Anda di halaman 1dari 4

BAB III

TASAWUF DAN SYARIAT

A.Tasawuf dan agama islam

Apakah hubungannya antara tasawuf dan agama? Jawaban yang pasti adalah orang yang
berkecimpung dalam tasawuf adalah orang yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir.hal itu
disebabkan tasawuf selalu mempunyai tujuan, yaitu senantiasa bersifat rohani, kerelaan dengan
alam tertinggi; mencintai Allah Ta’ala, menjaga hubungan dengannya dan kesirnaan di dalamnya
agar menjadi orang yang arif billaah. Itulah tujuan orang sufi.

Sesungguhnya tidak mungkin menjalani tasawuf tanpa mengikuti syariat yang benar
secara sempurna. Sesungguhnya tasawuf islam tidak mungkin terwujud, kecuali dengan
meneladani orang-orang sufi, dengan peneladanan yang sempurna terhadap ikutan mereka, yaitu
terhadap Rasulullah SAW. Mereka (para sufi) telah mencintai beliau dan mengikuti beliau
karena berpegang teguh terhadap firman Allah Azza wa jalla:

”Sesungguhnya pada diri Rasulullah (SAW) terdapat teladan yang baik bagi orang-orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (keselamatan) hari akhir serta banyak menyebut Allah.”

(Q.S. Al-Ahzab [33] : 21)

Bagi kita mungkin saja untuk mengatakan bahwasanya pada masa sekarang ini tidak ada
tasawuf di sekitar masyarakat islam. Hal itu karena pada masa ini tidak ada lagi nash suci yang
tidak mengalami perubahan, kecuali Al-Qur’an Al-Karim yang merupakan Kalam Allah. Dari
masa Rasullah SAW. Hingga kini , Al-Qur’an Al-Karim tetap tanpa pernah ada perubahan.

B.Orang yang mengaku mengikuti ajaran tasawuf dan penyimpangannya dari syariat
islam

Dalam setiap bidang. Kita mendapati para mudda’I (orang yang mengaku-aku), baik
dalam bidang agama,politik,ilmu pengetahuan,dan tasawuf. Tujuan mereka adalah jelas, yaitu
mendapat kepentingan materiel dalam yang singkat.sebagaimana tidak mengganggu
agama,keberadaan mudda’I itu tidak pula mengganggu ilmu pengetahuan jika mereka berpegang
pada agama dan ilmu yang benar. Begitu juga halnya terhadap apa yang berkaitan dengan ajaran
tasawuf.

C.Keharusan menjalani syariat bagi orang yang bertasawuf

Kebanyakan manusia meragukan keharusan menjalani syariat bagi siapa yang ingin
menempuh jalan sufi. Pada kenyataannya,ini merupakan kesiapan jiwa yang hanya ada di dunia
Barat pada masa kini.
Akan tetapi,yang sangat mengherankan adalah sebagian orang yang mengaku dirinya
sebagai orang sufi yang telah terjerumus seperti halnya sebagian ahli syariat meskipun dengan
cara yang berbeda. Mereka mengingkari kebutuhan syariat atau mengabaikan pengalamannya.

D.Fatwa imam al-ghazali

Ditulis oleh seseorang yang pernah menyeleweng, ”Semoga Allah memanjangkan


usianya bagi kemanfaatan kaum muslimin dan menyenangkan bagi para penuntut dengan
penyaksiannya-Nya dan menjumpai-Nya. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan karunia
setinggi-tingginya sebagaimana yang dikaruniakan kepada para kekasih,orang orang pilihan-
Nya,serta para wali-Nya,dalam hati sanubari yang telah diberi kekhususan oleh Al-Huqq
SWT.dengan bermacam hadiah dan cahaya.hal itu didapatnya secara terus-menerus dalam setiap
situasi dan kondisi dan terus bertambah tanpa adanya hambatan dan kerusakan.

