Buku Cerita Panduan Guru PDF
Buku Cerita Panduan Guru PDF
Kalau Rasulullah saw. berangkat ke medan perang, Abdullah bin Ummi Maktum ditunjuk
menjadi wakil beliau di Madinah, mengimami shalat jamaah di mihrab beliau, dan berdiam di
sebelah kiri mimbar dengan khusyuk.
Pada awal sejarah Islam, Abdullah bin Ummi Maktum mendapatkan hidayah untuk
bergabung bersama orang-orang yang telah memeluk Islam. Ketika masih muda, ia merasakan
manisnya iman. Dan beranjak dewasa, ia merasakan bahwa ajaran Islam telah menjadikan
hatinya bersih. Sehingga walaupun matanya tak dapat melihat, iman terasa sebagai nikmat
besar yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Ibnu Ummi Maktum mempunyai naluri yang peka untuk mengetahui waktu. Setiap
menjelang fajar, ia keluar dari rumahnya, bertopang tongkat atau bersandar di lengan seorang
muslim untuk mengumandangkan adzan di masjid Rasul.
Ia bergantian adzan dengan Bilal bin Rabah. Jika salah satu mengumandangkan adzan,
maka yang lain mengumandangkan iqamat. Bilal mengumandangkan adzan semalam,
sedangkan Ibnu Ummi Maktum pada waktu subuh.
Oleh sebab itu, Rasulullah bersabda, terkait waktu sahur bulan Ramadhan, ‗Makan dan
minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.‘
Allah memuliakan Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Ketika Nabi sedang duduk bersama
para pemuka Quraisy, Ibnu Ummi Maktum datang untuk menanyakan sesuatu. Nabi mengelak
karena sedang sibuk dengan tokoh Quraisy. Allah pun menurunkan ayat yang berbunyi, ‗Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, ketika datang seorang buta kepadanya. Tahukah
Saat pertama kali dibawa Ibrahim alaihissalam dari Kan‘aan menuju lembah yang
gersang, sungguh, Siti Hajar sangat ketakutan. Sebab, suku Amaliqah yang suka berkemah
saja, setelah beberapa hari bermukim di sana, tak pernah lagi ingin mengunjungi lembah itu
lantaran susah mendapatkan air dan makanan ternak.
Saat tiba di lembah itu tampak sekali kegelisahan, kebingungan, dan ketakutan Siti
Hajar. Nabi Ibrahim as. sangat memahaminya. Tetapi Siti Hajar pun mengerti bahwa apa yang
dilakukan suaminya adalah perintah Allah. Ia menerima kondisi itu dengan penuh keikhlasan
dan keyakinan bahwa Allah tidak akan menelantarkannya. Dengan tegas Siti Hajar berkata saat
Ibrahim as. ingin menaiki kendaraannya, ―Jika memang begitu perintah-Nya, aku yakin Allah
tidak akan menelantarkan kami.‖
Setelah kepergian Nabi Ibrahim as, Siti Hajar mulai menjalani kehidupan yang berbeda.
Ia hidup berdua saja dengan putranya, Ismail as. Pada pagi pertamanya Siti Hajar terbangun
karena tangis keras Ismail as. yang masih bayi. Siti Hajar panik dan bingung karena Ismail
sangat lapar dan dahaga. Ia mengambil tempat air yang dibawanya, namun ternyata kosong.
Siti Hajar mencari air ke sekitar tempat tinggalnya. Dia pergi menuju bukit Shafa dan
berharap ada sekelompok kafilah yang bisa menolongnya, tetapi ternyata tidak ada.
Tiba-tiba ia melihat kilau genangan air di lereng bukit Marwah. Dikejarnya namun
ternyata tidak ada. Ia melihat pula di bukit Shafa ada air, didatanginya lembah di bukit
tersebut. Ternyata tidak ada juga air di sana. Ia berbolak balik antara Shafa dan Marwah
hingga tujuh kali. Sengatan matahari di wajahnya tidak dihiraukannya, begitu juga hamparan
pasir yang membuat telapak kakinya berdarah.
Mata Doni belum beralih dari kalender di meja belajarnya. Esok lusa Ramadhan
berakhir. Hingga kini Ibu dan Ayah tidak ada tanda-tanda akan mengajaknya membeli baju
baru untuk dipakai pada hari raya Idul Fitri. Ia selalu ingat Ramadhan tahun-tahun sebelumnya.
Keluarganya pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli baju dan aneka kebutuhan pada hari-
hari puasa dan menjelang hari raya, justru saat libur sekolah awal puasa.
Kata Ibu waktu itu, ―Biar bisa menjalankan puasa sepanjang Ramadhan dan tidak
kepikiran baju baru.‖ Tapi sekarang, kenapa sampai menjelang Lebaran tidak ada hadiah?
―Doni nggak ke masjid?‖ tegur Ibu ketika terdengar adzan zhuhur dari masjid.
―Iya, Bu. Habis ini Doni ke masjid,‖ sahut Doni.
Setelah memakai sarung, Doni berjalan sendiri kaki ke masjid. Ia berwudhu dan siap
mengikuti shalat berjamaah. Tahun lalu ia masih shalat ke masjid bersama Kak Dodi. Kali ini
tidak lagi, karena kakak sulungnya itu melanjutkan kuliah di luar kota.
Doni sebenarnya sudah paham kenapa Ayah dan Ibu tidak berencana membeli baju
baru Lebaran tahun ini. Masih banyak pakaian bagus di lemari dan pantas dipakai pada hari
raya. Selain itu, tahun ini keuangan keluarga lebih banyak dipakai untuk biaya kuliah Kak Dodi.
Ia hanya sedikit perlu membiasakan diri tanpa baju baru saat Lebaran. Doni bukan anak
cengeng yang merajuk minta baju baru.
Pada masanya, Imam Ahmad bin Hanbal pernah melakukan shafar dan melewati sebuah
masjid. Beliau shalat di dalamnya, tanpa kenal seorang pun di daerah tersebut. Ketika tiba
waktu tidur, Imam Ahmad menggelar tikar di dalam masjid untuk tidur. Selang beberapa waktu,
penjaga masjid meminta Imam Ahmad untuk tidak tidur di masjid. Penjaga masjid tidak tahu
siapa Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, ―Aku tidak tahu di mana aku bisa tidur. Oleh karenanya aku ingin
tidur di sini.‖
Mereka sempat berdebat, dan penjaga masjid tetap mengusir Imam Ahmad. Imam
Ahmad terheran-heran dengan sikap dan perlakuan penjaga masjid itu. Sampai di luar masjid,
lewatlah seseorang ketika penjaga masjid masih menyeret Imam Ahmad.
Orang yang lewat itu bertanya kepada Imam Ahmad, ―Ada apa denganmu?‖
Imam Ahmad menjawab, ―Aku tidak menemukan tempat di daerah sini untuk bermalam.
Sementara penjaga masjid itu menolakku untuk tidur di dalam masjid.‖
Orang itu menjawab, ―Mari ke rumahku. Tidurlah di sana.‖
Pergilah Imam Ahmad bersama orang itu. Di rumahnya, Imam Ahmad terkejut melihat
tuan rumah itu banyak bertasbih. Ia adalah seorang pembuat roti. Sambil menyiapkan adonan
roti, dan di tengah-tengah pekerjaannya ia banyak bertasbih dan beristighfar. Imam Ahmad
berpikir perkara orang ini adalah perkara besar karena ia banyak beristighfar dan bertasbih.
Imam Ahmad pun tidur. Di pagi hari, Imam Ahmad bertanya kepada pembuat roti itu.
―Apakah kamu mendapat pengaruh tasbih yang kamu ucapkan?‖
Si Kembar Berprestasi
Hasana dan Hasani adalah saudara kembar. Wajah dan perawakan mereka mirip.
Mereka juga suka memakai baju kembar.
Suatu hari Hasana ingin mengajak Hasani pergi ke perpustakaan. Ibu dan Ayah sudah
mengizinkan.
―Yuk, Hasani. Koleksi buku di sana bagus-bagus, lho.‖
Hasani masih asyik dengan game di depan komputer. Dia hanya menoleh sebentar lalu
kembali ke permainannya.
―Kalau kita ke sana sekarang, kita bisa leluasa membaca. Soalnya, kalau hari Ahad jam
12 perpustakaan sudah ditutup,‖ lanjut Hasana.
―Kamu ke sana sendiri, deh. Game-ku belum selesai.‖
Maka Hasana berangkat sendiri ke perpustakaan setelah berpamitan kepada Ibu.
Sore harinya seperti biasa, usai mengaji di masjid, Hasana menyiapkan buku-buku dan
peralatan sekolah untuk esok hari. Ia akan mengerjakan soal-soal latihan untuk ulangan
Matematika esok lusa.
