Anda di halaman 1dari 41

PEDOMAN

PENGELOLAAN LIMBAH B3
DI SUMUR MINYAK TUA YANG
DIKELOLA OLEH MASYARAKAT

KEMENTERIAN
LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDRERAL PENGELOLAAN


SAMPAH, LIMBAH DAN BAHAN
BERBAHAYA DAN BERACUN
DIREKTORAT PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN
LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DAN
LIMBAH NON BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
JULI 2016
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................. i
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... Iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Pengusahaan Minyak Sumur Tua................................................... 2
1.3. Gambaran Umum Sumur Minyak Tua Di Indonesia Yang
Dikelola Masyarakat ........................................................................ 3

BAB II PENGELOLAAN MIGAS DI INDONESIA


2.1. Penguasaan Negara Terhadap Sumber Daya Migas ................ 6
2.2. Peranan SKK MIGAS …………………………………………………… 6
2.3. Peranan PT Pertamina Sebagai State Oil Company……………. 8
2.4. Keterlibatan Masyarakat Dalam Penambangan Minyak
Di Sumur Tua ……………………………………………………………. 9
2.5. Kebijakan PT Pertamina Dengan Memperbolehkan
Masyarakat dan KUD Menambang Minyak Dengan Skema
Bagi Hasil ………………………………………………………………… 9
2.6. Analisa Ekonomi Keuntungan Pengelolaan Sumur Minyak Tua 10
1. Konsep Dasar Investasi dan Analisa Keuangan …………….. 10
2. Kriteria Penilaian …………………………………………………… 12
3. Model Kontrak Sumur Tua Antara Kontraktor dan
KUD/BUMD …………………………………………………………... 14
4. Analisa Ekonomi ……………………………………………………. 16

BAB III TIMBULAN LIMBAH B3 DI SUMUR-SUMUR MINYAK TUA


3.1. Limbah B3 Umum Yang Dihasilkan Dari Bekas Sumur Minyak
Tua Yang Dikelola Masyarakat …………………………………….. 19
1. Air Limbah …………………………………………………………… 19
2. Limbah Padat dan Lainnya ……………………………………… 20
3.2. Tanah Terkontaminasi Akibat Ceceran Dan Tumpahan
Minyak Di Sekitar Area Penambangan …………………………… 20
3.3. Lahan Tercemar Akibat Aktivitas Penambangan dan
Kilang Tradisional ……………………………………………………… 22
3.4. Pemulihan Lahan Terkontaminasi lokasi
Penambangan Sumur Minyak Tua ………………………………… 23
1. Penyelidikan Tapak ………………………………………………… 24
2. Pemilihan Model Pemulihan Lahan Terkontaminasi ………… 27

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat i
BAB IV PEDOMAN PENGELOLAAN LIMBAH B3
4.1. Upaya Minimasi Ceceran dan Tumpahan Minyak Di Lokasi
Sumur …………………………………………………………………… 29
1. Persiapan …………………………………………………………… 29
2. Penanganan Ceceran dan Tumpahan ……………………… 29
4.2. Upaya Mengurangi Ceceran dan Tumpahan Saat
Pengangkutan Minyak …………………........................................ 31
4.3. Sarana Pengendalian Ceceran dan Tumpahan ...................... 31
4.4. Sarana Penyimpanan Sementara Limbah B3 Yang Dihasilkan 32
4.5. Sosialisasi Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Kepada
Masyarakat ……………………………………………………………. 32
4.6. SOP Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 Di Sumur Tua ……... 33
1. Tahapan Reaktivasi Sumur Tua ………………………………… 33
2. Pengelolaan Limbah …………………………………………….. 34

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat ii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Formula Imbalan Jasa ................................................................ 17
Tabel 2.2. Data Perhitungan Cost and Fee ………………………………… 17
Tabel 2.3. Data Perhitungan Bagi Hasil ……………………………………… 17
Tabel 3.1. Baku Mutu Air Limbah Kegiatan Eksplorasi dan Produksi
Migas Dari Fasilitas Darat ………………………………………….. 19

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Diagram Alir Cah Flow................................................................. 13
Gambar 2.2. Model Kontrak Sumur Tua ………………..................................... 15
Gambar 2.3. Model Kontrak Cost & Fee antara Kontraktor KKS dengan
KUD/BUMD, dan PSC antara Pemerintah dengan Kontraktor
KKS ………………………………………………………..................... 15
Gambar 2.4. Model Kontrak Bagi Hasil antara Kontraktor KKS dengan
KUD/BUMD, dan PSC antara Pemerintah dengan Kontraktor
KKS ………………………………...................................................... 15
Gambar 3.1. Tipikal LNAPL Plume …………………………................................. 22
Gambar 3.2. Tipikal DNAPL Plume ……………….............................................. 23
Gambar 4.1. Sketsa Pemisahan Minyak dan Pengolah limbah ……………. 35

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Dalam 100 tahun terakhir minyak merupakan sumber energy utama bagi
sebagian besar kawasan dunia. Saat ini cadangan minyak bumi tersebut mulai
menipis dan negara Indonesia yang semula sebagai pengekspor minyak, saat ini
menjadi net importer minyak. Untuk memaksimalkan produksi minyak dalam
negeri pemerintah saat ini mengupayakan untuk memproduksi kembali minyak
bumi yang masih ada pada sumur tua yang tidak ekonomis apabila dikelola oleh
Kontrktor KKS. Di sisi lain sumur tua tersebut masih memiliki potensi minyak dan
akan memberikan nilai ekonomis jika dikelola oleh unit usaha masyarakat melalui
KUD atau BUMD setempat.

Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 03 Tahun
2008 tentang Tata cara pengembalian bagian wilayah kerja yang tidak
dimanfaatkan oleh kontraktor kontrak kerjasama dalam rangka peningkatan
produksi minyak dan gas bumi dijelaskan bahwa kontraktor kontrak kerja sama
yang berproduksi dan sudah melaksanakan kewajiban penyisihan wilayah kerja
wajib untuk mengembangkan setiap penemuan lapangan/struktur yang
mengandung minyak dan gas bumi pada wilayah kerjanya dan atau
mengusahakan kembali lapangan/struktur yang pernah diproduksikan. Dalam
hal kontraktor tidak mengembangkan penemuan lapangan/struktur dan/atau
mengusahakan kembali lapangan/struktur yang pernah diproduksikan,
kontraktor dapat mengusulkan badan usaha atau bentuk usaha tetap lain
kepada Menteri untuk mengembangkan lapngan/struktur dimaksud atau
kontraktor mengembalikan lapangan/struktur kepada Menteri.

Menurut Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman


Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua, yang dimaksud
dengan sumur minyak tua adalah sumur minyak bumi yang pernah dibor
sebelum Tahun 1970 dan pernah diproduksi serta terletak pada lapangan yang
diusahakan pada suatu wilayah kerja yang terikat kontrak kerja sama dan tidak
diusahakan lagi oleh KKKS. Dalam hal kontraktor tidak mengusahakan lagi,
KUD/BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur
tua dengan persetujuan Menteri. Sedangkan pelaksanaan usaha dan produksi
minyak bumi oleh KUD/BUMD dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerja sama
kontrak jasa dengan pihak kontraktor.

Saat ini setidaknya terdapat sumur tua sebanyak 13.824 yang tersebar di
beberapa daerah meliputi:

 Sumatera Bagian Selatan sebanyak 3.623 unit sumur;

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 1
 Sumatera Bagian Utara sebanyak 2.392 unit sumur;
 Sumatera Bagian Tengah sebanyak 1.633 unit sumur;
 Kalimantan Timur sebanyak 3.143 unit sumur;
 Kalimantan Selatan sebanyak 100 unit sumur;
 Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura sebanyak 2.496 unit sumur;
 Papua sebanyak 208 unit sumur; dan
 Seram sebanyak 229 unit sumur

Dari total sumur tua tersebut terdiri dari sumur tua aktif sebanyak 745 dan non aktif
sebanyak 13.079. Sebagian besar sumur tua tersebut terdapat di wilayah kerja
migas PT Pertamina dan sebagian lainnya berada di wilayah kerja perusahaan
Kontaktor KKS. Diharapkan dengan terpoduksinya minyak dari sumur tua tersebut
akan dapat menambah produksi minyak Indonesia antara lima ribu sampai dua
belas ribu bbl/hari

Dasar hukum yang melandasi pengusahaan pertambangan minyak bumi pada


sumur tua adalah:
1. Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi;
4. Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada sumur Tua; dan
5. Pedoman Tata Kerja Nomor. 023/PTK/III/2009 tentang Pengusahaan
Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua.

Setiap bagian dari kegiatan pengusahaan pertambangan minyak bumi


berpotensi berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan sejak bagaimana minyak
tersebut ditemukan (ekplorasi), eksploitasi, proses pemisahan minyak, transportasi
dan penyimpanan. Dari banyaknya jumlah sumur minyak tua yang ada baik
yang telah diaktivasi maupun yang akan diaktivasi dimasa mendatang maka
dampak lingkungan juga akan semakin besar. Untuk meminimalkan dampak
yang telah dan akan timbul dari kegiatan pertambangan minyak pada sumur
tua yang dikelola oleh kelompok masyarakat KUD/BUMD diperlukan acuan atau
pedoman pengelolaan limbah B3 dari kegiatan tersebut.

1.2. PENGUSAHAAN MINYAK SUMUR TUA

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008, untuk


mengusahakan sumur tua, KUD/BUMD harus mengajukan permohonan kepada
kontraktor dengan tembusan disampaikan kepada Menteri, Dirjen dan SKK Migas
dengan melampirkan dokumen administratif dan dokumen teknis. Permohonan
tersebut didasarkan atas rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten/Kota serta
disetujui oleh Pemerintah Propinsi. Dokumen administratif yang disampaikan
terdiri dari:

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 2
1. Akte Pendirian KUD/BUMD dan perubahannya yang telah mendapat
pengesahan dari instansi yang berwenamg;
2. Surat Tanda Daftar Perusahaan;
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
4. Surat Keterangan Domisili;
5. Rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dan disetujui oleh Pemerintah
Propinsi setempat; dan
6. Surat pernyataan tertulis di atas meterai mengenai kesanggupan memenuhi
ketentuan peraturan perundang undangan.

Untuk dokumen administratif yang disampaikan meliputi:


1. Peta lokasi sumur tua yang dimohonkan;
2. Jumlah sumur yang dimohonkan;
3. Rencana memproduksikan minyak bumi termasuk usulan imbalan jasa;
4. Rencana program keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan
lingkungan hidup termasuk usulan penanggungjawab pelaksanaan;
5. Teknologi yang digunakan memproduksikan minyak bumi; dan
6. Kemampuan keuangan.

1.3. GAMBARAN UMUM KONDISI SUMUR MINYAK TUA DI INDONESIA YANG DIKELOLA
MASYARAKAT

Sumur minyak tua yang dikelola masyarakat pada awalnya sebagian besar
dalam keadaan terbengkalai dan pada umumnya telah menurun
produktivitasnya serta letak lokasi cukup sulit untuk dijangkau dengan alat berat.
Beberapa kendala teknis yang dihadapi untuk memproduksi kembali sumur
minyak tua (reaktivasi) biasanya adalah masalah kandungan lumpur dan pasir,
telah terjadi water blocking, casing sumur telah rusak dan di dalam sumur banyak
terdapat kotoran berupa tanah, kayu, besi dan batu. Metode yang digunakan
untuk memproduksi minyak bumi umumnya secara konvensional yaitu berupa
sumur timba manual dan mekanis. Metode sumur timba manual merupakan
teknologi yang paling sederhana dimana cara ini tidak memerlukan investasi
yang besar dan sangat mudah dalam pengoperasiannya. Namun kemampuan
memproduksi minyak bumi sangat terbatas karena sangat tergantung pada
tenaga manusia. Pada sumur timba mekanis merupakan pengembangan dari
metode manual yaitu tenaga manusia digantikan dengan mesin untuk menarik
timba dari dalam sumur. Kelebihan dengan cara ini adalah kinerja produksi lebih
baik dimana minyak bumi yang terangkat lebih banyak, namun membutuhkan
biaya investasi yang lebih besar.

