Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan
sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian
setiap anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga
memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai
tokoh penting yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga disamping
beberapa anggota keluarga lainnya.
Anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak merupakan suatu
kesatuan yang kuat apabila terdapat hubungan baik antara ayah-ibu, ayah-anak
dan ibu-anak. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam
hubungan timbal balik antar semua pribadi dalam keluarga. Interaksi antar
pribadi yang terjadi dalam keluarga ini ternyata berpengaruh terhadap keadaan
bahagia (harmonis) atau tidak bahagia (disharmonis) pada salah seorang atau
beberapa anggota keluarga lainnya.
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga
merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan
puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi atau
aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial seluruh
anggota keluarga. Sebaliknya, keluarga disebut disharmonis apabila ada
seorang atau beberapa orang anggota keluarga yang kehidupannya diliputi
konflik, ketegangan, kekecewaan dan tidak pernah merasa puas dan bahagia
terhadap keadaan serta keberadaan dirinya.
Keadaan ini berhubungan dengan kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penyesuaian diri terhadap orang lain atau terhadap lingkungan sosialnya
Ketegangan maupun konflik dengan pasangan atau antara suami dan istri
merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak
ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah
tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan.
Apabila konflik dapat diselesaikan secara sehat maka masing-masing
pasangan (suami-istri) akan mendapatkan pelajaran yang berharga, menyadari
1

dan mengerti perasaan, kepribadian, gaya hidup dan pengendalian emosi


pasangannya sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan keluarga. Penyelesaian
konflik secara sehat terjadi bila masing-masing pihak baik suami atau istri
tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan
membuat solusi yang sama-sama menguntungkan melalui komunikasi dan
kebersamaan.
Oleh karena itu, kita perlu mengetahui apa-apa saja masalah-masalah yang
sering kali memicu konflik dalam institusi keluarga, agar dapat disikapi lebih
dini sebelum masalah tadi berujung pada sebuah konflik yang dapat
menghancurkan keutuhan keluarga.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Keluarga?
2. Apa itu Litigasi?
3. Apa itu Non Litigasi?
4. Bagaimana Strategi Advokasi Hukum?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Apa Definisi Keluarga
2. Mengetahui Apa itu Litigasi.
3. Mengetahui Apa itu Non Litigasi.
4. Mengetahui Bagaimana Strategi Advokasi Hukum.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Keluarga
Definisi keluarga dikemukakan oleh beberapa ahli :
1. Reisner (1980)
Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau
lebih yang masing-masing mempunyai hubungan kekerabatan yang terdiri
dari bapak, ibu, adik, kakak, kakek dan nenek.
2. Logans (1979)
Keluarga adalah sebuah sistem sosial dan sebuah kumpulan
beberapa komponen yang saling berinteraksi satu sama lain.
3. Gillis (1983)
Keluarga adalah sebagaimana sebuah kesatuan yang kompleks
dengan atribut yang dimiliki tetapi terdiri dari beberapa komponen
yang masing-masing mempunyai arti sebagaimana unit individu.
4. Duval
Keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh
ikatan

perkawinan,

meningkatkan

dan

adopsi,

kelahiran

mempertahankan

yang

bertujuan

untuk

budaya

yang

umum,

meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari


tiap anggota.
5. Bailon dan Maglaya
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih individu yang
bergabung karena hubungan darah, perkawinan, atau adopsi, hidup
dalam satu rumah tangga, saling berinteraksi satu sama lainnya dalam
perannya dan menciptakan dan mempertahankan suatu budaya.
6. Johnsons (1992)
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang mempunyai
hubungan darah yang sama atau tidak, yang terlibat dalam kehidupan
yang terus menerus, yang tinggal dalam satu atap, yang mempunyai
ikatan emosional dan mempunyai kewajiban antara satu orang dengan
orang yang lainnya.
7. Lancester dan Stanhope (1992)
Dua atau lebih individu yang berasal dari kelompok keluarga yang
sama atau yang berbeda dan saling menikutsertakan dalam kehidupan

