Inilah jalan penghidup keyakinan syari'at, thariqat, haqiqat menuju kemuliaan dengarlah yang
tersirat dalam gambaran yang tersurat dalam bisikan.
Selasa, 00 0000
Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan
ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara
bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan
salah satu dari tiga jalan ini.
Haqiqat tanpa syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat dimisalkan di
sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan
menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya?
Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun
tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk
neraka, walaupun mendirikan shalat.
Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari'at.
Sedangkan syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga.
Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari'at sama
saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah
peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah
pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari'at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami
apa yang tersirat dan tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.
Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama
yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT.
Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang artinya: "Hanya kepada Engkau
(Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-
5).
Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba melepaskan
dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua kemampuan dari perbuatan yang
ada padanya, hanya akan terlaksana dengan pertolongan Allah semata.
Pada dasarnya kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan
meninggalkan larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya itulah yang akan
menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk surga. Atau ia beranggapan
tanpa amal ia akan masuk neraka, atau beranggapan hanya dengan amal ia akan masuk surga.
Sebenarnya ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata untuk
melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti firman Allah: "Fa'budillâh
Mukhlishan Lahuddîn".
Apabila Allah Ta'ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah merupakan karunia
Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka itu semua merupakan keadilan Allah jua,
yang tidak perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya.
Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau tidak dari
suatu amal perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal perbuatan atau tidak beramal.
Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang
sungguh-sungguh, ia akan masuk surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang yang
beranggapan bahwa dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia akan masuk
surga, maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua
adalah muta' anni.
Pernah dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia telah beribadah selama
tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon kepada Allah agar dia ditetapkan berada bersama-
sama para malaikat. Maka Allah SWT, mengutus malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa
dengan ibadahnya yang sekian lama itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga. Laki-laki ini
mengatakan pula kepada malaikat itu setelah mendengar berita dari Allah SWT. "Kami diciptakan
Allah di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban
beribadah (tunduk) kepada-Nya."
Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut, ia
berkata: "Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki laki tersebut." Allah
SWT pun berfirman. "Jika ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan
karunia dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu,
sesungguhnya Aku telah mengampuninya".
Syari'at
Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat
dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal,
“Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam Malik
berkata, “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang
berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya
[syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.”
Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk
dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis
dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang
merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Qur’an menjelaskan aturan
pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman
kedua yang dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-
simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.
Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling
memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman
dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-
hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad,
menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan
zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang.
Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan
Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.
Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat
sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga
hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian
Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku
shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat
kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara.
Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam
agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan
cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang
wajah Allah SWT.
Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho
haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat
yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku
termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau
gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk
orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain,
tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-
wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada
bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan
Tuhannya.
Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan.
Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi
pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut
dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir.
Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan
Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan
Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-
orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib
kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.
Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode
yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban
agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak
mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul
berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.
Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya
disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru
sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang
ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang
dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu
tak pernah muncul.
Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat
dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat
dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka
pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya
lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman
Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu
tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa
mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana
mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan
perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya,
kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.
Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu
yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa
dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat.
Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas
bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.
Tulisan ini saya tulis dalam perjalanan ziarah ke Maqam Guru saya tercinta, teringat pesan-pesan
Beliau akan pentingnya ilmu Tarekat sebagai penyempurnaan Syariat agar mencapai Hakikat dan
Makrifat. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan dan memberikan manfaat untuk kita
semua. Amin!
APA ITU SYARI’AH, TAREKAT, HAKIKAT DAN MAKRIFAT
Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan
antara Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, apakah itu sebuah kajian
akademik ataukah sebuah dogma.
Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah
seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan
panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan
dunia ini. Sumber syariat adalah Al-Qur’an, As-Sunnah.
Tarekat (Bahasa Arab: طططرق, transliterasi: Tariqah) berarti “jalan” atau “metode”, dan
mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/ mistisme Islam. Di zaman sekarang
ini, tarekat merupakan jalan (pengajian) yang mengajak ke jalan Ilahiyah dengan cara suluk
(taqarrub) yang biasanya dilakukan oleh salik.
Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada.
Yang berasal dari kata hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran).
kata Haq, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah,
sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu
semuanya disebut batil (yang tidak benar).
Makrifat berarti pengetahuan yang hakiki tentang Ilahiyah. Dengan orang menjalankan
Syari’at, masuk Tarekat, kemudian ber-Hakikat untuk mendapatkan Makrifatullah sehingga
menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri setiap detik hanya ke Allah.
Lantas bagaimana jalannya
Seharusnya orang yang mengaku ber-Tarekat, ber-Hakikat dan ber-Makrifat harus berada didalam
Syari’at. seharusnya perjalan spritual berasal dari Makrifat yang berarti berpengetahuan meluas
dalam memahami Islam baik dalam Al-Qur’an, Hadis, Usul Fiqih, Balaghoh, ‘Ard, dan Bahasa.
Dengan keluasan makrifat orang akan mendapat Hakikat Ilahiyah yang melahirkan gerakan tarekat
dan berujung pada inti Islam yang tidak lain Syari’at.
Perjalan Nabi Muhammad Saw dimulai dari ma’rifat, tarekat, hakikat dan akhirnya sampai pada
syariat. Makrifat adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat
Muhammad saw bertemu jibril, hakikat saat dia mencoba untuk merenungkan berbagai perintah
untuk iqra, tarekat saat muhammad saw berjuang untuk menegakkan jalannya dan syariat adalah
saat muhammad saw mendapat perintah untuk sholat saat isra mikraj yang merupakan puncak
pendakian tertinggi yang harus dilaksanakan oleh umat muslim. Munculnya istilah Tarekat,
Hakikat, dan Makrifat dalam akademisi kajian Islam jauh setelah wafatnya Rasulullah Saw sekitar
abad 5 Hijriyah. Sekitar zaman Hujjatul Islam Syeh Imam Al-Ghazaly Asy-Syafi’i yang menyendiri
dari kajian ilmiyah (falsafah) setelah menulis Tahafut al-Falasifah. Kemuadian Al-Ghazali menjadi
Sufi Sejati dengan menulis kitab sufi Ihya Ulumuddin. kemudian dunia Islam Timur Tengah
tenggelam dalam sufi. Dan kemajuan Islam hanya di daerah Mongol, Turki, dan Spanyol yang
diprakarsai Ibn Rusdi.
Tidak seharusnya seorang muslim sejati mengkotak-kotakan ini Syari’ah, ini Tarekat, ini Hakekat,
ini Makrifat, karena yang berkata demikian hanyalah orang yang tidak banyak mengetahui ke-
ilmuan Islam secara holistik.
RAHASIA MAKRIFAT
Sangat sulit menjelaskan hakikat dan makrifat kepada orang-orang yang mempelajari agama hanya
pada tataran Syariat saja, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist akan tetapi tidak memiliki ruh
dari pada Al-Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat dari Al-Qur’an itu adalah Nur Allah yang tidak
berhuruf dan tidak bersuara, dengan Nur itulah Rasulullah SAW memperoleh pengetahuan yang
luar biasa dari Allah SWT. Hapalan tetap lah hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya
rendah tidak adakan mampu menjangkau hakikat Allah, otak itu baharu sedangkan Allah itu adalah
Qadim sudah pasti Baharu tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma belajar dari dalil dan
mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah dengan dalil yang anda miliki maka PASTI anda tidak
akan sampai kehadirat-Nya.
Ketika anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran dengan ucapan orang-orang
yang sudah bermakrifat, bisa berjumpa dengan Malaikat, berjumpa dengan Rasulullah SAW dan
melihat Allah SWT, dan anda menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah pasti anda
mengumpulkan lagi puluhan bahkan ratusan dalil untuk membantah ucapan para ahli makrifat
tersebut dengan dalil yang menurut anda sudah benar, padahal kadangkala dalil yang anda berikan
justru sangat mendukung ucapan para Ahli Makrifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh
hawa nafsu, dalam Al-Qur’an disebuat Khatamallahu ‘ala Qulubihim (Tertutup mata hati mereka)
itulah hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan.
