Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Jetse Sprey (1969) menyatakan bahwa keluarga dapat dilihat sebagai sistem di dalam
konflik yang terdiri dari “berlangsungnya konfrontasi antar anggota, konfrontasi antar
individu dengan konflik yang sering terjadi sesuai dengan situasi” (p.702). Terdapat bukti
yang dapat mendukung observasi tersebut. Secara relatif dalam suatu hubungan, orang
dewasa mengalami kritik dan konflik emosional yang paling tinggi di kehidupan pernikahan,
lalu terjadi juga konflik pada hubungan antar saudara, anak remaja, dan orang tua (Argyle &
Furnham, 1983). Walaupun beberapa catatan penelitian menunjukkan pertentangan adalah hal
yang paling sering terjadi di pasangan yang keadaan keluarganya kurang harmonis, meski
pun begitu di kehidupan harmonis sebuah pernikahan juga tidak dapat dipungkiri akan
mengalami perdebatan atau pertentangan (e.g., Borchler, Weiss, & Vincent, 1975; Kirchler,
Rodler, Holzl, & Meier 2001). Meskipun seringnya frekuensi sebuah konflik yang terjadi
dalam suatu keluarga menurun sesuai usia anak (Laursen Coy, & Collins, 1998; Steinmetz,
1977), Laporan terkait dengan kehidupan remaja menjelaskan bahwa sekitar 40% dari konflik
sehari – harinya adalah konflik dengan saudara dan juga orang tua (Jensen – Campbell &
Granzino, 2000).

Beberapa mantan pasangan suami istri pun sering berselisih setelah perceraian (e.g.,
Masheter, 1991), khususnya terkait dengan buah hatinya (Schaeffer, 1989). Secara pasti, tidak
semua waktu keluarga mengalami konflik pertentangan (e.g., Kirchler et eal, 2001), tetapi
bukti menunjukkan konflik pertentangan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dalam
kehidupan.

Potensi adanya hal negatif yang muncul akibat sebuah konflik sangat dapat terlihat. Hal
negatif tersebut terlihat dari pasangan yang berselisih akan merasakan stress (Kiecolt – Glaser
& Newton, 2001) dan juga berdampak bagi anak yang melihat orang tuanya berselisih (Davis
& Cummings, 1998). Orang tua dan anak mungkin dapat mengatakan hal yang menyakitkan
sehingga dapat merubah pandangan dan perasaan mereka satu sama lain (Mills, Nazar, &
Farrell, 2002). Pada suatu kasus, perselisihan dalam keluarga dapat meningkatkan peluang
terjadinya kekerasan fisik (Roloff, 1996). Intensitas pasangan dalam berselisih dan sifat
negatif mereka dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian (Mc Gonagle,
Kessler, & Gotlib, 1993). Konflik antar orang tua dapat berdampak pada perkembangan
sosial anak dan tingkah laku anak (Cummings, Goeke-Morey. & Papp, 2001).

A. Sifat Konflik Keluarga dan Komunikasi

Penjelasan mengenai keluarga, baik itu pengertiannya, dan juga mengenai isu
dalam konflik (Bagian1-2, pada volume ini). Pada bagian tersebut keluarga memiliki
kaitan dengan politik, moral, dan identitas implikasi, dan sulit untuk mendefinisikan
keluarga secara umum. Sehingga, tidak aneh banyak pengertian yang berbeda
mengenai definisi keluarga (Fitzpatrick & caughlin, 2002). Keluarga dapat dibagi
menjadi hubungan yang khusus, meskipun proses konflik yang terjadi masing –
masing memiliki korelasi (e.g., Noller, Feeney, Sheehan, & Peterson, 2000), efek
individualis mereka dalam keluarga pun bervariasi (e.g., shagle & Barber, 1993).
Konsekuensi tersebut dapat mempermudah untuk menginvestigasi konflik dalam
beberapa jenis hubungan yang ada di kehidupan keluarga yang sering terjadi juga di
keluarga lainnya.

Konflik merupakan hasil dari adanya tidak kompatiblenya aktivitas dalam


keluarga (Deutsch, 1973). Meskipun konflik dapat dijelaskan dalam berbagai cara,
yang paling menarik perhatian di antara penelitian keluarga adalah konflik verbal,
yang juga disebut sebagai perselisihan atau perdebatan. Hal ini berguna untuk
memikirkan konflik verbal sebagai jenis konflik konfrontatif yang merupakan saat
satu pihak menantang pihak lain (Newell & stutman, 1991). Dengan begitu, satu hal
dapat diinvestigasikan bagaimana proses koflik dimulai sampai dengan proses
penyelesaian. Penelitian di bidang keluarga sudah melihat secara spesifik serta proses
yang terjadi secara menyeluruh.

1. Episode Konflik Secara Khusus

Beberapa peneliti masalah konflik dalam keluarga telah menunjukkan


ketertarikannya pada struktur terjadinya konflik. Pada hasil penelitiannya mengenai
pertengkaran keluarga pada saat makan malam, Vuchinich (1984,1986,1987,1990)
meninjau bahwa konflik verbal dimulai dengan aksi provokatif oleh anggota
keluarga yang sedang bersitegang. Jika persetegangan tersebut menemukan antara
kedua belah pihak dengan persetujuan atau rasa mengalah, maka tidak akan terjadi
konflik. Biarpun begitu, jika pihak yang berselisih tidak mau berdamai maka
konflik pun akan terjadi. Dua dari tiga penemuan selama studinya (1990), pihak
penuntut bertemu dengan pihak yang dituntut saling beragumen berakibatkan
perselisihan. Karena itu, tidak semua sikap pihak yang berselisih mengakibatkan
konflik. Hipotesis Vuchinich mengatakan bahwa adanya redaman dapat
mengurangi perselisihan. Perselisihan dapat berakhir biasanya setelah dua atau tiga
pihak saling berbicara.

Penelitian lainnya, yaitu penelitian mengenai komunikasi yang tepat saat


konflik berlangsung. Berbagai skema pengkodean telah dikembangkan seperti
menilai aspek verbal (misalnya, pengungkapan, penghinaan) dan perilaku non
verbal (misalnya, pengaruh wajah, nada vokal) selama argumen perkawinan
(misalnya, Gottman & Krokoff, 1989; Krokoff, Gottman, & Hass, 1989).