yang terus menerus, biasanya bertempat tinggal dalam satu rumah,


mempunyai ikatan emosional dan adanya pembagian tugas antara satu
dengan yang lainnya.
8. Jonasik and Green (1992)
Keluarga adalah sebuah sistem yang saling tergantung, yang
mempunyai dua sifat (keanggotaan dalam keluarga dan berinteraksi
dengan anggota yang lainnya).
9. Bentler et. Al (1989)
Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang unik yang
mempunyai kebersamaan seperti pertalian darah/ikatan keluarga,
emosional, memberikan perhatian/asuhan, tujuan orientasi kepentingan
dan memberikan asuhan untuk berkembang.
10. National Center for Statistic (1990)
Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau
lebih yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, atau adopsi
dan tinggal bersama dalam satu rumah.
11. Spradley dan Allender (1996)
Satu atau lebih individu yang tinggal bersama, sehingga
mempunyai ikatan emosional, dan mengembangkan dalam interelasi
sosial, peran dan tugas.
B. Litigasi
1. Litigasi
Advokasi Litigasi adalah salah satu bentuk advokasi hukum yang
dilakukan melalui proses pengadilan, bahkan sebelum kasus atau satu
perkara di sidangkan ke pengadilan, pendampingan klien atas pemeriksaan
atau penyidikan di tingkat kepolisian, serta proses penuntutan di tingkat
kejaksaan dapat juga dikatagorikan sebagai bentuk litigasi.
Di dalam melaksanakan advokasi hukum dalam bentuk litigasi ini
jelas dibutuhkan keahlian dan ketrampilan serta pengetahuan tentang
prosedur hukum beracara mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga
tingkat pengadilan. Lazimnya proses advokasi hukum yang demikian ini
dilakukan oleh kelompok professional yang memiliki izin untuk itu, yang

biasanya dikenal dengan sebutan advokat atau penasehat hukum.


Penasehat hukum biasanya dalam mengadvokasi kliennya mulai dari:
a. Pemeriksaan Pendahuluan
Adalah pemeriksaan tahap awal terhadap seorang tersangka yang
dilakukan oleh penyidik. Kedudukan dari seorang tersangka dalam
pemeriksan pendahuluan menurut sistem H.I.R, adalah sebagai
obyeknya yang harus diperiksa atau obyek pemeriksaan artinya
sebagai barang yang harus diperiksa wujudnya berhubung dengan
adanya suatu persangkaan.
b. Pemeriksaan Persidangan
Adalah pemeriksaan terhadap seorang terdakwa didepan sidang
pengadilan,

dimana

hakim

mengadili

perkara

yang

diajukan

kepadanya. Pemeriksaan persidangan ini berarti serangkaian tindakan


hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana. Pada
persidangan ini terdakwa bebas memilih penasihat hukum untuk
membantu terdakwa apabila hakim yang memeriksa menyalahi
wewenang dan juga mengarah berat sebelah dengan penuntutan,
sehingga akan merugikan hak azasi terdakwa dan terdakwa akan
kehilangan hak azasinya. Peranan advokasi hukum dalam hal ini
membantu melancarkan persidangan dan berusaha sekuat dan segala
kemampuannya untuk membantu meringankan penderitaan terdakwa.

c. Pemeriksaan biasa
Apabila pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara yang
diajukan kepadanya termasuk wewenangnya, maka ketua pengadilan
negeri menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan
hakim yang bersangkutan menetapkan hari sidang, memeritahkan
penuntut umum memanggil terdakwa dan saksi untuk datang
dipersidangan dengan surat panggilan yang sah yang harus deterima
yang bersangkutan selambat lambatnya tiga hari sebelum sidang.
( pasal 145, pasal 146, pasal 152, UU, No.8 th 1981 ).