Rasulullah SAW menggambarkan Ilmu hakikat dan makrifat itu sebagai “Haiatul Maknun” artinya
“Perhiasan yang sangat indah”. Sebagaimana hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan
yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seoranpun mengetahui kecuali para Ulama Allah.
Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa
lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy).
Di dalam hadist ini jelas ditegaskan menurut kata Nabi bahwa ada sebagian ilmu yang tidak
diketahui oleh siapapun kecuali para Ulama Allah yakni Ulama yang selalu Zikir kepada Allah
dengan segala konsekwensinya. Ilmu tersebut sangat indah laksana perhiasan dan tersimpan rapi
yakni ilmu Thariqat yang didalamnya terdapat amalan-amalan seperti Ilmu Latahif dan lain-lain.
Masih ingat kita cerita nabi Musa dengan nabi Khidir yang pada akhir perjumpaan mereka
membangun sebuah rumah untuk anak yatim piatu untuk menjaga harta berupa emas yang
tersimpan dalam rumah, kalau rumah tersebut dibiarkan ambruk maka emasnya akan dicuri oleh
perampok, harta tersebut tidak lain adalah ilmu hakikat dan makrifat yang sangat tinggi nilainya dan
rumah yang dimaksud adalah ilmu syariat yang harus tetap dijaga untuk membentengi agar tidak
jatuh ketangan yang tidak berhak.
Semakin tegas lagi pengertian di atas dengan adanya hadist nabi yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah sebagai berikut : “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu
yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang
kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu
yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian
memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani).
Hadist di atas sangat jelas jadi tidak perlu diuraikan lagi, dengan demikian barulah kita sadar
kenapa banyak orang yang tidak senang dengan Ilmu Thariqat? Karena ilmu itu memang amat
rahasia, sahabat nabi saja tidak diizinkan untuk disampaikan secara umum, karena ilmu itu harus
diturunkan dan mendapat izin dari Nabi, dari nabi izin itu diteruskan kepada Khalifah nya terus
kepada para Aulia Allah sampai saat sekarang ini.
Jika ilmu Hai’atil Maknun itu disebarkan kepada orang yang belum berbait zikir atau “disucikan”
sebagaimana telah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ala, orang-orang yang cuma Ahli Syariat
semata-mata, maka sudah barang tentu akan timbul anggapan bahwa ilmu jenis kedua ini yakni
Ilmu Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat adalah Bid’ah dlolalah.
Dan mereka ini mempunyai I’tikqat bahwa ilmu yang kedua tersebut jelas diingkari oleh syara’.
Padahal tidak demikian, bahwa hakekat ilmu yang kedua itu tadi justru merupakan intisari daripada
ilmu yang pertama artinya ilmu Thariqat itu intisari dari Ilmu Syari’at.
Oleh karena itu jika anda ingin mengerti Thariqat, Hakekat dan Ma’rifat secara mendalam maka
sebaiknya anda berbai’at saja terlebih dahulu dengan Guru Mursyid (Khalifah) yang ahli dan diberi
izin dengan taslim dan tafwidh dan ridho. Jadi tidak cukup hanya melihat tulisan buku-buku lalu
mengingkari bahkan mungkin mudah timbul prasangka jelek terhadap ahli thariqat.
Dalam setiap peristiwa yang mewarnai kehidupan ini, seringkali kita tidak mampu atau tidak mau
menangkap kehadiran Allah dengan segala sifat-sifatNya. Padahal sifat-sifat Allah sangat terkait
erat dengan ayat-ayat kauniyahNya yang terhampar di atas muka bumiNya. Betapa Allah –melalui
ayat-ayat kauniyahNya- memang ingin menunjukkan keMaha KuasaanNya dan keMaha
BesaranNya agar hamba-hambaNya senantiasa mawas diri, waspada dan berhati-hati dalam
bertindak dan berprilaku agar tidak mengundang turunnya sifat JalilahNya yang tidak akan mampu
dibendung, apalagi dilawan oleh siapapun, dengan upaya dan sarana kekuatan apapun tanpa
terkecuali, karena memang Allahlah satu-satunya pemilik kekuatan dan kekuasaan terhadap seluruh
makhlukNya.
Berdasarkan pembacaan terhadap ayat-ayat Al Qur’an secara berurutan, terdapat paling tidak empat
ayat yang menyebut sifat-sifat Jamilah dan Jalilah Allah secara berdampingan, yaitu: pertama, surah
Al-Ma’idah [5]: 98, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. kedua, akhir surah Al-An’am [6]:
165, “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. ketiga, surah Ar-Ra’d [13]: 6, “Mereka meminta
kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal
telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka.Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zalim, dan sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar sangat keras siksanya”. Dan keempat, surah Al-Hijr [15]: 49-50,
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih”.
Pada masing-masing ayat di atas, Allah menampilkan DiriNya dengan dua sifat yang saling
berlawanan; Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang yang merupakan esensi dari sifat
JamilahNya, namun pada masa yang sama ditegaskan juga bahwa Allah amat keras dan pedih
siksaanNya yang merupakan cermin dari sifat JalilahNya. Menurut Ibnu Abbas r.a, seorang tokoh
terkemuka tafsir dari kalangan sahabat, ayat-ayat tersebut merupakan ayat Al Qur’an yang sangat
diharapkan oleh seluruh hamba Allah s.w.t. (Arja’ Ayatin fi KitabiLlah). Karena –menurut Ibnu
Katsir- ayat-ayat ini akan melahirkan dua sikap yang benar secara seimbang dari hamba-hamba
Allah yang beriman, yaitu sikap harap terhadap sifat-sifat Jamilah Allah dan sikap cemas serta
khawatir akan ditimpa sifat Jalilah Allah (Ar-Raja’ wal Khauf). Sementara Imam Al-Qurthubi
memahami ayat tentang sifat-sifat Allah swt semakna dengan hadits Rasulullah s.a.w. yang
menegaskan, “Sekiranya seorang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah dari ancaman
adzabNya, maka tidak ada seorangpun yang sangat berharap akan mendapat surgaNya. Dan
sekiranya seorang kafir mengetahui apa yang ada di sisi Allah dari rahmatNya, maka tidak ada
seorangpun yang berputus asa dari rahmatNya”. ( HR. Muslim) Dalam konteks ini, Syekh
Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, seorang tokoh tafsir berkebangsaan Mesir mengelompokkan
sifat-sifat Allah yang banyak disebutkan oleh Al Qur’an kedalam dua kategori, yaitu Sifat-sifat
Jamilah dan Sifat-sifat Jalilah. Kedua sifat itu selalu disebutkan secara beriringan dan
berdampingan. Tidak disebut sifat-sifat Jamilah Allah, melainkan akan disebut setelahnya sifat-sifat
JalilahNya. Begitupula sebaliknya. Dan memang begitulah Sunnatul Qur’an selalu menyebutkan
segala sesuatu secara berlawanan; antara surga dan neraka, kelompok yang dzalim dan kelompok
yang baik, kebenaran dan kebathilan dan lain sebagainya. Semuanya merupakan sebuah pilihan
yang berada di tangan manusia, karena manusia telah dianugerahi oleh Allah kemampuan untuk
memilih, tentu dengan konsekuensi dan pertanggung jawaban masing-masing. “Bukankah Kami
telah memberikan kepada (manusia) dua buah mata,. lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan; petunjuk dan kesesatan”. (QS. Al-Balad: 8-10)
Sifat Jalilah yang dimaksudkan oleh beliau adalah sifat-sifat yang menunjukkan kekuasaan,
kehebatan, cepatnya perhitungan Allah dan kerasnya ancaman serta adzab Allah swt yang akan
melahirkan sifat Al-Khauf (rasa takut, khawatir) pada diri hamba-hambaNya. Manakala Sifat
Jamilah adalah sifat-sifat yang menampilkan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyayang,
Pengampun, Pemberi Rizki dan sifat-sifat lainnya yang memang sangat dinanti-nantikan
kehadirannya oleh setiap hamba Allah swt tanpa terkecuali. Dan jika dibuat perbandingan antara
kedua sifat tersebut, maka sifat jamilah Allah jelas lebih banyak dan dominan dibanding sifat
jalilahNya.
