Anda di halaman 1dari 51

Ilustrasi Mata Saya Kaya Roda

Abdullah bin Ummi Maktum


(Mensyukuri Nikmat Mata)

Kalau Rasulullah saw. berangkat ke medan perang, Abdullah bin Ummi Maktum ditunjuk
menjadi wakil beliau di Madinah, mengimami shalat jamaah di mihrab beliau, dan berdiam di
sebelah kiri mimbar dengan khusyuk.
Pada awal sejarah Islam, Abdullah bin Ummi Maktum mendapatkan hidayah untuk
bergabung bersama orang-orang yang telah memeluk Islam. Ketika masih muda, ia merasakan
manisnya iman. Dan beranjak dewasa, ia merasakan bahwa ajaran Islam telah menjadikan
hatinya bersih. Sehingga walaupun matanya tak dapat melihat, iman terasa sebagai nikmat
besar yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Ibnu Ummi Maktum mempunyai naluri yang peka untuk mengetahui waktu. Setiap
menjelang fajar, ia keluar dari rumahnya, bertopang tongkat atau bersandar di lengan seorang
muslim untuk mengumandangkan adzan di masjid Rasul.
Ia bergantian adzan dengan Bilal bin Rabah. Jika salah satu mengumandangkan adzan,
maka yang lain mengumandangkan iqamat. Bilal mengumandangkan adzan semalam,
sedangkan Ibnu Ummi Maktum pada waktu subuh.
Oleh sebab itu, Rasulullah bersabda, terkait waktu sahur bulan Ramadhan, ‗Makan dan
minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.‘
Allah memuliakan Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Ketika Nabi sedang duduk bersama
para pemuka Quraisy, Ibnu Ummi Maktum datang untuk menanyakan sesuatu. Nabi mengelak
karena sedang sibuk dengan tokoh Quraisy. Allah pun menurunkan ayat yang berbunyi, ‗Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, ketika datang seorang buta kepadanya. Tahukah

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 16


kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia ingin mendapatkan
pengajaran, lalu pengajaran itu bermanfaat untuknya.‘ (QS. ‗Abasa: 1-4)
Sewaktu ayat itu turun, Rasulullah kemudian memanggil Ibnu Ummi Maktum dan
memberinya suatu kehormatan dengan menunjuknya sebagai wakil beliau di Madinah saat
beliau berperang untuk pertama kalinya.
Suatu ketika Abdullah bin Ummi Maktum menyampaikan keinginannya untuk dapat ikut
berjihad. Tentu saja para sahabat menyambutnya dengan senang karena ia memiliki
keutamaan.
Abdullah bin Ummi Maktum merasa sedih tatkala turun wahyu kepada Rasulullah,
‗Tidaklah sama orang antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang).‘
Ia berkata, ‗Ya Allah, Kau memberiku ujian begini. Bagaimana aku dapat berbuat?‘
Kemudian turun ayat lagi, ‗Kecuali yang mempunyai udzur.‘
Kemuliaan apa yang lebih tinggi dari itu, ketika wahyu diturunkan dua kali lantaran
persoalan Ibnu Ummi Maktum? Pertama adalah teguran kepada Rasulullah saw. dan kedua
ketentuan berperang bagi orang yang mampu dan yang berhalangan, termasuk Abdullah bin
Ummi Maktum.
Meski demikian ia tetap berhasrat untuk berjihad, dan Allah mengabulkannya pada saat
Perang Qadisiyah. Ia turut berperang sebagai pembawa panji pasukan berwarna hitam. Dialah
orang buta pertama yang turut berperang dalam sejarah peperangan Islam.
*
Anas r.a. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah berfirman, ‗Apabila
Aku menguji hambaku dengan buta kedua matanya, kemudian ia bersabar, maka Aku akan
menggantinya dengan surga.‘

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 17


Ilustrasi Ada Thoha Bawa Jala

Nelayan yang Rakus

Pak Thaha mengangkut ikan hasil tangkapannya dengan keranjang. ―Alhamdulillah,‖


ucapnya sambil menaruh keranjang di atas jok belakang motornya.
―Masih pakai jala, Pak Thaha?‖ tegur Pak Andi, tetangganya.
Pak Thaha tersenyum, lalu menjawab, ―Iya, Pak Andi.‖
―Sini, Pak Thaha,‖ bisik Pak Andi. ―Bagaimana?‖
Pak Thaha menggeleng.
―Ah, kamu ini, kapan bisa kaya kalau terus pakai jaring,‖ kata Pak Andi lagi.
Pak Thaha tidak banyak bicara, ia segera pamit karena istrinya sudah menunggu di
rumah, siap membantunya menjual ikan di pasar.
―Kalau kamu berubah pikiran, aku mau membantu. Nanti kuajari dengan caraku.‖
Malam itu, Pak Andi siap berangkat kerja. Ia membawa selang dan kompresor. Ia tidak
sendirian, melainkan bersama dua orang kawannya sesama nelayan.
Meski malam hari, cuaca cerah, air laut tenang. Mereka jadi mudah beraksi mereka. Pak
Andi dan kedua temannya menyelam. Sampai di dasar laut, dengan selang mereka
menyemprotkan cairan potasium ke sela-sela padang lamun, tempat ikan-ikan bersembunyi.
Kemarin-kemarin, Pak Andi menggunakan bom untuk menangkap ikan. Kini racun
potasium dicobanya juga. Ia penasaran apakah hasilnya sebanyak ketika ia memakai bom. Kata
teman-temannya yang sudah lebih dulu menggunakan bom, hasil tangkapan ikan menggiurkan.
Di perairan sekitar tempat tinggal Pak Andi dan Pak Thaha, lautnya luas, ikannya banyak, dan
jarang ada petugas yang mengawasi. Jadi, nelayan leluasa mengambil ikan dengan cara
apapun.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 18


Beberapa jam kemudian, setelah Pak Andi dan teman-temannya beraksi dengan
potasium, mereka naik ke permukaan air. Mereka membenahi perlengkapan kerja dan menata
ikan-ikan hasil tangkapan di keranjang besar.
―Wah, banyak sekali ya, Pak Andi,‖ kata salah satu temannya.
―Sama dengan pakai bom, ya,‖ sahut temannya yang lain.
Pak Andi mengangguk. ―Besok kita pakai potasium lagi,‖ ia berkata.
―Oh ya, kemarin aku bertemu Pak Thaha. Rupanya dia masih setia dengan jala-nya,‖
kata teman Pak Andi.
―Ha-ha-ha, kasihan sekali dia. Dari dulu hidupnya begitu-begitu saja. Motor bututnya
tidak juga ganti yang baru,‖ sahut teman yang kedua.
―Minggu depan aku mau beli mobil. Lumayan hasil kerja selama ini. Kalau aku masih
pakai jaring seperti Pak Thaha, mana bisa?‖ kata Pak Andi.
Mereka tertawa senang melihat hasil tangkapan ikan yang selalu banyak. Hari itu
mereka pulang dengan rasa puas.
Dua hari berikutnya, mereka kembali bekerja dengan cara yang sama. Menyelam ke
dasar laut dengan selang potasium, dan kompresor untuk pasokan oksigen untuk bernapas.
Dan ketika Pak Andi dan kawan-kawannya—oh, ternyata tidak hanya kedua teman
dekatnya, melainkan juga ada beberapa nelayan lain—mengemasi peralatan kerja dan ikan
hasil tangkapan, alangkah terkejut mereka. Di depan mereka di sekitar dermaga, sudah berdiri
beberapa petugas dari lembaga yang berwenang. Mereka sudah menunggu beberapa jam
hingga para nelayan itu naik ke permukaan.
―Selamat malam, Bapak-bapak,‖ tegur seorang petugas.
―Selamat malam,‖ sahut para nelayan serempak. Pak Andi dan beberapa teman saling
pandang. Mereka tidak menduga akan bertemu petugas.
―Kami dari Dinas Perikanan dan Kelautan, perlu memeriksa peralatan kerja dan ikan
hasil tangkapan Bapak-bapak,‖ kata seorang pemimpin di antara para petugas.
Tidak ada tanggapan dan bantahan dari para nelayan, kecuali anggukan kepala pasrah.
Para petugas pun mulai memeriksa.
―Bapak-bapak Nelayan, kami telah meneliti keadaan dasar laut. Banyak padang lamun
mati, terumbu karang mati. Dan itu akibat racun potasium yang kalian gunakan.‖
―Tapi, Pak Petugas, kami belum lama memakai racun. Sebelumnya kami memakai
jaring,‖ Pak Andi mencoba membantah.
―Benar, Pak. Kami selama ini memakai jaring. Kami baru kali ini mencoba potasium,‖
timpal seorang nelayan lain.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 19


―Dulu kami pernah melihat ikan hasil tangkapan Bapak-bapak seperti ini keadaannya.
Tidak ada bekas kerusakan di tubuh ikan, tetapi warna matanya pudar. Ini tanda ikan yang
mati karena racun,‖ jelas Petugas.
Para nelayan terdiam. Petugas melanjutkan penjelasannya. ―Saat itu kalian mengaku
ikan yang didapat hasil dari menjaring. Padahal ikan yang dijaring itu pasti rusak di bagian
sisiknya karena terkena jaring.‖
Para nelayan masih tak berkutik dan semakin gelisah. Kini mereka tertangkap basah.
―Bapak-bapak harus sadar bahwa menangkap ikan dengan bom dan racun itu tindakan
yang zhalim kepada alam. Ikan-ikan mati hingga bibit yang masih kecil, terumbu karang tempat
tinggalnya pun rusak. Kalau tindakan ini kita biarkan, kelak tidak ada lagi yang tersisa untuk
anak-cucu kita,‖ jelas petugas lainnya. ―Sebelum pulang, silakan Bapak-bapak ikut kami ke
kantor dulu.‖
Pak Andi dan kawan-kawannya tak bisa menolak ketika digiring oleh petugas. Bayangan
mobil barunya melayang-layang, dan ia teringat Pak Thaha, tetangganya yang setia dengan jala
dan motor bututnya.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 20