Acara pemeriksaan biasa dimulai dengan pembukaan sidang oleh


hakim ketua sidang yang menyatakan sidang dibuka untuk umum,
kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak anak yang
menurut undang undang harus disidangkan secara tertutup. Yang
lebih dahulu diperiksa dalam sidang pengadilan adalah terdakwa, lalu
saksi korban, lalu saksi saksi lain baik yang meringankan maupun
yang memberatkan terdakwa. Penuntut umum dan penasihat hukum
mendapat kesempatan bertanya juga. Pada permulaan sidang, hakim
ketua

menanyakan

identitas

terdakwa

secara

lengkap

dan

mengingatkan agar terdakwa memperhatikan segala yang didengar dan


dilihat dalam sidang.
Kemudian hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk
membacakan surat dakwaan dan menanyakan kepada terdakwa apakah
sudah mengerti tentang dakwaan itu. Apabila tidak mengerti, maka
penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi
penjelasan yang diperlukan. Selanjutnya terdakwa atau penasihat
hukumnya dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak
berwenang memeriksa perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima
atau surat dakwaan harus dibatalkan dan kepada penuntut umum diberi
kekuasaan untuk menanyakan pendapatnya. Atas keberatan tersebut
hakim

mempertimbangkan

dan

untuk

selanjutnya

mengambil

keputusan. Apabila hakim menyatakan keberatan tersebut diterima,


maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, dan apabila tidak
diterima atau hakim berpendapat hat tersebut baru dapat diputus
setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Apabila
penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan hakim tersebut, maka
ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui
pengadilan negeri yang bersangkutan.
Terdakwa atau penasihat hukumnya dapat juga mengajukan
perlawanan terhadap keputusan hakim tersebut kepada pengadila tinggi
dan dalam waktu empat belas hari sejak diajukannya perlawanan
tersebut apabila pengadilan tinggi menerimanya, maka dengan surat
6

penetapannya

membatalkan

putusan

pengadilan

negeri

dan

memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa


perkara itu. Perlawanan terdakwa tersebut dapat diajukan bersama
sama dengan permintaan banding. Apabila pengadilan yang berwenang
memeriksa perkara itu berkedudukan didaerah hukum pengadilan
tinggi lain, maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut
kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang
berwenang ditempat itu.
Keputusan hakim dapat berupa salah satu dari tiga kemungkinan,
yaitu :
1) Pembebasan atau putusan bebas, jika kesalahan terdakwa tidak
2)

terbukti.
Lepas dari tuntutan hukum, jika perbuatan terdakwa terbukti

3)

tetapi bukan merupakan tindak pidana.


Pemidanaan atau pidan, jika kesalahan terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan.

C. Non Litigasi
1. Non litigasi
Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif penyelesaian
sengketa di Luar Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi. Alternatif
penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara
penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup
tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hokum. Peran dan fungsi
peradilan,

dianggap

mengalami

beban

yang

terlampau

padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya


mahal(very

expensif) dan

kurng

tanggap (unresponsive) terhadap

kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis (formalistic) dan


terlampau teknis (technically).

Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun


1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain
dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat
dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Berikut adalah contoh strategi dalam advokasi non litigasi bagi
PTK-PNF oleh LKBH:
Menurut Fiona Boyle et al., advokasi hukum tidak lain adalah seni
tentang persuasi di dalam konteks hukum, yakni suatu persuasi yang
berakar kepada pemahaman suatu kasus, dan pengetahuan yang cukup
terhadap peraturan perundang-undangan, serta kemampuan persuasif
sebelum kasus tersebut diperiksa di dalam pengadilan atau tribunal.
Berdasarkan rumusan yang demikian ini kemampuan advokasi
sangat erat dengan unsur pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum
yang berlaku. Kemampuan advokasi hukum lainnya yang tidak kalah
pentingnya adalah kemampuan interview, menyusun ilustrasi kasus
(kronologi kasus), serta kemahiran di bidang penelitian dan analisis kasus
hukum. Kemampuan tersebut pada prinsipnya dapat memberikan arah dan
fokus advokasi yang efektif, yakni menentukan apakah suatu kasus adalah
kasus hukum atau bukan; bentuk advokasi hukum yang dibutuhkan; serta
strategi mana yang dianggap paling sesuai untuk mencapai hasil yang
diinginkan.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya di dalam proses advokasi
adalah faktor persiapan yang sudah dilakukan oleh pihak yang akan
melakukan advokasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan suatu
advokasi sangat ditentukan oleh bagusnya persiapan yang dilakukan
sebelum advokasi dilakukan. Hal ini kiranya sangat sesuai dengan
ungkapan yang menyatakan bahwa persiapan yang memadai merupakan
setengah langkah dari keberhasilan. Adapun jenis persiapan yang perlu
dilakukan di dalam melakukan advokasi antara lain meliputi identifikasi
kasus, yakni usaha untuk mendapatkan ilustrasi tentang anatomi kasus;
menginventarisir bahan-bahan hukum; menganalisis alat-alat bukti;