Pada tataran Implementasinya, pemahaman yang benar terhadap kedua sifat Allah tersebut bisa
ditemukan dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. Anas
menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah bertakziah kepada seseorang yang akan meninggal dunia.
Ketika Rasulullah bertanya kepada orang itu, “Bagaimana kamu mendapatkan dirimu sekarang?”, ia
menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan cemas”. Mendengar jawaban laki-laki itu, Rasulullah
bersabda, ‘Tidaklah berkumpul dalam diri seseorang dua perasaan ini, melainkan Allah akan
memberikan apa yang dia harapkan dan menenangkannya dari apa yang ia cemaskan”. (HR. At
Tirmidzi dan Nasa’i).
Sahabat Abdullah bin Umar ra seperti dinukil oleh Ibnu Katsir memberikan kesaksian bahwa orang
yang dimaksud oleh ayat-ayat di atas adalah Utsman bin Affan ra. Kesaksian Ibnu Umar tersebut
terbukti dari pribadi Utsman bahwa ia termasuk sahabat yang paling banyak bacaan Al Qur’an dan
sholat malamnya. Sampai Abu Ubaidah meriwayatkan bahwa Utsman terkadang mengkhatamkan
bacaan Al Qur’an dalam satu rakaat dari sholat malamnya. Sungguh satu tingkat kewaspadaan
hamba Allah yang tertinggi bahwa ia senantiasa khawatir dan cemas akan murka dan ancaman
adzab Allah swt dengan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian kepadaNya.
Disamping tetap mengharapkan rahmat Allah melalui amal sholehnya.
Betapa peringatan dan cobaan Allah justru datang saat kita lalai, saat kita terpesona dengan tarikan
dunia dan saat kita tidak menghiraukan ajaran-ajaranNya, agar kita semakin menyadari akan
keberadaan sifat-sifat Allah yang Jalillah maupun yang Jamilah untuk selanjutnya perasaan harap
dan cemas itu terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Boleh jadi saat ini Allah masih
berkenan hadir dengan sifat JamilahNya dalam kehidupan kita karena kasih sayangNya yang besar,
namun tidak tertutup kemungkinan karena dosa dan kemaksiatan yang selalu mendominasi perilaku
kita maka yang akan hadir justru sifat JalilahNya. Na’udzu biLlah. Memang hanya orang-orang
yang selalu waspada yang mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa yang
terjadi. Saatnya kita lebih mawas diri dan meningkatkan kewaspadaan dalam segala bentuknya agar
terhindar dari sifat Jalilah Allah swt dan senatiasa meraih sifat jamilahNya. Dan itulah tipologi
manusia yang dipuji oleh Allah dalam firmanNya yang bermaksud, “(Apakah kamu hai orang
musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud
dan berdiri, sedang ia senantiasa cemas dan khawatir akan (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS.
Az-Zumar [39]: 9)
Semoga kasih sayang Allah yang merupakan cermin dari sifat JamilahNya senantiasa mewarnai
kehidupan ini dan menjadikannya sarat dengan kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan lahir
dan bathin. Dan pada masa yang sama, Allah berkenan menjauhkan bangsa ini dari sifat JalilahNya
yang tidak mungkin dapat dibendung dengan kekuatan apapun karena memang mayoritas umat ini
mampu merealisasikan nilai iman dan takwa dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Dzikir Syariat-Tarekat-Hakikat-Ma’rifat
Diposkan oleh Edwin Engelen.
15 Votes
BAB I
Tema pada saat ini yg saya mau uraikan adalah SANGAT2 RAHASIA, Beruntunglah,
Berbahagialah & Bersyukurlah kpd ALLAH SWT, Karena penjelasannya TIDAK ADA DI
BUKU2 LAINNYA, Dan ilmu2 AgamaNYA ALLAH SWT tidak gampang ditemukan & tidak
sebanding dengan harta & Material yang ada di muka bumi ini, maka tunduk sujud
syukurlah KepadaNYA semoga penjelasan ini menjadi HIDAYAH bagi anda,……..AMIN
ini adalah kekuatan cahaya Dzikir yg ada pada diri manusia dgn 4 tingkatan ingatan fokus
pada ALLAH SWT Sang Maha Bercahaya.
Makin dalam & fana (hampa) suatu fokus dzikir maka makin terlenalah Sang Hamba oleh
fenomena kegaiban alam Nur Ilahiah. karena jika ingin mengenali ALLAH pahamilah
tentang Gaib sesungguhnya ALLAH pun sifatNYA GAIB & Perkenalanmu KepadaNYA
Takkkan habis sampai seumur hidupmu di dunia ini.
Seorang Hamba terkadang tidak menyadari bahwa ia sebenarnya masih di dunia sehingga
menerawang melintasi alam kegaiban nur Ilahiah yang tak ada batas akhirnya
membutuhkan power energi cahaya dzikir yg kuat.
Jika sang Hamba berpikir bijak ia pasti kembali ke dunia ibarat orang yang lagi menyelam
melihat cakrawala keindahan bawah laut tidak terlalu lama lalu ia kembali ke permukaaan
dasar laut untuk persiapan oksigennya kembali.
Ketahuilah Brothers secara realita banyak saudara2 kita yang ERROR oleh fenomena alam
kegaiban ALLAH SWT ketika mengosongkan pikiran & masuk dalam alam kefanaan
(hampa) melalui dzikir 4 tingkatan Syariat-Tarekat-Hakikat-Ma’rifat.
Padahal kalau ditelaah secara hakikat Alam fenomena visual kegaiban ALLAH SWT Takkan
Habis oleh masa, batas, ruang & waktu ibaratnya klo menghitung ilmu2NYA ALLAH SWT
takkan habis biarpun laut dijadikan tinta untuk menulis ayat2 ilmu ALLAH SWT Yang
Maha Luas PengetahuanNYA Di Alam Jagat Raya (Q.s Al Kahfi : 109).
Dzikir Syariat : “La Ilaha Illallah” diucapkan berulang2 dgn lisan sampai masuk
kedalam hati sehingga lisan/mulut tak berucap lagi, rahasia dzikir ini terdiri dari 12
huruf yg sama maknanya dengan Waktu 12 jam, dzikir ini selalu dikumandangkan
oleh para malaikat bumi (Malaikatul Ahyar) ketika ALLAH SWT menciptakan setiap
makhlukNYA di muka bumi.
Dzikir Hakikat : “HU”HU”HU (DIA ALLAH) diucapkan dalam hati saja dengan
keadaan fana (hampa) melalui perantaraan tarikan Nafas ke dalam sampai ke perut,
usahakan perut tetap keras biarpun nafas telah keluar, dalam bahasa ilmu tenaga
dalam ini adalah metode pemusatan power lahiriah dari perut, dalam istilah cina yin
& yang ini adalah penyembuhan/pengobatan pada diri secara bathiniah dan
kesemuanya itu benar adanya karena pusat perut adalah sumber daya energi
kekuatan manusia secara lahiriah & bathiniah serta secara hakikat dzikir”HU”
sebenarnaya tempatnya pada pusat perut dengan perantaraan cahaya nafas yg sangat
berharga pada manusia.
Pada penjelasan diatas tentang dzikir sebenarnya kalau bicara tentang tingkatan
pemahaman Agama dengan ilmun2NYA ALLAH SWT terdiri 7 fase tingkatan :
BAB II.
Ini adalah sambungan dari BAB I. yg baru saya jelaskan lagi tentang arti makna Dzikir
Syariat-Tarekat-Hakikat-Makrifat.
ALHAMDULILLAH dengan adanya tulisan2 saya ini sangat banyak sekali peminatx yg mau
berkunjung & berkomentar di dalam blog ini. Itu TANDA bahwa masih banyak dr
saudara2ku yg MENCINTAI tentang hakikat pemahaman ISLAM.
Dalam Uraian Pemahaman dzikir diatas saya telah bercerita panjangggg.. tentang Rahasia2
sesuatu, tapi YAKINLAH itu semua KHUSUS bagi saudara2ku yg berbudi baik nan pekerti
luhur & beriman, bertaqwa yg mau memegang TEGUH SYAHADAT & ISLAM (Ingin
Selamat Lakukan Ajaran Muhammad)
Memang Pemahaman2 Dzikir diatas KHUSUS bagi org2 BENAR2 YAKIN & SUNGGUH2
ingin “MENGENAL DIRINYA” & “MENGENAL ALLAH SWT” Al Khaliq- Pencipta Alam
semesta jagad raya. & pencipta lahir dan batin kita, jasmani-ruhani kita, Nampak dan Tiada
Nampak, NYATA & GAIB, Logika dan Non Logika.
Karena org beriman slalu memandang TAJALLI kekuasaan Allah Swt secara NYATA pada
AINUL YAKIN (Pandangan keyakinan) yg bergerak pd alam semesta & kekuasaan
HAQQUL YAKIN (Pandangan mata hati) yg bernuansa secara GAIB yg bergerak dlm batin
dan pd unsur Bayang2 kekuasaan ALLAH.
Diatasnya HAQQUL YAKIN masih ada lagi KAMALUL YAKIN (kesempurnaan keyakinan)
dan keyakinan ini bisa dirasakan setelah kita telah BERJUMPA dgn ALLAH di akherat
nanti, Namun ada juga bagi org2 khusus Dicintai-NYA yg telah diberi hidayah KAROMAH-
NYA & yg telah dibukakan hijab-NYA pada “KAMALUL YAKIN” di dlm dunia.
Dan Dialah orang2 yg mau ber-makrifat kepada ALLAH SWT & Orang2 tersebut selalu
memandang pada kefanaan (hampa) bahwa dimuka bumi ini semua Fana “tidak ada” yg
ADA cuma “WAJAH ALLAH & GERAK ALLAH SEMATA (LAA ILAHA ILLALLAH) &
ini di abadikan dlm surah Ar-Rahman:26-27.
“Kullu Man Alaiha Fanin, Wa Yabqa Wajhu Rabbika Dzal Jalali Wal Ikram”.
Semua pasti binasa (TIADA), yg kekal hanya WAJAH TUHANMU yg Maha memiliki
keagungan & kemuliaan.
2. LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFAT Artinya :Tidak syah shalat tanpa mengenal
Allah.
3. MAN ARAFA NAFSAHU FAKADE ARAFA RABBAHU Artinya :Barang siapa mengenal
dirinya niscaya dia pasti akan mengenal Tuhannya.
6. WAFI AMFUSIKUM AFALA TUBSIRUUN Artinya :Aku ALLAH ada didalam Jiwamu
mengapa kamu sendiri tidak dpt melihat (Q.s. Adz-Dzariyat:21)
7. WANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ Artinya :Aku ALLAH lebih dekat dari urat
nadi lehermu.
8. LAA TAK BUDU RABBANA LAM YARAH Artinya :Aku tidak akan menyembah Allah
bila aku tidak melihatnya lebih dahulu.
10. WA HUWA MA AKUM AINAMA KUNTUM Artinya: AKU ALLAH berada dimana saja
kamu berada. (Q.s AL HADID:4).
BAB III.
Alimul Fadhil H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari (Guru Sekumpul) pernah
menyinggung dan menguraikan pembahasan tentang salah satu tema yang selalu aktual
diperbincangkan dalam dunia tasawuf, yakni wacana tentang ‘Nur Muhammad’ dalam salah
satu pengajian beliau di Komplek al-Raudah Sekumpul Martapura. Untuk membutiri
kembali pandangan tentang Nur Muhammad dimaksud seiring dengan peringatan haul
beliau yang ke-5 tahun ini (5 Rajab 1431 H ─ 17 Juni 2010 M) berikut tulisan ini dihadirkan
guna pencerahan. Apakah yang dimaksud dengan Nur Muhammad tersebut?
Dalam kitab Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam)
mengandungi tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, di dalam
hakikat tersimpan rahasia, rahasia itulah yang dinamakan makrifah Allah. Di dalam
makrifah pula ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun.
Rahasia atau makrifah Allah ini dinamakan Insan Kamil. Insan Kamil dijadikan dari Nur
yang melimpah dari zat Haqq Ta’ala.
Menurut riwayat, sumber cerita tentang kejadian Nur Muhammad ini bermula dari biografi
Nabi Muhammad yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (sejarawan Islam). Dalam biografi tersebut,
Ibnu Ishaq ada mencatat riwayat yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan Nur
Muhammad dan Nur itu telah diwarisi melalui generasi nabi-nabi hingga ia sampai kepada
Abdullah bin Abdul Muthalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw.
Kemudian terdapat sejumlah hadis yang menerangkan tentang Nur tersebut, antaranya,
“sesungguhnya yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)
………”.
Beragam pandangan terhadap hadis ini, ada yang menyatakan maudhu’ (tertolak), dhaif
(lemah), bersumber dari falsafah Yunani, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa riwayat
tersebut boleh diterima karenanya sanadnya bersambung.
Hadis tersebut cukup panjang matannya dan diringkas sebagai berikut: “Dan telah
meriwayatkan oleh Abdul Razak dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah ra, beliau
berkata: “Ya Rasulullah, demi bapaku, engkau dan ibuku, khabarkanlah daku berkenaan
awal-awal sesuatu yang Allah telah ciptakan sebelum sesuatu! Bersabda Nabi Saw: “Ya Jabir,
sesungguhnya Allah menciptakan sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu daripada Nur-Nya’.
Maka jadilah Nur tersebut berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dihendaki Allah.
Padahal tiada pada waktu itu lagi sesuatu pun; tidak ada lauh mahfuzh, qalam, sorga,
neraka, Malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia; tiada apa-apa yang
diciptakan, kecuali Nur ini.
Dari nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, lauh mahfuzh dan Arsy. Allah kemudian
memerintahkan qalam untuk menulis, dan qalam bertanya, “Ya Allah, apa yang harus saya
tulis?” Allah berfirman: “Tulislah La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Atas perintah itu
qalam berseru: “Oh, betapa sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia
disebut bersama Asma-Mu yang Suci, ya Allah.” Allah kemudian berkata, “Wahai qalam,
jagalah kelakuanmu ! Nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku menciptakan
arsy, qalam dan lauh mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari Nur-nya. Jika bukan karena dia,
Aku tidak akan menciptakan apa pun.”
Ketika Allah telah mengatakan kalimat tersebut, qalam itu terbelah dua karena takutnya
akan Allah dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga
sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak
menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung.
Maka, jangan seorangpun gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau
menjadi lalai dalam mengikuti contohnya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang dan
meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.………dan seterusnya.
Bagaimana penjelasan Guru Sekumpul tentang Nur Muhammad tersebut? Secara ringkas
penjelasan beliau sebagaimana konten materi pengajian yang bertemakan tentang
‘Kesempurnaan’ (penjelasan ini bahkan beliau ulang-ulang tidak kurang dari tiga kali) boleh
diringkaskan sebagai berikut:
Beliau memulai penjelasannya dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf,
di mana untuk mengenal Tuhan seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya.
Maksudnya, untuk sampai kepada pengenalan terhadap Tuhan, menurut Guru Sekumpul
haruslah terlebih dahulu dipahami dua hal. Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal
mula akan kejadian dirinya sendiri, dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan? Kedua,
ia harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah Swt.
Kedua perkara di atas menjadi prasyarat kesempurnaan bagi para penuntut (salik) dalam
mengenal (makrifah) kepada Allah.
Adapun yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad Saw yang
kemudiannya dari Nur Muhammad inilah Allah jadikan roh dan jasad alam semesta.
Bermula dari Nur Muhammad inilah maka sekalian roh (dan roh manusia) diciptakan Allah
sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam as. Karena
itu, Nabi Muhammad Saw adalah ‘nenek moyang roh’ sedangkan Nabi Adam as adalah
‘nenek moyang jasad’.
Hakikat dari penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah (Nur Turab), tanah
berasal dari air, air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api itu sendiri berasal dari
Nur Muhammad.
Sehingga pada prinsipnya roh manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad dan jasad
atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian
‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur 35), di mana roh yang mengandung Nur Muhammad
ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad.
Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam
hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada satu wujud dan nama
yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada
pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan
bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan
tumbuhan, di mana ada air di situ ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk
dihidupkan (QS. Al-Anbiya 30).
Pengenalan terhadap hakikat Nur Muhammad inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari
pencarian akan makrifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang
paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang menjadi ‘kesempurnaan
ilmu atau ilmu yang sempurna’.
Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain
bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali; cahaya melindungi mereka dari
perbuatan dosa (maksum); dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia-
rahasia Illahi.
Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah
menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa: “Inilah makhluk Allah
yang paling mulia”. Oleh itu, harus dibedakan antara konsep Nur (Muhammad) sebagai
manusia biasa (seorang Nabi) dan Nur Muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat
digambarkan dalam dimensi fisik dan realiti.
Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua
pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada
semua nabi, tetapi hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan jawami al-qalim (firman
universal).
Sedangkan menurut pencetus teori ‘insan kamil’, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428
M) dalam karyanya, al-Insan al-Kamil fî Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia
Sempurna dalam Mengetahui Allah Sejak Awal hingga Akhirnya), menyatakan bahwa Nur
Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan
malak apabila dikaitkan dengan ketinggiannya.
Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia
kutub dari segenap malak. Ia disebut al-Haqq al Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat
pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti. Dia disebut al-Qalam al-A’la (pena
tertinggi) dan al-Aql al-Awal (akal pertama) karena wadah pengetahuan Tuhan terhadap
alam maujud, dan Tuhanlah yang menuangkan sebagian pengetahuannya kepada makhluk.
Adapun disebut al-Ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds
(ruh Tuhan), al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan
dan dapat dipercayai-Nya. Oleh itu, menurut Al-Jili, lokus tajalli al-Haq yang paling
sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini
ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi
berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga
dalam bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin), Muhammad Saw.
Banyak lagi penjelasan dan pembahasan tentang Nur Muhammad dimaksud. Karena,
memang sejak awal kedatangan dan perkembangan Islam di ‘Bumi Nusantara’, wacana Nur
Muhammad dalam berbagai konteksnya sehingga sekarang, telah menarik perhatian umat
Islam. Hal ini paling tidak didukung oleh tiga faktor.
Pertama, terlihat dari banyaknya salinan yang beredar pada masa itu berkenaan dengan
‘Hikayat Nur Muhammad’ Misalnya, Hikayat Nur Muhammad naskah Betawi yang disalin
pada tahun 1668 M oleh Ahmad Syamsuddin Syah. Menurut Ali Ahmad (2005) sehingga
sekarang, sekurang-kurangnya terdapat tujuh versi Hikayat Nur Muhammad.
Kedua, apresiasi terhadap konsep Nur Muhammad telah mendorong lahirnya karya klasik
ulama Nusantara yang secara khusus berisikan pembahasan tentang teori ini. Antaranya
adalah kitab Asrar al-Insan fi Makrifah al-Ruh wa al-Rahman karya Nuruddin al-Raniri
(Aceh), tiga kitab karangan Hamzah Fansuri (Barus-Aceh); Asrar al-‘Arifin, Syarab
al-‘Asyiqin, dan al-Muntahi, serta Nur al-Daqa’iq oleh Syamsuddin al-Sumaterani (Pasai).
Dalam kitab Asrar al-Insan dijelaskan bahwa Allah menjadikan Nur Muhammad dari tajalli
(manifestasi) sifat Jamal-Nya dan Jalal-Nya, maka jadilah Nur Muhammad itu khalifah di
langit dan di bumi; Nur Muhammad adalah asal segala kejadian di langit dan di bumi. Di
dalam kitab Asrar al-’Arifin dibincangkan teori wahdah al-wujud yang semula
diperkenalkan oleh Abdullah Arif dalam Bahr al-Lahut dan Ibnu Arabi, kemudian
dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri melalui teori Martabat
Tujuh dalam kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Kemudian, dalam al-Muntahi,
Hamzah menyatakan bahwa wujud itu satu yaitu wujud Allah yang mutlak. Wujud itu
bertajalli dalam dua martabat; ahadiyah dan wahidiyah. Dalam kitab Nur al-Daqa’iq juga
dibahas tentang wujudiyah dan martabat tujuh.
Variasi teori Nur Muhammad dalam bentuk martabat tujuh boleh didapati pembahasannya
dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Melayu Nusantara, antaranya adalah dibahas
dalam kitab Siyarus Salikin yang dikarang oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani; kitab
Manhalus Syafi (Uthman el-Muhammady, 2003) yang dikarang oleh Syekh Daud bin
Abdullah al-Fathani; Pengenalan terhadap Ajaran Martabat Tujuh yang dikarang atau
dinukilkan kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan; dan kitab al-Durr al-Nafis yang di
karang oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Oleh itu, Syekh Muhammad Nafis al-
Banjari dengan kitabnya Al-Durr al-Nafis ditegaskan oleh Wan Mohd Shagir Abdullah (2000)
sebagai salah seorang ulama Banjar penganjur ajaran tasawuf Martabat Tujuh di Nusantara.
Dalam teori martabat tujuh dipahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan
dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah,
memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha
mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya. Untuk
mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang
hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat
pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu ma‘rifatullah.
Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi
manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Ilmu ma‘rifatullah terbahagi menjadi dua
macam, yaitu ilmu ‘makrifat tanzih’ (transeden) dan ‘ilmu makrifat tasybih’ (imanen). Tuhan
menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut martabat
tanzih (la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai
dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybih (ta‘ayyun atau martabat nyata,
terinderawi).
Yakni, martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an
Zat yang Esa); martabat Wahidiyyah (ke-’ada’-an asma yang meliputi hakikat realitas
keesaan); Keempat, martabat Alam Arwah; martabat Alam Mitsal; martabat Alam Ajsam
(alam benda); dan martabat Alam Insan.
Ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi
melalui emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzih (transenden atau la
ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybih (imanen atau ta‘ayyun atau
martabat nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama.
Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatullah, baik Ma‘rifah Tanzih (ilmu
yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybih (ilmu yang terinderawi), ia akan sampai
pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau dikenal
dengan sebutan Wahdatul-Wujûd.
Uraian tersebut dapat dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara
lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari air
laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.
Ketiga, di Nusantara, Hikayat Nur Muhammad merupakan teks yang populer sekitar abad
ke-14 M. Ini dibuktikan dengan tersebar luasnya kitab yang berjudul Tarjamah Maulid al-
Mustafa bertahun 1351 M (Ali Ahmad, 2005), dan disinggungnya wacana ini dalam kitab Taj
al-Muluk, Qishah al-Anbiya, Bustan al-Salatin, atau Hikayat Ali Hanafiah.
Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur
Muhammad dengan uraian-uraian ulama terdahulu tampaknya tidak jauh berbeda
sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang
terawal diciptakan dan kemudiannya menjadi sumber dari segala penciptaan.
Di samping itu, menurut Guru Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling
tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah, tiada lagi maqam
atau stasiun paling tinggi sesudah ini. Kesimpulannya, berbahagialah orang-orang yang
dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni,
yakni Nur Muhammad, sebab ia berada pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya
segala hijab yang membatasinya.