―Hasani, ada tugas untuk besok? Atau tes?‖ tanya Ibu kepada Hasani yang langsung
memegang tablet dan siap bermain game.
―Tidak ada, Bu. Makanya belajarnya besok saja,‖ sahut Hasani.
Sementara itu, Hasana tetap belajar meski esok tak ada ulangan.
Kriiingng…! Bel berbunyi, tanda pelajaran jam ketiga usai dan tiba waktu istirahat
pertama. Anak-anak berhamburan keluar dari kelas. Ada yang menyerbu kantin untuk membeli
jajanan, ada yang ke halaman dan bermain bola, ada yang ke perpustakaan untuk membaca,
dan ada juga yang duduk-duduk santai di deretan kursi di depan kelas.
―Hi, friends!‖ terdengar sapaan saat Salama dan teman-temannya sedang membuat
kapal mainan dari karton bekas minuman. Mereka menoleh dan tampaklah Indy, anak kelas
sebelah, yang cukup dikenal di sekolah. Indy yang punya suara merdu pernah mengikuti kontes
adu bakat di stasiun televisi nasional meski hanya sampai tingkat semifinal.
menggeleng. ―Nggak, ah. Aku mau ke ruang ekskul saja. Yuk, friends. Bye!‖
Salama dan kawan-kawan geleng-geleng melihat sikap Indy. Ya… sejak sering tampil di
televisi dan diwawancara di koran lokal, Indy berubah. Ia lebih sering menyapa teman-
―Eh, tapi aku yakin Indy sebenarnya anak baik, kok,‖ sahut Salama. ―Kita kan dulu
―Iya… tapi gayanya itu lho… aku nggak suka,‖ kata Nana.
Siangnya ketika pelajaran usai dan para orang tua datang menjemput, terlihat Indy
duduk menunggu dengan gelisah. Satu-persatu jumlah kerumunan anak dan para penjemput
berkurang. Tinggal beberapa anak yang belum dijemput, di antaranya Salama dan Indy.
―Aku juga telat dijemput. Tadi ibuku bilang ada perlu ke kantor Ayah dulu, jadi telat
―Aku tadi sudah telepon ke rumah, tapi nggak ada yang mengangkat,‖ sahut Indy.
―Oh…‖ Salama mengangguk, lalu menyarankan, ―Coba kamu telepon lagi, In.‖
Indy pun menuju ke boks telepon di dekat resepsionis. Setelah memasukkan koin, ia
―Aku batal dijemput. Mama suruh aku naik angkot,‖ kata Indy sedih.
Belum sempat Salama menjawab, datang mobil jemputan Salama. Ibu membuka
Salama menawarkan.
Mereka menuju ke mobil. Salama meminta izin Ibu untuk mengajak Indy naik dan
Dalam perjalanan yang tidak lama, Indy dan Salama mengobrol. Indy yang semula agak
kikuk, kemudian kembali akrab dengan Salama. Ketika Salama bertanya kenapa sekarang Indy
jarang mengucapkan salam, Indy menjawab itu karena ia ingin terlihat keren dengan lebih
―Padahal salam itu kan ada doanya. Arti kata-katanya saja doa. Kalau sapaan seperti
―Iya sih…‖ sahut Indy tersenyum simpul. Sesaat ia tampak seperti memikirkan sesuatu.
Beberapa saat kemudian mereka sampai di depan rumah Indy. Ibu Salama menitipkan
Sebelum turun, Indy mencium tangan ibu Salama dan mengucapkan salam.
Sejak saat itu Indy kembali menjadi anak yang suka mengucapkan salam. Sebab salam itu
mengandung doa keselamatan dan mendatangkan pahala. Dengan menebarkan salam, kita
akan mudah mendapatkan teman.
Mengaji, Yuk!
Setiap pukul empat sore, Nada dan kawan-kawannya mengaji di masjid yang letaknya
tidak jauh dari rumah. Layaknya di sekolah, santri yang mengaji di situ juga memakai seragam
yang rapi. Hanya saja mereka boleh tidak bersepatu. Usai mendapat giliran mengaji, biasanya
anak-anak itu bermain sambil menunggu waktu maghrib tiba. Lalu sebelum pulang mereka
mengikuti shalat berjamaah di masjid.
―Eh, aku pulang duluan ya,‖ pamit Rio usai shalat maghrib.
―Kok buru-buru, sih?‖ tanya Nada.
―Nggak buru-buru,‖ sahut Rio. ―Cuma mau ngaji sama mama-ku nanti.‖
―Lho, kita kan sudah mengaji di masjid sini. Ngapain ngaji lagi?‖ tanya Nada heran.
―Ya apa salahnya? Malah bagus kan, banyak ngaji dapat pahala,‖ sahut Rio lagi.
―Mm… iya, ya…‖ sahut Nada setengah bergumam.
―Aku dan keluargaku terbiasa mengaji di rumah juga, biarpun di masjid aku sudah
mengaji,‖ lanjut Rio. ―Eh, sampai ketemu besok ya Nad!‖
―Eh, kalau begitu aku juga pulang dulu, ah!‖ Nada akhirnya memutuskan.
―Assalamu‘alaikum!‖
―Wa‖alaikumussalam.‖
Sampai di rumah, Nada memanggil-manggil ibunya yang sibuk menyiapkan makan
malam di dapur.
Pak Amanu adalah seorang pedagang tembikar. Setiap hari ia berjualan berbagai alat
rumah tangga di pasar. Di kiosnya, terdapat berbagai barang terbuat dari tanah liat, seperti
cobek dan ulekannya, kendi, celengan, poci, tungku mungil, dan masih banyak lagi lainnya. Ya,
Pak Amanu hanya menjual, tidak membuat sendiri barang-barang itu. Ada rekan kerjanya yang
memproduksi dan menitipkan ke kios Pak Amanu untuk diperdagangkan. Meskipun demikian,
Pak Amanu seorang pekerja keras. Dari rumah ia berangkat ke pasar pagi-pagi. Ia selalu
menyapa setiap orang yang datang ke kiosnya, meski orang itu belum tentu membeli
dagangannya.
Siang itu menjelang zhuhur. Pak Noor, tetangga kiosnya, yang berjualan pisang dari
kebunnya sendiri, menyapanya.
―Wah, Pak Amanu, daganganmu cukup laku juga. Kuamati sejak pagi, ada saja orang
yang datang.‖
―Alhamdulillah, Pak Noor. Allah Maha Pemurah. Bagaimana dengan…‖ Pak Amanu
hendak menanyakan kabar dagangan Pak Noor, tetapi ia sekilas melihat pisang raja dan pisang
kepok di kios masih banyak, ada beberapa tundun. Ia juga tadi melihat sekilas sambil melayani
pembelinya sendiri, hanya sedikit orang yang datang ke kios Pak Noor.
―Yah… kaulihat sendiri, Pak. Pisangku masih banyak,‖ sahut Pak Noor dengan nada
mengeluh. ―Kalau tidak segera habis, bisa busuk dan rugilah aku…‖
―Insyaallah akan ada pembeli setelah ini, Pak…‖ hibur Pak Amanu. ―Sekarang kita
istirahat dulu, Pak Noor. Mari ke masjid. Sebentar lagi adzan zhuhur berkumandang.‖
Muwashofat Muwashofat
Pokok Materi Judul Cerita Pelajaran
Utama Turunan
Salah satu sifat
manusia adalah
lupa dan salah.
Segera sadar dan
Tetapi saat
memohon
Kisah Adam berbuat salah,
Am, Im, Um Mengenal Diri ampunan setiap
a.s. kita harus
kali berbuat
segera
kesalahan
menyadarinya
dan memohon
ampunan.
Kita harus
meneladani sifat
Taat kepada nabi Ismail yang
perintah Allah taat penuh pada
Ketaatan
karena Allah tidak perintah Allah
Ar, Az Mengenal Allah Ibrahim dan
akan menyia- dan meyakini
Ismail
nyiakan ketaatan bahwa segala
hamba-Nya perintahNya
adalah yang
terbaik.
Kita harus
membiasakan
diri melakukan
Menyadari bahwa
segala yang
Allah akan selalu
Api pun diperintahkan
As, Is, Us Mengenal Allah melindungi hamba
Tunduk Allah agar Allah
yang menegakkan
selalu
agamaNya
menjauhkan kita
dari bahaya dan
cobaan.
Kita harus
gemar
bersadekah
membantu
Senang
orang lain di
bersadekah
Dulatan, Mengenal Qarun yang sekitar kita.
karena harta yang
Daulatan Sekitar Kikir Semakin sering
kita miliki hanya
kita bersadekah,
titipan dari Allah
urusan kita akan
semakin
dimudahkan
Allah
Ibrahim dan Ismail a.s. adalah dua hamba Allah yang telah membuktikan keshalihan
dan kesabarannya kepada Allah swt. Seorang ayah yang diuji cintanya dan seorang anak yang
diuji ketaatannya kepada Allah dan orang tua.