Ilustrasi Shofa Nama Qota Lama

Pengorbanan Bunda Hajar

Saat pertama kali dibawa Ibrahim alaihissalam dari Kan‘aan menuju lembah yang
gersang, sungguh, Siti Hajar sangat ketakutan. Sebab, suku Amaliqah yang suka berkemah
saja, setelah beberapa hari bermukim di sana, tak pernah lagi ingin mengunjungi lembah itu
lantaran susah mendapatkan air dan makanan ternak.
Saat tiba di lembah itu tampak sekali kegelisahan, kebingungan, dan ketakutan Siti
Hajar. Nabi Ibrahim as. sangat memahaminya. Tetapi Siti Hajar pun mengerti bahwa apa yang
dilakukan suaminya adalah perintah Allah. Ia menerima kondisi itu dengan penuh keikhlasan
dan keyakinan bahwa Allah tidak akan menelantarkannya. Dengan tegas Siti Hajar berkata saat
Ibrahim as. ingin menaiki kendaraannya, ―Jika memang begitu perintah-Nya, aku yakin Allah
tidak akan menelantarkan kami.‖
Setelah kepergian Nabi Ibrahim as, Siti Hajar mulai menjalani kehidupan yang berbeda.
Ia hidup berdua saja dengan putranya, Ismail as. Pada pagi pertamanya Siti Hajar terbangun
karena tangis keras Ismail as. yang masih bayi. Siti Hajar panik dan bingung karena Ismail
sangat lapar dan dahaga. Ia mengambil tempat air yang dibawanya, namun ternyata kosong.
Siti Hajar mencari air ke sekitar tempat tinggalnya. Dia pergi menuju bukit Shafa dan
berharap ada sekelompok kafilah yang bisa menolongnya, tetapi ternyata tidak ada.
Tiba-tiba ia melihat kilau genangan air di lereng bukit Marwah. Dikejarnya namun
ternyata tidak ada. Ia melihat pula di bukit Shafa ada air, didatanginya lembah di bukit
tersebut. Ternyata tidak ada juga air di sana. Ia berbolak balik antara Shafa dan Marwah
hingga tujuh kali. Sengatan matahari di wajahnya tidak dihiraukannya, begitu juga hamparan
pasir yang membuat telapak kakinya berdarah.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 21


Di antara harapan dan putus asa, ia kembali menemui Ismail. Ia terkejut mendapati
bayinya yang tadi menangis, sebab kini tenang. Kemudian pahamlah Siti Hajar ketika melihat
air yang mengalir di bawah kaki bayinya. Air itu muncul dari bekas entakan kaki Ismail saat
menangis.
Siti Hajar mengambil air dengan meraupkan kedua tangannya. Lalu diminumkannya
kepada Ismail. Siti Hajar yang mulia tak henti-henti memuji Allah atas rahmat yang
dianugerahkan kepadanya. Banyak keberkahan yang Allah turunkan di sana hingga Nabi Ismail
tumbuh dewasa.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 22


Ilustrasi Dzasya Ghaza Bawa Kadho

Kejutan Malam Lebaran

Mata Doni belum beralih dari kalender di meja belajarnya. Esok lusa Ramadhan
berakhir. Hingga kini Ibu dan Ayah tidak ada tanda-tanda akan mengajaknya membeli baju
baru untuk dipakai pada hari raya Idul Fitri. Ia selalu ingat Ramadhan tahun-tahun sebelumnya.
Keluarganya pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli baju dan aneka kebutuhan pada hari-
hari puasa dan menjelang hari raya, justru saat libur sekolah awal puasa.
Kata Ibu waktu itu, ―Biar bisa menjalankan puasa sepanjang Ramadhan dan tidak
kepikiran baju baru.‖ Tapi sekarang, kenapa sampai menjelang Lebaran tidak ada hadiah?
―Doni nggak ke masjid?‖ tegur Ibu ketika terdengar adzan zhuhur dari masjid.
―Iya, Bu. Habis ini Doni ke masjid,‖ sahut Doni.
Setelah memakai sarung, Doni berjalan sendiri kaki ke masjid. Ia berwudhu dan siap
mengikuti shalat berjamaah. Tahun lalu ia masih shalat ke masjid bersama Kak Dodi. Kali ini
tidak lagi, karena kakak sulungnya itu melanjutkan kuliah di luar kota.
Doni sebenarnya sudah paham kenapa Ayah dan Ibu tidak berencana membeli baju
baru Lebaran tahun ini. Masih banyak pakaian bagus di lemari dan pantas dipakai pada hari
raya. Selain itu, tahun ini keuangan keluarga lebih banyak dipakai untuk biaya kuliah Kak Dodi.
Ia hanya sedikit perlu membiasakan diri tanpa baju baru saat Lebaran. Doni bukan anak
cengeng yang merajuk minta baju baru.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 23


Usai shalat, di pelataran masjid terdengar seseorang memanggilnya.
―Doni!‖
Doni menoleh mencari arah suara. Ia melihat anak laki-laki sebayanya berjalan ke
arahnya. Doni tidak ingat siapa anak yang tahu namanya itu.
―Assalamu‘alaikum,‖ tegur anak itu setelah mendekat.
―Wa‘alaikumussalam,‖ sahut Doni pendek sambil menjabat tangannya. Saking seriusnya
mengingat-ingat siapa dia, Doni sampai tidak tersenyum.
―Don, kamu sudah lupa sama aku, ya?‖ kata anak itu lagi. ―Kita kan berteman waktu
masih TK dulu!‖
―Astaghfirullah. Kamu Gugun!‖ seru Doni takjub. Ia baru bisa mengingat Gugun, teman
bermainnya waktu kecil dulu. Gugun pindah ke luar kota mengikuti ayahnya yang pindah tugas.
Rupanya teman masa kecilnya itu kini sudah kembali ke kota asalnya.
―Eh, aku sudah mau pulang. Kamu sudah shalat atau baru mau shalat?‖ tanya Doni.
―Sudah. Tadi dua shaf di belakangmu,‖ sahut Gugun.
Sekilas tanpa sadar Doni melihat sarung dan baju koko yang dikenakan Gugun.
Warnanya sudah pudar, meski tidak tampak lusuh.
―Oh ya, Gun, setelah ini apa kegiatanmu?‖
Gugun tersenyum lalu menyahut, ―Hmm… tiduran sebentar mungkin. Soalnya capek sih,
tadi habis bantu ibuku bersih-bersih rumah.‖
Tiba-tiba Doni ada ide. ―Nanti habis ashar kita tadarus yuk, terus main di rumahku
sambil menunggu berbuka.‖
―Wah, aku mau!‖
―Baik, sampai jumpa nanti ya!‖
Tiba di rumah, Doni tidak jadi mengantuk. Padahal tadi sebelum shalat, ia merasa
sangat mengantuk. Teringat pakaian Gugun yang pudar warnanya. Sejak dulu, yang Doni tahu
keluarga Gugun adalah keluarga sederhana, bukan orang miskin. Doni ingat juga, ia pernah
diajak makan bersama keluarga Gugun.
Makanan yang dihidangkan ibu Gugun tidak berbeda dengan yang dihidangkan ibunya
di rumah. Makanan sehat dan bergizi. Kata ibu Gugun, itu lebih penting daripada
menghamburkan uang untuk membeli jajanan di luar rumah yang mahal dan tidak sehat. Juga
lebih penting daripada membeli pakaian baru, kalau pakaian yang ada di lemari masih pantas
dipakai. Kalau beli mainan sedikit boleh juga, buku cerita dan pengetahuan juga boleh.
Tiba-tiba Doni punya ide. Ia mencari Ibu yang masih sibuk di dapur, memasak hidangan
berbuka nanti. ―Bu, nanti malam bisa antar Doni ke toko?‖
―Doni mau beli apa?‖ tanya Ibu heran.
―Baju koko. Pakai tabungan sendiri kok, Bu,‖ sahut Doni.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 24


―Doni mau beli baju pakai uang sendiri, karena kecewa Ayah dan Ibu tidak
membelikan?‖ tanya Ibu dengan raut wajah agak sedih.
Doni menggeleng cepat dan menukas, ―Enggak, Bu! Doni beli baju bukan buat diri
sendiri. Tapi hadiah untuk teman.‖
―Oh ya? Alhamdulillah. Kamu anak hebat, Doni!‖ sahut Ibu sambil memeluknya.
Jadilah malam itu Ibu mengantar Doni ke toko pakaian. Sekalian dibungkus dengan
pembungkus yang rapi oleh pelayan toko.
Sore berikutnya, menjelang malam takbiran, Doni pergi ke rumah Gugun.
―Gun, nanti malam kita takbiran di masjid ya!‖ kata Doni. Bungkusan yang dibawanya
disembunyikan di balik punggungnya.
―Siap, Don. Aku ingat, kok. Tadi siang kan kita sudah janjian. Pakai ke rumahku
segala…‖
―Memangnya nggak boleh ya?‖
―Boleh, kok. Boleh. Mau sekalian lihat koleksi mainan lego-ku juga, nggak?‖
―Kapan-kapan deh. Aku pulang ya, tapi sebelumnya, ini ada hadiah untukmu,‖ kata Doni
sambil mengulurkan hadiah yang sudah disiapkannya.
―Wow! Alhamdulillah! Terima kasih, Don!‖
―Semoga bermanfaat, ya!‖
Setelah berpamitan, Doni pun berlalu. Puas hatinya bisa menyenangkan hati teman.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 25


Ilustrasi Hatsa Khodzo Sama Dho’a
Doa si Pembuat Roti

Pada masanya, Imam Ahmad bin Hanbal pernah melakukan shafar dan melewati sebuah
masjid. Beliau shalat di dalamnya, tanpa kenal seorang pun di daerah tersebut. Ketika tiba
waktu tidur, Imam Ahmad menggelar tikar di dalam masjid untuk tidur. Selang beberapa waktu,
penjaga masjid meminta Imam Ahmad untuk tidak tidur di masjid. Penjaga masjid tidak tahu
siapa Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, ―Aku tidak tahu di mana aku bisa tidur. Oleh karenanya aku ingin
tidur di sini.‖
Mereka sempat berdebat, dan penjaga masjid tetap mengusir Imam Ahmad. Imam
Ahmad terheran-heran dengan sikap dan perlakuan penjaga masjid itu. Sampai di luar masjid,
lewatlah seseorang ketika penjaga masjid masih menyeret Imam Ahmad.
Orang yang lewat itu bertanya kepada Imam Ahmad, ―Ada apa denganmu?‖
Imam Ahmad menjawab, ―Aku tidak menemukan tempat di daerah sini untuk bermalam.
Sementara penjaga masjid itu menolakku untuk tidur di dalam masjid.‖
Orang itu menjawab, ―Mari ke rumahku. Tidurlah di sana.‖
Pergilah Imam Ahmad bersama orang itu. Di rumahnya, Imam Ahmad terkejut melihat
tuan rumah itu banyak bertasbih. Ia adalah seorang pembuat roti. Sambil menyiapkan adonan
roti, dan di tengah-tengah pekerjaannya ia banyak bertasbih dan beristighfar. Imam Ahmad
berpikir perkara orang ini adalah perkara besar karena ia banyak beristighfar dan bertasbih.
Imam Ahmad pun tidur. Di pagi hari, Imam Ahmad bertanya kepada pembuat roti itu.
―Apakah kamu mendapat pengaruh tasbih yang kamu ucapkan?‖