2. Pola Pertentangan Episode

Meskipun mengidentifikasi proses yang terjadi selama perselisihan itu


berguna, penting juga untuk menentukan apakah ada konsistensi di seluruh episode
argumentatif. Demikian, para peneliti pun tertarik dengan perilaku yang biasanya
muncul saat konflik. Misalnya, Kurdek (1994) menciptakan skala perdebatan yang
tidak efektif yaitu dengan meminta individu untuk menunjukkan seberapa sering
mereka terlibat dengan konflik, penyelesaian masalah yang secara positif,
kepatuhan, dan banding untuk menangani ketidaksetujuan mereka. Ia menemukan
bahwa pasangan orang tua / non-orang tua baik gay / lesbian dan heteroseksual
tidak ada perbedaan secara signifikan dalam tanggapan mereka secara skala. Secara
umum, argumentasi yang tidak efektif, keterlibatan dan banding konflik
mengurangi kepuasan relasional dari waktu ke waktu dan meningkatkan
kegembiraan dalam pengakhiran hubungan. Tetapi di sisi lain, pemecahan masalah
positif dikaitkan dengan kepuasan yang meningkat dan tingkat pembubaran
relasional yang lebih rendah.Instrumen lain yang biasa digunakan adalah skala
taktik konflik (Strans, 1979), instrumen ini meminta individu untuk menunjukkan
berapa kali mereka terlibat dalam berbagai perilaku konflik selama tahun lalu.
ukuran ini biasanya digunakan untuk menilai tingkat kekerasan fisik dan psikologis
yang terjadi dalam berbagai hubungan keluarga (Straus & Gelles, 1990).
Penelitian lain juga meneliti bagaimana pola perilaku keluarga dalam
terjadinya konflik atau Communication Patterns Questionnare (Christensen &
Sullaway, 1984). Hal ini berfokus pada apakah pasangan mendiskusikan masalah
yang sedang dihadapinya atau malah menghindarinya, bagaimana mereka
berkomunikasi selama episode konflik dan apa yang terjadi setelah epsiode konflik
tersebut. Dua pola interaksi dinilai dalam kuesioner: (a) tingkat di mana satu mitra
menuntut yang lain berubah dan yang lain menanggapi dengan menarik dan (b)
sejauh mana ada komunikasi yang konstruktif secara bersama. Perhitungan laporan
itu sendiri menghasilkan adanya diskriminasi di antara pasangan yang berbeda
dilihat dari aspek marital distressnya (Noller& White, 1990) dan secara positif
adanya keterkaitan yang sama mengenai perilaku yang ditunjukkan saat episode
konflik berlangsung (Hahlweg, Kiaser, Christensen, Fehm-Wolfsdorf, & Groth,
1000). Hal itu menunjukkan adanya kegunaan untuk mempelajari konflik antar
orangtua-anak dan dampaknya seperti pada aspek harga diri, penyalahgunaan
hakikat, dan kepuasan relasional (Caughlin & Malis, 2004a, 2004b)

B. Aspek yang Berkaitan Dengan Konflik Keluarga


1. Pernikahan

Meskipun para peneliti di bidang ilmu perkawinan tertarik pada banyak


masalah, namun terdapat dua aspek penting. Pertama bagaimana konflik terkait
dengan marital distress dan yang kedua berkaitan dengan dampak dari konflik
perkawinan pada anak.

a) Distress pada Pasangan

Sejumlah besar penelitian telah meneliti bagaimana marital distress


berhubungan dengan cara pasangan bertindak selama episode argumentatif. Para
peneliti umumnya menggunakan perspektif sosial yang menganggap evaluasi
pernikahan secara global dipengaruhi oleh jenis tindakan yang terjadi dalam
pernikahan. Khususnya, ketika mencoba untuk menanggulangi pertentangan,
pasangan yang mengalami distress lebih condong pada hal negatif dibanding
dengan hal yang positif (Jacobson & Margoling, 1979). Dengan menggunakan
berbagai metode dan perhitungan, penelitian juga menunjukkan bahwa
pasangan yang mengalami distress secara positif memiliki keluhan pribadi
(Albert, 1988), perilaku pemecahan masalah secara negatif (Vincent, Weiss dan
Bhicler, 1975), mengkritik (Koren, Carlton, & Shaw, 1980). ), dan membaca
pikirannya (Gotman, 1979). Lalu pasangan yang mengalami Marital distress
secara negatif dengan penyelesaian masalah secara baik – baik (Alberts, 1988:
Margolin & Wampold, 1981), perjanjian persetujuan (Alber, 1988) dan responsif
(Koren et al, 1980).

Gottman dan Krokoff (1989) juga meneliti pada pengaruh pola


interaksi dari waktu ke waktu. Mereka menemukan bahwa meskipun kemarahan
dan perselisihan mengurangi kepuasan dalam pernikahan , tetapi hal itu juga
dapat meningkatkan kepuasan relasional dari waktu ke waktu atau dapat
dibilang sebagai mempererathubungan. Mereka mengidentifikasi tiga pola
interaksi sebagai faktor kepuasan dalam perkawinan yaitu pembelaan diri, sikap
keras kepala, dan penarikan diri.Gottman (1993,1994) mengusulkan teori
mengenai perceraian perkawinan, berpendapat bahwa dampak negatif pada
pernikahan tergantung pada kemampuan pasangan untuk mengimbanginya
dengan pengaruh positif. Dalam penelitiannya, pasangan dalam hubungan yang
stabil mempertahankan rasio lima perilaku konflik positif untuk setiap satu
tindakan negatif. Namun, semua pasangan memiliki variasi cara mereka dalam
mempertahankan pernikahannya.

Perilaku yang negatif selama argumen dapat meningkatkan hormon


stres, terutama di kalangan istri (Kiecolt-Glaser et al., 1993: Kiecolt - Glaser et
al., 1998). Istri-istri yang mengalami stress lebih lanjut selama argumen dapat
mengakibatkan risiko yang cukup besar yaitu perceraian (Kiecolt - Glaser, Bane,
Glaser & Malarkey, 2003). Istri yang memiliki kekuatan lebih besar atau yang
berbagi kekuasaan dengan suami mereka menunjukkan pengurangan stres yang
lebih besar setelah bertengkar daripada mereka yang memiliki peran yang
kurang kuat (Loving, Heffner, Kiecolt-Glaser. Glaser, & Malarkey, 2004).
Menariknya, suami yang memiliki kekuatan lebih besar atau kurang kekuatan
daripada istri mereka mengalami pengurangan stres yang lebih besar daripada
mereka yang berbagi kekuasaan atau dengan istri mereka (Loving., Dkk 2004).

Penelitian juga menunjukkan bahwa depresi berhubungan dengan


konflik perkawinan. Secara khusus, deperesi dapat meningkatkan kemungkinan
pasangan akan menyebabkan konflik yang destruktif dan dapat mengurangi
kegembiraan (Coyne, Tnompson, & Palmer, 2002; Scudhlish, Papp, &
Cummings, 2004). Depresi seorang suami dapat mengurangi kemungkinan istri
yang akan berpikiran positif dalam menyelesaikan masalah (Johnson & Jacob,
2000).

b) Dampak pada Anak


Pertama, efek konflik perkawinan pada anak-anak dapat terjadi akibat
hubungan antara konflik perkawinan dan gaya pengasuhan. Sebuah meta-
analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa konflik antar orang tua terdapat
hubungan dengan gaya pengasuhan anak dan berhubungan negatif dengan
dukungan dan penerimaan orang tua (Krishnakumar & Buehler, 2000). Gaya-
gaya orang tua yang bersifat negatif ini meningkatkan ketidakmampuan anak
(Buehler & Gerard, 2002) dan mengurangi rasa kesejahteraan anak
(Vanderwater & Lansford, 1998). Lebih jauh lagi, mereka meningkatkan
pemahaman negatif anak tentang hubungan keluarga (Shamir, Schudlich, &
Cummings, 2001) dan dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya (Simons, Whhitbeck, Conger, & Chy-In, 1991)

Kedua, konflik perkawinan dapat secara langsung mempengaruhi


seorang anak. Meskipun banyak perselisihan pernikahan terjadi tanpa kehadiran
anak, anak dapat secara langsung mengamati mereka dalam beberapa kasus.
Efek negatif terjadi ketika anak-anak menilai konflik sebagai ancaman (Davies
& Cummings, Goeke-Morey, Papp, & Dukewich, 2002; Jenkins, 2000) dan juga
orang dewasa (Hall & Cummings, 1997). Selain itu, paparan konflik
perkawinan secara negatif mempengaruhi cara di mana seorang anak
menafsirkan dan bertindak saat mengalami konflik dengan orang lain (Buehier
et al., 1998; El - Sneikh, 1997; Jenkins, 2000; Kinsfoged & Grych, 2004;
Marcus, Lindahl & Malik, 2001; Stocker & Youngblade, 1999). Namun perlu
dicatat bahwa meskipun perilaku konflik narital destruktif dan emosi negatif
mempengaruhi seorang anak, paparan anak terhadap konflik perkawinan yang
ditangani secara konstruktif tidak tampak berbahaya (Cummings, et al., 2002).

Ketiga, Jemkins, Simpson, Dunn, Rasbash, dan O'Connor (2005)


menemukan pola yang berkembang di antara masalah-masalah perkawinan dan
anak-anak. Konflik pernikahan tentang perilaku seorang anak berhubungan
positif dengan masalah perilaku anak berikutnya. Hal ini mendorong lebih
banyak perselisihan dalam perkawinan, khususnya di keluarga tiri yang berarti
konflik perkawinan dan masalah perilaku anak saling memengaruhi. Dengan
demikian, ketidaksepakatan pernikahan dapat memiliki efek luas pada unit
keluarga. Jika ketidaksetujuan ditangani dengan tidak tepat, perkawinan
mungkin dalam bahaya dan anak-anak dapat dirugikan.

2. Konflik Orang Tua dengan Anak

Di bagian sebelumnya, kami mencatat bahwa konflik perkawinan dapat


mempengaruhi seorang anak. Pada bagian ini, kami meninjau bukti bahwa konflik
orangtua-anak dapat mempengaruhi pernikahan, termasuk kemungkinan
ketidaksepakatan pernikahan.

a) Sosialisasi

Ketika membesarkan anak, orang tua memiliki tanggung jawab untuk


mengajarkan keterampilan dan mengendalikan perilaku untuk memastikan
keselamatan dan kesejahteraan anak dan orang lain.

Penelitian yang berfokus pada anak-anak yang lebih muda telah


berfokus pada sejauh mana anak-anak mematuhi teknik kontrol orang tua
mereka serta bagaimana orang tua melakukan kontrol. Sebagai contoh, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa di antara anak-anak usia 15 hingga 24 bulan, ibu
paling efektif untuk mendapatkan komplain ketika mereka terlibat dalam
perilaku yang pertama menarik perhatian anak dan kemudian pindah ke
tindakan merangsang (Schaffer & Creok, 1980). Penelitian lain menunjukkan
bahwa kepatuhan di antara 1,5 tahun lebih besar ketika orang tua menggunakan
arahan daripada saran tetapi bahwa pola membalikkan sendiri ketika anak-anak
mencapai usia 3 tahun (McLaughlin, 1983). Ini menyiratkan bahwa orang tua
paling berhasil ketika mereka menyesuaikan strategi mereka dengan usia anak.
Memang, Kuezynski, Kochanska, Radke - Yarrow, dan Girnius - Brown (1987)
menemukan bahwa ibu dari anak berusia 3,5 tahun lebih cenderung
menggunakan penjelasan, tawar-menawar, dan teguran untuk mendapatkan
kepatuhan dan cenderung tidak menggunakan gangguan daripada adalah ibu
dari anak usia 1,5 tahun. Lebih jauh lagi, anak usia 3,5 tahun lebih mungkin
menolak melalui negosiasi dan cenderung tidak menentang atau pasif daripada
anak berusia 1,5 tahun. Ketika ibu bertukar pikiran dengan anak mereka, anak
itu sering mencoba bernegosiasi. Upaya keibuan untuk melakukan konrol anak
secara langsung sering dipenuhi dengan pembangkangan. Namun, tidak semua
penelitian menunjukkan bahwa penalaran efektif dalam menciptakan kepatuhan.
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa penalaran hanya efektif jika
dikombinasikan dengan konsistensi tetapi hukuman ringan (misalnya, Larzele &
Mrenda, 1994; Larzerele, Sather, Schneider, Larson & Pike, 1998). Meskipun
kontoversial meta-analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa bersyarat
memukul (yaitu, digunakan secara terkontrol sebagai cadangan untuk penalaran
dengan anak yang menantang) meningkatkan kepatuhan dan mengurangi
perilaku antisosial relatif terhadap bentuk lain dari disiplin orangtua (Larzelere
& Kuhn, 2005).

Dalam beberapa kasus, konflik orang tua dapat diperpanjang untuk


beberapa waktu. Ritchie (1999) membedakan antara tindakan tunggal
ketidakpatuhan dan serangan kekuasaan yang 70% dari konflik adalah
pertarungan kekuasaan. Paling sering, serangan itu berlangsung terus dan
semakin banyak pikiran negatif tentang anak mereka.

Barber dan delfabbro (2000) menemukan bahwa penyesuaian remaja


berhubungan negatif dengan frekuensi konflik orang tua atas masalah domestik
dan teman-teman seorang anak.Konflik dengan anak laki-laki lebih sulit untuk
diselesaikan daripada mereka yang memiliki anak perempuan, dan konflik
tentang pekerjaan dan hubungan antarpribadi lebih sulit untuk diselesaikan
daripada masalah pribadi (smetana, yau & hanson, 1991).Reuter dan conger
(1995) menemukan bahwa jika sebagian besar interaksi keluarga terasa hangat
dan mendukung sebelum masa remaja.

Penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa memiliki konflik dengan


orang tua mereka. Clarke, preston, raskin dan bengston (1999) menemukan
bahwa konflik antargenerasi dapat terjadi tentang gaya komunikasi / interaksi,
kebiasaan / pilihan gaya hidup, prakondisi / nilai-nilai pengasuhan anak,
politik / ideologi agama, kebiasaan / orientasi kerja, dan standar / pemeliharaan
rumah tangga. Fisher, reid, dan melendez (1989) menemukan bahwa orang tua
lansia melaporkan konflik dengan anak-anak dewasa mereka yang berfokus
pada keengganan anak untuk mematuhi aturan keluarga, ketidakmampuan anak
untuk menerima kontrol orangtua, dan kegagalan anak untuk menghayati sebuah
ekspketasi peran. Konflik dengan orang tua mereka disebabkan oleh
keengganan orang tua untuk memberikan bantuan dan menerima dukungan
anak. Perempuan memiliki lebih banyak konflik dengan orang tua mereka
tentang masalah-masalah keluarga. Sedangkan laki-laki lebih banyak konflik
dengan orang tua mereka tentang masalah sosial dan politik (hagestad,
1987).Dengan demikian, konflik orangtua anak dapat terjadi sepanjang hidup.

b) Efek Pernikahan

Peningkatan konflik perkawinan mungkin juga disebabkan oleh masalah


perilaku anak. Dua penelitian longitudinal menemukan bahwa masalah perilaku
anak meningkatkan tingkat konflik perkawinan (jenkins et al, 2005; O'connor &
insabella, 1999). Topham, larson, dan holman (2005) menemukan bahwa
memiliki kisah konflik orangtua yang keras memprediksi konflik perkawinan
pada tahap baru, terutama di kalangan wanita. Selain itu, Beaton, Norris dan
Pratt (2003) menemukan bahwa anak-anak dewasa sering berdiskusi dengan
masalah pasangan mereka yang melibatkan orang tua mereka, termasuk
menangani liburan, kakek-nenek dan cucu-cucu, menerima uang dari orang tua,
orangtua yang tinggal bersama mereka, dan berurusan tentang kesehatan orang
tua.

3. Saudara Kandung

Konflik yang sering terjadi dalam kehidupan keluarga ialah konflik antara
saudara kandung atau adik dan kakak. Karena, sering terjadinya kesalah pahaman atau
tidak setuju dengan keputusan pendapat antara satu sama lain yang bertentangan
dengan apa yang mereka inginkan. Pertengkaran antara saudara akan terus
berlangsung dengan semakinbertambahnya usia dan tingkat perkembangan anak
tersebut. Dibandingkan dengan perbedaan pendapat ibu dan ayah, mereka lebih sering
berbeda pendapat dengan saudaranya sendiri dan biasanya pada usia anak prasekolah
sering melakukan kontak fisik yang menyebabkan salah satudari mereka mengalami
sakit secara fisik dan dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dalam kehidupan
keluarga antara anak-anak. Pada penilitan ini mengingat banyaknya konsekuensi yang
terjadi, peneliti melakukan invansi untuk memahami karakteristik konflik dan cara
orang tua dalam menggapi hal tersebut.

a) Karakterstik Konflik

Penelitian ini telah menemukan tiga penyebab konflik saudara Menurut


felson, 1983; montemayor & hanson, 1985; raffaeli, 1992; steinmetz, 1977 : masalah
kepemilikan, pembagian kerja, dan perilaku yang tidak pantas.

1. Masalah kepemilikan atau harta


Masalah yang paling sering terjadi antara saudara kandung ialah kepemilikan.
Anak yang memiliki barang atau mainan maupun pakaian yang tidak mau
dipinjamkan kepada saudara kandungnya sendiri menjadi awal mula konflik itu
terjadi. Perselisihansepertiinibiasanyaseringterjadipadaanakprasekolahatau pun
masa remaja. Namun, perselisihan mengenai masalah harta biasanya terjadi pada
saat dewasa dan sudah mempunyai pekerjaan.
2. Masalah pembagian tugas
Masalah dalam keluarga tentang pembagian tugas ini terjadi misalnya pada saat
anak diperintahkan oleh orang tuanya untuk bekerja di rumah pada saat hari libur
seperti membersihkan rumah, anak sering berselisih karena salah satunya tidak
mengerjakan tugas yang telah diperintahkan oleh orang tuanya dan biasanya
menimbulkan konflik dengan saudaranya yang mengerjakan tugas dengan baik.
3. Perilaku yang tidak pantas
Perilaku yang sering terjadi atau pun dilakukan oleh saudara kandung terhadap
saudaranya yaitu melakukan hal yang tidak menyenangkan dengan cara seperti
melakukan kontak fisik, berbicara yang tidak pantas.

Konflik biasanya sering terjadi pada anak yang usia dan jenis kelamin yang
sama, dan yang paling sering terjadi antara saudara perempuan. Menurut Raffaeli
(1992) bahwa konflik antar saudara praremaja atau remaja akhir berakhir dalam lima
menit dan jika konflik dengan saudara yang lebih tua biasanya berlangsung lama.
Pada saat konflik berlangsung kondisi mereka tidak nyaman atau tidak bahagia dan
merasa marah, namun perselisihan antara saudara kandungtidak pernah mencoba
untuk memperbaiki pertengkaran tersebut atau pun hanya menarik diri dan
membiarkannya. Graham-bermann, Cutler, Litzenberger, dan Schwartz (1994)
menemukan bahwa orang dewasa muda dan terutama wanita muda yang mengalami
pelecehan emosional dari saudara kandung sebagai seorang anak menunjukkan tingkat
penyesuaian emosional yang lebih rendah daripada mereka yang tidak mengalaminya.

b) Tanggapan Orang Tua

Menurut Ross et al. (1994) menemukan bahwa orang tua terlibat dalam 59%
konflik saudara antara anak usia 2-4 tahun yang terjadi di hadapan mereka. Raffaeli
(1992) menemukan bahwa orang tua dari remaja terlibat hanya dalam 54% dari
konflik antara saudara. Keputusan untuk terlibat secara negatif terkait dengan
orientasi orang tua terhadap dukungan dan secara positif terkait dengan sejauh mana
mereka menghargai kesesuaian (mchale, updegraff, tucker, & crouter, 2000). Tidak
mengejutkan, orang tua sangat mungkin terlibat ketika konflik intens dan
membangkitkan reaksi emosional dari anak-anak (perlman & ross 1996; rooss et al,
1994). Biasanya orangtua jika terlibat dalam konflik saudara antara anak-anak,
mereka sering berpihak pada saudara yang tampaknya telah menjadi korban (Ross et
al, 1994) atau yang memiliki hak milik (Raffaeli, 1992). Namun, dengan terlibatnya
orangtua dalam konflik saudara biasanya menjadi tidak efektif dan dapat
menimbulkan rasa ketidak adilan antara saudara. Menurut Felson dan Ruso (1988)
bahwa orang tua sering berpihak pada saudara yang lebih lemah penelitian lain
menunjukkan bahwa perlakuan yang tidak setara pada saudara kandung berkorelasi
dengan meningkatnya konflik saudara (brody, stoneman, mccoy & forehad, 1992).
Selanjutnya, McHale (2000) menemukan bahwa intervensi orang tua ke dalam konflik
saudara misalnya hukuman, berkorelasi positif dengan negatif antara saudara kandung
dan dapat melatih misalnya memberikan saran, menjelaskan perasaan tidak
berhubungan.

4. Tujuan Masa Depan

Penelitian terus mempelajari sampel AS, ada semakin banyak penelitian yang
mencakup sampel non AS (misalnya Yau & smetana, 1996) atau mengisahkan
kelompok ravial etnik tertentu di negara-negara bagian (misalnya farver, narang, &
bhadha , 2002; flores, pasch & marin, 1999; vuchinich & de baryshe, 1997). Selain
itu, dengan semakin banyak keluarga campuran, para ahli telah berfokus pada konflik
keluarga tiri (coleman, denda, ganong, surut, & pauk 2001; hansin, Mclanahan &
Thomson, 1996; Macdonald & DeMaris, 1995). Indeed, Gotman (1999) melaporkan
bahwa 69% pasangan yang terlibat dalam penelitian memiliki masalah yang lama dan
panjang tanpa perubahan. Perselisihan ini cenderung menjadi konsekuensi bagi fungsi
keluarga. Cramer (2002) menemukan bahwa konflik yang belum terselesaikan sangat
tidak memuaskan dan memilih korelasi yang lebih kuat dengan kepuasan relasional
daripada proses yang digunakan untuk mencoba menyelesaikannya. Sayangnya, tidak
ada bukti yang jelas tentang bagaimana individu dapat menyelesaikan masalah ini
dengan baik. Kami memberikan 4 pertanyaan terkait mengenai penelitian.

1. Apa artinya konflik telah selesai?


Individu yang mudah memaafkan kesalahan pasangan, mereka lebih mudah atau
mungkin untuk menyelesaikan perdebatan mereka, dan merasa bahwa masalah
telah diselesaikan secara efektif.
2. Apa yang membuat beberapa konflik sulit diselesaikan?
Kurangnya keterampilan mengenai manajemen konflik yang dapat membuat
konflik sulit diselesaiakan. Dengan adanya manajemen konflik dapat
memfasilitasi perubahan konflik meskipun ada beberapa bukti bahwa
keterampilan dalam memanajemen konflik yang buruk membuat pasangan rentan
terhadap kesulitan pernikahan. Masalah-masalah yang berkepanjangan sering
terjadi sebagai akibat dari kepribadian fundamental atau kepribadian yang sudah
dimiliki sejak lahir yang menyebabkan sulit terpecahkannya suatu masalah dan
sulit menemukan titik temu dengan adanya masalah yang sulit untuk dibicarakan
atau didiskusikan dapat menghambat terjadinya konflik yang sulit diselesaikan.
3. Apakah itu masalah jika beberapa konflik tidak dapat dipecahkan?
Jika konflik yang terjadi belum terselesaikan dapat menyebabkan timbulnya
masalah yang lebih besar, karena berawal dari masalah-masalah kecil yang
diabaikan dan dianggap tidak terlalu penting dapat menjadi masalah yang besar
jika tidak diselesaikan dengan tuntas.
4. Jika masalah penting tidak dapat dipecahkan, bagaimana orang-orang mengatasi
konflik ini?
Selain dengan berdebat, suatu konflik dapat diselesaikan dengan cara berfokus
pada hal positif adalah salah satunya alat untuk mengatasi hubungan baik dengan
kepuasan pernikahan. Dengan berpikiran kepada hal-hal yang positif sebagai cara
yang lebih efektif untuk mengurangi stres yang timbul dari masalah relasional
daripada saling berhadapan.

C. Persepsi Konflik Perkawinan

Berdasarkan literature tentang persepsi konflik perkawinan (Christensen, 1988;


Christensen & Heavey. 1990; Noller & White, 1990) terdapat empat gaya/jenis itu
adalah (a) gaya koersif di mana mitra secara verbal menyerang satu sama lain
(menyalahkan yang lain dan membela posisi mereka sendiri), (b) permintaan istri /
suami menarik diri (di mana istri menuntut lebih banyak bantuan dari suami tetapi dia
melakukannya tidak ingin membahas masalah), (c) permintaan suami / istri menarik
diri (di mana suami menuntut perubahan dan istrinya tidak mau membahas masalah),
dan (d) gaya timbal balik (di mana pasangan mendengarkan masing-masing sudut
pandang orang lain dan menanggapi dengan pemahaman).

Konflik keluarga yang khas menurut CRS mencakup tiga faktor : (a)
bertarung/bertengkar (menyerang atau bertindak agresif atau koersif), (b) menghindari
(menolak untuk mendiskusikan masalah atau menyangkal bahwa ada masalah), dan
(c) timbal balik (mendengarkan dan mencoba) untuk memahami sudut pandang
masing-masing)

1. Tipikalitas

Kebanyakan anggota keluarga lebih memilih gaya timbal balik dalam


menyelesaikan masalah/konflik di keluarga. Gaya timbal balik dapat
menyelesaikan masalah tanpa membuat konflik semakin tinggi. Namun dalam
kehidupan pernikahan kebanyakan lebih sering menemukan gaya istri menuntut /
suami menarik diri.

2. Stress

Gaya koersif merupakan gaya yang dapat menimbulkan rasa tertekan berat /
stress berat terhadap anggota keluarganya. Sedangkan gaya timbal balik tidak
membuat anggota keluarga merasa tertekan berat karena konflik yang dihadapi
dirundingkan secara bersama-sama.

3. Kemungkinan resolusi

Konflik timbal balik dilihat lebih dapat diselesaikan daripada konflik lain, hal
ini menunjukkan bahwa anggota keluarga dapat membedakan dengan jelas antara
interaksi timbal balik pada rekaman dan interaksi yang melibatkan gaya negatif.
Selain itu, tampak jelas bahwa anggota keluarga mampu membedakan konstruktif
dari konflik yang semakin merusak. Remaja pada umumnya lebih optimis dalam
menghadapi kemungkinan konflik yang akan terselesaikan. Mungkin karena
masih lugu dan kurang berpengalaman daripada anggota keluarga lainnya.
4. Reaksi emosional

Gaya timbal balik paling banyak mendorong emosi yang positif, sementara
gaya koersif paling sedikit mendorong emosi yang positifnya. Gaya koersif
memicu lebih banyak emosi negatif daripada gaya penuntut / penarikan diri.
Memiliki anggota dari pasangan yang menyerang satu sama lain secara verbal
akan menjadi lebih menegangkan bagi anggota keluarga daripada memiliki satu
anggota menyerang dan yang lain mengundurkan diri/berdiam diri.

D. Persepsi Konflik Orang Tua dan Remaja

Konflik dengan orang tua cenderung meningkatkan tahapan perkembangan


anak, Setidaknya sebagian remaja datang untuk melihat peraturan orang tua dan
segala tuntutan yang mereka lakukan ketika mereka remaja. Sebagai tambahan,
konflik keluarga telah ditemukan untuk memprediksi depresi dan kesulitan dimasa
remaja terutama ketika kepaduan keluarga rendah. Ketika seorang remaja diberikan
rekaman kaset mengenai konflik dalam keluarga, remaja merespon dengan agresif
ketika mereka menyalurkan amarah pada orang tua. Sebagai tambahan, anak menjadi
kesulitan ketika mereka sering melihat kemarahan orang dewasa atau konflik fisik.
Mereka menjadi kesulitan ketika masalah tidak dapat dipecahkan.

1. Tipikalitas

Remaja lebih banyak menghabiskan waktu berbicara dengan ibu mereka


daripada dengan ayah mereka dan mereka berbicara dengan ibu mereka di
berbagai topik yang lebih luas (Noller & Bagi, 1985). Ibu cenderung
menegakkan aturan keluarga lebih dari ayah, lebih cenderung menegur anak-anak
mereka dalam perilaku interpersonal yang tidak pantas (Montemayor & Hanson,
1985), dan biasanya lebih terlibat dalam memantau kehidupan anak-anak mereka
(Larson & Richards, 1994). Sehingga, ibu lebih mungkin terlibat konflik
daripada ayah dengan anak remaja mereka.

2. Stres

Secara umum, remaja menemukan bahwa mendengarkan rekaman kaset


mengenai konflik keluarga lebih sedikit membuat stres daripada ibu atau ayah. Ibu
menilai lebih stres ketika mendengarkan tuntutan orang tua daripada ayah atau
remaja, sedangkan tuntutan remaja tidak membuat ibu terlalu stress, namun ibu
tidak suka menuntut remaja, bahkan lebih dari mereka tidak suka remaja menuntut
mereka.

3. Kemungkinan Resolusi

Diskusi yang melibatkan ibu dinilai lebih mungkin untuk diselesaikan


daripada diskusi yang melibatkan ayah. Hal ini menunjukkan bahwa remaja
menemukan ibu mereka lebih terbuka dan mendukung daripada ayah mereka.
Remaja menilai gaya koersif lebih mungkin untuk diselesaikan daripada ibu atau
ayah, dan ibu menilai gaya bersama lebih mungkin untuk diselesaikan daripada
ayah atau remaja. Remaja menilai tuntutan orang tua lebih mungkin untuk
diselesaikan daripada tuntutan remaja. Remaja memahami perlunya keterlibatan
orang tua mereka dalam diskusi untuk mencapai resolusi.

Diskusi bersama dinilai lebih tipikal, tidak terlalu membuat stress, lebih
mungkin untuk diselesaikan, karena memunculkan emosi yang lebih positif dan
menilai gaya bersama lebih khas dari diskusi konflik orang tua di mana mereka
terlibat. Orang tua cenderung bertanggung jawab, tidak terlalu mudah menyerah
terhadap tuntutan yang tidak pantas pada remaja. Mungkin remaja melihat
argumen dengan orang tua sebagai bagian dari proses mendapatkan lebih banyak
kendali atas kehidupan mereka sendiri. Penyelesaian konflik menggunakan
diskusi koersif dinilai lebih membuat stres daripada orang tua mereka. Gaya
penindasan dan tuntutan orang tua atau remaja dinilai kurang mungkin untuk
diselesaikan daripada gaya bersama.

4. Reaksi Emosional

Secara keseluruhan, remaja, ibu, dan ayah melaporkan tingkat emosi positif
tertinggi ketika mendengarkan diskusi bersama dan tingkat terendah ketika
mendengarkan diskusi koersif. Remaja lebih suka orang tua terlibat, dan mengakui
bahwa masalah tidak dapat diselesaikan tanpa kerja sama mereka. Para ayah
mungkin beradaptasi kurang efektif untuk perspektif remaja, menjadi lebih kecil
kemungkinannya daripada ibu untuk mencari kesepakatan untuk menyelesaikan
konflik, dan kurang terlibat dalam diskusi dengan anak-anak mereka secara
umum. Para ayah juga melaporkan lebih banyak emosi positif untuk ibu dan
putrinya daripada untuk diskusi paksa antara ayah dan putrinya. Perbedaan ini
mungkin terkait dengan ketidaknyamanan ayah dengan konflik, serta harapan
mereka bahwa ibu akan mengambil tanggung jawab utama untuk memantau
kehidupan remaja. Ibu lebih memilih suami mereka untuk berada dalam peran
yang menuntut putra mereka, daripada harus berada di peran itu sendiri. Ibu dari
remaja laki-laki dapat merasakan impotensi tertentu dalam mencoba mendapatkan
perubahan perilaku pada putra mereka dan percaya bahwa ayah mungkin lebih
berhasil dalam mendapatkan perubahan perilaku putra mereka. Sementara itu, ibu
kelihatan senang menarik sebuah konflik dengan anak-anaknya, mereka kelihatan
senang ketika suami mereka tertarik. Temuan ini akan memberi dukungan pada
kemungkinan bahwa para ibu ingin ayah terlibat dalam konflik dengan putra
mereka.

Menurut anak laki-laki lebih banyak emosi positif untuk saling berdiskusi
dengan ayah daripada dengan ibu mereka. Diskusi timbal balik dengan para ayah
yang berbeda dengan ibu mungkin lebih menonjol untuk anak laki-laki. Hubungan
antara ayah dan putra remaja mereka cenderung melibatkan lebih banyak
sarkasme dan pesan campuran daripada pesan yang sebenarnya. Situasi ini dapat
membuat diskusi positif antara ayah dan mereka yang sangat bermanfaat bagi
remaja laki-laki. Hal ini memberi kesan bahwa dalam hal sederhana ini, orang tua
diinvestasikan dalam komunikasi positif dalam menyelesaikan masalah dengan
anak remaja mereka. Para ayah melaporkan mengalami emosi negatif yang secara
signifikan lebih besar daripada remaja atau ibu. Situasi ini lagi-lagi dapat menjadi
indikasi ketidaknyamanan ayah dengan konflik keluarga secara umum dan ibu
yang tidak suka menuntut remaja, juga remaja mungkin lebih terbiasa dengan
tuntutan dari ibu mereka.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Konflik Keluarga

Beberapa fakta yang terjadi akhir-akhir tentang konflik dalam keluarga dapat
ditinjau dari beberapa aspek. Antara lain misalnya konflik antara anak dan orang tua
atau konflik antara suami dan istri. Disisi lain konflik keluarga dapat memicu
terjadinya hal-hal seperti kekerasan dalam rumah tangga, tawuran remaja, kurangnya
toleransi masyarakat, penyalahgunaan narkoba dan bunuh diri. Sehingga peran
keluarga juga diperlukan dalam proses pendidikan masyarakat selain sosialisasi nilai-
nilai melalui dunia pendidikan. Di budaya timur yang disebut keluarga adalah mereka
yang terikat dalam ikatan perkawinan yang sah. Selain itu jumlah anggota keluarga di
masyarakat barat biasanya hanya terdiri dari anggota keluarga inti yaitu ayah, ibu dan
anak. Sedangkan di masyarakat Timur konsep anggota keluarga bukan hanya terdiri
dari keluarga inti namun termasuk anggota keluarga yang lain seperti nenek, kakek,
adik, keponakan dan sebagainya. Akses para anggota keluarga terhadap kekuasaan
dan sumberdaya berbeda. Ketidaksamaan atau asimetri yang melekat pada sistem
keluarga inilah yang merupakan dasar konflik, dan ini muncul pada waktu para
anggota keluarga mengadkan tawar-menawar dan bersaing untuk meraih kedudukan
dan hal-hal yang dinilai tinggi. Walaupun ketegangan dan potensi konflik terus
menerus hadir, tujuan-tujan bersama dan cinta yang timbal balik menyebabkan para
anggota keluarga saling terikat. Asumsi yang lain adalah bahwa konflik dalam
keluarga dapat membawa akibat positif dan negatif dan bila onflik ditekan, maka hal
demikian dapat menimbulkan akibat yang buruk pada anggota keluarga. Bila konflik
tidak muncul, maka tidak berarti bahwa kebahagiaan sudah terjamin. Konflik terjadi
dalam keluarga dalam rangka upaya-upaya para angota keluarga untuk
memperebutkan sumber-sumber daya yang langka yaitu hal-hal yang diberi nilai,
seperti uang, perhatian, kekuasaan dan kewenangan dalam memainkan peranan
tertentu. Para anggota keluarga dapat juga merundingkan atau mengadaka proses
tawar menawar dalam mencapai tujuan yang saling berkompetisi. Interaksi yang
bersifat konflik berkisar dari interaksi yang bersifat verbal sampai kepada yang
bersifat fisik. Interaksi yang penuh masalah terjadi bila tidak ada aturan-aturan
semacam itu, atau bila aturan aturan tidak ditetapkan secara konsekuen, atau bila
aturan-aturan itu itu hanya diterima oleh satu pihak saja.
1. Konsep Konflik
Konflik memiliki berbagai macam elemen diantaranya bahwa konflik
memiliki efek negatif dan positif, konflik dapat berfokus pada isi pembicaraan
atau materi permasalahan namun konflik juga dapat terkait dengan pribadi
pelakunya. Konflik memiliki beberapa bentuk atau gaya dan konflik juga
ditentukan oleh faktor budaya. Sehingga pembahasan mengenai konflik dapat
ditinjau dari berbagai macam aspek dan yang lebih menarik adalah mengetahui
dampak konflik serta mengaitkannya dengan penyebab konflik. Konflik sendiri
tidak dapat dihindari ketika seseorang berhubungan dengan orang lain. Bahkan
konflik pun dapat terjadi dengan individu tanpa melibatkan orang lain. Disebutkan
bahwa konflik meiliki beberapa tahapan proses yaitu tahap kondisi awal, tahap
frustasi dan penyadaran, tahap aktif, tahap solusi atau tidak tercapai solusi, tahap
tindak lanjut dan tahap resolusi.

2. Karakteristik Konflik
Konflik terjadi dalam keluarga dalam rangka upaya-upaya para anggota
keluarga untuk memperebutkan sumber-sumber daya yaitu hal-hal yang diberi
nilai, seperti uang, perhatian, kekuasaan dan kewenangan dalam memainkan
peranan tertentu. Para anggota keluarga dapat juga merundingkan atau mengadaka
proses tawar menawar dalam mencapai tujuan yang saling berkompetisi dan juga
memperebutkan peran. Salah satu contoh yang dapat dilihat yaitu konflik yang
terjadi akibat memperebutkan uang baik dengan orang tua atau pun saudara.
Faktor uang dapat memicu terjadinya konflik karena adanya beban ekonomi yang
menyebabkan seseorang rela menggapai tujuannya tanpa memikirkan kesepakatan
bersama. Di Indonesia sendiri sudah sering terjadi kasus perselisihan akibat
perebutan harta gono gini, harta warisan maupun akibat utang piutang yang pada
akhirnya terjadi perselisihan dan kekerasan.

3. Konflik Anak, Remaja, Dengan Orang Tua


Dilihat dari berbagai kasus atau kenyataan yang sering terjadi di sekitar,
hampir semua konflik yang dihadapi remaja dengan orang tua seputar masalah
aktivitas remaja sehari hari seperti tentang kegiatan belajar remaja, disiplin
sekolah, hubungan dengan saudara kandung, aktivitas remaja bersama teman yang
ingin keluar malam. Bagi remaja sendiri banyak yang menyadari bahwa konflik
tersebut timbul akibat ulah mereka yang tidak patuh, tidak disiplin, salah memilih
teman bergaul, konflik remaja dengan sudara kandung dan sebagainya. Remaja
menyadari hal ini sebagai bentuk ketidak disiplinan mereka atau penegakan
peraturan di keluarga.

4. Konflik Pasangan
Konflik selalu ada di tempat kehidupan bersama, bahkan dalam hubungan
yang sempurna sekalipun konflik tidak dapat dielakkan dan konflik semakin
meningkat dalam hubungan yang serius. Setiap saat dimana terdapat dua orang
atau dua kelompok yang akan me-ngambil keputusan mempunyai potensi untuk
menimbulkan suatu konflik. Demikian pula halnya dengan kehi-dupan
perkawinan. Kebahagiaan meru-pakan hal utama yang menjadi tujuan dan sangat
diharapkan dari sebuah perkawinan. Namun untuk mencapai suatu kebahagiaan
perkawinan bukanlah sesuatu hal yang mudah karena kebahagiaan perkawinan
akan tercapai apabila pa-sangan suami istri memiliki kualitas interaksi perkawinan
yang tinggi. Dalam suatu perkawinan terkadang apa yang diharapkan oleh
masing-masing individu tidak sesuai dengan kenyataannya setelah individu
tersebut menjalani bahtera rumah tangga. Perkawinan menuntut ada-nya
perubahan gaya hidup, menuntut adanya penyesuaian diri terhadap tuntutan peran
dan tanggung jawab baru baik dari suami maupun istri. Ketidakmampuan untuk
melakukan tuntutan-tuntutan tersebut tidak jarang menimbulkan perten-tangan,
perselisihan dan bahkan berakhir dengan perceraian. Perselisihan, pertentangan
dan konflik dalam suatu rumah tangga merupakan sesuatu yang terkadang tidak
bisa di-hindari, tetapi harus dihadapi.
Ditinjau dari intensitas kecenderungan laki-laki dan perempuan untuk terlibat
dalam suatu lingkaran konflik rumah tangga, maka perempuan lebih rentan untuk
mengalami konflik. Hal ini disebabkan perempuan ketika telah menikah, mereka
sanggup untuk menyerahkan diri secara total pada pasangannya, menyatakan bahwa
wanita lebih banyak menunjukkan tanda-tanda emosional. Hal ini terlihat bahwa
wanita lebih cepat bereaksi dengan hati yang penuh ketegangan, lebih cepat berkecil
hati, bingung, takut dan cemas. Selain itu, kesatuan totalitas dari tingkah laku wanita
bukan terketak pada kesadaran obyektif menuju pada satu tujuan, akan tetapi lebih
terletak pada kehidupan perasaannya, yang didorong oleh afek-afek dan sentimen-
sentimen yang kuat, yang pada akhirnya membuat dugaan dan perhitungan yang
mereka ambil menjadi keliru dan menimbulkan konflik tersendiri. Selain itu, istri juga
lebih rentan mengalami Marital Distress yang mendorong untuk berpikiran negatif.
Dengan adanya marital distress, konflik dapat diperburuk dengan adanya kekerasan
fisik pada pasangan, pelontaran kekerasan secara verbal, sikap bertahan, dan menarik
diri dari interaksi pasangannya. Terjadinya kekerasan fisik ditandai dengan adanya
perilaku yang menunjukkan kekerasan fisik dari salah satu pasangan kepada
pasangannya; atau kedua pasangan tersebut menunjukkan kekerasan fisik. Contohnya
menampar pasangannya atau saling memukul. Pelontarkan kekerasan secara verbal
ditandai dengan adanya perilaku yang menunjukkan penghinaan, kecaman atau
ancaman yang dilontarkan oleh salah satu pasangan kepada pasangannya; atau kedua-
duanya saling menyerang secara verbal yang berakibat menyakiti atau melukai
perasaan pasangannya saat konflik terjadi.

5. Dampak Konflik Keluarga pada Anak


Kondisi keluarga yang tidak hormonis akibat konflik ini akan membuat anak
tertekan dan kehilangan pegangan dalam mengembangkan kepribadiannya. Keadaan
tertekan berarti tidak ada lagi orang yang dapat dijadikan model untuk ditiru.
Akibatnya, situasi dalam rumah menjadi tegang, frekuensi dan kualitas komunikasi
pun berkurang. Remaja dalam situasi seperti ini menjadi aman. Apalagi jika konflik
kedua orang tua sering terjadi dan berlangsung lama. Keadaan ini akan lebih
memperburuk situasi dan pada gilirannya anak akan merespons situasi ini dengan
caranya sendiri. Oleh karena itu menyaksikan konflik orang tua dalam suatu keluarga
bagi anak tentu tidak akan memberikan rasa aman dan ketentraman batin. Bahkan
adanya konflik keluarga antara ayah dan ibu, kemungkinan dapat menjadi sumber
penyebab anak bertindak cenderung agresif sebagai cara pelampiasan rasa marah,
kecewa, dan bentuk protes ketidaksetujuan lainnya.
B. Konflik Keluarga dan Remaja
1. Persepsi Konflik Perkawinan
McGonagle dkk dalam Sears dkk (1994) menyatakan bahwa pada
pasangan yang sudah menikah, konflik merupakan keadaan yang sudha biasa
terjadi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gurin dkk
dalam Sears dkk (1994), yang menyimpulkan bahwa konflik akan senantiasa
terjadi dlaam kehidupan perkawinan. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil
penelitiannya dimana 45% orang yang sudah menikah mengatakan bahwa dalam
kehidupan bersama akan selalu muncul berbagai masalah, dan 32% pasangan
yang menilai pernikahan mereka sangat membahagiakan melaporkan bahwa
mereka juga pernah mengalami pertentangan. Konflik yang timbul dari upaya
penyelesaian masalah ketika tidak terpecahkan dan terselesaikan akan
mengganggu dan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam hubungan suami istri
tersebut.
Kartono (1992) menyatakan bahwa wanita lebih banyak menunjukkan
tanda-tanda emosional. Hal ini terlihat bahwa wanita lebih cepat bereaksi dengan
hati yang penuh ketegangan, lebih cepat berkecil hati, bingung, takut dan cemas.
Sadarjoen (2005) menyatakan bahwa konflik tersebut muncul karena adanya
persepsi-persepsi, harapan yang berbeda serta ditunjang oleh keberadaan latar
belakang, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum
memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan.
Pelontaran kekerasan secara verbal ditandai dengan adanya perilaku yang
menunjukkan penghinaan, kecaman atau ancaman yang dilontarkan oleh salah
satu pasangan kepada pasangannya; atau kedua-duanya saling menyerang secara
verbal berakibat menyakiti atau melukai perasaan pasangannya saat konflik
terjadi. Sikap bertahan sebagai bentuk upaya membela diri saat konflik terjadi atau
upaya mempertahankan diri atas serangan umpatan dari pasangannya. Sikap ini
bisa terjadi secara verbal dan tidak verbal, yaitu dengan sikap yang keras kepala
dan menggunakan logika, individu berusaha mempertahankan pendapatnya dan
merasa pendapatnyalah yang paling benar. Menarik diri dengan interaksi
pasangannya, yaitu perilaku yang menunjukkan penghindaran dengan
pasangannya dan biasanya pasangannya menunjukkan perilaku diam seribu
bahasa daripada melontarkan kekecewaan terhadap pasangannya. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian dalam buku yang kami kaji bahwa terjadi komunikasi
verbal yang digunakan untuk menyerang pasangannya, dan adanya gaya menarik
diri karena tidak ingin membahas dan ingin menghindar dari masalah yang ada.
Keterlibatan afeksional erat kaitannya dengan keterbukaan diri individu.
Bersikap terbuka terhadap pasangan menjadikan kedua pasangan peka terhadap
kritik, keputusan dan kemungkinan kekecewaan terhadap pencapaian harapannya.
Namun di sisi lain resiko untuk saling terbuka cenderung menciptakan permainan
umum yang meningkatkan sikap pertahanan diri masing-masing pasangan yang
ada pada awalnya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pasangan
agar tidak tersinggung secara terselubung memanipulasi relasi antar pasangan.
Kondisi tersebut tidak jarang pada akhirnya menimbulkan konflik yang intens
tersendiri antara pasangan tersebut.
Aspek kumulatif dari kehidupan perkawinan akan bertumpu pada satu titik
yaitu stress. Setiap waktu dan kesempatan individu akan dihadapkan pada masalah
yang kadangkala menimbulkan ketegangan dan memicu munculnya perilaku yang
tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai yang mereka anut. Ketika perilaku tersebut
bertahan, maka berangsur-angsur akan menimbulkan konflik.
Ketika resolusi konflik yang tentu saja terdiri atas perubahan-perubahan,
entah itu mengubah nilai yang selama ini mereka anut masing-masing maupun
mengubha kebiasaan, tidak mereka sepakati maka akan menimbulkan konflik
yang baru lagi. Diskusi dilakukan dengan tujuan untuk mencari alternatif yang
paling dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Kompetensi salah satu
pasangan akan berusaha agar pendapatnyalah yang digunakan dalam
menyelesaikan konflik. Pada kompetensi, salah satu pasangan mencari-cari
kesalahan atau menyalahkan pasangan, atau dapat juga dengan cara membujuk
atau merayu pasangan bahkan dengan cara memaksa secara langsung, sehingga
pada akhirnya pasangannya akan mengalah. Diskusi tersebut bisa dikatakan
sebagai diskusi koersif dimana salah satu pasangan memaksa pasangan lainnya,
namun diskusi koersif ini bisa membuat pasangannya menjadi lebih stress karena
berada dibawah paksaan dan lebih menegangkan dan hal tersebut sesuai dengan
yang ada pada buku yang telah kami analisis.
2. Persepsi Konflik Orang Tua dan Remaja
Komunikasi antar remaja dan orang tua, biasanya bukan saja
membicarakan tentang aktivitas remaja saja, namun sebaliknya orang tua
membicarakan tentang kegiatan atau permasalahan orang tua. Bagi remaja sendiri
banyak yang menyadari bahwa sebuah konflik timbul akibat ulah mereka sendiri.
Remaja menyadari hal ini sebagai bentuk ketidak disiplinan mereka atau
penegakan peraturan di keluarga. Untuk komunikasi sehari-hari, remaja memilih
untuk berkomunikasi dengan ibu, karena ibu dianggap sebagai tempat
mencurahkan masalah dan tempat bertanya, selain itu ibu lebih terbuka dan
mendukung keputusan remaja, sesuai dengan yang tercantum dalam buku yang
kami analisis.
Konflik dalam keluarga sangatlah kompleks, maka dari itu ibu lebih
senang apabila ayah dapat ikut berperan dalam merubah perilaku anak-anak.
Ketika anak laki-laki dan ayah sedang berdiskusi akan memunculkan sebuah
emosi positif dan rasa nyaman diantara keduanya karena saat berdiskusi lebih
melibatkan sarkasme, gurauan, dan pesan campuran daripada pesan yang
sebenarnya. Namun ketika dalam sebuah keluarga terdapat konflik, ayahlah yang
paling merasa tidak nyaman, sehingga terkadang ayah akan memilih untuk
menarik diri dan menghindar dari masalah.
Pada diskusi bersama, orang tua akan memberikan kesempatan remaja
untuk mengemukakan pendapat dan berargumentasi. Remaja merasa kesempatan
untuk mengemukakan pendapat juga berarti sebuah bentuk penerimaan orang tua
terhadap anak. Meskipun remaja memahami bahwa kondisi percakapan yang
mengandur unsur argumentasi akan sering terulang antara orang tua dan remaja,
inilah penyebab remaja kurang memiliki reaksi posited terhadap diskusi bersama
seperti yang tercantum dalam buku yang telah kami kaji. Namun remaja cukup
menyadari bahwa orang tua melakukan hal yang benar dan bagi kepentingan anak.
Remaja membedakan perlakuan yang berbeda dari pasangan orang tua,
yaitu antar ayah dan ibu. Jika orang tua tidak memiliki perilaku yang sama maka
remaja akan memilih pihak yang mau mendengarkan atau memberi kesempatan
berargumentasi. Pada keluarga remaja yang menggunakan diskusi koersif dalam
pandangan remaja mereka merasa kurang diberi kesempatan untuk menyampaikan
keinginan, menyampaikan pendapat, mengungkapkan ketidaksetujuan, atau
memiliki pilihan lain yang berbeda dengan pilihan orang tuanya.
Sebagian besar remaja bahkan beranggapan bahwa sebagai anak mereka
hanya berhak untuk mendengarkan pendapat orang tuanya, sehingga mereka
malas untuk berargumentasi, enggan menyatakan tidak suka atau tidak setuju
terhadap pendapat orang tua. Padahal mereka merasa bahwa dalam beberapa hal
konflik dirasakan belum selesai karena tidak adanya kesepakatan antara remaja
dan orang tua, atau remaja merasa orang tua membiarkan masalah yang terjadi
berlalu begitu saja tanpa ada penyelesaian. Namun sebagian remaja memiliki
reaksi positif terhadap diskusi koersif karena remaja hanya tinggal mematuhi apa
yang disampaikan oleh orang tua tanpa harus melakukan diskusi lanjutan, dan
karena remaja lebih sering berbagi cerita atau berdiskusi dengan temannya
sehingga remaja lebih memiliki reaksi positif pada diskusi koersif. Dari kondisi ini
dapat disimpulkan bahwa remaja masih kurang mampu membedakan antara gaya
diskusi konflik daripada orang tua mereka.

Anda mungkin juga menyukai