Pengusahaan pertambangan minyak sumur tua oleh KUD/BUMD biasanya


dimulai dengan reaktivasi sumur untuk beberapa sumur tua yang potensial yang
memerlukan beberapa tahapan pekerjaan meliputi:
a. Pemilihan sumur tua yang akan dibuka
Untuk menentukan pilihan sumur tua ini yang akan diproduksi harus
didasarkan pada data geologi dan data kondisi sumur yang meliputi:

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 3
 Sejarah produksi sumur masa lalu sebelum ditinggalkan;
 Kedalaman sumur;
 Profil sumur; dan
 Kendala yang dihadapi saat ini (kondisi sumur saat ini)
b. Persiapan lokasi;
Setelah dapat ditentukan pilihan sumur tua yang akan diproduksi maka
dilanjutkan dengan pekerjaan persiapan meliputi:
 Pembersihan lokasi sumur;
 Pembuatan akses jalan kerja menuju sumur;
 Pembuatan cellar dan separator minyak/air;
 Pembuatan bak penampung minyak hasil produksi; dan
 Pembuatan kolam pengelolaan air limbah.
c. Pelaksanaan pembersihan/pengurasan sumur;
Keadaan sumur tua biasanya dalam kondisi tertutup oleh tanah, batu, pipa
dan benda lainnya, sehingga harus dibersihkan terlebih dahulu. Setelah
pembersihan dapat dilanjutkan dengan pengurasan sumur dengan tujuan
untuk membersihkan lumpu dan air yang ada di dalam sumur. Pengurasan
dilakukan hingga minyak keluar dari dalam sumur.
d. Produksi.
Setelah pengurasan selesai dan cairan minyak mulai terproduksi, maka
produksi minyak telah dapat dilakukan. Untuk metode konvensional proses
produksinya adalah dengan cara memasukkan cairan dari dalam sumur
(campuran air dan minyak) ke dalam bak penampung yang juga berfungsi
sebagai pemisah air dan minyak. Selanjutnya minyak hasil pemisahan
dipompakan ke truck tangki untuk dibawa ke pusat penampungan minyak.
Peralatan produksi yang digunakan terdiri dari timba, seling timba, bak
pemisah/penampung, pompa dan truck pengangkut. Sedangkan untuk
proses produksi tepat guna biasanya setelah pengurasan selesai dan minyak
mulai terproduksi, pompa penguras dilepaskan dan diganti dengan alat
produksi tepat guna (APTG) yang terdiri dari pompa submersible beserta
beserta kelengkapannya berupa kabel dan panel pompa, pipa galvanis Ø
1,5 inci, kawat pengaman seling dan genset.

Dalam Pedoman Tata Kerja Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pengusahaan


Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua, terhadap KUD/BUMD
dipersyaratkan bahwa:
 Semua produksi minyak bumi dari lokasi sumur minyak tua wajib diserahkan
oleh KUD/BUMD kepada KKKS di titik penyerahan yang telah ditentukan
dengan menggunakan mobil tangki dan akan dibukukan sebagai produksi
Kontraktor KKS.
 KUD/BUMD hanya diperbolehkan mengusahakan dan memproduksi minyak
bumi dari sumur tua pada lapisan sumur yang sudah ada, tidak diperkenankan
melakukan Kerja Ulang Pindah Lapisan (KUPL), deepening/pendalaman sumur
dan pemboran sumur tambahan.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 4
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan eksploitasi minyak yang
dilakukan oleh masyarakat umumnya tidak memenuhi kaidah kaidah K3 dan
lingkungan yang baik dan benar. Ceceran dan tumpahan minyak mentah
terjadi baik pada saat proses drilling maupun pengangkutan minyak ke lokasi
penampungan. Pengelolaan limbah B3 lainnya yang dihasilkan dari utilitas
seperti oli bekas dan material terkontaminasi minyak tidak terkontrol dengan
baik. Permasalahan pengelolaan sumur minyak tua yang dilakukan oleh KUD
yang terjadi dilapangan diperparah dengan sejumlah pelanggaran terhadap
Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008 dan Pedoman Tata Kerja Nomor. 23
Tahun 2009 antara lain:

 Kegiatan pembukaan sumur baru (illegal drilling);


 Kegiatan penyulingan minyak mentah secara illegal dengan teknik tradisional;
 Penjualan sebagian produksi minyak sumur tua dan hasil olahan secara ilegal;
 Alat transportasi minyak bumi yang tidak memadai (ran dan pick-up); dan
 Terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan

Akibat tata kelola memproduksi minyak bumi pada sumur tua yang tidak sesuai
dengan kaidah keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan
lingkungan, maka kegiatan tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya
kecelakaan dan pencemaran lingkungan.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 5
BAB II
PENGELOLAAN MIGAS DI INDONESIA

2.1. PENGUASAAN NEGARA TERHADAP SUMBER DAYA MIGAS

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD RI Tahun 1945, yang
berbunyi “(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dan ketentuan
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi,
yang berbunyi “(1)Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis
takterbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. (2)
Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan”. Dengan demikian, baik kepentingan perseorangan,
masyarakat, maupun pelaku usaha, tidak memiliki hak menguasai atau pun
memiliki Minyak dan Gas Bumi yang terkandung di dalamnya.

Secara konstitusional, penguasaan atas cabang-cabang produksi yang


menguasai hajat hidup orang banyak dan seluruh kekayaan alam, seperti
sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi dikuasai secara mutlak oleh Negara
untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena sumber
daya alam Minyak dan Gas Bumi merupakan kekayaan nasional yang strategis
dan vital yang dikuasai Negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, juga sebagai suatu kekayaan nasional untuk
mempertahankan ketahanan nasional.

2.2. PERANAN SKK MIGAS

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK
Migas) adalah institusi yang dibentuk oleh pemerintah Republik Indonesia melalui
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. SKK Migas bertugas
melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Pembentukan lembaga ini dimaksudkan
supaya pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara
dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam melaksanakan tugas tersebut, SKK
Migas menyelenggarakan fungsi:
 Memberikan pertimbangan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja
serta Kontrak Kerja Sama;

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 6
 Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
 Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang
pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mendapatkan persetujuan;
 Memberikan persetujuan rencana pengembangan selain sebagaimana
dimaksud dalam poin sebelumnya;
 Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
 Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; dan
 Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang
dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

Kegiatan hulu migas diawali dengan penyiapan tender wilayah kerja migas yang
dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas). Penyiapan tender ini
diawali dengan survei awal yang meliputi pengumpulan, analisis dan penyajian
data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk memperkirakan
letak dan potensi migas. Tahap awal ini sangat menentukan sukses bisnis hulu
migas secara keseluruhan, karena mencari cadangan migas bersifat tidak pasti.
Setelah mengidentifikasi area-area yang diperkirakan mengandung migas,
Ditjen Migas selanjutnya menawarkan wilayah kerja ini melalui tender terbuka.

Investor yang berminat akan menyampaikan ketertarikan mereka, termasuk


komitmen eksplorasi selama tiga tahun pertama. Proposal mereka menjadi dasar
dalam menentukan pemenang tender untuk masing-masing wilayah kerja.
Setelah pemenang ditetapkan, langkah selanjutnya adalah merumuskan
kontrak kerja sama. Pada fase ini pemerintah akan berusaha membuat kontrak
yang paling menguntungkan bagi negara, namun tetap menarik bagi investor.

Tahap berikutnya adalah penandatanganan kontrak kerja sama dengan


pemenang tender, yang disebut sebagai kontraktor kontrak kerja sama
(Kontraktor KKS). Pada fase inilah SKK Migas mulai berperan dalam industri hulu
migas. SKK Migas menjadi wakil pemerintah dalam penandatanganan kontrak
kerja sama. KKS dilaksanakan paling lama 30 tahun dan kontraktor dapat
mengajukan perpanjangan paling lama 20 tahun. Kontrak ini terdiri atas jangka
waktu eksplorasi dan eksploitasi. Jangka waktu eksplorasi adalah 6 tahun dan
dapat diperpanjang selama 4 tahun.

Selama masa eksplorasi, SKK Migas melakukan pengawasan terhadap


pelaksanaan komitmen yang telah dijanjikan kontraktor. Bila selama masa enam
tahun pertama, kontraktor tidak melaksanakan komitmen atau tidak berhasil
menemukan cadangan yang komersial, SKK Migas akan memberikan
rekomendasi kepada Kementerian ESDM untuk melakukan terminasi atas kontrak
atau memperpanjang kontrak selama empat tahun. Jika berhasil menemukan
cadangan yang cukup komersial, kontraktor akan menyusun rencana
pengembangan pertama atau plan of development (POD) I. SKK Migas akan

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 7
menyampaikan evaluasi dan rekomendasi untuk POD I ini kepada Menteri ESDM.
Keputusan untuk menyetujui POD I ini berada di tangan Menteri ESDM.
Persetujuan terhadap POD I ini menandai bahwa sebuah wilayah kerja telah
memasuki fase produksi.

Dalam fase produksi, SKK Migas melanjutkan pengendalian atas kontrak kerja
sama melalui persetujuan rencana kerja dan anggaran atau Work Program and
Budget (WP&B) tahunan dari kontraktor KKS dan otorisasi pengeluaran
atau Authorization for Expenditure(AFE). SKK Migas juga memberikan persetujuan
untuk POD kedua dan POD selanjutnya. Pengendalian yang dilakukan oleh SKK
Migas ini bertujuan memaksimalkan hasil kegiatan usaha hulu migas untuk
kesejahteraan rakyat.

Seluruh hasil penerimaan negara dari kegiatan hulu migas, baik yang berasal dari
bagi hasil maupun dari penerimaan pajak, tidak masuk ke rekening SKK Migas,
tetapi langsung masuk ke kas negara melalui Menteri Keuangan. Dana ini
selanjutnya disalurkan ke seluruh rakyat Indonesia melalui mekanisme APBN.
Dengan tata kelola yang terstruktur dan terencana diharapkan hasil sektor hulu
migas mampu memberikan devisa yang besar bagi negara dan mendukung
pembangunan nasional.

2.3. PERANAN PERTAMINA SEBAGAI STATE OIL COMPANY

PT. Pertamina (PT. Pertambangan Minyak Nasional Indonesia) sebagai


perusahaan Negara diberikan mandat penuh untuk menjalankan bisnis di Industri
Migas Indonesia mulai dari Sektor Hulu hingga sektor Hilir. Disektor Hulu, Pertamina
bertugas untuk mencari cadangan crude oil dan gas, melakukan produksi dan
lifting ke permukaan hingga transportasinya ke kilang-kilang pengolahan.
Disektor Hilir, Pertamina memikul tugas yang tidak kalah penting, yaitu melakukan
pengolahan crude oil dan gas menjadi produk-produk turunan seperti premium,
solar, minyak tanah, minyak diesel, LPG, LNG dan produk petrokimia serta
bertanggung jawab dalam hal pemasaran dan pendistribusiannya ke seluruh
Pelosok Tanah Air.

Untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan produksi tersebut, Pertamina juga


menekuni bisnis jasa teknologi dan pengeboran, serta aktivitas lainnya yang
terdiri atas pengembangan energi panas bumi dan Coal Bed Methane (CBM).
Dalam pengusahaan migas baik di dalam dan luar negeri, Pertamina beroperasi
baik secara independen maupun melalui beberapa pola kerja sama dengan
mitra kerja yaitu Kerja Sama Operasi (KSO), Joint Operation Body (JOB), Technical
Assistance Contract (TAC), dan Indonesia Participating/Pertamina Participating
Interest (IP/PPI). Aktivitas eksplorasi dan produksi panas bumi oleh Pertamina
sepenuhnya dilakukan di dalam negeri dan ditujukan untuk mendukung program
pemerintah menyediakan tenaga listrik.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 8
2.4. KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PENAMBANGAN MINYAK DI SUMUR TUA

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK-
Migas) mendorong peningkatan peran masyarakat melalui BUMD dan KUD
dalam pengusahaan penambangan minyak bumi di sumur tua. Melalui langkah
ini diharapkan akan ada peningkatan produksi minyak bumi nasional serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah setempat. Hal tersebut sejalan
dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua dan Pedoman Tata
Kerja SKK Migas Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pengusahaan Pertambangan
Minyak Bumi Pada Sumur Tua.

Potensi pengusahaan sumur tua di Indonesia masih sangat besar mengingat


banyaknya jumlah sumur tua yang sudah tidak produktif berkisar 13.824 sumur.
Keterlibatan masyarakat tidak hanya dalam kegiatan produksi minyak dari sumur
tua saja (dibutuhkan ± 50 tenaga kerja) tetapi juga dari kegiatan pendukung
pertambangan terkait yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk
meningkatkan pendapatan mereka. Dari beberapa hasil penelitian di beberapa
lokasi pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua terjadi
perubahan kearah perbaikan ekonomi dan perilaku sosial masyarakat misalnya
terciptanya suasana gotong royong serta terciptanya suasana keamanan
lingkungan yang baik di wilayah kerja dan sekitarnya. Dalam hal pelestarian
hutan juga berdampak positif dimana dengan adanya kegiatan penambangan
minyak yang dilakukan masyarakat, tingkat pencurian kayu menjadi sangat
berkurang karena ada alternatif mata pencarian yang legal.

2.5. KEBIJAKAN PERTAMINA DENGAN MEMPERBOLEHKAN MASYARAKAT DAN KUD


MENAMBANG MINYAK DENGAN SKEMA BAGI HASIL

Bentuk kerjasama bagi hasil merupakan modifikasi dari kontrak perjanjian karya.
Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) ini mulai dikenal sejak
berlakunya Undang Undang Nomor 8 Tahun 1971. Pada Pasal 12-1 dinyatakan
bahwa; dalam melakukan kegiatannya, Pertamina diperkenankan untuk
bekerjasama dengan pihak lain dalam bentuk kontrak bagi hasi atau Production
Sharing Contract. Dalam kontrak bagi hasil tersebut ditetapkan bahwa
wewenang berada ditangan Pemerintah Republik Indonesia. Peranan kontraktor
KKS termasuk PT Pertamina hanyalah sebagai penyandang dana dan
melaksanakan kegiatan operasi perminyakan. Kontrak bagi hasil antara
mengandung hal-hal sebagai berikut:
1. Pertamina bertanggung jawab atas manajemen operasi;
2. Kontraktor melaksanakan operasi menurut Program Kerja Tahunan yang
sudah disetujui Pertamina;
3. Kontraktor menyediakan seluruh dana dan teknologi yang dibutuhkan dalam
operasi perminyakan;
4. Kontraktor menanggung biaya resiko;

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 9
5. Kontraktor diizinkan mengadakan eksplorasi se;ama enam sampai sepeuluh
tahun. Sedangkan eksploitasi boleh dilakukan oleh kontraktor selama 20
tahun atau lebih (jangka waktu kontrak adalah 30 tahun);
6. Kontraktor akan menerima kembali seluruh biaya operasi setelah produksi
komersial;
7. Produksi yang telah dikurangi biaya produksi, dibagi antara Pertamina dan
kontraktor;
8. Kontraktor wajib menyisihkan/mengembalokan sebagian wilayah kerjanya
kepada pemerintah;
9. Seluruh barang operasi/peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik
pemerintah;
10. Seluruh data yang didaptkan dalam operasi menjadi milik pemerintah;
11. Kontrkator adalah subyek pajak penghasilan, dan wajib menyetorkannya
secara langsung kepada pemerintah;
12. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi dalam negeri
(Domestic Market Obligation/DOM) maksimum 25% dari bagian Contract
Production Sharing; dan
13. Kontraktor wajib mengalihkan 10% interestnya setelah produksi komersial
kepada perusahaan swasta nasional yang ditunjuk Pertamina.

Skema bagi hasil lebih banyak digunakan pada kerjasama dalam kegiatan
eksploitasi dan eksplorasi minyak bumi termasuk dalam pengelolaan
pertambangan minyak bumi di sumur tua.

2.6. ANALISA EKONOMI KEUNTUNGAN PENGELOLAAN SUMUR MINYAK TUA

1. Konsep Dasar Investasi dan Analisis Keuangan

Dalam rangka pengembangan perusahaan yang bergerak dibidang Migas


perlu direncanakan suatu program investasi. Dengan demikian keputusan
mengenai dilakukannya investasi ini harus dipersiapkan dengan cermat.
Upaya yang harus dilakukan memerlukan penilaian pada situasi dan kondisi
dimasa yang akan datang dan pada kurun waktu beberapa tahun kedepan.
Tidak pastinya situasi dan kondisi ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal,
yaitu diantaranya seperti perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik global.

Salah satu persoalan yang dihadapi dalam berinvestasi adalah estimasi


pengeluaran dan penerimaan uang selama kurun waktu ke depan berupa
aliran kas bagi perusahaan (future cash flow). Hal ini akan dipakai sebagai
pedoman kebijakan investasi karena hasil perhitungan yang dilakukan
merupakan informasi yang bermanfaat bagi perusahaan untuk menilai
kelayakan investasi. Penilaian tersebut sangat penting karena investasi yang
ditanamkan tersebut sangat diharapkan dapat menghasilkan keuntungan
bagi perusahaan. Dengan diperolehnya keuntungan tersebut maka rencana
tersebut akan memiliki peluang lebih besar dimasa depan untuk dapat
melakukan pengembangan perusahaan.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 10
Dalam proses penilaian kelayakan investasi pengusahaan pertambangan
minyak bumi pada sumur tua ini dilakukan pendekatan secara konvensional
yaitu dengan menganalisa perkiraan aliran kas keluar (cash outflow). Aliran
kas (cash flow) tersebut dibentuk dari beberapa parameter yaitu nilai
penjualan, biaya produksi, depresiasi, amortisasi, pajak dan lain-lain yang
secara umum digambarkan sebagai berikut:

Equity Borrowed
Capital Capital

CASH
FLOW COMPANY

WORKING WORKING
CAPITAL CAPITAL

SALE OPERATING COST


S
OPERATIONS

GROSS
PROFIT

DEPRECIATION

AMORTIZATION
INCOME TAX

NET PROFIT

Gambar 2.1. Diagram Alir Cash Flow

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 11
2. Kriteria Penilaian

Kaidah pokok yang digunakan dalam perhitungan dan analisis finansial ini
mengacu pada konsep ekuivalen, yang pada dasarnya memberikan bobot
parameter waktu terhadap nilai uang yang diinvestasikan, seperti bunga
(interest) dan laju pengembalian (rate of return). Pemahaman konsep
ekuivalen ini diperlukan sebelum lebih lanjut melakukan penyusunan kriteria
penilaian finansial.

Kriteria penilaian finansial merupakan alat bantu bagi manjemen untuk


membandingkan dan memilih alternatif investasi yang akan dilakukan.
Beberapa macam kriteria penilaian yang dianggap baku yang mengacu
pada konsep ekuivalen tersebut diantaranya adalah Net Present Value
(NPV), Internal Rate Of Return (IRR).

a. Net Present Value (NPV)

Kriteria ini berdasarkan konsep mendiskonto seluruh aliran kas (cash flow)
ke nilai sekarang (present value). Dengan mendiskonto semua aliran kas
masuk (cash inflow) dan aliran kas keluar (cash outflow) selama umur
proyek ke nilai sekarang. Dengan demikian penilaian kriteria penilai NPV
memperhatikan dua hal sekaligus yaitu faktor nilai waktu dari uang dan
selisih besarnya aliran kas masuk dan kas keluar. Dengan kata lain NPV
dapat menunjukkan jumlah dengan arus diskonto tertentu dan
memberikan gambaran berapa besar uang pada saat ini yang secara
matematis dirumuskan sebagai berikut:

n n
NPV = 
t=0
( C )t
(1 + i)t 
t=0
(Co)t
(1 + i)t

dimana:
NPV = Net Present Value
(C)t = aliran kas masuk tahun ke-t
(Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t
n = umur investasi (tahun)
i = arus pengembalian (rate of return)
t = tahun
Dengan menggunakan kriteria penilaian NPV dalam analisa finansial akan
diperoleh beberapa kelebihan yaitu:
 Telah memasukkan faktor nilai waktu dari uang;
 Telah mempertimbangkan semua aspek aliran kas; dan
 Perhitungan besaran bersifat absolut dan bukan relatif.
Menganalisa investasi dengan metode ini, memerlukan discount factor
yang dicari dari biaya modal rata-rata tertimbang. Angka tersebut
dihitung dengan kaidah-kaidah manajemen keuangan dengan
menghitung besarnya prosentase biaya modal sendiri tanpa utang

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 12
dengan memperhatikan leverage dan prosentase biaya modal utang
jangka panjang. Selanjutnya untuk mencari discount factor dari biaya
modal rata-rata tertimbang diperoleh dengan mengalikan proporsi
antara modal sendiri dan pinjaman (Debt equity ratio) dengan prosentase
masing-masing. Namun pada umumnya akan diperoleh angka discount
factor yang tidak berbeda jauh dengan besarnya bunga bank.
Berdasarkan metode NPV, suatu proyek dikatakan layak apabila nilai Net
Present Value (NPV) pada masing-masing struktur modal adalah positif.

b. Laju Pengembalian Internal (Internal Rate of Return/IRR)

Perhitungan dengan metode ini adalah untuk mencari tingkat persentase


diskonto yang menyamakan nilai investasi saat ini dengan nilai
penerimaan proyek pada saat ini. Dengan perkataan lain bahwa IRR
adalah tingkat bunga yang bilamana dipergunakan untuk mendiskonto
seluruh selisih kas masuk pada tahun-tahun operasi proyek akan
menghasilkan jumlah kas yang sama dengan jumlah investasi proyek.
Pada kondisi ini perencanaan proyek tersebut dikatakan layak apabila
nilai IRR lebih besar dari bunga bank. Pada dasarnya IRR menggambarkan
persentase laba yang dihasilkan proyek. Besar persentase tersebut
diperoleh dengan cara “Trial & Error” nilai i (persentase nilai bunga).
Apabila jumlah seluruh selisih kas lebih besar dari jumlah investasi, maka
angka persentase bunga yang digunakan untuk mendiskonto lebih
rendah dari IRR yang dicari. Sebaliknya bilamana jumlah selisih kas lebih
kecil dari jumlah investasi, maka angka persentase lebih tinggi dari IRR
yang dicari. Dari hasil perhitungan dengan metode “Trial & Error” diantara
persentase bunga tersebut maka akan diperoleh angka yang mendekati
jumlah investasi. Secara matematis pengertian di atas dapat dirumuskan
sebagai berikut:

n n
( C )t (Co)t

t=0 (1 + i)t
=

t=0 (1 + i)t
dimana:
(C)t = aliran kas masuk tahun ke-t
(Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t
n = umur investasi (tahun)
I = arus pengembalian (diskonto)
t = tahun
Karena aliran kas keluar proyek umumnya merupakan biaya pertama (Cf)
maka persamaan di atas disederhanakan menjadi:

n
( C )t

t=0
(1 + i)t
- (Cf ) = 0

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 13
Perhitungan untuk mendapatkan nilai IRR dilakukan dengan cara coba-
coba (trial and error). Pada metode ini terlebih dahulu ditentukan laju
pengembalian (diskonto, (i)) selanjutnya dihitung nilai NPV dari aliran kas
masuk dan aliran kas keluar. Besarnya IRR atau laju pengembalian
(diskonto, (i)) yang dicari adalah yang memberikan kondisi NPV = 0.

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan untuk masing-masing


struktur modal dan harga jual minyak bumi yang berbeda, apabila laju
pengembalian internal (IRR) masing-masing tersebut di atas/lebih besar
dari bunga bank, maka keadaan ini memberikan gambaran bahwa
usulan investasi dibidang penambangan minyak bumi sumur tua adalah
layak dan lebih baik dilakukan bila dibandingkan dengan kegiatan
menyimpan modal di bank.

3. Model Kontrak Sumur Tua Antara Kontraktor dan KUD/BUMD


Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008, perjanjian
memproduksi minyak bumi adalah perjanjian yang dibuat antara kontraktor
KKS dengan KUD/BUMD untuk memproduksi minyak bumi. Jenis kontrak yang
digunakan dapat berupa kontrak cost & Fee atau kontrak bagi hasil. Pada
kontrak cost & Fee kontraktor meberikan fee kepada KUD/BUMD sebagai
imbalan dalam memproduksikan minyak dengan harga yang disepakati. Fee
tersebut menjadi operation cost bagi kontraktor. Pada kontrak bagi hasil,
yang di-split antara kontraktor dengan KUD/BUMD adalah total income
kontraktor, dan semua biaya operasi dari KUD/BUMD ditanggung oleh
kontraktor sebagai operation cost kontraktor. Lamanya kontrak antara
KUD/BUMD dengan kontraktor KKS sesuai peraturan Menteri ESDM Nomor 01
Tahun 2008 adalah selama 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 5 tahun. Model kontrak sumur tua dapat dilihat pada
Gambar .., sedangkan model kontrak cost & Fee dan model kontrak bagi hasil
dapat dilihat pada Gambar.. dan Gambar…:

KUD/BUMD Kontraktor KKS Pemerintah

Cost & Fee


Bagi Hasil

Sumur Tua

Gambar 2.2. Model Kontrak Sumur Tua

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 14
Gross
Revenue

FTP Cost KUD/BUMD


Recovery Gross Revenue
Equity to Operating
be Split
Cost

KUD/BUMD
Contractor Taxable Income
Goverment
Share Share
Tax

DMO KUD/BUMD
Cash Flow
Contractor
Taxable
Income
Tax

Contractor
Total Income

Goverment Contractor
Cashflow Cashflow

Gambar 2.3. Model Kontrak Cost & Fee antara Kontraktor KKS dengan
KUD/BUMD, dan PSC antara Pemerintah dengan Kontraktor KKS.

Gross
Revenue

FTP Cost
Recovery
Equity to
be Split

Goverment Contractor
Share Share

Contractor KUD/BUMD
Revenue Gross Revenue
DMO

Contractor
Taxable
KUD/BUMD
Income
Tax Taxable Income

Contractor Tax
Total Income
KUD/BUMD
Goverment Cash Flow
Cashflow Contractor
Cashflow

Gambar 2.4. Model Kontrak Bagi Hasil antara Kontraktor KKS dengan KUD/BUMD,
dan PSC antara Pemerintah dengan Kontraktor KKS.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 15
Definisi:

Gross Revenue
Gross Revenue merupakan pendapatan kotor dari hasil perkalian antara
produksi minyak dengan harga minyak. Untuk KUD/BUMD, Gross Revenue
merupakan imbalan yang diterima dari kontraktor.

First Tranche Petroleum (FTP)


FTP merupakan penyisihan minyak pertama yaitu sebesar 20% dari produksi
disisihkan sebelum dikurangi biaya operasi dibagi antara Pemerintah dan
Kontraktor.

Cost Recovery
Cost Recovery merupakan penggantian biaya oleh Pemerintah kepada
Kontraktor yang meliputi non capital, depresiasi, operating cost, dan
unrecovered. Untuk sumur tua, cost recovery hanya operation cost.

Equity to be Split (ES)


Hasil produksi yang telah dikurangi oleh cost recovery dan FTP untuk kemudian
dibagi sesuai dengan perjanjian antara Pemerintah dan Kontraktor.

Share
Pembagian hasil antara Pemerintah dengan Kontraktor sesuai dengan
perjanjian yang ditentukan. Di Indonesia pembagian hasilnya adalah 85 : 15
(Pemerintah : Kontraktor).

Domestic Market Obligation (DMO)


DMO adalah sejumlah minyak yang disisihkan yaitu sebesar 25% dari share
Kontraktor yang dibeli oleh Pemerintah dengan harga 10% dari harga pasar
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Tax
Pajak yang mesti dibayarkan kepada Pemerintah. Untuk Kontraktor
dikenakan pajak sebesar 44% sedangkan untuk KUD/BUMD dikenakan pajak
usaha sebesar 30%

4. Analisa Ekonomi

Model analisis yang digunakan untuk mengkaji kelayakan finansial investasi


proyek adalah model aliran kas (cash flow) proyek selama produksi
berlangsung (dianggap service life). Fee dan Share yang diberikan kepada
KUD/BUMD sangat mempengaruhi keekonomisan sumur tua sehingga harus
diketahui berapa nilai fee minimum dan share minimum yang dapat
diberikan. Pengelolaan sumur tua pada setiap lapangan akan sangat
berbeda dalam hal biaya investasi yang di keluarkan karena tergantung dari
beberapa hal diantaranya adalah biaya birokrasi dalam pengurusan
perijinan pada tiap wilayah provinsi, luas lapangan dan sebaran sumur yang

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 16
dikelola, jarak antara lokasi sumur dengan stasiun pengumpul yag di tunjuk
sebagai penerima minyak hasil produksi. Sebagai contoh adalah formula
imbalan jasa adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Formula Imbalan Jasa


Tarif
No Komponen Tarif
Besaran Presentasi
1 Upah Penambang Rp 2.912,27 70,00%
2 Biaya Penampungan Rp 63,24 1,52%
Biaya Penggantian Transportasi
3 Rp 193,87 4,66%
Atas minyak
4 Fee BUMD Rp 428,52 10,30%
5 Pemeliharaan Alat Operasi Rp 239,64 5,76%
6 Kecelakaan Kerja (Jamsostek) Rp 72,39 1,74%
HSE (Peralatan Perlengkapan
7 Rp 250,45 6,02%
Kegiatan
Total Jasa Angkat Angkut Rp 4.160,38 100,00%
Sumber : Dinas ESDM Kabupaten Blora, 2014

Data perhitungan contoh kontrak cost & Fee dan kontrak bagi hasil adalah:
Tabel 2.2. Data Perhitungan Cost & Fee
Data Nilai
Harga Minyak USD 100/bbl
Fee KUD/BUMD USD 15/bbl
Operation Cost Kontraktor USD 2/bbl
Operation Cost KUD/BUMD USD 10/bbl
FTP 20%
DMO 25%
Discount Rate 10%
Kontraktor KKS Tax 44%
KUD/BUMD Tax 30%
Kontraktor KKS Share 15%
Government Share 85%
Capital USD 20000
Non Capital USD 30000
Sumber: Rizky Sulaksono, 2008

Tabel 2.3. Data Perhitungan Bagi Hasil


Data Nilai
Harga Minyak USD 100/bbl
Operation Cost Kontraktor USD 2/bbl
Operation Cost KUD/BUMD USD 10/bbl
FTP 20%
DMO 25%
Discount Rate 10%
Kontraktor KKS Tax 44%
KUD/BUMD Tax 30%
Kontraktor KKS Share 15%
Government Share 85%
KUD/BUMD Share 25%
Kontraktor Share 75%
Capital USD 20000
Non Capital USD 30000
Sumber: Rizky Sulaksono, 2008

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 17
Hasil perhitungan NPV dan IRR dari data kedua model kontrak yaitu cost &
Fee dan bagi hasil untuk menentukan kelayakan dari pengusahaan
pertambangan minyak bumi sumur tua adalah sebagai berikut:
 Untuk model Cost & Fee, kontraktor memberikan imbalan berupa Fee yang
menjadi operation cost kontraktor yang akan menjadi cost recovery
kontraktor tetapi operation cost KUD/BUMD tidak dibebankan ke
kontraktor. Fee minimum yang diberikan adalah sesuai dengan IRR
minimum KUD/BUMD yaitu 15%, untuk laju produksi awal 30 bbl/hari sebesar
USD 13,744/bbl, untuk laju produksi awal 40 bbl/hari sebesar USD 12,8/bbl,
untuk laju produksi 50 bbl/hari sebesar USD 12,24 bbl/hari. Terlihat bahwa
seiring naiknya laju produksi, fee minimum menjadi lebih rendah. Fee
minimum tidak bergantung pada harga minyak.
 Fee maksimum yang diberikan adalah apbila NPV kontraktor sama dengan
NPV KUD/BUMD. Fee maksimum ini dipengaruhi harga minyak, tetapi tidak
bergantung dengan laju produksi awalnya. Untuk harga minyak USD
100/bbl, fee maksimum USD 20,38/bbl, untuk harga minyak USD 110/bb, fee
maksimum USD 21,39/bbl, untuk harga minyak USD 120/bbl, fee maksimum
USD 22,41/bbl, untuk harga minyak USD130/bbl, fee maksimum USD
23,42/bbl. Terlihat bahwa semakin tinggi harga minyak maka semakin tinggi
fee maksimum.
 Untuk model kontrak bagi hasil, operation cost KUD/BUMD di bebankan ke
kontraktor yang nantinya menjadi cost recovery. Untuk pembagian
hasilnya contractor share setelah di-split dengan pemerintah kemudian di-
split lagi untuk KUD/BUMD. Share minimum KUD/BUMD agar memenuhi IRR
bergantung pada laju produksi awal minyak dan harga minyak tersebut.
Semakin tinggi harga minyak semakin rendah share minimum, dan semakin
tinggi produksi juga semakin rendah share minimum
 Seperti hanya fee maksimum, share maksimum juga dibatasi oleh NPV
kontraktor yaitu apabila NPV KUD/BUMD sama dengan NPV kontraktor.
Share maksimum ini hanya dipengaruhi oleh harga minyak saja, tidak
dipengaruhi laju produksi awalnya. Untuk harga minyak USD 100/bbl share
maksimum KUD/BUMD adalah 82%, untuk harga miyak USD110/bbl share
maksimum KUD/BUMD adalah 76,75%, untuk harga minyak USD 120/bbl
share maksimum KUD/BUMD adalah 73,48%, untuk harga minya USD
130/bbl share maksimum adalah 68,95%.
 Total NPV model cost & Fee lebih rendah dari total NPV model bagi hasil
dikarenakan operation cost KUD/BUMD tidak menjadi bagian operation
cost kontraktor. Semakin besar laju produksi semakin besar pula operation
cost KUD/BUMD dan selisih total NPV antara cost & fee dengan bagi
hasilpun semakin besar.
 Dari kondisi di atas yang lebih baik adalah kontrak bagi hasil karena total
NPV yang lebih besar dari cost & Fee, tetapi dalam pelaksanaannya lebih
sulit karena harus dilakukan pengawasan pembagian hasil antara
kontraktor dengan KUD/BUMD.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 18
BAB III
TIMBULAN LIMBAH B3 DI SUMUR-SUMUR MINYAK TUA

3.1. LIMBAH B3 UMUM YANG DIHASILKAN DARI BEKAS SUMUR TUA YANG DIKELOLA
MASYARAKAT

Seperti halnya dengan bahan kimia, gangguan gangguan kesehatan yang


disebabkan minyak mungkin sulit dibuktikan karena membutuhkan waktu yang
panjang untuk menimbulkan dampak kesehatan warga sekitar. Umumnya
warga yang tinggal di dekat lokasi pemboran minyak sudah terbiasa dengan
polusi udara dan air dari minyak. Serangkaian kegiatan pemboran untuk
mendapatkan minyak, memprosesnya dan membakar minyak sebagai bahan
bakar, seluruh kegiatan tersebut dapat mendatangkan masalah serius bagi
kesehatan dan lingkungan bila tidak dikelola dengan benar.

Limbah pada pengelolaan minyak di sumur tua yang dikategorikan sebagai


limbah B3 terdiri dari lumpur minyak dan benda yang tercemar minyak yang
harus dikelola sesuai ketentuan limbah B3 antara lain:
1. Air Limbah
Jenis air limbah yang diahasilkan adalah air terproduksi dan air limbah
drainase yang terkontaminasi minyak. Minyak yang diambil dari sumur minyak
tua biasanya bercampur dengan gas, logam berat dan air yang
mengandung senyawa toksik. Selanjutnya bagian minyak harus dipisahkan
dari material lainnya. Air limbah hasil dari proses pemisahan tersebut disebut
sebagai air terproduksi yang merupakan limbah B3 yang harus diolah terlebih
dahulu sebelum di buang ke lingkungan. Baku mutu air limbah hasil
pengolahan sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 19
Tahun 2010 sebagai berikut:

Tabel 3.1. Baku Mutu Air Limbah Kegiatan Eksplorasi dan Produksi Migas dari
Fasilitas Darat
KADAR
No JENIS AIR LIMBAH PARAMETER METODE PENGUKURAN
MAKSIMUM
SNI 06-6989: 2-2004
COD 200 mg/L atau SNI 06-6989:15-2004
atau APHA 5220
Minyak dan Lemak 25 mg/L SNI 06-6989: 10-2004
Sulfida Terlarut SNI 06-2470-1991
0,5 mg/L
(sebagai H2S) atau APHA 4500-S2
1 Air Terproduksi
Amonia (sebagai SNI 06-6989. 30-2005
5 mg/L
NH3-N) atau APHA 4500.NH3
Phenol Total 2 mg/L SNI 06-6989. 21-2005
Temperatur 40 0C SNI 06-6989. 23-2005
pH 6-9 SNI 06-6989. 11-2004
TDS 4000 mg/L SNI 06-6989. 27-2005
Minyak dan Lemak 15 mg/L SNI 06-6989. 10-2004
2 Air Limbah Drainase SNI 06-6989. 28-2005
Karbon Organik Total 110 mg/L
atau APHA 5310

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 19
2. Limbah Padat dan lainnya
Jenis limbah padat yang dihasilkan dari pengusahaan pertambangan
minyak bumi pada sumur tua antara lain berupa limbah lumpur minyak, kain
majun dan sarung tangan bekas serta tanah terkontaminasi minyak serta
limbah lain yaitu oli bekas.

Seluruh limbah B3 yang dihasilkan harus dikelola dengan mengikuti kaidah


pengelolaan limbah B3 yang berlaku.

3.2. TANAH TERKONTAMINASI AKIBAT CECERAN DAN TUMPAHAN MINYAK DI SEKITAR


AREA PENAMBANGAN

Tanah terdiri dari tiga fasa: fasa padat, fasa air dan fasa gas. Ceceran dan
tumpahan minyak dapat mencemari semua dari tiga fasa tersebut; dengan kata
lain bisa terdapat dalam ketiga fasa tanah. Kontaminan bisa terdapat dalam
pori-pori tanah sebagai zat murni yang teradsorbsi pada partikel tanah, sebagai
zat terlarut dalam fasa air, atau sebagai uap dalam fasa gas. Ketika ceceran
dan tumpahan minyak tumpah di tanah, minyak tersebut mengalir ke bawah,
karena gravitasi, melalui zona tak jenuh dari tanah yang dikenal sebagai zona
vadose (zona vadose adalah bawah permukaan diatas muka air, yang juga
mencakup jumbai kapiler). Apakah seluruh volume kontaminan akan bermigrasi
ke bagian jenuh dari tanah tergantung terutama pada gaya kapiler dari zona
vadose dan juga sudah berapa lama berlangsung. Jika volume ceceran dan
tumpahan minyak lebih besar dari daya tampung pori tanah dari zona vadose,
maka sisa kelebihan volume tersebut akan terus bergerak ke bawah karena
gravitasi. Gaya kapiler berkurang dengan meningkatnya ukuran partikel. Jadi
pada zona vadose yang sebagian besar terdiri dari tanah berpasir, hampir
semua kontaminan akan bermigrasi ke bawah kedalam akifer jika diberikan
cukup waktu. Sedangkan dalam zona vadose yang sebagian besar terdiri dari
tanah lanau atau lempung, sebagian besar volume kontaminan akan tertahan.
Dalam banyak contoh terdapat lensa lanau atau lempung dalam zona vadose
berpasir; lensa-lensa ini akan menahan kontaminan. Pergerakan ke bawah dari
kontaminan ini dipengaruhi terutama oleh permeabilitas dari masing-masing
lapisan tanah di bagian bawah permukaan dan daya absorpsi dan adsorpsi
tanah dari fase padat dan cair.
Jika kerapatan kontaminan lebih rendah daripada air (misalnya, senyawa
minyak, solar, aromatik), maka bagian dari volume kontaminan yang mencapai
akifer akan mengapung dekat bagian atas permukaan air, dan sisanya akan
larut dalam air tanah membentuk plume yang telah terkontaminasi. Kontaminan
yang lebih ringan daripada air dan tidak larut didalamnya disebut cairan ringan
berfasa non-air (Ligh Nonaqueous phase liquid/LNAPL). Gambar-1
memperlihatkan tipikal plume LNAPL. Kontaminan cair yang tidak dapat
menyatu dan lebih padat daripada air (misalnya, pelarut terklorinasi, hidrokarbon
poliaromatik) disebut cairan padat berfasa non-air (Dense Nonaqueous Phase
Liquid/DNAPL). DNAPL tenggelam jauh kedalam akuifer, bahkan dapat
mencapai permukaan batuan dasar tergantung pada volume dari tumpahan,

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 20
telah berapa lama berlangsung, dan kedalaman batuan dasar. Gambar-2
memperlihatkan tipikal plume DNAPL. Karena geometri plume LNAPL dan DNAPL
berbeda, maka strategi pengolahannyapun berbeda.

Pada dasarnya kontaminan bergerak menembus tanah dalam dua tahap.


Ketika kontaminan lepas di tanah, kontaminan tersebut bergerak ke bawah
terutama karena gravitasi. Setelah mencapai permukaan airtanah, kontaminan
bergerak terutama karena gradien hidrolik, meskipun difusi dan dispersi juga
berperan penting dalam angkutan kontaminan. Selain proses utama tersebut,
angkutan kontaminan melalui media berpori yang tidak retak dipengaruhi oleh
ukuran, bentuk, dan kontinuitas pori, reaksi fisikokimia dengan media geologi,
sorpsi-disorpsi, sifat lapisan ganda, dan sebagainya (Evangelou, 1998).

Pengangkutan kontaminan dalam media berpori dipengaruhi oleh berbagai


faktor. Konsentrasi kontaminan bisa berkurang karena proses-proses berikut yang
diistilahkan dengan pelemahan alami (natural attenuation) yaitu: penguapan,
adsorpsi, transformasi melalui mikroorganisme (Brown et al., 1986), dan reaksi
kimia dengan tanah, filtrasi dan pengenceran. Agar biodegradasi berbasis
pelemahan alami dari kontaminan berlangsung efektif maka tapak harus
memiliki pasokan alami yang tinggi dari nutrisi dan oksigen (Hart, 1996). Beberapa
dari faktor-faktor ini membantu mengurangi konsentrasi kontaminan dari sumber.

Area Tumpahan Minyak

Kontaminan
dalam tanah (fase gas)

Jumbai Jumbai
Kapiler Kontaminan Kapiler
GWT
Kontaminan
Arah Aliran Terlarut
Air Tanah Bedrock

Gambar 3.1. Tipikal LNAPL Plume

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 21
Area Tumpahan Minyak

Kontaminan
dalam tanah (fase gas)

Jumbai
Kapiler
GWT

Kontaminan
Kontaminan
Arah Aliran Terlarut
Air Tanah
Bedrock

Gambar 3.2. Tipikal DNAPL Plume

3.3. LAHAN TERCEMAR AKIBAT AKTIVITAS PENAMBANGAN DAN KILANG TRADISIONAL

Isu lingkungan yang kerap muncul pada penambangan minyak di sumur tua
adalah adanya pencemaran yang ditimbulkan dari air limbah dan lumpur
minyak yang dikategorikan sebagai limbah B3. Pencemaran lingkungan yang
terjadi dapat bersumber dari:
1. Tumpahan minyak disekitar lubang bor sumur tua;
2. Air limbah hasil proses pemisahan minyak/air merembes ke tanah karena
kolam penampung yang tidak dilapisi dengan lapisan kedap air;
3. Air limbah drainase yang terkontaminasi minyak;
4. Limpasan dari kolam penampung air limbah ke parit dan sungai sekitar;
5. Terjadi tumpahan atau ceceran saat pemindahan minyak dari bak pemisah
minyak/air ke tangki atau drum penampung minyak mentah;
6. Ceceran/tumpahan minyak saat pengangkutan minyak dari lokasi
penambangan ke titik pengumpulan;
7. Ceceran/tumpahan minyak disekitar tungku dari kegiatan penyulingan
tradisional (ilegal); dan
8. Lumpur minyak dari pembersihan bak pemisah minyak/air yang biasanya di
ditimbun di sekitar lokasi penambangan.

Sumber pencemaran lingkungan dari aktivitas penambangan minyak pada


sumur tua dan kilang tradisional tersebut di atas jelas terlihat bahwa komponen
fisik lingkungan yang tercemar terjadi pada tanah, air tanah, udara dan air
sungai. Mengingat pengelolaan penambangan minyak pada sumur tua ini
cukup banyak dan kegiatannya terus mengalami peningkatan maka
pencemaran dari kegiatan ini akan menjadi masalah besar dimasa mendatang
dikarenakan pencemaran minyak bumi pada tanah ini biasanya akan
menurunkan produktivitas tanah. Dari beberapa hasil studi kasus dibeberapa
lokasi penambangan minyak bumi menujukkan kandungan Total Petroleum

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 22
Hidrokarbon (TPH) cukup tinggi. Pencemaran Minyak yang meresap ke dalam
tanah menyebabkan tertutupnya suplai oksigen ke dalam tanah dan meracuni
mikroorganisme hingga mengakibatkan kematian mikroorganisme tanah.
Pencemaran pada tanah tersebut dapat terjadi mulai dari lapisan tanah tidak
jenuh (unsaturated zone/vadoze zone) hingga ke lapisan tanah jenuh (saturated
zane/aquifer). Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran minyak
bumi cukup serius baik dalam konsentrasi tinggi maupun rendah maka diperlukan
upaya pencegahan dan atau pemulihan lahan terkontaminasi melalui teknik
pemulihan di lokasi penambangan minyak sumur tua yang sedang beroperasi
maupun yang telah ditutup (pasca operasi).

3.4. PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LOKASI PENAMBANGAN MINYAK SUMUR TUA

Kondisi lapangan memberikan gambaran bahwa akibat pola penambangan


tradisional pada sumur tua oleh masyarakat meninggalkan lahan bekas
tambang tersebut terkontaminasi limbah minyak dengan tingkat cukup berat.
Terkait pencemaran lingkungan tersebut, diperlukan segera pemulihan lahan
terkontaminasi pada area pertambangan minyak bumi di sumur tua baik yang
masih berlangsung maupun yang telah ditutup (pasca penambangan).
Pembangunan kembali pada lahan terkontaminasi dapat dianggap sebagai
daur ulang karena pada dasarnya sumber daya tersebut digunakan setelah
diproses. Meskipun pembangunan kembali pada lahan terkontaminasi tidak
dianggap sebagai bagian dari pengolahan limbah padat terpadu, tanah/lahan
yang telah dipulihkan kembali tersebut dapat digunakan untuk tapak fasilitas
pemulihan material atau tapak lainnya.

