Anda di halaman 1dari 27

PEDOMAN

PENANGGULANGAN KLB DIPHTERI


DI JAWA TIMUR

I. LATAR BELAKANG
• Diphteri masih menjadi masalah kesehatan yang cukup serius di Indonesia
khususnya di Jawa Timur
• Penyakit Diphteri adalah penyakit menular akut pada tonsil, faring dan hidung,
kadang-kadang pada selaput mukosa dan kulit.
• Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh
bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi
dengan daerah inflamasi.
• Pengaruh toksin difteria pada lesi perifer tidak jelas. Difteria sebaiknya selalu
dipikirkan dalam membuat diferensial diagnosa pada infeksi bakteri (khususnya
Streptococcus) dan viral pharingitis, Vincent’s angina, mononucleosis infeksiosa,
syphilis pada mulut dan candidiasis.
• Tenggorokan terasa sakit, diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan
melunak. Masa Inkubasi Difteri 2 – 5 hari.
• Pada kasus-kasus yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan
oedema di leher dengan pembentukan membran (pseudomembran) pada trachea
secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
• Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes).
• Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat
menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif
yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri.
• Penyebab penyakit adalah Corynebacterium diphtheria dari biotipe gravis, mitis
atau intermedius.
• Bakteri membuat toksin bila bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang
mengandung diphtheria toxin gene tox. Strain non toksikogenik jarang
menimbulkan lesi lokal, namun strain ini dikaitkan dengan kejadian endokarditis
infektif.
• Kasus Suspek Diphteri : adalah orang dengan gejala Laringitis,
Nasofaringitis atau Tonsilitis ditambah pseudomembrane putih keabuan yang
tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring, tonsil.

• Kasus Probable Difteri : adalah orang dengan suspek difteri ditambah


salah satu dari :
a) Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu)
b) Ada didaerah endemis difteria
c) Stridor , Bullneck
d) Pendarahan Submucusa atau petechiae
pada kulit
e) Gagal jantung toxic, Gagal ginjal akut
f) Myocarditis and/or kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah onset
g) Mati

• Kasus konfirmasi Diphteri : adalah orang kasus probable yang hasil


isolasi ternyata positiv C difteriae yang toxigenic (dari usap hidung, tenggorok,
ulcus kulit, jaringan, conjunctiva, telinga, vagina) atau serum antitoxin
meningkat 4 kali lipat atau lebih ( hanya bila kedua sampel serum diperoleh
sebelumpemberian toxoid difteri atau antitoxin)

• Masa penularan beragam, tetap menular sampai tidak ditemukan lagi bakteri
dari discharge dan lesi; biasanya berlangsung 2 minggu atau kurang bahkan
kadangkala dapat lebih dari 4 minggu. Terapi antibiotik yang efektif dapat
mengurangi penularan. Carrier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6
bulan.
• Kecenderungan kasus Diphteri selalu naik di Jawa Timur dari tahun ke tahun.
Tahun 2003 (5 kasus), Tahun 2004 (15 kasus), Tahun 2005 (33 kasus), Tahun
2006 (43 kasus), Tahun 2007 (86 kasus), Tahun 2008 ( 77 kasus), Tahun 2009
(140 kasus), Tahun 2010 (304 kasus) dan s/d 30 Oktober Tahun 2011 sudah
mencapai 415 kasus

• Penyebaran kasus Diphteri cederung meluas dari tahun ke tahun di Jawa Timur.
Tahun 2003 (3 kab/Ko), Tahun 2004 (9 kab/Ko), Tahun 2005 (15 Kab/Ko), Tahun
2006 (17 Kab/Ko), Tahun 2007 (20 Kab/Ko), Tahun 2008 (21 kab/Ko), Tahun 2009
(24 kab/Ko), Tahun 2009 (34 Kab/Ko), dan s/d Oktober 2011 sudah mencapai 36
Kab/Ko.
• CFR karena Diphteri masih tinggi (2.9%), bahkan di tempat tertentu bisa
mencapai 50%. 74% kasus Diphteri di Jatim terjadi pada kelompok umur Balita
& anak TK-SD (<9 th)

• KLB Diphteri yang terus meningkat dari tahun ke tahun di Jawa Timur
membutuhkan penangannan yang baik, serius dan benar pada semua kejadian.
Diharapkan dengan penangannan yang baik, serius dan benar maka KLB dapat
ditanggulangi dan dicegah.

• Untuk menangani KLB Diphteri dengan baik, serius dan benar diperlukan suatu
petunjuk, prosedur tetap yang secara operasional layak digunakan di seluruh
jajaran kesehatan di Propinsi Jawa Timur.

II. TUJUAN
1. Mengetahui besarnya masalah KLB Difteri yang terjadi dan cara
penanggulangannya
2. Mengetahui distribusi kasus menurut variable epidemiologi
3. Mengetahui factor risiko yang mempengaruhi kejadian dimaksud
4. Mengetahui cara pencegahan dan penanggulangan KLB Difteri
5. Menghentikan penyebaran KLB
6. Mencegah terjadinya KLB serupa di kemudian hari
7. Mengetahui tatalaksana penderita Difteri di Rumah Sakit
8. Mengetahui cara pengambilan, pengiriman dan pemeriksaan specimen Difteri

III. DASAR HUKUM


1. Undang Undang No 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
2. Peraturan Pemerintah No 40 tahun 1989 tentang Wabah Penyakit Menular
3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447);
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
15O1/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Tertentu Yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya.