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 26


Pembuat roti itu menjawab, ―Ya. Demi Allah. Sesungguhnya setiap kali aku berdoa
kepada Allah, dikabulkan doa itu. Tapi ada satu doa yang lama sekali belum dikabulkan hingga
sekarang.‖
Imam Ahmad bertanya lagi, ―Doa apa itu?‖
Pembuat roti itu menjawab, ―Aku berdoa agar bisa bertemu Imam Ahmad bin Hanbal.‖
Terkesima Imam Ahmad mendengarnya, lalu berkata, ―Demi Allah. Akulah Imam
Ahmad. Sesungguhnya aku telah diseret untuk menuju kepadamu agar Allah mengabulkan
doamu.‖

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 27


TARGET PENUMBUHAN MUWOSHOFAT MELALUI CERITA WAFA BUKU 2
BUKU 2
Pokok Muwashofat Muwashofat
Judul Cerita Pelajaran
Materi Utama Turunan
Kita harus
memacu diri
Mempunyai
untuk
Hasana motivasi untuk Si Kembar
Mengenal Diri meningkatkan
Hasani berprestasi dalam Berprestasi
prestasi
kebaikan
dalam setiap
kebaikan
Kita
dianjurkan
berbuat baik
Berbuat baik
kepada
Salama kepada siapapun Alhamdulillah,
Mengenal Sekitar siapapun dan
Salaman dan menyebarkan Temanku Banyak
menyebarkan
salam
salam saat
bertemu
orang lain
Kita harus
membiasakan
diri membaca
Membiasakan
Al-Qur'an di
Mama- mengaji di rumah
Mengenal Sekitar Mengaji Yuk! rumah
Maama bersama Mama
bersama
dan Papa
keluarga agar
rumah dijauhi
Syaitan
Kita harus
menjaga
sholat lima
Membiasakan diri Sholat itu waktu
Amanu Mengenal Allah
sholat 5 waktu Penolong Kita sebagai
penguat
kemudahan
belajar kita

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 28


Ilustrasi Hasana Hasani

Si Kembar Berprestasi

Hasana dan Hasani adalah saudara kembar. Wajah dan perawakan mereka mirip.
Mereka juga suka memakai baju kembar.
Suatu hari Hasana ingin mengajak Hasani pergi ke perpustakaan. Ibu dan Ayah sudah
mengizinkan.
―Yuk, Hasani. Koleksi buku di sana bagus-bagus, lho.‖
Hasani masih asyik dengan game di depan komputer. Dia hanya menoleh sebentar lalu
kembali ke permainannya.
―Kalau kita ke sana sekarang, kita bisa leluasa membaca. Soalnya, kalau hari Ahad jam
12 perpustakaan sudah ditutup,‖ lanjut Hasana.
―Kamu ke sana sendiri, deh. Game-ku belum selesai.‖
Maka Hasana berangkat sendiri ke perpustakaan setelah berpamitan kepada Ibu.
Sore harinya seperti biasa, usai mengaji di masjid, Hasana menyiapkan buku-buku dan
peralatan sekolah untuk esok hari. Ia akan mengerjakan soal-soal latihan untuk ulangan
Matematika esok lusa.
―Hasani, ada tugas untuk besok? Atau tes?‖ tanya Ibu kepada Hasani yang langsung
memegang tablet dan siap bermain game.
―Tidak ada, Bu. Makanya belajarnya besok saja,‖ sahut Hasani.
Sementara itu, Hasana tetap belajar meski esok tak ada ulangan.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 29


Seperti itulah selama ini yang terjadi. Meski Hasana dan Hasani kembar, mereka
berbeda sifat. Hasana rajin belajar tanpa disuruh dan tidak menunggu akan ada tes. Hasani
sebaliknya. Ia suka sekali bermain game komputer atau game dengan alat modern. Hasana
sendiri bukannya tidak pernah bermain, tetapi ia bermain setelah usai belajar.
Lalu, sebuah kejadian mengubah Hasani. Apakah itu?
Suatu hari ada Ibu Guru mengadakan ulangan mendadak. Sebagian besar siswa di kelas
Hasana dan Hasani mengeluh karena merasa tidak siap.
―Bu, kenapa kami tidak diberitahu dulu?‖ protes mereka.
Hasana menoleh ke arah Hasani yang duduk berjarak tiga bangku di sebelah kanannya.
Ia tersenyum, sementara Hasani di antara teman-teman lain yang juga memprotes, wajahnya
merengut.
―Justru karena Ibu ingin tahu bagaimana kesiapan kalian, Anak-anakku,‖ sahut Ibu
Guru. ―Lagipula, ini hanya sepuluh soal dan semuanya sudah Ibu ajarkan. Tentu kalian tidak
kesulitan meski mendadak ya.‖
Para siswa tidak membantah lagi. Ibu Guru membagikan lembar soal yang berbeda
untuk anak-anak dengan nomor urut berbeda, untuk mencegah mereka mencontek.
Hasana mengerjakan soal-soal dengan lancar. Dan ketika hasilnya dibagikan, ia
mendapat nilai 100 karena jawabannya benar semua. Sementara Hasani, ia harus menerima
nilai 50 di lembar jawaban tesnya.
Tetapi sejak saat itu, Hasani berubah pikiran. Ia baru sadar bahwa sikap tekun saudara
kembarnya sangat bermanfaat. Tentu saja tidak hanya ketika ada ulangan mendadak, tetapi
ketekunan juga membuat Hasana mudah memahami setiap pelajaran. Ia jadi ingin seperti
kembarannya itu.
―Hasana, kapan kamu ke perpustakaan lagi?‖ tanya Hasani. ―Ajak aku ya!‖
―Eh?!‖ Hasana bengong, tidak menyangka dengan pertanyaan Hasani. ―Mm.. mungkin
besok lusa. Wah, tumben kamu mau ikut.‖
Hasani cengar-cengir. ―Terus… nanti ajari aku soal ulangan yang tadi aku belum
mengerti ya. Biar lain kali nilaiku tidak jelek lagi.‖
Sejak berubah menjadi lebih rajin belajar, prestasi Hasani meningkat dan tidak kalah
lagi dengan Hasana.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 30


Ilustrasi Salama Salaman

Alhamdulillah, Temanku Banyak

Kriiingng…! Bel berbunyi, tanda pelajaran jam ketiga usai dan tiba waktu istirahat

pertama. Anak-anak berhamburan keluar dari kelas. Ada yang menyerbu kantin untuk membeli

jajanan, ada yang ke halaman dan bermain bola, ada yang ke perpustakaan untuk membaca,

dan ada juga yang duduk-duduk santai di deretan kursi di depan kelas.

―Hi, friends!‖ terdengar sapaan saat Salama dan teman-temannya sedang membuat

kapal mainan dari karton bekas minuman. Mereka menoleh dan tampaklah Indy, anak kelas

sebelah, yang cukup dikenal di sekolah. Indy yang punya suara merdu pernah mengikuti kontes

adu bakat di stasiun televisi nasional meski hanya sampai tingkat semifinal.

―Oh, Indy. Assalamu‘alaikum,‖ sahut Salama dan teman-teman.

―Wa‘alaikumussalam… eh…‖ tersipu-sipu Indy membalas salam.

―Ikut bikin kapal, yuk, Indy!‖ sambut Inas.

―Nanti kita layarkan ke kolam belakang,‖ timpal Nana.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 31


Indy memandang sebentar kapal-kapal yang sedang dibuat teman-teman. Ia

menggeleng. ―Nggak, ah. Aku mau ke ruang ekskul saja. Yuk, friends. Bye!‖

Salama dan kawan-kawan geleng-geleng melihat sikap Indy. Ya… sejak sering tampil di

televisi dan diwawancara di koran lokal, Indy berubah. Ia lebih sering menyapa teman-

temannya dengan sapaan asing dan jarang mengucapkan salam lagi.

―Kok Indy begitu, sih?‖ tanya Nana sebal.

―Iya, gayanya sudah sok artis,‖ sahut Inas.

―Eh, tapi aku yakin Indy sebenarnya anak baik, kok,‖ sahut Salama. ―Kita kan dulu

pernah satu kelas dengan dia.‖

―Iya… tapi gayanya itu lho… aku nggak suka,‖ kata Nana.

Salama tersenyum menanggapi kekesalan teman-temannya. Ia berusaha tetap

husnuddzan terhadap Indy.

Siangnya ketika pelajaran usai dan para orang tua datang menjemput, terlihat Indy

duduk menunggu dengan gelisah. Satu-persatu jumlah kerumunan anak dan para penjemput

berkurang. Tinggal beberapa anak yang belum dijemput, di antaranya Salama dan Indy.

―Indy,‖ sapa Salama. ―Belum dijemput juga ya?‖

Indy menggeleng murung.

―Aku juga telat dijemput. Tadi ibuku bilang ada perlu ke kantor Ayah dulu, jadi telat

jemput aku,‖ kata Salama.

―Aku tadi sudah telepon ke rumah, tapi nggak ada yang mengangkat,‖ sahut Indy.

―Oh…‖ Salama mengangguk, lalu menyarankan, ―Coba kamu telepon lagi, In.‖

Indy pun menuju ke boks telepon di dekat resepsionis. Setelah memasukkan koin, ia

berbicara beberapa patah kata. Lalu kembali ke deretan kursi di halaman.

―Aku batal dijemput. Mama suruh aku naik angkot,‖ kata Indy sedih.

Belum sempat Salama menjawab, datang mobil jemputan Salama. Ibu membuka

jendela mobil dan melambai.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 32


―In, ikut mobil ibuku saja, yuk! Pasti ibuku mau mengantarmu. Daripada naik angkot?‖

Salama menawarkan.