menyusun atau mengkonstruksi advokasi hukum serta memprediksi


berbagai kemungkinan yang bakal terjadi terhadap jalannya kasus.
Di samping itu persiapan penting lainnya adalah mempersiapkan
diri si pemberi advokasi bahwa dirinya benar-benar yakin dan memiliki
waktu dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus yang tengah
dihadapainya, atau setidaknya dia memiliki referensi alternatif, manakala
kasus yang ditangani tersebut terhenti di tengah jalan, maka advokasi
substitusi sudah siap untuk menggantikannya.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan secara sederhana
beberapa tahapan penting untuk dilakukan di dalam melakukan advokasi,
yaitu:
a. Identifikasi dan analisis kasus;
b. pemberian pendapat hukum (legal memorandum); dan
c. praktek pendampingan hukum.

2. Tahap Identifikasi dan Analisis Kasus


Bahwa langkah pertama yang harus dilakukan di dalam proses
advokasi hukum ialah melakukan identifikasi permasalahan atau kasus
hukum yang hendak ditangani. Asumsinya adalah semakin awal diketahui
seluruh aspek kasus hukum yang menjadi obyek advokasi, maka semakin
fokus dan akurat advis dan langkah hukum yang akan dilakukan.
Sebagaimana diketahui, bahwa setiap kasus hukum tidak selalu
berdimensi tunggal, akan tetapi tidak jarang suatu kasus mencakup di
dalamnya lebih dari satu dimensi hukum, baik dimensi pidana, perdata
bahkan juga dimensi hukum administrasi. Sebagai contoh sederhana, kasus
hukum kekerasan di dalam proses belajar-mengajar --pemukulan peserta
didik yang dilakukan oleh oknum pendidik dengan dalih penegakan
disiplin- setidaknya ada tiga aspek hukum yang bisa dikenakan dalam
kasus ini, yaitu aspek pidana (penganiayaan); aspek perdata (ganti rugi
atas dasar pebuatan melawan hukum); serta aspek hukum administrasi
(pemberian skorsing, penghentian sementara tugas mengajar).
Akan tetapi tidak jarang pula suatu persoalan yang dimintakan
advokasi hukum justru sama sekali bukan termasuk bidang garapan
9

advokasi hukum melainkan garapan bidang institusi lainnya. Misalnya


permasalahan keinginan sejumlah PTK-PNF untuk diangkat statusnya
menjadi pegawai negeri sipil. Jelas yang demikian ini bukan fokus
advokasi hukum, melainkan bagian dari urusan biro kepegawaian. Oleh
karena masalah tersebut bukan ranah hukum, akan tetapi masuk ke dalam
katagori ranah administrasi.
Berdasarkan hal demikian ini, langkah identifikasi aspek hukum
suatu kasus adalah sangat penting di dalam proses advokasi hukum. Proses
identifikasi yang akurat dan obyektif, akan menghasilkan langkah dan
a.

strategi yang tepat di dalam proses advokasi hukum, yaitu:


Sejak dini sudah dapat dipastikan bahwa kasus tersebut perlu

b.

dilakukan advokasi hukum ataukah tidak;


Bahwa jika kasus tersebut adalah kasus hukum, maka aspekhukum

c.

apakah yang perlu diprioritaskan advokasi hukumnya;


Jika kasus tersebut di luar bidang keahliannya perlukah meminta

d.

bantuan tenaga yang lebih expert;


Ataukah tidak sebaiknya kasus tersebut disarankan untuk ditangani
oleh pihak yang lebih berkompeten, dan seterusnya.
Selanjutnya langkah yang mesti ditempuh pasca identifikasi aspek
hukum suatu kasus adalah fase analisis kasus (case analysis . Bahwa
tahap analisis kasus ini dilakukan adalah untuk mengetahui secara obyektif
duduk persoalan atau fakta empiris dari suatu kasus dengan cara
mengumpulkan informasi dan berbagai alat bukti yang berkaitan dengan
kasus tersebut.
Kemudian setelah itu dilakukan pula proses inventarisasi peraturan
hukum maupun jurisprudensi yang berhubungan dengan kasus yang perlu
diadvokasi tersebut. Bahkan perburuan informasi melalui literatur dan
studi kepustakaan adalah sesuatu yang niscaya di dalam menganalis suatu
kasus, karena ada kemungkinan kasus yang tengah dihadapi ternyata
pernah terjadi atau setidaknya mirip dengan kasus di tempat lain.
Seterusnya jika dirasa perlu, konsultasi dengan kaum intelektual hukum
yang ahli di bidangnya perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan suatu
kasus.
10

Berdasarkan serangkaian investigasi fakta dan norma hukum tersebut,


maka kasus tersebut setidaknya telah diketemukan jawabannya secara
hipotetis atau secara apriori, yakni:
1)

tentang kedudukan klien, posisinya kuat (pihak yang benar) ataukah

2)

justru lemah (pihak yang salah);


alat-alat bukti apakah yang mesti dihadirkan untuk memperkuat posisi

3)
4)

klien;
strategi apakah yang perlu ditempuh di dalam proses advokasi tersebut;
prediksi mengenai probabilitas berhasil tidaknya advokasi hukum itu,
dan seterusnya.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan, bahwa langkah

identifikasi masalah dan analisis kasus pada dasarnya adalah ketrampilan


hukum atau lebih tepatnya ketrampilandi bidang penelitian hukum.
a. Tahap Pemberian Pendapat Hukum (Legal Memorandum)
Pendapat hukum atau legal memorandum sesungguhnya adalah
salah satu jenis penulisan esai yang berkenaan dengan isu hukum. Memo
hukum ini biasanya ditulis bedasarkan hasil kajian dan penelusuran
hukum oleh mahasiswa hukum maupun advokat. Isi memo hukum
tersebut antara lain berkenaan dengan isu atau permasalahan hukum,
kesimpulan, diskusi penerapan hukum terhadap suatu peristiwa, catatan
atau kemungkinan implikasi hukum kasus tersebut, serta rekomendasi
yang dihasilkan berdasarkan diskusi.
Dalam kaitannya dengan tahapan advokasi sebelum ini, yaitu tahap
identifikasi dan analisis kasus, maka pendapat hukum atau memo hukum
ini tidak lain adalah catatan pihak pemberi layanan advokasi terhadap
kliennya mengenai posisi kasus, prediksi kasus, catatan-catatan kritis
atas kasus tersebut, serta rekomendasi yang disarankan untuk dilakukan
oleh klien.
Bahwa pemberian pendapat hukum ini harus diberikan secara
obyektif dan tidak boleh ditutup-tutupi, termasuk konsekuensi atau
dampak yang akan terjadi manakala kasus tersebut terpaksa diselesaikan
melalui mekanisme advokasi hukum. Dengan demikian, diharapkan

11

keputusan yang diambil klien betul-betul obyektif, tidak emosional dan


tidak obsesif atau wishful thinking.
b. Tahap Pendampingan Hukum
Bahwa pada tahap ini, pihak penyedia layanan advokasi hukum
(LKBH) telah menyatakan kesediaanya untuk melakukan advokasi
hukum sebagaimana dikehendaki oleh pihak klien. Berkenaan dengan
implementasi advokasi hukum ini ada baiknya diperhatikan, hal-hal
yang perlu ditegaskan di dalam proses advokasi agar dapat berjalan
efektif. Yaitu:
1) Aspek legitimasi proses advokasi hukum melalui pemberian surat
kuasa;
2) Aspek kontraktual yang berisi kesepakatan mengenai hak dan
kewajiban masing-masing pihak;
3) Aspek logistik atau yang berkenaan dengan masalah finansial yang
dibutuhkan selama proses advokasi tersebut.
Dalam kaitan ini, ada baiknya sebagai ilustrasi perbandingan,
diketengahkan ketentuan, syarat,
dilakukan oleh LKBH

prosedur advokasi hukum yang

Universitas Muhammadiyah Malang yang

menjadi partner Direktorat PTK-PNF, yakni antara lain:


Bahwa advokasi hukum diberikan kepada:
1)

Tenaga pendidik yang masih berstatus PTK-PNF, yang dibuktikan


dengan surat keputusan atau surat tugas PTK-PNF yang diterbitkan

2)

oleh pejabat yang berwenang;


Terdapat permasalahan hukum atau permasalahan profesi yang
terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai PTK-PNF; dan Layanan
advokasi hukum tidak dikenai biaya apapun.Sementara itu
prosedur advokasi hukum diberikan kepada PTK-PNF dengan
cara: PTK-PNF yang bersangkutan atas inisiatif sendiri atau atas
permintaan asosiasi mengajukan permohonan advokasi hukum,
baik secara lisan maupun secara tertulis; LKBH segera melakukan
verifikasi terhadap permohonan yang diajukan; Jawaban atau
rekomendasi dari LKBH diberikan secara tertulis paling lambat
tujuh hari setelah permohonan masuk.

12

Selanjutnya penanganan kasus melalui advokasi hukum yang


dilakukan LKBH, setidaknya harus memenuhi empat indicator, yakni:
1)
2)
3)
4)

Aspek kemendesakan (urgensi);


Aspek tingkat ancaman;
Aspek hasil analisis kasus; dan
Aspek rekomendasi.

D. Strategi Advokasi Hukum


Strategi yang digunakan di dalam proses advokasi hukum tentunya sangat
ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan di dalam keseluruhan proses
advokasi. Strategi yang dipilih juga bergantung kepada cara pandang terhadap
advokasi itu sendiri, yakni berkaitan dengan seberapa besar harapan yang akan
diperoleh berupa konsesi, pemberian timbal balik, maupun solusi yang
mungkin bisa dicapai. Dengan kata lain strategi dapat dimaknai sebagai taktik
yang digunakan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai dengan yang
diharapkan.
Sesungguhnya di dalam literatur tidak dijumpai model strategi advokasi
hukum, oleh karena proses advokasi hukum tidak berkaitan dengan teknik
meyakinkan pihak lawan dengan bujukan, ancaman atau pun tawaran berupa
pemberian suatu konsesi tertentu. Advokasi hukum justru melakukan persuasi
kepada pihak lawan dengan menggunakan dalil-dalil hukum dan fakta-fakta
obyektif untuk memaksa lawan melakukan tindakan tertentu. Model strategi
yang dikenal dalam proses advokasi, justru dijumpai di dalam salah satu
varian advokasi hukum yaitu proses negoisasi. Jika strategi negoisasi itu
dianalogikan terhadap proses advokasi hukum, maka strategi advokasi hukum
dibedakan atas lima macam, yakni:
1. Strategi Kompetitif
Strategi ini menggunakan pendekatan diameteral atau saling
berhadap-hadapan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya.
Kedudukan masing-masing pihak berada di antara posisi ekstrim yaitu
menang atau kalah. Tujuan

yang hendak dicapai melalui strategi

kompetitif adalah untuk menghancurkan kepecayaan diri pihak lawan. Di

13

samping itu juga diharapkan memperoleh keuntungan sebanyak mungkin


dari pihak lawan yang kalah. Kelebihan strategi adalah:
a.

