Pengaturan keseimbangan asam basa dalam tubuh mengacu pada regulasi konsentrasi ion hidrogen
bebas (H+) dalam cairan tubuh. Ion hidrogen merupakan proton tunggal bebas yang dilepaskan dari
atom hidrogen. Regulasi ion hidrogen sangat penting karena sebagian besar aktivitas enzim dalam
tubuh sangat dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidrogen. Perubahan pada konsentrasi ion hidrogen
akan menyebabkan perubahan fungsi tubuh secara keseluruhan.
Sumber : Marieb E.N. & Hoehn K. Human anatomy & physiology 7th ed. Benjamin Cummings; 2006.
Basa merupakan substansi yang dapat bergabung dengan ion hidrogen bebas (H+) sehingga akan
menghilangkannya dari larutan. Contoh basa adalah HCO3- yang dapat mengikat ion hidrogen
membentuk H2CO3. Adapun protein alam tubuh juga dapat berfungsi sebagai basa karena beberapa
asam amino yang membangun protein memiliki muatan akhir negatif yang dapat dengan mudah
menerima H+. Sama halnya dengan asam, pada basa juga terdapat basa kuat dan lemah. Basa kuat
adalah basa yang bereaksi kuat dan cepat dengan H+ sehingga menghilangkan H+ dengan cepat dari
larutan sedangkan basa lemah berikatan dengan H+ jauh lebih lemah dibandingkan basa kuat.
Contoh basa kuat yang khas adalah OH- dan basa lemah yang khas adalah HCO3-.
KONSENTRASI ION HIDROGEN DALAM TUBUH
Konsentrasi ion hidrogen dalam cairan tubuh secara normal dipertahankan pada tingkat yang rendah
yaitu 0,00004 mEq/L (40 nEq/L). Variasi normal dari ion hidrogen normalnya adalah 3-5 nEq/L dan
dalam kondisi ekstrem konsentrasi H+ dapat bervariasi dari 10-160 nEq/L tanpa menyebabkan
kematian. Biasanya untuk menyatakan konsentrasi H+, kita menggunakan skala logaritma dengan
satuan pH dengan rumus pH = -log [H+]. Dari rumus ini kita dapat menghitung pH normal tubuh yaitu
7,4 dan dapat dilihat bahwa pH berbanding terbalik dengan konsentrasi H+.
Nilai pH normal dan konsentrasi normal H+ dalam cairan tubuh dapat dilihat di tabel dibawah ini :
Dari tabel ini dapat dilihat bahwa pH normal darah arteri adalah 7,4 sedangkan pH darah vena dan
cairan interstisial adalah 7,35 akibat adanya jumlah karbon dioksida (CO2) yang lebih banyak dan
membentuk H2CO3. Telah dibahas sebelumnya bahwa pH normal arteri adalah 7,4, seseorang akan
dianggap mengalami asidosis jika pH turun di bawah nilai ini dan mengalami alkalosis jika pH naik di
atas nilai ini. Seseorang masih dapat hidup lebih dari beberapa jam dengan batas bawah pH 6,8 dan
batas atas pH 8,0.
Jika terjadi gangguan pH atau fluktuasi dari [H+], dapat terjadi hal-hal berikut :
Gangguan aktivitas enzim-enzim dalam tubuh
Perubahan eksitabilitas dari saraf dan otot rangka
Mempengaruhi konsentrasi K+ dalam tubuh
Sistem buffer merupakan garis pertama pertahanan tubuh dalam menghadapi perubahan
konsentrasi H+. Jika terjadi perubahan dalam konsentrasi H+, dalam sepersekian detik sistem buffer
cairan tubuh akan bekerja untuk memperkecil perubahan ini. Sistem ini tidak mengeluarkan H+ dari
tubuh ataupun menambahkan H+ ke dalam tubuh namun hanya menjaga agar ion H+ tetap terikat
sampai keseimbangan tercapai kembali.
Garis pertahanan kedua adalah sistem pernapasan yang juga bekerja dengan cukup cepat. Sistem
penapasan akan bekerja dalam beberapa menit untuk mngeluarkan karbondioksida (CO2) dari dalam
tubuh yang berarti mengeluarkan H2CO3 dari tubuh.
Kedua garis pertahanan tadi bekerja menjaga konsentrasi H+ dari perubahan yang terlalu banyak
sampai garis pertahanan ketiga yang bekerja lebih lambat yaitu ginjal mengeluarkan kelebihan asam
atau basa dari dalam tubuh. Walaupun ginjal memberikan respons yang relatif lambat dibandingkan
garis pertahanan lainnya, beberapa jam sampai beberapa hari, ginjal merupakan sistem pengatur
asam-basa yang paling kuat dalam tubuh.
H2CO3 dibentuk dari reaksi CO2 dengan H2O dengan bantuan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini
sangat banyak terutama di dinding alveoli paru tempat CO2 dilepaskan. Karbonik anhidrase juga
terdapat di sel epitel tubulus ginjal tempat CO2 bereaksi dengan H2O untuk membentuk H2CO3.
Garam bikarbonat terdapat secara dominan sebagai natrium bikarbonat (NaHCO3) dalam cairan
ekstrasel. NaHCO3 berionisasi hampir secara lengkap membentuk ion bikarbonat dan ion natrium
dengan reaksi :
Bila asam kuat seperti HCl ditambahkan ke dalam larutan penyangga bikarbonat, peningkatan ion
hidrogen yang dilepaskan oleh asam akan disangga oleh HCO3-
Sebagai hasilnya lebih banyak H2CO3 yang terbentuk menyebabkan peningkatan produksi CO2 dan
H2O. CO2 yang berlebihan akan merangsang pernapasan yang akhirnya mengeluarkan CO2 dai cairan
ekstrasel.
Reaksi berlawanan terjadi jika suatu basa kuat seperti natrium hidroksida (NaOH) ditambahkan ke
larutan buffer bikarbonat.
Dalam reaksi ini OH- dari NaOH bergabung dengan H2CO3 membentuk HCO3- tambahan. Jadi basa
lemah NaHCO3 menggantikan basa kuat NaOH. Pada waktu yang sama konsentrasi H2CO3 turun
menyebabkan lebih banyak CO2 bergabung dengan H2O untuk menggantikan H2CO3.
Hasil akhirnya adalah kecenderungan penurunan kadar CO2 dalam darah tetapi penurunan CO2
dalam darah menghambat pernapasan dan menurunkan laju eksiprasi CO2. Peningkatan HCO3- yang
terjadi dalam darah dikompensasi dengan peningkatan eksresi HCO3- oleh ginjal.
Hasil dari reaksi ini adalah HCl digantikan asam lemah NaH2PO4 sehingga penurunan pH minimal.
Bila suatu basa kuat seperti NaOH yang ditambahkan ke dalam sistem buffer, OH- akan disangga oleh
H2PO4- untuk membentuk HPO42- dengan air.
Dalam keadaan ini basa kuat NaOH ditukar dengan suatu basa lemah Na2HPO4 sehingga pH hanya
meningkat sedikit.
Difusi elemen sistem buffer bikarbonat ini menyebabkan pH dalam cairan intrasel berubah ketika
terjadi perubahan pH cairan ekstrasel. Karena alasan ini sistem buffer intrasel akan membantu
mencegah perubahan pH cairan ekstrasel namun dibutuhkan waktu beberapa jam untuk menjadi
efektif secara maksimal.
Mekanisme kerja buffer protein :
Bila terjadi peningkatan pH, COOH akan berdisosiasi menjadi asam lemah sebagai donor H+
Bila terjadi penurunan pH, NH2 (gugus amino) bertindak sebagai basa lemah akseptor H+
NH3+ (ion amino)
Bila terjadi pengurangan konsentrasi H+ cairan ekstrasel (alkalosis), ginjal gagal mengabsorbsi semua
bikarbonat yang difiltrasi sehingga meningkatkan ekskresi bikarbonat. Karena HCO3- ini normalnya
menyangga hidrogen dalam cairan ekstrasel, kehilangan bikarbonat ini sama dengan penambahan
satu H+ ke dalam cairan ekstrasel.
Pada asidosis, ginjal tidak mengekskresikan bikarbonat ke dalam urine tetapi mereabsorbsi semua
bikarbonat yang difiltrasi dan menghasilkan bikarbonat baru yang kemudian ditambahkan ke cairan
ekstrasel. Hal ini mengurangi konsentrasi H+ cairan ekstrasel kembali menuju normal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood, L. Human physiology. 7th ed. Canada: Brooks/Cole, Cengage Learning, 2007. p. 569-
584.
2. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC, 2006. Hal 401-409