Indy ragu. ―Sungguh?‖

Salama mengangguk. ―Yuk!‖

Mereka menuju ke mobil. Salama meminta izin Ibu untuk mengajak Indy naik dan

mengantarnya ke rumah. ―Boleh ya, Bu?‖

Ibu mengangguk, ―Boleh, dong. Ayo naik.‖

Dalam perjalanan yang tidak lama, Indy dan Salama mengobrol. Indy yang semula agak

kikuk, kemudian kembali akrab dengan Salama. Ketika Salama bertanya kenapa sekarang Indy

jarang mengucapkan salam, Indy menjawab itu karena ia ingin terlihat keren dengan lebih

sering mengucapkan sapaan dalam bahasa asing.

―Padahal salam itu kan ada doanya. Arti kata-katanya saja doa. Kalau sapaan seperti

‗halo‘, ‗hai‘, kan nggak ada doanya, In,‖ kata Salama.

―Iya sih…‖ sahut Indy tersenyum simpul. Sesaat ia tampak seperti memikirkan sesuatu.

Beberapa saat kemudian mereka sampai di depan rumah Indy. Ibu Salama menitipkan

salam untuk Mama Indy.

Sebelum turun, Indy mencium tangan ibu Salama dan mengucapkan salam.

―Terima kasih, Amma. Assalamu‘alaikum,‖ pamit Indy.

Sejak saat itu Indy kembali menjadi anak yang suka mengucapkan salam. Sebab salam itu
mengandung doa keselamatan dan mendatangkan pahala. Dengan menebarkan salam, kita
akan mudah mendapatkan teman.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 33


Ilustrasi Mama Maama

Mengaji, Yuk!

Setiap pukul empat sore, Nada dan kawan-kawannya mengaji di masjid yang letaknya
tidak jauh dari rumah. Layaknya di sekolah, santri yang mengaji di situ juga memakai seragam
yang rapi. Hanya saja mereka boleh tidak bersepatu. Usai mendapat giliran mengaji, biasanya
anak-anak itu bermain sambil menunggu waktu maghrib tiba. Lalu sebelum pulang mereka
mengikuti shalat berjamaah di masjid.
―Eh, aku pulang duluan ya,‖ pamit Rio usai shalat maghrib.
―Kok buru-buru, sih?‖ tanya Nada.
―Nggak buru-buru,‖ sahut Rio. ―Cuma mau ngaji sama mama-ku nanti.‖
―Lho, kita kan sudah mengaji di masjid sini. Ngapain ngaji lagi?‖ tanya Nada heran.
―Ya apa salahnya? Malah bagus kan, banyak ngaji dapat pahala,‖ sahut Rio lagi.
―Mm… iya, ya…‖ sahut Nada setengah bergumam.
―Aku dan keluargaku terbiasa mengaji di rumah juga, biarpun di masjid aku sudah
mengaji,‖ lanjut Rio. ―Eh, sampai ketemu besok ya Nad!‖
―Eh, kalau begitu aku juga pulang dulu, ah!‖ Nada akhirnya memutuskan.
―Assalamu‘alaikum!‖
―Wa‖alaikumussalam.‖
Sampai di rumah, Nada memanggil-manggil ibunya yang sibuk menyiapkan makan
malam di dapur.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 34


―Kok sudah pulang, Nada? Nggak menunggu shalat isya sekalian?‖ tegur Ibu.
―Tadi Rio juga pulang duluan, Bu. Mau mengaji lagi di rumah, katanya,‖ sahutnya.
―Oh…‖ sahut Ibu. ―Bagus itu. Kamu sendiri, kenapa pulang lebih cepat?‖ tanya Ibu.
Bukannya langsung menjawab, Nada malah buru-buru ke kamarnya. ―Sebentar, Bu.‖
Di kamarnya, Nada mencari-cari sesuatu di antara tumpukan buku bacaannya.
―Ah, ini dia!‖ serunya ketika menemukan sebuah buku: ringkasan hadits untuk anak.
Nada segera membolak-baliknya dan berhenti di satu halaman.
―Barang siapa membaca satu huruf Al Qur‘an maka baginya satu pahala dan satu pahala
diganjar sepuluh kali lipat,‖ Nada membaca salah satu hadits di buku itu.
Lalu ia membaca lagi, ―Sesungguhnya Allah mempunyai beberapa keluarga dari
manusia. Mereka adalah ahlul qur‘an. Mereka adalah keluarga (kekasih) Allah yang terpilih.‖
Dan berikutnya, ―Janganlah kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya
syaithan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah.‖
Nada mengerutkan kening. Dua hadits pertama yang dibacanya cukup dipahaminya.
Tetapi yang ketiga, ia tidak mengerti. Ia keluar dari kamar dan mencari Ibu.
―Bu, ini apa sih maksudnya?‖ tanya Nada kepada Ibu sambil mengulang hadits yang
baru dibacanya. ―Rumah ya rumah. Kuburan ya kuburan. Kok rumah dijadikan kuburan? Mana
mungkin?‖ tanya Nada serius.
―Oh… itu…‖ Ibu tersenyum geli melihat sikap penasaran anaknya. ―Maksudnya begini,
Nada. Kuburan itu kan sepi. Tempat memakamkan jenazah. Nah, kalau kita punya rumah, biar
tidak sepi seperti kuburan, ya dipakai juga untuk mengaji, membaca Al Qur‘an, berdzikir, dan
ibadah lainnya.‖
Nada mengangguk. ―Oh… berarti itu ya maksudnya Rio masih mengaji lagi di rumah
meskipun di masjid sudah mengaji.‖
Sebentar kemudian, terdengar adzan isya dari masjid.
―Wah… sudah isya. Kalau begitu Nada ke masjid lagi ya Bu!‖
―Lalu, mengaji-nya lagi, bagaimana?‖ tanya Ibu.
―Nanti setelah isya ya, Bu!‖
Setelah pamit untuk kembali ke masjid, Nada sudah tidak tampak lagi. Hari itu ia
mendapatkan tambahan pengetahuan.
Dan ia mulai lebih rajin mengaji, tidak hanya di masjid, tetapi juga di rumah.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 35


Ilustrasi Aamanuu

Shalat Itu Penolong Kita

Pak Amanu adalah seorang pedagang tembikar. Setiap hari ia berjualan berbagai alat
rumah tangga di pasar. Di kiosnya, terdapat berbagai barang terbuat dari tanah liat, seperti
cobek dan ulekannya, kendi, celengan, poci, tungku mungil, dan masih banyak lagi lainnya. Ya,
Pak Amanu hanya menjual, tidak membuat sendiri barang-barang itu. Ada rekan kerjanya yang
memproduksi dan menitipkan ke kios Pak Amanu untuk diperdagangkan. Meskipun demikian,
Pak Amanu seorang pekerja keras. Dari rumah ia berangkat ke pasar pagi-pagi. Ia selalu
menyapa setiap orang yang datang ke kiosnya, meski orang itu belum tentu membeli
dagangannya.
Siang itu menjelang zhuhur. Pak Noor, tetangga kiosnya, yang berjualan pisang dari
kebunnya sendiri, menyapanya.
―Wah, Pak Amanu, daganganmu cukup laku juga. Kuamati sejak pagi, ada saja orang
yang datang.‖
―Alhamdulillah, Pak Noor. Allah Maha Pemurah. Bagaimana dengan…‖ Pak Amanu
hendak menanyakan kabar dagangan Pak Noor, tetapi ia sekilas melihat pisang raja dan pisang
kepok di kios masih banyak, ada beberapa tundun. Ia juga tadi melihat sekilas sambil melayani
pembelinya sendiri, hanya sedikit orang yang datang ke kios Pak Noor.
―Yah… kaulihat sendiri, Pak. Pisangku masih banyak,‖ sahut Pak Noor dengan nada
mengeluh. ―Kalau tidak segera habis, bisa busuk dan rugilah aku…‖
―Insyaallah akan ada pembeli setelah ini, Pak…‖ hibur Pak Amanu. ―Sekarang kita
istirahat dulu, Pak Noor. Mari ke masjid. Sebentar lagi adzan zhuhur berkumandang.‖

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 36


Pak Noor duduk menyandar di kursinya. ―Lelah aku, Pak Amanu. Mau ke masjid jadi
malas…‖
―Wah, yang semangat, Pak Noor. Siapa tahu doa-mu terkabul setelah shalat,‖ sahut Pak
Amanu. Ia sangat menyayangkan sikap putus asa kawannya.
―Bagaimana mau semangat, daganganku laku sedikit.‖
―Jangan putus asa, Pak. Ayo, kita berangkat sama-sama,‖ kata Pak Amanu seraya
menggamit lengan Pak Noor. Untunglah kemudian yang diajak mau bangkit.
Sambil menanti adzan dikumandangkan mereka mengobrol ringan. Pak Amanu
menceritakan perjalanan bisnisnya yang juga pernah gagal.
―Aku juga pernah mengalami kerugian, Pak Noor. Ditipu, dagangan tidak laku.‖
―Ya… aku tahu, Pak, semua orang pernah mengalami kesulitan dan kegagalan…‖
―Aku sempat putus asa, tapi untunglah tidak lama, Pak Noor. Aku tetap bekerja, dan
berusaha memperbaiki cara kerjaku. Mungkin ada yang salah, sehingga aku mengalami
kegagalan. Dan yang utama adalah tetap ibadah. Bahkan memperbagusnya.‖
―Ya, itu benar, Sahabatku,‖ sahut Pak Noor, berlapang dada menerima pendapat Pak
Amanu.
Mereka kemudian mengikuti shalat zhuhur berjamaah. Usai membaca Al Fathihah di
rakaat pertama, Pak Noor tergerak untuk membaca Surat Al Baqarah ayat 153.
Yaa, ayyuhalladziina aamanus ta‘iinuu bish-shabri wash shalaat; innallaha ma‘ash
shaabiriin. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Usai shalat dilanjutkan dengan berdzikir. Entah kenapa, dalam shalatnya kali ini Pak
Noor merasa lebih tenang. Kesedihannya akan usahanya yang belum memberikan hasil sudah
berkurang. Ia yakin, Allah selalu memberikan jalan keluar jika ia mau berusaha. Dalam
perjalanan kembali ke pasar, wajah Pak Noor terlihat lebih cerah dibanding sebelumnya.
―Pak Noor, kok tiba-tiba wajahmu cerah? Padahal tadi sebelum kita shalat, wajahmu
murung,‖ tegur Pak Amanu.
―Yah… aku sendiri juga tidak tahu. Tapi tadi aku membaca ayat tentang pertolongan
Allah. Aku akan berusaha dengan lebih baik lagi. Aku yakin sekarang, Allah akan memberikan
pertolongan,‖ sahut Pak Noor. Kali ini suaranya juga terdengar lebih mantap.
Langkah kakinya pun lebih ringan. Ia optimistis untuk berusaha dengan lebih baik baik
dalam bekerja. Dan memang begitulah seharusnya sikap seorang mukmin. Dan seorang
pembeli yang mendatangi kios Pak Noor kemudian menjadi penyemangat awalnya.
―Pak, saya perlu pisang kepoknya setandan…‖
Mulut dan hati pun selalu terucap syukur kepada Sang Khaliq.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 37


