Anda di halaman 1dari 10

TUNGAU

HASIL PENGAMATAN :

Gambar : Preparat Sarcoptes scabiei

PEMBAHAAN :

Serangga dan tungau / akarina kalau diperhatikan ternyata paling


banyak berasosiasi dengan kehidupan manusia, dan berbagai usaha telah dilakukan
untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Hal ini disebabkan oleh adanya
keragaman genetik yang dimiliki oleh serangga dan tungau, sehingga dapat
beradaptasi pada berbagai habitat alamiah maupun habitat buatan yang
dikembangkan oleh manusia. Sejak jaman dahulu manusia telah bersaing dengan
Arthropoda dalam mendapatkan makanan, ternyata manusia tidak selalu menang.
Tungau yang dalam bahasa Inggris disebut mites atau ticks, merupakan
salah satu hama yang mempunyai arti ekonomi yang cukup penting. Tungau /
akarina sangat melimpah dan terjadi pada beberapa habitat yang dapat hidup pada
berbagai jenis tanaman, bahan yang disimpan, dalam tanah, bahkan pada tubuh
manusia atau hewan.
Sebagian besar tungau berukuran sangat kecil, memiliki panjang
kurang dari 1 mm. Namun ada pula tungau besar yang dapat mencapai panjang
7.000 µm. Pada gnathosoma tungau terdapat epistoma, tritosternum (berfungsi
dalam transport cairan tubuh), palpus yang beruasruas, khelisera, corniculi,
hipostoma berseta yang masing-masing sangat beragam dalam hal bentuk dan
jumlah ruasnya tergantung pada kelompoknya. Khelisera pada tungau teradaptasi
untuk menusuk, menghisap atau mengunyah. Tubuh dilindungi oleh dorsal
shield/scutum. Tungau memiliki stigma (alat pertukaran O2 dan CO2) yang
letaknya bervariasi yaitu di punggung dorsal, antara pangkal kaki/ coxa 2 dan 3, di
sebelah coxa ke tiga atau diantara khelisera. Letak stigma menjadi kunci penting
untuk membedakan bangsa tungau.

Tungau terdapat pada hampir semua habitat. Beberapa tungau tidak


membahayakan, hidup pada bahan organik yang mati atau membusuk atau sebagai
predator invertebrata kecil lainnya. Sebagian lagi bersifat membahayakan karena
hidup sebagai parasit pada tumbuhan, hewan dan bahkan pada manusia (Dwibadra,
2008).

MORFOLOGI

Tungau merupakan binatang yang berukuran sangat kecil, yakni 250-


300 mikron berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata.
Tungau memiliki ciri umum memiliki tubuh tersegmentasi dengan segmen disusun
dalam dua tagmata: sebuah prosoma (cephalothorax) dan opisthosoma (perut).
Namun, hanya jejak-jejak samar segmentasi utama tetap di tungau, sedangkan
prosoma dan opisthosoma menyatu.
Tungau bernapas melalui tracheae, stigmata (lubang kecil pada kulit),
usus dan kulit. Kebanyakan tungau tidak memiliki mata. Mata pusat arachnida
selalu hilang, atau mereka menyatu menjadi satu mata.Panjang tungau dewasa
hanya 0,3-0,4 milimeter. Tungau memiliki tubuh semitransparan memanjang yang
terdiri dari dua segmen menyatu. Tungau memiliki delapan kakipendek, kaki yang
tersegmentasi melekat pada segmen tubuh pertama. Tubuh ditutupi dengan sisik
untuk penahan dirinya dalam folikel rambut, dan tungau memiliki pin (seperti
mulut) yaitu bagian untuk makan sel-sel kulit dan minyak (sebum) yang menumpuk
di folikel rambut. Tungau dapat meninggalkan folikel rambut dan perlahan-lahan
berjalan-jalan pada kulit, dengan kecepatan 8-16 mm per jam, terutama pada malam
hari, ketika mereka mencoba untuk menghindari cahaya.

