005-
%20%2811%29.pdfdiunduh tanggal 10 Agustus 2017]
5. Strong M.S. Hirsutism.In: Curtis M.G.,et.al.(Ed.). Glass’ Office Gynecology, 6th ed.
Stanford: Lippincott Williams and Wilkins. 2006; 9:203-19
6. Speroff Leon; Fritz, Marc A. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, 7th ed.
Stanford: Lippincott Williams and Wilikins. 2005; 12:471-92
7. Melissa Conrad Stöppler. William C. Shiel Jr. 2010. Polycystic Ovarian Syndrome. (diunduh
tanggal 10 Agustus 2017). Dari URL :
http://www.medicinenet.com/polycystic_ovary/article.htm
8. Hestiantoro A, Natadisastra R, Sumapraja K, Wliweko B, Pratama G, Situmorang H, dkk.
Best Practices on IMPERIAL. Jakarta: Sagung Seto; 2012. p: 43 – 55.
9. Wood R, Nelson L. The molecular phenotype of polycystic ovary syndrome (PCOS) theca
cells and new candidate PCOS genes defined by microarray analysis. 2013. J Biol Chem;
278:26380 – 26390.
10. POGI. Standar pelayanan medik obstetrik dan ginekologi: sindroma ovarium polikistik.
Jakarta: Perkumpulan obstetrik dan ginekologi indonesia; 2010. p: 271 – 280.
11. William, Lippincott., Wilkins. Berek & Novak's Gynecology: The Polycystic Ovary
Syndrome. Edisi 14. California: Johns Hopkins University School of Medicine; 2011. p: 256–
71.
12. Ganong, William F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. Jakarta : EGC; 2009. p: 378
13. Murfida, L. Terapi metformin pada sindrom ovarium polikistik. Available at:
http://digilib.unsri.ac.id/download/Terapi %20Metformin%20pada%20SOPK.pdf
[diunduh tanggal 10 Agustus 2017]
14. Hardiman P, Pillay C, Atiomo W. Polycystic ovary syndrome and endometrial carcinoma.
2012. Lance; 361 (9371):1810-2.

22 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai