PENDAHULUAN
Jetse Sprey (1969) menyatakan bahwa keluarga dapat dilihat sebagai sistem di dalam
konflik yang terdiri dari “berlangsungnya konfrontasi antar anggota, konfrontasi antar
individu dengan konflik yang sering terjadi sesuai dengan situasi” (p.702). Terdapat bukti
yang dapat mendukung observasi tersebut. Secara relatif dalam suatu hubungan, orang
dewasa mengalami kritik dan konflik emosional yang paling tinggi di kehidupan pernikahan,
lalu terjadi juga konflik pada hubungan antar saudara, anak remaja, dan orang tua (Argyle &
Furnham, 1983). Walaupun beberapa catatan penelitian menunjukkan pertentangan adalah hal
yang paling sering terjadi di pasangan yang keadaan keluarganya kurang harmonis, meski
pun begitu di kehidupan harmonis sebuah pernikahan juga tidak dapat dipungkiri akan
mengalami perdebatan atau pertentangan (e.g., Borchler, Weiss, & Vincent, 1975; Kirchler,
Rodler, Holzl, & Meier 2001). Meskipun seringnya frekuensi sebuah konflik yang terjadi
dalam suatu keluarga menurun sesuai usia anak (Laursen Coy, & Collins, 1998; Steinmetz,
1977), Laporan terkait dengan kehidupan remaja menjelaskan bahwa sekitar 40% dari konflik
sehari – harinya adalah konflik dengan saudara dan juga orang tua (Jensen – Campbell &
Granzino, 2000).
Beberapa mantan pasangan suami istri pun sering berselisih setelah perceraian (e.g.,
Masheter, 1991), khususnya terkait dengan buah hatinya (Schaeffer, 1989). Secara pasti, tidak
semua waktu keluarga mengalami konflik pertentangan (e.g., Kirchler et eal, 2001), tetapi
bukti menunjukkan konflik pertentangan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dalam
kehidupan.
Potensi adanya hal negatif yang muncul akibat sebuah konflik sangat dapat terlihat. Hal
negatif tersebut terlihat dari pasangan yang berselisih akan merasakan stress (Kiecolt – Glaser
& Newton, 2001) dan juga berdampak bagi anak yang melihat orang tuanya berselisih (Davis
& Cummings, 1998). Orang tua dan anak mungkin dapat mengatakan hal yang menyakitkan
sehingga dapat merubah pandangan dan perasaan mereka satu sama lain (Mills, Nazar, &
Farrell, 2002). Pada suatu kasus, perselisihan dalam keluarga dapat meningkatkan peluang
terjadinya kekerasan fisik (Roloff, 1996). Intensitas pasangan dalam berselisih dan sifat
negatif mereka dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian (Mc Gonagle,
Kessler, & Gotlib, 1993). Konflik antar orang tua dapat berdampak pada perkembangan
sosial anak dan tingkah laku anak (Cummings, Goeke-Morey. & Papp, 2001).
Penjelasan mengenai keluarga, baik itu pengertiannya, dan juga mengenai isu
dalam konflik (Bagian1-2, pada volume ini). Pada bagian tersebut keluarga memiliki
kaitan dengan politik, moral, dan identitas implikasi, dan sulit untuk mendefinisikan
keluarga secara umum. Sehingga, tidak aneh banyak pengertian yang berbeda
mengenai definisi keluarga (Fitzpatrick & caughlin, 2002). Keluarga dapat dibagi
menjadi hubungan yang khusus, meskipun proses konflik yang terjadi masing –
masing memiliki korelasi (e.g., Noller, Feeney, Sheehan, & Peterson, 2000), efek
individualis mereka dalam keluarga pun bervariasi (e.g., shagle & Barber, 1993).