Bagian tubuh

a. Gnatosoma
Gnatosoma terletak di bagian anterior tubuh merupakan alat mulut yang
terdiri atas kelisera dan pedipalpi. Pada gnatosoma terdapat stigmata,
peritrema dan alat sensori. Stigmata dan peritrema berfungsi sebagai alat
pernapasan. Kelisera berfungsi sebagai alat untuk menusuk, menghisap dan
mengunyah sedang pedipalpi berfungsi sebagai alat bantu makan.
b. Kapitulum
Gnatosoma merupakan bagian dari kapitulum
c. Podosoma
Terdapat empat pasang tungkai yang terletak pada podosoma.
d. Opistosoma
Opistosoma merupakan bagian posterior dari tubuh tungau yang terdiri dari
organ sekresi dan organ genital.
e. Idiosoma
Idiosoma pada tungau adalah podosoma dan opistosoma yang menyatu.
T1, T2, T3, T4 = tungkai ke-1 hingga ke-4
Beberapa jenis tungau :

A. Sarcoptes scabiei
Scabies atau kudis adalah penyakit kulit yang gatal dan menular pada
mamalia domestik maupun mamalia liar yang disebabkan oleh ektoparasit jenis
tungau (mite) Sarcoptes scabiei, dengan berbagai varietas seperti pada kambing
S scabiei var.caprae, pada domba S.scabiei var.ovis, pada kelinci S.scabiei
var.cuniculi pada anjing S scabiei var. canis, pada manusia S.scabiei var.hominis
dan pada babi S.scabiei var.suis. Meskipun antara mamalia satu dengan lainnya
berbeda varietas namon dimungkinkan terjadi penularan pada induk semang
lainnya (Wahyuti, 2009)
Menurut Subronto (2008), penyebab dari scabies pada umumnya adalah
tungau (mite) dari spesies Sarcoptes scabiei. Tungau sarcoptes bersifat parasitik,
dan mampu menyerang berbagai spesies ternak. Nomenklatur sarkoptes
didasarkan pada berbagai spesies hospes yang diserangnya. Tungau scabies pada
ternak kambing diketahui juga dari spesies Sarcoptes scabiei dari varietas
caprae.
Menurut Kelly (1977), klasifikasi selengkapnya dari tungau tersebut
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Acarina
Sub-ordo : Sarcoptiformes
Famili : Sarcoptidae
Genus : Sarcoptes
Spesies : Sarcoptes scabiei

Tungau Sarcoptic pada hewan piaraan pada dasarnya adalah sama


dengan pada manusia. Sebagian besar infestasinya adalah pada bagian tubuh
yang tidak ditumbuhi rambut atau bagian tubuh dengan rambut yang pendek.
Infeksi sekunder oleh bakteri umum terjadi dan menyebabkan gejala penyakit
menjadi lebih parah (Haryuningtyas, 2006).

Morfologi Tungau Scabies


Bentuk morfologi tungau Sarcoptes scabiei cenderung bulat atau oval.
Sedangkan ukurannya sangat bervariasi yaitu berkisar antara 380-270 µm untuk
tungau betina, dan 220- 170 µm untuk jantan. Sementara itu Soulsby (1982)
menyatakan tungau betina dapat mencapai ukuran 330-600 µm x 250-400 µm
sedangkan yang jantan 200-240 µm x 150-200 µm. Dengan demikian, dari
ukurannya dapat diketahui bahwa tungau betina cenderung memiliki ukuran
tubuh yang lebih besar dibanding dengan tungau jantan.
Lebih terperinci lagi, detail tungau betina menunjukkan adanya
sepasang setae tubuh yang vertikal, terletak di bagian anterodorsal. Pada sisi
mediodorsalnya terdapat sebuah plastron yang menyerupai keping, beberapa
baris melintang sisik segitiga dan tiga pasang setae yang panjang seperti pisau.
Anus terletak di daerah terminal, berbentuk celah longitudinal. Lubang
genitalnya sederhana terletak diantara pasangan kaki ketiga dan keempat.
Pasangan kaki kesatu dan kedua terdiri atas lima segmen dan sebuah alat
penghisap ambulacral.
Pasangan kaki ketiga dan keempat terdiri atas empat segmen dan
berakhir dengan setae yang kaku dan panjang. Palpi mempunyai tiga segmen
dan terdapat chelate chelicerae yang besar. Tungau jantan hampir sama dengan
betina, tetapi lebih kecil ukurannya. Tungau yang belum dewasa ditandai dengan
belum adanya alat penghisap ambulacral pada pasangan kaki keempat. Alat
genital berbentuk seperti lonceng dan memiliki sklerotisasi yang baik diantara
pasangan kaki keempat.
Secara morfologi Sarcoptes scabiei pada kambing dan kelinci tidak ada
perbedaan, yaitu ektoparasit yang berukuran kecil, bentuk bulat dengan garis
luar kasar. Tungau betina berukuran 330-600 µm x 250-400 µm dan jantan
berukuran 200-240 µm x 150-200 µm, mempunyai kaki pendek dan sepasang
kaki ketiga dan keempat tidak tampak dari dorsal tubuhnya. Sarcoptes dibedakan
dengan genus lain berdasar adanya leg sucker (pulvilus), dimana pada Sarcoptes
jantan dapat dijumpai adanya leg sucker pada kaki ke-1, 2 dan 4, sedang pada
yang betina dapat dijumpai pada kaki ke-1 dan 2 (Wahhyuti ,2009).