Dalam Sahih Muslim, Nabi (SAW) bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis
Taqdir seluruh makhluq lima puluh ribu tahun (dan tahun di sisi Allah adalah berbeda dari
tahun manusia, peny.) sebelum Ia menciptakan Langit dan Bumi, dan `Arasy-Nya berada di
atas Air, dan di antara hal-hal yang telah tertulis dalam ad-Dzikir, yang merupakan Umm al-
Kitab (induk Kitab), adalah bahwa Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah Penutup
para Nabi. Al Irbadh ibn Sariya, berkata bahwa Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda,
“Menurut Allah, aku sudah menjadi Penutup Para Nabi, ketika Adam masih dalam bentuk
tanah liat.”
Maysara al-Dhabbi (ra) berkata bahwa ia bertanya pada Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam,
“Ya RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau sall-Allahu ‘alayhi wasallam
menjawab, “Ketika Adam masih di antara ruh dan badannya.”
Suhail bin Salih Al-Hamadani berkata, “Aku bertanya pada Abu Ja’far Muhammad ibn `Ali
radiy-Allahu ‘anhu, `Bagaimanakah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam bisa
mendahului nabi-nabi lain sedangkan beliau akan diutus paling akhir?” Abu Ja’far radiy-
Allahu ‘anhu menjawab bahwa ketika Allah menciptakan anak-anak Adam (manusia) dan
menyuruh mereka bersaksi tentang Diri-Nya (menjawab pertanyaan-Nya, `Bukankah Aku ini
Tuhanmu?’), Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam-lah yang pertama menjawab `Ya!’
Karena itu, beliau mendahului seluruh nabi-nabi, sekalipun beliau diutus paling akhir.”
Al-Syaikh Taqiyu d-Diin Al-Subki mengomentari hadits ini dengan mengatakan bahwa
karena Allah Ta’ala menciptakan arwah (jamak dari ruh) sebelum tubuh fisik, perkataan
Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam “Aku adalah seorang Nabi,” ini mengacu pada ruh
suci beliau, mengacu pada hakikat beliau; dan akal pikiran kita tak mampu memahami
hakikat-hakikat ini. Tak seorang pun memahaminya kecuali Dia yang menciptakannya, dan
mereka yang telah Allah dukung dengan Nur Ilahiah.
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengaruniakan kenabian pada ruh Nabi sall-Allahu
‘alayhi wasallam bahkan sebelum penciptaan Adam; yang Ia telah ciptakan ruh itu, dan Ia
limpahkan barakah tak berhingga atas ciptaan ini, dengan menuliskan nama Muhammad
sall-Allahu ‘alayhi wasallam pada `Arasy Ilahiah, dan memberitahu para Malaikat dan
lainnya akan penghargaan-Nya yang tinggi bagi beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam). Dus,
Haqiqat Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam telah wujud sejak saat itu, meski
tubuh ragawinya baru diciptakan kemudian. Al Syi’bi meriwayatkan bahwa seorang laki-laki
bertanya, “Ya RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau menjawab,
“ketika Adam masih di antara ruh dan badannya, ketika janji dibuat atasku.” Karena itulah,
beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah yang pertama diciptakan di antara para Nabi,
dan yang terakhir diutus.
`Ali ibn Abi Thalib karram-Allahu wajhahu dan Ibn `Abbas radiy-Allahu ‘anhu keduanya
meriwayatkan bahwa Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Allah tak pernah
mengutus seorang nabi, dari Adam dan seterusnya, melainkan sang Nabi itu harus
melakukan perjanjian dengan-Nya berkenaan dengan Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi
wasallam): seandainya Muhammad (SAW) diutus di masa hidup sang Nabi itu, maka ia harus
beriman pada beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan mendukung beliau (sall-Allahu
‘alayhi wasallam), dan Nabi itu pun harus mengambil janji yang serupa dari ummatnya.
Diriwayatkan bahwa ketika Allah SWT menciptakan Nur Nabi kita Muhammad sall-Allahu
‘alayhi wasallam, Ia Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan padanya untuk memandang pada
nur-nur dari Nabi-nabi lainnya. Cahaya beliau melingkupi cahaya mereka semua, dan Allah
SWT membuat mereka berbicara, dan mereka pun berkata, “Wahai, Tuhan kami, siapakah
yang meliputi diri kami dengan cahayanya?” Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab, “Ini
adalah cahaya dari Muhammad ibn `Abdullah; jika kalian beriman padanya akan Kujadikan
kalian sebagai nabi-nabi.” Mereka menjawab, “Kami beriman padanya dan pada
kenabiannya.” Allah berfirman, “Apakah Aku menjadi saksimu?” Mereka menjawab, “Ya.”
Allah berfirman, “Apakah kalian setuju, dan mengambil perjanjian dengan-Ku ini sebagai
mengikat dirimu?” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Allah berfirman, “Maka saksikanlah
(hai para Nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersamamu.”(QS 3:81).
Inilah makna dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Dan (ingatlah), ketika Allah
mengambil perjanjian dari para nabi: `Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu
berupa kitab dan hukmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan
apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan
menolongnya.’” (QS 3:81).
Syaikh Taqiyyud Diin al-Subki mengatakan, “Dalam ayat mulia ini, tampak jelas
penghormatan kepada Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan pujian atas kemuliaannya.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa seandainya beliau diutus di zaman Nabi-nabi lain itu,
maka risalah da’wah beliau pun harus diikuti oleh mereka. Karena itulah, kenabiannya dan
risalahnya adalah universal dan umum bagi seluruh ciptaan dari masa Adam hingga hari
Pembalasan, dan seluruh Nabi beserta ummat mereka adalah termasuk pula dalam ummat
beliau sall-Allahu ‘alayhi wasallam. Jadi, sabda sayyidina Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi
wasallam), “Aku telah diutus bagi seluruh ummat manusia,” bukan hanya ditujukan bagi
orang-orang di zaman beliau hingga Hari Pembalasan, tapi juga meliputi mereka yang hidup
sebelumnya. Hal ini menjelaskan lebih jauh perkataan beliau, “Aku adalah seorang Nabi
ketika Adam masih di antara ruh dan badannya.” Berpijak dari hal ini, Muhammad (sall-
Allahu ‘alayhi wasallam) adalah Nabi dari para nabi, sebagaimana telah pula jelas saat
malam Isra’ Mi’raj, saat mana para Nabi melakukan salat berjama’ah di belakang beliau
(yang bertindak selaku Imam). Keunggulan beliau ini akan menjadi jelas nanti di Akhirat,
saat seluruh Nabi akan berkumpul di bawah bendera beliau.
Barokallah.
To Be Continue……………………………………
CARA MENGENAL ALLAH
Syeikh Ahmad Arifin berpendapat bahwa setiap yang ada pasti dapat dikenal dan hanya
yang tidak ada yang tidak dapat dikenal. Karena Allah adalah zat yang wajib al-wujud yaitu
zat yang wajib adanya, tentulah Allah dapat dikenal, dan kewajiban pertama bagi setiap
muslim adalah terlebih dahulu mengenal kepada yang disembahnya, barulah ia berbuat
ibadah sebagimana sabda Nabi :
سفدهة ف فرببةه فف ف
سفد فج ف سةه فففقعد فعفر ف
ف فرببةه فوفمعن فعفر ف ف فنعف ف
فمعن فعفر ف
Artinya: “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan
barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya.
Lalu diri mana yang wajib kita kenal? Sungguhnya diri kita terbagi dua
sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 20 :
فو ا ب ا
َل فمفحاَارمم ففلف فتعهفتةكعوفها
Artinya: “Bagi Allah itu ada beberapa rahasia yang diharamkan membukakannya kepada
yang bukan ahlinyah”.
Nabi juga ada bersabda :
Bismillah
Berikut ini saya nukilkan klaim mereka , kaum tasawwuf tentang apa itu istilah2 yang populer di
kalangan tasawwuf/Sufi dalam rangka menuju Ma’rifatullah :
Pada puncak inilah seorang hamba mengenal pencipta-NYA. Saking mengenalnya maka seolah
berpadu. Orang bilang ini, “manunggaling kawulo gusti”. Tapi hendaknya dipahami BERPADU
disini tidak berarti melebur menjadi satu hingga muncul “Tuhan adalah Aku, Aku adalah Tuhan”
seperti “manunggaling kawulo gusti”-nya Fir’aun beberapa abad sebelum masehi yang lalu.