Konsekuensi tersebut dapat mempermudah untuk menginvestigasi konflik dalam
beberapa jenis hubungan yang ada di kehidupan keluarga yang sering terjadi juga di
keluarga lainnya.
a) Sosialisasi
b) Efek Pernikahan
3. Saudara Kandung
Konflik yang sering terjadi dalam kehidupan keluarga ialah konflik antara
saudara kandung atau adik dan kakak. Karena, sering terjadinya kesalah pahaman atau
tidak setuju dengan keputusan pendapat antara satu sama lain yang bertentangan
dengan apa yang mereka inginkan. Pertengkaran antara saudara akan terus
berlangsung dengan semakinbertambahnya usia dan tingkat perkembangan anak
tersebut. Dibandingkan dengan perbedaan pendapat ibu dan ayah, mereka lebih sering
berbeda pendapat dengan saudaranya sendiri dan biasanya pada usia anak prasekolah
sering melakukan kontak fisik yang menyebabkan salah satudari mereka mengalami
sakit secara fisik dan dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dalam kehidupan
keluarga antara anak-anak. Pada penilitan ini mengingat banyaknya konsekuensi yang
terjadi, peneliti melakukan invansi untuk memahami karakteristik konflik dan cara
orang tua dalam menggapi hal tersebut.
a) Karakterstik Konflik
Konflik biasanya sering terjadi pada anak yang usia dan jenis kelamin yang
sama, dan yang paling sering terjadi antara saudara perempuan. Menurut Raffaeli
(1992) bahwa konflik antar saudara praremaja atau remaja akhir berakhir dalam lima
menit dan jika konflik dengan saudara yang lebih tua biasanya berlangsung lama.
Pada saat konflik berlangsung kondisi mereka tidak nyaman atau tidak bahagia dan
merasa marah, namun perselisihan antara saudara kandungtidak pernah mencoba
untuk memperbaiki pertengkaran tersebut atau pun hanya menarik diri dan
membiarkannya. Graham-bermann, Cutler, Litzenberger, dan Schwartz (1994)
menemukan bahwa orang dewasa muda dan terutama wanita muda yang mengalami
pelecehan emosional dari saudara kandung sebagai seorang anak menunjukkan tingkat
penyesuaian emosional yang lebih rendah daripada mereka yang tidak mengalaminya.
Menurut Ross et al. (1994) menemukan bahwa orang tua terlibat dalam 59%
konflik saudara antara anak usia 2-4 tahun yang terjadi di hadapan mereka. Raffaeli
(1992) menemukan bahwa orang tua dari remaja terlibat hanya dalam 54% dari
konflik antara saudara. Keputusan untuk terlibat secara negatif terkait dengan
orientasi orang tua terhadap dukungan dan secara positif terkait dengan sejauh mana
mereka menghargai kesesuaian (mchale, updegraff, tucker, & crouter, 2000). Tidak
mengejutkan, orang tua sangat mungkin terlibat ketika konflik intens dan
membangkitkan reaksi emosional dari anak-anak (perlman & ross 1996; rooss et al,
1994). Biasanya orangtua jika terlibat dalam konflik saudara antara anak-anak,
mereka sering berpihak pada saudara yang tampaknya telah menjadi korban (Ross et
al, 1994) atau yang memiliki hak milik (Raffaeli, 1992). Namun, dengan terlibatnya
orangtua dalam konflik saudara biasanya menjadi tidak efektif dan dapat
menimbulkan rasa ketidak adilan antara saudara. Menurut Felson dan Ruso (1988)
bahwa orang tua sering berpihak pada saudara yang lebih lemah penelitian lain
menunjukkan bahwa perlakuan yang tidak setara pada saudara kandung berkorelasi
dengan meningkatnya konflik saudara (brody, stoneman, mccoy & forehad, 1992).
Selanjutnya, McHale (2000) menemukan bahwa intervensi orang tua ke dalam konflik
saudara misalnya hukuman, berkorelasi positif dengan negatif antara saudara kandung
dan dapat melatih misalnya memberikan saran, menjelaskan perasaan tidak
berhubungan.