IV. KEBIJAKAN
Semua indikasi kasus Difteri ( Suspek, Probable, Konfirm) harus secepatnya
dilakukan penanggulangan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian

V. STRATEGI
1. Semua kasus Difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi
2. Memperkuat sistim surveilans epidemiologi Diphteri
3. Penemuan dan penatalaksanaan kasus Difteri secara dini
4. Semua kasus Difteri dirujuk ke Rumah Sakit
5. Menghentikan transmisi Difteri dengan cara pemberian prophilaksis terhadap
kontak dan pemberian imunisasi (ORI) pada yang berisiko
6. Klasifikasi penderita Difteri sesuai dengan tingkat keparahan
7. Manajemen kasus Difteri di Rumah Sakit dengan ketat
8. Fasilitasi keperawatan kasus Difteri termasuk ruang isolasi
9. Mengambil dan memeriksa specimen usap tenggorok dan hidung penderita
serta usap hidung kontak erat penderita dan dikirim ke BBLK Surabaya
10. Meningkatkan cakupan imunisasi rutin difteri (DPT-HB1-3, DT)
11. Melakukan BLF pada daerah yang belum UCI

V. KEGIATAN
Kegiatan penyelidikan dan penanggulangan KLB Difteri dilakukan dengan
keterlibatan antara surveilans epidemiologi, program imunisasi, klinisi dan
laboratorium

A. KEGIATAN TATALAKSANA PENDERITA DI RUMAH SAKIT


Pemeriksaan bakteriologis dari usap hidung dan tenggorok penderita suspek
Difteri memakan waktu beberapa hari. Jika sudah dicurigai adanya suspek
Difteri, terapi spesifik dengan antitoxin dan antibiotic harus segera dimulai
sambil menunggu hasil bakteriologis.

• Penderita secepatnya dirujuk ke Rumah Sakit


• Penderita ditempatkan di ruang isolasi
• Minimalisir kontak dengan orang lain
• Penderita diberikan pengobatan ADS (Anti Diphteri Serum)
• Bagi penderita yang tak mampu, ADS dibantu oleh Propinsi (selama
persediaan masih ada). Permohonan ADS berdasarkan rekomendasi dari
dokter yang merawat.
• Penderita dianggap sembuh bila setelah selesai masa pengobatan, hasil
pemeriksaan laboratoriumbya negative, demikian juga dengan keluarga
yang ikut menunggu di Rumah Sakit.

Kegiatan penanggulangan Difteri secara klinis di Rumah Sakit terdiri dari 3 bagian :

1) Tatalaksana Bedah/Surgical
• Sumbatan jalan nafas ringan :
❖ penguapan dengan expectorant
• Sumbatan jalan nafas sedang :
❖ Dexamethason 1 mg/kgBB/kali
❖ Penguapan
• Sumbatan jalan nafas berat :
❖ Beri oksigen 100%
❖ Tracheostomy
❖ Perawatan tracheostomy

2) Tatalaksana medik
• Anti Difteri Serum ( ADS )
❖ Ringan : 20.000 IU
❖ Sedang : 60.000 IU
❖ Berat : 100.000 IU

Tabel Dosis antitoxin yang direkomendasikan untuk tiap tipe Difteri


Kriteria Jenis Difteri Dosis ADS Rute
pemberian
difteri ringan hidung, kulit, konjungtiva 20.000 KI i.m.
difteri sedang pseudomembran terbatas pada tonsil, 40.000 KI i.v.
diphtheria laring
diferi berat pseudomembran meluas ke luar tonsil, 100.000 KI i.v.
keadaan anak yang toksik; disertai “bullneck”,
disertai penyulit akibat efek toksin

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan


200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadi reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

• Antibiotika:
❖ Penicillin procaine 50.000-100.000 KI/KgBB/hari selama 7-10 hari,
bila alergi bisa diberikan Erithromycine 50 mg/kgBB/hari.
❖ Sesuai dengan komplikasi bakterial yang lain

• Kortikosteroid dapat diberikan kepada penderita dengan gejala


obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit
miokardiopati toksik

• Pada fase konvalesens diberikan vaksin difteri toksoid disesuaikan


status imunisasi penderita

Komplikasi yang sering muncul pada kasus Difteri :


➢ Miokarditis
➢ Palatum molle paralisis
➢ Paralisis saraf cranial : mata, otot mimic
➢ Acute kidney injury
➢ Paralisis saraf tepi
➢ Komplikasi yang lain

3) Tatalaksana Epidemiologic:
• Isolasi penderita
• Imunisasi penderita pasca MRS ( setelah sembuh)
• Pengamatan kontak untuk mencari penderita baru
• Imunisasi kontak erat penderita
• Deteksi sumber penularan
• Profilaksis transmisi kuman
• Imunisasi DTP/DT/Td pada sekitar penderita sesuai lokasi risti
• Penderita sebagai index case
Algoritma untuk diagnosis, terapi dan follow up tersangka
difteri dan kontak terinfeksi

• isolasi
Tersangka/terbukti • Kultur c.diphteria hidung, tenggorok, kulit
difteri • Serum untuk pemeriksaan antibodi
• Terapi serum antitoksin diphteria
• Terapi antibiotik
• Imunisasi aktif (Td) pada fase konvalesen
Lapor ke Dinas Kesehatan • Dua pasang kultur hidung dan tenggorok (selang ≥ 24 jam) minimal 2
mgg paska terapi antibiotik. Bila tanpa antibiotik, kultur dilakukan 2
mgg setelah keluhan (-), atau ≥ 2 mgg dari awal sakit

Identifikasi kontak erat Tidak ada Ada

Tetapkan dan Kultur C.diphteria Terapi antibiotik Tetapkan status


monitor vaksinasi difteri
tanda/gejala difteri
minimal 7 hari Positif Negatif
<3 dosis/ ≥3 dosis, ≥3 dosis,
tidak terakhir > terakhir < 5
Stop diketahui 5 tahun yl tahun yl

Hindari kontak erat dgn individu imunisasi tidak lengkap


Segera Segera berikan Bila perlu beri
• identifikasi kontak erat dan lakukan tindak pencegahan
• dua pasang kultur ulangan (selang ≥24 jam) minimal 2 imunisasi booster imunisasi ke-4 /
minggu paska terapi sesuai jadwal booster

B. KEGIATAN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

1. Penyelidikan Epidemiologi

• Laporan (W1) adanya kasus yang datang dari masyarakat, petugas


kesehatan, RS , puskesmas bahkan media, harus secepatnya ditindaklanjuti
dengan melakukan konfirmasi informasi

• Konfirmasi informasi diantaranya dengan menanyakan kembali informasi


yang lebih lengkap tentang gejala, jumlah kasus, waktu sakit dan tempatnya,
melihat data PWS dengan grafik, dll. Untuk saat ini satu kasus Difteri
dianggap sebagai KLB.