Siklus Hidup Tungau Scabies


Siklus hidup tungau berlangsung pada tubuh inang, terdiri atas beberapa
tahapan yaitu telur, larva, deutonimfa dan bentuk dewasa jantan atau betina.
Tungau jantan bertemu dengan tungau betina pada permukaan yang normal
dari epidermis kulit. Menurut Grant (1986) dan Luevine (1990), siklus hidup
Sarcoptes dimulai dari tungau betina dewasa, setelah dibuahi maka sarcoptes
akan mulai membuat lubang atau terowongan di bawah permukaan kulit untuk
meletakkan telurnya, sekaligus juga membuang kotorannya di terowongan
tersebut.
Panjang terowongan bisa mencapai 3 cm dan terbatas dalam lapisan
epidermis kulit. 4 - 5 hari kemudian mulai bertelur dan meletakkan 3 - 5 butir
telur per hari dalam terowongan tersebut sampai jumlahnya mencapai 40 - 50
telur. Tungau betina ini dapat mengeluarkan telur sebanyak 90 butir sepanjang
siklus hidupnya. Setelah meletakkan telur telurnya, tungau betina akan mati.
Umur tungau betina hanya mencapai tidak lebih dari 3 - 4 minggu. Sedangkan
tungau jantan mati setelah kopulasi.
Telur akan berada di terowongan antara 3 - 10 hari setelah itu menetas
menjadi larva berukuran 215 x 156 µm yang memiliki tiga pasang kaki. Larva
dapat tinggal dalam terowongan, atau bermigrasi ke luar pada daerah
sekitarnya untuk mencari makanan, kemudian kembali dan menggali kulit
lebih dalam untuk membuat tempat moulting (moulting pocket) menjadi tahap
nimfa. Nimfa memiliki empat pasang kaki namun organ kelaminnya belum
berkembang. Nimfa berukuran 220 x 195 µm. Setelah 2 - 3 hari larva akan
menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan atau betina dengan 4 pasang
kaki. Selanjutnya nimfa akan tumbuh menjadi parasit dewasa dalam kurun
waktu 2 minggu. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk
dewasa memerlukan waktu antara 8 - 12 hari. Siklus ini akan berulang kembali
sepanjang tungau tersebut masih hidup.
Siklus hidup Penuh dari tungau sejak fase telur sampai dengan tungau
dewasa penuh adalah 17 - 21 hari . Tungau mampu bertahan hidup di luar tubuh
inang 2-6 hari pada suhu ruangan, dan bisa bertahan hidup hingga 22 hari pada
lingkungan yang sedikit lembab

Siklus hidup tungau ini dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu
10 – 14 hari, tungau betina mampu hidup pada induk semang selama 30 hari.
Tungau betina masuk ke dalam kulit dengan membentuk lorong dan bertelur
sekitar 40 – 50 telur dalam bentuk kelompok-kelompok yaitu dua-dua atau
empatempat. Telur menetas menjadi larva setelah 5053 jam. Sebagian larva
keluar dari lorong, sebagian lagi berkembang menjadi protonymfa selama 3 –
5 hari kemudian menjadi tritonympha setelah 2 – 3 hari pada stratum korneum.
Perkembangan terakhir menjadi tungau dewasa memerlukan waktu tiga sampai
enam hari.