Penelitian terus mempelajari sampel AS, ada semakin banyak penelitian yang
mencakup sampel non AS (misalnya Yau & smetana, 1996) atau mengisahkan
kelompok ravial etnik tertentu di negara-negara bagian (misalnya farver, narang, &
bhadha , 2002; flores, pasch & marin, 1999; vuchinich & de baryshe, 1997). Selain
itu, dengan semakin banyak keluarga campuran, para ahli telah berfokus pada konflik
keluarga tiri (coleman, denda, ganong, surut, & pauk 2001; hansin, Mclanahan &
Thomson, 1996; Macdonald & DeMaris, 1995). Indeed, Gotman (1999) melaporkan
bahwa 69% pasangan yang terlibat dalam penelitian memiliki masalah yang lama dan
panjang tanpa perubahan. Perselisihan ini cenderung menjadi konsekuensi bagi fungsi
keluarga. Cramer (2002) menemukan bahwa konflik yang belum terselesaikan sangat
tidak memuaskan dan memilih korelasi yang lebih kuat dengan kepuasan relasional
daripada proses yang digunakan untuk mencoba menyelesaikannya. Sayangnya, tidak
ada bukti yang jelas tentang bagaimana individu dapat menyelesaikan masalah ini
dengan baik. Kami memberikan 4 pertanyaan terkait mengenai penelitian.
Konflik keluarga yang khas menurut CRS mencakup tiga faktor : (a)
bertarung/bertengkar (menyerang atau bertindak agresif atau koersif), (b) menghindari
(menolak untuk mendiskusikan masalah atau menyangkal bahwa ada masalah), dan
(c) timbal balik (mendengarkan dan mencoba) untuk memahami sudut pandang
masing-masing)
1. Tipikalitas
2. Stress
Gaya koersif merupakan gaya yang dapat menimbulkan rasa tertekan berat /
stress berat terhadap anggota keluarganya. Sedangkan gaya timbal balik tidak
membuat anggota keluarga merasa tertekan berat karena konflik yang dihadapi
dirundingkan secara bersama-sama.
3. Kemungkinan resolusi
Konflik timbal balik dilihat lebih dapat diselesaikan daripada konflik lain, hal
ini menunjukkan bahwa anggota keluarga dapat membedakan dengan jelas antara
interaksi timbal balik pada rekaman dan interaksi yang melibatkan gaya negatif.
Selain itu, tampak jelas bahwa anggota keluarga mampu membedakan konstruktif
dari konflik yang semakin merusak. Remaja pada umumnya lebih optimis dalam
menghadapi kemungkinan konflik yang akan terselesaikan. Mungkin karena
masih lugu dan kurang berpengalaman daripada anggota keluarga lainnya.
4. Reaksi emosional
Gaya timbal balik paling banyak mendorong emosi yang positif, sementara
gaya koersif paling sedikit mendorong emosi yang positifnya. Gaya koersif
memicu lebih banyak emosi negatif daripada gaya penuntut / penarikan diri.
Memiliki anggota dari pasangan yang menyerang satu sama lain secara verbal
akan menjadi lebih menegangkan bagi anggota keluarga daripada memiliki satu
anggota menyerang dan yang lain mengundurkan diri/berdiam diri.
1. Tipikalitas
2. Stres
3. Kemungkinan Resolusi
Diskusi bersama dinilai lebih tipikal, tidak terlalu membuat stress, lebih
mungkin untuk diselesaikan, karena memunculkan emosi yang lebih positif dan
menilai gaya bersama lebih khas dari diskusi konflik orang tua di mana mereka
terlibat. Orang tua cenderung bertanggung jawab, tidak terlalu mudah menyerah
terhadap tuntutan yang tidak pantas pada remaja. Mungkin remaja melihat
argumen dengan orang tua sebagai bagian dari proses mendapatkan lebih banyak
kendali atas kehidupan mereka sendiri. Penyelesaian konflik menggunakan
diskusi koersif dinilai lebih membuat stres daripada orang tua mereka. Gaya
penindasan dan tuntutan orang tua atau remaja dinilai kurang mungkin untuk
diselesaikan daripada gaya bersama.