• Setelah adanya kepastian bahwa informasi tersebut akurat merupakan KLB


suatu penyakit, secepatnya dilakukan laporan W1 ke tingkat hirarkinya.
Selanjutnya dilakukan penyelidikan epidemiologi oleh Tim Gerak Cepat KLB

• Penyelidikan epidemiologi (pelacakan) harus dilakukan secepatnya (<24 jam)


setelah mendapat laporan adanya KLB
• Petugas yang melaksanakan penyelidikan epidemiologi adalah petugas yang
terlatih ( Pustu, PKM, Dinkes Kab/Kota, Dinkes Prop, Depkes Pusat) dari
bidang Surveilans dan Imunisasi

• Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) oleh TGC ( Tim Gerak Cepat) KLB saat
melakukan penyelidikan epidemiologi KLB Diphteri, harus menggunakan
masker
• Salah satu tujuan penyelidikan epidemiologi adalah untuk mencari kasus lain
(kasus tambahan), indeks kasus dan mengetahui penyebaran kasus dengan
kunjungan dari rumah ke rumah menggunakan Form Diph-1.

• Setiap kasus Diphteri yang ditemukan, diberi nomor epid. Tatacara


pemberian nomor epid pada kasus Difteri, sebagai berikut :
❖ Huruf D : kode kasus Difteri
❖ Digit ke 1 – 2 : kode provinsi
❖ Digit ke 3 – 4 : kode kab/kota
❖ Digit ke 5 – 6 : kode tahun kejadian
❖ Digit ke 6 – 7 : kode penderita (dimulai dengan nomor 001 pada
setiap tahun)

Contoh : D.13.29.11.001 ( artinya : Kasus pertama di tahun 2011 dari Kabupaten Gresik
Provinsi Jawa Timur )

• Untuk mencari kasus tambahan dan indeks kasus, ditanyakan ada tidaknya
masyarakat disekitarnya yang mempunyai gejala serupa dan kapan mulai
sakitnya

• Hasil wawancara diupayakan agar bisa diketahui :


❖ Indeks kasus atau paling tidak dari mana kemungkinan kasus berawal
❖ Kasus-kasus tambahan yang ada di sekitarnya
❖ Cara penyebaran kasus
❖ Waktu penyebaran kasus,
❖ Arah penyebaran penyakit
❖ Siapa, dimana, berapa orang yang kemungkinan telah kontak (hitung
pergolongan umur untuk keperluan perencanaan prophilaksis dan
imunisasi/ORI ). Untuk mempermudah kemungkinan penyebaran kasus,
sebaiknya dibuat peta lokasi KLB dan kemungkinan mobilitas
penduduknya
❖ Persiapan pemberian prophilaksis dan imunisasi (ORI)

12. Identifikasi dan Manajemen Kontak

• Siapapun yang kontak erat dengan kasus, 7 hari sebelumnya dianggap


berisiko tertular.
• Kontak erat penderita atau kerier meliputi :
❖ Anggota serumah
❖ Teman, kerabat, pengasuh yang secara teratur mengunjungi rumah
❖ Kontak cium / seksual
❖ Teman di sekolah, teman les, teman mengaji, teman sekerja
❖ Petugas kesehatan di lapangan dan di RS

• Semua kontak erat harus dicari gejala dan tanda-tanda Difteri dan diawasi
setiap hari selama 7 hari dari tanggal terakhir kontak dengan kasus ini.
Pengawasan sehari-hari harus mencakup pemeriksaan tenggorokan untuk
menemukan pseudomembran dan pengukuran suhu. Status imunisasi juga
harus diperiksa dan dicatat.
• Desinfeksi serentak : Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai
oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge
penderita. Dilakukan pencuci hamaan menyeluruh.

• Erythromycin selama 7-10 hari : direkomendasikan untuk diberikan kepada


semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat
status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani
anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan
tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan
carrier.

• Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu


diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima
sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum
pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT,
DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.

13. Data Record Review

• Pada waktu penyelidikan epidemiologi KLB, diperlukan data sekunder untuk


mendukung analisis dan kesimpulan hasil penyelidikan. Data sekunder yang
diperlukan antara lain :

❖ Jumlah penduduk berisiko sekitar kasus, kalau kasus dimaksud anak


sekolah maka data murid dan guru sekolah perlu diketahui .
❖ Cakupan imunisasi DPT3 dan DT di wilayah KLB, paling tidak 5 tahun
terakhir
❖ Peta wilayah untuk mempermudah melihat penyebaran kasus
❖ Kondisi Cool chain dan permasalahannya
❖ Manajemen pengelolaan vaksin dan permasalahannya
❖ Kondisi petugas imunisasi, Bidan Desa setempat, Posyandu, dll dan
permasalahannya
❖ Data kasus Diphteri, kasus serupa Diphteri (ISPA) di Sensus Harian
Penyakit (SHP) atau register harian penyakit.
❖ Data kematian (untuk melihat adanya kematian dengan gejala mirip
Diphteri sebelum terjdi KLB). Mungkinkah kematian tersebut
sebenarnya disebabkan oleh Diphteri namun tidak terlaporkan ?

14. Faktor Risiko

• Faktor risiko adalah adalah perilaku, kejadian, pengalaman atau pajanan


yang dikaitkan dengan munculnya kejadian penyakit, kondisi, cedera,
ketidakmampuan atau kematian. Semakin banyak pajanan terhadap factor
risiko semakin besar probabilitas terjadinya suatu penyakit atau hasil
negatip.

• Salah satu tujuan penyelidikan epidemiologi KLB adalah untuk mengetahui


apa yang menjadi factor risiko suatu KLB, jadi hasil penyelidikan
epidemiologi suatu KLB diharapkan bisa diketahui apa yang menjadi factor
risiko KLB dimaksud sehingga intervensi yang tepat bisa dilaksanakan.
• Faktor Risiko suatu KLB bisa lebih dari satu. Faktor risiko paling tinggi
dianggap menjadi factor paling berisiko yang menjadi factor utama
terjadinya KLB sehingga menjadi intervensi yang paling diutamakan. Misal,
dalam KLB Diphteri diketahui beberapa factor risiko seperti tak imunisasi,
status gizi rendah, suhu lemari es >8C, mobilitas penduduk tinggi, tidak ada
bidan desa, Posyandu tidak rutin buka, dll.