TARGET PENUMBUHAN MUWOSHOFAT MELALUI CERITA WAFA BUKU 3

Muwashofat Muwashofat
Pokok Materi Judul Cerita Pelajaran
Utama Turunan
Salah satu sifat
manusia adalah
lupa dan salah.
Segera sadar dan
Tetapi saat
memohon
Kisah Adam berbuat salah,
Am, Im, Um Mengenal Diri ampunan setiap
a.s. kita harus
kali berbuat
segera
kesalahan
menyadarinya
dan memohon
ampunan.
Kita harus
meneladani sifat
Taat kepada nabi Ismail yang
perintah Allah taat penuh pada
Ketaatan
karena Allah tidak perintah Allah
Ar, Az Mengenal Allah Ibrahim dan
akan menyia- dan meyakini
Ismail
nyiakan ketaatan bahwa segala
hamba-Nya perintahNya
adalah yang
terbaik.
Kita harus
membiasakan
diri melakukan
Menyadari bahwa
segala yang
Allah akan selalu
Api pun diperintahkan
As, Is, Us Mengenal Allah melindungi hamba
Tunduk Allah agar Allah
yang menegakkan
selalu
agamaNya
menjauhkan kita
dari bahaya dan
cobaan.
Kita harus
gemar
bersadekah
membantu
Senang
orang lain di
bersadekah
Dulatan, Mengenal Qarun yang sekitar kita.
karena harta yang
Daulatan Sekitar Kikir Semakin sering
kita miliki hanya
kita bersadekah,
titipan dari Allah
urusan kita akan
semakin
dimudahkan
Allah

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 38


Ilustrasi Seseorang yang Memohon Ampun pada Allah seperti Dicontohkan Nabi Adam

Kisah Adam a.s.

Setelah menciptakan Nabi Adam, Allah subhanahu wa ta‘ala memerintahkan malaikat


dan iblis untuk bersujud kepada Adam. Para malaikat bersujud, namun Iblis menolak bersujud
dan bersikap sombong terhadap perintah Tuhan.
Maka Allah menjauhkan Iblis dari rahmat-Nya dan menjadikannya terusir dari surga dan
terlaknat. Iblis semakin membenci Adam dan keturunannya. Ia bersumpah untuk menggoda
anak-cucu Adam untuk berbuat maksiat.
Sementara itu Allah memerintahkan Adam dan istrinya Hawa untuk tinggal di surga dan
memakan buah-buahan yang ada di sana, kecuali sebuah pohon yang harus dijauhi sebagai
ujian kepada keduanya. Allah juga memperingatkan Adam dan istrinya agar tidak tergoda oleh
Iblis serta mengingatkan permusuhan Iblis kepada keduanya.
Mulailah Iblis memikirkan cara untuk menyesatkan Adam dan Hawa. Setelah berhasil
menemukan caranya, ia pun mendatangi Adam dan Hawa seraya bersumpah dan berkata, ―Hai
Adam, maukah kau aku tunjukkan pohon kekekalan?‖
Adam dan Hawa percaya dengan ucapan Iblis karena sumpahnya. Mereka berpikir tidak
mungkin ada yang berani bersumpah secara dusta dengan nama Allah. Adam dan Hawa pun
pergi mendatangi pohon itu dan memakan buahnya.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 39


Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman kepada Adam dan Hawa, ―Bukankah Aku telah
melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu, Sesungguhnya setan
itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?
Adam dan Hawa sangat menyesal karena telah bermaksiat kepada Allah. Mereka segera
bertaubat dan beristighfar. Keduanya berkata, ―Ya Tuhan Kami, kami telah menganiaya diri
kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.‖
Setelah Adam dan Hawa menyesal dan beristighfar, maka Allah subhanahu wa ta‘ala
menerima taubat mereka dan memerintahkan mereka untuk turun ke bumi dan hidup di sana.
Adam turun ke bumi bukan karena kesalahannya, karena Allah telah mengampuninya. Namun
ia diciptakan untuk menjadi khalifah di Bumi.
Mulailah Adam dan Hawa menjalani kehidupan di Bumi. Adam memiliki banyak
keturunan, ia mendidik dan mengajari mereka serta memberitahu mereka, bahwa hidup di
dunia merupakan ujian dan cobaan. Dan hendaknya mereka berpegang teguh dengan petunjuk
Allah serta berwaspada terhadap tipu daya setan. Ia juga mengajak keturunannya agar
menyembah Allah, memberitahukan kepada mereka tentang kebenaran dan keimanan,
memperingatkan mereka akan bahaya syirik, kemaksiatan, dan bahaya menaati setan sampai ia
wafat.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 40


Ilustrasi Cerita Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim a.s.

Ketaatan Ibrahim dan Ismail

Ibrahim dan Ismail a.s. adalah dua hamba Allah yang telah membuktikan keshalihan
dan kesabarannya kepada Allah swt. Seorang ayah yang diuji cintanya dan seorang anak yang
diuji ketaatannya kepada Allah dan orang tua.
Tak pernah terpikir oleh Ibrahim bahwa kecintaannya dengan Ismail harus berbenturan
dengan sebuah mimpi yang memintanya untuk menyembelih putra yang telah ia nanti hingga
lebih dari delapan puluh tahun.
Masih terbayang oleh Ibrahim bagaimana beratnya kehidupan Ismail dan ibunya ketika
ia tinggalkan berdua di sebuah negeri asing yang tandus. Kawasan padang pasir yang bukan
sekadar tak berpenghuni, tetapi juga tak berair dan berpohon. Bagaimana mungkin mereka bisa
hidup. Kalau bukan karena ketaatan dan tawakalnya kepada Allah swt., tentu Ibrahim tak akan
tega meninggalkan mereka menuju Palestina.
Namun Ibrahim yakin itu bukan sekadar mimpi. Ia yakin itu perintah Allah yang harus
ditaati, walaupun sulit dicerna oleh nalar yang wajar. Dengan sangat bijaksana, Ibrahim
mengungkapkan kegundahan itu kepada Ismail, ―Wahai anakku. Aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?‖
Ternyata jawaban Ismail begitu mengharukan. ―Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang
telah diperintahkan Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku insyaallah sebagai seorang yang
sabar dan patuh kepada perintah. Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu,

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 41


agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak dan menyusahkan ayah.
Kedua, agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan
berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya. Ketiga, tajamkanlah parangmu
dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar meringankan penderitaan dan rasa
pedihku. Dan yang terakhir, sampaikanlah salamku kepada ibuku, berikanlah kepadanya
pakaianku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-
kenangan baginya dari putera tunggalnya.‖
Mendengar itu, Ibrahim langsung memeluk Ismail, dan menciumnya dengan penuh
cinta. Ia mengatakan, ―Bahagialah aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah,
bakti kepada orang tua yang dengan ikhlas menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah
Allah.‖
Itulah kisah yang menyimpan banyak hikmah. Allah swt. mengabadikan kisah teladan itu
dalam firman-Nya, ―Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya (dengan sempurna). Allah berfirman,
‗Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.‘ Ibrahim berkata, ‗(Dan
saya mohon juga) dari keturunanku.‘ Allah berfirman, ‗JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang
yang zalim.‖ (Al-Baqarah: 124)
Di antara hikmah itu adalah mencintai sesuatu diperlukan pengorbanan. Semakin tinggi
dan agung sebuah ungkapan cinta, kian besar tuntutan nilai pengorbanannya. Adakah
ungkapan cinta yang lebih tinggi selain cinta kepada Yang Maha Pencinta, Allah swt? Dan hal
itulah yang ingin ditunjukkan Nabi Ibrahim a.s. Ia harus berkorban. Dengan apa pun, walaupun
harus dengan nyawa orang yang paling ia cintai.
Maha Benar Allah dalam firmanNya, ―Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu
itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.‖ (Al-Anfal:
28)
Alangkah indahnya keteladanan yang pernah diperlihatkan Ibrahim a.s. Ia terbukti
mampu menempatkan kecintaan pada Allah di atas kecintaan yang lain. Ia pun sukses mengikat
cinta-cinta hati orang-orang dekatnya untuk bersama-sama mencintai Allah swt.
Maha Benar Allah dalam firmanNya, ―Dan Kami panggilkan dia, ‗Hai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.‘ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang
nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk
Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (yaitu)
‗Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.‖ (Ash-Shaffat: 104-109)

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 42


Ilustrasi Kisah Nabi Ibrahim

Api pun Tunduk

Raja Namrud adalah raja yang zhalim. Tentaranya diperintahkan untuk membunuh
semua bayi laki-laki karena ia takut ada yang akan menggantikan kekuasaannya. Azar dan
istrinya berusaha menyelamatkan anaknya agar tidak menjadi korban kekejaman Namrud. Azar
pun menitipkan bayinya yang bernama Ibrahim di sebuah gua di hutan.
Ibunda Ibrahim sedih memikirkan bayinya. Ia punya kekhawatiran kalau-kalau anaknya
dimangsa binatang buas atau kelaparan. Melihat istrinya bersedih, Azar berkata, ―Tidak usah
khawatir. Lebih baik anak kita di dalam gua daripada dibunuh Namrud.‖
Istri Azar makin sedih mendengar itu. Ia menyahut, ―Sebaiknya kita ke gua untuk
melihat anak kita. Aku yakin dia masih hidup.‖
Azar pun menuruti demi menenangkan hati istrinya. Keesokan hari, pagi-pagi sekali
mereka berangkat agar tidak ketahuan penguasa. Tiba di depan gua, mereka heran. Gua
tampak sepi dan tenang. Ibunda Ibrahim masuk dan mendapati anaknya masih hidup.
―Lihat, anak kita masih hidup,‖ katanya kepada Azar.
―Rasanya aku tidak percaya anak kita masih hidup,‖ sahut Azar.
Mereka senang sekali melihat Ibrahim masih hidup. Namun Azar juga resah karena
Ibrahim tidak mungkin dibawa pulang, karena bisa celaka. Akhirnya mereka memutuskan untuk