Sangat membantu penyelesaian kasus terutama kasus kecil atau

b.

sederhana;
Bersifat intimidatif, terutama dalam kondisi perimbangan kekuatan
yang timpang; dan Efektif digunakan pada awal advokasi hukum,
ketika pihak lawan belum mengetahui kekuatan atau kelemahan yang
sesungguhnya.
Sedangkan kekurangan strategi ini adalah:
a. Tidak kreatif untuk mencari solusi alternatif;
b. Tidak realistis;
c. Sulit untuk dilakukan dalam waktu yang agak lama;
d. Dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan.
2. Strategi Kooperatif;
Pendekatan kooperatif di sini dimaksudkan untk memperoleh hasil
yang terbaik dari masing-masing pihak. Para pihak bertujuan untuk
membuat kesepakatan yang saling menguntungkan satu sama lain, dengan
cara mengabaikan konflik, saling berusaha mempercayai, menawarkan
konsiliasi, kemauan untuk saling memberi, saling terbuka.
Adapun keuntungan strategi kooperatif antara lain:
a. Kemustahilan terjadinya dead lock;
b. Terjaganya hubungan baik para pihak;
c. Minimnya ketegangan dan tingkat stress di antara para pihak.
Sementara itu sisi kelemahannya pendekatan ini, ialah:
a.
b.
c.

Para pihak dipersepsikan lemah tidak berdaya;


Membutuhkan informasi yang memadai tentang pihak lain;
Berisiko tinggi jika salah satu pihak beriktikad tidak baik sedangkan

kesepakatan belum selesai seluruhnya.


3. Strategi Pemecahan Masalah
Strategi ini berkonsentrasi untuk menemukan solusi kreatif di
dalam usahanya memberikan bagian atau interest kepada kedua belah
pihak. Tujuan utama strategi ini ialah menganggap suatu pemasalahan itu
dapat dipisahkan dari manusia sebagaimana kata orang bijak, bahwa
tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya-- tentunya melalui
berbagai

opsi

yang

dituangkan

Karakteristik strategi ini antara lain:


14

dalam

kesepakatan

kontraktual.

a.
b.
c.
d.
e.

Berusaha untuk memahami pihak lainnya secara emphati;


Menghargai ikatan emosional di antara para pihak;
Fokus terhadap masing-masing kepentingan pihak lain;
Menekankan kepada komunikasi yang baik; dan
Melahirkan solusi kreatif dan inovatif.
Sementara itu keunggulan strategi ini ialah:
a. Tidak saling menjatuhkan, dead lock dapat dihindari;
b. Fokus kepada permasalahan utama;
c. Kreatif.
Sedangkan kelemahan stategi ini, adalah:
a. Membutuhkan informasi lebih banyak ;
b. Sulit dilakukan jika pihak lain tidak menghendaki strategi ini;
c. Tidak realistis, agaknya sulit ditemui proses advokasi yang
menghasilkan kepuasan di antara para pihak yang bertikai.
4. Strategi Mengelak (Avoiding)
Strategi ini tujuan utamanya adalah mencari-cari alasan untuk menolak
berbagai bentuk kemajuan riil yang dicapai dalam proses advokasi. Dalam
praktek strategi sudah jarang dipakai, karena strategi ini digunakan dalam
keadaan terdesak, dan sifatnya hanya mengulur-ulur waktu saja (buying
time).
Adapun kelebihan strategi ini ialah:
1. Dapat meletakkan pihak lawan dalam posisi di bawah tekanan (under
pressure);
2. Memaksa pihak lawan untuk mengambil inisitif;
3. Dapat menunda pelaksanaan kesepakatan melalui cara mengulur
waktu.
Sedangkan keburukan strategi ini adalah:
1. Dapat memberikan keleluasan pihak lawan untuk mengendalikan
pihak yang mengelak;
2. Adanya ancaman untuk diselesaikan lewat jalur pengadilan dengan
kekuatan sita dan eksekusinya;
3. Bertentangan dengan hukum acara yang menganjurkan penyelesaian
kasus secara sederhana dan tidak berbelit-belit;
4. Strategi ini tidak etis.
5. Strategi Akomodatif
15