15. Identifikasi Populasi ( Kelompok ) Risiko Tinggi

• Populasi Risiko tinggi adalah populasi tertentu yang mempunyai risiko tinggi
untuk tertular (menjadi sakit) bila terjadi KLB Diphteri

• Populasi risiko tinggi inilah yang sangat penting untuk diketahui dan
diberikan perlindungan agar tidak menjadi sakit. Populasi ini biasanya terjadi
pada anak-anak yang tak diimunisasi yang kontak/mungkin kontak dengan
penderita Diphteri, daerah dengan cakupan imunisasi (DPT3/HB3. DT)
rendah (non UCI) dan Cakupan DT (anak sekolah klas 1 SD/ MI atau yang
sederajad) yang rendah pada saat pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Sekolah
(BIAS)

• Bila terjadi KLB Diphteri, harus bisa diketahui siapa (kelompok/populasi)


yang berisiko tinggi menjadi sakit (tertular) yang akan secepatnya diberikan
perlindungan

16. Alat Perlindungan Diri (APD)

• APD merupakan perlengkapan utama TGC dalam melaksanakan


penyelidikan epidemiologi penyakit yang menular khususnya Diphteri. APD
yang digunakan adalah masker.
• Khusus untuk petugas Laboratorium yang mengambil specimen, APD selain
masker adalah Jas, sarung tangan, google, pelindung kepala
• Diharapkan menggunakan anti septic setelah kontak dengan lingkungan
yang mengalami KLB

17. Spesimen
• Pengambilan specimen dilakukan untuk konfirmasi kasus dan mengetahui
kepastian terjadinya penularan/penyebaran.

• Setelah diidentifikasi seluruh kontak erat penderita, maka dilakukan


pengambilan specimen. Spesimen yang diambil adalah :

❖ Seluruh kontak erat serumah


❖ Kontak paling erat ( keterwakilan) dari Tetangga, Teman sekolah,
Teman Ngaji, Teman Les, Teman sekerja, kerabat, kontak cium
/seksual, petugas kesehatan
❖ Pemeriksaan specimen ini untuk mengetahui “ kemana “ kemungkinan
penularan telah terjadi atau “dari mana “ kemungkinan sumber
penularannya
❖ Spesimen diambil untuk penderita adalah usap hidung dan usap
tenggorok, demikian juga dengan kontak erat yang dicurigai menjadi
kerier. Namun dengan keterbatasan yang ada, untuk mengetahui
adanya kerier pada kontak erat, specimen yang diambil adalah usap
hidung saja
❖ Pengambilan specimen dilakukan sebelum sasaran tersebut
mendapatkan prophilaksis dengan Eritromisin.

• Untuk kontak yang sudah mempunyai gejala klinis, specimen yang diambil
adalah usap tenggorok dan usap nasofaring (hidung)

• Untuk kontak yang tidak mempunyai gejala klinis, specimen yang diambil
hanya usap nasofaring saja ( untuk efisiensi )
• Bagi Kab/Kota yang sudah mampu melakukan pengambilan specimen,
diharapkan mengambil specimen sendiri namun bagi yang belum mampu
maka pengambilan specimen dilakukan oleh petugas BBLK Surabaya.

• Spesimen dikirim ke BBLK dalam kondisi suhu ruangan


• Spesimen diambil secukupnya. Keterwakilan kelompok dalam pengambilan
specimen perlu dipertimbangkan. Misal, KLB Diphteri pada anak TK (usia 6
th). Spesimen yang diambil adalah seluruh kontak serumah (keluarga),
beberapa kontak bermain (tetangga), beberapa kontak sekolah (TK),
beberapa kontak TPA (pengajian), dll

• Pengambilan specimen dilakukan sebelum sasaran diberikan prophilaksis


dengan eritromisin
• Media “Amies” disediakan di BBLK Surabaya. Bagi Kab/Kota yang
memerlukannya bisa meminta di BBLK Surabaya.

18. Prophilaksis

• Pengobatan antibiotic diperlukan untuk membunuh organisme dan


mencegah penyebaran namun tidak bisa menggantikan pemberian
antitoxin.

• Prophilaksis bertujuan untuk memutuskan penularan karena dicurigai


seseorang telah terpapar (terinfeksi) oleh bakteri C diphtheria sebelum
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemberian prophilaksis dilakukan
karena keterbatasan sarana laboratorium, waktu dan dana dengan
banyaknya kontak penderita yang harus diperiksa laboratorium

• Dalam rangka pemberian prophilaksis pada KLB Diphteri, perhitungkan


langkah-langkah :
❖ Kemungkinan luas penyebaran kasus atau lokasi kontak dari kasus
sebelum sakit ( kontak serumah, kontak bermain, kontak tetangga,
kontak sekolah, kontak pengajian, dll)
❖ Jumlah kontak yang dicurigai menurut kelompok umur
❖ Hitung logistic erytromisin sesuai berat badan dan dosisnya
❖ Berikan penjelasan tentang tujuan dan cara pemberian prophilaksis
kepada sasaran
❖ Tunjuk pengawas minum obat selama periode pemberian tersebut
(orang tua, kader, bidan, tokoh masyarakat, dll)
❖ Catat dan laporkan bila terjadi efek samping prophilaksis

• Prophilaksis dilakukan dengan antibiotika Erytromisin (etyl suksinat) dengan


dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 7 hari.
Antibiotik biasanya membuat pasien menjadi non infeksius dalam waktu 24
jam

• Untuk kontak yang hasil pemeriksaan laboratoriumnya positip C diphtheria


juga diberikan antibiotika erytromisin seperti pemberian prophilaksis
• Ketersediaan antibiotika Erytromisin seharusnya ada di masing-masing
Kab/Kota, apalagi untuk Kab/Kota yang sering terjadi KLB Diphteri

• Pengawasan selama pemberian pengobatan prophilaksis perlu dilakukan


karena :
❖ Dosisnya tinggi dan frekeunsi pemberiannya 4 kali/hari sehingga
kemungkinan bisa menyebabkan lupa
❖ Erytromisin merupakan antibiotika golongan “Macrolide” yang
mempunyai sifat iritasi lambung sehingga side efeknya perih, mual
bahkan diare. Sebaiknya disarankan diminum setelah makan.
❖ Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan
chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap
erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.
❖ Perlu pengawasan minum obat yang secara teknis bisa dilakukan oleh
Bidan desa, Guru, kader, dll

• Bila kontak yang positip (kerier) dan setelah diberikan prophilaksis selama 7
hari kemudian di periksa laboratorium kembali ternyata masih positip maka
pemberian prophilaksis dilanjutkan kembali dengan mengganti jenis
erytromisinya atau antibiotikanya

19. Kerier

• Tingkat penularan C difteriae toxigenik diantara kontak erat bisa mencapai


25%. Identifikasi Kerier asymtomatik diperlukan, karena mereka dapat
menjadi sumber penularan. Selain itu, menemukan kerier diantara kontak
erat dapat mendukung diagnosis difteri tanpa adanya konfirmasi
bakteriologis.