Berpadu, artinya terdiri dari entitas yang berlainan yang masing-masing punya peran dan fungsi
berbeda tetapi rela untuk berpadu. Dalam pada itu keduanya memberi warna dalam bingkai
ma’rifatullah yang tegas, yang selama tak dilanggar batas-batasnya maka lukisan itu (hidup dan
kehidupan) menjadi indah dalam bingkainya.
Sirkuit Syariat (aturan, peribadatan, praktek, amalan, dsb) –melalui Tariqat (jalan, pencarian,
pencapaian, pemahaman) – untuk kemudian mencapai Hakikat (hakiki, kesejatian, absolut) – dan
pada akhirnya Ma’rifat (mengenal) adalah stasiun-stasiun yang umum dilewati para sufi. Ujungnya,
Allah-nya. Pangkalnya, Allah-nya juga.
Seseorang yang shalatnya benar, rukunnya benar, maka pahamnya benar, maka akan mendapatkan
kesejatian yang benar, dan mengenal Allah dengan benar. Hamba yang mengenal Allah dengan
benar maka shalatnya pun benar, rukunnya benar, pahamnya benar, dan kesejatian yang didapatinya
pun benar.
Itulah Ma’rifatullah, dimana hamba menyadari hak dan kewajibannya kepada Allah, sebagaimana
Allah telah memenuhi hak dan kewajiban-NYA kepada hamba-NYA.
Ibaratnya orang akan ke pasar nih. syariat adalah jalan kaki atau naik angkot atau apalah. tarikat
adalah jalan yang kita lalui untuk menuju ke pasar tersebut. hakikat adalah dari kejauhan sudah
nampak atau sudah terasa hingar bingarnya pasar. makrifat adalah kita sudah berada dalam pasar,
melebur dan terlingkupi oleh pasar itu sendiri.
Tingkatan syari'at, tarekat, hakikat dan ma'rifat, maka itu adalah istilah2 yang biasa digunakan
kalangan tasawwuf atau ahli tarekat.
Sebab kalangan ahli tasawwuf dan tarikat itu sendiri ada banyak corak ragamnya. Dari yang
kotorannya sedikit hingga yang paling kotor dan rusak.
Sedikit kotorannya maksudnya adalah sedikit dari beragam bentuk kebid’ahan dan syirik. Di mana
apa2 yang diajarkannya sebagian besar masih disandarkan kepada riwayat dan sunnah-sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan masih konsekwuen dengan hukum-hukum syariah.
Namun tidak sedikit di antaranya yang justru sudah menginjak-injak syari'ah itu sendiri serta sulit
menghindarkan diri dari khurafat, bid’ah dan fenomena syirik. Bahkan boleh dibilang sudah keluar
dari syari'ah Islam yang telah ditetapkan oleh para ulama ahlus sunnah. Sehingga istilah syari'ah,
tarekah, ma'rifat dan hakikat itu hanya sekedar "lips service". Namun pada hakikatnya tidak lain
merupakan sebuah pengingkaran dan pelecehan terhadap syari'ah serta merupakan penyimpangan
dari manhaj salafus shalih.
Kalau syari'at diletakkan paling rendah, akan muncul kesan bahwa demi kepentingan tarekah,
ma'rifat dan hakikat, syari'ah bisa dikesampingkan. Dan paham seperti ini berbahaya bahkan
sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap agama Islam.
Jadi, jangan sampai ada anggapan bahwa bila orang sudah mencapai derajat hakikat, apalagi
ma'rifat, lalu dia bebas boleh tidak shalat, tidak puasa atau melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan syari'at itu sendiri.
Kalau ajaran seperti itu, dimana ma'rifat dan hakikat boleh menyalahi syari'ah, maka ketahuilah,
ulama2 mereka adalah ulama su' yang tidak lain adalah syetan yang datang merusak ajaran Islam.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membuat garis dgn tangannya, kemudian bersabda :
"Inilah jalan Allah yg lurus", lalu beliau membuat garis2 di kanan dan kirinya kmudian
bersabda,"Inilah jalan2 yg sesat, tak satupun jalan2 itu kecuali didalamnya terdapat syaitan yg
menyeru kepadanya".[SHAHIH. HR. Ahmad 1/435, ad Darimi 1/72, al Hakim 2/261, al Lalika'i
1/90. Dishahihkan al Albani dlm Dzilalul Jannah (17)].
Wallahu a'lam.
Kalau Tuhan tidak 'wujud' di dalam ibadah, lama kelamaan, Tuhan akan bertambah jauh dan
bertambah jauh. Lebih-lebih lagilah kalau tujuan dan niat ibadah itu adalah untuk dipuji, untuk
disanjung, dan kerana sebab-sebab lain yang berbentuk duniawi. Sudah tentulah ia tidak akan ada
nilai apa-apa. Malahan ibadah seperti ini akan Allah lemparkan semula ke muka pengamalnya
beserta dengan laknat-Nya sekali. Lagi banyak dia beribadah, lagi dia rasa sombong, angkuh, riyak,
ujub, rasa diri mulia, rasa diri baik dan sebagainya. Lagi banyak dia beribadah, lagi dia pandang
orang lain hina, jahat dan tidak berguna.
Beramal dalam Islam ada tertibnya. Ada “progression”nya dari satu tahap ke tahap yang lebih
tinggi. Ia bermula dengan Syariat, kemudian dengan Tariqat, diikuti pula dengan Hakikat dan
diakhiri dengan Makrifat.
1. Syariat.
Ini adalah ilmu. Ia melibatkan ilmu tentang peraturan, hukum-hakam, halal haram, sah batal dan
sebagainya. Ilmu perlu dalam beramal. Tanpa ilmu, kita tidak tahu macam mana hendak beramal
mengikut cara yang Tuhan mahu. Kalaupun kita sudah cinta dan takut dengan Tuhan dan kita
terdorong untuk menyembah-Nya, kita tidak boleh berbuat demikian ikut sesuka hati kita atau ikut
cara yang kita cipta sendiri. Tuhan tidak terima, kita mesti ikut cara yang ditetapkan oleh Islam dan
kita mesti belajar. Amalan tanpa ilmu itu tertolak. Ilmu atau syariat ini ibarat biji benih.
2. Tariqat.
Ini adalah peringkat menghidupkan ilmu menjadi amalan secara istiqamah dan bersungguh-
sungguh, difahami, dihayati. Ilmu [syariat] yang ada perlu dilaksanakan. Pengamalan ilmu ini
dinamakan juga tariqat wajib dan ia tidak sama maksudnya dengan tariqat sunat yang mengandungi
wirid-wirid dan zikir-zikir yang menjadi amalan setengah pengamal-pengamal sufi. Tariqat ini
ibarat kita menanam biji benih tadi [syariat] hingga ia bercambah, tumbuh dan menjadi sebatang
pokok yang bercabang dan berdaun.
3.Hakikat.
Hakikat adalah buah. Selepas kita ada syariat, kemudian kita amalkan syariat itu hingga ia naik ke
peringkat tariqat, yakni ia menjadi sebatang pokok yang bercabang dan berdaun, maka kalau cukup
syarat-syaratnya maka pokok itu akan menghasilkan buah.
Buah tariqat adalah akhlak dan peningkatan peringkat nafsu atau pencapaian maqam-maqam
mahmudah. Boleh jadi ia menghasilkan maqam sabar, maqam redha, maqam tawakkal, maqam
tawadhuk, maqam syukur dan berbagai-bagai maqam lagi. Boleh jadi hanya terhasil satu maqam
sahaja [sebiji buah sahaja] atau boleh jadi akan terhasil beberapa maqam berbeza dari satu pokok
yang sama.
Hakikat juga adalah satu perubahan jiwa atau perubahan peringkat nafsu hasil dari syariat dan
tariqat yang dibuat dengan bersungguh-sungguh, istiqamah, faham dan dihayati.