Tak pernah terpikir oleh Ibrahim bahwa kecintaannya dengan Ismail harus berbenturan
dengan sebuah mimpi yang memintanya untuk menyembelih putra yang telah ia nanti hingga
lebih dari delapan puluh tahun.
Masih terbayang oleh Ibrahim bagaimana beratnya kehidupan Ismail dan ibunya ketika
ia tinggalkan berdua di sebuah negeri asing yang tandus. Kawasan padang pasir yang bukan
sekadar tak berpenghuni, tetapi juga tak berair dan berpohon. Bagaimana mungkin mereka bisa
hidup. Kalau bukan karena ketaatan dan tawakalnya kepada Allah swt., tentu Ibrahim tak akan
tega meninggalkan mereka menuju Palestina.
Namun Ibrahim yakin itu bukan sekadar mimpi. Ia yakin itu perintah Allah yang harus
ditaati, walaupun sulit dicerna oleh nalar yang wajar. Dengan sangat bijaksana, Ibrahim
mengungkapkan kegundahan itu kepada Ismail, ―Wahai anakku. Aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?‖
Ternyata jawaban Ismail begitu mengharukan. ―Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang
telah diperintahkan Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku insyaallah sebagai seorang yang
sabar dan patuh kepada perintah. Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu,
Raja Namrud adalah raja yang zhalim. Tentaranya diperintahkan untuk membunuh
semua bayi laki-laki karena ia takut ada yang akan menggantikan kekuasaannya. Azar dan
istrinya berusaha menyelamatkan anaknya agar tidak menjadi korban kekejaman Namrud. Azar
pun menitipkan bayinya yang bernama Ibrahim di sebuah gua di hutan.
Ibunda Ibrahim sedih memikirkan bayinya. Ia punya kekhawatiran kalau-kalau anaknya
dimangsa binatang buas atau kelaparan. Melihat istrinya bersedih, Azar berkata, ―Tidak usah
khawatir. Lebih baik anak kita di dalam gua daripada dibunuh Namrud.‖
Istri Azar makin sedih mendengar itu. Ia menyahut, ―Sebaiknya kita ke gua untuk
melihat anak kita. Aku yakin dia masih hidup.‖
Azar pun menuruti demi menenangkan hati istrinya. Keesokan hari, pagi-pagi sekali
mereka berangkat agar tidak ketahuan penguasa. Tiba di depan gua, mereka heran. Gua
tampak sepi dan tenang. Ibunda Ibrahim masuk dan mendapati anaknya masih hidup.
―Lihat, anak kita masih hidup,‖ katanya kepada Azar.
―Rasanya aku tidak percaya anak kita masih hidup,‖ sahut Azar.
Mereka senang sekali melihat Ibrahim masih hidup. Namun Azar juga resah karena
Ibrahim tidak mungkin dibawa pulang, karena bisa celaka. Akhirnya mereka memutuskan untuk
Qarun adalah seorang laki-laki Yahudi. Sejarah mencatat bahwa ia adalah sepupu Musa
a.s. Allah menganugerahi Qarun dengan harta berlimpah dan ilmu pengetahuan. Ia dikenal dan
dikagumi banyak orang. Para orang tua selalu berharap anak-anaknya kelak sukses seperti
Qarun.
Tetapi Qarun kemudian takabur. Ia merasa bahwa harta dan keberhasilannya adalah
jerih-payahnya sendiri. Para alim ulama mengingatkannya agar bertobat. Mereka berkata,
―Kecelakaan besar bagimu. Pahala Allah adalah lebih baik bagi orang yang beriman dan
beramal shalih. Tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.‖
Namun Qarun tetap sibuk mengagumi hartanya dan tidak bersyukur. Ia tetap merasa
bahwa segala yang diperolehnya adalah karena usahanya sendiri. Iblis membisiki Qarun agar
tidak mendengar nasihat para ulama. Qarun bahkan menganggap alim ulama iri terhadapnya.