• Jika ada kultur positive dari kontak erat, langkah-langkah berikut harus
dilakukan :
❖ Kerier harus menghindari kontak dekat dengan orang yang tidak
divaksinasi lengkap
❖ Catat kontak dekat dari kerier dan beri penyuluhan cara mencegah
penularan. Pengobatan pencegahan bagi orang kontak dengan kerier
dapat dilakukan namun dengan prioritas lebih rendah daripada
untuk yang kontak dengan penderita
❖ Pemeriksaan dengan kultur diulangi setelah 1 minggu selesai
pemberian antibiotic untuk menjamin terberantasnya kuman. Bila
orang tersebut tetap positive setelah pengobatan selama 1 minggu
maka harus dilakukan tambahan pengobatan ulang selama 1 minggu
lagi dan seterusnya diambil swab untuk kultur ulang.

20. Intervensi Faktor Risiko (FR)

• Intervensi factor risiko dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang


menimbulkan KLB sehingga diharapkan KLB serupa tidak terjadi lagi
dikemudian hari

• Setelah dapat diketahui factor risiko KLB Diphteria tersebut maka perlu
dilakukan intervensi sesuai masalahnya (factor risikonya). Misal, status
imunisasi sebagai factor risiko KLB Diphteri dan cakupan imunisasi daerah
KLB rendah, maka peningkatan cakupan imunisasi perlu dilakukan.
Demikian juga jika manajemen imunisasi (rantai dingin, tenaga, kualitas
vaksin, kualitas imunisasi, dll) yang menjadi masalah sedangkan cakupan
imunisasinya tinggi/rendah, maka imunisasi massal sesuai kriteria
pemberian perlu dilakukan.

21. Surveilans intensive

• Surveilans intensive Diphteri bertujuan untuk Kewaspadaan Dini dengan


menemukan kasus secara awal dengan gejala mirip Diphteri di wilayah
yang dicurigai telah terjadi penyebaran. Dengan penemuan kasus secara
dini diharapkan bisa dilakukan penanggulangan lebih awal sehingga
penyebaran kasus bisa secepatnya dicegah ( diminimalisir)

• Kegiatan ini bisa dilakukan dengan sosialisasi tentang KLB yang sedang
berlangsung dan kewaspadaan terhadap penyakit Dipteri dengan gejala
klinis tertentu untuk secepatnya melaporkan. Sosialisasi bisa
menggunakan surat edaran Kepala Dinas Kesehatan kepada seluruh
fasilitas pelayanan kesehatan atau pertemuan dengan pimpinan
pelayanan kesehatan, masyarakat, tokoh masyarakat maupun tokoh
agama

• Surveilans intensive tidak hanya terbatas pada kegiatan pemantauan


penyakitnya tetapi juga termasuk kegiatan imunisasi sehingga
diharapkan adanya kewaspadaan petugas imunisasi dalam pelaksanaan
imunisasi.

22. Survei Cakupan imunisasi

• Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi status imunisasi balita


sekitar kasus, apakah mereka menjadi kelompok rentan atau bukan
• Melakukan survey cakupan imunisasi DPT3 pada 20-30 balita di sekitar
kasus.
• Cara pengambilan sampel dimulai dari balita yang berdomisili terdekat dari
kasus kemudian melingkar sampai jumlah balita minimal 20, bila belum
terpenuhi diwilayah tersebut dilanjutkan di wilayah terdekat.

• Ditanyakan tentang status imunisasi DPT/ HB1, DPT/ HB2,DPT/ HB3. Bila
tidak diimunisasi atau tidak lengkap, perlu ditanyakan kenapa ?

23. Pelaporan
Ada beberapa jenis pelaporan dalam penanggulangan KLB, antara lain :
• Laporan W1
❖ Laporan cepat <24 jam
❖ Bisa didahului dengan telephon atau SMS namun harus dilanjutkan
dengan form W1
❖ Laporan Penanggulangan Sementara KLB

• Laporan Sementara hasil penanggulangan namun KLB masih belum


selesai
❖ Laporan ini ada 2 versi : versi Eksekutiv dan versi Program

C. KEGIATAN BIDANG IMUNISASI

• Kejadian penyakit Difteri selalu berhubungan dengan masalah imunisasi.


Hanya 15% kasus difteri sudah mendapatkan imunisasi lengkap.

• Melakukan survey cakupan imunisasi dan Rapid Convenience Assessment


(RCA) untuk mengetahui permasalahan imunisasi di masyarakat.

• Validasi data cakupan imunisasi yang dilaporkan untuk membuktikan


bahwa data cakupan imunisasi yang dilaporkan sudah valid

• Melihat “valid doses” dari waktu pemberian imunisasi. Untuk mengetahui


bahwa jadual pemberian imunisasi yang diberikan telah sesuai dengan
prosedur

• Melihat kualitas dan manajemen cool chain. Kualitas Cool chain yang jelek
dan manajemen cool chain yang tidak baik, sangat berpengaruh pada
potensi vaksin tersebut

• Beberapa kegiatan bidang imunisasi dalam KLB Difteri antara lain :

❖ Penguatan imunisasi rutin bagi bayi (<1 tahun), terutama peningkatan


cakupan dan mutu pemberian DPT-HB.