4. Reaksi Emosional
Secara keseluruhan, remaja, ibu, dan ayah melaporkan tingkat emosi positif
tertinggi ketika mendengarkan diskusi bersama dan tingkat terendah ketika
mendengarkan diskusi koersif. Remaja lebih suka orang tua terlibat, dan mengakui
bahwa masalah tidak dapat diselesaikan tanpa kerja sama mereka. Para ayah
mungkin beradaptasi kurang efektif untuk perspektif remaja, menjadi lebih kecil
kemungkinannya daripada ibu untuk mencari kesepakatan untuk menyelesaikan
konflik, dan kurang terlibat dalam diskusi dengan anak-anak mereka secara
umum. Para ayah juga melaporkan lebih banyak emosi positif untuk ibu dan
putrinya daripada untuk diskusi paksa antara ayah dan putrinya. Perbedaan ini
mungkin terkait dengan ketidaknyamanan ayah dengan konflik, serta harapan
mereka bahwa ibu akan mengambil tanggung jawab utama untuk memantau
kehidupan remaja. Ibu lebih memilih suami mereka untuk berada dalam peran
yang menuntut putra mereka, daripada harus berada di peran itu sendiri. Ibu dari
remaja laki-laki dapat merasakan impotensi tertentu dalam mencoba mendapatkan
perubahan perilaku pada putra mereka dan percaya bahwa ayah mungkin lebih
berhasil dalam mendapatkan perubahan perilaku putra mereka. Sementara itu, ibu
kelihatan senang menarik sebuah konflik dengan anak-anaknya, mereka kelihatan
senang ketika suami mereka tertarik. Temuan ini akan memberi dukungan pada
kemungkinan bahwa para ibu ingin ayah terlibat dalam konflik dengan putra
mereka.
Menurut anak laki-laki lebih banyak emosi positif untuk saling berdiskusi
dengan ayah daripada dengan ibu mereka. Diskusi timbal balik dengan para ayah
yang berbeda dengan ibu mungkin lebih menonjol untuk anak laki-laki. Hubungan
antara ayah dan putra remaja mereka cenderung melibatkan lebih banyak
sarkasme dan pesan campuran daripada pesan yang sebenarnya. Situasi ini dapat
membuat diskusi positif antara ayah dan mereka yang sangat bermanfaat bagi
remaja laki-laki. Hal ini memberi kesan bahwa dalam hal sederhana ini, orang tua
diinvestasikan dalam komunikasi positif dalam menyelesaikan masalah dengan
anak remaja mereka. Para ayah melaporkan mengalami emosi negatif yang secara
signifikan lebih besar daripada remaja atau ibu. Situasi ini lagi-lagi dapat menjadi
indikasi ketidaknyamanan ayah dengan konflik keluarga secara umum dan ibu
yang tidak suka menuntut remaja, juga remaja mungkin lebih terbiasa dengan
tuntutan dari ibu mereka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konflik Keluarga
Beberapa fakta yang terjadi akhir-akhir tentang konflik dalam keluarga dapat
ditinjau dari beberapa aspek. Antara lain misalnya konflik antara anak dan orang tua
atau konflik antara suami dan istri. Disisi lain konflik keluarga dapat memicu
terjadinya hal-hal seperti kekerasan dalam rumah tangga, tawuran remaja, kurangnya
toleransi masyarakat, penyalahgunaan narkoba dan bunuh diri. Sehingga peran
keluarga juga diperlukan dalam proses pendidikan masyarakat selain sosialisasi nilai-
nilai melalui dunia pendidikan. Di budaya timur yang disebut keluarga adalah mereka
yang terikat dalam ikatan perkawinan yang sah. Selain itu jumlah anggota keluarga di
masyarakat barat biasanya hanya terdiri dari anggota keluarga inti yaitu ayah, ibu dan
anak. Sedangkan di masyarakat Timur konsep anggota keluarga bukan hanya terdiri
dari keluarga inti namun termasuk anggota keluarga yang lain seperti nenek, kakek,
adik, keponakan dan sebagainya. Akses para anggota keluarga terhadap kekuasaan
dan sumberdaya berbeda. Ketidaksamaan atau asimetri yang melekat pada sistem
keluarga inilah yang merupakan dasar konflik, dan ini muncul pada waktu para
anggota keluarga mengadkan tawar-menawar dan bersaing untuk meraih kedudukan
dan hal-hal yang dinilai tinggi. Walaupun ketegangan dan potensi konflik terus
menerus hadir, tujuan-tujan bersama dan cinta yang timbal balik menyebabkan para
anggota keluarga saling terikat. Asumsi yang lain adalah bahwa konflik dalam
keluarga dapat membawa akibat positif dan negatif dan bila onflik ditekan, maka hal
demikian dapat menimbulkan akibat yang buruk pada anggota keluarga. Bila konflik
tidak muncul, maka tidak berarti bahwa kebahagiaan sudah terjamin. Konflik terjadi
dalam keluarga dalam rangka upaya-upaya para angota keluarga untuk
memperebutkan sumber-sumber daya yang langka yaitu hal-hal yang diberi nilai,
seperti uang, perhatian, kekuasaan dan kewenangan dalam memainkan peranan
tertentu. Para anggota keluarga dapat juga merundingkan atau mengadaka proses
tawar menawar dalam mencapai tujuan yang saling berkompetisi. Interaksi yang
bersifat konflik berkisar dari interaksi yang bersifat verbal sampai kepada yang
bersifat fisik. Interaksi yang penuh masalah terjadi bila tidak ada aturan-aturan
semacam itu, atau bila aturan aturan tidak ditetapkan secara konsekuen, atau bila
aturan-aturan itu itu hanya diterima oleh satu pihak saja.
1. Konsep Konflik
Konflik memiliki berbagai macam elemen diantaranya bahwa konflik
memiliki efek negatif dan positif, konflik dapat berfokus pada isi pembicaraan
atau materi permasalahan namun konflik juga dapat terkait dengan pribadi
pelakunya. Konflik memiliki beberapa bentuk atau gaya dan konflik juga
ditentukan oleh faktor budaya. Sehingga pembahasan mengenai konflik dapat
ditinjau dari berbagai macam aspek dan yang lebih menarik adalah mengetahui
dampak konflik serta mengaitkannya dengan penyebab konflik. Konflik sendiri
tidak dapat dihindari ketika seseorang berhubungan dengan orang lain. Bahkan
konflik pun dapat terjadi dengan individu tanpa melibatkan orang lain. Disebutkan
bahwa konflik meiliki beberapa tahapan proses yaitu tahap kondisi awal, tahap
frustasi dan penyadaran, tahap aktif, tahap solusi atau tidak tercapai solusi, tahap
tindak lanjut dan tahap resolusi.
2. Karakteristik Konflik
Konflik terjadi dalam keluarga dalam rangka upaya-upaya para anggota
keluarga untuk memperebutkan sumber-sumber daya yaitu hal-hal yang diberi
nilai, seperti uang, perhatian, kekuasaan dan kewenangan dalam memainkan
peranan tertentu. Para anggota keluarga dapat juga merundingkan atau mengadaka
proses tawar menawar dalam mencapai tujuan yang saling berkompetisi dan juga
memperebutkan peran. Salah satu contoh yang dapat dilihat yaitu konflik yang
terjadi akibat memperebutkan uang baik dengan orang tua atau pun saudara.