Allah pun murka. Harta Qarun dibenamkan ke dalam Bumi karena ia takabur. Allah
berfirman, ―Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam Bumi. Tidak ada satu
golongan pun yang menolongnya terhadap adzab Allah dan tiadalah ia termasuk orang yang
dapat membela dirinya.‖
BUKU 4
Muwashofat Muwashofat Judul
Pokok Materi Pelajaran
Utama Turunan Cerita
Kita harus
Nabi
Menumbuhkan meneladani
Inna, Innahu, Muhammad
Mengenal Diri sifat sabar dalam sifat sabar nabi
Innaha dan Nenek
diri Muhammad
Peludah
ketika dihina
Kita harus
berlindung pada
Memahami bahwa
Allah dari
Allah berkuasa
adzab/siksa
Idgham untuk mengadzab Kapal Nabi
Mengenal Allah yang
Bighunnah mereka yang tidak Nuh
disebabkan
mentaati
karena
perintahNya
kemaksiatan
kita
Sifat senang
Membiasakan diri
Mad Wajib Sadekah bersadekah
Mengenal Sekitar senang
Muttashil itu Indah tidak perlu
bersadekah
menunggu kaya
Kita harus
menghayati
Memahami begitu begitu cintanya
Drill besarnya Sang Ibu Ibu kepada kita.
Mengenal Sekitar
Fawatihussuwar kecintaan seorang Sejati Ibu rela
Ibu pada anaknya mengorbankan
segalanya agar
kita bahagia.
Tersebutlah seorang perempuan tua yang suka menghina Nabi Muhammad. Setiap kali
Nabi melintas di depan rumahnya, nenek itu meludah dengan sikap mengejek. Peristiwa itu
berulang kali terjadi, bahkan hampir setiap hari.
Suatu kali ketika Nabi lewat di depan rumahnya, perempuan tua itu tidak lagi
meludahinya. Sosoknya pun tak kelihatan. Karena penasaran Nabi lantas bertanya kepada
seseorang, ―Wahai Fulan, tahukah engkau, di manakah nenek pemilik rumah ini yang selalu
meludah setiap kali aku lewat?‖
Orang yang ditanya menjadi heran, kenapa Nabi justru menanyakan, penasaran, dan
tak sebaliknya merasa senang. Namun si Fulan tak ambil peduli, oleh karenanya ia segera
menjawab pertanyaan Nabi, ―Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa nenek yang
biasa meludahimu itu sudah beberapa hari ini terbaring sakit?‖
Mendengar jawaban itu Nabi mengangguk-angguk, lantas melanjutkan perjalanan untuk
beribadah di depan Ka‘bah dan bermunajat kepada Allah.
Sekembalinya dari ibadah, Nabi mampir menjenguk si nenek peludah. Ketika
mengetahui dirinya dijenguk orang yang setiap hari dia ludahi, nenek itu menangis.
―Betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama
yang menjenguk kemari.‖ Sambil menitikkan air mata nenek itu bertanya, ―Wahai Muhammad,
kenapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?‖
Nuh adalah keturunan Nabi Idris. Menurut Al Qur‘an, usia Nuh adalah 950 tahun.
Sepeninggal Nabi Idris, perilaku masyarakat semakin menyimpang. Kaum Nuh dikenal sebagai
penyembah berhala, zhalim, dan sewenang-wenang. Harta berlimpah membuat mereka lupa
diri.
Allah mengutus Nabi Nuh untuk menyadarkan masyarakat, agar mereka bertobat,
kembali ke jalan yang diridhai Allah. Nuh melakukannya dengan kesabaran dan tidak putus asa.
Namun mereka tidak menggubrisnya.
―Siapakah kamu? Kami tidak percaya kepadamu. Kami lebih pandai daripada kamu,‖
kata mereka seraya tetap menyembah berhala.
―Akan datang teguran dari Allah kepada kalian,‖ kata Nabi Nuh. ―Segeralah bertobat.‖
Nabi Nuh mengajak kaumnya bertobat dan menunggu hingga mereka berubah. Namun
tak terlihat tanda-tanda mereka akan bertobat. Ia pun mengadu kepada Allah. ―Ya Allah.
Seruanku jutsru membuat mereka berpaling dari kebenaran.‖
Kemudian Nuh memohon kepada Allah agar menyelamatkan orang-orang yang masih
percaya kepada-Nya. Allah mengabulkan doa tersebut dan Nuh diperintahkan untuk membuat
sebuah kapal.
Bersama para pengikutnya, nabi Nuh membuat kapal yang sangat besar. Setelah
selesai, Allah berfirman, ―Bersiaplah engkau dengan kapalmu. Bawalah orang-orang yang
beriman masuk ke dalam kapal. Bawalah pula binatang berpasang-pasangan.‖
Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang ashar.
Dengan sukacita Fatimah binti Rasulullah menyambut kedatangan suaminya yang seharian
mencari rezeki. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah
semakin banyak.
Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah. ―Maaf istriku, kali ini aku tidak
membawa uang sedikit pun.‖
Fatimah menyahut sambil tersenyum, ―Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di
pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta‘ala.‖
―Terima kasih,‖ jawab Ali.
Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal. Padahal persediaan dapur sudah
ludes sama sekali. Toh Fatimah tidak menunjukkan sikap kecewa atau sedih. Ali lalu berangkat
ke masjid untuk menjalankan shalat berjamaah.
Dalam perjalanan usai shalat Ali berhenti karena sapaan seorang tua. ―Maaf anak muda,
betulkah engkau Ali putra Abu Thalib?‖
Ali menjawab heran. ―Ya, betul. Ada apa, Tuan?‖
Orang tua itu merogoh kantongnya seraya menjawab, ―Dahulu ayahmu pernah kusuruh
menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi,
terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.‖
Tidak banyak orang tahu bahwa di tepi hutan itu tinggal dua keluarga. Kedua suami
dalam keluarga itu sudah lama menjalin persahabatan. Tidak heran jika mereka masing-masing
berkeluarga dalam waktu yang bersamaan. Mereka mempunyai bayi dalam waktu yang hampir
sama pula. Hari ini, keduanya bepergian ke luar daerah untuk beberapa minggu karena suatu
urusan. Mereka tidak terlalu khawatir meninggalkan istri-istrinya karena satu sama lain sudah
seperti saudara saja layaknya.
Suatu ketika ada seekor serigala buas menerkam dan memakan salah seorang anak
mereka tatkala kedua perempuan itu tengah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mereka
berdua memang terbiasa meninggalkan bayi-bayi itu di ayunan di pinggir hutan pada siang hari.
Keduanya ketakutan. Sebenarnya sudah jelas sekali bahwa yang dimangsa adalah bayi
perempuan yang tubuhnya gemuk. Sedangkan bayi dari perempuan yang agak kurus hanya
menderita luka akibat cakaran serigala itu.
Tetapi karena sangat takut dimarahi oleh suaminya, perempuan yang gemuk bersikeras
bahwa yang selamat adalah anaknya. Akibatnya kedua perempuan itu bertengkar hebat
memperebutkan bayi yang lolos dari maut tersebut.
Karena sama-sama bersikeras dan tidak ada penyelesaian, maka keduanya menghadap
Nabi Sulaiman a.s. untuk meminta keputusan, siapa gerangan yang berhak memiliki bayi itu.
Menghadapi persoalan itu, Nabi Sulaiman berpikir keras. Ia tidak mengetahui latar belakang
BUKU 5
Pokok Muwashofat Muwashofat Judul
Pelajaran
Materi Utama Turunan Cerita
Kita harus
meneladani sikap
Khalifah
tanggung jawab
Idgham Menumbuhkan Umar dan
Umar bin
Bila Mengenal Diri Sikap Tanggung Ibu yang
Khattab saat
Ghunnah Jawab Memasak
melihat
Batu
rakyatnya
menderita
Kita harus
Ali Bin Abi menghormati
Idzhar Menghormati yang Thalib dan bersikap
Mengenal Sekitar
Syafawi lebih tua Terlambat sopan terhadap
Shubuh orang yang lebih
tua
Kita harus
memperbanyak
Memahami sifat istighfar agar
Tanda Kisah Nabi
Mengenal Allah Maha Pengampun dosa kita
Waqof Yunus
Allah diampuni dan
hajat kita
dikabulkan Allah
Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar
daerah kekuasaannya. Pada suatu malam ketika sedang meronda, beliau melewati sebuah
rumah kecil yang sangat sederhana. Terdengar dialog dari dalam rumah, suara seorang anak
perempuan dan ibunya, yang membuat khalifah Umar berhenti sebentar. Rumah itu adalah
rumah seorang ibu penjual susu yang miskin, yang tinggal bersama seorang anak
perempuannya.
Kata sang ibu, ―Anakku, kita tambahkan air dalam susu ini supaya terlihat banyak
sebelum terbit matahari. Dengan begitu, kita akan mendapatkan lebih banyak uang untuk
makan besok.‖
Anaknya menjawab, ―Kita tidak boleh berbuat seperti itu, Ibu. Amirul Mukminin
melarang kita berbuat begitu.‖
―Tidak mengapa. Amirul Mukminin tidak akan tahu,‖ desak ibunya.
―Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan pasti mengetahui. Oleh karenanya aku tidak
berani melakukannya, Bu.‖
Mendengar percakapan itu, hati Umar terharu hingga ia meneteskan air mata. Ia sangat
terkesan oleh kemuliaan hati anak gadis itu. Hingga ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab
menyuruh anak lelakinya, Asim, untuk menikahi gadis itu.
Suatu masa dalam kepemimpinan Umar, masyarakat Arab mengalami masa paceklik
yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati
mengenaskan. Tanah tempat berpijak hampir menghitam seperti abu.
Keputus-asaan terasa di mana-mana. Saat itu Umar sang pemimpin menampilkan
kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya saksama.
Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari ia menginstruksikan aparatnya
menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat.
Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan
menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, ―Ya Allah, jangan sampai umat
Muhammad menemui kehancuran di tangan ini.‖
Umar menabukan makan daging, minyak samin, dan susu untuk perutnya sendiri. Bukan
apa-apa, ia khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia yang pemberani hanya
menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada
pembantunya ia berkata, ―Kurangilah panas minyak itu dengan api.‖ Minyak pun dimasak,
namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh
perutnya dengan jemari seraya berkata, ―Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap
menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.‖
Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani
salah seorang sahabatnya, ia keluar-masuk kampung. Ia melakukan itu untuk mengetahui
Dini hari itu Ali bin Abi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan shalat subuh
berjamaah di masjid bersama Rasulullah saw. Rasulullah tentulah sudah berada di sana.
Rasanya hampir tidak pernah Rasulullah keduluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak
ada yang istimewa karena memang itulah aktivitas yang sempurna untuk memulai hari, dan
bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.
Langit masih gelap, cuaca masih dingin, dan jalanan diselimuti kabut pagi yang turun
bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju masjid. Dari kejauhan lamat-lamat
terdengar adzan Bilal berkumandang merdu ke segenap penjuru Madinah.
Namun belum lama melangkah di jalan menuju masjid, di hadapan Ali ada seseorang.
Ali mengenalinya sebagai seorang lelaki tua Yahudi. Kakek itu berjalan sangat lamban. Mungkin
karena usianya yang telah lanjut. Tampak sekali ia berhati-hati menyusuri jalan.
Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tak ingin tertinggal mengerjakan shalat tahyatul
masjid dan qabliyah sebelum shalat berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat.
Ali paham benar bahwa Rasulullah mengajarkan agar setiap umat muslim menghormati
orang tua. Siapapun itu dan apapun agamanya. Maka Ali terpaksa berjalan di belakang kakek
itu. Tapi apa daya si kakek berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi
melambat. Kakek itu lemah sekali dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya. Ia khawatir
kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.
Di daerah Ninawa, Irak, masyarakatnya berada dalam kesesatan. Mereka suka memuja
berhala. Dari Syam, Allah mengutus Nabi Yunus a.s. untuk berdakwah kepada mereka. Namun
mereka menolak seruan Nabi Yunus. Mereka mengejek dan menghina Nabi Yunus. Mereka
menyombongkan harta kekayaan yang mereka miliki.
Nabi Yunus sangat prihatin, namun ia mencoba bersabar dan terus menyadarkan
mereka dari kesesatan. ―Aku mengajak kalian untuk beriman kepada Allah. Jangan menyembah
berhala lagi.‖
Mereka tetap menolak dan terus saja mencela dan mencemooh Nabi Yunus. Selama 33
tahun Nabi Yunus berdakwah, tetapi ia hanya mendapatkan dua orang pengikut. Ia hampir
berputus-asa di tengah upayanya. Lalu Allah menyuruhnya untuk melanjutkan dakwah selama
40 hari lagi. Jika selama perpanjangan waktu itu masyarakat belum mau beriman, Allah akan
mengadzab.
Penduduk Ninawa yang zhalim tidak mau menurut hingga lewat 40 hari, dan Nabi Yunus
pun menyerah. Tidak lama kemudian, mulai tampak awan hitam tebal di langit. Angin bertiup
kencang dan kilat menyambar-nyambar. Mereka mulai menyadari kebenaran dakwah Nabi
Yunus. Mereka ketakutan dan berhamburan mencari tempat berlindung.
Tetapi Nabi Yunus sudah meninggalkan mereka. Ia tiba di sebuah pantai dan melihat
orang-orang hendak naik kapal. Nabi Yunus ikut naik. Di tengah lautan, gelombang laut
meninggi. Para penumpang panik, takut kapal akan tenggelam. Mereka pun mengundi siapa