❖ Penyulaman status imunisasi DPT-HB bagi anak usia 12-36 bulan,


diprioritaskan pada desa/kelurahan non UCI pada tahun 2009 dan
atau 2010, dengan sasaran :
o Anak yang saat usia bayi belum mendapatkan imunisasi DPT-HB 3
dosis dan atau,
o Anak yang saat usia bayi, DPT-Hb yang didapatkan tidak valid dose
(dosis DPT-Hb1 diberikan umur belum 2 bulan dan atau interval
pemberian dosis DPT-HB berikutnya < 28 hari).
❖ Pemberian imunisasi tambahan kepada anak usia (>3–7 tahun
menggunakan vaksin DT dan >7-15 tahun menggunakan vaksin Td),
diprioritaskan pada dusun/RW/sekolah/ponpes yang terdapat kasus
difteri tahun 2011.

❖ Melakukan Rapid Convenience Assessment (RCA) pada wilayah yang


ada kegiatan imunisasi untuk mengetahui validitas cakupan dan
tanggapan masyarakat yang masih menolak imunisasi.

❖ Memantau kualitas dan manajemen rantai vaksin. Potensi vaksin


sangat besar kontribusinya terhadap kualitas pelayanan imunisasi dan
terbentuknya kekebalan.

❖ Memantau dan membina kompetensi petugas pengelola vaksin


maupun koordinator program imunisasi. Kualitas pengelola vaksin
dan koordinator program imunisasi yang tidak kualified akan
berpengaruh pada kualitas vaksinasinya.

❖ Mengadakan lemari es penyimpan vaksin untuk mengganti lemari es


di Puskesmas yang telah rusak / tidak berfungsi secara normal.

❖ Melakukan imunisasi ulang kepada penderita yang sudah sembuh


sesuai kelompok umurnya. Penyakit Difteri tidak selalu memberikan
kekebalan yang alami. Karenanya penderita difteri harus divaksinasi
setelah pulang dari Rumah Sakit.

❖ Melakukan BLF ( Backlog Fighting) yaitu memberikan imunisasi DPT/


HB kepada kelompok usia 1- 3 th yang belum lengkap status
imunisasinya saat bayi dan mengulang dosis yang tidak valid yaitu
pemberian imunisasi tidak sesuai umur atau interval . (ini termasuk
ORI)

• Penderita difteri apabila telah sembuh dan yang tidak pernah


divaksinasi sebaiknya segera diberi satu dosis vaksin yang mengandung
toksoid difteri (sebaiknya Td) dan kemudian lengkapi imunisasi dasar
sekurang-kurangnya 3 dosis.

• Penderita dengan imunisasi parsial harus melengkapi imunisasi dasar


sesuai jadual menurut rekomendasi nasional. Individu yang pernah
imunisasi dasar lengkap harus diberi booster (kecuali imunisasi terakhir
kurang dari 5 tahun, yang belum dibooster)

• Imunisasi bagi Kontak Erat : Semua kontak dekat yang belum mendapat
imunisasi 3 dosis toksoid difteri atau tidak diketahui status
imunisasinya, harus mendapatkan sekali dosis vaksin difteri, kemudian
dilengkapi sesuai dengan jadual nasional yang direkomendasikan.
Kontak yang telah diimunisasi 3 kali di masa lalu juga harus menerima
booster, kecuali bila dosis terakhir yang diberikan dalam 12 bulan
sebelumnya. Dalam hal ini dosis booster tidak diperlukan.

• Pencapaian Cakupan Imunisasi yang tinggi di Wilayah KLB : Target yang


diusulkan oleh WHO pada tahun 1992 yang harus dipedomani adalah :
❖ Cakupan imunisasi dasar (DPT3) harus mencapai 95% pada
anak usia <2 th di semua wilayah
❖ Cakupan imunisasi booster harus mencapai 95% pada anak usia
sekolah di semua wilayah

❖ Agar yakin bahwa semua anak telah kebal terhadap Difteri,


maka imunisasi massal harus dilakukan di sekolah sekolah dan
lembaga pra sekolah dengan sasaran : pemberian imunisasi
dasar bagi anak yang belum atau tidak lengkap imunisasinya,
dan pemberian booster untuk yang sudah lengkap tapi suntikan
terakhir diberikan lebih dari 5 tahun yang lalu.

• Untuk orang yang termasuk kelompok risiko tinggi dan usianya lebih
dari 25 tahun , perlu imunisasi dengan menggunakan vaksin Td.

• Jika pertimbangan epidemiologi mengharuskan, maka seluruh populasi


orang dewasa harus disertakan dalam imunisasi massal.

D. KEGIATAN BIDANG
LABORATORIUM
• Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk konfirmasi kasus
suspek maupun probable serta untuk mengetahui adanya kerier di
sekitar penderita

• Sasaran / Target pengambilan spesimen


❖ Tersangka / suspek
❖ Orang kontak erat dengan suspek (dalam satu keluarga)
❖ Orang kontak (yang menjaga di rumah sakit, guru, teman sekolah,
teman ngaji)

• Waktu pengambilan
❖ Saat penderita dinyatakan suspect
❖ Saat kontak penderita dengan gejala

• Persiapan Sebelum Pengambilan spesimen


❖ Petugas Analis laboratorium / surveilans yang sudah terlatih
❖ Memakai Alat Pelindung Diri (Jas Laboratorium lengan panjang,
Sarung tangan, Masker Bedah)
❖ Mempersiapkan wadah plastik infeksius

• Bahan
❖ Media transport Amies
❖ Spatula
❖ Alat Pelindung Diri ( Jas Laboratorium Lengan Panjang, Sarung
Tangan, Masker bedah)
❖ Cairan disinfectan (alkohol 70% - 85%, hipoklorit 5%)

• Pengambilan Spesimen
❖ Spesimen usap
tenggorok
Tujuan :
Mendapatkan spesimen usap tenggorok yang memenuhi
persyaratan untuk pemeriksaan bakteri C.diphtheriae.