Strategi ini sering dipadankan dengan strategi kooperatif yang


dilakukan secara ekstrem. Strategi akomodatif melibatkan kesepakatan
terhadap penawaran pihak lawan secara ekstrem. Yaitu kemungkinan
penerimaan tawaran pihak lawan tanpa persyaratan apapun. Karakteristik
strategi ini mungkin hanya digunakan oleh keompok advokasi hukum
yang kurang berpengalaman. Kelebihan strategi ini tida ada, sedangkan
kelemahannya terletak pada kegagalannya untuk meraih hasil yang baik,
hampir-hampir tidak mungkin diperoleh.

16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keluarga merupakan wadah sosialisasi yang pertama, dan penting, karena
akan sangat mempengaruhi terbentuknya perilaku seseorang. Anak yang
tumbuh dalam sebuah keluarga akan mencerminkan pola pengasuhan yang
diterapkan kepada dia, dalam kehidupannya sehari. Maka dari itu peran
keluarga tempat tumbuh dan berkembangnya individu memegang peranan
yang cukup central.
Meskipun keluarga inti hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak, namun
konflik-konflik atau masalah selalu mengikuti dinamika perkembangan
keluarga. Beberapa masalah yang sering muncul sebagai pemicu konflik
antara lain
Namun, jika kita dapat menyikapi setiap masalah tadi dengan bijak, dan
baik maka masalah tadi yang malah akan memperkuat keutuhan sebuah
keluarga. Masalah tersebut akan melibatkan pemikiran-pemikiran, perasaanperasaan, serta kerjasama antar anggota keluarga dalam merumuskan sebuah
solusi. Hal itu tentu akan mempererat persatuan, dan kesolitan sebuah
keluarga.
Sebagai sebuah catatan bahwa dalam upaya menyelesaikan masalah
keluarga haruslah dipahami betul kompleksitas serta kerumitan masalah yang
dihadapi. Semua harus sadar bahwa setiap masalah memiliki kompleksitas
masing-masing sehingga tidak bisa begitu saja mengaplikasikan sebuah teori
untuk menyelesaikannya. Semua juga harus ingat bahwa selain teori-teori
17

yang ada, sebenarnya masyarakat juga memiliki budaya sendiri dalam


menyelesaikan masalahnya.

B. Saran
Adapun saran yang bisa kami berikan adalah mari kita sebagai kalangan
akademis

menjadi contoh dalam menggunakan teknologi dengan bijaksana,kita

cegah penyalahgunaan teknologi agar tidak mengancam kelangsungan hidup di bumi


tercinta ini. Jika belum mampu mencegah dampak negatif yang besar setidaknya
mari kita mulai dari diri kita sendiri dan keluarga kita.

18

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. (2002). Psikologi Sosial. Rineka Cipta: Jakarta.


Meda Wahini. (2008). Keluarga Sebagai Tempat Pertama Dan Utama
Terjadinya Sosialisasi Pada Anak. Pustaka Abadi : Palembang
Ibnu Qasim. http://www.radarsemarang.com/daerah/kudus/2356kontrollingkungankeluarga-dan-sosial.html

19

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur hanya untuk Allah SWT. Yang telah memberikan taufik dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam
senantiasa dicurahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan segenap
keluarganya serta orang-orang yang meneruskan risalahnya sampai akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran
yang sifatnya membangun demi kebaikan makalah ini sangat diharapkan dari para
pembaca. Akhir kata, semoga karya tulis sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu, Maret 2016

Penulis

i
20

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.....................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................................
C. Tujuan....................................................................................................

1
2
2

BAB II PEMBAHASAN
A.
B.
C.
D.

Definisi Keluarga........................................................................
Litigasi.........................................................................................
Non Litigasi.................................................................................
Strategi Advokasi Hukum..........................................................`

3
4
8
14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan............................................................................................
B. Saran .....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

ii

21

18
19

Anda mungkin juga menyukai