Aplikasi teknik pemulihan yang akan digunakan pada setiap lokasi tidak selalu
sama tergantung pada jenis dan konsentrasi kontaminan, cakupan area sebaran
kontaminan secara horizontal dan vertikal, kondisi geologi dan hidrogeologi
lokasi serta faktor alami yang mendukung proses pemulihan lahan. Tanah
terkontaminasi dapat diolah dalam tapak atau diluar tapak. Ada dua pilihan
untuk pengolahan dalam tapak: tanah terkontaminasi digali keluar dari dalam
tanah dan kemudian diolah dalam tapak atau langsung diolah di tempat (in situ)
tanpa penggalian. Pada pengolahan diluar tapak tanah dikeluarkan dari dalam
tanah dan diangkut ke tapak lain untuk diolah. Terdapat sejumlah metode
pengolahan secara fisika, kimia dan biologi untuk pengolahan tanah dalam
tapak atau diluar tapak. Pemilihan proses remediasi tergantung pada keadaan
geologi dan hidrogeologi dari tapak, komposisi kimia, volume dan konsentrasi
dari kontaminan, kemudahan mengeluarkan tanah dari dalam tanah, biaya
pengolahan, waktu yang diberikan untuk menyelesaikan pengolahan, dan
persyaratan peraturan mengenai konsentrasi sisa yang diijinkan dari kontaminan
pada tanah setelah pengolahan. Jika vadose zone dan akuifer keduanya
terkontaminasi dalam sebuah tapak, maka remediasi untuk masing-masing zona
dapat ditangani secara terpisah.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 23
Dalam banyak kasus kombinasi dari teknologi pengolahan, juga dikenal sebagai
treatment train, digunakan secara efektif untuk memulihkan atau
mengendalikan kontaminasi bawah permukaan. Dalam beberapa kasus bagian
dari plume yang konsentrasi kontaminannya lebih rendah diolah dengan
metode yang berbeda dari metode yang digunakan untuk bagian lain dari
plume yang konsentrasi kontaminannya lebih tinggi. Dalam banyak contoh
bahan kimia digunakan untuk meningkatkan metode fisika. Saat ini,
penggunaan metode biologis juga digunakan setelah metode fisika/kimia
dipraktekkan secara luas. Biasanya remediasi dibagi menjadi dua bagian yaitu:
“langsung dan jangka panjang”. Tindakan langsung diambil untuk
mengendalikan sumbernya (yaitu, ditahan agar tidak meluas atau dienyahkan),
yang diikuti dengan remediasi plume. Remediasi plume merupakan kegiatan
jangka panjang yang melalui beberapa tahapan.

1. Penyelidikan Tapak
Rencana pemulihan pada lahan terkontaminasi melibatkan penyelidikan
tapak dan penggunaan teknik-teknik yang tepat untuk proses dekontaminasi.
Sebelum memulai pengambilan sampel tanah dan air tanah, semua catatan
yang ada yang menyangkut kontaminasi ditinjau. Kemudian dilakukan
pengambilan sampel tanah dan air tanah. Selanjutnya, data fisik dianalisis dan
keputusan dibuat mengenai opsi yang cocok. Masukan harus diperoleh dari
badan regulasi dalam setiap langkah dari proses untuk memastikan
kemudahan mendapatkan izin yang diperlukan untuk teknik
remediasi/pemulihan lahan yang dipilih di masa depan.

a. Tinjauan Awal
Semua informasi yang ada yang menyangkut kontaminasi harus ditinjau
terlebih dahulu. Pengumpulan informasi ini dapat dibagi menjadi dua
langkah. Pada langkah pertama, diperoleh informasi berikut: produk yang
dulu dan sekarang dari pabrik (jika melibatkan pabrik), fitur geologi tapak,
informasi mengenai proses pabrik (jika melibatkan pabrik), riwayat praktek
pembuangan, tinjauan catatan, hal-hal yang menyangkut badan regulasi,
potensi bahaya kesehatan dan lingkungan dari kontaminasi tanah dan air
tanah (yang pada dasarnya melibatkan penilaian resiko), survei investigasi
terhadap tapak dilakukan untuk melihat dampak visual dari kontaminasi
pada pohon dan vegetasi lainnya, dan pembuatan sketsa kasar dari
tapak. Sebagai bagian dari langkah pertama, harus disusun sebuah
laporan yang merangkum informasi dan komentar mengenai taraf dan
pentingnya kontaminasi. Jika temuan pada langkah pertama menunjuk ke
arah tindakan remediasi yang dapat dilakukan, maka harus dilakukan
langkah kedua yang melibatkan tinjauan yang lebih terperinci mengenai
tapak.

Informasi selanjutnya harus diperoleh sebagai bagian dari proses tinjauan


pada tahap kedua meliputi: penyebab kontaminasi (yaitu, tumpahan atau

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 24
pembuangan dari operasi industri jangka panjang), perkiraan volume
kontaminan yang dibuang, geologi dan hidrogeologi dari area
berdasarkan catatan yang sudah ada dan tersedia, pola drainase air
permukaan di area, jarak titik pengambilan airtanah (dangkal maupun
dalam), kedekatan dengan danau dan sungai, kedekatan dengan
permukiman, keberadaan spesies langka di area secara umum, dan
aksesibilitas. Jika kedalaman air tanah dan arah alirannya untuk area
tersebut tidak diketahui, maka harus dibuat minimal empat sampai lima
sumur pantau airtanah. Jumlah sumur akan tergantung pada volume
kontaminan dan geologi dari tapak. Data dari sumur tersebut akan
berguna untuk tinjauan awal maupun untuk pekerjaan lapangan yang rinci
di masa depan. Kunjungan ke tapak untuk melakukan penilaian visual
terhadap sumber kontaminasi membantu dalam memilih proses remediasi
di masa depan. Kunjungan ke tapak bersama dengan personil regulasi
dapat membantu dalam menilai hal-hal yang menyangkut peraturan.
Laporan harus disusun yang mendokumentasikan temuan tinjauan awal
berikut dengan penilaian mengenai pentingnya dan tingkat pencemaran
air tanah dan potensi bahaya lingkungan dan kesehatan. Laporan ini perlu
disampaikan kepada badan regulasi untuk ditinjau/dikomentari. Mungkin
saja bahwa berdasarkan data tersebut dapat dibuat keputusan untuk
tidak melakukan penyelidikan tapak yang rinci atau bahkan pembersihan.
Jika keputusan "tanpa-tindakan" dibuat, maka alasan pembenaran untuk
keputusan tersebut harus didokumentasikan dengan jelas.

b. Pekerjaan Lapangan
Pekerjaan lapangan memainkan peran penting dalam tindakan
pemulihan lahan terkontaminasi. Sebelum melakukan pekerjaan lapangan
laporan tinjauan awal harus dikaji untuk menyusun rencana yang teratur
untuk pengambilan sampel dan analisis data. Survei lapangan yang rinci
terhadap area yang sedang diinvestigasi perlu dilakukan untuk
menetapkan titik-titik sampling tanah dan air tanah permukaan dan
bawah permukaan. Sampling awal air tanah menggunakan sumur
airtanah yang telah ada atau milik penduduk, jika tersedia, bisa sangat
membantu dalam pengembangan titik-titik sampling.

Sampel tanah dapat dikumpulkan dari permukaan, lubang beko, dan


lubang bor. Log bor yang rinci harus dibuat pada saat mengumpulkan
contoh tanah. Rencana lokasi lubang bor harus disusun dengan hati-hati
sehingga beberapa dari lubang bor tersebut jika perlu dapat dikonversi
menjadi sumur pantau airtanah. Lubang bor harus cukup dalam untuk
membuat profil potongan melintang dari keseluruhan plume
terkontaminasi dan geologi dari tapak. Biasanya, satu set pertama dari
rencana titik sampling tanah meliputi area yang agak besar sedangkan set
yang kedua (dalam beberapa kasus yang ketiga) dari titik sampling
digunakan untuk menentukan tingkat kontaminan secara lebih presisi.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 25
Probe gas bisa di pasang untuk memperoleh informasi mengenai
keberadaan bahan organik yang mudah menguap di zona vadose.

Profesional yang berpengalaman harus dilibatkan baik dalam penyelidikan


tanah bawah permukaan maupun dalam pemasangan titik pantau air
tanah. Personil yang mampu memberikan interpretasi visual dari sampel
tanah harus selalu hadir di tapak ketika sampling tanah dilakukan.
Pencatatan yang benar pada log bor tanah sangat penting dalam
penafsiran yang benar terhadap setiap perubahan kondisi tanah bawah
permukaan. Jenis tanah harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi
setiap lapisan dengan jelas. Tingkat zona vadose, adanya lapisan terpisah
(perched layer), jenis tanah di setiap lapisan, dan sebagainya penting bagi
pemilihan yang tepat dan perencanaan metode remediasi. Sebaiknya
melibatkan personil badan regulasi selama penyelidikan tapak.
Pengambilan sampel tanah dan pembuatan titik sampling air tanah
tambahan, jika diwajibkan oleh badan regulasi, dapat dilakukan dengan
mudah sewaktu peralatan sampling tanah masih ada di tapak karena
mendatangkan peralatan ke tapak untuk kedua kalinya sangatlah mahal.

Analisis laboratorium harus dilakukan untuk semua bahan kimia yang


diduga menyebabkan pencemaran di tapak. Prosedur penilaian
mutu/pengendalian mutu (QA/QC) yang tepat harus digunakan untuk
pengambilan dan pengujian sampel. Dalam banyak contoh badan
regulasi menentukan prosedur QA/QC yang harus diikuti. Semua pengujian
harus dilakukan di laboratorium yang memiliki reputasi yang baik. Dalam
banyak kasus badan regulasi mewajibkan bahwa tes dilakukan di
laboratorium yang disetujui oleh badan tersebut. Daftar laboratorium
bersertifikat tersebut bisa diperoleh dari badan regulasi. Semua
persyaratan peraturan mengenai pengujian harus diikuti untuk
memperoleh ijin untuk metode pemulihan/remediasi yang diusulkan.
Melibatkan staf dari laboratorium sangat penting minimal mulai dari waktu
sampel dikumpulkan karena penggunaan prosedur yang tepat untuk
pengumpulan, pengawetan dan pengangkutan sampel adalah kunci
kehandalan data. Selain itu, penetapan dan penerapan aturan chain-of-
custody penting dari sudut pandang hukum. Data yang diperoleh tanpa
chain-of-custody yang tepat tidak dapat diterima di pengadilan hukum.
Aturan kesehatan dan keselamatan yang diperlukan harus diikuti dalam
semua pekerjaan penyelidikan tapak. Dengan demikian sangat penting
untuk menunjuk konsultan dan kontraktor yang berpengalaman untuk
melaksanakan penyelidikan tapak.

Laporan yang berisi semua informasi faktual, evaluasi data dan penilaian
bahaya harus disusun. Persyaratan pelaporan yang diwajibkan dan/atau
dijelaskan oleh badan regulasi harus diikuti untuk memperoleh izin. Jika
penilaian bahaya menunjukkan bahwa resiko dari tanpa tindakan berada

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 26
dibawah batas-batas yang diwajibkan oleh peraturan lingkungan, maka
tidak perlu diteruskan ke tahap pemulihan/remediasi. Namun, jika risikonya
berada diatas batas-batas yang dapat diterima, maka harus dilakukan
pemilihan teknik yang tepat untuk memulihkan/meremediasi tanah
terkontaminasi.