Prosedur pengambilan :
Pengambilan usap tenggorok untuk pemeriksaan biakan dilkukan
dengan cara :
▪ Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas pasien
yang akan diambil spesimen ( Nama, umur, Jenis Kelamin, tgl
ambil )
▪ Posisi petugas pengambil berada disamping kanan penderita
▪ Pasien dipersilahkan duduk dengan sandaran dan tengadahkan
kepala penderita.
▪ Jika pasien di tempat tidur maka pasien diminta terlentang
▪ Pasien diminta membuka mulut dan mengatakan “ AAA “
Buka swab dari pembungkusnya, dengan spatula tekan pangkal
lidah , kemudian usapkan swab pada daerah faring dan tonsil
kanan kiri. Apabila terdapat membran putih keabuan usap
disekitar daerah tersebut dengan menekan agak kuat (bisa
sampai berdarah)
▪ Buka, tutup media Amies masukkan segera swab (swab harus
terendam media) tutup rapat.
▪ Masukan media Amies dalam spesimen carrier dan kirim segera
ke laboratorim Laboratorium Pemeriksa disertai Foto Copy form
Diph-1, Form Laboratorium.

• Spesimen usap hidung


Tujuan :
Mendapatkan spesimen usap hidung yang memenuhi persyaratan
untuk pemeriksaan bakteri C.diphtheriae.

Prosedur pengambilan :
Pengambilan usap hidung untuk pemeriksaan biakan dilkukan
dengan cara :
▪ Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas pasien
yang akan diambil spesimen ( Nama, Umur, Jenis Kelamin, tgl
ambil )
▪ Posisi petugas pengambil berada disamping kanan penderita
▪ Pasien dipersilahkan duduk dengan sandaran dan tengadahkan
kepala penderita.
▪ Jika pasien di tempat tidur maka pasien diminta terlentang
▪ Buka swab dari pembngkusnya, masukkan swab pada lubang
hidung sejajar palatum, biarkan beberapa detik sambil diputar
pelan dan ditekan (dilakukan untuk hidung kanan dan kiri)
▪ Buka, tutup media Amies masukkan segera swab (swab harus
terendam media) tutup rapat.
▪ Masukan media Amies dalam spesimen carrier dan kirim segera
ke laboratorim Laboratorium Pemeriksa disertai Foto Copy
Form Diph-1 dan Form Laboratorium.

• Pengiriman spesimen
▪ Pengiriman spesimen kelaboratorium dilakukan dengan
menggunakan spesimen carrier,
▪ Tidak lebih dari 48 jam setelah pengambilan.
▪ Tidak diperkenankan menggunakan pendingin / ice pack
▪ Diberi alamat lengkap pengirim dan alamat lengkap laboratorium
yang dituju disertai no telpon.

Skema 2. Alur Pemeriksaan Spesimen KLB (Kejadian Luar Biasa)

RS / Puskesmas / Lapangan

Spesimen
Spesimen

Dinkes Kab/Kota/Prop/UTD BLK BBLK Surabaya


Spesimen ≤ 24 Jam dilakukan
pemeriksaan

Syarat pengiriman :
1. Foto Copy Dipht1
2. Form Laboratorium

Skema 3. Pemeriksaan C. diphtheriae di BBLK Surabaya

Transport Medium ( Amies / Stuart )

Isolasi (1-2 hari)

Screening Test (1 hari)

Patogenik Non Patogenik

Toxigenic 1-2 hari Identifikasi Identifikasi

Skema 4. Pemeriksaan C. diphtheriae di BBLK Surabaya


Alur Pelaporan Hasil Pemeriksaan KLB di BBLK Surabaya

RS / Puskesmas / Lapangan

Umpan Balik

Dinkes Kab/Kota/Prop/UTD BLK BBLK Surabaya


≤ 24 Jam dilakukan
Umpan Balik pemeriksaan
≤ 24 Jam setelah
selesai Setiap Bulan
pemeriksaan Laporan Rekap
Hasil

▪ Dirjen Bina Upaya Kesehatan


▪ Dir BPPM & SK
▪ Subdit Surv & Respon KLB Dirjen P2PL
▪ Dinkes Propinsi setempat

Keterangan :
1. Media Transport untuk spesimen Difteri adalah Amies Transport Medium.
2. Diharapkan setiap Kab/Kota mempunyai stock media Amies transport
sebanyak 20 pcs.
3. Media Amies dapat disimpan pada suhu ruangan tidak boleh terkena sinar
matahari langsung.
4. Media bisa didapatkan di BBLK Surabaya (kalau mungkin disertai surat
permintaan)
5. Setiap mengirim spesimen bisa minta ganti media di BBLK.
6. Hasil pemeriksaan secara cepat/lisan lewat telpon/sms
7. Hasil pemeriksaan Resmi di Email & dikirim melalui courrier travel.
DAFTAR PUSTAKA

Androulla Efstroutou. WHO Manual For The Laboratrory Diagnosis of Difteria.1994


James Chin. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Tahun 2000
Norman Begg. Manual for The Management and Control of Diphteria in the European
Region. Tahun 1994
Form DIPH-1

FORM PELACAKAN KASUS DIPTHERI

Tanggal laporan : …………….. .


Tanggal Lacak :………….......
Kab./Kota : ……………….
Sumber laporan : RS / Pusk / Kader / BPS / DPS
A. IDENTITAS PENDERITA/SUSPEK
• Nomor EPID : ...............................
• Nama penderita : ……………….......................... Umur : …… bulan/tahun*
• Jenis Kelamin : L /P*
• Tempat tgl lahir : ...............................
• Nama KK : ...............................
• Alamat : ……………………………..
• Desa/Kelurahan* :……………………………… RT=….... RW=…...
• Kecamatan * ::………………………......
• Pendidikan/sekolah : .............................. (Bila SD, kelas berapa : ...... )
• Nama & Alamat Sekolah: …………………………....
• Pekerjaan orang tua : ..............................

B. RIWAYAT PENYAKIT

1. Tanggal & jam mulai sakit ? ....................................................


2. Gejala –Gejala yang timbul pertama kali ? …………………………...........
3. Setelah timbul gejala tersebut tadi, apa yang dilakukan ?
a………………………………………………………………………………………………………
b……………………………………………………………………………………………………..
c………………………………………………………………………………………………………
d……………………………………………………………………………………………………..