4. Makrifat.
Ini adalah hasil dari hakikat, iaitu hal-hal hakikat yang dapat dirasai secara istiqamah. Ia adalah satu
tahap kemajuan rohaniah yang tertinggi hingga dapat benar-benar mengenal Allah dan rahsia-
rahsia-Nya. Orang yang sudah sampai ke tahap ini digelar Al Arifbillah.
Kalau kita lihat dengan teliti, tertib dalam amalan ini bermula dari yang lahir dan berakhir dengan
yang batin.
Hakikat dan makrifat pula menjangkau ke alam batin iaitu ke dalam hati dan rohani.
Kita juga dapat lihat bahawa peringkat syariat dan tariqat adalah peringkat-peringkat yang agak
mudah untuk dicapai kerana ia hanya melibatkan usaha lahir. Tetapi untuk mencapai peringkat
hakikat dan makrifat, ia agak lebih sukar dan lebih rumit.
Kesukaran ini ialah kerana pertama, ia memerlukan istiqamah dalam beramal dan kedua kerana ia
memerlukan juga amalan batin atau amalan hati atau apa yang dinamakan hikmah. Amalan yang
berhikmah ialah amalan yang dihayati dan dijiwai, yang mempunyai roh dan rasa-rasa. Tanpa
kedua-dua perkara ini iaitu istiqamah dan hikmah, tariqat tidak akan dapat melonjak ke peringkat
hakikat dan seterusnya ke peringkat makrifat.
Itu sebabnya ramai orang yang berjaya sampai ke peringkat tariqat iaitu boleh berilmu dan beramal
tetapi tersekat di situ sampai ke tua tanpa dapat meningkat ke peringkat hakikat. Sudah beramal
selama 50 hingga 60 tahun tetapi tidak juga lahir akhlak dan tidak juga dapat mencapai maqam-
maqam mahmudah. Dalam ertikata yang lain, mereka sudah beribadah berpuluh-puluh tahun tetapi
ibadah mereka belum menghasilkan buah iaitu akhlak.
Istiqamah.
Ini adalah salah satu syarat atau tuntutan untuk mencapai hakikat. Istiqamah ialah tetap dalam
beramal. Amalan pula adalah amalan lahir dan ada amalan batin atau hati. Istiqamah itu perlu dalam
amalan lahir mahupun amalan batin. Malahan istiqamah dalam amalan batin lebih dituntut.
Istiqamah dalam amalan lahir agak mudah. Ramai orang yang istiqamah dalam sembahyang, dalam
berpuasa, dalam berzakat dan sebagainya. Ramai yang tak tinggal sembahyang, tak tinggal puasa.
Tetapi istiqamah dalam amalan batin adalah lebih sukar dan rumit. Istiqamah dalam amalan batin
ini ramai yang tidak mampu melakukannya walaupun sudah istiqamah dalam amalan lahir.
Ramai orang cuba sabar tapi tidak istiqamah dalam sabar. Duit hilang boleh sabar. Sakit dan demam
boleh sabar. Tapi bila orang kata nista dan menghina, tidak sabar. Bila isteri buat hal, tidak sabar.
Ramai orang boleh bersyukur. Dapat duit bersyukur, dapat pangkat bersyukur, dapat anak pun
bersyukur tapi tidak mampu bersyukur bila dapat berbuat ibadah dan kebaikan, dan bila terhindar
dari berbuat maksiat dan kejahatan.
Ramai orang boleh jadi pemaaf kalau yang meminta maaf itu kawannya, isterinya atau anaknya.
Tapi kalau yang meminta maaf itu musuh atau seterunya, susah dia hendak maafkan.
Ramai orang boleh berbuat baik kepada kawannya, sanak-saudaranya, ibu dan ayahnya yang selalu
berbuat baik padanya tetapi tidak sanggup berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat padanya.
Ramai orang boleh bertegur sapa dan bermesra dengan kawan-kawannya tetapi tidak boleh bertegur
sapa dan bermesra dengan orang yang dibencinya. Begitulah seterusnya.
Sangat susah dan payah untuk kita beristiqamah dalam amalan hati. Justeru itu ia tidak dapat
dijadikan pakaian atau ia tidak dapat mendarah mendaging. Itu sebab istiqamah itu, terutamanya
istiqamah batiniah sangat dipandang besar. Ia dianggap satu keramat.
Amalan yang tidak istiqamah tidak akan ada kesan apa-apa pada hati. Amalan yang istiqamah,
walaupun sedikit akan tetap ada kesan pada hati.
Ibarat air yang menitik ke atas batu, lama kelamaan batu itu akan terlekuk jua. Tetapi air banjir yang
besar yang melanda batu sekali sekala tidak akan memberi apa-apa kesan kepada batu.
Istiqamah adalah tanda ikhlas. Kalau sesuatu amalan itu tidak ikhlas, ia sukar untuk diistiqamahkan.
Dalam pada itu, istiqamah batiniah lebih memberi kesan kepada hati daripada istiqamah lahiriah. Itu
sebabnya istiqamah batiniah lebih dituntut dan lebih utama. Ia adalah amalan hati dan kerana itu ia
mempunyai kesan yang langsung dan terus kepada hati.
Hikmah.
Ia adalah syarat atau tuntutan kedua untuk mencapai hakikat. Hikmah di sini bukan bermaksud
bijaksana. Kalau bijaksana, orang Arab akan sebut "Abqoriah". Hikmah di sini bukan bermaksud
ilmu atau setakat faham ilmu sahaja. Hikmah ialah ilmu dalam ilmu. Hikmah adalah rasa dan
penghayatan. Ia adalah rasa yang Allah campakkan ke dalam hati.
Untuk mendapat ilmu, kita boleh belajar. Tetapi untuk mendapat hikmah, ilmu mesti diamal. Baru
ilmu itu bukan setakat di akal tetapi jatuh ke hati. Ilmu hati ini sahaja yang boleh mengubah dan
menginsafkan orang.
Kalau ilmu lahir itu dikendalikan oleh akal, hikmah pula ialah ilmu yang dikendalikan oleh roh atau
hati.
Untuk menjadi ulama itu senang. Tetapi untuk menjadi ahli hikmah sangat susah. Ilmu adalah apa
yang kita belajar tetapi hikmah adalah apa yang Tuhan ajar kita
seperti dalam firman Allah ;
Maksudnya ; "Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah, Allah akan ajar kamu ilmu [hikmah].
Sesungguhnya Allah Mengetahui segala sesuatu." [Al Baqarah : Ayat 282]
Orang yang mendapat ilmu hikmah, dia mendekati nabi. Inilah dua perkara yang perlu dititik
beratkan kalau sekiranya amalan hendak ditingkatkan dari peringkat tariqat kepada hakikat dan
seterusnya kepada makrifat.
Ia memerlukan penglibatan hati dan rohani dalam ibadah dalam bentuk penjiwaan dan istiqamah
terutamanya istiqamah batiniah di samping amalan lahiriah yang baik dan rapi.
Kalau hati dan rohani tidak turut sama beribadah, agak mustahil perkara ini boleh tercapai.
Untuk mendapat buah dari ibadah iaitu akhlak dan untuk mencapai maqam-maqam mahmudah,
ibadah mesti ada roh, mesti ada rasa-rasa, mesti ada penjiwaan dan mesti ada penghayatan. Salahlah
orang yang menafikan amalan hati dan amalan rohani dalam ibadah.
Kalau amalan lahir sahaja dititikberatkan maka ia mungkin memadai di peringkat syariat dan tariqat
iaitu pada peringkat ilmu dan amal. Memang itu kerja lahir. Tetapi untuk mendapat hasil dari ilmu
dan amal tersebut dan supaya ibadah boleh mendidik hati, amalan lahir semata-mata tidak memadai.
Dalam ertikata yang lain, untuk mencapai maqam hakikat dalam ibadah dan amalan, itu bukan lagi
kerja lahir. Itu adalah kerja hati.