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 43


meninggalkan Ibrahim di gua, tetapi berusaha untuk menengok setiap hari. Pagi-pagi mereka
berangkat ke gua dan pulang pada sore harinya.
Ibrahim tumbuh menjadi anak yang pintar dan pemberani. Ia membenci praktik
pemujaan berhala yang dilakukan oleh orang-orang. Orang tuanya diingatkan untuk tidak
menyembah berhala. ―Aku hanya menyembah kepada sesuatu yang menciptakan langit dan
Bumi. Aku tidak menduakan-Nya,‖ kata Ibrahim.
Melihat keberanian Ibrahim, orang-orang menjadi marah. Mereka meminta Raja
menghukum Ibrahim. Ia yang pemberani dan beriman dihukum bakar. Namun Allah
menyelamatkan Ibrahim. Allah berfirman, ―Hai, api! Jadilah dingin dan selamatkanlah Ibrahim.‖
Ibrahim selamat dan membuat takjub banyak orang. Ia berkata, ―Pantaskah kalian
menyembah sesuatu yang tidak pantas disembah? Yang tidak memberi manfaat untuk hidup
kalian?‖
Itulah mukjizat Nabi Ibrahim karena kekuasaan dan kasih-sayang Allah.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 44


Ilustrasi Kisah Qorun yang Pelit

Qarun yang Kikir

Qarun adalah seorang laki-laki Yahudi. Sejarah mencatat bahwa ia adalah sepupu Musa
a.s. Allah menganugerahi Qarun dengan harta berlimpah dan ilmu pengetahuan. Ia dikenal dan
dikagumi banyak orang. Para orang tua selalu berharap anak-anaknya kelak sukses seperti
Qarun.
Tetapi Qarun kemudian takabur. Ia merasa bahwa harta dan keberhasilannya adalah
jerih-payahnya sendiri. Para alim ulama mengingatkannya agar bertobat. Mereka berkata,
―Kecelakaan besar bagimu. Pahala Allah adalah lebih baik bagi orang yang beriman dan
beramal shalih. Tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.‖
Namun Qarun tetap sibuk mengagumi hartanya dan tidak bersyukur. Ia tetap merasa
bahwa segala yang diperolehnya adalah karena usahanya sendiri. Iblis membisiki Qarun agar
tidak mendengar nasihat para ulama. Qarun bahkan menganggap alim ulama iri terhadapnya.
Allah pun murka. Harta Qarun dibenamkan ke dalam Bumi karena ia takabur. Allah
berfirman, ―Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam Bumi. Tidak ada satu
golongan pun yang menolongnya terhadap adzab Allah dan tiadalah ia termasuk orang yang
dapat membela dirinya.‖

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 45


Orang-orang terpana menyaksikan kejadian yang menimpa Qarun dan seluruh harta
bendanya. Mereka sadar akan kesalahan yang dilakukan Qarun.
Qarun tidak menafkahkan hartanya di jalan yang diridhai Allah. Itulah asal-muasal istilah
‗harta karun‘ yang kita kenal sekarang. Ia merujuk pada harta kekayaan yang terpendam di
dalam tanah. ‗Karun‘ diambil dari kata Qarun.
Jejak peninggalan istana Qarun dan danau tempat hartanya ditenggelamkan bisa dilihat
di Mesir. Allah mengingatkan kita akan kisah harta Qarun, agar kita tidak hanya mengejar
kekayaan dunia tanpa mengingat kehidupan akhirat.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 46


TARGET PENUMBUHAN MUWOSHOFAT MELALUI CERITA WAFA BUKU 4

BUKU 4
Muwashofat Muwashofat Judul
Pokok Materi Pelajaran
Utama Turunan Cerita

Kita harus
Nabi
Menumbuhkan meneladani
Inna, Innahu, Muhammad
Mengenal Diri sifat sabar dalam sifat sabar nabi
Innaha dan Nenek
diri Muhammad
Peludah
ketika dihina

Kita harus
berlindung pada
Memahami bahwa
Allah dari
Allah berkuasa
adzab/siksa
Idgham untuk mengadzab Kapal Nabi
Mengenal Allah yang
Bighunnah mereka yang tidak Nuh
disebabkan
mentaati
karena
perintahNya
kemaksiatan
kita

Sifat senang
Membiasakan diri
Mad Wajib Sadekah bersadekah
Mengenal Sekitar senang
Muttashil itu Indah tidak perlu
bersadekah
menunggu kaya

Kita harus
menghayati
Memahami begitu begitu cintanya
Drill besarnya Sang Ibu Ibu kepada kita.
Mengenal Sekitar
Fawatihussuwar kecintaan seorang Sejati Ibu rela
Ibu pada anaknya mengorbankan
segalanya agar
kita bahagia.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 47


Ilustrasi Kisah Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad dan Nenek Peludah

Tersebutlah seorang perempuan tua yang suka menghina Nabi Muhammad. Setiap kali
Nabi melintas di depan rumahnya, nenek itu meludah dengan sikap mengejek. Peristiwa itu
berulang kali terjadi, bahkan hampir setiap hari.
Suatu kali ketika Nabi lewat di depan rumahnya, perempuan tua itu tidak lagi
meludahinya. Sosoknya pun tak kelihatan. Karena penasaran Nabi lantas bertanya kepada
seseorang, ―Wahai Fulan, tahukah engkau, di manakah nenek pemilik rumah ini yang selalu
meludah setiap kali aku lewat?‖
Orang yang ditanya menjadi heran, kenapa Nabi justru menanyakan, penasaran, dan
tak sebaliknya merasa senang. Namun si Fulan tak ambil peduli, oleh karenanya ia segera
menjawab pertanyaan Nabi, ―Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa nenek yang
biasa meludahimu itu sudah beberapa hari ini terbaring sakit?‖
Mendengar jawaban itu Nabi mengangguk-angguk, lantas melanjutkan perjalanan untuk
beribadah di depan Ka‘bah dan bermunajat kepada Allah.
Sekembalinya dari ibadah, Nabi mampir menjenguk si nenek peludah. Ketika
mengetahui dirinya dijenguk orang yang setiap hari dia ludahi, nenek itu menangis.
―Betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama
yang menjenguk kemari.‖ Sambil menitikkan air mata nenek itu bertanya, ―Wahai Muhammad,
kenapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?‖

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 48


Nabi menjawab, ―Aku yakin, engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang
kebenaranku. Jika engkau mengetahuinya, aku yakin engkau tak akan lagi melakukannya.‖
Mendengar ucapan bijak dari manusia utusan Allah swt. ini, sang nenek menangis lagi.
Dadanya sesak, tenggorokannya tercekat. Setelah mengatur napas akhirnya ia dapat berbicara,
―Wahai Muhammad, mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu.‖ Dan akhirnya
nenek itu mengucapkan dua kalimat syahadat.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 49


Ilustrasi Kisah Nabi NUH A.S

Kapal Nabi Nuh

Nuh adalah keturunan Nabi Idris. Menurut Al Qur‘an, usia Nuh adalah 950 tahun.
Sepeninggal Nabi Idris, perilaku masyarakat semakin menyimpang. Kaum Nuh dikenal sebagai
penyembah berhala, zhalim, dan sewenang-wenang. Harta berlimpah membuat mereka lupa
diri.
Allah mengutus Nabi Nuh untuk menyadarkan masyarakat, agar mereka bertobat,
kembali ke jalan yang diridhai Allah. Nuh melakukannya dengan kesabaran dan tidak putus asa.
Namun mereka tidak menggubrisnya.
―Siapakah kamu? Kami tidak percaya kepadamu. Kami lebih pandai daripada kamu,‖
kata mereka seraya tetap menyembah berhala.
―Akan datang teguran dari Allah kepada kalian,‖ kata Nabi Nuh. ―Segeralah bertobat.‖
Nabi Nuh mengajak kaumnya bertobat dan menunggu hingga mereka berubah. Namun
tak terlihat tanda-tanda mereka akan bertobat. Ia pun mengadu kepada Allah. ―Ya Allah.
Seruanku jutsru membuat mereka berpaling dari kebenaran.‖
Kemudian Nuh memohon kepada Allah agar menyelamatkan orang-orang yang masih
percaya kepada-Nya. Allah mengabulkan doa tersebut dan Nuh diperintahkan untuk membuat
sebuah kapal.
Bersama para pengikutnya, nabi Nuh membuat kapal yang sangat besar. Setelah
selesai, Allah berfirman, ―Bersiaplah engkau dengan kapalmu. Bawalah orang-orang yang
beriman masuk ke dalam kapal. Bawalah pula binatang berpasang-pasangan.‖

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 50


Nabi Nuh mengumpulkan mereka semua naik ke kapal. ―Naiklah ke kapal dengan
menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh.‖
Tak lama kemudian hujan turun selama empat puluh hari empat puluh malam. Banjir
besar melanda. Semua makhluk yang berada di luar kapal Nabi Nuh tenggelam ditelan air bah.
Orang-orang beriman dan binatang di dalam kapal selamat. Allah menyertai Nabi Nuh
dan para pengikutnya. Sementara itu mereka yang menentang diadzab oleh Allah. Setelah
banjir besar surut, kapal Nabi Nuh berlabuh di Bukit Juud. Dengan kekuasaan Allah Nabi Nuh
dan para pengikutnya turun di tempat itu. Mereka menjalani kehidupan baru dengan ridha
Allah.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 51


Ilustrasi Ali bin Abi Thalib

Sedekah Itu Indah

Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang ashar.
Dengan sukacita Fatimah binti Rasulullah menyambut kedatangan suaminya yang seharian
mencari rezeki. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah
semakin banyak.
Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah. ―Maaf istriku, kali ini aku tidak
membawa uang sedikit pun.‖
Fatimah menyahut sambil tersenyum, ―Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di
pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta‘ala.‖
―Terima kasih,‖ jawab Ali.
Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal. Padahal persediaan dapur sudah
ludes sama sekali. Toh Fatimah tidak menunjukkan sikap kecewa atau sedih. Ali lalu berangkat
ke masjid untuk menjalankan shalat berjamaah.
Dalam perjalanan usai shalat Ali berhenti karena sapaan seorang tua. ―Maaf anak muda,
betulkah engkau Ali putra Abu Thalib?‖
Ali menjawab heran. ―Ya, betul. Ada apa, Tuan?‖
Orang tua itu merogoh kantongnya seraya menjawab, ―Dahulu ayahmu pernah kusuruh
menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi,
terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.‖

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 52


Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar. Tentu saja
Fatimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak di sangka-sangka ketika Ali
menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak lagi risau
dengan keperluan sehari-hari. Ali pun bergegas berangkat ke pasar.
Sebelum masuk ke pasar, Ali melihat seorang fakir menadahkan tangan, ―Siapakah yang
mau mengutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang
kehabisan bekal di perjalanan.‖
Tanpa pikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu. Pada
waktu ia pulang dan Fatimah keheranan melihat suaminya tidak membawa apa-apa, Ali
menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Fatimah, masih dalam senyum, berkata,
―Aku pun akan memutuskan hal yang sama seandainya menemui kejadian itu. Lebih baik kita
mengutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang di murkai-Nya, dan menutup
pintu surga buat kita.‖

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 53


Ilustrasi Kisah Nabi Sulaiman A.S.