4. Siapa yang mendiagnosis pertama kali sebagai “ Suspek Diphteri ” ? ...........

5. Status Imunisasi
No Imunisasi Pernah Tdk pernah Tdk tahu
Bulan/tahun Tempat* Sumber**
1 DPT 1

2 DPT 2

3 DPT 3

4 DT

* Tempat : Posyandu, Bidan, Dr. Praktek, dll sebutkan


** Sumber : KMS, Buku ibu (merah muda), Ingatan ortu, dll sebutkan

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : a). Baik b). Cyanosis c). Shock
2. Epistaxis : Ada / Tidak ada
3. Bullneck : Ada / Tidak ada
4. Stridor : Ada / Tidak ada
5. Pseudomembrane : Ada / Tidak ada
6. Kelainan jantung : Ada / Tidak ada
7. Lain-lain, sebutkan ,……………………………....................................
D. DIAGNOSIS KLINIS

1.Diptheri pharynx 2. Diptheri Larynx 3. Lainnnya, …………….

E. PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS
Tanggal Hasil pemeriksaan
No pengambilan Mikroskopis Kultur Type Toxigenicity Resistensi
specimen kuman test test
1
.
2.

3.

F. PENGOBATAN YANG TELAH DIBERIKAN :


1 . ADS : ya / tdk ( …….................. IU )
2 .………………
3 .………………
4. ………………

G. KEADAAN PENDERITA PADA AKHIR PENGOBATAN


1. Sembuh
2. Meninggal, karena : a) asphyxia b) Komplikasi, ………………
3. Pulang paksa

H. ORANG-ORANG KONTAK ERAT


No. JENIS KONTAK JML JML KONTAK JML KONTAK HASIL LAB
KONTAK DIPROPHILAKSIS DIAMBIL SPES. POS.
1. Kontak serumah (KR) ... ... ... ...
2. Kontak Sekolah (KS) ... ... ... ...
3. Kontak Tetangga (KT) ... ... ... ...
4. Kontak Bermain (KB) ... ... ... ...
JUM LAH

1. Jumlah & jenis obat yang dibutuhkan untuk Propilaksis :


- Eritromisin 500 mg : ......................................... tablet
- Eritromisin 250 mg : ......................................... tablet
- Eritromisin syrup : ......................................... botol
- Multi Vitamin syrup : ......................................... botol

I. POPULASI RENTAN
No. Gol. Umur Jumlah
1. ≤ 3 tahun ........................... or

2. >3 – 7 tahun ........................... or

3. >7 – 15 tahun ........................... or

4. > 15 tahun ........................... or


Total ........................... or

J. MENCARI SUMBER PENULARAN


1. Apa penderita pernah bepergian ke daerah lain ( 2 minggu sebelum sakit) yang
ada kasus serupa ?
a) ya b) tidak c) tidak tahu

2. Apakah ada tamu yang datang dan kontak dengan penderita ( 2 minggu sebelum
sakit) yang mempunyai gejala sama ?
a) ya b) tidak c) tidak tahu ( kalau ya , usahakan kontak dimaksud diambil spesimennya)
K. PERJALANAN PENYAKIT

I-------------------I----------------------I---------------------I-----------------------I-------------------------->

Gejala awal sakit


-
-
-
-

L. Cakupan Imunisasi Desa :

Tahun disesuaikan dengan umur kasus :


- DPT3 : ..... %
- BIAS DT : ..... %

……………..,…………………..

__________________________

- BWK KEREN-sekali
I. LAPORAN “ SEMENTARA “ PENANGGULANGAN KLB DIFTERI

• Judul
• Dasar :
Laporan dari PKM, Televisi, Radio, Koran, dll
• Kronologis Kejadian
• Kegiatan :
Menceritakan kegiatan yang telah dilakukan dalam penyelidikan
epidemiologi
• Hasil Penyelidikan :
menceritakan siapa yang sakit/mati, dimana sakitnya, berapa yang
sakit/mati, kenapa bisa sakit/mati, situasi perkembangan KLB saat ini
setelah mulai ditanggulangi
• Pembahasan :
diceritakan tentang siatuasi KLB menurut versinya disesuaikan dengan
analisis dan teori yang ada, buat hipotesa
• Kesimpulan :
buat kesimpulan sementara tentang penyebab dan kemungkinan
perkembangan KLB
• Tindakan yang telah dan akan dilakukan :
Ceritakan secara singkat tentang tindakan yang telah dilakukan dan
akan dilakukan untuk mengatasi KLB tersebut

VI. LAPORAN “ AKHIR “ PENANGGULANGAN KLB DIFTERI

• Dasar
• Kronologis Kejadian
• Tinjauan Pustaka
• Metodelogi
• Hasil Kegiatan dan Pembahasan
❖ Jumlah yang tercakup di wilayah KLB
❖ Keadaan sanitasi , social ekonomi, budaya dan adapt yang
berkaitan dengan KLB
❖ Lamanya KLB berlangsung ( Mulai, akhir, lama kejadian, masa
inkubasi, dll)
❖ Distribusi menurut waktu, tempat dan orang, attack rate, CFR,
gejala klinis
❖ Sumber dan cara penularan
❖ Pengambian dan pemeriksaan specimen
• Tindakan Penanggulangan yang telah dilakukan
❖ Jenis tindakan, nama & jumlah bahan yang dipergunakan
❖ Vaksin (jenis vaksin, sasaran, dosis & fekuensi pemberianm
cakupan, dll
❖ Pengobatan (jenis obat, jml kasus diobati, dosis pemberian, jumlah
obat, dll
Lampirkan hasil survey cakupan dan pelaksanaan imunisasi tambahan.
• Biaya penanggulangan
❖ Perjalanan, bahan dan alat
• Masalah dan Hambatan
• Kesimpulan dan saran

.
Kontributor :
Prof. Dr.dr. Ismoediyanto, SpA (K)., DTMH.
Prof. Parwati S. Basuki.dr.DTM&H.MSc.(CTM)., SpA (K)
dr.Dominicus Husada.,SpA (K)., Trop.Paed.
dr. Dwiyanti Puspitasari, DTM&H, MCTM,Sp(A)
Drg. MVS. Mahanani., MKes.
Drs. Bambang WK., MKes.
dr. Evelin Irawan
Aris Wiji Utami, SSi.,Mkes.
Bernadette Soesmiati, SSt.
GAMBAR :

Media Amies
PEDOMAN
PENANGGULANGAN KLB DIFTERI
PROVINSI JAWA TIMUR

Oleh :
DINAS KESEHATAN DAERAH
PROVINSI JAWA TIMUR
TAHUN 2011

Anda mungkin juga menyukai