E.Arti hilangnya taklif seorang wali

Adapun arti hilangnya taklif dari seorang wali adalah hilangnya beban dalam beribadah
sehingga ibadah itu menjadi kesenangan hati dan santapan rohaninya.

Seorang wali di sini diibaratkan seperti kanak-kanak yang diwajibkan menghadiri


madrasah (sekolah) dan dipaksa untuk melakukan itu. Jika ilmu pengetahuannya telah sempurna.
Kewajiban itu menjadi sesuatu yang paling menyenangkan, hingga tidak lagi menjadi beban
baginya.

Sangat mustahil memaksa orang yang lapar untuk menyantap makanan yang lezat karena
dengan sendirinya ia akan menyantap makanan dengan penuh selera dan merasakan
kelezatannya. Bukanlah tiada arti lagi untuk memaksanya? Begitu juga memaksa seorang wali
merupakan suatu yang mustahil karena paksaan itu telah hilang darinya dengan arti ini, bukan
dengan arti bahwa ia tidak shalat, tidak berpuasa, meneguk minuman keras, serta berzina.

F.Apakah manusia tidak lagi membutuhkan thariqah jika telah sampai pada tujuannya?

Yang dimaksud ”telah sampai pada tujuannya” adalah ma’rifat dan kelurusan jalan
menuju Allah ’Azza wa Jalla. Sesungguhnya jalan sang salik (penempuh jalan menuju hadirat
Allah SWT.) telah menjadi lurus dan ia telah mengenal Allah, sedangkan taklif merupakan
sarana untuk mencapai maksud ini, dan ia tidak lagi membutuhkan alat dan pembimbing.jika ia
membutuhkan, pembimbing tersebut telah tiada, dan tidak mungkin lagi kembali kepadanya.

Inilah jawaban yang dapat dipahami dari keterangan yang telah lalu karena semua itu
keluar dari sangkaannya, bahwa apa yang tidak terjadi dalam pengetahuannya, tentu tidaklah
terjadi pada dirinya.Hal itu seumpama seorang wanita tua yang mengira kamarnya kosong dari
barang-barang, dan merasa bahwa di alam semesta ini tiada langit, kecuali atap-atap rumahnya,
dan tiada bumi,kecuali halaman rumahnya.
G.Apakah wihdatul wujud itu?

Kami ingin segera memulai pembahasan ini untuk menghilangkan perdebatan dalam
masalah yang sedang kami kemukakan, yakni wihdatul wujud (kesatuan wujud), bukan wihdatul
maujud (kesatuan segala apa yang ada). Adapun yang maujud banyak sekali macamnya, di
antaranya adalah langit, bumi, gunung-gunung, lautan, pepohonan, manusia, hewan, dan lain-
lain. Semua itu berbeda-beda. Ada yang keras, lembut, berwarna, berbau, berasa, berat, ringan,
dan sebagainya.

Tidak ada seorang sufi yang hakiki mengatakan adanya kesatuan segala apa yang ada
(wihdatul maujud). Seorang mukmin yang benar-benar beriman tidak boleh berpendapat
mengenai adanya wihdatul maujud. Terlebih lagi, mengatakan adanya kesatuan segala apa yang
ada atau wihdatul maujud.

Pengertian wihdatul wujud yang diartikan sama dengan wihdatul maujud, juga
mempunyai pendukung di setiap masa. Ketika kaum sufi berpendapat tentang adanya bil
wujuudil wahid (wujud yang tunggal), lawan-lawan mereka menguraikan wujud yang satu
dengan pemikiran filsafat dalam arti sama dengan wihdatul maujud. Padahal keduanya sangat
berbeda. Mereka melakukan pemalsuan dan dusta untuk mengalahkan lawannya dengan cara
menghalalkan segala cara.