2. Pemilihan Metode Pemulihan Lahan Terkontaminasi

Banyak faktor perlu dipertimbangkan sebelum memilih metode pemulihan


lahan terkontaminasi. Tidak mungkin menyediakan pendekatan atau
keputusan yang definitif yang dapat diterapkan untuk semua tapak
pemulihan/remediasi. Salah satu masalah utama pemulihan lahan
terkontaminasi/remediasi adalah penetapan dengan tepat karakteristik
tapak. Tujuan dari penetapan karakteristik tapak adalah untuk membuat
gambaran yang jelas mengenai stratigrafi tanah (subsoil) dan tingkat
kontaminasinya. Pengetahuan mengenai distribusi konsentrasi kontaminan
dan struktur kimia dari kontaminan juga penting untuk pemilihan metode
remediasi. Sebagai contoh, desainer perlu mengetahui apakah pembersihan
dapat dibatasi pada zona vadose saja atau apakah pembersihan akuifer juga
diperlukan. Pengetahuan tentang keadaan kimia dari kontaminan akan
membantu mengidentifikasi apakah kontaminan pada dasarnya LNAPL atau
DNAPL.

Setelah zona terkontaminasi diidentifikasi kemudian desainer perlu memilih


antara pemulihan lahan terkontaminasi secara in situ dan ex situ. Meskipun
biaya awal metode ex situ lebih tinggi dibandingkan dengan metode in situ,
biaya jangka panjang metode in situ umumnya lebih tinggi dari metode ex
situ. Namun, waktu pembersihan lebih pendek untuk metode ex situ
dibandingkan dengan metode in situ. Biaya remediasi ex situ bisa sangat tinggi
jika (a) tanah yang terkontaminasi harus diangkut ke tempat yang jaraknya
jauh untuk diolah, (b) zona terkontaminasi dalamnya lebih dari 15-20 kaki (4,5-
6 m) dan volume total yang perlu pengolahan sangat besar [1000 yd3 (765 m3)
atau lebih], dan (c) keadaan kimia kontaminan membutuhkan teknologi
pengolahan yang canggih. Remediasi ex situ bisa sangat murah jika tanah
terkontaminasi dari beberapa tapak yang memiliki karakteristik kimia
kontaminan yang sama atau mirip dapat diolah di lokasi sentral.

Metode in situ biasanya lambat, maka pembersihannya memakan waktu


beberapa bulan sampai beberapa tahun. Namun, lokasi dari zona
terkontaminasi bisa sedemikian rupa (misalnya, dalam akuifer) sehingga
remediasi ex situ tidak dimungkinkan. Dalam beberapa contoh, bahkan jika
zona terkontaminasinya dangkal, metode in situ lebih dipilih daripada metode
ex situ. Pilihan semacam itu dibuat untuk satu atau lebih alasan berikut: (a)
kontaminan sedemikian rupa sehingga penggalian daerah bisa melepaskan
kontaminan gas yang dapat melebihi batas konsentrasi yang diijinkan di

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 27
udara; (b) zona terkontaminasi terletak di area yang padat penduduknya; (c)
penggalian dibatasi karena struktur bawah tanah; (d) biaya pengolahan ex
situ secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan in situ.

Secara umum, persetujuan regulator lebih mudah diperoleh untuk metode


fisika (terutama untuk proses in situ) dibandingkan dengan metode kimia atau
biologis. Namun, karena jenis tertentu dari kontaminan dalam formasi geologi
tertentu rentan terhadap penyerapan, metode kimia atau biologis dapat
dengan mudah dibenarkan untuk kontaminan ini. Untuk metode remediasi,
yang mengandalkan terutama angkutan konveksi, kontaminan harus mudah
menguap atau larut dalam air. Permeabilitas tanah juga faktor penting untuk
metode yang bergantung pada angkutan konveksi. Penggunaan remediasi
elektrokinetik dapat dipertimbangkan untuk tanah permeabilitas rendah.
Untuk mengeluarkan pencemar murni, dengan penyerapan tanah harus
diselidiki dengan baik. Bioremediasi dapat dilakukan hanya untuk kontaminan
yang biodegradable. Secara umum degradasi aerobik lebih cepat dari
degradasi anaerobik. Namun, harus dicatat bahwa degradasi anaerobik lebih
efektif untuk kontaminan tertentu yang membandel. Bioremediasi aktif lebih
cepat dari pelemahan alami. Namun, dalam keadaan tertentu pelemahan
alami merupakan pilihan yang lebih baik (misalnya, jika konsentrasi
kontaminan rendah dan data laboratorium menunjukkan kelayakan
pelemahan alami).

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 28
BAB IV
PEDOMAN PENGELOLAAN LIMBAH B3

4.1. UPAYA MINIMASI CECERAN DAN TUMPAHAN MINYAK DI LOKASI SUMUR

Dari serangkaian kegiatan usaha penambangan minyak bumi pada sumur tua
berpotensi menimbulkan resiko pencemaran lingkungan hidup sekitarnya yang
disebabkan oleh tumpahan maupun ceceran minyak. Berdasarkan Undang
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pasal 40,
dinyatakan bahwa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menjamin keselamatan
dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup termasuk
pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat. Pengelolaan lingkungan
hidup yang dimaksud adalah kewajiban melakukan pencegahan dan
penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan
lingkungan hidup diwilayah kerjanya. Upaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran lingkungan dimulai saat KUD/BUMD mengajukan
izin pengelolaan pertambangan minyak bumi di sumur tua dengan mewajibkan:
1. KUD/BUMD bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesehatan kerja
serta pengelolaan lingkungan hidup sesuai ketentuan yang berlaku;
2. KUD/BUMD membuat RP-K3PL (Rencana Pengelolaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja serta Perlindungan Lingkungan) dan menyediakan fasilitas/
peralatan yang dibutuhkan untuk memenuhi unsur keselamatan dan
kesehatan kerja serta perlindungan lingkungan sesuai ketentuan yang
berlaku.
Hal hal yang perlu diperhatikan dalam program keselamatan dan kesehatan
kerja serta perlindungan lingkungan mengikuti Pedoman Tata Kerja Nomor
023/PTK/III/2009, Lampiran III tentang Penjelasan Pengusahaan Pertambangan
Minyak Bumi Pada Sumur Tua, Bidang Keselamatan Kerja dan Lindungan
Lingkungan.

Secara teknis diharapkan pengelola KUD/BUMD dimasa mendatang dapat


merubah penggunaan teknologi yang semula dengan cara konvensional diganti
dengan teknologi tepat guna yang memiliki keuntungan antara lain:
 Lebih aman dibandingkan dengan teknik konvensional;
 Minyak tidak tercecer kemana-mana;
 Lingkungan menjadi bersih;
 Gas dapat dilokalisir;
 Pemasangan lebih mudah dan sederhana;
 Suku cadang dapat diperoleh dengan mudah;
 Perawatan dapat dilakukan dengan mudah;
 Debit dapat disesuaikan dengan influx sumur; dan
 Biaya operasional murah.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 29
Disamping upaya penggunaan teknologi, pihak KUD/BUMD perlu membuat
prosedur penanganan ceceran dan tumpahan minyak dilokasi kerja sumur tua
yang meliputi prosedur dan tanggung jawab sebagai berikut:

1. Perisapan
1.1. Gunakan alat pelindung diri yang dibutuhkan sebelum melaksanakan
pekerjaan;
1.2. Persiapkan peralatan yang sesuai untuk penanganan ceceran dan
tumpahan yang terjadi;
1.3. Untuk penanganan ceceran dan tumpahan minyak atau bahan kimia
lainnya, sebelum melakukan pembersihan terlebih dahulu memahami
prosedur pembersihan dan mengikuti petunjuk pada material safety data
sheet (MSDS) untuk bahan kimia;

2. Penanganan Ceceran dan Tumpahan


2.1. Untuk melakukan pengendalian terhadap kemungkinan terjadinya
ceceran dan tumpahan dalam kegiatan operasional, bagi setiap
petugas yang melakukan pekerjaan yang dapat menimbulkan potensi
ceceran dan tumpahan diharuskan menyediakan tempat
penampungan yang sesuai dan memadai untuk menampung tumpahan
dan ceceran yang terjadi;
2.2. Untuk ceceran dan tumpahan material cair (dapat dikendalikan)
dibersihkan terlebih dahulu dengan absorben atau kain. Terutama untuk
bahan kimia pastikan tidak ada lagi sisa ceceran dan tumpahan yang
tertinggal;
2.3. Ceceran atau tumpahan minyak dibersihkan menggunakan oil absorben
dan selanjutnya ditempatkan pada tempat penampungan limbah B3;
2.4. Ceceren atau tumpahan bahan kimia dibersihkan menggunakan
absorben yang sesuai MSDS bahan tersebut dan selanjutnya
ditempatkan pada tempat penampungan limbah B3;
2.5. Untuk ceceran atau tumpahan material cair (tidak dapat dikendalikan)
dalam jumlah besar, harus dibuatkan lokalisir terhadap ceceran atau
tumpahan tersebut dengan absorben (pasir atau serbuk gergaji);
2.6. Tutup akses aliran tumpahan yang menuju tanah terbuka atau badan air
di sekitar lokasi tumpahan/ceceran
2.7. Ceceran dan tumpahan tersebut ditempatkan pada tempat
penampungan yang beridentitas “Limbah B3” dan diletakkan pada
tempat penyimpanan limbah B3 termasuk kain atau absorben lain yang
terkontaminasi. Selanjutnya proses penanganan di dokumentasikan
dengan menggunakan formulir penanganan ceceran dan tumpahan;
2.8. Limbah B3 dapat dapat disimpan dalam satu kemasan yang mempunyai
karakteristik yang sama dengan limbah lainnya sesuai dengan prosedur
pengendalian limbah;

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 30
2.9. Untuk ceceran dan tumpahan material padat wajib segera dilakukan
pembersihan menggunakan peralatan yang tersedia dengan
penjelasan sebagai berikut:
c. Ceceran/tumpahan grease dibersihkan menggunakan peralatan
yang sesuai selanjutnya dimasukkan ke tempat penampungan limbah
B3;
d. Ceceran/tumpahan sludge dibersihkan menggunakan peralatan
yang sesuai selanjutnya dimasukkan ke tempat penampungan limbah
B3.
2.10. Personil yang bertanggungjawab terhadap K3 dan lingkungan hidup
selalu memantau pelaksanaan penanganan ceceran dan tumpahan di
lokasi kerja sebelum dan setelah dibersihkan serta menjamin bahwa
prosedur yang dilakukan telah sesuai dengan prosedur penanganan
limbah B3.

4.2. UPAYA MENGURANGI CECERAN DAN TUMPAHAN SAAT PENGANGKUTAN MINYAK

Berbagai kasus pencemaran limbah B3 dari kegiatan penambangan minyak


bumi yang terjadi memerlukan perhatian yang serius. Kasus pencemaran yang
terjadi seperti di Tarakan (Kalimantan Utara), Riau dan terkahir di Bojonegoro
menjadi catatan penting bagi pengelola penambangan minyak akan
pentingnya pengelolaan pencemaran yang disebabkan oleh
tumpahan/ceceran minyak bumi. Eksplorasi dan eksploitasi produksi minyak bumi
merupakan kegiatan yang beresiko menumpahkan minyak antara lain pada
proses distribusi/pengangkutan dengan mengunakan moda transportasi darat,
transportasi air atau perpipaan. Tumpahan minyak dan kebocoran pipa dalam
jumlah dan luasan tertentu, bila tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat
dapat menyebabkan malapetaka dan kualitas lingkungan akan menurun
sampai tingkat tertentu hingga tidak berfungsi sesuai peruntukannya.