Sang Ibu Sejati

Tidak banyak orang tahu bahwa di tepi hutan itu tinggal dua keluarga. Kedua suami
dalam keluarga itu sudah lama menjalin persahabatan. Tidak heran jika mereka masing-masing
berkeluarga dalam waktu yang bersamaan. Mereka mempunyai bayi dalam waktu yang hampir
sama pula. Hari ini, keduanya bepergian ke luar daerah untuk beberapa minggu karena suatu
urusan. Mereka tidak terlalu khawatir meninggalkan istri-istrinya karena satu sama lain sudah
seperti saudara saja layaknya.
Suatu ketika ada seekor serigala buas menerkam dan memakan salah seorang anak
mereka tatkala kedua perempuan itu tengah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mereka
berdua memang terbiasa meninggalkan bayi-bayi itu di ayunan di pinggir hutan pada siang hari.
Keduanya ketakutan. Sebenarnya sudah jelas sekali bahwa yang dimangsa adalah bayi
perempuan yang tubuhnya gemuk. Sedangkan bayi dari perempuan yang agak kurus hanya
menderita luka akibat cakaran serigala itu.
Tetapi karena sangat takut dimarahi oleh suaminya, perempuan yang gemuk bersikeras
bahwa yang selamat adalah anaknya. Akibatnya kedua perempuan itu bertengkar hebat
memperebutkan bayi yang lolos dari maut tersebut.
Karena sama-sama bersikeras dan tidak ada penyelesaian, maka keduanya menghadap
Nabi Sulaiman a.s. untuk meminta keputusan, siapa gerangan yang berhak memiliki bayi itu.
Menghadapi persoalan itu, Nabi Sulaiman berpikir keras. Ia tidak mengetahui latar belakang

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 54


keduanya karena tempat tinggal mereka berdua yang cukup terpencil. ―Jadi, anak siapa bayi
ini?‖ tanya Nabi Sulaiman.
Perempuan yang gemuk menjawab lantang, ―Anakku. Sungguh mati dia anakku.
Lihatlah wajahnya mirip dengan suamiku.‖
Belum selesai si perempuan gemuk berbicara, perempuan satunya menukas dengan
keras. ―Bukan, wahai Nabi yang bijaksana. Bayi itu anakku.‖
Nabi Sulaiman berkali-kali memperingatkan agar mereka berkata jujur, tidak berbohong.
Namun tetap saja kedua perempuan itu tidak ada yang mengalah. Malah semakin sengit. Lagi-
lagi hal ini semakin membingungkan Nabi Sulaiman.
Nabi Sulaiman terdiam sejenak. Ia memandangi wajah keduanya. Keduanya sama-sama
begitu meyakinkan. Tapi jelas, hanya ada satu ibu untuk bayi yang kini di hadapannya itu.
Setelah berpikir dalam wkatu yang sangat lama, akhirnya Nabi Sulaiman memanggil seorang
algojo untuk membawa golok yang tajam.
Nabi Sulaiman berkata kepada keduanya, ―Mengingat kalian berdua sama-sama
mengakui anak ini sebagai milik kalian, maka aku memutuskan bayi ini dibelah menjadi dua
oleh algojo kerajaan. Bukankah itu adil? Dan tiap bagian akan diberikan kepada kalian
berdua…‖
Kedua perempuan itu terperangah. Mereka tidak memercayai apa yang barusan mereka
dengar dari Nabi yang kaya raya namun sangat bijaksana itu. Jika dibelah, tentulah bayi itu
akan mati juga. Bagaimana ini? Mereka menunggu dengan berdebar-debar. Apakah benar
seperti itu yang bakal dilakukan oleh Nabi Sulaiman?
Tatkala algojo sudah membaringkan bayi tersebut di altar untuk dibelah dan mulai
mengangkat goloknya, Nabi Sulaiman mengangkat tangannya menyuruh si algojo untuk
berhenti sejenak. Kemudian Nabi Sulaiman kembali berkata kepada kedua perempuan itu,
―Masih juga tidak ada yang mau mengalah? Atau mengakui keberadaan yang sebenarnya,
siapakah di antara kalian yang betul-betul ibu dari anak ini?‖
Mereka berdua tetap pada pendirian masing-masing. Melihat itu Nabi Sulaiman segera
mengeluarkan titah agar algojo tidak ragu lagi untuk membelah bayi yang tidak berdosa itu
dengan goloknya.
Begitu algojo siap hendak mengayunkan golok, perempuan yang gemuk berteriak
bahwa keputusan itu sangat adil dan ia setuju agar bayi itu benar-benar dibelah.
Namun tatkala golok itu hampir menimpa tubuh si bayi, wanita yang agak kurus
menjerit, ―Jangan! Jangan dibunuh anak itu! Biarkan aku relakan bayi itu untuk dipelihara oleh
tetanggaku ini. Daripada dia dibunuh di depan mataku sendiri…‖
Nabi Sulaiman memberi isyarat supaya algojo mengurungkan eksekusi. Nabi
memandangi keduanya lagi. Kemudian beliau berkata kepada perempuan yang kurus, ―Wahai

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 55


ibu yang tulus ikhlas, bayi ini adalah anakmu. Bawalah dia pulang dan rawatlah baik-baik. Dan
engkau!‖ ujarnya kepada perempuan gemuk, ―Jangan kauulangi lagi melakukan bohong dan
sumpah palsu, sebab engkau bukan ibu bayi itu. Anakmulah yang mati dilahap serigala.‖
Betapa gembiranya ibu yang kurus. Dan alangkah malunya wanita yang lebih gemuk
karena kecurangannya diketahui oleh Nabi Sulaiman.
Setelah keduanya berlalu, kepada para punggawa Nabi yang juga menjadi raja itu
berkata menjelaskan, ―Tahukah kalian mengapa aku berpendapat bahwa wanita yang kurus itu
ibu bayi yang asli?‖
Mereka menggeleng, ―Hanya Nabi Allah yang tahu jawabannya.‖
Nabi Sulaiman menukas, ―Seorang ibu yang asli, bagaimana pun juga tak akan tega
hatinya menyaksikan darah dagingnya dibunuh di depan matanya sendiri.‖
Semua yang hadir mengangguk-anggukkan kepalanya. Hari itu mereka belajar, bahwa
kebohongan, serapat dan sekecil apapun akan tetap terungkap.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 56


TARGET PENUMBUHAN MUWOSHOFAT MELALUI CERITA WAFA BUKU 5

BUKU 5
Pokok Muwashofat Muwashofat Judul
Pelajaran
Materi Utama Turunan Cerita

Meyakini bahwa Jujur tidak hanya


Allah selalu saat dilihat orang
mengawasi gerak- Penjual Susu lain karena Allah
Libaasan Mengenal Allah
gerik kita di yang Curang senantiasa
manapun kita mengawasi
berada gerak gerik kita

Kita harus
meneladani sikap
Khalifah
tanggung jawab
Idgham Menumbuhkan Umar dan
Umar bin
Bila Mengenal Diri Sikap Tanggung Ibu yang
Khattab saat
Ghunnah Jawab Memasak
melihat
Batu
rakyatnya
menderita

Kita harus
Ali Bin Abi menghormati
Idzhar Menghormati yang Thalib dan bersikap
Mengenal Sekitar
Syafawi lebih tua Terlambat sopan terhadap
Shubuh orang yang lebih
tua

Kita harus
memperbanyak
Memahami sifat istighfar agar
Tanda Kisah Nabi
Mengenal Allah Maha Pengampun dosa kita
Waqof Yunus
Allah diampuni dan
hajat kita
dikabulkan Allah

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 57


Ilustrasi Umar bin Khattab

Penjual Susu yang Curang

Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar
daerah kekuasaannya. Pada suatu malam ketika sedang meronda, beliau melewati sebuah
rumah kecil yang sangat sederhana. Terdengar dialog dari dalam rumah, suara seorang anak
perempuan dan ibunya, yang membuat khalifah Umar berhenti sebentar. Rumah itu adalah
rumah seorang ibu penjual susu yang miskin, yang tinggal bersama seorang anak
perempuannya.
Kata sang ibu, ―Anakku, kita tambahkan air dalam susu ini supaya terlihat banyak
sebelum terbit matahari. Dengan begitu, kita akan mendapatkan lebih banyak uang untuk
makan besok.‖
Anaknya menjawab, ―Kita tidak boleh berbuat seperti itu, Ibu. Amirul Mukminin
melarang kita berbuat begitu.‖
―Tidak mengapa. Amirul Mukminin tidak akan tahu,‖ desak ibunya.
―Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan pasti mengetahui. Oleh karenanya aku tidak
berani melakukannya, Bu.‖
Mendengar percakapan itu, hati Umar terharu hingga ia meneteskan air mata. Ia sangat
terkesan oleh kemuliaan hati anak gadis itu. Hingga ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab
menyuruh anak lelakinya, Asim, untuk menikahi gadis itu.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 58