Stadium yang bertanggungjawab terhadap transmisi adalah stadium


dewasa muda. Betina dewasa yang baru saja difertilisasi akan berjalan-jalan di
permukaan kulit sebelum membuat liang dan kemungkinan besar penularan
dari satu hewan ke hewan yang lain terjadi pada stadium ini. Infeksi mudah
menyebar karena kontak dengan hewan yang terinfeksi atau melalui alat-alat
kandang yang terkontaminasi (Haryuningtyas, 2006).
B. Dermatophagoides
Satu di antara penyebab alergi dan asma adalah bahan pencetus alergi
atau alergen yang terdapat pada debu. Alergen itu berasal dari mahluk hidup
yang keberadaannya bersama debu dan tergolong ke dalam jenis tungau (mite),
yaitu Dermatophagoides (famili Pyroglyphidae, kelas Arachnida).
Ada sekitar 16 genus dan 46 spesies dari tungau debu. Yang paling
sering sering ditemukan adalah dari famili Pyroglyphidae, empat di antaranya
memiliki hubungan yang erat dengan kejadian alergi: D. pteronyssinus, D.
farinae, D. microceras, dan E. maynei.
Tungau debu rumah ditemukan terutama di tempat tidur, karpet, lantai.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tungau debu rumah paling banyak
ditemukan di ruang tidur (Pronggalunggu, 2015).

Secara ilmiah, taksonomi dan klasifikasi tungau debu adalah sebagai


berikut: Superkingdom : Eukaryota

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa

Filum : Arthropoda

Subfilum : Chelicerata

Kelas : Arachnida

Ordo : Acariformes

Subordo : Astigmata

Famili : Pyroglyphidae

Genus : Dermatophagoides

Spesies : Dermatophagoides pteronyssinus

Dermatophagoides farinae
Bentuk Tungau Debu Dermatophagoides.

Tungau debu berukuran sangat kecil, sehingga tidak dapat dideteksi


dengan mata telanjang. Tungau jantan panjangnya 370-430 mikron dan yang
betina 300-350 mikron. Larva tungau mempunyai tiga pasang kaki,
sedangkan yang dewasa mempunyai empat pasang, pasangan kaki pertama
lebih tebal dari pasangan kaki yang lain, sehingga tampak seperti kepiting.
Kaki ketiga lebih panjang 1,5 kali panjang kaki keempat dan langsing
terkulai. Tubuhnya dilengkapi sepasang seta panjang di dorsal dan 2 pasang
rambut panjang di lateral (tidak berasal dari keping). Bagian ventralnya
dilengkapi seminal reseptakel yang meluas dan berbentuk seperti bunga daisy
atau matahari dan ujung distal (bursa kopulatriks) sedikit mengalami
sklerotisasi.

Gambar : Dermatophagoides farinae (Peranan Alergen Tungau Debu Rumah,


Natalia, 2015)

Daur Hidup Tungau Dermatophagoides

Secara umum semua spesies tungau debu memiliki daur hidup yang
mirip dengan tungau lainnya. Tungau debu bersifat ovipara. Siklus tungau
debu dimulai dari telur, larva, protonimfa, tritonimfa dan dewasa. Siklus
hidup ini sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban, dan suhu optimsl
bsgi pertumbuhan tungau adalah 25 – 30 derajat celcius pada kelembaban 70
– 80 persen.
Waktu yang diperlukan perkembangan kedua spesies dari periode telur
hingga dewasa adalah rata-rata 35 hari, tetapi yang betina lebih panjang yaitu
sekitar 70 hari. Makin tinggi suhu periode siklus hidup akan semakin cepat,
sebaliknya makin rendah suhu peride siklus hidup makin lambat. Adapun
periode bertelur D. farinae berlangsung selama 30 hari, dan mampu
memproduksi sekitar satu telur per hari, sedangkan D. pteronyssinus mampu
bertelur sekitar 80 -120 telur selama periode 45-hari

Daftar Pustaka

Dwibadra, Dhian. 2008. Tungau, Caplak, Kutu, dan Pinjal. Fauna Indonesia 8 (2)
: 29-30

Haryuningtyas, Dyah., R.Z.Ahmad, Beriajaya, J.Manurung. 2006. UJI DAYA


HIDUP TUNGAU Sarcoptes scabiei PADA BERBAGAI MACAM
SERUM. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : 1026-
1027.

Pronggalunggu, Wiska.F., V.D.Pijoh, G.J.P.Wahongan. 2015. JENIS DAN


KEPADATAN TUNGAU DEBU RUMAH PADA BEBERAPA
HABITAT DI RUMAH PENDERITA PENYAKIT ALERGI. Jurnal e-
Biomedik (eBm) 3 (1) : 255

Wahyuti, Ririen Ngesti., N.D.Retno, E. Suprihati. 2009. IDENTIFIKASI


MORFOLOGI DAN PROFIL PROTEIN TUNGAU SARCOPTES
SCABIEI PADA KAMBING DAN KELINCI. J. Penelit. Med. Eksakta
8 (2) : 94-95

Anda mungkin juga menyukai