Sistem pengangkutan produksi minyak bumi dari sumur tua ke lokasi titik
pengumpul yang dilakukan oleh masyarakat umumnya menggunakan sepeda
motor dengan muatan minyak berupa jerigen yang melebihi kemampuan
angkut, sehingga sangat rawan sekali untuk terjadi kecelakaan. Upaya untuk
mengurangi terjadi tumpahan saat pengangkutan minyak, pengelola sumur tua
wajib mengikuti RP-K3PL (Rencana Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja
serta Pengelolaan Lingkungan) yang telah diatur dalam Pedoman Tata Kerja
Nomo 023/PTK/III/2009, Lampiran III yang mensyaratkan bahwa alat angkut
minyak agar menggunakan tempat tertutup agar tidak terjadi
tumpahan/ceceran minyak saat pengangkutan minyak bumi ke titik
pengumpulan yang telah disepakati antara kontraktor dengan KUD/BUMD.

4.3. SARANA PENGENDALIAN CECERAN DAN TUMPAHAN

Tumpahan dan ceceran minyak dapat terjadi dalam jumlah kecil maupun
jumlah besar. Perbedaan jumlah tersebut membedakan jenis sarana

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 31
penanggulangan yang akan digunakan. Untuk tumpahan minyak yang terjadi
dipermukaan tanah, penanggulangannya dapat mengangkat tanah
terkontaminasi tersebut dengan menggunakan sekop dan cangkul untuk
selanjutnya ditempatkan pada drum penampung tanah terkontaminasi yang
dikategorikan sebagai limbah B3. Apabila tumpahan dan ceceran tersebut
sudah mencapai saluran air dan sungai maka untuk penanganan limbah minyak
mengikuti prosedur penanggulangan minyak di air. Sarana yang perlu
dipersiapkan untuk menanggulangi tumpahan dan ceceran minyak bumi antara
lain:
1. Kolam darurat (emergency pond) adalah, embung atau kolam yang
digunakan untuk menampung tumpahan minyak untuk mencegah
penyebaran ke lingkungan sekitar;
2. Oil Skimmer adalah alat untuk menghisap tumpahan minyak di permukaan air;
3. Vacuum Pump adalah alat mekanik (pompa) yang dipergunakan untuk
menghisap minyak di atas tanah;
4. Oil containment bag/temporary oil storage tank adalah tempat untuk
penampung minyak dalam kurun waktu tertentu (sementara)
5. Vacuum Truck kendaraan untuk mengangkut dan menghisap tumpahan
minyak di tanah, permukaan air, dan memindahkan minyak dari temporary oil
storage tank untuk dibawa ke lokasi penampungan limbah berminyak.

4.4. SARANA PENYIMPANAN SEMENTARA LIMBAH B3 YANG DIHASILKAN

Sesuai dengan Pedoman Tata Kerja Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi


Pada Sumur Tua Nomor 023/PTK/III/2009, Lampiran III dinyatakan bahwa limbah
yang termasuk B3 yang dihasilkan dari kegiatan penambangan minyak bumi di
sumur tua diserahkan ke Kontraktor KKS untuk dikelola sesuai ketentuan yang
berlaku. Sebelum penyerahan limbah B3 tersebut ke Kontraktor KKS, pihak
KUD/BUMD wajib untuk menyimpan sementara limbah B3 yang dihasilkan pada
tempat yang disediakan oleh KUD/BUMD sesuai dengan jenis, karakteristik dan
jumlah limbah B3 yang akan disimpan. Tatacara dan persyaratan pengumpulan
limbah B3 yang dihasilkan pada fasilitas Tempat Penyimpanan Sementara (TPS)
limbah B3 sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor Kep-01/BAPEDAL/09/1995, yang proses perizinannya dapat
diperoleh dari Pemerintah Daerah Tingkat II/Kabupaten atau Kota. Fasilitas yang
wajib disediakan berupa gudang TPS yang persyaratan bangunan sesuai
dengan karakteristik limbah B3 yang disimpan yaitu mudah terbakar.

4.5. SOSIALISASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN KEPADA MASYARAKAT

Lingkungan hidup serta sumber daya alam yang baik dan sehat merupakan hak
asasi setiap warga Negara Indonesia sesuai yang tercantum pada UUD 1945,
Pasal 28H, ayat (1); “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Terkait dengan hal tersebut
maka sosialisasi pengelolaan lingkungan yang benar dan sesuai dengan regulasi

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 32
yang ada kepada masyarakat dan pelaku usaha terhadap dampak lingkungan
yang ditimbulkan dari kegiatan pengusahaan pertambangan minyak bumi
pada sumur tua perlu dilakukan. Dalam penyampaian sosialisasi tersebut tidak
hanya mencakup tentang regulasi saja tetapi juga masyarakat dan pelaku
usaha harus mendapatkan pengetahuan teknis terkait pengelolaan lingkungan
hidup yang akan dan harus dilakukan selama proses penambangan dan pasca
penambangan minyak bumi di sumur tua oleh KUD/BUMD. Diharapkan dari
pelaksanaan sosialisasi yang berkelanjutan diperoleh beberapa manfaat antara
lain: (1) Baik masyarakat maupun pelaku usaha mempunyai satu pandangan
dan pengetahuan yang sama dan sejalan dengan tujuan yang akan dicapai;
(2) Apabila dimasa mendatang antara masyarakat dan pelaku usaha
dihadapkan pada masalah lingkungan, maka penyelesaiannya akan mudah
dicapai atau bahkan kedua belah pihak dapat bersinergi untuk mennyelesaikan
masalah yang dihadapi.

4.6. SOP PENGELOLAAN LIMBAH B3 DAN NON B3 DI SUMUR TUA

1. Tahapan Reaktivasi Sumur Tua

Pengusahaan pertambangan minyak sumur tua oleh KUD/BUMD biasanya


dilakukan untuk beberapa sumur tua yang potensial, sehingga diperlukan
beberapa tahapan yang umumnya dilakukan dalam rangka untuk
mengaktivasi sumur tua meliputi:
a. Pemilihan sumur tua yang akan dibuka
Untuk menentukan pilihan sumur tua ini yang akan diproduksi harus
didasarkan pada data geologi dan data kondisi sumur yang meliputi:
 Sejarah produksi sumur masa lalu sebelum ditinggalkan;
 Kedalaman sumur;
 Profil sumur; dan
 Kendala yang dihadapi saat ini (kondisi sumur saat ini)
b. Persiapan lokasi;
Setelah dapat ditentukan pilihan sumur tua yang akan diproduksi maka
dilanjutkan dengan pekerjaan persiapan meliputi:
 Pembersihan lokasi sumur;
 Pembuatan akses jalan kerja menuju sumur;
 Pembuatan cellar dan separator minyak/air;
 Pembuatan bak penampung minyak hasil produksi; dan
 Pembuatan kolam pengelolaan air limbah.
c. Pelaksanaan pembersihan/pengurasan sumur;
Keadaan sumur tua biasanya dalam kondisi tertutup oleh tanah, batu,
pipa dan benda lainnya, sehingga harus dibersihkan terlebih dahulu.
Setelah pembersihan dapat dilanjutkan dengan pengurasan sumur
dengan tujuan untuk membersihkan lumpu dan air yang ada di dalam
sumur. Pengurasan dilakukan hingga minyak keluar dari dalam sumur.
d. Produksi.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 33
Setelah pengurasan selesai dan cairan minyak mulai terproduksi, maka
produksi minyak telah dapat dilakukan. Untuk metode konvensional

2. Pengelolaan Limbah

Limbah yang dikategorikan sebagai limbah B3 pada pengelolaan minyak di


sumur tua terdiri dari lumpur minyak dan benda yang tercemar minyak yang
harus dikelola sesuai ketentuan limbah B3.

A. Pengelolaan Limbah Cair


1. Lubang sumur wajib dilengkapi dengan bak semen (cellar) untuk
menghindari adanya cairan yang berasal dari sumur ke lingkungan;
2. Tempat penumpahan cairan sumur harus dibuat dari semen agar tidak
terjadi ceceran minyak ke lingkungan atau rembesan ke dalam tanah,
cairan kemudian di alirkan ke bak pemisah memakai penyalur yang
kedap rembesan/plesteran semen;
3. Tempat pemisahan minyak dari air harus dibuat dari bak semen
sehingga tidak terjadi tumpahan minyak atau cairan ke lingkungan
atau rembesan ke tanah dan limbah cair terproduksi harus ditampung
pada bak pengolah limbah;
4. Bak pengolah limbah terbuat dari beton/plesteran semen bersekat
sedemikian rupa sehingga bagian minyak dapat tertampung di atas
dan air dapat mengalir melalui bagian bawah (sistem oil catcher);
5. Limbah cair dapat dibuang setelah memenuhi baku mutu sesuai
ketentuan yang berlaku;
6. Lokasi tempat pembuangan air limbah harus mendapat persetujuan
dari pemerintah setempat;
7. Lantai dasar tempat pengisian minyak ke dalam drum agar dibuat dari
plesteran semen, sehingga tidak terjadi tumpahan minyak atau cairan
ke lingkungan atau rembesan ke dalam tanah.

Cellar berfungsi untuk menghindari terjadi tumpahan cairan yang berasal


dari sumur langsung ke media lingkungan pada saat pengambilan cairan
dari dalam sumur tua. Pada umumnya pengambilan cairan dari dalam
sumur yang dilakukan oleh masyarakat adalah secara tradisional dengan
menggunakan timba. Selanjutnya cairan tersebut dituang ke dalam bak
pemisah minyak dan air. Proses pemisahan yang terjadi adalah secara
gravitasi. Bak pemisah minyak dan air serta bak pengolah limbah cair
sebaiknya dibuat dalam satu rangkaian yang ukuran dan tata letaknya
dapat disesuaikan dengan kapasitas produksi sumur di lapangan. Limbah
cair yang dihasilkan tidak dapat dibuang langsung ke lingkungan, akan
tetapi harus diolah terlebih dahulu hingga memenuhi baku mutu yang
berlaku (Baku Mutu Limbah Cair sesuai Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup No. 19 Tahun 2010). Berikut adalah sketsa pengolahan limbah pada
lokasi sumur tua:

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 34
PENAMPANG ATAS
Pengolah
Pemisah Minyak
Air Limbah

cellar

A A’
Oil skimmer
outlet

Minyak

PENAMPANG A – A’

Gambar 4.1. Sketsa Pemisahan Minyak dan Pengolah limbah

B. Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3


1. Lumpur minyak (sludge) dan barang lain yang tercemar minyak (misal
lumpur bor, tanah terkontaminasi, kaos tangan, majun, bahan kimia
berbahaya dan beracun) harus dikumpulkan pada tempat khusus yang
diberi label “Limbah B3” dan tidak dicampur dengan sampah lain;
2. Lumpur minyak dan barang tercemar minyak (limbah B3) wajib untuk
disampaikan kepada Kontraktor KKS untuk dikelola lebih lanjut;
3. Limbah padat yang dapat didaur ulang seperti besi, plastic dan kaca
harus dkumpulkan pada tempat khusus yang diberi label “Limbah Daur
Ulang” untuk dapat di daur ulang;
4. Limbah padat lain seperti sampah, daun dan ranting harus dikumpulkan
pada tempat khusus yang diberi label “Sampah Organik”;
5. Pembuangan limbah padat/sampah organik dilakukan pada tempat
yang telah ditentukan oleh pemerintah setempat;

C. Pengelolaan Kualitas Udara

Untuk mencegah terjadinya pencemaran udara, KUD/BUMD dilarang untuk


melakukan pembakaran terbuka terhadap lumpur minyak dan barang yang
tercemar minyak

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 35
Pedoman Pengelolaan Limbah B3 Di Sumur Minyak Tua Yang Dikelola Oleh Masyarakat 36

Anda mungkin juga menyukai