Faktor uang dapat memicu terjadinya konflik karena adanya beban ekonomi yang
menyebabkan seseorang rela menggapai tujuannya tanpa memikirkan kesepakatan
bersama. Di Indonesia sendiri sudah sering terjadi kasus perselisihan akibat
perebutan harta gono gini, harta warisan maupun akibat utang piutang yang pada
akhirnya terjadi perselisihan dan kekerasan.
4. Konflik Pasangan
Konflik selalu ada di tempat kehidupan bersama, bahkan dalam hubungan
yang sempurna sekalipun konflik tidak dapat dielakkan dan konflik semakin
meningkat dalam hubungan yang serius. Setiap saat dimana terdapat dua orang
atau dua kelompok yang akan me-ngambil keputusan mempunyai potensi untuk
menimbulkan suatu konflik. Demikian pula halnya dengan kehi-dupan
perkawinan. Kebahagiaan meru-pakan hal utama yang menjadi tujuan dan sangat
diharapkan dari sebuah perkawinan. Namun untuk mencapai suatu kebahagiaan
perkawinan bukanlah sesuatu hal yang mudah karena kebahagiaan perkawinan
akan tercapai apabila pa-sangan suami istri memiliki kualitas interaksi perkawinan
yang tinggi. Dalam suatu perkawinan terkadang apa yang diharapkan oleh
masing-masing individu tidak sesuai dengan kenyataannya setelah individu
tersebut menjalani bahtera rumah tangga. Perkawinan menuntut ada-nya
perubahan gaya hidup, menuntut adanya penyesuaian diri terhadap tuntutan peran
dan tanggung jawab baru baik dari suami maupun istri. Ketidakmampuan untuk
melakukan tuntutan-tuntutan tersebut tidak jarang menimbulkan perten-tangan,
perselisihan dan bahkan berakhir dengan perceraian. Perselisihan, pertentangan
dan konflik dalam suatu rumah tangga merupakan sesuatu yang terkadang tidak
bisa di-hindari, tetapi harus dihadapi.
Ditinjau dari intensitas kecenderungan laki-laki dan perempuan untuk terlibat
dalam suatu lingkaran konflik rumah tangga, maka perempuan lebih rentan untuk
mengalami konflik. Hal ini disebabkan perempuan ketika telah menikah, mereka
sanggup untuk menyerahkan diri secara total pada pasangannya, menyatakan bahwa
wanita lebih banyak menunjukkan tanda-tanda emosional. Hal ini terlihat bahwa
wanita lebih cepat bereaksi dengan hati yang penuh ketegangan, lebih cepat berkecil
hati, bingung, takut dan cemas. Selain itu, kesatuan totalitas dari tingkah laku wanita
bukan terketak pada kesadaran obyektif menuju pada satu tujuan, akan tetapi lebih
terletak pada kehidupan perasaannya, yang didorong oleh afek-afek dan sentimen-
sentimen yang kuat, yang pada akhirnya membuat dugaan dan perhitungan yang
mereka ambil menjadi keliru dan menimbulkan konflik tersendiri. Selain itu, istri juga
lebih rentan mengalami Marital Distress yang mendorong untuk berpikiran negatif.
Dengan adanya marital distress, konflik dapat diperburuk dengan adanya kekerasan
fisik pada pasangan, pelontaran kekerasan secara verbal, sikap bertahan, dan menarik
diri dari interaksi pasangannya. Terjadinya kekerasan fisik ditandai dengan adanya
perilaku yang menunjukkan kekerasan fisik dari salah satu pasangan kepada
pasangannya; atau kedua pasangan tersebut menunjukkan kekerasan fisik. Contohnya
menampar pasangannya atau saling memukul. Pelontarkan kekerasan secara verbal
ditandai dengan adanya perilaku yang menunjukkan penghinaan, kecaman atau
ancaman yang dilontarkan oleh salah satu pasangan kepada pasangannya; atau kedua-
duanya saling menyerang secara verbal yang berakibat menyakiti atau melukai
perasaan pasangannya saat konflik terjadi.