H.Ajaran tentang sujud

Imam Muslim (semoga Allah meridainya) meriwayatkan dalam kitabnya Ash-shahih,


tentang Abu Firas Rabi’ah ibn Ka’ab Al-Aslami, pelayan Rasulullah SAW, yang termasuk
seorang ahli shuffah. Abu Firas berkata, ”Aku bermalam bersama Rasulullah SAW. Ketika
kubawakan air untuk wudhu dan kebutuhannya, beliau berkata, ”mintalah kepadaku!”
Kukatakan kepada beliau, ”Aku mohon kepada Tuan agar aku dapat menemani tuan di surge.”
”Adakah selain itu?” Tanya Rasulullah SAW.lagi. ”Hanya itu,ya Rasulullah”, jawabku.
Kemudian beliau bersabda:

”Hendaklah engkau membantuku (demi tercapai keinginanmu) terhadap dirimu dengan


memperbanyak sujud.

Jika demikian halnya, ketahuilah bahwa sujud mampu menolong manusia untuk melatih
jiwa agar menjadi suci. Jadi, sujud merupakan salah satu cara untuk mencapai surge.

I.Menentang nafsu

Diriwayatkan dari Jahir ibn Abdullah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:

“Yang paling aku takutkan terjadi pada umatku adalah mengikuti hawa nafsu dan terlalu
berangan-angan. Adapun mengikuti hawa nafsu akan menjauhkan diri dari kebenaran,
sedangkan terlalu berangan-angan akan melupakan akhirat. Oleh karena itu, ketahuilah
bahwasanya menentang hawa nafsu adalah modal ibadah.

(H.R. Ibnu ’Adi, Ibnu Najjar, Ibnu ’Asakir, Al-Haakim, dan Ad-Dailami)

Itu merupakan awal perjalanan. Jika nafsu dibiasakan dengan kelezatan,dia tidak akan
berpaling dari ketaatan, kecuali dengan berbagai perjuangan yang sungguh-sungguh dan
dampratan yang sangat keras. Oleh karena itu, perkara-perkara itu dinamakan pedang yang
fungsinya untuk menyembelih nafsu secara paksa dan memalingkannya dari kecenderungannya.
Ketahuilah bahwa bagi seseorang yang nafsunya telah bangkit, pencerahan hati yang
menyebabkan suka cita di hadapan Allah SWT. akan sirna.”

J.Istiqamah

Diriwayatkan dari Tsauban, bekas budak Rasulullah SAW., ia menuturkan bahwasanya


Rasulullah SAW. bersabda:

”Beristiqamahlah (berteguh hatilah) kamu sekalian,dan janganlah kamu sekali-kali menghitung-


hitung (amalmu). Ketahuilah bahwasanya bagian terbaik dari agamu adalah shalat, dan tidak
ada yang mampu menjaga (memelihara) wudu,kecuali orang beriman.”

(H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim, Thabrani, dan Baihaqi)

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq Rahmatullah ’Alaih berkata, ”Istiqamah adalah derajat yang
menjadikan urusan-urusan seseorang menjadi baik dan sempurna. Istiqamah dapat mencapai
manfaat-manfaat secara tetap dan teratur. Upaya dan perjuangan orang yang tidak istiqamah
akan menjadi sirna dan perjuangannya dihitung gagal.”

Orang yang tidak istiqamah tidak akan pernah meningkat dari satu tahapan maqam
berikutnya, dan suluknya tidak akan kokoh

Salah satu persyaratan pada awal suluk (menempuh jalan sufi) adalah memenuhi
persyaratan istiqamah dalam hukum pemula. Sebagaimana bagi arifin, yang menjadikan
istiqamah sebagai pangkalnya. Tanda istiqamah dari mereka yang mulai menempuh jalan sufi
adalah amal-amal ibadah lahiriah mereka tidak dicemari oleh kesenjangan. Bagi mereka yang
berada pada tahap pertengahan (ahlul wasaith) adalah bahwa tidak ada kata berhenti. Adapun
tanda istiqamah bagi mereka yang berada pada tahap akhir adalah tidak ada tabir yang
melindungi mereka dari kelangsungan wushul-nya.

Anda mungkin juga menyukai