Umar berkata, ―Semoga lahir dari keturunan gadis ini, tokoh besar Islam yang kelak
memimpin orang-orang Arab dan Ajam‖.
Asim yang taat tidak banyak bertanya. Ia segera menikahi gadis yang jujur itu.
Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang setelah dewasa menikah
dengan Abdul Aziz bin Marwan. Hasil pernikahan antara Laila dan Abdul Aziz bin Marwan
kemudian menurunkan Umar bin Abdul Aziz. Di kemudian hari Umar bin Abdul Aziz dikenal
sebagai seorang pemimpin yang adil dan memegang teguh prinsip kebenaran.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 59


Ilustrasi Umar bin Khattab

Khalifah Umar dan Ibu yang Memasak Batu

Suatu masa dalam kepemimpinan Umar, masyarakat Arab mengalami masa paceklik
yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati
mengenaskan. Tanah tempat berpijak hampir menghitam seperti abu.
Keputus-asaan terasa di mana-mana. Saat itu Umar sang pemimpin menampilkan
kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya saksama.
Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari ia menginstruksikan aparatnya
menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat.
Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan
menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, ―Ya Allah, jangan sampai umat
Muhammad menemui kehancuran di tangan ini.‖
Umar menabukan makan daging, minyak samin, dan susu untuk perutnya sendiri. Bukan
apa-apa, ia khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia yang pemberani hanya
menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada
pembantunya ia berkata, ―Kurangilah panas minyak itu dengan api.‖ Minyak pun dimasak,
namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh
perutnya dengan jemari seraya berkata, ―Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap
menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.‖
Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani
salah seorang sahabatnya, ia keluar-masuk kampung. Ia melakukan itu untuk mengetahui

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 60


kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh
aparat pemerintahannya.
Malam itu bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung
itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Sang Khalifah terperanjat. Dari sebuah
kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan.
Umar bin Khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya
membutuhkan pertolongan mendesak.
Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di
atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-
aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.
―Assalamu‘alaikum,‖ Umar memberi salam.
Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Umar.
Tetapi setelah itu ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
―Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?‖ tanya Umar.
Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, ―Anakku…‖
―Apakah ia sakit?‖
―Tidak,‖ jawab si ibu lagi. ―Ia kelaparan.‖
Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari
satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi
pancinya.
Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama
tetapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, ―Apa yang sedang kau
masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?‖
Ibu itu menoleh dan menjawab, ―Hmmm, kau lihatlah sendiri!‖
Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika
mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya,
Umar berteriak, ―Apakah kau memasak batu?‖
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
―Buat apa?‖
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, ―Aku
memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab.
Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah
aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi
anakku kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rezeki.
Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur
dengan perut kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 61


dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan
tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun
dan menangis minta makan.‖
Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, ―Namun apa dayaku? Sungguh Umar
bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.‖
Aslam hendak menegur perempuan itu, namun Umar sempat mencegah. Dengan air
mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat
lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang
sengsara itu.
Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, ―Wahai Amirul Mukminin,
biarlah aku yang memikul karung itu.‖
Dengan wajah merah padam, Umar menjawab, ―Aslam, jangan jerumuskan aku ke
dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kaukira engkau akan
mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?‖
Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika tersuruk-suruk Khalifah Umar bin
Khattab berjuang memikul karung gandum itu. Angin berhembus. Membelai tanah Arab yang
dilanda paceklik.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 62


Ilustrasi Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib Terlambat Subuh

Dini hari itu Ali bin Abi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan shalat subuh
berjamaah di masjid bersama Rasulullah saw. Rasulullah tentulah sudah berada di sana.
Rasanya hampir tidak pernah Rasulullah keduluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak
ada yang istimewa karena memang itulah aktivitas yang sempurna untuk memulai hari, dan
bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.
Langit masih gelap, cuaca masih dingin, dan jalanan diselimuti kabut pagi yang turun
bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju masjid. Dari kejauhan lamat-lamat
terdengar adzan Bilal berkumandang merdu ke segenap penjuru Madinah.
Namun belum lama melangkah di jalan menuju masjid, di hadapan Ali ada seseorang.
Ali mengenalinya sebagai seorang lelaki tua Yahudi. Kakek itu berjalan sangat lamban. Mungkin
karena usianya yang telah lanjut. Tampak sekali ia berhati-hati menyusuri jalan.
Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tak ingin tertinggal mengerjakan shalat tahyatul
masjid dan qabliyah sebelum shalat berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat.
Ali paham benar bahwa Rasulullah mengajarkan agar setiap umat muslim menghormati
orang tua. Siapapun itu dan apapun agamanya. Maka Ali terpaksa berjalan di belakang kakek
itu. Tapi apa daya si kakek berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi
melambat. Kakek itu lemah sekali dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya. Ia khawatir
kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 63


Setelah lama berjalan, akhirnya waktu mendekati masjid, langit sudah mulai terang.
Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid. Ketika memasuki masjid, Ali menyangka
shalat subuh berjamaah sudah usai. Ia bergegas. Ali terkejut sekaligus gembira melihat
Rasulullah dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua. Berarti Ali masih punya
kesempatan untuk memperoleh shalat berjamaah. Jika masih bisa menjalankan rukuk bersama,
berarti ia masih mendapat satu rakaat shalat berjamaah.
Sesudah Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam, Umar bin Khattab
memberanikan diri untuk bertanya. ―Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat subuhmu tidak
seperti biasanya? Ada apakah gerangan?‖
Rasulullah balik bertanya, ―Kenapakah, ya Umar? Apa yang berbeda?‖
―Kurasa sangat lain, ya Rasulullah. Biasanya engkau rukuk dalam rakaat yang kedua
tidak sepanjang pagi ini. Tapi tadi itu engkau rukuk lama sekali. Kenapa?‖
Rasulullah menjawab, ―Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang rukuk
dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak
dapat bangun iktidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui.‖
Umar semakin heran. ―Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasulullah?‖
Nabi berkata, ―Aku juga belum tahu. Jibril belum menceritakannya kepadaku.‖
Dengan perkenaan Allah, beberapa waktu kemudian Malaikat Jibril pun turun. Ia berkata
kepada Nabi saw., ―Muhammad, aku tadi diperintahkan oleh Allah untuk menekan punggungmu
dalam rakaat yang kedua. Agar Ali mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu.
Allah sangat menyukainya karena ia menjalani ajaran agama-Nya secara bertanggung jawab.
Ali menghormati seorang kakek Yahudi. Dari penghormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan
pelan karena kakek itu berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan
terlambat dan tidak akan memperoleh peluang untuk mengerjakan shalat subuh berjamaah
denganmu.‖
Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau sangat menyukai
perbuatan Ali karena apa yang dilakukannya menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat
Islam kepada orang lain. Satu hal lagi, Ali tidak pernah ingin bersengaja terlambat atau
meninggalkan amalan shalat berjamaah. Rasulullah menjelaskan hal itu kepada para sahabat.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 64


Ilustrasi Nabi Yunus A.S.

Kisah Nabi Yunus a.s.

Di daerah Ninawa, Irak, masyarakatnya berada dalam kesesatan. Mereka suka memuja
berhala. Dari Syam, Allah mengutus Nabi Yunus a.s. untuk berdakwah kepada mereka. Namun
mereka menolak seruan Nabi Yunus. Mereka mengejek dan menghina Nabi Yunus. Mereka
menyombongkan harta kekayaan yang mereka miliki.
Nabi Yunus sangat prihatin, namun ia mencoba bersabar dan terus menyadarkan
mereka dari kesesatan. ―Aku mengajak kalian untuk beriman kepada Allah. Jangan menyembah
berhala lagi.‖
Mereka tetap menolak dan terus saja mencela dan mencemooh Nabi Yunus. Selama 33
tahun Nabi Yunus berdakwah, tetapi ia hanya mendapatkan dua orang pengikut. Ia hampir
berputus-asa di tengah upayanya. Lalu Allah menyuruhnya untuk melanjutkan dakwah selama
40 hari lagi. Jika selama perpanjangan waktu itu masyarakat belum mau beriman, Allah akan
mengadzab.
Penduduk Ninawa yang zhalim tidak mau menurut hingga lewat 40 hari, dan Nabi Yunus
pun menyerah. Tidak lama kemudian, mulai tampak awan hitam tebal di langit. Angin bertiup
kencang dan kilat menyambar-nyambar. Mereka mulai menyadari kebenaran dakwah Nabi
Yunus. Mereka ketakutan dan berhamburan mencari tempat berlindung.
Tetapi Nabi Yunus sudah meninggalkan mereka. Ia tiba di sebuah pantai dan melihat
orang-orang hendak naik kapal. Nabi Yunus ikut naik. Di tengah lautan, gelombang laut
meninggi. Para penumpang panik, takut kapal akan tenggelam. Mereka pun mengundi siapa

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 65


yang harus diturunkan untuk mengurangi kelebihan muatan. Setelah diundi tiga kali, yang
terpilih adalah Nabi Yunus.
Nabi Yunus sadar, mungkin dirinya harus melakukan penebusan dosa karena telah
meninggalkan penduduk Ninawa sebelum Allah mengizinkan. Ia pun terjun ke laut lepas tanpa
ragu.
Allah mengirimkan seekor paus untuk menelan tubuh Nabi Yunus, justru untuk
menyelamatkannya dari badai. Di dalam perut paus itu Nabi Yunus beristighfar kepada Allah,
―Ampunilah dosaku, ya Allah.‖
Karena ketulusan dan permohonannya, Allah mengampuni Nabi Yunus. Paus itu
membawanya ke daratan dan memuntahkannya ke pantai. Saat melihat paus itu, barulah Nabi
Yunus sadar dirinya telah ditelan binatang laut itu. Ia mengedarkan pandangan dan terlihat
pohon labu yang telah berbuah. Ia memetik dan memakannya.
Nabi Yunus bersyukur kepada Allah karena telah selamat dari badai. Ia memuji Allah
dan menyesali diri. ―Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Mahasuci Engkau.
Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim.‖
Nabi Yunus kembali ke Ninawa dan takjub mendapati penduduk telah beriman dan telah
meninggalkan pemujaan berhala. Ia melanjutkan dakwahnya dan mendapatkan banyak
pengikut.

Buku Pintar Guru Wafa - Halaman 66

Anda mungkin juga menyukai